Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN HASIL PRAKTIKUM

BLOK KELUHAN BERKAITAN DENGAN SISTEM KARDIOVASKULER


OBAT-OBAT YANG BEKERJA PADA SISTEM KARDIOVASKULER

OLEH:
Nama: Andi Muhammad Yudha Setiawan Tawil
NIM: 2010911210058
Kelompok: 19

ASISTEN PRAKTIKUM:
Muhammad Ihrammuf Tezar (NIM. 1810911310014)

DOSEN KOORDINATOR PRAKTIKUM:


dr. Alfi Yasmina, M.Kes., M.Pd.Ked., Ph.D.

DEPARTEMEN FARMAKOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2021
A. Tujuan Praktikum
Memahami efek obat-obat yang bekerja pada sistem kardiovaskuler
B. Probandus
Tikus

C. Bahan-Bahan
1. Adrenaline
2. Noradrenaline
3. Phenylephrine
4. Isoprenaline
5. Atenolol
6. Glyceryl trinitrate
7. Verapamil
8. Angiotensin II
9. Losartan
10. Captopril
11. Digoxin
12. Adenosine

D. Bahan-Bahan
1. Kanula arteri
2. Kanula ventrikel kiri
3. Kanula vena
4. Pithing rod
5. Pressure transducer
6. Injektor Obat
E. Cara Kerja
1. Buka software RatCVS (The Vrtual Rat) versi 3.3.7 yang sudah di-install ke komputer
2. Layar yang anda lihat adalah sebagai berikut:

Parameter-parameter yang dinilai adalah:


a. ABP, yaitu arterial blood pressure (tekanan darah arterial),
b. LVP, yaitu left ventricular pressure (tekanan ventrikel kiri),
c. VBP, yaitu venous blood pressure (tekanan darah vena),
d. HF, yaitu heart contractile force (kekuatan kontraktilitas jantung), dan
e. HR, yaitu heart rate (denyut jantung).
3. Untuk pelaksanaan praktikum ini, tikus dianestesi umum dan diberikan ventilasi
artifisial. Kanula arteri dimasukkan ke dalam arteri femoralis, kanula venosa
dimasukkan ke dalam vena femoralis, dan kanula ventrikel dimasukkan ke dalam
ventrikel kiri. Kanula arteri dihubungkan ke pressure transducer untuk mengukur ABP.
Kanula ventrikel dihubungkan ke pressure transducer untuk mengukur LVP. Kanula
venosa dihubungkan ke pressure transducer untuk mengukur VBP. HF dihitung dari
nilai LVP, dan HR dihitung dari ABP.
4. Pilihlah “Normal Rat” bila ingin melihat efek obat/stimulasi seperti pada kondisi
sebenarnya (korda spinalis utuh dan refleks baroreseptor penuh).
5. Lakukan eksperimen-eksperimen a sampai g di bawah ini.
Setiap pemberian obat/stimulasi direkam sepanjang minimal 1 kotak besar. Setiap
selesai 1 eksperimen, bisa diklik Edit > Copy Image untuk mengkopi gambar ke file
lain, atau di-Print (menu File > Print).
Untuk setiap eksperimen, catat kelima parameter di atas setiap dilakukan pemberian
obat atau pemberian stimulasi saraf (lihat Tabel). Cara mendapatkan angka kelima
parameter itu, geser garis hijau ke kanan atau ke kiri untuk memposisikannya di lokasi
yang anda inginkan, dan angkanya akan muncul pada garis hijau tersebut. Untuk
memulai lagi eksperimen berikutnya, klik “New Experiment”.
a. Start – Phenylephrine (10 µg/kg) – Glyceryl trinitrate (20 mg/kg) – Stop
b. Start – Noreadrenaline (10 µg/kg) – Verapamil (1 mg/kg) – Stop.
c. Start – Adrenaline (10 µg/kg) – Atenolol (20 mg/kg) – Stop.
d. Start – Angiotensin II (1 µg/kg) – Losartan (20 mg/kg) – Stop.
e. Start – Phenylephrine (10 µg/kg) – Captopril (20 mg/kg) – Stop.
f. Start – Digoxin (20 mg/kg) – Stop.
g. Start – Isoprenaline (10 µg/kg) – Adenosine (10 mg/kg) – Stop
6. Bahas hasil eksperimen berdasarkan mekanisme kerja stimulasi saraf
simpatis/parasimpatis atau mekanisme kerja obat terhadap parameter-parameter di atas.
F. Hasil Eksperimen

Gambar 1. Eksperimen 1: Phenylephrine (10 µg/kg) – Glyceryl trinitrate (20 mg/kg)

Gambar 2. Eksperimen 2: Noreadrenaline (10 µg/kg) – Verapamil (1 mg/kg)


Gambar 3. Eksperimen 3: Adrenaline (10 µg/kg) – Atenolol (20 mg/kg)

Gambar 4. Eksperimen 4: Angiotensin II (1 µg/kg) – Losartan (20 mg/kg)


Gambar 5. Eksperimen 5: Phenylephrine (10 µg/kg) – Captopril (20 mg/kg)

Gambar 6. Eksperimen 6: Digoxin (20 mg/kg)


Gambar 7. Eksperimen 7: Isoprenaline (10 µg/kg) – Adenosine (10 mg/kg)
G. Pembahasan
Pembahasan interaksi obat dengan sistem kardiovaskular akan selalu erat hubungannya
dengan arterial blood pressure (ABP), left ventricular pressure (LVP), venous blood
pressure (VBP), heart contractile force (HF), dan heart rate (HR). Obat yang berinteraksi
dengan jantung kebanyakan merupakan obat yang mempengaruhi sistem saraf otonom.
Saraf otonom sendiri diklasifikasikan menjadi 2, yakni simpatis dan parasimpatis. Efek
simpatis sering juga disebut dengan efek fight or flight, maksudnya adalah efek yang
muncul ketika kita dalam kondisi antara berkelahi atau lari. Pada kondisi itu, tubuh akan
mengalami hal-hal sebagai berikut: Kontraksi otot polos (yang dapat menyebabkan
vasokonstriksi), dilatasi saluran pernapasan, HR naik, HF naik, blood pressure naik,
alertness meningkat, dan berbagai macam hal yang dapat mendukung kegiatan tubuh dalam
rangka fight or flight. Parasimpatis sendiri biasa dikenal dengan efek rest and digest,
istirahat dan mencerna. Pada kondisi rangsangan parasimpatis, akan terjadi hal-hal yang
mendukung kegiatan untuk beristirahat dan mencerna, mudahnya bisa dikatakan efek yang
ditimbulkan berkebalikan dengan efek dari simpatis. Untuk menerima rangsangan dari
saraf otonom ini, diperlukan suatu reseptor pada organ efektor (organ yang dituju untuk
diberikan efek). Reseptor untuk rangsangan dari saraf simpatik biasa disebut dengan
reseptor adrenergi yang terbagi atas α (alfa) dan β (beta). Masing-masing reseptor ini pun
biasanya dapat bekerja sama dengan salah satu reseptor akan mengakibatkan efek yang
berlebih, ada pun yang dapat menghasilkan efek yang berlawanan. Perlu diketahui juga
bahwa masing-masing reseptor ini tidak selalu ada di semua tempat. Contohnya alfa dapat
mengakibatkan kontraksi pada iris (midriasis), sedangkan beta tidak terdapat pada bagian
tersebut. Begitu pula di jantung, hanya terdapat reseptor beta. Reseptor alfa dan beta pula
terdapat banyak macam variasi seperti alfa 1, alfa 2, beta 1, beta 2, dan beta 3. Akan tetapi,
berkaitan dengan variasi dari masing-masing reseptor akan kurang dibahas. Untuk saraf
parasimpatis memiliki reseptor biasa disebut dengan kolinergik yang terbagi atas
muskarinik dan nikotinik. Sama dengan alfa dan beta, reseptor muskarinik dan nikotinik
juga terdapat banyak varian, yakni M1 – M5. Mengetahui bahwa terdapat suatu sistem yang
dapat mengontrol banyak hal, manusia membuat suatu obat yang dapat meniru kerja dari
sistem tersebut dengan tujuan digunakan apabila terdapat suatu kelainan atau kesalahan
pada tubuh. Maka dibuatlah obat-obat yang dapat menyerupai kerja dari sistem saraf ini
dan juga obat-obatan yang dapat melawan kerja dari sistem saraf ini. Contohnya obatnya
sebagai berikut: Obat simpatomimetik (obat yang dapat meniru/memimik kerja dari
simpatis), obat simpatolitiik (melawan kerja dari simpatis), parasimpatomimetik (obat yang
meniru/memimik kerja dari parasimpatis), dan obat simpatolitik (obat yang melawan kerja
dari parasimpatik). Apabila berbicara mengenai obat yang berkaitan dengan
kardiovaskular, maka tidak lupa juga untuk menyertakan obat yang memiliki kerja di luar
dari efek simpatis dan parasimpatis, yakni glikosida jantung. Kerja dari obat ini adalah
untuk berikatan dengan pompa Na+ (Na+ -K+ -ATPase), menghambat pompa Na+ sehingga
meningkatkan kadar Na+ dalam intrasel (berkaitan dengan fase-fase penghantaran impuls
jantung). Selain itu, perlu juga diketahui obat-obatan lain yang dapat bekerja pada sistem
kardiovaskular. Berkaitan dengan hal itu, maka dilakukanlah praktikum dengan tujuan
untuk memahami efek-efek obat yang bekerja pada sistem kardiovaskular. Pada praktikum
ini terdapat total 7 eksperimen dilakukan agar dapat lebih memahami efek dari obat-obatan
yang berkaitan dengan sistem kardiovaskular. Semua eksperimen dimulai dengan kondisi
normal kemudian yang dapat dijadikan sebagai variabel kontrol dilanjutkan dengan kondisi
yang diberikan obat. Eksperimen pertama adalah menggunakan Phenylephrine/fenilefrin
(10 µg/kg) kemudian Glyceryl trinitrate/gliseril trinitrat (20 mg/kg). Pada gambar 1 dapat
dilihat bahwa pada saat diberikan fenilefrin terjadi kenaikan pada tekanan darah. Hal ini
disebabkan oleh efek dari fenilefrin yang berupa obat simpatomimetik khusus untuk
reseptor alfa. Penerimaan oleh reseptor alfa simpatis dapat menyebabkan terjadinya
konstriksi pembuluh darah sehingga menyebabkan tekanan darah naik. Hal yang perlu
dipertanyakan adalah mengenai terjadinya penurunan pada HR. Padahal apabila dipikirkan
kembali, efek simpatis alfa tidak memiliki hubungan dengan HR (jantung). Penurunan HR
ini dapat dijelaskan dengan mekanisme barorefleks kompensatorik yang ditujukan untuk
memulihkan homeostasis. Dalam upaya mencegah terjadinya perubahan secara signifikan,
tubuh berusaha mengimbangi perubahan dengan cara mengubah komponen yang lain
sehingga homeostasis tetap tercipta. Hal ini terjadi pula dengan gliseril trinitrat.
Sebelumnya perlu diberitahu penjelasan bahwa gliseril trinitrat/nitrogliserin merupakan
obat nitrat organik yang merupakan obat utama untuk terapi angina. Obat ini dapat
menyebabkan relaksasi dari pembuluh darah dengan syarat harus terbentuknya nitrat oksida
(membutuhkan enzim tertentu dalam pembuatannya). Pada pemberian gliseril trinitrat yang
memiliki efek vasodilatasi terjadi pula kompensasi oleh tubuh dengan cara menaikkan HR.
Eksperimen kedua adalah menggunakan Noreadrenaline (10 µg/kg) kemudian Verapamil
(1 mg/kg). Pada gambar 2 bisa dilihat bahwa terjadi kenaikan tekanan darah ketika
diberikan noreadrenaline dan juga terjadi penurunan dari HR, sedangkan pada pemberian
verapamil terjadi penurunan tekanan darah dan kontraktilitas jantung serta terjadi
penurunan pada awal pemberian, sedikit kenaikan pada saat selang pertengahan, kemudian
mengalami penurunan kembali dari HR. Untuk dapat menjelaskan perlu diketahui terlebih
dahulu mekanisme dari masing-masing obat yang diberikan. Noreadrenalin (NA) atau
norepinefrin (NE) merupakan salah satu neurotransmitter yang berada pada saraf simpatis.
Dikarenakan senyawa tersebut terdapat pada saraf simpatis, secara langsung kita dapat
mengetahui bahwa obat yang digunakan dalam eksperimen dapat menghasilkan efek
simpatis. NA dapat diterima baik pada reseptor alfa dan beta. Pada reseptor alfa NA dapat
menyebabkan vasokonstriksi sedangkan pada reseptor beta dapat menyebabkan positif
inotropik dan kronotropik. Berdasarkan percobaan didapatkan bahwa efek dari kenaikan
tekanan darah terjadi sehingga bisa kita simpulkan bahwa untuk NA memiliki efek yang
dominan terhadap reseptor alfa. Terjadinya penurunan dari HF dan HR dapat dijelaskan
dengan mekanisme kompensasi sebagaimana yang terjadi pada eksperimen pertama juga.
Verapamil merupakan obat dalam kategori calcium channel blocker kelompok non-
dihidropiridin. Obat CCB bekerja dengan mekanisme menurunkan frekuensi pembukaan
saluran kalsium sebagai respons terhadap depolarisasi. Dasarnya obat yang termasuk dalam
CCB memiliki efek pada vaskular dan jantung, tetapi untuk kelompok non-dihidropiridin
lebih spesifik efeknya terhadap jantung. Efek dari verapamil terhadap jantung adalah dapat
menurunkan kontraktilitas dan HR. Berdasarkan gambar, dapat dilihat bahwa pada
pemberian verapamil, kontraktilitas jantung langsung menurun lumayan drastis. HR
sempat mengalami sedikit kenaikan pada pertengahan kemudian mengalami penurunan.
Tekanan darah langsung mengalami penurunan dari awal pemberian. Kondisi ini dapat
dijelaskan dengan cara memperhatikan hubungan antara masing-masing dari komponen.
Ketika terjadi penurunan kontraktilitas, darah yang mengalir jelas akan menjadi lebih
sedikit. Selain itu, kekuatan dari jantung untuk melawan pembuluh darah juga lebih
berkurang, akibatnya tubuh membuat kompensasi dengan cara menurunkan tekanan darah
dengan cara melakukan vasodilatasi/menurunkan afterload. Terjadi penurunan afterload
yang besar maka jelas tubuh membutuhkan kompensasi agar tetap dalam kondisi
homeostasis, akibatnya terjadilah peningkatan HR (terjadi pada pertengahan). Akan tetapi,
efek homeostasis tidak akan berlangsung lama, sehingga HR akan menurun sebagaimana
efek dari CCB non-DHP. Eksperimen ketiga menggunakan Adrenaline (10 µg/kg)
kemudian Atenolol (20 mg/kg). Pada gambar ke-3 dapat dilihat bahwa terjadi perubahan
yang signifikan hanya antara HF dan HR. Pada saat pemberian adrenalin dapat dilihat
bahwa terjadi kenaikan baik pada HF dan HR, sedangkan pada penggunaan atenolol terjadi
penurunan dari HR dan HF. Adrenalin sama dengan Noradrenalin merupakan obat yang
bekerja pada saraf simpatis. Perbedaannya untuk adrenalin lebih dominan pada reseptor
beta dibandingkan reseptor alfa sehingga dapat dilihat pada gambar eksperimen terjadi
peningkatan dari HR dan HF. Pada tekanan darah (berkaitan dengan pembuluh darah) tidak
terdapat perubahan yang signifikan dikarenakan baik efeknya terhadap pembuluh darah
(reseptor alfa) yang kurang dominan dan juga perubahan HR dan HF yang kurang
signifikan sehingga tubuh tidak perlu melakukan kompensasi untuk menjaga homeostasis.
Atenolol merupakan obat golongan beta-blocker yang berarti obat ini memblokade
persarafan simpatis untuk reseptor beta. Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa kerja
dari saraf simpatis beta adalah menyebabkan HR naik dan kontraktilitas jantung naik.
Dikarenakan terjadi pemblokadean, maka jantung akan mengalami penurunan HR dan HF.
Eksperimen keempat menggunakan Angiotensin II (1 µg/kg) kemudian Losartan (20
mg/kg). Pada gambar ke-4 dapat dilihat ketika pemberian angiotensin II terjadi kenaikan
dari tekanan darah ABP dan LVP, sedikit penurunan dari VBP, dan terjadi penurunan
signifikan pada HR. Sebaliknya, pada pemberian losartan terjadi penurunan dari ABP dan
LVP, sedikit penurunan VBP, dan terjadi kenaikan signifikan pada HR. Angiotensin II
merupakan suatu senyawa yang juga terdapat secara alami dalam tubuh, berasal dari sistem
renin angiotensin. Angiotensin II dapat menyebabkan beberapa hal sebagai berikut,
meningkatkan aktivitas saraf simpatis (dapat menyebabkan vasokonstriksi), reabsorbsi Na+
Cl-, eksresi K+, dan retensi air. Keseluruhan efek yang ditimbulkan dari Angiotensin II
secara tak langsung dapat menyebabkan kenaikan dari tekanan darah. Hal itulah yang
menyebabkan terjadinya kenaikan tekanan darah pada saat pemberian. Untuk penurunan
dari HR sama seperti sebelumnya, merupakan kompensasi yang dilakukan oleh tubuh
ketika terjadi perubahan yang signifikan pada salah satu komponen kardiovaskular.
Losartan sendiri merupakan obat jenis angiotensin II receptor blockers (ARB) sehingga
memiliki efek yang berlawanan/berkebalikan dari angiotensin II sebab angiotensin II
mengalami pemblokadean pada saat berikatan dengan reseptornya. Efek kompensasi pun
dapat terlihat pada saat terjadi penurunan tekanan darah secara siginifikan, HR melakukan
kompensasi dengan cara menaikkan HR. Dapat dilihat juga efek kompensasi tidak
berlangsung lama sehingga HR kembali mengalami penurunan setelah mengalami
kenaikan. Eksperimen kelima menggunakan Phenylephrine (10 µg/kg) kemudian Captopril
(20 mg/kg). Pada gambar ke-5 dapat dilihat terjadi hal yang sama seperti pada eksperimen
1 untuk pengaruh dari fenilefrin. Pada saat pemberian captopril terjadi penurunan tekanan
darah serta sedikit terjadi penurunan dari HR. Untuk berkaitan dengan fenilefrin mungkin
sama seperti eksperimen pertama, fokus kali ini hanya pada captopril. Captopril merupakan
obat golongan Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor. Intinya obat captopril
bekerja dengan cara menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga
tidak ada terjadi efek angiotensin II. Obat ini mirip dengan obat golongan ARB, bedanya
ARB menghamat tepat pada reseptor tempat Angiotensin II bekerja sedangkan ACEi
menghambat pembentukannya. Dikarenakan cara kerjanya sama, maka efeknya kurang
lebih mirip, hanya saja yang membedakan ada pada bagian penurunan tekanan darah yang
terjadi antara ARB dan ACEi. Dari eksperimen yang sebelumnya dilakukan dan
eksperimen yang coba saya lakukan sendiri, didapati bahwa ARB dapat menurunkan
tekanan darah lebih signifikan yang pastinya akan terdapat efek kompensasi dari tubuh
dengan menaikkan HR, sedangkan ACEi disebabkan penurunan tekanan darah yang kurang
signifiikan menyebabkan tidak terdapatnya efek kompensasi. Eksperimen keenam dengan
menggunakan Digoxin (20 mg/kg). Pada gambar ke-6 dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan
dari kontraktilitas jantung serta terdapat penurunan dari HR. Digoxin merupakan obat yang
bekerja sebagai inhibitor Na+-K+-ATPase. Secara umum kerjanya pada saat masa
repolarisasi, kita mengetahui bahwa setelah terjadi pertukaran antara Na+ dan Ca2+ yang
masuk ke dalam sel menyebabkan depolarisasi dan K+ keluar dari sel yang menyebabkan
repolarisasi, nantinya akan terdapat fase di mana masing-masing ion akan bertukar agar
kondisi Na+ dan Ca2+ di luar sel akan tetap lebih banyak dan di dalam sel K+ akan tetap
lebih banyak. Pada fase itu penukaran dengan cara agar K+ dapat masuk ke dalam sel maka
membutuhkan 3 Na+, hal ini terjadi pada pompa Na+-K+-ATPase (mekanisme pompa
antiport). Selain itu terdapat juga Na+-Ca2+ exchange yang membuat agar Ca2+ menjadi
keluar dari dalam sel (formulasinya sama, 3 Na+ untuk 2 Ca2+, dengan mekanisme pompa
antiport). Kontraktilitas yang meningkat disebabkan dari banyaknya Ca2+. Selain itu,
digoxin dapat menyebabkan denyut jantung (HR) tidak meningkat/ menurun karena
digoxin sendiri memiliki mekanisme mengaktivasi nervus vagus, memiliki bagian saraf
parasimpatis yang dapat menekan terjadinya peningkatan HR. Eksperimen ketujuh
menggunakan Isoprenaline (10 µg/kg) – Adenosine (10 mg/kg). Pada gambar ke-7 dapat
pada pemberian isoprenaline terjadi kenaikan HR dan HF serta terjadi penurunan dari
tekanan darah, sedangkan pada saat pemberian adenosin terjadi penurunan dari HR dan HF
serta hampir semua komponen tekanan darah. Isoprenalin merupakan obat agonis beta
adrenergik/obat simpatomimetik khusus reseptor beta sehingga terjadi peningkatan HR dan
HF. Terjadi penurunan tekanan darah disebabkan kompensasi dari tubuh untuk mecegah
homeostasis seperti pada eksperimen-eksperimen sebelumnya. Adenosin sendiri adalah
agonis reseptor adenosin yang memiliki efek sebagai aktivasi arus masuk kalium (terjadi
hiperpolarisasi dan penurunan kontraksi [menurunkan HF]), menghambat masuknya
kalsium (relaksasi otot, terjadi penurunan tekanan darah/vasodilatasi), serta menghambat
nodus SA dan nodus AV (menurunkan HR).

H. Kesimpulan
Pembahasan interaksi obat dengan sistem kardiovaskular akan selalu erat hubungannya
dengan arterial blood pressure (ABP), left ventricular pressure (LVP), venous blood
pressure (VBP), heart contractile force (HF), dan heart rate (HR). Obat berkaitan dengan
kardiovaskular biasanya berhubungan juga dengan sistem saraf otonom baik simpatis dan
parasimpatis. Selain itu, terdapat juga beberapa obat khusus yang dapat bekerja dalam
mengatasi permasalahan kardiovaskular. Dalam permberian obat, selain memperhatikan
efek yang diberikan obat, tidak kalah penting juga untuk memperhatikan efek kompensasi
yang dihasilkan dari mengonsumsi obat. Efek kompensasi biasanya akan timbul apabila
terdapat perubahan secara signifikan pada komponen dari kardiovaskular.
DAFTAR PUSTAKA
1. Katzung, Bertram G. et al. FARMAKOLOGI DASAR & KLINIK. Edisi 12. Jakarta: EGC;
2014.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai