Anda di halaman 1dari 27

KUMPULAN ARTIKEL

1. KONTRADIKSI DAN TITIK TEMU ANTARA EKOSENTRISME DAN


ANTROPOSENTRISME
2. PERAN SOSIOLOGI LINGKUNGAN DAN EKOLOGI MANUSIA DI
DALAM KONSEP DAN IMPLEMENTASI SUSTAINABLE
DEVELOPMENT
3. DETERMINISME KARAKTERISTIK LINGKUNGAN ALAM TERHADAP
CORAK INTERAKSI KOMUNITAS
Disusun sebagai tugas terstruktur Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Sosiologi
Lingkungan

Dosen Pengampu:
Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:
Nama : Kusmayanti
NIM : L1C018048
Prodi/Kelas : sosiologi / B

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MATARAM
2021
DAFTAR ISI
KONTRADIKSI DAN TITIK TEMU ANTARA EKOSENTRISME DAN
ANTROPOSENTRISME.............................................................................................................3
ABSTRAK...................................................................................................................................3
PENDAHULUAN........................................................................................................................3
PEMBAHASAN..........................................................................................................................4
Paradigma Antroposentrisme...................................................................................................4
PENUTUP..................................................................................................................................10
PERAN SOSIOLOGI LINGKUNGAN DAN EKOLOGI MANUSIA DIDALAM KONSEP
DAN IMPLEMENTASI SUSTAINABLE DEVELOPMENT...................................................11
ABSTRAK.................................................................................................................................11
PENDAHULUAN......................................................................................................................12
PEMBAHASAN........................................................................................................................13
PENUTUP..................................................................................................................................18
DETERMINISME KARAKTERISTIK LINGKUNGAN ALAM TERHADAP CORAK
INTERAKSI KOMUNITAS......................................................................................................19
ABSTRAK.................................................................................................................................19
PENDAHULUAN......................................................................................................................19
PEMBAHASAN........................................................................................................................20
PENUTUP..................................................................................................................................24

2
ARTIKEL 1

KONTRADIKSI DAN TITIK TEMU ANTARA EKOSENTRISME DAN


ANTROPOSENTRISME

ABSTRAK
Terjadinya berbagai kasus lingkungan hidup, tidak dapat dipandang semata-mata dari aspek
teknis atau yuridis, akan tetapi perlu dikaji aspek yang melatarbelakangi terjadinya kasus
tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa terjadinya berbagai kasus lingkungan hidup baik pada
lingkup global, nasional maupun lokal, sebagian besar bersumber dari perilaku manusia yang
tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri. Hal tersebut
sangat terkait dengan cara pandang (paradigma) para pemangku kepentingan (stake holder),
yang mempengaruhi sebagian besar masyarakatnya. Paradigma antroposentrisme yang
banyak dianut selama ini, menempatkan lingkungan hidup hanya sebagai alat untuk
memenuhi kebutuhan manusia (shallow ecological movement). Sudah saatnya paradigma
tersebut dirubah dengan paradigma biosentrisme dan paradigm ekosentrisme (deep ecological
movement), yang menempatkan manusia sebagai makluk biologis dan ekologis, yang sangat
tergantung dengan lingkungan dan memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan
hidup dan alam semesta.

PENDAHULUAN
Lingkungan hidup merupakan sumber kehidupan manusia,binatang,tumbuhan dan
keanekaragaman hayati lainnya. Lingkungan hidup memiliki sistem yang merupakan sistem
kehidupan itu sendiri. Manusia dan seluruh entitas kehidupan, dalam memenuhi
kebutuhannya selalu bersinggungan dengan lingkungan. Oleh karena itu dalam setiap aspek
kegiatan manusia, harus memperhatikan aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan,
agar tetap terjaga keseimbangan yang harmonis dalam ekologi. Seluruh kegiatan manusia
yang berhubungan dengan lingkungan akan menjadi resultante bagi kondisi suatu lingkungan
tertentu. Pengaruh mempengaruhi antara kegiatan manusia dengan lingkungan telah
berkembang menjadi bidang ilmu ekologi, yakni ilmu yang mempelajari hubungan antara
satu organisme dengan yang lainnya, dan antara organisme tersebut dengan lingkungannya.

Sedemikian pentingnya peran dan fungsi lingkungan hidup bagi kehidupan manusia dan
seluruh makluk di bumi, maka upaya perlindungan lingkungan hidup merupakan prioritas

3
yang harus dilakukan oleh seluruh umat manusia, agar kelangsungan sistem kehidupan tetap
terjaga. Upaya perlindungan lingkungan seharusnya dapat diimplementasikan dalam setiap
kegiatan secara berkelanjutan. Namun demikian, hal-hal yang terjadi pada kawasan-kawasan
ekploitasi sumber daya alam hingga pesisir dan perkotaan, sangat bertolak belakang dengan
upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Krisis warga akibat memburuknya kualitas
lingkungan semakin meluas, bersamaan meluasnya daratan yang diekstraksi minyak dan
gasnya, digali mineralnya, ditebang hutannya, hingga dicemarinya waduk, sungai dan laut.

Kerusakan lingkungan yang secara sengaja dilakukan tersebut merupakan bentuk


pelanggaran terhadap suatu hak, baik hak asasi manusia maupun hak asasi lingkungan.
Pelanggaran suatu hak mengakibatkan terjadinya ketidakadilan. Oleh karena itu pengabaian
aspek perlindungan lingkungan dalam setiap kegiatan, merupakan bentuk pelanggaran
terhadap keadilan ekologi, yaitu keadilan bagi manusia dan lingkungan yang diwujudkan
dalam bentuk penghormatan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup, sehingga dapat
terpelihara lingkungan yang baik dan sehat, yang menjamin terwujudnya keseimbangan
dalam ekosistem.

Tuntutan kebutuhan ekonomi seringkali membuat manusia mengabaikan aspek perlindungan


lingkungan. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sering kali lebih
didasarkan pada upaya untuk menarik sebanyak-banyaknya investasi masuk. Sumber daya
alam lebih dipandang dan dipahami dalam konteks economic sense dan belum mengarah
pada ecological and sustainable sense.

Krisis lingkungan global, nasional dan lokal yang terjadi selama ini, sebenarnya bersumber
dari kesalahan fundamental filosofis atas cara pandang manusia mengenai dirinya, alam dan
tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kekeliruan dalam memandang alam dan keliru
menempatkan diri dalam konteks alam semesta, mengakibatkan pola perilaku yang
mengakibatkan kerusakan alam lingkungan. Oleh Karena itu, pembenahannya harus
menyangkut pembenahan cara pandang dan perilaku manusia dalam berinteraksi, baik
dengan sesama manusia maupun dengan lingkungan alam dalam keseluruhan ekosistem.

PEMBAHASAN

Paradigma Antroposentrisme
Kerusakan (krisis) lingkungan yang terus-menerus terjadi selama ini, salah satu faktor
penyebabnya adalah kesalahan cara pandang (paradigma) yang mengacu pada etika

4
Antroposentrisme. Akibat cara pandang ini, telah menuntun manusia untuk berperilaku
tertentu, baik terhadap sesamanya maupun terhadap alam lingkungan. Paradigma
Antroposentrisme memadang bahwa manusia sebagai pusat dari alam semesta dan hanya
manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar sebagai alat
pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.Nilai tertinggi adalah manusia dan
kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala
sesuatu yang lain yang ada di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian,
sejauh dapat menunjang dan demi kepentingan manusia. Manusia dianggap sebagai penguasa
alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam, termasuk melakukan eksploitasi alam
dan segala isinya, karena alam/lingkungan dianggap tidak mempunyai nilai pada diri sendiri.

Etika hanya berlaku bagi manusia. Segala tuntutan mengenai kewajiban dan tanggung jawab
moral terhadap lingkungan hidup, dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan dan tidak pada
tempatnya. Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam hanya merupakan perwujudan
kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia. Pola hubungan manusia dan
alam hanya dilihat dalam konteks instrumental. Alam dinilai sebagai alat bagi kepentingan
manusia. Kepedulian manusia terhadap alam, semata-mata dilakukan demi menjamin
kebutuhan manusia. Suatu kebijakan dan tindakan yang baik dalam kaitannya dengan
lingkungan hidup akan dinilai baik apabila mempunyai dampak yang menguntungkan bagi
kepentingan manusia.

Hubungan manusia dan alam tersebut bersifat egoistis, karena hanya mengutamakan
kepentingan manusia. Sedangkan kepentingan alam semesta dan makluk hidup lainnya, tidak
menjadi pertimbangan moral. Paradigma Antroposentrisme yang bersifat instrumentalistik
dan egoistis tersebut, mendorong manusia untuk mengeksploitasi dan menguras alam demi
kepentingannya, tanpa memberi perhatian yang serius bagi kelestarian alam. Kepentingan
manusia disini, sering kali diartikan sebagai kepentingan yang bersifat jangka pendek,
sehingga menjadi akar dari berbagai krisis lingkungan.

Oleh karena memiliki ciri-ciri tersebut, maka paradigma Antroposentrisme dianggap sebagai
sebuah etika lingkungan yang dangkal dan sempit (Shallow environmental ethics). Etika
Antroposentrisme bersumber dari pandangan Aristoteles dan para filsuf modern. Aristoteles
dalam bukunya The Politics menyatakan: tumbuhan disiapakan untuk kepentingan binatang,
dan binatang disediakan untuk kepentingan manusia. Berdasarkan argumen tersebut, maka
dapat dipahami bahwa setiap ciptaan yang lebih rendah dimaksudkan untuk kepentingan

5
ciptaan yang lebih tinggi. Karena manusia merupakan ciptaan yang paling tinggi dari pada
ciptaan yang lain, maka manusia berhak menggunakan semua ciptaan, termasuk semua
makluk hidup lainnya, demi memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Manusia boleh
memperlakukan ciptaan yang lebih rendah sesuai dengan kehendaknya dan menggunakan
sesuai dengan keinginannya. Hal itu syah, karena demikianlah kodrat kehidupan dan tujuan
penciptaan. Pada gilirannya, manusia adalah alat dan siap untuk digunakan sesuai kehendak
Tuhan.

Thomas Aquinas, Rene Descartes dan Immanuel Kant menyatakan bahwa manusia lebih
tinggi dan terhormat dibandingkan dengan makluk ciptaan lainnya, karena manusia adalah
satu-satunya makluk bebas dan rasional (The free and rational being). Manusia adalah satu-
satunya makluk hidup yang mampu menggunakan dan memahami bahasa, khususnya bahasa
symbol untuk berkomunikasi.Manusia adalah makluk hidup yang mampu menguasai dan
menggerakkan aktivitasnya sendiri secara sadar dan bebas. Ia adalah makluk berakal budi
yang mendekati keilahian Tuhan, sekaligus mengambil bagian dalam keilahian Tuhan.
Manusia menentukan apa yang ingin dilakukan dan memahami mengapa ia melakukan
tindakan tertentu. Demikian pula, ia mampu mengkomunikasikan isi pikiranya dengan
sesama manusia melalui bahasa. Kemampuan-kemampuan ini tidak ditemukan pada binatang
dan makluk lainnya, sehingga manusia dianggap lebih tinggi kedudukannya dari pada ciptaan
yang lain. Sebagai makluk yang lebih tinggi, karena bebas dan rasional, Tuhan menciptakan
dan menyediakan segala sesuatu di bumi ini demi kepentingan manusia.

Rene Descartes lebih lanjut menegaskan bahwa manusia mempunyai tempat yang istimewa
di antara semua makluk hidup, karena manusia mempunyai jiwa yang memungkinkannya
untuk berpikir dan berkomunikasi dengan bahasa. Sedangkan binatang adalah makluk yang
lebih rendah, karena hanya memiliki tubuh, yang hanya sekedar sebagai mesin yang bergerak
secara otomatis. Binatang tidak mempunyai jiwa yang memungkinkan bisa bergerak
berdasarkan pemikirannya atau pengetahuannya sendiri. Binatang hanya bergerak secara
mekanis dan otomatis, seperti halnya arloji, yang telah disetel Tuhan untuk bergerak secara
tertentu.

Memperkuat pendapat tersebut, Immanuel Kant menegaskan bahwa hanya manusia yang
merupakan makluk rasional, sehingga diperbolehkan menggunakan makluk non rasional
lainnya untuk mencapai tujuan hidup manusia, yakni mencapai suatu tatanan dunia yang
rasional. Oleh karena makluk selain manusia dan semua entitas alamiah lainnya tidak

6
memiliki akal budi, maka mereka tidak berhak untuk diperlakukan secara moral dan manusia
tidak mempunyai kewajiban serta tanggung jawab moral terhadapnya. Semua entitas alam
dan binatang hanyalah sebagai alat dan syah digunakan untuk memenuhi tujuan hidup
manusia. Apabila manusia melakukan kewajiban terhadap alam semesta dan binatang, maka
kewajiban tersebut merupakan kewajiban tidak langsung terhadap sesama manusia lainnya.

Atas dasar pendapat beberapa filsuf diatas, maka terdapat tiga kesalahan mendasar terkait
cara pandang etika Antroposentrisme, yaitu:

1. Manusia dipahami hanya sebagai makluk sosial (social animal), yang eksistensi dan
identitas dirinya ditentukan oleh komunitas sosialnya.dalam pemahaman ini, manusia
berkembang menjadi dirinya dalam interaksi dengan sesame manusia didalam
komunitas sosialnya. Identitas dirinya dibentuk oleh komunitas sosialnya,
sebagaimana dia sendiri ikut membentuk komunitas sosialnya. Manusia tidak dilihat
sebagai makluk ekologi yang identitasnya ikut dibentuk oleh alam.
2. Etika hanya berlaku bagi komunitas sosial manusia. Norma dan nilai moral hanya
dibatasi keberlakukanya bagi manusia. Hanya manusia yang merupakan pelaku moral,
yakni makluk yang mempunyai kemampuan untuk bertindak secara moral
berdasarkan akal budi dan kehendak bebasnya. Alam dan segala isinya diperlakukan
sebagai alat ditangan manusia.
3. Kesalahan cara pandang Antroposentrisme tersebut diperkuat oleh paradigma ilmu
pengetahuan dan teknologi modern yang Cartesian dengan ciri utama mekanistis-
reduksionistis. Paradigma ini memisahkan secara tegas antara alam sebagai obyek
ilmu pengetahuan dan manusia sebagai subyek, pemisahan yang tegas antara nilai dan
fakta, serta membela paham bebas nilai dalam ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan dipandang bersifat otonom sehingga dikembangkan dan diarahkan hanya
untuk ilmu pengetahuan. Dengan demikian penilaian baik buruk ilmu pengetahuan dan
teknologi beserta segala dampaknya dari segi moral atau agama dinilai tidak relevan. Hal ini
melahirkan sikap dan perilaku manipulatif dan eksploitatif terhadap alam yang pada giliranya
melahirkan berbagai krisis ekologi seperti sekarang ini.

Pendapat yang berbeda, dikemukakan oleh penganut paradigma antroposentrisme lainnya,


yaitu W.H. Murdy dan F. Frase Darling. Menurut Murdy bahwa semua makluk di dunia ini
ada dan hidup sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, wajar dan alamiah apabila
manusia manilai dirinya lebih tinggi disbanding makluk lainnya. Demikian juga makluk yang

7
lainnya. Tetapi manusia mau tidak mau akan menilai tinggi alam semesta beserta seluruh
isinya, karena kelangsungan hidup manusia dan kesejahteraannya sangat tergantung dari
kualitas, keutuhan dan stabilitas ekosistem seluruhnya.

Menurut Murdy, yang menjadi masalah bukan kecenderungan antroposentrisme pada diri
manusia, tetapi adalah tujuan-tujuan tidak pantas dan berlebihan yang dikejar oleh manusia di
4luar batas toleransi ekosistem itu sendiri. Sepanjang manusia menggunakan alam dan
seluruh isinya untuk kebutuhannya secara tepat (proper ends), maka hal ini masih dibenarkan
secara moral. Namun apabila menggunakan pendekatan antroposentrisme yang berlebihan,
maka inilah awal malapetaka yang menimbulkan krisis lingkungan hidup.

F. Fraser Darling yang juga seorang pendukung paradigma Antroposentrime, berpendapat


bahwa manusia memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies lain,
sehingga manusia disebut sebagai aristokrat biologis, yang mempunyai kekuasaan atas
makluk hisup lainnya. Manusia mempunyai posisi istimewa di alam semesta ini, dan
menempati sebagai puncak rantai makanan dan piramida kehidupan. Oleh karena kedudukan
manusia sebagai aristokrat biologis tersebut, maka manusia harus melayani semua yang ada
di bawah kekuasaannya secara baik dan sekaligus mempunyai tanggung jawab moral untuk
menjaga dan melindunginya (etika lingkungan).

Dari paparan pendapat diatas, kita ketahui bahwa sebagai sebuah paradigma,
Antroposentrisme cukup kontroversial dan menimbulkan perdebatan yang cukup tajam
diantara para penganutnya hingga sekarang. Disatu sisi, paradigma ini dituduh sebagai biang
penyebab kerusakan lingkungan. Namun disisi lain, paradigma Antroposentrisme juga
banyak dibela para penganutnya, karena validitas argumennya yang cukup mendasar dan
tawaran etika lingkungan yang mendorong manusia untuk menjaga lingkungan. Banyak
kalangan menilai bahwa yang salah bukanlah antroposentrisme itu sendiri, melainkan
pelaksanaan antroposentrisme yang berlebihan.

Paradigma Ekosentrisme

Sebagaimana paradigma biosentrisme, paradigma ekosentrisme ini merupakan paradigma


yang menentang cara pandang yang dikembangkan oleh antroposentrisme, yang membatasi
keberlakuan etika pada komunitas manusia. Ekosentrisme sering kali disebut sebagai
kelanjutan dari biosentrisme, karena keduanya memiliki kesamaan dasar pandangan.
Paradigma ekosentrisme menyampaikan pandangannya bahwa secara ekologis, makluk hidup
dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lainnya. Kewajiban dan tanggung

8
jawab moral tidak hanya dibatasi pada makluk hidup, tetapi juga berlaku terhadap semua
realitas ekologis.

Arne Naess, seorang filsuf asal Norwegia, yang merupakan salah satu tokoh paradigma
ekosentrisme, mengemukakan sebuah pandangan yang dikenal dengan Deep Ecology.
Pandangan ini adalah suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada
makluk hidup seluruhnya dalam kaitan untuk mengatasi persoalan lingkungan
hidup.pandangan ini mengajak semua orang untuk melakukan perubahan mendasar pada
semua bidang dalam rangka menyelamatkan lingkungan.

Terdapat dua hal yang mendasar dalam Deep Ecology, yaitu:

1. Manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala sesuatu yang lain.
Manusia bukan pusat dari dunia moral, tetapi memusatkan perhatian pada biosphere
seluruhnya, yakni kepentingan seluruh komunitas ekologis perhatian bersifat jangka
panjang.
2. Etika lingkungan hidup yang dikembangkan dirancang sebagai sebuah etika praktis,
berupa sebuah gerakan yang diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret.
Pemahaman baru tentang relasi etis yang ada dalam alam semesta, disertai adanya
prinsip-prinsip baru sejalan dengan relasi etis tersebut, yang kemudian diterjemahkan
dalam aksi nyata di lapangan.

Deep Ecology memiliki filsafat pokok ecosophy. Eco berarti rumah tangga dan sophy berarti
kearifan. Ecosophy diartikan sebagai bentuk kearifan mengatur hidup selaras dengan alam
sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas. Ecosophy meliputi pergeseran dari sebuah
ilmu (science) menjadi sebuah kearifan (wisdom), berupa cara hidup, pola hidup yang selaras
dengan alam. Hal ini berupa gerakan seluruh penghuni alam semesta untuk menjaga secara
arif lingkungannya sebagai rumah tangga. Gerakan ini juga dikenal sebagai sebuah gerakan
filsafat, filsafat lingkungan hidup.

Naess sangat menekankan perlunya perubahan gaya hidup, karena melihat krisis ekologi yang
kita alami sekarang ini berakar pada perilaku manusia yang salah satu manifestasinya adalah
pola produksi dan pola konsumsi yang sangat eksesif dan tidak ekologis, tidak ramah
lingkungan, serta sangat konsumeristis.

Salah satu kesalahan fatal para ekonom adalah adanya anggapan bahwa ekonomi sebagai
segala-galanya dan bukan sebagai salah satu aspek dari kehidupan yang begitu kaya. Ini

9
adalah kesalahan reduksionistis yang mereduksi kehidupan manusia dan maknanya hanya
sebatas makna ekonomis, dimana pertumbuhan ekonomi sebagai hal utama yang harus
dikejar. Artinya bahwa akan semakin banyak sumber daya ekonomi yang dieksploitasi, dan
semakin banyak terjadi kerusakan dan pencemaran lingkungan. Hal ini mengakibatkan suatu
pola hidup yang secara psikologis menyebabkan manusia menjadi maniak dan mabuk harta.

Tidak mengherankan apabila ekonom dianggap sebagai musuh dari para aktivis dan
pemerhati lingkungan. Oleh karena itu perubahan gaya hidup harus mencakup perubahan
pola produksi dan pola konsumsi yang eksesif sebagaimana berlaku dalam masyarakat
modern sekarang ini.

Deep ecology melihat permasalahan lingkungan dalam suatu perspektif relasional yang lebih
luas dan holistik. Akar permasalahn kerusakan dan pencemaran lingkungan dilihat secara
lebih komprehensif dan holistik, untuk kemudian diatasinya secara lebih mendalam.

Krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini, secara filosofis lebih disebabkan oleh kesalahan
fundamental pada cara pandang manusia tentang dirinya, alam dan tempat manusia di alam.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah sebuah perubahan fundamental dan revolusioner
yang menyangkut transformasi cara pandangdan nilai, baik secara pribadi maupun budaya,
yang mempengaruhi struktur dan kebijakan ekonomi dan politik. Perubahan komitmen dan
kebijakan politik yang pro lingkungan sangatlah diperlukan.

Hal ini juga perlu didorong dengan perubahan radikal yang berakar pada perubahan cara
pandang (a radical transformation in worldvew), yang diikuti oleh perubahan mental dan
perilaku, yang tercermin dalam gaya hidup baik sebagai individu maupun kelompok budaya.
Berupa penyadaran kembali akan kesadaran ekologis yang mengakui kesatuan, keterkaitan
dan saling ketergantungan antara manusia, tumbuhan dan hewan serta seluruh alam semesta.

PENUTUP
Paradigma Antroposentrisme memadang bahwa manusia sebagai pusat dari alam semesta dan
hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar sebagai alat
pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.

Paradigma ekosentrisme menyampaikan pandangannya bahwa secara ekologis, makluk hidup


dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lainnya. Kewajiban dan tanggung

10
jawab moral tidak hanya dibatasi pada makluk hidup, tetapi juga berlaku terhadap semua
realitas ekologis.

Krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini, secara filosofis lebih disebabkan oleh kesalahan
fundamental pada cara pandang manusia tentang dirinya, alam dan tempat manusia di alam.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah sebuah perubahan fundamental dan revolusioner
yang menyangkut transformasi cara pandangdan nilai, baik secara pribadi maupun budaya,
yang mempengaruhi struktur dan kebijakan ekonomi dan politik, berupa penyadaran kembali
akan kesadaran ekologis yang mengakui kesatuan, keterkaitan dan saling ketergantungan
antara manusia, tumbuhan dan hewan serta seluruh alam semesta.

ARTIKEL 2

PERAN SOSIOLOGI LINGKUNGAN DAN EKOLOGI MANUSIA DIDALAM


KONSEP DAN IMPLEMENTASI SUSTAINABLE DEVELOPMENT

ABSTRAK
Pemahaman tentang paradigma pembangunan yang berpusatkan pada rakyat (People
Centered Development), diawali dengan pemahaman tentang Ekologi Manusia, yang menjadi
pusat perhatian pembangunan. Ekologi manusia dalam ekosistem merupakan salah satu
kajian dari Ekologi. menyatakan bahwa ekosistem dikaji oleh Ekologi, sedangkan lingkungan
hidup dikaji oleh Ilmu Lingkungan yang landasan pokoknya adalah Ekologi, serta dengan
memperhatikan disiplin lain, terutama Ekonomi dan Sosiologi. Ekologi Manusia menjadi
landasan berkembangnya paradigma pembangunan yang berpusatkan pada rakyat. Adapun
landasan Ilmu Lingkungan adalah Ekologi, maka Ilmu Lingkungan dapat disebut sebagai
Ekologi Terapan (Applied Ecology) yakni penerapan prinsip dan konsep Ekologi dalam
kehidupan manusia. Perspektif Ilmu Lingkungan dalam paradigma pembangunan dikenal
sebagai Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan (Environmental Development).
11
PENDAHULUAN
Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal-balik makhluk hidup (biotik) sesamanya dan
dengan benda-benda non-hidup (abiotik) di sekitarnya. Jadi Ekologi adalah juga ilmu tentang
rumah tanggamakhluk hidup dan lingkungannya. Sebagai bagian dari makhluk hidup,
peranan dan perilaku manusia dipelajari secara khusus dalam Ekologi Manusia, sehingga
Ekologi Manusia berarti Ekologi yang memusatkan pengkajian pada manusia sebagai
individu maupun sebagai populasi dalam suatu ekosistem. Ekologi dan Ekonomi adalah dua
hal yang berakar kata yang sama : oikos (rumah tangga), yang satu tentang rumah tangga,
yang kedua tentang pengelolaan rumah tangga. Antara kedua pandangan tersebut tidak jarang
keduanya berbenturan satu sama lain. Seolah-olah keduanya berada dalam dua jaringan atau
sistem yang berbeda. Padahal sebenarnya rumah tangga manusia itu juga merupakan bagian,
atau harus berada secara serasi dan didukung secara kesinambungan (sustainable) dalam dan
oleh rumah tangga makhluk hidup di lingkungannya. Benturan tersebut terjadi berakar dari
pengaturan tata-ruang dalam ekosistem.

Pembangunan haruslah menempatkan rakyat sebagai pusat perhatian dan proses


pembangunan harus menguntungkan semua pihak. Dalam konteks ini, masalah kemiskinan,
kelompok rentan dan meningkatnya pengangguran perlu mendapat perhatian utama karena
bisa menjadi penyebab instabilitas yang akan membawa pengaruh negatif, seperti longgarnya
ikatan-ikatan sosial dan melemahnya nilai-nilai serta hubungan antar manusia. Karena itu,
komitment dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan cara-cara yang adil dan tanpa
mengecualikan

rakyat miskin, meningkatkan keterpaduan sosial dengan politik yang didasari hak asasi,
nondiskriminasi dan memberikan perlindungan kepada mereka yang kurang beruntung;
merupakan hakekat dari paradigma pembangunan berpusatkan pada rakyat.

Strategi pembangunan berpusat pada rakyat memiliki tujuan akhir untuk memperbaiki
kualitas hidup seluruh rakyat dengan aspirasi-aspirasi dan harapan individu dan kolektif,
dalam konsep tradisi budaya dan kebiasaan-kebiasaan mereka yang sedang berlaku. Tujuan
objektif dalam strategi pembangunan berpusat pada rakyat pada intinya memberantas
kemiskinan absolut, realisasi keadilan distributif, dan peningkatan partisipasi masyarakat
secara nyata. Prioritas awal diperuntukkan pada daerah yang tidak menguntungkan dan

12
kelompok-kelompok sosial yang rawan terpengaruh, termasuk wanita, anak-anak, generasi
muda yang tidak mampu, lanjut usia, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.

Seiring dengan berkembangnya pembangunan yang berorietasi pada pertumbuhan ekonomi,


maka berkembang pendekatan yang berpusat pada rakyat. Model pendekatan pembangunan
yang berpusat pada rakyat sebenarnya merupakan antitesis dari model pembangunan yang
berorientasi pada produksi. Untuk model pembangunan yang berorientasi pada produksi ini,
termasuk didalamnya model-model pembangunan ekonomi yang memposisikan pemenuhan
kebutuhan sistem produksi lebih utama daripada kebutuhan rakyat.

Model pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat lebih menekankan kepada
pemberdayaan, yaitu menekankan kenyataan pengalaman masyarakat dalam sejarah
penjajahan dan posisinya dalam tata ekonomi international. Karena itu pendekatan ini
berpendapat bahwa masyarakat harus menggugat struktur dan situasi keterbelakangan secara
simultan dalam berbagai tahapan. Korten (1993) menyatakan konsep pembangunan berpusat
pada rakyat memandang inisiatif kreatif dari rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang
utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin
dicapai oleh proses pembangunan.

PEMBAHASAN
Manusia dan lingkungan merupakan variabel endogen yang utama, yaitu sebagai titik tolak
bagi perencanaan pembangunan, sehingga perspektif dasar dan metode analisis dalam
pendekatan pembangunan ini yaitu Ekologi Manusia - yaitu kajian mengenai interaksi antara
sistem manusia dan ekosistem. Pendekatan ini juga mempersoalkan dua asumsi yang
terkandung dalam model-model pembangunan ekonomi; pertama, bahwa pembangunan
dengan sendirinya membantu setiap orang, dan kedua, bahwa masyarakat ingin diintegrasikan
dalam arus utama suatu pembangunan model barat, dimana mereka tidak punya pilihan untuk
merumuskan jenis masyarakat yang mereka inginkan. Dengan menggunakan waktu sebagai
ukuran dasar perubahan, dalam pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat
dibedakan antara strategi jangka panjang dengan strategi jangka pendek. Strategi jangka

13
panjang diperlukan untuk menghancurkan struktur ketimpangan sosial, kelas dan bangsa.
Prasarat dasar bagi proses ini termasuk pembebasan nasional dari dominasi kolonialisme dan
neokolonialisme, pergeseran dari strategi pertanian yang berorientasi ekspor, dan kontrol
yang lebih besar terhadap aktivitas-aktivitas perusahaan-perusahaan multinasional. Strategi
jangka pendek didefinisikan sebagai kebutuhan untuk menemukan cara-cara menghadapi
krisis-krisis yang sedang berlangsung, dengan membantu masyarakat dalam produksi pangan
melalui peningkatan diversifikasi pertanian, sebagaimana juga kesempatan kerja di sektor
formal dan informal.

Pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat berupaya membangkitkan kesadaran


masyarakat untuk menggugat subordinasi mereka melalui organisasi-organisasi lokal secara
bottom-up. Oganisasi yang dianggap paling efektif adalah organisasi yang bermula dengan
kebutuhan praktis masyarakat yang konkrit yang berkaitan dengan persoalan kesehatan,
ketenagakerjaan dan penyediaanpelayanan dasar, tetapi yang dapat memanfaatkan isu-isu
tersebut sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan strategis masyarakat dalam suatu konteks
sosial politik tertentu. Dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat mengidentifikasikan
kebutuhan praktis dan strategis melalui pemberdayaan atau penguatan diri masyarakat. Oleh
karena itu penting melakukan kategorisasi kebutuhan praktis dan strategis masyarakat untuk
menghindari waktu sebagai determinan perubahan, karena perubahan jangka pendek belum
menjamin transformasi jangka panjang, dan pemenuhan kebutuhan praktis masyarakat tidak
secara otomatis berarti terpenuhinya kebutuhan strategis masyarakat. Kebutuhan praktis yang
dimaksud yaitu berbagai kebutuhan dasar manusia.

Sementara itu, kebutuhan strategis mencakup kemampuan dasar untuk mengakses fasilitas
pelayanan sosial dan pemenuhan hak-hak individu, kelompok dan masyarakat dalam
mencapai kualitas hidup dan kesejahteraan sosial. Usaha untuk memenuhi kebutuhan
strategis tersebut adalah arena pekerjaan sosial yang selama ini diyakini sebagai suatu profesi
yang memiliki kemampuan dalam pemberdayaan masyarakat. Zaman baru yang dibayangkan
melalui pendekatan pembangunan yang berpusat pada rakyat mensyaratkan pula transformasi
struktur-struktur yang mensubordinasi dalam ekologi manusia, yang telah demikian menindas
masyarakat. Perubahan hukum, aturan kemasyarakatan, sistem hak milik dan kontrol atas
masyarakat, aturan perburuhan, institusi sosial dan legal yang melindungi kontrol sosial

14
masyarakat merupakan hal yang sangat penting jika masyarakat ingin memperoleh keadilan
dalam suatu tatanan sosial politik tertentu.

Dalam cara mencapai kebutuhan-kebutuhan itulah, pendekatan pembangunan yang berpusat


pada rakyat melalui strategi pemberdayaan secara mendasar sangat berbeda dengan
pendekatan-pendekatan pembangunan yang lain. Pendekatan ini berupaya untuk mencapai
kebutuhan strategis masyarakat secara tidak langsung melalui kebutuhan praktis masyarakat,
dengan menghindari konfrontasi secara langsung dengan membangun kebutuhan praktis
masyarakat sebagai basis untuk membangun landasan yang kuat, sebagai sarana untuk
mencapai kebutuhan strategis. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan
potensi ekonomi rakyat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya,
terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya
yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak saja menumbuhkan
dan mengembangkan nilai tambah ekonomis, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah
budaya.

Kajian strategis pemberdayaan masyarakat, baik ekonomi, sosial, budaya dan politik menjadi
penting sebagai input untuk reformulasi pembangunan yang berpusat pada rakyat, yang
memberikan peluang bagi masyarakat untuk membangun secara partisipatif. Dalam
pembangunan partisipatif, pemberdayaan merupakan salah satu strategi yang dianggap tepat
jika faktor-faktor determinan dikondisikan sedemikian rupa agar esensi pemberdayaan tidak
menjadi terdistorsi.

Prinsip pembangunan yang partisipatif menegaskan bahwa rakyat harus menjadi pelaku
utama dalam pembangunan. Hal ini membutuhkan kajian strategis tentang restrukturisasi
sistem sosial pada tingkat mikro, mezzo dan makro; sehingga masyarakat lokal dapat
mengembangkan potensi tanpa adanya hambatan eksternal pada struktur mezzo dan makro.
Struktur mezzo yang dimaksud dapat berupa struktur pemerintah regional setingkat
2Kabupaten/Kota dan Propinsi; sedangkan struktur makro dapat berupa struktur pemerintah
pusat atau nasional. Pola kebijakan yang selama ini dilaksanakan lebih kuat datang dari atas
ke bawah daripada dari bawah ke atas.

Kondisi tersebut mencerminkan perlu adanya pergeseran peran pemerintah, dari peran
sebagai penyelenggara pelayanan sosial menjadi fasilitator, mediator, pemungkin,
koordinator, pendidik, mobilisator, sistem pendukung dan peran-peran lain yang lebih
mengarah pada pelayanan tidak langsung. Adapun peran organisasi lokal, organisasi sosial,

15
LSM dan kelompok masyarakat lain lebih dipacu sebagai agen pelaksana perubahan dan
pelaksana pelayanan sosial kepada kelompok rentan atau masyarakat pada umumnya. Dalam
posisi sedemikian, maka permasalahan sosial ditangani oleh masyarakat atas fasilitasi dari
pemerintah.

Program internasional yang disepakati oleh PBB untuk mewujudkan pembangunan


berkelanjutan antara tahun 2000-2015 adalah Millennium Development Goals (MDGs).
Selanjutnya pada Konferensi Rio-20 yang dilaksanakan pada 13 – 22 Juni 2012 di Rio
Jenairo Brasil disepakati okumen The Future We Want yang menjadi arahan bagi
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen
memuat kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia (common
vision) dan penguatan komitmen untuk menuju pembangunan berkelanjutan (renewing
political commitment). Dokumen ini memperkuat penerapan Rio Declaration 1992 dan
Johannesburg Plan of Implementation 2002. Dalam dokumen The Future We Want, terdapat
3 (tiga) isu utama bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu:

 Green Economy in the context of sustainable development and poverty eradication,


 Pengembangan kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan tingkat global
(Institutional Framework for Sustainable Development),
 kerangka aksi dan instrumen pelaksanaan pembangunan berkelanjutan (Framework
for Action and Means of Implementation).

Kerangka aksi tersebut termasuk penyusunan Sustainable Development Goals (SDGs) post-
2015 yang mencakup 3 pilar pembangunan berkelanjutan yaitu sosial, lingkungan dan
ekonomi. Azaz yang dianut dalam implementasinya adalah inklusif dan transparan, yaitu
terdapat keterbukaan antar pemerintah dan semua pemangku kepentingan dengan maksud
untuk mengembangkan tujuan pembangunan berkelanjutan global yang akan disepakati oleh
PBB.

Berdasarkan laporan ICSU (2015) bahwa Sustainable Development Goals mencakup 17


tujuan yaitu :

1. Pengentasan kemiskinan di seluruh dunia


2. Peningkatan ketahanan pangan dan peningkatan gizi, serta upaya promosi pertanian
berkelanjutan
3. Peningkatan promosi hidup sehat dan kesejahteraan masyarakat.

16
4. Peningkatan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan serta upaya promosi
kesempatan belajar seumur hidup.
5. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan
6. Ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan.
7. Tercapainya energi yang handal yang didukung dengan akses yang berkelanjutan serta
terjangkau bagi seluruh masyarakat.
8. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, kesempatan kerja dan produktifitas serta
pekerjaan yang layak untuk semua.
9. Infrastruktur yang handal dan mendorong inovasi pada indutri yang berkelanjutan
10. Ketimpangan antar negara yang semakin kecil.
11. Tercapainya kota dan pemukiman yang aman dan berkelanjutan
12. Pola produksi dan konsumsi kebutuhan masyarakat yang berkelanjutan.
13. Upaya praktis untuk mereduksi dampak perubahan iklim.
14. Pelestarian sumber daya kelautan yang mendukung pembangunan berkelanjutan.
15. Perlindungan ekosistem darat, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, pencegahan
penggurunan, pencegahan degradasi lahan dan perlindungan keanekaragaman hayati
16. Penciptaan masyarakat yang damai untuk pembangunan berkelanjutan, penyediaan
akses yang efektif dan akuntabel bagi semua masyarakat
17. Peningkatan sarana dan kemitraan yang mendukung pembangunan berkelanjutan

Secara rinci program Sustainable development goals terbagi atas enam komponen yaitu :

enam komponen yaitu :

1. Planet atau perlindungan ekosistem untuk seluruh masyarakat


2. People atau adanya jaminan hidup sehat, pendidikan serta inklusi wanita dan anak
anak
3. Dignity atau memberantas kemiskinan dan ketidakadilan
4. Prosperty atau membangun kemandirian dan transformasi energi
5. Justice atau mempromosikan lingkungan yang aman dan damai yang didukung
dengan kelembagaan yang kuat.
6. Partnership atau mengkatalisasi solidaritas global yang mendukung pembangunan
berkelanjutan.

17
PENUTUP
paradigma pembangunan yang berpusatkan pada rakyat (People Centered Development),
diawali dengan pemahaman tentang Ekologi Manusia, yang menjadi pusat perhatian
pembangunan. Ekologi manusia dalam ekosistem merupakan salah satu kajian dari Ekologi.
menyatakan bahwa ekosistem dikaji oleh Ekologi, sedangkan lingkungan hidup dikaji oleh
Ilmu Lingkungan yang landasan pokoknya adalah Ekologi, serta dengan memperhatikan
disiplin lain, terutama Ekonomi dan Sosiologi. Ekologi Manusia menjadi landasan
berkembangnya paradigma pembangunan yang berpusatkan pada rakyat. Adapun landasan
Ilmu Lingkungan adalah Ekologi, maka Ilmu Lingkungan dapat disebut sebagai Ekologi
Terapan (Applied Ecology) yakni penerapan prinsip dan konsep Ekologi dalam kehidupan
manusia. Perspektif Ilmu Lingkungan dalam paradigma pembangunan dikenal sebagai
Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan (Environmental Development). Manusia dan
lingkungan merupakan variabel endogen yang utama, yaitu sebagai titik tolak bagi
perencanaan pembangunan, sehingga perspektif dasar dan metode analisis dalam pendekatan
pembangunan ini yaitu Ekologi Manusia - yaitu kajian mengenai interaksi antara sistem
manusia dan ekosistem.

18
ARTIKEL 3

DETERMINISME KARAKTERISTIK LINGKUNGAN ALAM TERHADAP CORAK


INTERAKSI KOMUNITAS

ABSTRAK
Manusia hidup di dunia selalu melakukan interaksi dan adaptasi dengan alam. Manusia
melakukan adaptasi dan interaksi mengembangkan budaya sehingga terjadi perubahan‐
perubahan ekosistem. Pembahasan antara manusia dengan alam memang sangatkompleks dan
rumit.    Kompleksitas interaksi dan adaptasi manusia dengan alam tidak terlepas dari
pengaruh unsur biotik dan abiotik yang ada di lingkungan sekitarnya. Manusia melakukan
adaptasi dan interaksinya dengan alam mengembangkan budaya yang dimilikinya sehingga
terjadi proses‐proses perubahan ekosistem.    Kompleksitas interaksi antara manusia dengan
alam tidak terlepas dari pengaruh biotik dan abiotik yang ada di lingkungan
sekitarnya.  Semua ruang aktifitas manusia (antroposfera) dan budayanya dari generasi‐
kegenerasi tidak bisa lepas dari atmosfer, biosfer, hidrosfer, dan litosfer.  Manusia sebagai
penghuni bumi untuk kelestarian hidupnya tergantung pada kondisi atmosfer, biosfer,
hidrosfer, dan litosfer sehingga dalam membahas ilmu etnoekologi kita tidak akan terlepas
dari ilmu‐ilmu: sosiologi, antropologi, ekonomi, meteorologi, klimatolgi, geologi‐pedologi,
geomorfologi, oceanologi, hidrologi, fitologi, dan zoology.   Ilmu etnoekologi yang menjadi
pokok pikirannya adalah lingkungan dan manusia, yang merupakan jembatan yang
menghubungkan di antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan kemasyarakatan.

PENDAHULUAN
Paham determinisme alam selalu dihubungkan dengan filsuf Jerman Friedrich Ratzel (abad
ke‐19).  Tokoh ini pernah belajar zoologi pada ahli biologi Hackel yang memperkenalkan
istilah “ekologi” melalui bukunya yang berjudul “Naturliche Schopfunggeschichte” (1866).   
Pada awalnya ekologi diartikan sebagai ilmu mengenai pengaruh lingkungan ataskehidupan
organisme. Selanjutnya Hackel memperluas ilmu yang dipelajari syarat‐syarat kehidupan
organisme dan interaksi organisme hidup dengan lingkungannya.  Dalam kedatangannya ke
benua Amerika fenomena‐fenomena sosial sangat menarik perhatiannya, sehingga ia
berkeinginan untuk menerapkan metode biologis dalam menelaah

19
masyarakat.  Retzel  berusaha memahami sejauh mana lingkungan alam bisa membentuk
manusia dan membentuk realitas geografis.

Karya Ratzel tidak hanya pada paham determinisme alam tetapi teori mengenai adaptasi
manusia terhadap lingkungan. Ratzel pun menggunakan pengertian genre de vie sama halnya
yang dikemukan oleh Vidal.  Menurut Ratzel genre de vie sebagai bentuk adaptasi berbeda
pada bangsa primitif dengan bangsa modern.    Kemudian Ratzel mengalami kendala dari
pengamatannya bahwa individu‐individu yang berada dalam satu lingkungan ternyata tidak
sama adaptasinya, dan dipertanyakannya juga bagaimana peranan alam tersebut bagi
manusianya. Kesimpulan yang dihasilkan oleh Ratzel bahwa perbedaan rasial tidak akan
mengalami perubahan walaupun individu tersebut pindah tempat tinggal.Perhatian Ratzel
terhadap masalah tersebut mampu menulis buku yang berjudul Politische Geographie (1897)
yang berisi pengertian dari nasion, bangsa, dan ras.  Pokok bahasan tersebut berkaitan dengan
yang dibahas oleh Ritter mengenai peranan ruang atas terbentuknya ras di masa lampau.

PEMBAHASAN

Ruang aktifitas hidup manusia akan dipengaruhi oleh kondisi cuaca,iklim, musim,
ketersediaan air, tanah, tumbuhan, dan hewan.  Tumbuhan dan hewan mempunyai peran pada
pola menu makan dan kadar kalori serta protein penduduk suatu wilayah.  Tingkat teknologi
semakin tinggi yang dimiliki manusia maka alam semakin mereka kuasai dan semakin kecil
pengaruh lingkungan pada aktifitas manusia. Bangsa‐bangsa primitif sangat dipengaruhi
lingkungan bahkan lingkungan alam sangat mempengaruhi aktifitas hidup mereka.

Paham determinisme alam berbunyi: ”alam menentukan segalanya pada manusia”.  Paham


yang dipelopori oleh Friedrich Ratzel  (1844‐1904) dan penganutnya Ellen Churchill Semple
dari Amerika Serikat dan dengan antropogeografinya merendahkan budaya manusia atau
keinginan manusia yang tak terbatas karena yang di agungkannya adalah kekuatan
alam. Paham ini sebenarnya bukanlah hasil pemikiran dari abad ke‐19.   Abad ke‐5 SM,
Hipocrates di Yunani kuno sudah mengaitkan keadaan udara, air dan tanah dengan kesehatan
manusia.  Contoh: tubuh orang asia berbeda dengan tubuh orang eropa karena iklim di eropa
memiliki variasi musim.   Musim inipun membentuk watak orang‐orang eropa yang serba
keras, bersemangat dan dan kurang sosial. Musim di asia umumnya seragam sepanjang tahun

20
sehingga orang Asia kurang suka berperang. Aristoteles sebagai penganut aliran ini pada
zamannya.Aristoteles menulis untuk bangsanya sendiri, yaitu: bahwa negeri yunani berada di
antara eropa dan asia sehingga semua watak orang eropa dan watak orang Asia terdapat pada
bangsa Yunani.  Bangsa‐bangsa di benua Eropa yang bertempat di wilayah dingin cukup
bersemangat tetapi kurang cerdas dan kurang terampil, sehingga organisasi mereka rapuh dan
secara politis mereka tidak mampu menguasai wilayah sekitar mereka, sebaliknya bangsa‐
bangsa Asia cukup cerdas dan terampil, tetapi semangat mereka lemah hingga mereka mudah
dijajah oleh bangsa lainnya.

Banyak sekali tokoh‐tokoh yang mengaitkan faktor alam mempengaruhi manusia/masyarakat


F. Le Play (1806‐1882), yang menggambarkan jenis dan sifat kesatuan kekeluargaan
berdasarkan kondisi geografis wilayah yang ditempati.  Paham‐paham ini menafsirkan
perkembangan masyarakat dari satu sudut saja, yaitu: faktor alam sering juga disebut teori‐
teori “monolithis”.  Paham ini juga mengatakan bahwa geografis menentukan besar atau
kecilnya satuan‐satuan kenegaraan beserta batas‐batas politis, rasial, cultural, dan lain
sebagainya.  Elsworth Hutington (1960) dari tulisannya    “Civilisation and Climate”    yang
berdasarkan teori‐teorinya tentang pengaruh iklim terhadap perkembangan kebudayaan juga
banyak menarik perhatian dalam paham ini. Menurut Hutington pada “Temperature zones“,
bahwa: iklim sedang mampu melahirkan kebudayaan modern, teori‐teori ini di tentang jelas
oleh Pitirim Sorokin (1920) dari tulisannya “Contemporary Sociological Theoris”, muncul
pertanyaan mengapa peradaban‐peradaban (civilization) pertama lahir di Mesir dan
Mesopotamia; dan bangsa yunani dan romawi menyebutnya orang “barbar”, yaitu: orang
yang biadab berada di wilayah‐wilayah dengan iklim sedang selama berabad‐abad lamanya.

Determinisme lingkungan, juga dikenal sebagai determinisme iklim atau determinisme


geografi, adalah pandangan bahwa lingkungan fisik, bukannya kondisi sosial, yang
menentukan kebudayaan. Penganut pandangan ini mengatakan bahwa manusia ditentukan
oleh hubungan stimulus dan respon (hubungan lingkungan-perilaku) dan tidak bisa
"menyimpang" dari hal itu. Argumen dasar dari penganut determinisme lingkungan adalah
bahwa aspek dari geografi fisik, khususnya iklim, memengaruhi pemikiran individu, yang
pada gilirannya akan menentukan perilaku dan budaya yang dibangun oleh individu tersebut.
Sebagai contoh, iklim tropis dikatakan menyebabkan kemalasan dan sikap santai, sementara
seringnya perubahan cuaca di daerah sub-tropis cenderung membuat etos kerja yang lebih
bersemangat. Karena pengaruh lingkungan ini secara lambat laun memengaruhi kondisi
biologis manusia, maka perlu untuk merunut migrasi dari kelompok untuk melihat kondisi

21
lingkungan tempat mereka berevolusi. Pendukung utama pendapat ini di antaranya Ellen
Churchill Semple, Ellsworth Huntington, Thomas Griffith Taylor dan mungkin pula Jared
Diamond, walau statusnya sebagai pendukung determinisme lingkungan masih
diperdebatkan.

Hubungan manusia dan lingkungan bekerja melalui dua cara. Pada satu sisi, manusia
dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi pada sisi lain manusia memiliki kemampuan untuk
mengubah lingkungan. Karakteristik hubungan tersebut berbeda antara satu daerah dengan
daerah lainnya atau satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dalam kaitannya dengan
hubungan manusia dan lingkungan, terdapat beberapa paham yang menjelaskan hakekat dari
hubungan tersebut, yaitu paham determinisme, paham posibilisme dan paham optimisme
teknologi.

Untuk mengatasi masalah lingkungan hidup dewasa ini langkah awalnya adalah dengan cara
merubah cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam secara mendasar melalui
pengembangan etika lingkungan. Secara teoritis, terdapat tiga model teori etika lingkungan,
yaitu yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental
Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Pandangan manusia terhadap alam lingkungan dapat
dibedakan atas dua golongan, yakni pandangan imanen (holistik) dan pandangan transenden.

Antara manusia dan lingkungan memiliki hubungan ketergantungan yang sangat erat.
Manusia dalam hidupnya senantiasa berinteraksi dengan lingkungan di mana manusia itu
berada. Lingkungan hidup mencakup keadaan alam yang luas. Dalam lingkungan alamnya
manusia hidup dalam sebuah ekosistem yakni suatu unit atau satuan fungsional dari makhluk-
makhluk hidup dengan lingkungannya. Dalam ekosistem terdapat komponen abiotik pada
umumnya merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi makhluk-makhluk hidup
diantaranya: tanah, udara atau gas-gas yang membentuk atmosfer, air, cahaya, suhu atau
temperatur, sedangkan komponen biotik diantaranya adalah: produsen, konsumen, dan
pengurai. Kehidupan manusia sangat tergantung pada keadaan tumbuh-tumbuhan, binatang,
dan lingkungan fisik yang ada disekitarnya.

Lingkungan dapat mengalami suatu perubahan dalam proses interaksi dengan hidup manusia.
Perubahan lingkungan banyak terjadi  di daerah kota bila dibandingkan dengan daerah
pelosok (pedesaan) dimana penduduknya lebih  sedikit dan terkesan primitif. Perubahan
lingkungan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Perubahan yang terjadi pada
lingkungan hidup manusia menyebabkan adanya gangguan terhadap keseimbangan karena

22
berkurangnya fungsi dari sebagian komponen lingkungan. Dengan campur tangan manusia
dan faktor alami yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya perubahan lingkungan. Dampak
dari perubahannya belum tentu sama, tetapi manusia  yang memiliki kemampuan berfikir dan
penalaran yang tinggi, memiliki budaya, pranata sosial dan pengetahuan serta teknologi yang
makin berkembang, maka manusia dimampukan untuk dapat menghadapi serta
mengatasinya. Perubahan lingkungan terhadap kehidupan manusia akan membawa dampak
bagi kehidupan manusia baik secara positif ataupun negatif. Perubahan lingkungan
berdampak positif berarti baik dan menguntungkan bagi kehidupan manusia maupun
lingkungan tersebut, serta berdampak negatif berarti tidak baik dan tidak menguntungkan
karena dapat mengurangi kemampuan alam lingkungan hidupnya untuk menyokong
kehidupannya maupun merugikan manusia.

Contoh dampak perubahan lingkungan yang positif: penebangan pohon untuk dimanfaatkan
kayunya dengan menanam kembali pohon untuk mengganti yang telah ditebang; penerapan
panca usaha tani untuk meningkatkan produktivitas; serta  penanaman kembali pohon karena
kebakaran untuk daerah resapan air dan mencegah erosi. Contoh dampak negatif perubahan
lingkungan: lahan menjadi gersang dan gundul karena bencana gunung meletus atau
penebangan hutan secara liar; terjadinya erosi karena penggundulan hutan; terjadi banjir di
daerah pemukiman karena tidak ada saluran air dan daerah resapan air yang dipengaruhi oleh
pembangunan gedung baik perumahan, kantor, dan toko; berkurangnya ekosistem yang hidup
di air karena terjadi pencemaran di air; serta penggunaan pupuk buatan dan pestisida secara
terus-menerus yang mengakibatkan pencemaran dan lama-kelamaan dapat mengurangi
kesuburan tanah.

Manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya, dengan mengusahakan sumber daya dan


lingkungannya untuk mempertahankan diri dan jenisnya, sebaliknya, manusia juga
dipengaruhi oleh lingkungannya. Interaksi antara manusia dengan lingkungan hidupnya tidak
hanya ditentukan oleh jenis dan jumlah sumber daya hayati dan non-hayati, tetapi juga oleh
kondisi dan sifat sumber daya. Selain itu juga oleh perilaku dan kebudayaan manusia yang
ikut menentukan bentuk dan intensitas interaksi antara manusia dengan lingkungannya.

Dalam ekosistem, manusia adalah salah satu dari unsur lain baik hayati maupun non-hayati
yang tidak terpisahkan. Karena itu kelangsungan hidup manusia tergantung pula pada
kelestarian ekosistemnya. Namun karena kemampuan berpikir manusia dengan perilakunya
yang melebihi kemampuan biota lainnya maka manusia menjadi faktor yang penting.

23
Manusia harus dapat menjaga keserasian hubungan timbal-balik antara manusia dengan
lingkungannya sehingga keseimbangan ekosistem tidak terganggu. Manusia

diharapkan menjadi pelestari lingkungan.Manusia memiliki daya nalar yang


memungkinkannya dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di samping itu
kemampuan manusia menciptakan lingkungan buatan yang berbeda dengan lingkungan
alaminya, sehingga terjadi perubahan ekosistem alami menjadi ekosistem buatan.
Perkembangan alam pikiran manusia memungkinkan adanya penguasaan atas tatanan
lingkungan hidup melalui pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni. Akan tetapi jika penataan lingkungan hidup tidak berlangsung dengan baik maka akan
terjadi penurunan kualitas hidup dan perubahan kualitas lingkungan.

PENUTUP
Paham determinisme memberikan penjelasan bahwa bahwa manusia dan perilakunya
ditentukan oleh alam. Tokoh-tokoh atau ilmuwan yang mengembangkan dan menganut
paham determinisme diantaranya Charles Darwin, Frederich Ratzel dan Elsworth Huntington.
Charles Darwin (1809) merupakan ilmuwan berkebangsaan Inggris yang sangat terkenal
dengan teori evolusinya. Menurutnya, makhluk hidup secara berkesinambungan mengalami
perkembangan dan dalam proses perkembangan tersebut terjadi seleksi alam (natural
selection). Makhluk hidup yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya akan mampu
bertahan dan lolos dari seleksi alam.

Dalam hal ini alam berperan sangat menentukan Frederich Ratzel (1844-1904) merupakan
ilmuwan berkebangsaan Jerman yang sangat dikenal dengan teori ”Antopogeographie”-nya.
Menurutnya manusia dan kehidupannya sangat tergantung pada alam. Perkembangan
kebudayaan ditentukan oleh kondisi alam, demikian halnya dengan mobilitasnya yang tetap
dibatasi dan ditentukan oleh kondisi alam di permukaan bumi. Elsworth Huntington
merupakan ilmuwan berkebangsaan Amerika Serikat yang dikenal dari karya tulisnya berupa
buku yang berjudul, ”Principle of Human Geographie”. Menurutnya, iklim sangat
menentukan perkembangan kebudayaan manusia. Sebagaimana telah kalian pelajari dalam

24
mata pelajaran Geografi, iklim di dunia sangat beragam. Keragaman iklim tersebut,
menciptakan kebudayaan yang berlainan. Sebagai contoh, kebudayaan di daerah beriklim
dingin berbeda dengan di daerah beriklim hangat atau tropis.

Determinisme sebagai istilah luas yang mengacu pada penjelasan yang menetapkan faktor
pengaruh lingkungan yang mendominasi seluruh sistem. Determinisme lingkungan secara
khusus, menegaskan bahwa lingkungan alam menentukan jalannya budaya. Meskipun
terdapat kelemahan pada konsep determinisme lingkungan, timbulnya konsep menyebabkan
pertanyaan lebih lanjut mengenai bagaimana lingkungan mempengaruhi budaya
danperkembangannya. Menanggapi tuntutan yang kuat pada konsep determinisme
lingkungan, Franz Boas (1858-1942) menyajikan pandangan alternatif terkait keterbatasan
lingkungan, yang disebut sebagai possibilism sejarah, yang mengklaim bahwa meskipun alam
dapat membatasi peluang manusia, dan faktor budaya menjelaskan peluang atau
kemungkinanapa yang sebenarnya dipilih.

25
DAFTAR PUSTAKA

Fuad Amsyari dalam Koesnadi Hardjasoemantri. Hukum Tata Lingkungan, ( Yogyakarta:

Gadjahmada University Press, 1994).

A, Sonny eraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas,2006)

Hasan kamaruddin, Komunikasi Sosial dan Pembangunan (KSP) People centred


development,Ilmu Komunikasi Fisip Unimal.

Rudi Hilmanto,  Etnoekologi. Bandar Lampung, Penerbit Universitas Lampung, 2010.

https://www.universitaspsikologi.com/2018/05/determinisme-dan-teori-hubungan-
manusia.html?m=1

Abdoellah, O. (2017). Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Arifi n, Z. (1998). Hubungan Manusia dan Lingkungan dalam Kajian Antropologi Ekologi.
Jurnal Antropologi.

26
27

Anda mungkin juga menyukai