Anda di halaman 1dari 13

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.1.1. Definisi Hipertensi

Dari perspektif epidemiologi, tidak ada tingkatan yang jelas dari tekanan

darah yang mendefinisikan hipertensi. Pada orang dewasa, risiko penyakit

jantung, stroke, dan penyakit ginjal berbanding lurus dengan peningkatan tekanan

darah sistolik dan diastolik. Risiko penyakit kardiovaskular menjadi dua kali lipat

untuk setiap kenaikan 20 mmHg sistolik dan 10 mmHg peningkatan tekanan

diastolik. Pada orang yang lebih tua, tekanan darah sistolik dan tekanan nadi

merupakan prediktor yang lebih kuat untuk penyakit jantung daripada tekanan

darah diastolik (Longo dkk., 2012).

Secara klinis, hipertensi dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan tekanan

darah yang meningkat dimana terapi dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas

terkait peningkatan tekanan darah tersebut. Saat ini kriteria klinis untuk

mendefinisikan hipertensi umumnya didasarkan pada rata-rata dua atau lebih

pembacaan tekanan darah duduk selama masing-masing dua atau lebih kunjungan

rawat jalan (Longo dkk., 2012).

Menurut Chobanian dkk. (2003) tekanan darah pada orang dewasa

berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih

kunjungan klinis diklasifikasikan menjadi kelompok normal, prehipertensi,

hipertensi tingkat I dan hipertensi tingkat II yang dapat dilihat pada tabel 2.1.

7
2

Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah (Chobanian dkk., 2003)


Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Tekanan Darah
Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Tingkat I 140-159 atau 90-99
Hipertensi Tingkat II ≥ 160 atau ≥ 100

2.1.2. Klasifikasi Hipertensi

Sebanyak 80–95% penderita hipertensi adalah penderita hipertensi primer

yaitu penderita yang penyebab hipertensinya tidak diketahui. Hipertensi primer

bersifat familial serta merupakan konsekuensi dari interaksi lingkungan dan faktor

genetik yang menimbulkan spektrum penyakit dengan dasar patofisiologi yang

berbeda. Suatu penyebab khusus hipertensi atau hipertensi sekunder hanya dapat

ditemukan pada 5-20% penderita (Longo dkk., 2012). Walaupun demikian, perlu

dipertimbangkan penyebab spesifik pada setiap kasus, karena beberapa

diantaranya dapat diperbaiki dengan tindakan bedah misalnya: konstriksi arteri

ginjal, koarktasio aorta, feokromositoma, penyakit cushing, dan aldosteronisme

primer (Katzung dkk., 2007). Pada penderita hipertensi sekunder, mekanisme

spesifik yang mendasari peningkatan tekanan darah lebih terlihat nyata. Hipertensi

sekunder disebabkan oleh berbagai kelainan seperti penyakit ginjal, kelainan

kelenjar adrenal, apnea tidur obstruktif, preeklampsia/eklampsia, neurogenik,

kelainan endokrin, dan obat- obatan (Longo dkk., 2012).

2.1.3. Mekanisme Hipertensi

Umumnya peningkatan tekanan darah disebabkan oleh peningkatan

tahanan (resistance) pengaliran darah melalui arteriol-arteriol secara menyeluruh,

sedangkan curah jantung biasanya normal. Penelitian yang seksama terhadap

fungsi sistem saraf otonom, refleks-refleks baroreseptor, sistem renin-angiotensin-


3

aldosteron, dan ginjal belum mampu mengidentifikasi suatu kelainan primer

penyebab meningkatnya resistensi pembuluh darah tepi pada hipertensi primer

(Katzung dkk., 2007).

Peningkatan tekanan darah biasanya disebabkan oleh kombinasi berbagai

kelainan atau multifaktorial. Bukti-bukti epidemiologik menunjukkan adanya

faktor genetik, ketegangan jiwa, faktor lingkungan dan banyak asupan garam serta

kurang asupan kalium atau kalsium mungkin sebagai kontributor berkembangnya

hipertensi. Faktor genetik pada hipertensi primer diperkirakan berperan pada 30%

kasus. Mutasi pada beberapa gen telah dihubungkan dengan penyebab-penyebab

hipertensi yang jarang ditemukan. Sejumlah variasi pada fungsi gen–gen untuk

enzim pengubah angiotensin (ACE), adrenoseptor β2 dan α adducin nampaknya

berkontribusi pada beberapa kasus hipertensi primer (Katzung., 2007).

Menurut persamaan hidrolik, tekanan darah arterial (BP) adalah

berbanding langsung dengan hasil perkalian antara aliran darah (curah jantung,

CO) dan tahanan lewatnya darah melalui arteriol prekapiler (tahanan vaskular

perifer, PVR). Secara fisiologi, pada orang yang normal maupun hipertensi,

tekanan darah dipertahankan oleh pengaturan curah jantung dan tahanan

pembuluh darah tepi dari waktu ke waktu yang dilakukan pada empat lokasi

anatomis yaitu : arteriol, venula pascakapiler atau pembuluh kapasitan, jantung

dan ginjal. Lokasi kontrol anatomis yang keempat yaitu ginjal, berfungsi untuk

mempertahankan tekanan darah dengan mengatur volume cairan intravaskular.

Barorefleks, diperantarai oleh saraf simpatis, bekerja sama dengan mekanisme

humoral, termasuk sistem renin-angiotensin-aldosteron, mengkoordinasikan

fungsi keempat lokasi kontrol tekanan darah tersebut serta untuk mempertahankan
4

tekanan darah normal. Pelepasan substansi vasoaktif setempat dari lapisan endotel

vaskular mungkin juga berperan dalam pengaturan tahanan vaskular (Katzung

dkk., 2007).

Tekanan darah penderita hipertensi dikontrol oleh mekanisme yang sama

dengan orang-orang yang normotensi. Yang membedakan pengaturan tekanan

darah penderita hipertensi dengan orang normal yaitu baroreseptor dan sistem

pengontrolan tekanan-volume darah ginjal tampaknya telah diposisikan pada

tingkat tekanan darah yang lebih tinggi (Katzung dkk., 2007).

2.1.4. Konsekuensi Patologis Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor predisposisi independen untuk gagal jantung,

penyakit jantung koroner, stroke, penyakit ginjal, dan penyakit arteri perifer

(PAD). Penyakit jantung adalah penyebab kematian paling umum pada pasien

hipertensi. Penyakit jantung akibat hipertensi adalah hasil dari adaptasi struktural

dan fungsional yang mengarah ke hipertrofi ventrikel kiri, congestive heart failure

(CHF), kelainan aliran darah akibat penyakit arteri koroner aterosklerosis dan

penyakit mikrovaskular, serta aritmia jantung. Kedua faktor genetik dan

hemodinamik berkontribusi terhadap hipertrofi ventrikel kiri. CHF mungkin

berhubungan dengan disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, atau kombinasi dari

keduanya (Longo dkk., 2012).

Stroke adalah penyebab paling sering kedua kematian di dunia. Tekanan

darah tinggi merupakan faktor risiko terkuat untuk stroke. Insiden stroke

meningkat secara progresif dengan meningkatnya tingkat tekanan darah, terutama

tekanan darah sistolik pada individu yang berusia lebih dari 65 tahun. Pengobatan
5

hipertensi menjanjikan penurunan kejadian stroke baik iskemik maupun

hemoragik (Longo dkk., 2012).

Ginjal merupakan organ target dan penyebab hipertensi. Penyakit ginjal

primer adalah etiologi yang paling umum dari hipertensi sekunder. Mekanisme

hipertensi yang terkait dengan ginjal meliputi berkurangnya kapasitas untuk

mengekskresikan natrium, sekresi renin berlebihan yang berkaitan dengan volume

darah, dan sistem saraf simpatik yang terlalu aktif. Sebaliknya, hipertensi

merupakan faktor risiko untuk cedera ginjal dan penyakit ginjal tahap akhir

(Longo dkk., 2012).

Selain berkontribusi pada patogenesis hipertensi, pembuluh darah dapat

menjadi organ target untuk penyakit aterosklerosis sekunder terhadap tekanan

darah tinggi yang berkepanjangan. Pasien hipertensi dengan penyakit arteri di

ekstremitas bawah risikonya meningkat untuk menderita penyakit kardiovaskular

di masa depan (Longo dkk., 2012).

2.1.5. Diagnosis Hipertensi

Diagnosis diperlukan untuk mengetahui akibat hipertensi bagi penderita,

jarang untuk menetapkan sebab hipertensi itu sendiri. Penelitian epidemiologi

menunjukkan bahwa risiko kerusakan ginjal, jantung dan otak berkaitan secara

langsung dengan derajat peningkatan tekanan darah. Risiko tersebut perlu segera

mendapat terapi secara proporsional meningkat sesuai dengan besarnya kenaikan

tekanan darah. Diagnosis hipertensi berdasarkan pengukuran tekanan darah yang

berulang dan bukan dari gejala yang dilaporkan penderita. Kenyataannya,

hipertensi sering tidak menimbulkan gejala sampai kerusakan organ sasaran

hampir atau telah terjadi (Katzung dkk., 2007).


6

Penilaian awal pasien hipertensi harus mencakup riwayat dan pemeriksaan

fisik yang lengkap untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, mencari faktor

risiko penyakit kardiovaskular lainnya, mencari penyebab sekunder hipertensi,

mengidentifikasi konsekuensi kardiovaskular dari hipertensi dan penyakit

penyerta yang lain, menilai tekanan darah terkait gaya hidup, dan menentukan

potensi intervensi (Longo dkk., 2012).

Pengukuran tekanan darah yang baik tergantung pada teknik dan kondisi

pengukuran. Setidaknya dua pengukuran harus dilakukan. Berat dan tinggi badan

perlu dicatat. Pada pemeriksaan awal, tekanan darah harus diukur di kedua lengan

dan sebaiknya dalam posisi telentang, duduk, dan posisi berdiri untuk

mengevaluasi hipotensi postural. Denyut jantung juga harus dicatat. Penderita

hipertensi memiliki peningkatan prevalensi fibrilasi atrium. Leher harus dipalpasi

untuk menilai pembesaran kelenjar tiroid serta melihat tanda hipo/hipertiroidisme.

Pemeriksaan pembuluh darah dapat memberikan petunjuk tentang penyakit

vaskular yang mendasari dan harus mencakup pemeriksaan funduskopi, auskultasi

bruit pada karotis dan arteri femoral, dan palpasi femoral. Pemeriksaan fisik juga

harus mencakup evaluasi untuk menilai tanda-tanda CHF dan pemeriksaan

neurologis (Longo dkk., 2012).

2.2 Penatalaksanaan Hipertensi

Hipertensi memberikan masalah yang unik dalam pengobatan. Hipertensi

biasanya merupakan penyakit seumur hidup yang hanya menimbulkan sedikit

gejala sampai stadium lanjut. Sekali diagnosis hipertensi ditegakkan, harus

dipertimbangkan apakah perlu diobati dan obat mana yang harus dipakai.
7

Pemilihan pengobatan ditentukan oleh tingginya tekanan darah, umur dan jenis

kelamin pasien, keberadaan dan beratnya kerusakan organ sasaran, ada tidaknya

risiko kardiovaskular, dan keberadaan penyakit lain (Katzung dkk., 2007).

Langkah pertama dalam penatalaksanaan hipertensi adalah

nonfarmakologik. Kontrol tekanan darah dengan diet adalah suatu cara

pengobatan yang relatif tidak berbahaya dan bahkan bisa untuk pencegahan.

Restriksi natrium mungkin efektif untuk pengobatan hipertensi ringan pada

sejumlah pasien. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan sedikit

pembatasan diet natrium saja sudah dapat menurunkan tekanan darah walaupun

tingkat pencapaiannya bervariasi pada banyak penderita hipertensi. Pola makan

yang kaya buah-buahan, sayuran, produk susu rendah lemak dengan pengurangan

kandungan lemah jenuh dan lemak total serta konsumsi alkohol tidak lebih dari

dua kali minum sehari juga menurunkan tekanan darah. Pengurangan berat badan

bahkan tanpa restriksi natrium telah terbukti menormalkan tekanan darah sampai

75% pasien hipertensi ringan sampai sedang dengan kelebihan berat badan.

Latihan fisik teratur ditunjukkan oleh beberapa studi dapat menurunkan tekanan

darah pada pasien hipertensi (Katzung dkk., 2007).

Terapi farmakologik juga harus dipertimbangkan pada setiap pasien.

Hipertensi yang berkepanjangan akan merusak pembuluh-pembuluh darah ginjal,

jantung, dan otak serta menimbulkan peningkatan insiden gagal ginjal, penyakit

koroner, gagal jantung dan stroke. Penurunan tekanan darah dengan obat-obatan

telah terbukti mencegah kerusakan pembuluh darah bahkan menurunkan angka

kesakitan dan kematian secara nyata. Pengetahuan tentang mekanisme

antihipertensi dan tempat kerja obat antihipertensi memungkinkan perkiraan yang


8

tepat akan efektifitas dan toksisitasnya. Penggunaan obat-obat tersebut secara

rasional baik tunggal maupun kombinasi, akan dapat menurunkan tekanan darah

dengan resiko toksisitas berat yang minimal pada kebanyakan penderita (Katzung

dkk., 2007).

Semua obat antihipertensi bekerja pada satu atau lebih dari empat lokasi

kontrol anatomis dan menghasilkan efeknya dengan mengganggu mekanisme

pengaturan tekanan darah yang normal. Obat-obat ini diklasifikasikan berdasarkan

tempat pengaturan utama atau mekanisme pada tempat kerjanya. Karena

mekanisme kerjanya sama, obat-obat dalam setiap kategori cenderung untuk

menghasilkan suatu spektrum toksisitas yang mirip (Katzung dkk., 2007).

2.2.1. Obat yang Mengubah Keseimbangan Natrium dan Air

Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan mendeplesi

simpanan natrium dalam tubuh. Mula-mula diuretik menurunkan tekanan darah

dengan mengurangi volume darah dan curah jantung, tahanan vaskular perifer

mungkin meningkat. Setelah enam sampai delapan minggu, curah jantung kembali

ke normal sedangkan tahanan vaskular perifer menurun. Natrium diduga berperan

dalam tahanan vaskular dengan meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan

reaktivitas saraf. Efek tersebut dilawan oleh diuretik atau oleh pembatasan

natrium. Beberapa diuretik memiliki efek vasodilatasi langsung diamping kerja

diuretiknya, Diuretik efektif menurunkan tekanan darah sebesar 10-15 mmHg

pada sebagian besar penderita dan diuretik sendiri sering memberikan hasil

pengobatan yang memadai bagi hipertensi esensial ringan dan sedang. Untuk

hipertensi yang lebih berat, diuretik digunakan dalam kombinasi dengan obat

simpatoplegik dan vasodilator untuk mengontrol kecenderungan terjadinya retensi


9

natrium yang disebabkan oleh obat-obat tersebut. Efek simpang diuretik yang

paling sering adalah deplesi kalium. Kehilangan kalium bergandengan dengan

reabsorpsi natrium, karena itu pembatasan asupan natrium dalam diet akan

meminimalkan kehilangan kalium. Diuretik bisa juga menyebabkan deplesi

magnesium, merusak toleransi glukosa, meningkatkan kadar lipid serum,

meningkatkan kadar asam urat dan mencetuskan terjadinya gout. Penggunaan

diuretik dosis rendah akan meminimalkan efek samping metabolik tersebut tanpa

mengurangi efek antihipertensinya (Katzung dkk., 2007).

2.2.2. Obat yang Mengubah Sistem Saraf Simpatis

Kebanyakan regimen obat yang efektif bagi penderita hipertensi sedang

hingga berat mengandung suatu agen yang mampu menghambat fungsi sistem

saraf simpatis. Obat-obat dalam kelompok ini diklasifikasikan menurut lokasi

tempat diganggunya lengkung reflleks simpatis. Semua obat-obat yang

menurunkan tekanan darah dengan mengubah fungsi simpatis dapat

mendatangkan efek-efek kompensasi melalui mekanisme di luar saraf adrenergik.

Oleh karena itu, obat-obat anti hipertensi simpatoplegik akan paling efektif bila

digunakan bersamma dengan diuretik (Katzung dkk., 2007).

1. Obat Simpatoplegik yang Bekerja Sentral

Obat-obat ini mengurangi aliran simpatis dari pusat-pusat vasopresor di

batang otak tetapi membiarkan pusat-pusat ini tetap atau bahkan meningkatkan

kepekaannya terhadap kontrol baroreseptor. Efek antihipertensi dan efek toksik

obat ini umumnya tidak begitu tergantung pada posisi tubuh dibandingkan dengan

efek obat yang bekerja secara langsung pada neuron simpatis tepi. Obat

simpatoplegik yang bekerja sentral meliputi, metildopa, klonidin, guanaben dan


10

guanfasin. Metildopa bermanfaat dalam pengobatan hipertensi ringan sampai

sedang. Metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan mengurangi

tahanan pembuluh darah tepi, dengan derajat pengurangan denyut jantung dan

curah jantung yang bervariasi. Penelitian hemodinamik menunjukkan bahwa efek

penurunan tekanan darah klonidin dihasilkan oleh pengurangan curah jantung

yang disebabkan oleh penurunan frekuensi jantung dan relaksasi vena-vena

kapasitan, dengan suatu penurunan resistensi vaskular perifer, khususnya ketika

penderita dalam posisi berdiri (Katzung dkk., 2007).

2. Obat Penyekat Ganglion

Obat-obat yang memblok perangsangan saraf otonom pasca ganglion oleh

asetilkolin seperti trimetafan tidak didapat lagi dalam klinik karena toksisitasnya

yang tidak bisa diterima berkaitan dengan kerja utamanya. Obat penyekat

ganglion secara kompetitif memblok kolineseptor nikotinik pada saraf

pascaganglion di ganglia simpatis dan parasimpatis. Selain itu, obat-obat ini bisa

secara langsung menghambat kanal asetilkolin nikotinik. Efek samping penyekat

ganglion mecakup baik simpatoplegi maupun parasimpatoplegi. Toksisitas yang

berat merupakan alasan utama ditinggalkannya obat penyekat ganglion sebagai

terapi hipertensi (Katzung dkk., 2007).

3. Obat Penyekat Saraf Adrenergik

Obat-obat yang mencegah fisiologi normal pelepasan norepinefrin dari

saraf simpatis pascaganglion meliputi, guanetidin, guanadrel, dan reserpin.

Guanetidin menghambat pelepasan norepinefrin dari ujung-ujung saraf simpatis.

Efek ini mungkin menyebabkan simpatoplegi pada pasien. Aksi hipotensi

guanetidin pada permulaan terapi berupa penurunan curah jantung, disebabkan


11

oleh bradikardia dan relaksasi pembuluh-pembuluh kapasitan. Dengan terapi

jangka panjang, tahanan vaskular tepi akan menurun. Reserpin menghambat

kemampuan vesikel-vesikel transmiter aminergik untuk mengambil dan

menyimpan amin-amin biogenik, kemungkinan dengan cara mengganggu

vesicular membrane-associated transporter (VMAT). Pada penggunaan dosis

rendah untuk pengobatan hipertensi ringan, reserpin menurunkan tekanan darah

melalui suatu kombinasi antara pengurangan curah jantung dan tahanan vaskular

perifer (Katzung dkk., 2007).

4. Obat Penyekat Adrenoseptor

Propanolol adalah obat penyekat β pertama yang efektif untuk pengobatan

hipertensi dan penyakit jantung iskemik. Semua obat golongan penyekat

adrenoseptor β sangat berguna untuk menurunkan tekanan darah pada hipertensi

ringan hingga sedang. Propanolol menurunkan tekanan darah terutama akibat

pengurangan curah jantung. Penyekat β lain yang meliputi, metoprolol, nadolol,

karteolol, atenolol, betaksolol, bisoprolol, pindolol, asebutolol, penbutolol,

labetalol, karvedilol, dan esmolol mungkin mengurangi curah jantung atau

menurunkan tahanan vaskular perifer dalam berbagai derajat, tergantung adanya

selektivitas terhadap jantung dan aktivitas agonis parsial (Katzung, 2007).

Obat penyekat adrenoseptor α yang meliputi prazosin, terazosin, dan

doksazosin menimbulkan hampir seluruh efek antihipertensinya melalui hambatan

selektif pada reseptor α1 di arteriol dan venula. Penyekat alfa menurunkan tekanan

arteri dengan cara mendilatasi pembuluh darah baik resistan maupun kapasitan.

Obat-obat tersebut lebih efektif saat dikombinasi dengan obat lainnya, seperti
12

suatu penyekat beta dan suatu diuretik daripada sebagai obat tunggal (Katzung

dkk., 2007).

2.2.3. Vasodilator

Di dalam golongan obat ini terdapat vasodilator oral, hidralazin dan

minoksidil, yang digunakan untuk pengobatan jangka panjang bagi pasien

hipertensi yang berobat jalan, vasodilator parenteral, nitropusid, diazoksid dan

fenoldopam yang digunakan untuk mengobati hipertensi emergensi dan penyekat

kanal kalsium yang digunakan untuk pengobatan hipertensi berobat jalan maupun

hipertensi emergensi. Semua vasodilator yang bermanfaat untuk pengobatan

hipertensi merelaksasi otot polos arteriol sehingga mengurangi tahanan vaskular

sistematik. Karena refleks simpatis tidak terganggu, terapi vasodilator tidak

menyebabkan hipotensi ortostatik atau disfungsi seksual. Vasodilator paling baik

kerjanya dalam kombinasi dengan obat antihipertensi lain yang melawan respon

kompensasi kardiovaskular (Katzung dkk., 2007).

2.2.4. Penghambat RAAS

Renin, angiotensin, dan aldosteron memegang peran penting setidaknya

pada sebagian individu degan hipertensi primer. Renin bekerja pada

angiotensinogen untuk memecah dekapeptida angiotensin I menjadi oktapeptida

angiotensin II, yang memiliki aktivitas vasokonstriktor arteri dan penahan

natrium. Angiotensin kemungkinan berperan dalam mempertahankan tahanan

vaskular yang tinggi pada keadaan hipertensif yang disertai dengan aktivitas

plasma renin yang tinggi. Walaupun demikian, pada kondisi hipertensi dengan

plasma renin rendah, obat-obat ini akan menurunkan tekanan darah. Dua golongan

obat yang bekerja secara spesifik pada sistem renin-angiotensin adalah


13

penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE) dan penghambat kompetitif

reseptor angiotensin, termasuk losartan dan antagonis nonpeptida lain, serta

antagonis peptida saralasin (Katzung dkk., 2007).

Penghambat ACE meliputi captopril, enalapril, lisinopril, benazepril,

fosinopril, moeksipril, perindropil, kuinapril, ramipril, dan trandolapril. Kecuali

captopril, semuanya adalah suatu prodrug yang diubah menjadi obat aktif melalui

proses hidrolisis terutama di hati. Penghambat angiotensin II menurunkan tekanan

darah terutama dengan mengurangi tahanan vaskular perifer. Curah jantung dan

frekuensi jantung tidak diubah secara nyata (Katzung dkk., 2007).

Losartan, valsartan, kandesartan, eprosartan, irbesartan, dan telmisartan

merupakan obat-obat penyekat reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1). Obat-obat

golongan ini tidak memiliki efek terhadap metabolisme bradikinin sehingga

merupakan penghambat yang lebih selektif terhadap efek angiotensin

dibandingkan dengan obat penghambat ACE. Obat ini juga memiliki potensial

untuk menghambat kerja angiotensin secara lebih menyeluruh dibandingkan

dengan penghambat ACE sebab terdapat enzim-enzim lain selain ACE yang dapat

menghasilkan angiotensin II (Katzung dkk., 2007).

Anda mungkin juga menyukai