Anda di halaman 1dari 3

Nama : Veronica Septian

NIM : 131201012
Prodi : S1 PGSD Reg/Sem 4

ARTIKEL KURIKULUM 2013 di Sekolah Dasar

Kurikulum 2013 yang saat ini diterapkan masih setengah hati. Diakui atau tidak, banyak
kebijakan pemerintah tidak relevan dengan kondisi objektif pendidikan. Bahkan,
pemerintah setiap kali ganti pemimpin, maka gantilah semua kebijakan, termasuk sistem
pendidikan, kurikulum, dan sebagainya. Seolah-olah kebijakan termasuk kurikulum itu
berjalan “setengah hati”.

Di lapangan, yang terjadi justru tergesa-gesa, bersifat reaktif ketimbang strategis,


penyusunannya tidak melibatkan guru sebagai pihak yang paling berkepentingan mendidik
di sekolah dan mengenali situasi dan kondisi daerah pengajarannya. Meski kabar terbaru
dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud
menyebutkan bahwa sampai saat ini kurikulum dan buku teksnya belum siap cetak namun
Kemendikbud belum menuntaskan polemik kurikulum 2013.
Setengah Hati
Kemendikbud beberapa waktu silam telah menyiapkan dan mendistribusikan seluruh buku
pelajaran ke sekolah-sekolah. Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dulu dikeluarkan masing-
masing sekolah (atau guru) otomatis dihentikan. LKS dalam beberapa kasus masa lalu
menimbulkan keluhan para orang tua murid, karena harga buku LKS terkadang malah lebih
mahal ketimbang buku teks dari Kemendikbud.

Dengan Kurikulum 2013, peluang kerja sama dengan penerbit swasta diperketat dengan
bahan kurikulum seutuhnya dari Kemendikbud. Ini menghindarkan perbedaan isi dari mata
pelajaran yang sama, karena bukunya dikeluarkan penerbit yang berbeda. Pernah terjadi
buku pelajaran dari penerbit tertentu terpaksa ditarik, karena dinilai menyalahi kurikulum.
Artinya, kurikulum 2013 benar-benar terpusat. Ini boleh jadi akan memunculkan persoalan
kelak di berbagai daerah, khususnya daerah-daerah terpencil (terluar) atau tertinggal yang
tingkat pendidikannya jauh berbeda dengan kota-kota besar. Untuk mengakomodir inilah
dilakukan uji publik, guna mendapatkan masukan dari masyarakat. Namun uji publik di
beberapa daerah beberapa waktu lalu, kurang representatif mewakili ke-33 provinsi di
Indonesia. Waktunya terlalu singkat bila kurikulum sudah harus dilaksanakan pada 2013.
Begitulah sebagian tanggapan publik yang dapat kita temukan di media massa sampai hari
ini, menanggapi rencana Kemendikbud menggulirkan Kurikulum 2013 untuk SD, SMP,
SMA dan SMK. Kemendikbud mengganti kurikulum lama KTSP (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan) yang dinilai kurang sempurna, dengan kurikulum yang lebih
menekankan aspek kognitif, afektif, psikomotorik, melalui penilaian berbasis tes dan
portofolio. Mata pelajaran menghafal akan dikurangi karena kurikulum lebih berbasis sains.

Intinya, kata Mendikbud M Nuh, adalah menyederhanakan kurikulum ke dalam bentuk


tematik-integratif yang disiapkan untuk mencetak generasi siaga menghadapi tantangan
masa depan. Titik beratnya mendorong peserta didik lebih mampu dalam melakukan
observasi, bertanya, bernalar, dan mengomunikasikan (mempresentasikan) apa yang
mereka peroleh atau ketahui setelah menerima materi pembelajaran.

“Kurikulum 2013 juga menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya," kata
Nuh. Dengan pendekatan ini siswa memiliki kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan
sikap lebih baik. Siswa juga akan kreatif, inovatif, produktif, hingga nantinya sukses
menghadapi berbagai persoalan dan tantangan zamannya.
Tentu kita apresiasi proyeksi Mendikbud M Nuh, yang akan menyeimbangkan tercapainya
kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan itu dengan pembelajaran yang katanya
holistis dan menyenangkan. Namun, perubahan kurikulum tersebut tidaklah gratis. Wajar
bila kita dengar suara masyarakat yang mengharapkan perubahan kurikulum tidak sia-sia.
Agar besaran anggaran penyempurnaan kurikulum dan perbukuan yang sampai ratusan
miliar rupiah berbanding lurus dengan hasilnya.

Sebelum itu kita juga mendukung desakan sebagian kalangan, agar Kemendikbud
melaporkan evaluasinya atas kurikulum yang lalu kepada publik. Menyangkut semua hasil
penelitian atas kurikulum, sekolah rintisan, model kurikulum, dan bahan-bahan kebijakan
yang dianggap tidak memadai untuk kini dan masa datang.

Sebab dikhawatirkan, bila penyusunan kurikulum terbaru (2013) tidak berangkat dari
kebutuhan dengan penyempurnaan (atau: tanpa riset), maka hasilnya boleh jadi keliru atau
prematur seperti beberapa kurikulum masa lalu. Terkesan sekadar proyek: lain tim kerja
menteri, lain pula produknya. Tanpa mempertimbangkan dasar pijakan, yakni UUD 45
Pasal 31, bahwa: pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Relevan Zaman?
Apakah kurikulum tersebut sudah relevan dengan zaman? Pasalnya, para siswa yang
mempelajari mata pelajaran berdasarkan kurikulum baru harus berproses menjadi
memahami mata pelajaran itu untuk mengembangkan keterampilan yang relevan dengan
zaman sekarang. Misalnya mampu berpikir kritis dan merumuskan pertanyaan ataupun
menyampaikan argumen secara runtun, tertata, dan meyakinkan orang lain.
Peserta didik juga perlu mengembangkan sikap-sikap universal, seperti gigih, berpikir
luwes, dan menghargai hak orang lain untuk berbeda pendapat. Inilah jenjang kasmaran
berilmu pengetahuan yang harus direkacipta dalam kurikulum baru.

Pernyataan Wakil Presiden Boediono tentang Empat Pilar Kebangsaan (Pancasila, UUD
1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) yang akan masuk kurikulum mendatang tentu
sangat tepat. Hanya saja, permasalahannya kembali pada kurikulum yang diajarkan dan
kurikulum yang dipelajari, bukan pada kurikulum tertulis.

Memasukkan atau menuliskan Empat Pilar Kebangsaan dalam dokumen kurikulum itu
mudah, tetapi tidak akan serta-merta gagasan itu subur bermekaran di sanubari anak didik.
Belajar matematika dan sains jika dilaksanakan seperti pada kebanyakan persekolahan
sekarang, mustahil akan sampai pada tataran kasmaran berilmu pengetahuan.

Hampir mustahil pula dengan sistem persekolahan sekarang para siswa sanggup
berkontemplasi dan menghayati Empat Pilar Kebangsaan itu. Namun, hal itu bisa
terlaksana dengan maksimal jika pemerintah serius mengawalnya. Pemerintah harus
menghentikan segala bentuk kebijakan yang dilakukan dengan unsur “proyekisasi”.

Anda mungkin juga menyukai