Anda di halaman 1dari 3

Nama : Matthew Justico Harya Putra

NIM : 185120600111030
Kelas : C IPM-3

Tugas Individu Etika Pemerintahan


Dilema Para Politisi di Tingkat Lokal : Anatara Mimpi Inovasi dan Demokrasi
(Kajian tentang Dilema Politisi Eksekutif di Kabupaten Bantul dan Jembaran)

Dalam etika pemerintahan ada asumsi bahwa melalui penghayatan etis yang baik
seorang aparatur akan dapat membangun komitmen untuk menjadikan dirinya sebagai teladan
tentang kebaikan dan moralitas pemerintahan. Aparatur pemerintahan yang baik dan
bermoral tinggi akan senantiasa menghindarkan dirinya dari perbuatan tercela, karena ia
terpanggil untuk menjaga kewibawaan Negara. Citra aparatur pemerintahan sangat ditentukan
dari sejauh mana penghayatan etis mereka tercermin di dalam tingkah laku sehari-hari.
Konsep etika telah lama diterima oleh masyarakat beradab di dunia sebagai sesuatu yang
melekat pada peranan sesuatu profesi. Etika menekankan perlunya seperangkat nilai-nilai
diletakkan dan mendapat acuan bagi setiap orang yang menjadi warga dari suatu profesi.
Biasanya nilai-nilai itu kemudian menjadi ukuran tentang baik-buruk, wajar tidak wajar, dan
bahkan benar-salah. Dengan demikian, etika pada dasarnya berkenaan dengan upaya
menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak dalam sebuah kehidupan kolektif yang
profesional. Berangkat dari hal tersebut penulis akan menganalisis tentang bagaimana etika
dilaksanakan oleh para politisi terhadap dua kabupaten yang meraih predikat sebagai best
practices dalam melakukan praktek desentralisasi di Indonesia. Dua kabupaten tersebut
adalah Kabupaten Bantul, Yogyakarta dan Kabupaten Jembrana, Bali.
Dalam studi kasus yang terjadi di Bantul dibawah kepemimpinan Idham Samawi,
banyak inovasi yang terjadi di wilayah Bantul karena kebijakan-kebijakan yang
ditetapkannya. Beragam kebijakan yang dinilai pro terhadap rakyat yaitu. Pertama di sektor
pertanian dengan menetapkan harga pasca panen guna menstandarisasi harga produk. Kedua,
beliau mengeluarkan kebijakan “babonisasi” yang ditujukan terhadap perkembangan gizi
anak dengan memberikan induk ayam betina kepada 91.00 siswa SD di wilayah Bantul. Akan
tetapi kebijakan tersebut tidak berjalan dengan mulus karena banyak induk ayam betina yang
terlebih dahulu mati akibat belum divaksinasi. Ketiga dalam sektor pendidikan melalui
kebijakan mengirimkan 124 guru untuk mengambil program pasca sarjana yang dibiayai
melalui dana APBD dan bantuan terhadap perpustakaan sebesar Rp.300.000 guna
meningkatkan mutu pengajaran. Akan tetapi dari segelintir kebijakan yang dirasa cukup baik,
selama masa kepemimpinan Idham Samawi terdapat kebijakan yang dirasa merugikan
masyarakat Bantul itu sendiri. Seperti pembangunan GOR yang memakan dana APBD cukup
besar yakni 11.5 miliar. Selain itu terdapat temuan mark up, pada pembelian alat-alat rumah
sakit yang jelas tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
Selanjutnya merupakan studi kasus yang terjadi di Kabupaten Jembrana yang terletak
di wilayah Bali, memiliki kemiripan dengan apa yang terjadi di Bantul. Dibawah
kepemimpinan I Gede Winasa seorang profesor, Jembrana di nobatkan sebagai salah satu
kabupaten yang memiliki penerapan kebijakan publik terbaik. Kebijakan pertama yakni,
pembebasan SPP bagi siswa SD sampai SMU baik berstatus negeri maupun swasta. Langkah
tersebut diambil agar masyarakat yang tidak memiliki biaya, dapat tetap menikmati
pendidikan sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Selain itu dibidang
kesehatan, beliau mengeluarkan Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ). Tujuan dari JKJ adalah,
agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak secara cuma-cuma. Akan
tetapi dalam pelaksanaannya, terdapat beragam masalah dibalik kebijakan yang terdengar
baik tersebut. Lalu terdapat kebijakan tiga unit usaha, yaitu usaha koperasi wisata, koperasi
pengolahan daging dan koperasi mekepung. Melalui kebijakan tersebut dapat dilihat kurang
matangnya penggodokan kebijakan di ranah birokrasi, sehingga timbul kerugian dari
kebijakan yang dirasa baik tersebut.
Rasyid berpendapat keberhasilan pejabat pemerintahan di dalam memimpin
pemerintahan harus diukur dari kemampuannya mengembangkan fungsi pelayanan,
pemberdayaan, dan pembangunan.1 Pelayanan akan membuahkan keadilan dalam
masyarakat, pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan
akan menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. Inilah yang sekaligus menjadi misi
pemerintahan di tengah-tengah masyarakat. Etika pemerintahan sebaiknya dikembangkan
dalam upaya pencapaian misi itu. Artinya setiap tindakan yang tidak sesuai, tidak
mendukung, apalagi yang menghambat pencapaian misi itu, semestinya dipandang sebagai
pelanggaran etik. Seperti kedua studi kasus diatas, mereka dapat dipandang sedang
menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau
polongan dengan merugikan kepentingan umum. Mungkin mereka dapat diusut untuk
selanjutnya dibuktikan sebagai pelanggar hukum, tetapi itu akan terjadi jika timbul kesadaran
dari masyarakat dengan cara melapor. Dalam hubungan ini seseorang bisa saja melanggar

1
Ryaas Rasyid. 2000. Makna Pemerintahan Tinjauan Dari Segi Etika Dan Kepemimpinan. Jakarta: Mutiara
Sumber Widya. Hlm. 48-49.
etika dan hukum pada waktu yang bersamaan. Aparatur pemerintahan seyogyanya
menjadikan dirinya sebagai teladan di dalam pelaksanaan etika, hukum dan konstitusi.
Singkatnya setiap warga masyarakat berhak memperoleh pelayanan dan perlakuan yang adil
dari pemerintah berdasarkan nilai-nilai etika dan hukum yang berlaku. Etika pemerintahan
dengan demikian tidaklah berdiri sendiri. Penegakkannya terjalin erat dengan pelaksanaan
prinsip Negara hukum. Itulah sebabnya, sebuah pemerintahan yang bersih segala tingkah laku
dan kebijakannya serta berangkat dari komitmen moral yang kuat, hanya bisa diharapkan
dalam Negara hukum. Namun pemerintahan yang benar-benar bersih tersebut, tetap sulit
terwujud.

REFERENSI

Rasyid, Ryaas. 2000. Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan.
Jakarta: Mutiara Sumber Widya.

Anda mungkin juga menyukai