Anda di halaman 1dari 8

Skenario 5: Ada Apa dengan Kakek Geri?

Kakek Geri, 78 tahun, dibawa keluarga ke IGD puskesmas karena tidak mau
makan sejak 2 hari sebelumnya. Kakek Geri terlihat mengantuk dan kadang-
kadang berbicara kacau. Seminggu terakhir makan Kakek Geri sudah mulai
berkurang, hanya makan beberapa suap saja. Dokter puskesmas memeriksa
Kakek Geri, kemudian merujuk ke rumah sakit.
Kakek Geri menjalani pemeriksaan yang komprehensif dan ditangani oleh
tim di ruang rawat geriatri terpadu. Dokter memeriksa Kakek Geri, menentukan
status fungsional, kondisi mental, status nutrisi, serta fungsi kognitifnya.
Keluarga menyampaikan bahwa beberapa bulan terakhir Kakek Geri lebih sering
berbaring di tempat tidur. Kakek Geri masih bisa untuk duduk sendiri, namun
untuk berjalan harus dibantu oleh satu orang. Mandi dan makan dibantu oleh
anaknya, bergantian dengan perawat yang datang setiap hari. Kakek Geri
kadang-kadang juga mengompol dan buang air besar di celana. Kondisi ini mulai
dialami Kakek Geri sejak kematian istrinya 6 bulan yang lalu, makin memberat
setelah jatuh di kamar mandi sekitar 1 bulan yang lalu. Kakek Geri sering terlihat
murung dan kadang-kadang menangis. Kakek Geri rutin kontrol ke dokter
keluarga, mendapat 6 macam obat untuk diabetes, hipertensi dan rematik yang
dideritanya.
Saat dirawat, Kakek Geri sering gelisah, tidak tidur pada malam hari, dan
banyak tidur di siang hari. Dokter mengatakan Kakek Geri mengalami delirium
akibat infeksi paru. Saat dirawat Kakek Geri juga ditangani oleh tim rehabilitasi
medik untuk membantu mengatasi keluhannya. Setelah beberapa hari dirawat
kondisi Kakek Geri semakin memburuk, dan akhirnya mengalami henti jantung
dan henti napas. Kakek Geri dinyatakan meninggal dunia. Jenazah Kakek Geri
boleh dibawa pulang setelah diobservasi 2 jam, saat mulai timbul kaku mayat
dan lebam mayat.
Bagaimana Anda menjelaskan kondisi yang terjadi pada Kakek Geri?

STEP 1 : TERMINOLOGI
1. Delirium : kondisi penurunan kesadaran yang bersifat akut dan fluktuatif.
Pengidap mengalami kebingungan parah dan berkurangnya kesadaran
terhadap lingkungan sekitar.
2. Rehabilitasi Medik : terapi yang dilakukan guna mengembalikan fungsi
tubuh yang mengalami masalah. 
3. Kaku mayat : (bahasa Latin: Rigor mortis) adalah salah satu tanda
fisik kematian. Kaku mayat dapat dikenali dari adanya kekakuan yang
terjadi secara bertahap sesuai dengan lamanya waktu pasca kematian
hingga 24 jam setelahnya. Rigor mortis adalah tanda kematian yang dapat
dikenali berupa kekakuan otot yang irreversible yang terjadi pada mayat.
Kelenturan otot dapat terjadi selama masih terdapat ATP yang
menyebabkan serabut aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan
glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin dan
miosin menggumpal dan otot menjadi kaku.
4. Lebam mayat : perubahan warna kulit berupa warna biru kemerahan
akibat terkumpulnya darah di dalam vena kapiler yang dipengaruhioleh
gaya gravitasi di bagian tubuh yang lebih rendah di sepanjang
penghentian sirkulasi. Lebam mayat terbentuk bila terjadi kegagalan
sirkulasi dalam mempertahankan tekanan hidrostatik yang menyebabkan
darah mencapai capillary bed dimana pembuluh-pembuluh darah kecil
afferen dan efferen salung berhubungan. Maka secara bertahap darah
yang mengalami stagnansi di dalam pembuluh vena besar dan cabang-
cabangnya akan dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke bawah, ketempat-
tempat terendah yang dapat dicapai. Mula-mula darah mengumpul di
vena-vena besar dan kemudian pada cabang-cabangnya sehingga
mengakibatkan perubahan warna kulit menjadi merah kebiruan.

STEP 2 & 3 : IDENTIFIKASI MASALAH & BRAINSTORMING

1. Delirium
Delirium adalah gangguan mental serius yang menyebabkan penderita
mengalami kebingungan parah dan berkurangnya kesadaran terhadap
lingkungan sekitar. Gangguan mental tersebut disebabkan perubahan yang cepat
dalam fungsi otak yang terjadi bersamaan dengan penyakit mental atau fisik.
Akibatnya, penderita delirium mengalami kesulitan dalam berpikir, mengingat,
berkonsentrasi, atau tidur. Kondisi delirium dapat menakutkan bagi penderita
dan orang-orang di sekelilingnya. Delirium biasanya bersifat sementara dengan
mengendalikan penyebab serta pemicunya.

Gejala dan Jenis Delirium


Penderita akan menunjukkan gejala perubahan kondisi mental saat mengalami
delirium dalam beberapa jam hingga beberapa hari. Beberapa gejala tersebut
antara lain:
 Berkurangnya kesadaran terhadap lingkungan sekitarnya. Kondisi ini
ditandai dengan sulit fokus pada topik atau mengganti topik
pembicaraan, mudah teralihkan oleh hal-hal yang tidak penting, dan suka
melamun sehingga tidak bereaksi terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya.
 Kemampuan berpikir yang buruk (gangguan kognitif). Kondisi ini
ditandai dengan buruknya daya ingat, terutama untuk jangka pendek,
disorientasi, kesulitan berbicara atau mengingat kata-kata, bicara bertele-
tele, serta kesulitan dalam memahami pembicaraan, membaca dan menulis.
 Gangguan emosional. Penderita delirium akan tampak gelisah, takut atau
paranoid, depresi, mudah tersinggung, apatis, perubahan mood mendadak,
dan perubahan kepribadian.
 Perubahan perilaku. Orang lain akan melihat penderita delirium mengalami
halusinasi, gelisah dan berperilaku agresif, mengeluarkan suara
mengerang atau memanggil, menjadi pendiam dan menutup diri, pergerakan
melambat, serta terganggunya kebiasaan tidur.
Terkadang, gejala delirium dapat memburuk saat malam hari ketika suasana
sekeliling gelap sehingga kondisinya terlihat asing.
Berdasarkan gejala yang ditunjukkan penderita, delirium bisa dibagi menjadi
beberapa jenis, yaitu:
 Delirium hiperaktif. Penderita akan terlihat gelisah, seringkali
berubah mood atau berhalusinasi. Gejala ini paling mudah dikenali.
 Delirium hipoaktif. Penderita akan tampak tidak aktif atau mengurangi
aktivitas gerak, lesu, mengantuk atau tampak linglung.
 Delirium campuran. Penderita akan sering menunjukkan perubahan gejala
dari delirium hiperaktif ke delirium hipoaktif atau sebaliknya.

Penyebab Dan Faktor Risiko Delirium


Banyak kondisi yang dapat menyebabkan otak tidak mendapat pasokan oksigen
atau mengalami gangguan, sehingga terjadi delirium. Beberapa faktor yang dapat
menyebabkan delirium antara lain:
 Konsumsi obat-obatan tertentu atau keracunan obat. Jenis obat yang
mengakibatkan penumpukan zat dalam otak adalah obat pereda nyeri,
obat tidur, antialergi (antihistamin), obat asma, kortikosteroid, obat untuk
kejang, obat penyakit Parkinson, serta obat untuk gangguan mood.
 Kecanduan alkohol dan gejala putus alkohol.
 Keracunan, misalnya sianida atau karbon monoksida.
 Operasi atau prosedur medis lainnya yang melibatkan pembiusan.
 Penyakit kronis atau berat, seperti gagal ginjal.
 Malnutrisi atau dehidrasi.
 Gangguan tidur atau gangguan emosi.
 Gangguan elektrolit.
 Demam akibat infeksi akut (misalnya akibat gejala tipes), khususnya pada
anak.
Beberapa faktor yang meningkatkan risiko seseorang terkena delirium adalah:
 Memiliki kelainan pada otak.
 Berusia lanjut atau di atas usia 65 tahun.
 Pernah mengalami delirium sebelumnya.
 Mengalami gangguan penglihatan atau pendengaran.
 Menderita kombinasi beberapa penyakit.

Diagnosis Delirium
Guna menegakkan diagnosis delirium, dokter perlu menanyakan riwayat
penyakit pasien Selain itu, informasi dari keluarga atau orang terdekat pasien
juga dibutuhkan agar diagnosis menjadi akurat.
Terdapat beberapa pemeriksaan yang bisa dilakukan dokter untuk mendiagnosis
delirium, yaitu:
 Pemeriksaan fisik dan neurologis. Dokter akan melakukan pemeriksaan
fisik untuk memeriksa gangguan atau penyakit yang bisa menyebabkan
delirium, dan untuk menentukan tingkat kesadaran pasien. Pada
pemeriksaan neurologis, dokter akan memeriksa kondisi penglihatan,
keseimbangan, koordinasi, dan refleks.
 Pemeriksaan kondisi kejiwaan. Dokter akan menilai kondisi mental,
perhatian, dan daya berpikir penderita melalui sesi wawancara, pengujian,
dan penyaringan.
 Pemeriksaan penunjang. Dokter mungkin akan menyarankan beberapa
pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya gangguan dalam tubuh. Di
antaranya adalah pemeriksaan darah atau urin untuk uji fungsi hati,
menilai kadar hormon tiroid, paparan zat NAPZA atau alkohol. Selain itu, tes
pencitraan juga dapat dilakukan, berupa pencitraan kepala dengan CT scan
atau MRI, elektroensefalogramdan foto Rontgen dada. Jika
dibutuhkan, analisis cairan serebrospinal akan dilakukan guna memastikan
diagnosis delirium.
Pengobatan Delirium
Tujuan utama pengobatan adalah untuk menangani penyebab munculnya
delirium. Sebagai contoh, pada delirium yang diakibatkan oleh konsumsi obat,
dokter akan menyarankan untuk menghentikan atau mengurangi dosis obat
tersebut. Setelah itu, penanganan ditujukan untuk menciptakan lingkungan yang
sesuai bagi pemulihan tubuh dan menenangkan pikiran penderita.
Selain menangani penyebab, gejala yang timbul juga diatasi. Bagi penderita
delirium yang mengalami rasa cemas, takut, atau halusinasi, maka akan
diberikan obat penenang untuk mencegah bahaya terhadap orang lain dan
lingkungan sekitar. Pemberian obat dapat dikurangi atau dihentikan setelah
gejala delirium mereda.
Terdapat juga terapi pendukung yang bertujuan mencegah komplikasi. Beberapa
terapi pendukung yang bisa diberikan, antara lain:
 Menjaga jalan napas tidak tertutup.
 Menyediakan cairan dan nutrisi yang dibutuhkan tubuh penderita.
 Membantu penderita yang kesulitan menggerakkan tubuh.
 Menangani rasa nyeri yang dialami penderita.
 Sebisa mungkin hindari pengekangan tubuh dengan cara diikat, pemasangan
kateter urine, dan terlalu banyak perubahan di lingkungan sekitar penderita.
Keluarga atau orang terdekat pasien sebaiknya tetap melakukan interaksi
dengannya. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk membantu
mengendalikan gejala pasien, yaitu:
 Bicara pada pasien dengan kalimat singkat dan sederhana.
 Berusaha mengingatkan pasien tentang waktu, tanggal, dan apa yang terjadi
pada saat itu.
 Tetap tenang sewaktu mendengarkan pasien.
 Bantu pasien saat makan dan minum.
 Untuk pasien yang dirawat di rumah sakit, bawakan benda-benda yang
dikenal pasien dari rumah.
 Nyalakan lampu di waktu malam agar pasien dapat melihat kondisi sekitar
saat terbangun.

Komplikasi Delirium
Delirium dapat menimbulkan komplikasi medis, terutama pada penderita
dengan penyakit serius, antara lain berupa penurunan kondisi kesehatan secara
umum, serta penyembuhan yang tidak berjalan baik pasca operasi.

Pencegahan Delirium
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya delirium dan
mencegah delirium bertambah parah, yaitu:
 Menghindari faktor-faktor yang berisiko memperparah delirium, seperti
berganti suasana lingkungan atau membuat kegaduhan.
 Menerapkan kebiasaan tidur yang sehat. Sediakan kamar dan lingkungan
yang tenang, pencahayaan yang baik, termasuk membantu
penderita memiliki aktivitas yang seimbang di siang hari, dapat
membantunya untuk tidur lebih baik di malam hari.
 Terus berupaya menciptakan suasana yang tenang dan stabil. Ini termasuk
menaruh barang-barang yang dikenal penderita di sekitarnya, sediakan
jam dan kalender, dan berupaya untuk bicara dengan suara rendah sehingga
penderita tidak terganggu.
 Memastikan penderita menjalani pola makan yang sehat, mengonsumsi obat-
obatan sesuai rekomendasi dokter, dan berolahraga secara teratur.

2. Patofisiologi Delirium
Hingga saat ini, patofisiologi terjadinya delirium masih belum diketahui dengan
jelas. Setidaknya ada enam mekanisme yang diperkirakan terlibat.
Neuroinflamasi
Inflamasi perifer (akibat infeksi, operasi, atau trauma) dapat menginduksi sel
parenkim otak untuk melepaskan sitokin inflamasi. Akibatnya, terjadi disfungsi
neuron dan sinaps. Pada pasien delirium, ditemukan peningkatan kadar CRP, IL-
6, TNF-α, IL-1RA, IL-10, dan IL-8.
Neuronal Aging
Proses penuaan menyebabkan berbagai perubahan pada otak, yaitu penurunan
aliran darah dan densitas vaskular; berkurangnya neuron; perubahan pada
sistem transduksi sinyal; serta perubahan neurotransmiter pengatur stres
(stress-regulating neurotransmitters). Perubahan ini dapat menyebabkan defisit
kognitif, termasuk delirium. Hipotesis ini juga menjelaskan kerentanan
kelompok lansia mengalami delirium saat mengalami distres.
Stres Oksidatif
Distres pada tubuh (misalnya: infeksi, sakit berat, atau kerusakan jaringan) akan
meningkatkan konsumsi oksigen sehingga ketersediaan oksigen dalam darah
menurun. Tubuh melakukan kompensasi dengan menurunkan metabolisme
oksidatif di otak. Akibatnya, terjadi disfungsi otak yang menimbulkan gejala
delirium. Kondisi ini juga memicu terbentuknya oksigen dan nitrogen reaktif
yang memperparah kerusakan jaringan otak. Kerusakan ini bersifat menetap dan
menyebabkan komplikasi berupa penurunan kognitif permanen.
Perubahan Neurotransmiter
Hipotesis ini menyatakan bahwa delirium disebabkan oleh ketidakseimbangan
neurotransmiter, terutama asetilkolin dan dopamin.
Asetilkolin
Kadar asetilkolin ditemukan menurun pada pasien delirium. Kadar ini kembali
normal setelah pasien tidak lagi delirium. Selain itu, obat-obatan antikolinergik
(penghambat asetilkolin) terbukti dapat menyebabkan delirium.
Dopamin
Dopamin dan asetilkolin memiliki hubungan resiprokal (berlawanan). Terjadi
peningkatan kadar dopamin pada delirium. Pemberian obat golongan
penghambat dopamin juga dapat mengurangi gejala delirium.
Neurotransmiter Lain
Serotonin meningkat pada ensefalopati hepatik dan delirium septik. Agonis
serotonin (obat golongan halusinogen) juga dapat menyebabkan delirium.
Glutamat dalam kadar tinggi berhubungan dengan kejadian delirium. Pada
beberapa kondisi, misalnya hipoksia dan gagal hati, terjadi peningkatan Ca2+.
Akibatnya, terjadi pelepasan glutamat berlebihan yang merusak neuron.
Pada delirium, terjadi perubahan kadar gamma-aminobutyric acid (GABA) dan
histamin. Perubahan dapat berupa peningkatan atau penurunan, tergantung
penyebab delirium.
Neuroendokrin
Hipotesis ini menyatakan bahwa delirium merupakan reaksi stres akut akibat
kadar kortisol yang tinggi. Hormon ini berhubungan dengan peningkatan sitokin
proinflamasi di otak dan kerusakan neuron. Hipotesis neuroendokrin juga
menjelaskan timbulnya delirium pada pasien yang mendapat glukokortikoid
eksogen.
Disregulasi Diurnal
Gangguan siklus sirkadian dapat memengaruhi kualitas dan fisiologi tidur.
Kekurangan tidur dapat memicu munculnya delirium, defisit memori, dan
psikosis.
Melatonin adalah hormon pengatur siklus sirkadian. Suatu studi menunjukkan
adanya hubungan antara kadar melatonin yang rendah dan kejadian delirium.
Studi lain mengatakan bahwa pemberian melatonin eksogen pada pasien rawat
inap mengurangi insiden delirium.

3. Penyebab kaku mayat dan lebam mayat

- Rigor mortis (kaku mayat)


Berasal dari bahasa latin Rigor berarti “stiff” atau kaku, dan mortis yang berarti
tanda kematian (sign of death). Rigor mortis merupakan tanda kematian yang
disebabkan oleh perubahan kimia pada otot setelah terjadinya kematian, dimana
tanda ini susah digerakkan dan dimanipulasi. Awalnya ketika rigor mortis terjadi
otot berkontraksi secara acak dan tidak jelas bahkan setelah kematian somatis.
Rigor mortis adalah tanda kematian yang dapat dikenali berupa kekakuan otot
yang irreversible yang terjadi pada mayat. Kelenturan otot dapat terjadi selama
masih terdapat ATP yang menyebabkan serabut aktin dan miosin tetap lentur.
Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak terbentuk lagi, aktin
dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku.
Lousie pada tahun 1752 adalah orang yang pertama kali menyatakan rigor
mortis sebagai tanda kematian. Rigor mortis bukan merupakan fenomena khas
pada manusia, karena hewan invertebrata dan vertebrata juga mengalami rigor
mortis. Lebih spesifik lagi Nysten pada tahun 1811 melengkapi penemuan
pertama dari rigor mortis.
Kaku mayat dapat dipergunakan untuk menunjukan tanda pasti kematian.
Faktor yang mempengaruhi rigor mortis antara lain :
1. Suhu lingkungan
2. Derajat aktifitas otot sebelum mati
3. Umur
4. Kelembapan
Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin bertambah hingga
mencapai maksimal pada 12 jam postmortem. Kemudian berangsur-angsur akan
menghilang sesuai dengan kemunculannya. Pada 12 jam setelah kekakuan
maksimal (24 jam postmortem) rigor mortis menghilang.
Memperkirakan waktu kematian dengan menggunakan rigor mortis akan
memberikan petunjuk yang kasar, akan tetapi lebih baik daripada lebam mayat
oleh karena progresifitasnya dapat ditentukan. Knigh mengatakan bahwa
perkiraan saat kematian dengan rigor mortis hanya mungkin digunakan sekitar
dua hari, bila suhu tubuh sudah sama dengan suhu lingkungan tetapi
pembusukan belum terjadi. Selain itu penentuan kematian dengan rigor mortis
sangat berpengaruh dengan kondisi lingkungannya.

- Livor mortis (lebam mayat)


Lebam mayat adalah perubahan warna kulit berupa warna biru kemerahan
akibat terkumpulnya darah di dalam vena kapiler yang dipengaruhioleh gaya
gravitasi di bagian tubuh yang lebih rendah di sepanjang penghentian sirkulasi.
Lebam mayat terbentuk bila terjadi kegagalan sirkulasi dalam mempertahankan
tekanan hidrostatik yang menyebabkan darah mencapai capillary bed dimana
pembuluh-pembuluh darah kecil afferen dan efferen salung berhubungan. Maka
secara bertahap darah yang mengalami stagnansi di dalam pembuluh vena besar
dan cabang-cabangnya akan dipengaruhi gravitasi dan mengalir ke bawah,
ketempat-tempat terendah yang dapat dicapai. Mula-mula darah mengumpul di
vena-vena besar dan kemudian pada cabang-cabangnya sehingga mengakibatkan
perubahan warna kulit menjadi merah kebiruan.
Lebam mayat berkembang secara bertahap dan dimulai dengan timbulnya
bercak-bercak warna keunguan dalam waktu kurang dari setengah jam sesudah
kematian dimana bercak-bercak ini intensitasnya menjadi meningkat dan
kemudian bergabung menjadi satu dalam beberapa jam kemudian yang pada
akhirnya akan membuat warna kulit menjadi gelap. Kadang-kadang cabang
darah vena pecah sehingga terlihat bintik- bintik perdarahan yang disebut
tardieu spot.
Lebam mayat mulai terbentuk 30 menit sampai 1 jam setelah kematian somatis
dan intensitas maksimal setelah 8-12 jam postmortem. Sebelum waktu ini, lebam
mayat masih dapat berpindah-pindah jika posisi mayat diubah. Setelah 8-12 jam
postmortem lebam mayaat tidak akan menghilang dan dalam waktu 3-4 hari
lebam masih dapat berubah.
Secara medikolegal yang terpenting dari lebam mayat ini adalah letak dari warna
lebam itu sendiri dan distribusinya. Perkembangan dari lebam mayat ini terlalu
besar variasinya untuk digunakan sebagai indikator penentu saat kematian.
sehingga lebih banyak digunakan untuk menentukan apakah sudah terjadi
manipulasi pada posisi mayat.

Anda mungkin juga menyukai