Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN HASIL PRAKTIKUM

BLOK KELUHAN BERKAITAN SISTEM KARDIOVASKULER


OBAT-OBAT YANG BEKERJA PADA SISTEM KARDIOVASKULER

OLEH:
Nama: Salwa Sabrina
NIM: 2010911320054
Kelompok: 19

ASISTEN PRAKTIKUM:
Muhammad Ihrammuf Tezar (NIM. 1810911310014)

DOSEN KOORDINATOR PRAKTIKUM:


dr. Alfi Yasmina, M.Kes, M.Pd.Ked, Ph.D

DEPARTEMEN FARMAKOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2021
A. Tujuan Praktikum
Memahami efek obat-obat yang bekerja pada sistem kardiovaskuler

B. Probandus
Tikus

C. Alat dan Bahan


1. Adrenaline
2. Noradrenaline
3. Phenylephrine
4. Isoprenaline
5. Atenolol
6. Glyceryl trinitrate
7. Verapamil
8. Angiotensin II
9. Losartan
10. Captopril
11. Digoxin
12. Adenosine
13. Kanula arteri
14. Kanula ventrikel kiri
15. Kanula vena
16. Pithing rod
17. Pressure transducer
18. Injektor obat

D. Cara Kerja
Praktikum ini dilakukan menggunakan simulator software RatCVS. RatCVS
merupakan simulator yang menunjukkan efek stimulasi saraf dan efek obat pada
sistem kardiovaskuler. Langkah-langkah yang dilakukan untuk praktikum ini
adalah sebagai berikut:
1. Buka software RatCVS (The Virtual Rat) versi 3.3.7 yang sudah di-install
ke komputer.
2. Layar yang anda lihat adalah sebagai berikut:

Parameter-parameter yang dinilai adalah:


a. ABP, yaitu arterial blood pressure (tekanan darah arterial),
b. LVP, yaitu left ventricular pressure (tekanan ventrikel kiri),
c. VBP, yaitu venous blood pressure (tekanan darah vena),
d. HF, yaitu heart contractile force (kekuatan kontraktilitas jantung), dan
e. HR, yaitu heart rate (denyut jantung).
3. Untuk pelaksanaan praktikum ini, tikus dianestesi umum dan diberikan
ventilasi artifisial. Kanula arteri dimasukkan ke dalam arteri femoralis,
kanula venosa dimasukkan ke dalam vena femoralis, dan kanula ventrikel
dimasukkan ke dalam ventrikel kiri. Kanula arteri dihubungkan ke pressure
transducer untuk mengukur ABP. Kanula ventrikel dihubungkan ke
pressure transducer untuk mengukur LVP. Kanula venosa dihubungkan ke
pressure transducer untuk mengukur VBP. HF dihitung dari nilai LVP, dan
HR dihitung dari ABP.
4. Pilihlah “Normal Rat” untuk melihat efek obat seperti pada kondisi
sebenarnya (korda spinalis utuh dan refleks baroreseptor penuh).
5. Lakukan eksperimen-eksperimen a sampai g di bawah ini.
Setiap pemberian obat direkam sepanjang minimal 1 kotak besar. Setiap
selesai 1 eksperimen, bisa diklik Edit > Copy Image untuk mengkopi
gambar ke file lain, atau di-Print (menu File > Print).
Untuk setiap eksperimen, catat kelima parameter di atas setiap dilakukan
pemberian obat (lihat Tabel). Cara mendapatkan angka kelima parameter
itu, geser garis hijau ke kanan atau ke kiri untuk memposisikannya di lokasi
yang anda inginkan, dan angkanya akan muncul pada garis hijau tersebut.
Untuk memulai lagi eksperimen berikutnya, klik “New Experiment”.
a. Start – Phenylephrine (10 µg/kg) – Glyceryl trinitrate (20 mg/kg) –
Stop.
b. Start – Noreadrenaline (10 µg/kg) – Verapamil (1 mg/kg) – Stop.
c. Start – Adrenaline (10 µg/kg) – Atenolol (20 mg/kg) – Stop.
d. Start – Angiotensin II (1 µg/kg) – Losartan (20 mg/kg) – Stop.
e. Start – Phenylephrine (10 µg/kg) – Captopril (20 mg/kg) – Stop.
f. Start – Digoxin (20 mg/kg) – Stop.
g. Start – Isoprenaline (10 µg/kg) – Adenosine (10 mg/kg) – Stop.
6. Bahas hasil eksperimen berdasarkan mekanisme kerja obat terhadap
parameter-parameter tersebut.

F. Hasil Eksperimen
Hasil eksperimen akan ditampilkan bersama pembahasan.

G. Pembahasan
Berbeda dari otot jenis lainnya, otot jantung merupakan otot yang dapat
menghasilkan aktivitas kelistrikannya sendiri. Kelistrikan jantung ini
dikendalikan oleh sistem nodus, yang memulai depolarisasi dan
menghantarkannya hingga ke bagian lain dari jantung. Pacemaker utama
jantung adalah nodus SA (sinoatrial), yang berada pada atrium kanan. Setelah
itu, kelistrikannya akan dikonduksikan oleh nodus AV (atrioventrikular), berkas
His, left bundle branch dan right bundle branch, serta serabut purkinje. Selain
itu, aktivitas kelistrikan jantung juga dipengaruhi oleh rangsangan saraf
simpatis dan parasimpatis. Aktivasi sistem simpatis dapat menyebabkan efek
inotropik positif (peningkatan kontraktilitas jantung) dan kronotropik positif
(peningkatan denyut jantung). Sebaliknya, aktivasi saraf parasimpatis akan
menyebabkan efek inotropik negatif (penurunan kontraktilitas jantung) dan
kronotropik negatif (penurunan denyut jantung). Oleh karena adanya pengaruh
saraf otonom terhadap kinerja otot jantung, maka terdapat obat-obat otonom
yang dapat memengaruhi kerja jantung. Dalam praktikum ini, akan dibahas
efek-efek dari obat yang dapat memengaruhi kerja jantung, termasuk obat-obat
otonom seperti obat simpatomimetik, obat simpatolitik, obat
parasimpatomimetik, dan obat parasimpatolitik.

Pada percobaan pertama, setelah terjadinya rangsangan saraf simpatis jantung,


tikus diberikan obat phenylephrine sebanyak 10 µg. Phenylephrine merupakan
obat simpatomimetik, khususnya berperan sebagai agonis adrenoreseptor α1.
Reseptor α1 tersebar luas pada jaringan pembuluh darah. Aktivasi reseptor ini
menyebabkan vasokonstriksi atau penyempitan lumen di arteri dan vena.
Penggunaan phenylephrine yang merupakan agonis adrenoreseptor α1 relatif
kurang penting pada fungsi jantung. Pengonsumsian obat ini menyebabkan
peningkatan resistensi perifer akibat vasokonstriksi, sehingga dapat
meningkatkan tekanan darah. Pada grafik percobaan, dapat terlihat terjadi
peningkatan ABP (arterial blood pressure) atau tekanan darah arteri. Di
percobaan ini juga menggunakan tikus yang masih memiliki refleks
baroreseptor normal, yang artinya refleks kardiovaskularnya juga normal.
Dengan diperantarai refleks baroreseptor, tonus vagus akan memperlambat
kecepatan jantung akibat adanya peningkatan tekanan darah. Hal ini dapat
dilihat pada grafik dengan adanya penurunan denyut jantung atau heart rate
setelah diberikan phenylephrine. Meskipun terjadi penurunan denyut jantung,
curah jantung atau cardiac output tidak akan berkurang sebanding dengan
penurunan denyut jantung, karena adanya venous return atau aliran balik vena
yang akan meningkatkan isi sekuncup. Penurunan denyut jantung akibat
peningkatan resistensi perifer merupakan kompensasi yang diberikan oleh
tubuh melalui aktivasi baroreseptor. Obat ini dapat diberikan untuk mengatasi
hipotensi.[1][2] Glyceryl trinitrate atau nitrogliserin merupakan salah satu
contoh obat golongan nitrat organik. Obat golongan ini dapat melepaskan nitric
oxide atau nitrat oksida, yang menyebabkan peningkatan cGMP karena
pengikatan nitric oxide dan gugus heme guanilil siklase. Peningkatan cGMP
berperan dalam relaksasi semua otot polos, termasuk pembuluh darah. Nitrat
organik tidak mempunyai efek langsung pada otot jantung dan otot rangka.
Semua otot polos pembuluh akan bereaksi dengan obat ini, dengan sensitivitas
vena yang paling rendah dan arteri merespons lebih tinggi. Dapat terlihat dari
grafik bahwa pemberian gliserin trinitrate sebanyak 20 mg/kg pada tikus
menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah arteri (paling signifikan) dan
tekanan darah vena. Penurunan tekanan darah arteri dan vena disebabkan oleh
vasodilatasi yang mengakibatkan resistensi perifer juga ikut menurun. Dari
grafik juga terlihat ada peningkatan pada tekanan ventrikel kiri akibat
bertambahnya tekanan darah arteri. Pemberian obat ini juga akan memicu
refleks baroreseptor untuk memberikan kompensasi penurunan tekanan darah.
Mekanisme kompensasi ini berupa adanya peningkatan denyut jantung, yang
dapat terlihat pada grafik, dan peningkatan kontraktilitas, yang tidak tampak
pada grafik. Gliseril trinitrat dan jenis obat lainnya di golongan nitrat organik
sering digunakan sebagai obat antiangina, terutama pada pasien serangan
jantung. Hal ini disebabkan oleh penurunan dari tekanan darah arteri dapat
menurunkan kebutuhan/demand myocytus terhadap kebutuhan oksigen,
sehingga mengurangi rasa sakit dari iskemia.[1] Dari sini dapat terlihat bahwa
setiap percobaan menggunakan obat berlawanan dalam hal tekanan darah.
Seperti phenylephrine yang digunakan untuk meningkatkan tekanan darah dan
gliseril trinitrate yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah.
Salah satu contoh obat simpatomimetik selain phenylephrine adalah
noradrenaline. Obat ini merupakan obat yang langsung bekerja para reseptor
organ tujuan dan menstimulasi aktivasi saraf simpatis. Noradrenaline atau
norepinefrin termasuk dalam agonis reseptor α1 dan α2, yang berperan di otot
polos, terutama pembuluh darah sebagai vasokonstriktor. Vasokonstriksi pada
pembuluh darah menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi perifer,
sehingga tekanan darah meningkat. Hal ini dapat dilihat pada grafik percobaan
setelah tikus diberikan noradrenaline sebanyak 10 µg/kg, terjadi peningkatan
tekanan darah arteri, sehingga tekanan ventrikel kiri juga meningkat. Bersama
dengan adrenaline, keduanya merupakan katekolamin yang dapat mengaktifkan
reseptor β1 jantung dan memberi efek inotropik serta kronotropik positif.
Stimulus ini menyebabkan terjadinya peningkatan kontraktilitas dan denyut
jantung. Meskipun begitu, pemberian noradrenaline dapat menyebabkan
pengaktifan baroreseptor untuk mengatasi kronotropik positif dari obat ini. Hal
ini dapat dilihat pada grafik dengan adanya penurunan denyut jantung pada
pasien setelah terjadi sedikit peningkatan. Efek inotropik positif masih tetap
dipertahankan, sehingga pada grafik dapat diamati terjadinya peningkatan heart
force atau kontraktilitas jantung.[1] Noradrenaline memiliki efek relatif kecil
terhadap reseptor β2. Setelah itu, tikus diberikan obat verapamil sebanyak 1
mg/kg. Verapamil merupakan salah satu contoh obat calcium channel blocker
non-dihidropiridin. Obat-obat golongan ini berperan dalam menghambat
masuknya Ca2+ ke dalam otot polol dan myocytus melalui saluran kalsium tipe
L. Penghambatan ini menyebabkan kontraktilitas jantung menurun akibat
kurangnya kalsium yang masuk untuk depolarisasi. Pada grafik, dapat terlihat
bahwa terjadi penurunan pada kontraktilitas jantung yang sebelumnya
meningkat karena noradrenaline. Obat ini juga bekerja di pembuluh darah,
menyebabkan relaksasi otot polos, terutama pada arteri, sehingga tekanan darah
arteri menjadi menurun, seperti yang tampak pada grafik. Oleh karena
penurunan tekanan arteri, tekanan ventrikel kiri juga menjadi turun pada tikus.
Pada obat golongan penghambat saluran kalsium, terdapat perbedaan
hemodinamik dari obat golongan dihidropiridin dan non-dihidropiridin. Obat-
obat golongan dihidropiridin berperan lebih selektif sebagai vasodilator dan
kurang memiliki efek menekan jantung jika dibandingkan dengan golongan
non-dihidropiridin seperti verapamil dan diltiazem. Pemberian verapamil dapat
menyebabkan takikardia ringan untuk mempertahankan atau meningkatkan
curah jantung (caardiac output), yang merupakan mekanisme kompensasi
tubuh. Pada grafik dapat terlihat terjadi peningkatan denyut jantung setelah
pemberian verapamil. Verapamil dapat digunakan sebagai obat antihipertensi
karena menurunkan kontraktilitas dan resistensi perifer; sebagai obat antiangina
karena penurunan tekanan darah akan menyebabkan turunnya kebutuhan
oksigen, sehingga metabolisme dapat terjadi dengan baik dan iskemi berkurang;
serta obat antiaritmia, karena verapamil dapat menurunkan frekuensi
pacemaker nodus SA dan kecepatan konduksi nodus AV.[1][2]
Adrenaline atau epinefrine merupakan suatu agonis adrenoreseptor α dan β,
sehingga berperan sebagai vasokonstriktor dan perangsang jantung. Obat ini
dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah sistol karena efek inotropik dan
kronotropik positif pada jantung serta vasokonstriksi pada pembuluh darah
arteri. Namun, adrenaline juga mengaktifkan reseptor β2 pada beberapa
pembuluh darah, sehingga terjadi vasodilatasi, yang utamanya pada pembuluh
darah otot rangka. Hal ini dapat dilihat pada grafik bahwa terjadi penurunan
sedikit dan grafik konstan dari tekanan darah arteri serta vena (tekanan darah
menurun karena vasodilatasi) setelah diberikan adrenaline pada tikus. Tekanan
ventrikel kiri juga akan mengikuti dari tekanan darah arteri. Pada grafik juga
tampak bahwa terjadi peningkatan dari kontraktilitas sebagai efek inotropik
positif dan peningkatan denyut jantung sebagai efek kronotropik positif.
Adrenaline termasuk obat simpatomimetik yang bekerja langsung pada organ
target, terutama jantung. Atenolol merupakan salah satu obat beta blocker atau
penghambat beta yang paling sering digunakan untuk mengobati hipertensi.
Cara kerjanya yang menghambat adrenoreseptor β menyebabkan obat ini masuk
golongan obat simpatolitik. Obat ini bersifat kardioselektif, sehingga
menguntungkan untuk pasien-pasien yang menderita asma, diabetes, atau
penyakit vaskular perifer. Dengan menghambat reseptor β, terutama β1, atenolol
dapat menurunkan kontraktilitas jantung (inotropik negatif) dan denyut jantung
(kronotropik negatif). Seperti pada grafik, tampak terjadi penurunan
kontraktilitas dan denyut jantung setelah diberikan atenolol pada tikus.
Penggunaan atenolol dapat menyebabkan tidak sama sekali atau sedikit
peningkatan pada resistensi perifer arteri untuk meningkatkan tekanan darah.[2]
Pada grafik, tekanan darah arteri tampak konstan. Selain sebagai obat
antihipertensi, atenolol dapat digunakan untuk angina pectoris dan gagal
jantung.[2]

Salah satu sistem yang berperan dalam pengaturan tekanan darah adalah sistem
RAS atau Renin-Angiotensin-Aldosteron. Angiotensin II merupakan produk
akhir dari sistem RAS, yang berperan langsung untuk konstriksi pembuluh
darah arteri. Pada percobaan keempat, tikus diberikan angiotensin II sebanyak
1 µg/kg. Dapat terlihat di grafik terjadi peningkatan signifikan dari tekanan
darah arteri, yang disebabkan oleh vasokonstriksi. Sifat vasokonstriksi dari
angiotensin II lebih kuat dibandingkan oleh efek angiotensin I. Grafik tekanan
ventrikel kiri juga meningkat karena adanya peningkatan tekanan darah arteri.
Selain dari efek vasokonstriksi. Peningkatan tekanan darah akibat angiotensin
II juga dipicu sekresi aldosteron di korteks adrenal, yang menyebabkan retensi
garam, sehingga cairan juga ikut diretensi. Retensi garam juga meningkatkan
tekanan darah dan stroke volume dari venous return-nya, karena jumlah air
yang meningkat di darah. Hal ini dapat terlihat dari grafik bahwa terjadi
peningkatan tekanan darah vena, karena meningkatnya venous return.
Kompensasi dari tubuh terhadap peningkatan tekanan darah akibat pemberian
angiotensin II adalah adanya penurunan kontraktilitas dan denyut jantung,
sehingga mempertahankan homeostasis tubuh.[1] Setelah diberikan angiotensin
II, tikus diberikan obat losartan sebanyak 20 mg/kg. Losartan merupakan obat
golongan Angiotensin Receptor Blocker atau ARB, yang berfungsi untuk
menghambat reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1). Berbeda dengan ACE-
inhibitor yang memiliki efek pada metabolisme bradikinin, obat golongan ARB
tidak memiliki efek terhadap metabolismenya, sehingga obat golongan ARB
dapat digunakan sebagai pilihan selain ACE-inhibitor. Oleh karena kerjanya
yang menghambat reseptor dari angiotensin II, maka efek-efek yang akan
disebabkan oleh angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan sekresi aldosteron,
tidak akan terjadi. Efek-efek dari losartan juga akan mirip obat golongan ACE-
inhibitor. Dari grafik didapatkan adanya penurunan tekanan darah arteri, karena
pada pembuluh darah arteri tidak terjadi vasokonstriksi seperti pada grafik
pemberian angiotensin II. Tekanan ventrikel kiri juga menjadi turun karena
berkurangnya tekanan darah arteri. Sebagai kompensasi dari tubuh, maka saraf
simpatis akan meningkatkan aktivitas jantung melalui peningkatan
kontraktilitas dan denyut jantung. Losartan dapat digunakan sebagai obat
antihipertensi seperti ACE-inhibitor.[1][2]

Pada percobaan kelima, sama seperti percobaan pertama, tikus kembali


diberikan obat simpatomimetik, phenylephrine sebanyak 10 µg/kg. Obat ini
berperan sebagai agonis adrenoreseptor α1, yang tersebar luas pada jaringan
pembuluh darah. Aktivasi reseptor ini menyebabkan vasokonstriksi, terutama
pada pembuluh arteri, dan relatif kurang penting pengaruhnya terhadap fungsi
jantung. Akibat terjadinya vasokonstriksi, maka resistensi perifer arteri
meningkat, sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Dapat dilihat dari
grafik, terjadi sedikit peningkatan tekanan darah arteri dan vena. Sebagai
kompensasi dari tubuh, maka baroreseptor yang normal akan memberikan
sinyal ke tonus vagus (saraf parasimpatis) untuk menurunkan kontraktilitas dan
laju denyut jantung, yang dapat dilihat dari grafik bahwa terdapat penurunan
kontraktilitas atau heart force dan denyut jantung atau heart rate.[1] Setelah
diberikan phenylephrine, tikus pada percobaan selanjutnya diberikan obat
captopril sebanyak 20 mg/kg, yang merupakan obat kelas Inhibitor
Angiotensin-Converting Enzyme atau ACE Inhibitor. Obat-obat dalam kelas ini
akan menghambat enzim yang mengubah peptidyl dipeptidase untuk
menghidrolisis angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II dapat
meningkatan sekresi dari aldosteron, yaitu hormon yang meningkatkan retensi
garam (Na+). Penurunan retensi garam menyebabkan tekanan darah akan
menurun, karena turunnya volume air dalam darah. Namun, sekresi aldosteron
masih dipertahankan pada level adekuat dengan stimulus lainnya, seperti ACTH
dan ion K+, sehingga tidak terjadi perubahan signifikan terhadap stroke volume
dan cardiac output. Selain itu, obat ACE Inhibitor akan menghambat ACE atau
kininase II yang menginaktivasi bradikinin. Bradikinin merupakan vasodilator
poten, melalui mekanisme perangsangan pengeluaran nitrat oksida dan
prostasiklin. Akibat vasodilatasi pembuluh darah, terutama arteri, akan terjadi
penurunan tekanan darah arteri, yang dapat dilihat pada grafik, dan tekanan
darah sistemik. Pada grafik juga dapat terlihat adanya sedikit peningkatan
denyut jantung sebagai kompensasi turunnya tekanan darah karena hilangnya
rangsangan angiotensin II pada sistem simpatis. Meskipun begitu, respons
baroreseptor hanya akan berpengaruh sedikit. Obat ini dapat digunakan untuk
pasien dengan hipertensi esensial dan gagal jantung (karena adanya sifat
kardioprotektif).[1][2]
Digoxin merupakan salah satu contoh obat glikosida jantung. Digoxin memiliki
efek kardiovaskular langsung dan tak langsung. Pada tingkat molekul, semua
obat glikosida jantung yang digunakan berperan untuk menghambat Na+/K+-
ATPase atau pompa natrium. Penghambatan pompa natrium menyebabkan
peningkatan kadar ion Na+ di intraseluler. Peningkatan ion Na+ menghambat
pengeluaran Ca2+ melalui pertukaran Na+/Ca2+ dari sel penukar natrium-
kalsium (NCX). Kadar ion Ca2+ yang tinggi di intraseluler menghasilkan
peningkatan kontraktilitas jantung (inotropik positif), sehingga kontraksi dari
sarkomer jantung meningkat dan cardiac output juga ikut bertambah. Hal ini
dapat dilihat pada grafik, terjadi peningkatan signifikan pada kontraktilitas
jantung atau heart force.[3] Digoxin juga akan memengaruhi dari kelistrikan
jantung, yang merupakan campuran efek langsung dan autonom. Efek
langsungnya pada membran sel jantung adalah berkurangnya durasi potensial
aksi, akibat penghantaran kalium semakin cepat karena adanya peningkatan
kalsium. Pada konsentrasi yang lebih tinggi atau kadar toksik glikosida jantung
rendah, inhibisi pompa Na+ dan peningkatan kadar Ca2+ intrasel menjadi sangat
tinggi, sehingga potensial membran istirahat berkurang (menjadi kurang
negatif). Seiring terjadinya toksisitas ini, akan muncul after potential (potensial
susulan) yang mengikuti potensial aksi normal. Potensial susulan ini juga
dikenal sebagai delayed after-depolarization, yang berkaitan dengan penuhnya
kalsium intraseluler dan diikuti potensial aksi “depolarisasi prematur”,
mengakibatkan otot jantung berkontraksi berulang-ulang tanpa di bawah
kendali nodus SA. Pada efek toksisitas lebih tinggi, setiap potensial aksi yang
dipicu oleh potensial susulan akan memicu afterpotential atas ambang
(suprathreshold) dan menyebabkan takikardia terus menerus. Efek saraf
otonom glikosida jantung melibatkan saraf simpatis dan parasimpatis. Pada
dosis rendah, maka efek parasimpatomimetik kardioselektif akan lebih
mendominasi, menstimulasi sistem saraf parasimpatis pada jantung. Hal ini
menyebabkan penurunan denyut nodus SA dan memblokade nodus AV
(kronotropik negatif), sehingga dapat digunakan sebagai antiaritmia. Aktivasi
saraf parasimpatis ini tampak pada penurunan heart rate atau denyut jantung di
grafik. Pada sistem saraf simpatis, glikosida jantung akan mengakibatkan
pelepasan katekolamin, sehingga akan terjadi vasokonstriksi sesaat setelah
pemberian obat ini secara IV. Dari grafik, dapat dilihat terjadi peningkatan
tekanan darah arteri akibat terjadinya vasokonstriksi. Peningkatan tekanan
darah arteri juga meningkatkan tekanan pada ventrikel kiri. Sedangkan pada
vena, efek ini tidak berpengaruh, yang dapat dilihat pada grafik bahwa terjadi
penurunan tekanan darah vena.[1][2]

Dari percobaan ketujuh, pemberian isoprenaline 10 µg/kg pada tikus normal


setelah aktivasi saraf simpatis jantung menyebabkan terjadinya peningkatan
kuat dari heart rate atau denyut jantung dan heart force atau kontraktilitas
jantung. Isoprenaline atau isoproterenol adalah agonis reseptor β non-selektif
yang sangat poten dan hanya berefek sedikit pada reseptor α. Obat ini memiliki
efek inotropik positif (memperkuat daya kontraksi) dan kronotropik positif
(meningkatkan frekuensi jantung), yang tampak pada grafik sebagai
peningkatan kontraktilitas jantung dan denyut jantung. Isoprenaline merupakan
vasodilator kuat karena hampir hanya mengaktifkan reseptor β, sehingga pada
grafik percobaan dapat dilihat bahwa terjadi penurunan mencolok pada tekanan
arteri atau arterial blood pressure. Tekanan ventrikel kiri juga menurun karena
resistensi perifer arteri menurun akibat vasodilatasi. Obat ini merelaksasi semua
jenis otot polos, termasuk otot polos bronkus dan saluran pencernaan.
Isoproterenol dapat digunakan untuk menstimulasi denyut jantung pada pasien
dengan bradikardi atau blokade jantung.[2] Berbeda dengan isoprenaline yang
meningkatkan tekanan darah melalui peningkatan kontraktilitas jantung,
adenosine berperan untuk menurunkan tekanan darah dengan mekanisme
penurunan kontraktilitas jantung. Adenosine merupakan zat endogen tubuh,
yang termasuk ke dalam nukleosida purin. Adenosine akan menekan potensial
aksi yang bergnatung kalsium, yang utamanya berada di nodus AV, sehingga
obat ini akan memperlambat kecepatan penghantaran di jantung. Oleh karena
itu, terjadilah penurunan kontraktilitas dan denyut jantung. Hal ini juga dapat
terlihat pada grafik. Selain itu, adenosin juga merupakan vasodilator poten,
terutama pada otot polos arteri. Efek ini terjadi karena aktivasi reseptor A2A,
yang membuka channel K+ pada otot, sehingga terjadi hiperpolarisasi membran.
Hiperpolarisasi mengakibatkan otot menjadi relaksasi. Vasodilatasi pembuluh
menyebabkan turunnya resistensi perifer, sehingga tekanan darah arteri turun.[4]
Penurunan tekanan darah arteri juga menyebabkan penurunan pada tekanan
ventrikel kiri, yang dapat dilihat pada grafik. Mekanisme kerja obat ini
menyebabkan penggunaan adenosine sering dipakai untuk takikardia
supraventrikel paroksismal, untuk memperlambat penghantarannya, sehingga
darah di atrium masih dapat dihabiskan menuju ventrikel.[4]

H. Kesimpulan
Otot jantung merupakan otot yang dapat menghasilkan aktivitas kelistrikannya
sendiri. Kelistrikan jantung ini dikendalikan oleh sistem nodus, yaitu nodus SA
(sinoatrial), nodus AV (atrioventrikular), berkas His, left bundle branch dan
right bundle branch, serta serabut purkinje. Selain dipengaruhi sistem nodus,
aktivitas kelistrikan jantung juga dipengaruhi oleh rangsangan saraf simpatis
dan parasimpatis. Oleh karena adanya pengaruh saraf otonom terhadap kinerja
otot jantung, maka terdapat obat-obat otonom yang dapat memengaruhi kerja
jantung. Contohnya adalah obat simpatomimetik, seperti isoprenaline,
adrenaline, dan noradrenaline, yang dapat menyebabkan inotropik positif dan
kronotropik positif. Namun, pemberian obat ini juga akan menyebabkan adanya
mekanisme kompensasi dari tubuh, yang diperantarai oleh refleks baroreseptor.
Kompensasi ini dilakukan dalam rangka mempertahankan homeostasis tubuh.
DAFTAR PUSTAKA

1. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi dasar dan klinik. Edisi 12.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2013.
2. Brunton LL, Knollmann BC, Hilal-Dandan R. Goodman and gilman’s the
pharmacological basic of therapeutics. 13th Edition. United States of America:
McGraw-Hill Education; 2017.
3. Patocka J, Nepovimova E, Wu W, Kuca K. Digoxin: Pharmacology and
toxicology-A review. Environ Toxicol Pharmacol. 2020 Oct; 79: 103400.
4. Reiss AB, Grossfeld D, Kasselman LJ, et al. Adenosine and the Cardiovascular
System. Am J Cardiovasc Drugs. 2019;19(5):449-464.
LAMPIRAN

Patocka J, Nepovimova E, Wu W, Kuca K. Digoxin: Pharmacology and toxicology-


A review. Environ Toxicol Pharmacol. 2020 Oct; 79: 103400.
Reiss AB, Grossfeld D, Kasselman LJ, et al. Adenosine and the Cardiovascular
System. Am J Cardiovasc Drugs. 2019;19(5):449-464.

Anda mungkin juga menyukai