Anda di halaman 1dari 8

KOMALA SARI DEWI

6661180044

VI D (EVALUASI DAN TERMINASI KEBIJAKAN PUBLIK)

RESUME (PENGENDALIAN KEBIJAKAN “RIAN NUGROHO”)

1.1 Pengendalian Kebijakan

Pada sebagian besar buku teks kebijakan publik yang diajarkan adalah evaluasi kebijakan.
Pemahaman mengenai kebijakan publik adalah sebuah manajemen mengedepankan
pemahaman bbahwa kebijakan publik harus dikendalikan.

Pengawasan berupa pemantauan dengan penilian untuk tujuan pengendalian pelaasanaan,


agar pelaksanaannya ssuai dengan rencana yang telah di tetapkan , pengawasan sering kali
dipahami sebgai “on going evaluation”atau “formative evaluation”. Evaluasi merupakan
penilian kinerja dari implementasi evaluasi dilaksanakan setelah kegiatan”, Selesai
dilaksanakan” degan dua pengertian “Selesai”, yaitu 1 Pengertian waktu (Mencapai aatau
melwati “target waktu”) dan 2 Pengertian kerja (Pekerjaan tuntas). Penganjaran terasuk
didalamnya penghukuman, penganjaran demikian bermakana pemberian intensif atau
disinsentif yang ditetapkan dan diberikan sebagai hasil dari pegawasan dan penilian yang
telah dilakukan. Pengawasan atau evaluasi tidak diberikan arti penting penganjaran atasnya
Seperti anak sekolah setelah diawasi dan dievaluasi dan dinayatakan “Lulus”, “Mengulang”,
atau “tidak lulus”. Ketiga instrumen ini merupakan inti dari penengendalian kebijakan. Tanpa
itu, kebijakan akan lari seperti istilah Anthony Giddens dalam The Trhid way (1998) sebagai
Juggernaut , truk besar yang melaju kencang tak terkendali.

Pengawasan yang baik dapat secara langsung menjadi evaluasi dengan demikian, evaluasi
merupakan agregasi dan penyimpulan dari pengawasan-pengawasan yang dilakukan, dengan
demikian terjadi “Sinergi” optimum antara “pengawasan” dan “Evaluasi”sehingga tidak perlu
terjadi pengulangan proses dan pekerjaan.

1.2 Monitoring Kebijakan

Monitor adalah “to watch and check over a period of time”. Mengikuti kunarjo dala
Glosari Pembangunan (1991), maka monitoring atau pemantauan adalah usaha secara terus-
menerus untuk memahami perkembangan bidang-bdang tertentu dari pelaksanaan tugas atau
proyek yang sedang dilaksanakan.

Ada dua jenis teknik monitoring, yaitu on desk, yaitu dengan mencermati laporan-laporan
perkembangan, dan on site, yaitu dengan cara melakukan pengawasan dengan turun ke
lapangan memeriksa secara langsung. Cara ketiga adalah melakukan keduanya, yaitu on site
dan on desk. Dan tujuan monitoring adalah untuk:

1. Menghindarkan terjadinya penyimpangan /kesalahan /keterlambatan, sehingga dapat


diluruskan.
2. Memastikan proses impementasi sesuai dengan model impelementasi yang sesuai.
3. Memastikan bahwa implementasi kebijakan menuju ke arag kinerja kebijakan yang
dikhendaki.

Tujuan monitoring hanya dua, yaitu memastikan pelaksanaan tidak menyimpang dari
perencanaan, dan membangun early warning system sebagai peting untuk memastikan jika
terjadi pemyimpangan dalam pelaksanaanya. Kebijakan tentang penentuan kebijakan dapat
dibagun secara generik, sebagai suatu standar pemantauan, dimana masing-masing lembaga
mengembangkan lebih lanjuut model yang sesuai dengan kebijakan yang dilaksanakan.

Model monitoring, secara generik digbarkan sebagai sekuensi antara perencanaan dan
evaluasi. Dengan demikian, sebenarnya monitoring dapat disebut sebagai “bagian-bagian”
dari evaluasi. Pengawasan yang baik dapat secara langsung menajdi evaluasi dengan
demkian, evaluasi merupakan agregat dan penyimpulan dari pengawasan-pengawasan yang
dilakukan dengan demikian terjadi sinergi. “Optimum antara pengawasan dan evaluasi”.
Sehingga tidak perlu terjadi pengulangan proses dan pekerjaan.

Masalah kita adalah pertama, kita tidak cukup memahami pegawasan ke dua, tidak cukup
memahami evaluasi. Ketiga tidak dapat membedakan antara pengawasan dan evaluasi.
Sehingga, sering kali pengawasan atau monitoring jumlah dengan evluasi. Misalnya, teramat
sering kita mendengar pimpinan birokrasi terbiasa dengan singkatan majemuk “MONEV.
Implikasinya, setiap monitoring harus dilanjutkan dengan evaluasi. Padahal, tidak selalu
demkian. Ada monitoring khusus hanya untuk early warning system, tidak untuk ke arah
evaluasi. Selain itu, masalah lain karena terbiasa dengan “MonEv”, maka pelaksanaannya
dalah monitoring atau pengawasan merupakan pelaksanaan evaluasi. Padahal, lazimnya harus
berbeda bahkan, untuk evaluasi khususnya, diperlukan tim khusus yang bukan dari lembaga
tersebut, dalam ranglka memberikan hasil evluasi yang fair. Masalah lain adalah, karena
terbiasa dengan kata “MonEv” maka ukuran pengawasan secara “sembrono” dengan ukuran
evaluasi.

Metode monitoring biasanya dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1. Modal survei ke lapangan.


2. Modal pemanfaatan ahli melalui model delphi ataupun diskusi kelompok terfokus.
3. Pengawasan dibalik meja (Desk Monitoring) dengan memanfaatkan metode
triangulasi, baik triangulasi data maupun triangulasi teori.

Dalam melakukan monitoring, setidaknya ada empat hal yang harus menjadi catatan dari
pemonitor, yaitu, bahwa:

1. Proses monitoring tidak diperkenankan menganggu proses impelementasi.


2. Pemonitor tidak diperkenankan melakukan intrervensi, karena dapat menghilangkan
peluang berkembanganya diskresi inovasi.
3. Pemonitor tidak diperkenankan menyampaikan hasil monitoring kepada yang
dimonitor, tetapi kepada atasan yang dimonitor.
4. Pemonitor tidak diperkenankan mengambil anggota dari pelaksanaan, atau
mempunyai hubungan khusus dengan pelaksanaan.

Bagi pemonitor, kecakapan dasar dalam monitoring yang dibutuhkan adalah:

1. Memahami proyek/kebijakan yang dimonitor


2. Memahami pelaksana dan konteks pelaksanaan
3. Memahami(dan menguasai) motede penelitian cepat atau RMA (rapid method
assessment), dengan dua metode dasar yang harus dikuasai yaitu:
a. cepat menangkap temuan
b. cepat melakukan cara untuk mengungkap temuan
1.3 Monitoring Kebijakan

Monitor adalah “to watch and check over a period of time”. Mengikuti kunarjo dala
Glosari Pembangunan (1991), maka monitoring atau pemantauan adalah usaha secara terus-
menerus untuk memahami perkembangan bidang-bdang tertentu dari pelaksanaan tugas atau
proyek yang sedang dilaksanakan.
Ada dua jenis teknik monitoring, yaitu on desk, yaitu dengan mencermati laporan-laporan
perkembangan, dan on site, yaitu dengan cara melakukan pengawasan dengan turun ke
lapangan memeriksa secara langsung. Cara ketiga adalah melakukan keduanya, yaitu on site
dan on desk. Dan tujuan monitoring adalah untuk:

1. Menghindarkan terjadinya penyimpangan /kesalahan /keterlambatan, sehingga dapat


diluruskan.
2. Memastikan proses impementasi sesuai dengan model impelementasi yang sesuai.
3. Memastikan bahwa implementasi kebijakan menuju ke arag kinerja kebijakan yang
dikhendaki.

Tujuan monitoring hanya dua, yaitu memastikan pelaksanaan tidak menyimpang dari
perencanaan, dan membangun early warning system sebagai peting untuk memastikan jika
terjadi pemyimpangan dalam pelaksanaanya. Kebijakan tentang penentuan kebijakan dapat
dibagun secara generik, sebagai suatu standar pemantauan, dimana masing-masing lembaga
mengembangkan lebih lanjuut model yang sesuai dengan kebijakan yang dilaksanakan.

Model monitoring, secara generik digbarkan sebagai sekuensi antara perencanaan dan
evaluasi. Dengan demikian, sebenarnya monitoring dapat disebut sebagai “bagian-bagian”
dari evaluasi. Pengawasan yang baik dapat secara langsung menajdi evaluasi dengan
demkian, evaluasi merupakan agregat dan penyimpulan dari pengawasan-pengawasan yang
dilakukan dengan demikian terjadi sinergi. “Optimum antara pengawasan dan evaluasi”.
Sehingga tidak perlu terjadi pengulangan proses dan pekerjaan.

Masalah kita adalah pertama, kita tidak cukup memahami pegawasan ke dua, tidak cukup
memahami evaluasi. Ketiga tidak dapat membedakan antara pengawasan dan evaluasi.
Sehingga, sering kali pengawasan atau monitoring jumlah dengan evluasi. Misalnya, teramat
sering kita mendengar pimpinan birokrasi terbiasa dengan singkatan majemuk “MONEV.
Implikasinya, setiap monitoring harus dilanjutkan dengan evaluasi. Padahal, tidak selalu
demkian. Ada monitoring khusus hanya untuk early warning system, tidak untuk ke arah
evaluasi. Selain itu, masalah lain karena terbiasa dengan “MonEv”, maka pelaksanaannya
dalah monitoring atau pengawasan merupakan pelaksanaan evaluasi. Padahal, lazimnya harus
berbeda bahkan, untuk evaluasi khususnya, diperlukan tim khusus yang bukan dari lembaga
tersebut, dalam ranglka memberikan hasil evluasi yang fair. Masalah lain adalah, karena
terbiasa dengan kata “MonEv” maka ukuran pengawasan secara “sembrono” dengan ukuran
evaluasi.
1.4 Evaluasi Kebijakan

Bagian tentang evaluasi kebijakan telah dibahas sebelumnya. Namun pada bagian ini
akan dibahas lagi evaluasi kebijakan untuk tujuan khusus pengendalian, bahwa evaluasi
kebijakan fokus kepada pemahaman bahwa evaluasi kebijakan fokus keada pemahaman
bahwa sebuah kebijakan publik tidak dapat dilepas begitu saja. Kebiajkan hasur diawasi, dan
satu mekanisme pengawasan tersebut disebut sebagai “Evaluasi Kebijakan” disarankan untuk
dilaksanakan dengan cara komperansi, dengan pilihan-pilihan:

1. Komperansi dengan tujuan


2. Komperansi dengan historikal
3. Komperansi dengan Best Practices

Evaluasi biasanya ditunjukanuntuk menilai sejauh mana keefektifan kebiajkan publik


guna dipertangungjawabkan kepada konsistuennya. Sejauh mana tujuan dicapai. Evaluasi
diperlukan untuk melihat kesenjangan anatara “harapan” dengan “kenyataan”. Permis
yangdikembangkan disini adalah, bahwa setiap kebijakan harus di evaluasi sebelum diganti,
sehingga perlu adanya klausul “dapat diganti setelah dilakukan evaluasi” dalam setiap
kebijakan publik ada dua alasan pokok mengapa hal ini harus dipegang, yaitu:

1. Menghindari kebiasaan buruk administrasi publik Indonesia yaitu “ganti pejabat,


harus ganti peraturan”
2. Setiap kebijkan tidak dapat diganti dengan serta–merta karena “keinginan” atau
“selera” dari yang pada saat itu memegang kewenangan publik.

Tujuan pokok dari evaluasi bukanlah untuk menyalah-nyalahkan melainkan untuk


melihat sejauh mana kesenjangan antara pencapaian dan harapan dari suatu kebijakan publik.
Tugas selanjutnya adalah bagaimana mengurangi atau menutup kesenjangan tersebut. Jadi
evaluasi kebijakan harus dipahami sebagai sesuatu yang bersifat positif. Evaluasi bertujuan
untuk mencari kekurangan dan menutup kekurangan.

Ciri-ciri dari evaluasi kebijakan adalah:

1. Tujuan untuk menemukan hasil-hasil yang strategis untuk menigkatkan kinerja


kebijakan.
2. Evaluator mamu mengambil jarak dari pelaksanaan kebijakan, dan target kebijakan.
3. Prosedur dapat dipertangung jawabkan secara etimology.
4. Dilaksanakan tidak sedang tahap perumusan atau kebencian.
5. Mencakup rumusan< Impelemntasi, lingkungan dan kinerja kebijakan.

1.5 Model Evaluasi Daun

Mengikuti wiliam N Dunn (1999: 608-610), istilah evaluasi dapat disamakan dengan
penaksiran (apraisal), pemberian angka (rating). Dan penilian (assesment), evaluasi
berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Evaluasi
memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu
seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik:
dan evaluasi memberi sumbangan metode-metode analisis kebijakan lainya, termasuk
perumusan masalah dan rekomendasi. Jadi, meski berkenaan dengan keseluruhan proses
kebijakan lebih berkenaan pada kinerja kebijakan, khususnya pada impementasi kebijakan
publik. Evaluasi pada “perumusan” dilakukan pada sisi post tindakan, yaitu lebih kepada
“proses” perumusan dari pada muatan kebijakan yang biasanya “hanya” menilai apakah
prosesnya sudah sesuai dengan prosedur yang sudah disepakati. Secara umum, Dunn
mengambarkan kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik sebagai berikut: Evaluasi
implementasi kebijakan publik dibagi menjadi tiga menurut tinting evaluasi, yaitu sebelum
dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan biasanya disebut evaluasi proses evaluasi setelah
kebijakan yang juga disebut sebagai evaluasi kosekuensi (output) kebiajkan dan / atau
evaluasi impak/pegaruh (outcome) kebiajkan, atau sebagai evaluasi sumatif. Secara spesipik
Dunn (1999: 612-634) mengembangkan tiga pendekatan evaluasi implementasi kebijakan,
yaitu evaluasi semu, evaluasi formal, dan evaluasi keputusan teoritis.

1.6 Model Evaluasi Lester dan Steward

Sebagai pembanding James P. Lester dan Joseph Steward Jr (2000), menegelompokan


evaluasi implementasi kebiajkan menjadi evaluasi proses, yaitu evaluasi yang berkenaan
dengan proses impementasi: evaluasi impak yaitu evaluasi berkenaan dengan hasil dan/ atau
pengaruh dari implementasi kebijakan, yaitu apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan
tujuan yang dikehendaki; dan evaluasi meta-evaluasi yang berkenaan dengan evaluasi dari
berbbagai impementasi kebijakan yang ada untuk menemukan kesamaan-kesamaan tertenu.

1.7 Model Evaluasi House


Ewest R House (1980) membuat taksonomi evaluasi yang cukup berbeda membagi
modelevaluasi meliputi:

1. Model sistem, dengan indikator utama adalah efisiensi.


2. Model perilaku, dengan indikator utama adalah produktivitas dan akuntabilitas.
3. Model formulasi keputusan, dengan indikator utama adalah keaktifan dan keterjagaan
kulitas.
4. Model tujuan bebas (goal free), dengan indikator uatama adalah pilihan penggunaan
dan manfaat sosial.
5. Model kekeritisan seni (art critism),dengan indikator uatama adalah standar yang
semakin baik dan kesadaranyang semakin mengikat.
6. Model review profesional, dengan indikator utama adalah penerimaan profesioal.
7. Model kuasi-legal (qiusi-legal), dengan indikator uatama adalah resolusi, dan
8. Model studi kasus, dengan indikator utama adalah pemahaan atas diversitas.
1.8 Model evaluasi anderson

James anderson (2011: 276-278) membagi evlauasi (Implementasi) kebijakan publik


menjadi tiga. Tipe pertama, evaluasi kebiajakn publik yang dipahami sebagai kegiatan
fungsional yang selalu melakat pada setiap kebijakan publik. Kedua, evaluasi yang
memfokuskan kepada proses bekerjanya kebijakan. Ketiga, evaluasi sistematis untuk
mengukur kebijakan atau mengukur pencapaian dibandingkan target yang di tetapkan.

Edward A. Suchman di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan enam
langkah dalam evaluasi kebijakan, yaitu:

1. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi.


2. Analisis terhadap masalah.
3. Deskripsi dan standarisasi kegiatan.
4. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi.
5. Menentukanapakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut
atau karena penyebab yang lain.
6. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak (dikutip winarno,
2002, 169).
1.9 Model evaluasi wibawa
Mengikuti wibawa dkk (1993: 10-11), evaluasi kebiajkan publik memiliki empat fungsi,
yaitu:

1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat
dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan anatar berbagai dimenasi
realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah,
kondisi, dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evlauasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh
para perilaku, baik birokrasi maupun pelaku lainya sesuai dengan standar dan
prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar sampai ke tangan
kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijkan
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai