Anda di halaman 1dari 5

Berita Kurikulum 2013

10 Mei (6 hari yang lalu)


Fidelis Waruwu

Dear All,

KOMPAS hari ini menurunkan berita terakhir mengenai buku K-13. Pengembangan
buku teks dan buku pegangan guru diserahkan kepada penerbit (yang dibuat
pemerintah, hanya acuan saja). Jadi kembali kepada penerbit, boleh membuat buku
teks dan bahan pegangan guru yang lebih baik (bermutu). Buku yang dibuat pemerintah
boleh difotocopy. Kelihatannya pemerintah hanya mencetak buku untuk sebagian anak
bangsa (sekolah yang dipilih); yang lain disuruh fotocopy sendiri-sendiri.

-------------------

Buku Teks Acuan Minimal


Sebanyak 6.410 Sekolah Terapkan Kurikulum 2013

Jakarta, Kompas - Pengembangan buku teks dan buku pegangan guru untuk
mendukung Kurikulum 2013, yang dibuat pemerintah, masih berstandar minimal.
Penerbit buku teks bisa menghasilkan buku teks dan pegangan guru yang lebih baik
sehingga sekolah punya pilihan bahan ajar.

”Buku teks dan pegangan yang dibuat pemerintah itu acuan minimal. Penerbit bisa
membuat asal kualitasnya lebih baik,” kata Syawal Gultom, Kepala Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Peningkatan Mutu Pendidikan
Kemdikbud, pada seminar nasional ”Penjelasan Resmi Pemerintah mengenai
Penyusunan Buku Pelajaran Kurikulum 2013”, di Jakarta, Rabu (8/5). Acara diadakan
Ikatan Penerbit Indonesia.

Menurut Syawal, pemerintah tak menghalangi pengembangan buku teks bermutu. Itu
dikontrol Badan Standar Nasional Pendidikan atau lembaga independen.

Penyiapan buku teks dan pegangan guru bagi siswa kelas I dan IV SD, kelas VII SMP,
dan kelas X SMA/SMK yang sesuai Kurikulum 2013 sudah selesai.

Abdullah Alkaff, Staf Ahli Mendikbud, mengatakan, pembelajaran sesuai Kurikulum


2013 menekankan tiga aspek: pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Untuk itu,
pengembangan buku ajar harus banyak menyiapkan aktivitas di dalam/luar kelas.

Peluang penerbit membuat buku sekolah terutama terbuka bagi buku peminatan. Di
jenjang SMA/SMK, ada mata pelajaran peminatan yang perlu dibuat berbeda dari
pelajaran umum. ”Pemerintah tak menyiapkan buku peminatan itu,” kata Alkaff.
Ketua Umum Ikapi Lucya Andam Dewi menyambut gembira penjelasan langsung
kepada penerbit soal Kurikulum 2013, terutama terkait buku pelajaran. Namun, penerbit
tetap menunggu dokumen kurikulum yang sudah disahkan agar tak keliru.

”Setelah dokumen kurikulum resmi diterbitkan, penerbit buku dan penulis harus segera
menerjemahkan isi Kurikulum 2013 supaya sesuai,” kata Lucya.

Boleh difotokopi

Pemerintah sudah menetapkan sekolah dan siswa yang akan menerapkan Kurikulum
2013 ”tahap pertama”, yakni 6.410 sekolah, 1.535.065 siswa, dan 56.113 guru. Karena
terbatas dan bertahap, tak semua kabupaten/kota berkesempatan tahun ini.

Bagi daerah yang ingin melaksanakan 100 persen di semua sekolah dan siswa,
pemerintah membolehkan buku pegangan guru dan siswa diperbanyak dengan cara
fotokopi.

”Itu karena jumlah buku yang dicetak terbatas, sesuai target siswa dan guru. Nama-
nama sekolah yang jadi sasaran sudah fixed,” kata Mendikbud Mohammad Nuh.
(ELN/LUK)

Fidelis Waruwu

11 Mei 2013

Dear All,
Hasil Survey KOMPAS tentang K-13. Ternyata mayoritas guru tidak tahu mengenai K-
13 dan bahkan tidak tahu apa perbedaan K13 dengan kurikulum sebelumnya. Kompas
memberi kata "bukan" dalam tanda kurung; artinya kalau kata itu dicoret, maka K13 ini
adalah sekedar pepesan kosong untuk memajukan mutu pendidikan di Indonesia.

Kurikulum 2013 (Bukan) Pepesan


Kosong
Banyak hal perlu dipersiapkan menjelang dua bulan ”target” pelaksanaan Kurikulum
2013, pada Juli mendatang. Pengetahuan guru terhadap perubahan kurikulum masih di
permukaan, pemahaman teknis pengajaran masih kedodoran. Tanpa persiapan
memadai, perubahan struktur kurikulum potensial menimbulkan kekacauan manajemen
di sekolah. Indah Surya Wardhani

Survei Kompas mengenai Guru dan Kualitas Pendidikan Nasional 2013


memperlihatkan bahwa para guru SD-SMP belum memiliki pemahaman memadai
tentang Kurikulum 2013. Dari tiap 10 responden, tujuh di antaranya belum mengetahui
isi Kurikulum 2013. Tiga responden lain mengaku sudah tahu, tetapi hanya garis
besarnya. Dari delapan kota lokasi survei, Kota Kupang, NTT, merupakan wilayah
dengan tingkat pemahaman kurikulum paling rendah.

Pengetahuan guru yang masih sebatas kulit luar terlihat setidaknya dari tiga aspek.
Dalam aspek konseptual, lebih dari separuh responden guru belum mengetahui
perbedaan muatan isi antara Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006.

Buta konsep ini merembet pada lemahnya perencanaan. Hampir separuh guru
mengaku tidak paham teknis menjabarkan materi Kurikulum 2013 ke dalam rencana
pelaksanaan pendidikan (RPP).

Pada akhirnya, pada tataran operasional hampir separuh guru mengaku bingung
bagaimana teknis pengajaran pada kurikulum baru, khususnya cara mengajar dengan
pendekatan tematik-integratif. Sejumlah pertanyaan mengemuka seperti bagaimana
cara mengajar materi IPA, IPS, dan bahasa Indonesia dalam waktu yang bersamaan,
bagaimana pembagian porsi jam mengajar untuk ketiga materi, dan guru bidang apa
yang akan mengampu mata pelajaran integratif itu.

Faktor usia dan ”jam terbang” guru berbanding terbalik dengan tingkat pengetahuan
guru terhadap Kurikulum 2013. Makin lama masa kerja guru, maka tingkat pengetahuan
terhadap kurikulum baru justru makin rendah. Kelompok guru senior, dengan masa
mengajar di atas 24 tahun, hanya 22 persen yang paham isi Kurikulum 2013.
Sebaliknya, kelompok guru muda dengan masa kerja di bawah delapan tahun memiliki
proporsi pemahaman lebih tinggi, yaitu 41 persen.

Orientasi nilai yang dianut guru juga memengaruhi tingkat pengetahuan terhadap
kurikulum. Guru berpikiran moderat cenderung memiliki tingkat pengetahuan lebih baik
(35 persen) dibandingkan dengan guru konservatif (31 persen). Ada lebih dari separuh
proporsi guru (57,5 persen) dalam survei ini berpola moderat. Guru dalam kategori ini
antara lain meyakini kualitas pendidikan ditentukan praktik pendidikan dialogis antara
guru dan murid, sementara faktor biaya dan sertifikasi guru bukanlah hal utama. Guru
moderat terutama berada dalam rentang usia 36-43 tahun, sementara guru konservatif
rata-rata berusia 44-50 tahun.

Wacana media

Rendahnya tingkat pengetahuan guru terhadap Kurikulum 2013 tidak terlepas dari
minimnya sosialisasi resmi dari pemerintah. Sejak pemerintah menggulirkan uji publik
perubahan kurikulum sekitar November 2012, gereget sosialisasi tampak kedodoran.
Survei menunjukkan, sosialisasi terhadap guru dilakukan rata-rata satu kali dan
cenderung menyasar SD-SMP berakreditasi A dan B di kota-kota utama. Baru dua dari
tiap 10 guru mendapat sosialisasi, itu pun dinilai tidak memberikan pemahaman
memadai.

Sejauh ini, pemerintah baru menyatakan akan melakukan pelatihan massal bagi guru
inti dan instruktur nasional pada Mei ini. Sekitar 46.000 guru inti akan dilatih menjadi
ujung tombak sosialisasi dilanjutkan dengan pelatihan massal untuk 713.000 guru.
Selain itu, pemerintah akan mencetak buku panduan pelaksanaan Kurikulum 2013 bagi
guru dan murid. Distribusinya direncanakan sebelum tahun ajaran baru 2013/2014
dimulai.

Minimnya panduan dan sosialisasi formal menyebabkan media massa yang justru
banyak mengambil alih wacana perubahan kurikulum dalam beberapa bulan terakhir.
Surat kabar (31,8 persen), televisi (27,5 persen), dan internet (15,8 persen) merupakan
sumber informasi utama bagi para guru. Kemudian disusul institusi formal seperti
kepala sekolah (10,4 persen) dan kolega guru (7,4 persen). Akibatnya, pengetahuan
umum para guru terhadap Kurikulum 2013 bersifat setengah-setengah dan cenderung
terombang-ambing wacana.

Dampak penerapan kurikulum baru terhadap institusi sekolah juga dikhawatirkan guru.
Terkait kondisi dan status sekolah, perubahan struktur kurikulum potensial
menimbulkan persoalan bagi SD-SMP negeri (50,2 persen) dibandingkan dengan
sekolah swasta (46,2 persen).

Hal ini karena jumlah guru bersertifikasi cenderung lebih banyak di sekolah negeri.
Tujuh dari setiap 10 guru SD-SMP negeri sudah memiliki sertifikasi guru, sementara
hanya lima dari tiap 10 guru di sekolah swasta yang memiliki sertifikasi. Pengurangan
jam pelajaran menyebabkan guru bersertifikasi sulit memenuhi syarat minimal jam
mengajar per minggu.

Implikasi

Ambiguitas antara keyakinan sekaligus kekhawatiran mewarnai opini umum dan sikap
guru terhadap implikasi perubahan kurikulum. Pada tataran idealisme, secara umum
guru optimistis bahwa Kurikulum 2013 akan meningkatkan kompetensi lulusan peserta
didik dari aspek spiritual, intelektual, dan mental. Namun, tataran operasional tampak
lebih problematis. Sebagian besar guru (64,8 persen) menganggap bahwa Kurikulum
2013 tidak berbeda dengan Kurikulum 2006 yang bermuatan padat sehingga
dikhawatirkan memberatkan anak didik.

Pendekatan tematik integratif juga menjadi sorotan. Separuh bagian guru (51,6 persen)
khawatir integrasi materi IPA dan IPS ke dalam Bahasa Indonesia akan melemahkan
nilai nasionalisme dan jati diri kebangsaan anak didik. Sekitar separuh guru juga
mengkhawatirkan hal itu akan melemahkan kemampuan kognitif siswa atas pelajaran
IPA dan IPS (56,1 persen) di satu sisi dan pemahaman tata bahasa (49,8 persen) di sisi
lain. Merujuk pada pengamat pendidikan M Abduhzen, integrasi pelajaran IPA, IPS, dan
Bahasa Indonesia, potensial menimbulkan kerancuan berpikir peserta didik (Kompas,
12/12/2012).

Pro-kontra yang mewarnai perubahan kurikulum menunjukkan bahwa kebijakan ini


belum sepenuhnya siap dilaksanakan. Kesan sebagai kebijakan yang tergesa dan
dipaksakan sulit ditepis. Sudah sepatutnya strategi penerapan Kurikulum 2013 dikaji
ulang dengan strategi sosialisasi dan pelatihan yang memadai, demi menghindari
Kurikulum 2013 menjadi pepesan kosong.

Indah Surya Wardhani Litbang Kompas

Anda mungkin juga menyukai