6661180044
Pada sebagian besar buku teks kebijakan publik yang diajarkan adalah evaluasi kebijakan.
Pemahaman mengenai kebijakan publik adalah sebuah manajemen mengedepankan
pemahaman bbahwa kebijakan publik harus dikendalikan.
Pengawasan yang baik dapat secara langsung menjadi evaluasi dengan demikian, evaluasi
merupakan agregasi dan penyimpulan dari pengawasan-pengawasan yang dilakukan, dengan
demikian terjadi “Sinergi” optimum antara “pengawasan” dan “Evaluasi”sehingga tidak perlu
terjadi pengulangan proses dan pekerjaan.
Monitor adalah “to watch and check over a period of time”. Mengikuti kunarjo dala
Glosari Pembangunan (1991), maka monitoring atau pemantauan adalah usaha secara terus-
menerus untuk memahami perkembangan bidang-bdang tertentu dari pelaksanaan tugas atau
proyek yang sedang dilaksanakan.
Ada dua jenis teknik monitoring, yaitu on desk, yaitu dengan mencermati laporan-laporan
perkembangan, dan on site, yaitu dengan cara melakukan pengawasan dengan turun ke
lapangan memeriksa secara langsung. Cara ketiga adalah melakukan keduanya, yaitu on site
dan on desk. Dan tujuan monitoring adalah untuk:
Tujuan monitoring hanya dua, yaitu memastikan pelaksanaan tidak menyimpang dari
perencanaan, dan membangun early warning system sebagai peting untuk memastikan jika
terjadi pemyimpangan dalam pelaksanaanya. Kebijakan tentang penentuan kebijakan dapat
dibagun secara generik, sebagai suatu standar pemantauan, dimana masing-masing lembaga
mengembangkan lebih lanjuut model yang sesuai dengan kebijakan yang dilaksanakan.
Model monitoring, secara generik digbarkan sebagai sekuensi antara perencanaan dan
evaluasi. Dengan demikian, sebenarnya monitoring dapat disebut sebagai “bagian-bagian”
dari evaluasi. Pengawasan yang baik dapat secara langsung menajdi evaluasi dengan
demkian, evaluasi merupakan agregat dan penyimpulan dari pengawasan-pengawasan yang
dilakukan dengan demikian terjadi sinergi. “Optimum antara pengawasan dan evaluasi”.
Sehingga tidak perlu terjadi pengulangan proses dan pekerjaan.
Masalah kita adalah pertama, kita tidak cukup memahami pegawasan ke dua, tidak cukup
memahami evaluasi. Ketiga tidak dapat membedakan antara pengawasan dan evaluasi.
Sehingga, sering kali pengawasan atau monitoring jumlah dengan evluasi. Misalnya, teramat
sering kita mendengar pimpinan birokrasi terbiasa dengan singkatan majemuk “MONEV.
Implikasinya, setiap monitoring harus dilanjutkan dengan evaluasi. Padahal, tidak selalu
demkian. Ada monitoring khusus hanya untuk early warning system, tidak untuk ke arah
evaluasi. Selain itu, masalah lain karena terbiasa dengan “MonEv”, maka pelaksanaannya
dalah monitoring atau pengawasan merupakan pelaksanaan evaluasi. Padahal, lazimnya harus
berbeda bahkan, untuk evaluasi khususnya, diperlukan tim khusus yang bukan dari lembaga
tersebut, dalam ranglka memberikan hasil evluasi yang fair. Masalah lain adalah, karena
terbiasa dengan kata “MonEv” maka ukuran pengawasan secara “sembrono” dengan ukuran
evaluasi.
Dalam melakukan monitoring, setidaknya ada empat hal yang harus menjadi catatan dari
pemonitor, yaitu, bahwa:
Monitor adalah “to watch and check over a period of time”. Mengikuti kunarjo dala
Glosari Pembangunan (1991), maka monitoring atau pemantauan adalah usaha secara terus-
menerus untuk memahami perkembangan bidang-bdang tertentu dari pelaksanaan tugas atau
proyek yang sedang dilaksanakan.
Ada dua jenis teknik monitoring, yaitu on desk, yaitu dengan mencermati laporan-laporan
perkembangan, dan on site, yaitu dengan cara melakukan pengawasan dengan turun ke
lapangan memeriksa secara langsung. Cara ketiga adalah melakukan keduanya, yaitu on site
dan on desk. Dan tujuan monitoring adalah untuk:
Tujuan monitoring hanya dua, yaitu memastikan pelaksanaan tidak menyimpang dari
perencanaan, dan membangun early warning system sebagai peting untuk memastikan jika
terjadi pemyimpangan dalam pelaksanaanya. Kebijakan tentang penentuan kebijakan dapat
dibagun secara generik, sebagai suatu standar pemantauan, dimana masing-masing lembaga
mengembangkan lebih lanjuut model yang sesuai dengan kebijakan yang dilaksanakan.
Model monitoring, secara generik digbarkan sebagai sekuensi antara perencanaan dan
evaluasi. Dengan demikian, sebenarnya monitoring dapat disebut sebagai “bagian-bagian”
dari evaluasi. Pengawasan yang baik dapat secara langsung menajdi evaluasi dengan
demkian, evaluasi merupakan agregat dan penyimpulan dari pengawasan-pengawasan yang
dilakukan dengan demikian terjadi sinergi. “Optimum antara pengawasan dan evaluasi”.
Sehingga tidak perlu terjadi pengulangan proses dan pekerjaan.
Masalah kita adalah pertama, kita tidak cukup memahami pegawasan ke dua, tidak cukup
memahami evaluasi. Ketiga tidak dapat membedakan antara pengawasan dan evaluasi.
Sehingga, sering kali pengawasan atau monitoring jumlah dengan evluasi. Misalnya, teramat
sering kita mendengar pimpinan birokrasi terbiasa dengan singkatan majemuk “MONEV.
Implikasinya, setiap monitoring harus dilanjutkan dengan evaluasi. Padahal, tidak selalu
demkian. Ada monitoring khusus hanya untuk early warning system, tidak untuk ke arah
evaluasi. Selain itu, masalah lain karena terbiasa dengan “MonEv”, maka pelaksanaannya
dalah monitoring atau pengawasan merupakan pelaksanaan evaluasi. Padahal, lazimnya harus
berbeda bahkan, untuk evaluasi khususnya, diperlukan tim khusus yang bukan dari lembaga
tersebut, dalam ranglka memberikan hasil evluasi yang fair. Masalah lain adalah, karena
terbiasa dengan kata “MonEv” maka ukuran pengawasan secara “sembrono” dengan ukuran
evaluasi.
1.4 Evaluasi Kebijakan
Bagian tentang evaluasi kebijakan telah dibahas sebelumnya. Namun pada bagian ini
akan dibahas lagi evaluasi kebijakan untuk tujuan khusus pengendalian, bahwa evaluasi
kebijakan fokus kepada pemahaman bahwa evaluasi kebijakan fokus keada pemahaman
bahwa sebuah kebijakan publik tidak dapat dilepas begitu saja. Kebiajkan hasur diawasi, dan
satu mekanisme pengawasan tersebut disebut sebagai “Evaluasi Kebijakan” disarankan untuk
dilaksanakan dengan cara komperansi, dengan pilihan-pilihan:
Mengikuti wiliam N Dunn (1999: 608-610), istilah evaluasi dapat disamakan dengan
penaksiran (apraisal), pemberian angka (rating). Dan penilian (assesment), evaluasi
berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi
memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu
seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik:
dan evaluasi memberi sumbangan metode-metode analisis kebijakan lainya, termasuk
perumusan masalah dan rekomendasi. Jadi, meski berkenaan dengan keseluruhan proses
kebijakan lebih berkenaan pada kinerja kebijakan, khususnya pada impementasi kebijakan
publik. Evaluasi pada “perumusan” dilakukan pada sisi post tindakan, yaitu lebih kepada
“proses” perumusan dari pada muatan kebijakan yang biasanya “hanya” menilai apakah
prosesnya sudah sesuai dengan prosedur yang sudah disepakati. Secara umum, Dunn
mengambarkan kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik sebagai berikut: Evaluasi
implementasi kebijakan publik dibagi menjadi tiga menurut tinting evaluasi, yaitu sebelum
dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan biasanya disebut evaluasi proses evaluasi setelah
kebijakan yang juga disebut sebagai evaluasi kosekuensi (output) kebiajkan dan / atau
evaluasi impak/pegaruh (outcome) kebiajkan, atau sebagai evaluasi sumatif. Secara spesipik
Dunn (1999: 612-634) mengembangkan tiga pendekatan evaluasi implementasi kebijakan,
yaitu evaluasi semu, evaluasi formal, dan evaluasi keputusan teoritis.
Edward A. Suchman di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan enam
langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:
1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat
dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan anatar berbagai dimenasi
realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah,
kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evlauasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh
para perilaku, baik birokrasi maupun pelaku lainya sesuai dengan standar dan
prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan
kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijkan
tersebut.