Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN HASIL PRAKTIKUM

BLOK FUNGSI NORMAL NEUROSENSORIS, HEMOPOETIK &


LIMFORETIKULER
OBAT OTONOM

OLEH:
Nama: Dhiya Raihani
NIM: 2010911320024
Kelompok: 4

ASISTEN PRAKTIKUM:
M. Ihrammuf Tezar (NIM. 1810911310014)

DOSEN KOORDINATOR PRAKTIKUM:


dr. Alfi Yasmina, M.Kes, M.Pd.Ked, Ph.D

DEPARTEMEN FARMAKOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2021
A. Tujuan Praktikum
Memahami efek stimulasi saraf dan efek beberapa obat pada sistem saraf
simpatis dan parasimpatis terhadap sistem kardiovaskuler.

B. Probandus
Tikus

C. Bahan-Bahan
1. Adrenalin
2. Noradrenalin
3. Asetilkolin
4. Isoprenalin
5. Fenilefrin
6. Propanolol
7. Atropin
8. Prazosin
9. Anestetik umum

D. Bahan-Bahan
1. Kanula arteri
2. Kanula ventrikel kiri
3. Kanula vena
4. Pithing rod
5. Pressure transducer
6. Injektor obat

E. Cara Kerja
Praktikum ini dilakukan menggunakan simulator software RatCVS. RatCVS
merupakan simulator yang menunjukkan efek stimulasi saraf dan efek obat pada
sistem kardiovaskuler. Langkah-langkah yang digunakan untuk praktikum ini
adalah sebagai berikut:
1. Buka software RatCVS (The Virtual Rat) versi 3.3.7 yang sudah di-install
ke komputer.
2. Layar yang Anda lihat adalah sebagai berikut :

Parameter-parameter yang dinilai adalah:


a. ABP, yaitu arterial blood pressure (tekanan darah arterial),
b. LVP, yaitu left ventricular pressure (tekanan ventrikel kiri),
c. VBP, yaitu venous blood pressure (tekanan darah vena),
d. HF, yaitu heart contractile force (kekuatan kontraktilitas jantung), dan
e. HR, yaitu heart rate (denyut jantung).
3. Untuk pelaksaan praktikum ini, tikus dianestesi umum dan diberikan
ventilasi artifisial. Kanula arteri dimasukkan ke dalam arteri femoralis,
kanula venosa dimasukkan ke dalam vena femoralis, dan kanula ventrikel
dimasukkan ke dalam ventrikel kiri. Kanula arteri dihubungkan ke pressure
transducer untuk mengukur ABP. Kanula ventrikel dihubungkan ke
pressure transducer untuk mengukur LVP. Kanula venosa dihubungkan ke
pressure transducer untuk mengukur VBP. HF dihitung dari nilai LVP, dan
HR dihitung dari ABP.
4. Pilihlah “Normal Rat” bila ingin melihat efek obat/stimulasi seperti pada
kondisi sebenarnya (korda spinalis utuh dan refleks baroreseptor penuh).
Pilihlah “Pithed Rat” bila ingin melihat efek obat/stimulasi tanpa adanya
refleks baroreseptor.
5. Lakukan keenam eksperimen berikut ini (a sampai f).
Setiap pemberian obat/stimulasi direkam sepanjang minimal 1 kotak besar.
Setiap selesai 1 eksperimen, bisa diklik Edit > Copy Image untuk mengkopi
gambar ke file lain, atau di-Print (menu File > Print).
Untuk setiap eksperimen, catat kelima parameter di atas setiap dilakukan
pemberian obat atau pemberian stimulasi saraf (lihat Tabel). Cara
mendapatkan angka kelima parameter itu, geser garis hijau ke kanan atau
ke kiri untuk memposisikannya di lokasi yang anda inginkan, dan angkanya
akan muncul pada garis hijau tersebut. Untuk memulai lagi eksperimen
berikutnya, klik “New Experiment”.
f. Pilih “Pithed Rat”.
Start – Stimulasi saraf simpatis (adrenal) – Stimulasi nervus vagus –
Stop.
g. Pilih “Normal Rat”.
Start – Stimulasi saraf simpatis (adrenal) – Stimulasi nervus vagus –
Stop.
h. Pilih “Normal Rat”.
Start – Adrenalin (10 μg/kg) – Asetilkolin (10 μg/kg) – Stop.
i. Pilih “Normal Rat”.
Start – Isoprenalin (10 μg/kg) – Propanolol (5 mg/kg) – Stop.
j. Pilih “Normal Rat”.
Start – Fenilefrin (10 μg/kg) – Prazosin (5 mg/kg) – Stop.
k. Pilih “Normal Rat”.
Start – Asetilkolin (20 μg/ml) – Atropin (5 mg/kg) – Stop.
6. Bahas hasil eksperimen berdasarkan mekanisme kerja stimulasi saraf
simpatis/parasimpatis atau mekanisme kerja obat terhadap parameter-
parameter di atas

F. Hasil Eksperimen
ABP LVP VBP HF HR
No Eksperimen
mmHg
1 Pithed 63,752 ,73278 11,285 ,14656 395,51
Stimulasi simpatis (adr) 264,09 6,3019 6,3263 ,18564 484,61
Stimulasi n. vagus 113,43 7,1812 8,6712 ,35173 250,9
2 Normal 56,097 ,87934 12,311 ,1661 416,61
Stimulasi simpatis (adr) 244,02 262,63 6,4485 11,881 288,42
Stimulasi n. vagus 132,05 117,68 8,2804 2,3351 215,73
3 Normal 65,364 ,73278 12,018 ,15633 242,31
Adrenalin 146,26 11,724 10,967 1,0552 490,08
Asetilkolin 70,2 114,61 11,676 1,573 448,66
4 Normal 65,071 ,73278 11,993 ,15633 406,45
Isoprenalin 114,75 9,3796 10,625 15,867 608,89
Propanolol 108,01 117,1 10,405 10,816 449,44
5 Normal 65,511 ,73278 11,993 ,15633 404,1
Fenilefrin 188,47 16,268 7,3766 ,38105 205,57
Prazosin 124,87 27,259 8,2804 2,0127 385,34
6 Normal 65,217 ,73278 11,993 ,15633 377,53
Asetilkolin 89,692 89,692 11,138 6,6243 250,9
Atropin 171,32 6,4485 7,2545 ,1661 383

Lampiran Eksperimen
Percobaan 1

Keterangan : Pithed
Keterangan : Stimulasi simpatis (adr)

Keterangan : Stimulasi n. vagus


Percobaan 2

Keterangan : Normal

Keterangan : Stimulasi simpatis (adr)


Keterangan : Stimulasi n. vagus

Percobaan 3

Keterangan : Normal
Keterangan : Stimulasi simpatis (adr)

Keterangan : Stimulasi n. vagus


Percobaan 4

Keterangan : Normal

Keterangan : Stimulasi simpatis (adr)


Keterangan : Stimulasi n. vagus

Percobaan 5

Keterangan : Normal
Keterangan : Stimulasi simpatis (adr)

Keterangan : Stimulasi n. vagus


Percobaan 6

Keterangan : Normal

Keterangan : Stimulasi simpatis (adr)


Keterangan : Stimulasi n. vagus

G. Pembahasan
Sistem saraf dibagi dua yaitu sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi
(SST). SST dibagi dua yaitu sistem saraf otonom/divisi motorik (eferen) dan
sistem saraf somatik/divisi sensorik (aferen). Obat otonom adalah obat yang
bekerja dan berefek pada berbagai bagian sistem saraf otonom. Obat otonom
mempengaruhi transmisi neurohumoral dengan cara menghambat atau
mengintensifkannya, dengan demikian fungsi saraf otonom akan dipengaruhi
dan timbul efek dari sel efektor. Fungsi utama sistem saraf otonom adalah
sebagai regulator internal organ tubuh dengan meregulasi fungsi spesifik yang
bersifat otonom (independen), yakni aktivitasnya tidak di bawah kontrol
langsung kesadaran[1]. Contohnya adalah fungsi-fungsi pernafasan, sirkulasi,
pencernaan, suhu tubuh, metabolisme, sekresi berbagai kelenjar. Sistem saraf
otonom terbagi menjadi dua yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis. Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem simpatis dan
parasimpatis memperlihatkan fungsi yang antagonistik. Bila yang satu
menghambat suatu fungsi maka yang lain memacu fungsi tersebut[2], tetapi
ternyata hal itu tidak selalu berlaku untuk semua organ yang dipelihara oleh
kedua sistem saraf tersebut. Pada arteriola misalnya, saraf simpatis lebih
dominan, pada jantung kekuatan kontraksi otot ventrikel lebih tergantung pada
aktivitas saraf simpatis, dan pada bronkus fungsi kedua sistem saraf tersebut
benar-benar tampak berlawanan. Pada kelenjar bronkus dan kelenjar ludah,
fungsi simpatis dan parasimpatis tampak sinergis, yaitu saraf parasimpatis
berefek peningkatan sekresi serous, sedangkan saraf simpatis memacu sekresi
yang bersifat mukous. Saling mempengaruhi antara dua sistem tersebut tampak
pula pada efek penghambatan pada pelepasan noradrenalin oleh asetilkolin, dan
sebaliknya noradrenalin juga dapat menghambat pelepasan asetilkolin melalui
reseptor prasinaptik[3]. Sistem saraf simpatis berpangkal di medulla spinalis yang
menyebabkan kontraksi pada organ tubuh dengan mekanisme kerja “fight or
flight”. Jika beberapa 'perintah pusat' dari pusat otak yang lebih tinggi
memerlukan koaktivasi sistem otonom (umumnya memang demikian),
keterlibatan simpatis harus melalui medulla spinalis sebelum pesan diteruskan
ke ganglia di mana transformasi menjadi perintah ke organ perifer terjadi[4].
Sistem saraf simpatis disebut sebagai "sistem darurat". Setelah aktivasi, hal itu
menyebabkan, antara lain, pelebaran pupil, percepatan denyut jantung,
peningkatan kekuatan jantung, dan resistensi pembuluh darah. Setelah saraf
simpatis meninggalkan medulla spinalis di vertebra toraks dan lumbar, mereka
masih harus dialihkan ke neuron simpatik kedua baik di ganglia prevertebral atau
paravertebral. Jika ada gangguan sebelum pergantian ganglion ini disebut
kerusakan praganglion, jika tidak disebut kerusakan pascaganglion. Asetilkolin
dilepaskan sebagai pemancar di semua ujung saraf preganglionik dan
postganglionik di kelenjar keringat, sedangkan norepinefrin dilepaskan
pascaganglion di organ efektor kecuali kelenjar keringat[5]. Pada sistem saraf
simpatis dikenal adrenoseptor alfa dan beta. Klasifikasi reseptor yang diajukan
oleh Ahlquist (1948) itu dimaksudkan untuk menerangkan respon beberapa
organ terhadap simpatomimetika. Reseptor alfa bereaksi lemah dan bahkan sama
sekali tidak berespon terehadap isoprenalin. Stimulasi reseptor alfa
menyebabkan antara lain vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah),
kontraksi otot iris pars radier dan relaksasi usus. Reseptor beta kuat baik
terhadap adrenalin dan noradrenalin mempunyai komponen alfa dan beta dalam
menimbulkan efek simpatomimetiknya[3]. Adapun sistem saraf parasimpatis
umumnya dipahami sebagai lawan dari sistem simpatis, yaitu sebagai "resting
or recovery system" dengan mekanisme kerja “rest or digest” yang dilayani oleh
nervus vagus yaitu nervus cranialis ke-10, dengan sel-sel motorik di medula
oblongata[4]. Setelah terjadinya aktivasi, menyebabkan pengurangan pupil,
penurunan denyut jantung dan aktivasi pencernaan. Di bagian atas juga
memasok mata, air mata dan kelenjar ludah, jantung, paru-paru serta saluran
pencernaan setelah pergantian ganglion. Serabut saraf yang muncul dari tulang
ekor sangat penting dalam mengendalikan saluran kemih dan saluran pencernaan
bagian bawah. Neurotransmitter utama neuron parasimpatis postganglionik
adalah asetilkolin[5]. Raymond Ahlquist pada tahun 1948 menyatakan bahwa
katekolamin bekerja rnelalui 2 reseptor utama. Ia menyebut kedua reseptor
tersebut dengan alfa dan beta. Reseptor alfa adalah reseptor yang memiliki suatu
perbandingan potensi, yaitu epinefrin > norepinefrin >> isoproterenol. Reseptor
beta memiliki suatu perbandingan potensi, yaitu isoproterenol > epinefrin >
norepinefrin. Hipotesis Ahlquist ini sangat sesuai dengan perkembangan obat-
obat yang mengantagonis secara selektif reseptor beta tetapi tidak terhadap
reseptor alfa). Bukti yang lebih baru rnenunjukkan bahwa reseptor aifa terdiri
dari dua famili utama. Oleh karena itu, saat ini tampaknya tepat untuk
rnengklasifikasikan adrenoresptor menjadi tiga kelompok utama, yang masing-
masing dinamakan.reseptor β, α1, α2. Masing-masing dari kelompok utama
resptor ini merniliki tiga subtipe. Berbagai upaya telah dilakukan dalam
menjelaskan hubungan struktur-fungsi yang menentukan sifat pengikat ligan dan
ciri penyampaian sinyal molekular ber- bagai reseptor adrenergik. Segera setelah
ditemukan perbedaan reseptor alfa dan beta, juga ditemukan bahwa setidaknya
ada 2 subtipe reseptor beta, ditandai dengan β1, dan β2. Reseptor β1, dan β2,
secara operasional ditentukan oleh afinitasnya terha- dap epinefrin dan
norepinefrin; reseptor β1, mempunyai afinitas rata-rata setara terhadap epinefrin
dan rrorepine- frin, sedangkan reseptor β2 mempunyai afinitas yang lebih kuat
terhadap epinefrin dibanding dengan norepinefrin. Selanjutnya, reseptor β3
diidentifikasi sebagai suatu sub- tipe adrenoreseptor β ketiga yang berbeda dan
baru. Setelah ditemukan subtipe reseptor beta, juga ditemukan dua kelompok
utama reseptor alfa; α1, dan α2. Reseptor alfa ini pertama kali ditentukan oleh
obat antagonis yang membedakan antara kedua reseptor α dan α2. Sebagai
contoh, adrenoseptor alfa ditentukan pada berbagai jaringan dengan mengukur
ikatan senyawa pelabel radioaktif antagonis yang diperkirakan mernpunyai
afinitas kuat terhadap reseptor ini, rnisalnya, dihidroergokriptin (untuk α1, dan
α2), prozosin (α1), dan yohimbin (α2). Radioligan ini juga digunakan unfuk
mengukur jumlah reseptor dalam jaringan dan untuk menentukan afinitasnya
(pergeseran ligan pelabel radioaktif) obat lainnya yang berinteraksi dengan
reseptorPada sistem saraf parasimpatis dikenal 2 macam reseptor, yaitu reseptor
muskarinik dan nikotinik. Oleh karena itu efek yang timbul juga dua macam,
yaitu efek muskarinik dan efek nikotinik. Efek muskarinik merupakan efek yang
timbul pada pemberian muskarin, yaitu suatu racun dari jamur Amanita muscaria
yang dapat dihilangkan dengan pemberian atropin dosis kecil. Reseptor
muskarinik ada 3 subtipe, yakni M1 di ganglia dan berbagai kelenjar, M2 di
jantung, dan M3 di otot polos dan kelenjar. Reseptor M1 dan M3 menstimulasi
fostolipase C melalui protein G yang belum dikenal, dan menyebabkan
peningkatan kadar Ca++ intrasel sehingga teriadi kontraksi otot polos dan sekresi
keleniar serta late EPSP pada ganglia. Aktivasi reseptor M2 di jantung melalui
protein Gi menyebabkan hambatan adenil siklase dan aktivasi kanal K+, yang
mengakibatkan efek kronotropik dan inotropik negatif dari ACh[2. Efek
nikotinik menyerupai efek yang timbul pada pemberian nikotin, yaitu berupa
pacuan sistem saraf parasimpatis yang diikuti dengan efek pacuan saraf simpatis
dan pacuan otot skelet. Hal ini terjadi karena reseptor nikotinik yang berada di
ganglion simpatis dan parasimpatis serta motor end plate terpacu[3]. Reseptor
nikotinik yang terdapat di ganglia otonom, adrenal medula, dan SSP disebut
reseptor nikotinik neuronal (Nu), sedangkan reseptor nikotinik yang terdapat di
sambungan saral-otot disebut reseptor nikotinik otot (Ng = nicotinic muscle).
Semua reseptor nikotinik berhubungan langsung dengan kanal kation,
aktivasinya menyebabkan peningkatan permeabilitas ion Na+ dan K+ sehingga
terjadi depolarisasi, yakni EPP pada otot rangka (yang menimbulkan potensial
aksi otot dan kontraksi otot rangka) dan EPSP pada ganglia (yang menlmbulkan
potensial aksi neuron pascaganglion dan sekresi epinefrin dan NE dari medula
adrenal)[2]. Menurut efek utamanya, maka obat otonom dapat dibagi dalam 5
golongan yaitu : (1) Parasimpatomimetik atau kolinergik. Efek obat golongan
ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf
parasimpatis[2], dapat memacu langsung reseptor muskarinik (misalnya
pilokarpin), atau tidak langsung melalui penghambatan enzim kolinesterase
(misalnya fisostigmin)[3]; (2) Simpatomimetik atau adrenergik. Efeknya
menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatis[2].
Raymond Ahlquist pada tahun 1948 menyatakan bahwa katekolamin bekerja
rnelalui 2 reseptor utama. Ia menyebut kedua reseptor tersebut dengan alfa dan
beta. Reseptor alfa adalah reseptor yang memiliki suatu perbandingan potensi,
yaitu epinefrin > norepinefrin >> isoproterenol. Reseptor beta memiliki suatu
perbandingan potensi, yaitu isoproterenol > epinefrin > norepinefrin. Hipotesis
Ahlquist ini sangat sesuai dengan perkembangan obat-obat yang mengantagonis
secara selektif reseptor beta tetapi tidak terhadap reseptor alfa). Bukti yang lebih
baru rnenunjukkan bahwa reseptor aifa terdiri dari dua famili utama. Oleh karena
itu, saat ini tampaknya tepat untuk rnengklasifikasikan adrenoresptor menjadi
tiga kelompok utama, yang masing-masing dinamakan.reseptor β, α1, α2.
Masing-masing dari kelompok utama resptor ini merniliki tiga subtipe. Berbagai
upaya telah dilakukan dalam menjelaskan hubungan struktur-fungsi yang
menentukan sifat pengikat ligan dan ciri penyampaian sinyal molekular ber-
bagai reseptor adrenergik. Segera setelah ditemukan perbedaan reseptor alfa dan
beta, juga ditemukan bahwa setidaknya ada 2 subtipe reseptor beta, ditandai
dengan β1, dan β2. Reseptor β1, dan β2, secara operasional ditentukan oleh
afinitasnya terha- dap epinefrin dan norepinefrin; reseptor β1, mempunyai
afinitas rata-rata setara terhadap epinefrin dan rrorepine- frin, sedangkan
reseptor β2 mempunyai afinitas yang lebih kuat terhadap epinefrin dibanding
dengan norepinefrin. Selanjutnya, reseptor β3 diidentifikasi sebagai suatu sub-
tipe adrenoreseptor β ketiga yang berbeda dan baru. Setelah ditemukan subtipe
reseptor beta, juga ditemukan dua kelompok utama reseptor alfa; α1, dan α2.
Reseptor alfa ini pertama kali ditentukan oleh obat antagonis yang membedakan
antara kedua reseptor α dan α2. Sebagai contoh, adrenoseptor alfa ditentukan
pada berbagai jaringan dengan mengukur ikatan senyawa pelabel radioaktif
antagonis yang diperkirakan mernpunyai afinitas kuat terhadap reseptor ini,
rnisalnya, dihidroergokriptin (untuk α1, dan α2), prozosin (α1), dan yohimbin
(α2). Radioligan ini juga digunakan unfuk mengukur jumlah reseptor dalam
jaringan dan untuk menentukan afinitasnya (pergeseran ligan pelabel radioaktif)
obat lainnya yang berinteraksi dengan reseptor[1]. Obat pemacu sistem saraf
simpatis (simpatomimetika) dapat memacu langsung reseptor adrenergik alfa
(misalnya fenilefrin) atau beta (misalnya isoprenalin) atau dapat pula secara
tidak langsung, misalnya melalui hambatan pada proses uptake (misalnya kokain
atau amfetamin)[3]; (3) Parasimpatolitik atau anti kolinergik[2]. Obat penghambat
saraf parasimpatis (parasimpatolitika) dapat bertitik tangkap pada reseptor
muskarinik (misalnya atropin), atau dapat juga melalui hambatan pada pelepasan
asetilkolin (misalnya ion Mg)[3]; (4) Simpatolitik atau anti adrenergik.
Menghambat timbulnya efek akibat aktivitas saraf simpatis[2]. Obat penghambat
sistem saraf adrenergik dapat bertitik tangkap kerja pada reseptor alfa (misalnya
prazosin memblok reseptor alfa) atau pada reseptor beta (misalnya propanolol
memblok reseptor beta) atau secara tidak langsung antara lain dengan cara
menghambat sintesis transmitter noradrenalin (reserpin)[3]; (5) Obat ganglion.
Merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion[2]. Refleks otonom
terutama penting dalam memahami respons kardiovaskular terhadap obat-obat
otonom. Variabel utama yang dikontrol pada fungsi kardiovaskular adalah
tekanan arteri rerata. Perubahan pada tiap variabel yang berperan dalam tekanan
arteri rerata (misalnya, peningkatan tahanan vaskular tepi akibat induksi obat)
akan mencetuskan respons sekunder homeostalik kuat yang cenderung
mengompensasi perubahan tadi. Respons homeostatik ini mungkin cukup kuat
untuk menekan perubahan pada tekanan arteri rerata dan rnembalikkan efek obat
terhadap denyut jantung. Pemberian infus lambat norepinefrin dapat menjadi
contoh. Norepinefrin berefek Iangsung terhadap vaskular dan otot jantung,
merupakan vasokonstriktor kuat dan dengan meningkatkan tahanan vaskular
tepi, dapat meningkatkan tekanan arteri rerata. Pada keadaan tidak adanya
kontrol refleks, misalnya, pada pasien yang mempunyai riwayat transplantasi
jantung, efek norepinefrin terhadap jantung juga bersifat menstimulasi; yaitu,
rneningkatkan denyut jantung dan kekuatan kontraktilitas otot jantung. Akan
tetapi, pada orang yang kontrol refleksnya masih utuh, respons umpan balik
baroreseptor terhadap peningkatan tekanan arteri rerata iustru akan menurunkan
impuls simpatik ke jantung dan sangat meningkatkan lepasan parasimpatik
(nervus vagus) pada pacu jantung. Hasilnya, efek bersih pemberian norepinefrin
dalam dosis normal adalah peningkatan tahanan vaskular tepi secara nyata,
peningkatan tekanan arteri rerata dan perlambatan denyut janfung secara
konsisten. Refleks bradikardia, yang merupakan respons kompensasi
norepirrefrin, adalah efek kebalikan kerja langsung obat; kejadian ini mudah
diramalkan jika integrasi fungsi kardiovaskular oleh SSO dipahami dengan
baik[1]. Dapat disimpulkan, komponen simpatis dari sistem saraf otonom
meningkatkan denyut jantung dengan melepaskan katekolamin (epinefrin dan
norepinefrin), sedangkan komponen parasimpatis menurunkan denyut jantung
melalui pelepasan neurohormon asetilkolin[6]. Semua efek sistem saraf simpatis
pada jantung melalui reseptor beta1 dan berperan untuk meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas yang efeknya akan meningkatkan curah jantung. Hal
inilah yang menyebabkan kenaikan HF (heart contractile force/kekuatan
kontraktilitas jantung) dan HR (heart rate/denyut jantung) saat distimulasi
sistem saraf simpatis. Stimulasi sistem saraf simpatis adalah vasokonstriktor
sistemik yang kuat melalui reseptor alfa1 di arteriol yang meningkatkan SVR
secara drastis. Efek ini bersama dengan peningkatan curah jantung dapat
menghasilkan peningkatan tekanan arteri sistemik. Sehingga hal ini
menyebabkan kenaikan ABP (arterial blood pressure/tekanan darah arterial).
Stimulasi sistem saraf simpatis dari reseptor alfa1 dalam sistem vena
menghasilkan venokonstriksi, sehingga mendorong darah kembali ke jantung
yang meningkatkan aliran balik vena dan akhirnya ke preload jantung. Preload
jantung yang meningkat menyebabkan kenaikan LVP (left ventricular
pressure/tekanan ventrikel kiri). VBP (venous blood pressure/tekanan darah
vena) mengalami penurunan. Namun, jika dilihat dari grafik VBP (venous blood
pressure/tekanan darah vena) awalnya mengalami kenaikan, kemudian
menurun, hingga naik lagi menjadi normal, diduga hal ini bisa terjadi karena
adanya proses kompensasi dari tubuh. Propanolol, reseptor pada taut adrenergik,
mengikat reseptor β, mencegah aktivasi. Isoproterenol (isoprenalin) reseptor
pada taut adrenergik untuk mengikat reseptor β, mencegah aktivasi. Atropin
sebagai reseptor, sel efektor parasimpatik untuk mengikat reseptor muskarinik;
mencegah aktivasi[1].
H. Kesimpulan
Sistem saraf dibagi dua yaitu sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi
(SST). SST dibagi dua yaitu sistem saraf otonom dan sistem saraf somatik.
Sistem saraf otonom merupakan saraf yang mengatur gerakan yang tidak
disadari, dibagi dua lagi menjadi sistem saraf simpatis dan sistem saraf
parasimpatis. Pada umumnya kedua saraf ini bekerja berlawanan tetapi
dalam beberapa hal khasiatnya berlainan sekali atau bahkan bersifat sinergis.
Sistem saraf simpatis terutama bekerja dalam respon fight or flight, sedangkan
sistem saraf parasimpatis bekerja untuk efek rest and digest. Rangsangan dari
susunan saraf pusat untuk sampai ke ganglion efektor memerlukan suatu
penghantar yang disebut transmiter neurohormon atau neurotransmiter.
Kontrol suatu organ tidak hanya dicapai dengan hanya mengaktifkan satu atau
jalur lain, tetapi lebih dicapai dengan meningkatkan aktivitas satu sementara
menghambat "aktivitas" dasar dari yang lain. impuls pada saraf simpatis dan
parasimpatis dibawa oleh asetilkolin. Sedangkan dari postganglionic ke efektor,
impuls pada saraf simpatis dibawa oleh norephinephrin atau norephinephrine
dan pada saraf parasimpatis dibawa oleh asetilkolin. Dalam obat otonom sendiri
diperlukan reseptor untuk berikatan, dibagi 2 yaitu reseptor adrenergik (a1, a2,
b1, b2, b3) dan kolinergik (muskarinik, nikotinik). Menurut efeknya obat
otonom dibagi jadi 5 kategori yaitu simpatomimetik, simpatolitik,
parasimpatomimetik, parasimpatolitik, dan obat ganglion.
DAFTAR PUSTAKA

1. Katzung, Bertram G., Masters, Susan B., Trevor, Anthony J. Farmakologi


Dasar & Klinik. Edisi 12. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2014.
2. Syarif, A., Purwantyastuti, A., Ari, E., Arini, S., Armen, M. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2008.
3. Tim Dosen Farmakologi. Petunjuk Praktikum Farmakologi Kedokteran Blok
Fungsi Normal Neurosensoris Hemopoetik & Limforetikuler Angkatan 2020.
Laboratorium Fisiologi Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat,
Banjarmasin; 2021.
4. Karemaker JM. An Introduction Into Autonomic Nervous Function.
Physiological measurement. 2017 Apr 24;38(5):R89.
5. Ziemssen T, Siepmann T. The investigation of the cardiovascular and
sudomotor autonomic nervous system—a review. Frontiers in neurology. 2019
Feb 12;10:53.
6. Stavrakis S, Kulkarni K, Singh JP, Katritsis DG, Armoundas AA. Autonomic
modulation of cardiac arrhythmias: methods to assess treatment and outcomes.
Clinical Electrophysiology. 2020 May 1;6(5):467-83.
7. Autonomic Modulation of Cardiac Arrhythmias : Methods to assess treatment
and Outcomes.
LAMPIRAN

Institute of Physics and Engineering in Medicine Physiological Measurement

Physiol. Meas. 38 (2017) R89–R118 https://doi.org/10.1088/1361-6579/aa6782

Topical Review

An introduction into autonomic nervous


function
John M Karemaker
Department of Anatomy, Embryology and Physiology, Academic Medical Center at
the University of Amsterdam, Amsterdam, Netherlands

E-mail: j.m.karemaker@amc.uva.nl

Received 18 November 2015, revised 16 December 2016


Accepted for publication 17 March 2017
Published 24 April 2017

Abstract
The results of many medical measurements are directly or indirectly influenced
by the autonomic nervous system (ANS). For example pupil size or heart rate
may demonstrate striking moment-to-moment variability. This review intends
to elucidate the physiology behind this seemingly unpredictable system.
The review is split up into: 1. The peripheral ANS, parallel innervation
by the sympathetic and parasympathetic branches, their transmitters and
co-transmitters. It treats questions like the supposed sympatho/vagal
balance, organization in plexuses and the ‘little brains’ that are active like
in the enteric system or around the heart. Part 2 treats ANS-function in some
(example-) organs in more detail: the eye, the heart, blood vessels, lungs,
respiration and cardiorespiratory coupling. Part 3 poses the question of who
is directing what? Is the ANS a strictly top-down directed system or is its
organization bottom-up? Finally, it is concluded that the ‘noisy numbers’ in
medical measurements, caused by ANS variability, are part and parcel of how
the system works. This topical review is a one-man’s undertaking and may
possibly give a biased view. The author has explicitly indicated in the text
where his views are not (yet) supported by facts, hoping to provoke discussion
and instigate new research.

Keywords: ANS, sympathetics, parasympathetics, autonomic transmitters,


co-transmitters, neuro-evolution, autonomic nervous subroutine
(Some figures may appear in colour only in the online journal)

Original content from this work may be used under the terms of the Creative
Commons Attribution 3.0 licence. Any further distribution of this work must maintain
attribution to the author(s) and the title of the work, journal citation and DOI.

1361-6579/17/050R89+30$33.00 © 2017 Institute of Physics and Engineering in Medicine Printed in the UK R89
JACC: CLINICAL ELECTROPHYSIOLOGY VOL. 6, NO. 5, 2020

ª 2020 BY THE AMERICAN COLLEGE OF CARDIOLOGY FOUNDATION

PUBLISHED BY ELSEVIER

STATE-OF-THE-ART REVIEW

Autonomic Modulation of
Cardiac Arrhythmias
Methods to Assess Treatment and Outcomes

Stavros Stavrakis, MD, PHD,a Kanchan Kulkarni, PHD,b Jagmeet P. Singh, MD, PHD,c
Demosthenes G. Katritsis, MD, PHD,d Antonis A. Armoundas, PHDb,e

ABSTRACT

The autonomic nervous system plays a central role in the pathogenesis of multiple cardiac arrhythmias, including atrial
fibrillation and ventricular tachycardia. As such, autonomic modulation represents an attractive therapeutic approach in
these conditions. Notably, autonomic modulation exploits the plasticity of the neural tissue to induce neural remodeling
and thus obtain therapeutic benefit. Different forms of autonomic modulation include vagus nerve stimulation, tragus
stimulation, renal denervation, baroreceptor activation therapy, and cardiac sympathetic denervation. This review seeks
to highlight these autonomic modulation therapeutic modalities, which have shown promise in early preclinical and
clinical trials and represent exciting alternatives to standard arrhythmia treatment. We also present an overview of the
various methods used to assess autonomic tone, including heart rate variability, skin sympathetic nerve activity, and
alternans, which can be used as surrogate markers and predictors of the treatment effect. Although the use of autonomic
modulation to treat cardiac arrhythmias is supported by strong preclinical data and preliminary studies in humans, in light
of the disappointing results of a number of recent randomized clinical trials of autonomic modulation therapies in heart
failure, the need for optimization of the stimulation parameters and rigorous patient selection based on
appropriate biomarkers cannot be overemphasized. (J Am Coll Cardiol EP 2020;6:467–83)
© 2020 by the American College of Cardiology Foundation.

T he heart is innervated by both the sympa-


thetic and the parasympathetic nervous
system (1). The cardiac neural hierarchy in-
cludes the central nervous system (brain, spinal
the intrinsic cardiac autonomic nervous system
(CANS). The intrinsic CANS is comprised of an exten-
sive epicardial neural network of nerve axons, inter-
connecting neurons, and clusters of autonomic
cord), the extrinsic intrathoracic ganglia (dorsal root ganglia, known as ganglionated plexi (GP), which
ganglia, stellate ganglia, and sympathetic chain) and contain from a few neurons to over 400 neurons

From the aHeart Rhythm Institute, University of Oklahoma Health Sciences Center, Oklahoma City, Oklahoma; bCardiovascular
Research Center, Massachusetts General Hospital, Boston, Massachusetts; cCardiology Division, Cardiac Arrhythmia Service,
Massachusetts General Hospital, Boston, Massachusetts; dHygeia Hospital, Athens, Greece; and the eInstitute for Medical Engi-
neering and Science, Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, Massachusetts. This work was supported by a grant-in-
aid (#15GRNT23070001) and a mentored clinical/population research grant (#15MCPRP2579000) from the American Heart Asso-
ciation; the Institute of Precision Medicine (17UNPG33840017) from the American Heart Association; the RICBAC Foundation; and
National Institutes of Health grants 1 R01 HL135335-01, 1 R21 HL137870-01, 1 R21EB026164-01, and 1U54GM10493. Dr. Singh has
received consulting honoraria from Biotronik, Boston Scientific, Microport, EBR, Toray, Abbott, and Medtronic. All other authors
have reported that they have no relationships relevant to the contents of this paper to disclose. Kalyanam Shivkumar, MD, served
as Guest Editor for this paper.
The authors attest they are in compliance with human studies committees and animal welfare regulations of the authors’
institutions and Food and Drug Administration guidelines, including patient consent where appropriate. For more information,
visit the JACC: Clinical Electrophysiology author instructions page.

Manuscript received December 9, 2019; revised manuscript received February 6, 2020, accepted February 14, 2020.

ISSN 2405-500X/$36.00 https://doi.org/10.1016/j.jacep.2020.02.014

Anda mungkin juga menyukai