Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel
hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu kedokteran senyawa
tersebut disebut obat. Karena itu dikatakan farmakologi merupakan seni menimbang ( the art
of weighing ). Tanpa pengetahuan farmakologi yang baik, seorang dokter dapat merupakan
sumber bencana bagi pasien karena tidak ada obat yang aman secara murni. Hanya dengan
penggunaan yang cermat, obat akan bermanfaat tanpa efek samping tidak diinginkan yang
terlalu menggangu. Selain itu, pengetahuan mengenai efek samping obat memampukan
dokter mengenal tanda dan gejala yang disebabkan obat. Hampir tidak ada gejala dari
demam, gatal sampai syok anafilaktik, yang tidak terjadi dengan  obat. Jadi obat selain
bermanfaat dalam pengobatan penyakit, juga merupakan penyebab penyakit. Menurut suatu
survey di Amerika Serikat, sekitar 5 % pasien masuk rumah sakit akibat obat. Rasio fatalitas
kasus akibat obat dirumah sakit bervariasi antara 2 – 12%. Efek samping obat meningkat
sejalan dengan jumlah obat yang diminum. Melihat fakta tersebut, pentingnya pengetahuan
obat bagi seorang dokter maupun apoteker tidak dapat diragukan.
Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati,
mendiagnosis penyakit/gangguan atau menimbulkan suatu kondisi tertentu misalnya
membuat seorang infertile, atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan.
Salah satu bagian dalam ilmu farmakologi yaitu obat otonom yakni obat adrenergic atau
simpatomimetika yaitu zat – zat yang dapat menimbulkan ( sebagian ) efek yang sama
dengan stimulasi susunan simpaticus ( SS ) dan melepaskan noradrenalin ( NA ) di ujung –
ujung sarafnya. SS berfungsi meningkatkan penggunaan zat oleh tubuh dan menyiapkannya
untuk proses disimilasi. Organisme disiapkan agar dengan cepat dapat menghasilkan banyak
energy, yaitu siap untuk suatu reaksi “ fight, fright, or flight “ ( berkelahi, merasa takut, atau
melarikan diri ). Oleh karena itu, adrenergika memiliki daya yang bertujuan mencapai
keadaan waspada tersebut.

1
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Dapat menentukan jenis – jenis obat adrenergic
2. Proses atau mekanisme kerja obatnya
3. Indikasi obat adrenergic
4. Kontraindikasi
5. Efek samping

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Senyawa adrenergik disebut juga dengan adrenomimetik adalah senyawa yang dapat
menghasilkan efek serupa dengan respon akibat rangsangan pada sistem saraf adrenergik.
Sistem saraf adrenergik adalah cabang sistem saraf otonom dan mempunyai neurotransmitter
yaitu norepinefrin. Obat adrenergik beraksi pada sel efektor melalui adrenoreseptor yang
normalnya diaktifkan oleh norepinefrin atau beraksi pada neuron yang melepaskan
neurotransmitter (Lemke, 2008).
Kerja obat adrenergic dapat dikelompokkan dalam 7 jenis yaitu :
1. Perangsangan organ perifer : otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, serta
kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan organ perifer : otot polos usus, bronkus dan pembuluh darah otot
rangka
3. Perangsangan jantung      : dengan akibat peningkatan denyut jantung  dan kekuatan
kontraksi
4. Perangsangan SSP : misalnya perangsangan pernapasan, peningkatan kewaspadaan,
aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan
5. Efek metabolic : misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis dan
penglepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak
6. Efek endokrin : misalnya modulasi sekresi insulin, rennin, dan hormone hipofisis
7. Efek prasinaptik : dengan akibat hambatan atau peningkatan penglepasan
neurotransmitter NE atau Ach ( acetyl colin ).

2.2 Reseptor adrenergik dibagi menjadi:


1. Reseptor alfa adrenergik, dibagi menjadi 2 :
a. Alfa-1 adrenergik
Menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah, saluran gastrointestinal, vasodilatasi otot
bronkus (efeknya lebih kecil dibanding beta-2)
b. Alfa-2 adrenergik
Fungsi dari reseptor ini dapat menginhibisi pelepasan insulin, induksi pelepasan glukagon,
kontraksi spincher pada gastro intestinal

3
2. Reseptor beta adrenergik, dibagi menjadi 2:
a. Beta 1 : terdapat di jantung menaikkan heart rate (jumlah denyut jantung per unit waktu),
menaikkan kontraksi jantung alfa 1-adrenoreseptor postsinaptik terdapat pada otot
polosvaskuler, otot miokardial, sel hepatosit, dan sel adiposity
b. Beta 2: terdapat di pembuluh darah, otot polos skeletal, otot polos bronkus relaksasi otot
polos di gastro intestinal dan bronkus, dilatasi arteri, glukoneogenesis. Alfa 2-adrenoreseptor
prasinaptik terdapat pada semua organ yang sarafnya dikontrol oleh sistem saraf simpatetik.
Alfa 2- adrenoreseptor postsinaptik terdapat pada otot polos vascular, pankreas, platelet,
adiposit, ginjal, melanosit, dan otot polos mata (Lemke, 2008).

1. Struktur yang diperlukan untuk memberikan aktivitas agonis pada reseptor adrenergik
adalah sebagai berikut :
 Struktur induk fenietilamin
 Substituen 3-hidroksi fenolat pada cincinatau yang lebih baikadalah substituen 3,4
dihidroksifenolat pada cincin
 Atom N paling sedikit mempunyai satu atom hidrogen (R=H atau gugus alkil)

2. Tiap-tiap gugus mempunyai afinitas terhadap reseptor dan berhubungan dengan aktivitas
adrenergik. Reseptor yang terlibat disini adalah reseptor –adrenergikα dan -adrenergik. β
1. Gugus hidroksi fenolat membantu interaksi obat dengan sisi reseptor melalui ikatan
hidrogen atau elektrostatik..
2. Gugus hidroksi alkohol dalam bentuk isomer, dapat mengikat reseptor secara serasi
melaui ikatan hidrogen atau elektrostatik.
3. Adanya gugus amino, dalam bentuk kationik dapat berinteraksi dengan gugus fosfat
reseptor yang bersifat anionik.
4. Penggantian gugus amino dengan OCH3 akan menghilangkan aktivitas adrenergik.
5. Adanya substitusi gugus alkil yang besar pada atom N akan meningkatkan aktivitas
afinitas senyawa terhadap reseptor danβ menurunkan aktivitasnya pada -reseptor.α
6. Pada -agonis dan -antagonis mempunyai struktur mirip. Sedangkanβ β pada -agonis
dan -antagonis kemungkinan mirip kecil karena merekaα α mengikat pada sisi
reseptor yang berbeda

4
2.3 Berdasarkan mekanisme kerjanya, senyawa adrenergik terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu adrenomimetik yang bekerja langsung. Adrenomimetik yang bekerja tidak
langsung, dan adrenomimetik yang bekerja campuran.
1. Adrenomimetik yang bekerja secara langsung
Mekanisme aksinya yaitu obat ini membentuk kompleks reseptor khas. Contoh
senyawanya yaitu –feniletilaminβ derivatif (epinefrin, norepinefrin, isoproterenol, dan
metaproterenol) dan imidazolin derivatif -agonis (klonidin, naphazolin, oximetazolin). Pada
makalahα ini akan dibahas HKSA dari imidazolin derivatif -agonis. Imidazolin mungkinα
tidak selektif atau mungkin selektif baik pada 1 atau 2-adrenoreseptor. Secaraα α struktur
imidazolin sebagian besar strukturnya memiliki inti imidazolin heterosiklik yang
berhubungan dengan substitusi gugus aromatic melalui beberapa jenis unit jembatan
(Nicholls, 2010) .
2. Adrenomimetik bekerja tidak langsung
Mekanisme kerja adrenomimetik tidak langsung yaitu bekerja dengan melepaskan
katekolamin terutama norepinefrin dari granul-granul penyimpanan di ujung saraf simpatetik
atau menghambat pemasukan norepinefrin pada membran saraf. Hubungan Struktur
Aktivitas Adrenomimetik Bekerja Tidak Langsung
3. Adrenomimetik bekerja campuran
Adrenomimetik ini dapat menimbulkan efek melalui pengaktifan adrenoreseptor dan
melepaskan katekolamin dari tempat penyimpanan atau menghambat pemasukan
katekolamin. Contoh senyawanya adalah efedrin, fenilpropanolamin, dan oktopamin.

2.4 Contoh Obat Adrenergik antara lain :


1. Epinefrin
2. Norepinefrin
3. Isoproterenol
4. Dopamin
5. Dobutamin
6. Amfetamin
7. Metamfenamin
8. Efedrin
9. Metoksamin
10. Fenilefrin

5
11. Mefentermin
12. Metaraminol
13. Fenilpropanolamin
14. Hidroksiamfetamin
15. Etilnorepineprin

EPINEFRIN
Epinefrin merupakan prototype obat kelompok adrenergic. Zat ini dihasilkan juga oleh anak-
ginjal dan berperan pada metabolisme hidrat-arang dan lemak. Adrenalin memiliki semua
khasiat adrenergis alfa dan beta, tetapi efek betanya relative lebih kuat ( stimulasi jantung dan
bronchodilatasi ).

Farmakodinamika
Pada umumnya pemberian epinefrin menimbulkan efek mirip stimulasi saraf adrenergic. Ada
beberapa perbedaan karena neurotransmitter pada saraf adrenergic adalah NE. Efek yang
paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos pembuluh darah dan otot polos lain.
·       Jantung, epinefrin mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan
jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positif epinefrin pada
jantung.
Epinefrin mempercepat depolarisasi fase 4, yakni depolarisasi lambat sewaktu diastole, dari
nodus sino-atrial ( SA ) dan sel otomatik lainnya, dengan demikian mempercepat firing rate
pacu jantung dan merangsang pembentukan focus ektopik dalam ventrikel. Dalam nodus SA,
epinefrin juga menyebabkan perpindahan pacu jantung ke sel yang mempunyai firing rate
lebih cepat.
Epinefrin mempercepat konduksi sepanjang jaringan konduksi, mulai dari atrium ke nodus
atrioventrikular ( AV ). Epinefrin juga mengurangi blok AV yang terjadi akibat penyakit,
obat atau aktivitas vagal. Selain itu epinefrin memperpendek periode refrakter nodus AV dan
berbagai bagian jantung lainnya. Epinefrin memperkuat kontraksi dan mempercepat
relaksasi. Dalam mempercepat denyut jantung dalam kisaran fisiologis, epinefrin
memperpendek waktu sistolik tanpa mengurangi waktu diastolic. Akibatnya curah jantung
bertambah tetapi kerja jantung dan pemakaian oksigen sangat bertambah sehingga efisiensi
jantung ( kerja dibandingkan dengan pemakaian oksigen ) berkurang. Dosis epinefrin yang

6
berlebih disamping menyebabkan tekanan darah naik sangat tinggi juga menimbulkan
kontraksi ventrikel premature diikuti takikardia ventrikel dan akhirnya fibrilasi ventrikel.
·       Pembuluh darah, efek vascular epinefrin terutama pada arteriol kecil dan sfingter
prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa dan
ginjal mengalami konstriksi karena dalam organ – organ tersebut  reseptor α dominan.
Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi oleh epinefrin dosis rendah, akibat aktivasi
reseptor β2 yang mempunyai afinitas lebih besar pada epinefrin dibandingkan dengan reseptor
α. Epinefrin dosis tinggi bereaksi dengan kedua jenis reseptor tersebut. Dominasi reseptor α
di pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi perifer yang berakibat peningkatan
tekanan darah. Pada waktu kadar epinefrin menurun, efek terhadap reseptor α yang kurang
sensitive lebih dulu menghilang. Efek epinefrin terhadap reseptor β 2 masih ada pada kadar
yang rendah ini. Dan menyebabkan hipotensi sekunder pada pemberian epinefrin secara
sistemik. Jika sebelum epinefrin telah diberikan suatu penghambat reseptor α, maka
pemberian epinefrin hanya menimbulkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Gejala
ini disebut epinefrin reversal yaitu suatu kenaikan tekanan darah yang tidak begitu jelas
mungkin timbul sebelum penurunan tekanan darah ini, kenaikan yang selintas ini akibat
stimulsai jantung oleh epinefrin.
Pada manusia pemberian epinefrin dalam dosis terapi yang menimbulkan kenaikan tekanan
darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan peningkatan aliran
darah otak.
Epinefrin dalam dosis yang tidak banyak mempengaruhi tekanan darah, meningkatkan
resistensi pembuluh darah ginjal dan mengurangi aliran darah ginjal sebanyak 40%. Ekskresi
Na, K dan Cl berkurang volume urin mungkin bertambah, berkurang atau tidak berubah.
Tekanan darah arteri maupun vena paru meningkat oleh epinefrin meskipun terjadi konstriksi
pembuluh darah paru, redistribusi darah yang berasal dari sirkulasi sistemik akibat konstriksi
vena – vena besar juga berperan penting dalam menimbulkan kenaikan tekanan darah paru.
Dosis epinefrin yang berlebih dapat menimbulkan kematian karena adema paru.
·       Pernapasan, epinefrin mempengaruhi pernapasan terutama dengan cara merelaksasi otot
bronkus melalui reseptor β2. efek bronkodilatasi ini jelas sekali bila sudah ada kontraksi otot
polos bronkus karena asma bronchial, histamine, ester kolin, pilokarpin, bradikinin, zat
penyebab anafilaksis yang bereaksi lambat dan lain – lain. Disini epinefrin bekerja sebagai
antagonis fisiologik. Pada asma, epinefrin juga menghambat penglepasan mediator inflamasi
dari sel – sel mast melalui reseptor β2, serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti mukosa
melalui reseptor α1.

7
·       Proses Metabolik, epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan otot rangka
melalui reseptor β2, glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian glukosa-6-
fosfat. Hati mempunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak, sehingga hati melepas
glukosa sedangkan otot rangka melepas asam laktat. Epinefrin juga menyebabkan
penghambatan sekresi insulin akibat dominasi aktivasi reseptor α2 yang menghambat,
terhadap aktivasi reseptor β2  yang menstimulasi sekresi insulin. Sekresi glucagon
ditingkatkan melalui reseptor β pada sel α pancreas. Selain itu epinefrin mengurangi ambilan
glukosa oleh jaringan perifer, sebagian akibat efeknya pada sekresi insulin, tapi juga akibat
efek langsung pada otot rangka. Akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa dan laktat
dalam darah dan penurunan kadar glikogen dalam hati dan otot rangka.
Epinefrin melalui aktivasi reseptor β meningkatkan aktivasi lipase trigliserida dalam jaringan
lemak, sehingga mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan
gliserol. Akibatnya kadar asam lemak bebas dalam darah meningkat. Efek kalorigenik
epinefrin terlihat sebagai peningkatan pemakaian oksigen sebanyak 20 sampai 30% pada
pemberian dosis terapi. Efek ini terutama disebabkan oleh peningkatan katabolisme lemak,
yang menyediakan lebih banyak substrat untuk oksidasi.
Efek utamanya terhadap organ dan proses – proses tubuh penting dapat diikhtisarkan sebagai
berikut :
1. Jantung : daya kontraksi diperkuat ( inotrop positif ), frekuensi ditingkatkan
( chronotrop positif ), sering kali ritmenya di ubah.
2. Pembuluh : vasokontriksi dengan naiknya tekanan darah.
3. Pernapasan : bronchodilatasi kuat terutama bila ada konstriksi seperti pada asma atau
akibat obat.
4. Metabolisme ditingkatkan dengan naiknya konsumsi O2 dengan ca 25%, berdasarkan
stimulasi pembakaran glikogen ( glycogenolysis ) dan lipolysis. Sekresi insulin di
hambat, kadar glukosa dan asam lemak darah ditingkatkan.

Farmakokinetik
·      Absorbsi, pada pemberian oral, epinefrin tidak mencapai dosis terapi karena sebagian
besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati.
Pada penyuntikan SK, absorbsi lambat karena vasokontriksi local, dapat dipercepat dengan
memijat tempat suntikan. Absorbsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan IM. Pada
pemberian local secara inhalasi, efeknya terbatas terutama pada saluran napas, tetapi efek
sistemik dapat terjadi, terutama bila digunakan dosis besar.

8
·      Biotransformasi dan ekskresi, epinefrin stabil dalam darah. Degradasi epinefrin terutama
terjadi dalam hati terutama yang banyak mengandung enzim COMT dan MAO, tetapi
jaringan lain juga dapat merusak  zat ini. Sebagian besar epinefrin mengalami
biotransformasi, mula – mula oleh COMT dan MAO, kemudian terjadi oksidasi, reduksi dan
atau konyugasi, menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-4-hidroksimandelat, 3-metoksi-4-
hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konyugasi glukuronat dan sulfat. Metabolit – metabolit
ini bersama epinefrin yang tidak diubah dikeluarkan dalam urin. Pada orang normal, jumlah
epinefrin yang utuh dalam urin hanya sedikit. Pada pasien feokromositoma, urin mengandung
epinefrin dan NE utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.

NOREPINEFRIN
Norepinefrin adalah derivate tanpa gugus-metil pada atom-N. neurohormon ini
khususnya berkhasiat langsung terhadap reseptor α dengan efek fasokontriksi dan naiknya
tensi. Efek betanya hanya ringan kecuali kerja jantungnya ( β1 ). Bentuk-dekstronya, seperti
epinefrin, tidak digunakan karena ca 50 kali kurang aktif. Karena efek sampingnya bersifat
lebih ringan dan lebih jarang terjadi, maka norepinefrin lebih disukai penggunaannya pada
shok dan sebagainya. Atau sebagai obat tambahan pada injeksi anastetika local.

Farmakodinamika
NE bekerja terutama pada reseptor α, tetapi efeknya masih sedikit lebih lemah bila
dibandingkan dengan epinefrin. NE mempunyai efek β1 pada jantung yang sebanding dengan
epinefrin, tetapi hampir tidak memperlihatkan efek β2.
Infus NE pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan diastolic, tekanan sistolik, dan
biasnya juga tekanan nadi. Resistensi perifer meningkat sehingga aliran darah melalui ginjal,
hati dan juga otot rangka juga berkurang. Filtrasi glomerulus menurun hanya bila aliran darah
ginjal sangat berkurang. Reflex vagal memperlambat denyut jantung, mengatasi efek
langsung  NE yang mempercepatnya. Perpanjangan waktu pengisian jantung akibat
perlambatan denyut jantung ini, disertai venokonstriksi dan peningkatan kerja jantung akibat
efek langsung NE pada pembuluh darah dan jantung, mengakibatkan peningkatan curah
sekuncup. Tetapi curah jantung tidak berubah atau bahkan berkurang. Aliran darah koroner
meningkat, mungkin karena dilatasi pembuluh darah koroner tidak lewat persarafan otonom
tetapi dilepasnya mediator lain, antara lain adenosin, akibat peningkatan kerja jantung dan
karena peningkatan tekanan darah. Berlainan dengan epinefrin, NE dalam dosis kecil tidak

9
menimbulkan vasodilatasi maupun penurunan tekanan darah, karena NE boleh dikatakan
tidak mempunyai efek terhadap reseptor β2 pada pembuluh darah
otot rangka. Efek metabolic NE mirip epinefrin tetapi hanya timbul pada dosis yang lebih
besar.

ISOPROTERENOL
Obat ini juga dikenal sebagai isopropilnorepinefrin, isopropilarterenol dan isoprenalin,
merupakan amin simpatomimetik yang kerjanya paling kuat pada semua reseptor β, dan
hampir tidak bekerja pada reseptor α.
Farmakodinamika
Isoproterenol tersedia dalam bentuk campuran resemik. Infus isoproterenol pada manusia
menurunkan resistensi perifer, terutama pada otot rangka, tetapi juga pada ginjal dan
mesenterium, sehingga tekanan diastolic menurun. Curah jantung meningkat karena efek
inotropik dan kronotropik positif langsung dari obat.pada dosis isoproterenol yang biasa
diberikan pada manusia, peningkatan curah jantung umumnya cukup besar untuk
mempertahankan atau meningkatkan tekanan sistolik, tetapi tekanan rata – rata menurun.
Efek isoproterenol terhadap jantung menimbulkan palpitasi, takikardia, sinus dan aritmia
yang lebih serius.
Isoproterenol melalui aktivasi reseptor β2, menimbulkan relaksasi hampir semua jenis otot
polos. Efek ini jelas terlihat bila tonus otot tinggi, dan paling jelas pada otot polos bronkus
dan saluran cerna. Isoproterenol mencegah atau mengurangi bronkokonstriksi. Pada asma,
selain menimbulkan bronkodilatasi, isoprotorenol juga menghambat penglepasan histamine
dan mediator – mediator inflamasi lainnya.akibat reaksi antigen-antibodi, efek ini juga
dimiliki oleh  β2-agonis yang selektif. Efek hiperglikemik isoproterenol lebih lemah
dibandingkan dengan epinefrin, antara lain karena obat ini menyebabkan sekresi insulin
melalui aktivasi reseptor β2 pada sel – sel beta pancreas tanpa diimbangi dengan efek
terhadap reseptor α yang menghambat sekresi insulin. Isoproterenol lebih kuat dari epinefrin
dalam menimbulkan efek penglepasan asam lemak bebas dan efek kalorigenik.

DOPAMIN
Farmakodinamik
Precursor NE ini mempunyai kerja langsung pada reseptor dopaminergik dan adrenergic, dan
juga melepaskan NE endogen. Pada kadar rendah, dopamin bekerja pada reseptor
dopaminergik D1 pembuluh darah, terutama di ginjal, mesenterium dan pembuluh darah

10
koroner. Stimulasi reseptor D1 menyebabkan vasodilatasi melalui aktivasi adenilsiklase. Infus
dopamin dosis rendah akan meningkatkan aliran darah ginjal, laju filtrasi glomerulus dan
ekskresi Na+ . Pada dosis yang sedikit lebih tinggi, dopamin meningkatkan kontraktilitas
miokard melalui aktivasi adrenoseptor β1. Dopamin juga melepaskan NE endogen yang
menambah efeknya pada jantung. Pada dosis rendah sampai sedang, resistensi perifer total
tidak berubah. Hal ini karena dopamin mengurangi resistensi arterial di ginjal dan
mesenterium dengan hanya sedikit peningkatan di tempat – tempat lain.dengan demikian
dopamin meningkatkan tekanan sistolik dan tekanan sistolik dan tekanan nadi tanda
mengubah tekanan diastolic ( atau sedikit meningkat ). Akibatnya dopamin terutama berguna
untuk keadaan curah jantung rendah disertai dengan gangguan fungsi ginjal, misalnya syok
kardiogenik dan gagal jantung yang berat. Pada kadar yang tinggi dopamin menyebabkan
vasokontriksi akibat aktivasi reseptor α1 pembuluh darah. Karena itu bila dopamin di gunakan
untuk syok yang mengancam jiwa, tekanan darah dan fungsi ginjal harus dimonitor. Reseptor
dopamin juga terdapat dalam otak, tetapi dopamin yang di berikan IV, tidak menimbulkan
efek sentral karena obat ini sukar melewati sawar darah-otak.
Fenoldopam merupakan agonis reseptor D1 perifer dan mengikat reseptor α2 dengan afinitas
sedang, afinitas terhadap reseptor D2, α1 dan β tidak berarti. Obat ini merupakan vasodilator
kerja cepat untuk mengontrol hipertensi berat ( misalnya hipertensi maligna dengan
kerusakan organ ) di rumah sakit untuk jangka pendek, tidak lebih dari 48 jam. Fenoldopam
mendilatasi berbagai pembuluh darah, termasuk arteri koroner, arteriol aferen dan eferen
ginjal dan arteri mesenteric. Masa paruh eliminasi fenoldopam intravena, setelah penghentian
2-jam infuse ialah 10 menit. Efek samping akibat vasodilatasi berupa sakit kepala, muka
merah, pusing, takikardia atau bradikardia.
Dopeksamin merupakan analog dopamin dengan aktivitas intrinsic pada reseptor D 1, D2 dan
β2, juga menghambat ambilan katekolamin. Obat ini agaknya memperlihatkan efek
hemodinamik yang menguntungkan pada pasien gagal jantung berat, sepsis dan syok. Pada
pasien dengan curah jantung rendah, infus dopeksamin meningkatkan curah sekuncup dan
menurunkan resistensi vascular sistemik.

DOBUTAMIN
Farmakodinamika
Struktur senyawa dobutamin mirip dopamin, tetapi dengan substitusi aromatic yang besar
pada gugus amino. Dobutamin merupakan campuran resemik dari kedua isomer / dan d.
Isomer / adalah α1-agonis yang poten sedangkan isomer d  α1-bloker yang poten. Sifat agonis

11
isomer / dominan, sehingga terjadi vasokontriksi yang lemah melalui aktivasi reseptor α1.
Isomer d 10 kali  lebih poten sebagai agonis reseptor β daripada isomer / dan lebih selektif
untuk reseptor β1 daripada β2.  
Dobutamin menimbulkan efek inotropik  yang lebih kuat daripada efek kronotropik
dibandingkan isoproterenol. Hal ini disebabkan karena resistensi perifer yang relative tidak
berubah ( akibat vasokontriksi melalui reseptor α 1 diimbangi oleh vasodilatasi melalui
reseptor β2 ), sehingga tidak menimbulkan reflex takikardi, atau karena reseptor α 1 di jantung
menambah efek inotropik obat ini. Pada dosis yang menimbulkan efek inotropik yang
sebanding, efek dobutamin dalam meningkatkan automatisitas nodus SA kurang dibanding
isoproterenol, tetapi peningkatan konduksi AV dan intraventrikular oleh ke-2 obat ini
sebanding. Dengan demikian, infuse dobutamin akan meningkatkan kontraktilitas jantung
dan curah jantung, hanya sedikit meningkatkan denyut jantung, sedangkan resistensi perifer
relative tidak berubah.
Ø    Farmakokinetik
Norepinefrin, isoproterenol dopamine dan dobutamin sebagai katekolamin tidak efektif pada
pemberian oral. NE tidak diabsorpsi dengan baik pada pemberian SK. Isoproterenol
diabsorpsi dengan baik pada pemberian parenteral atau sebagai aerosol atau sublingual
sehingga tidak dianjurkan. Obat ini merupakan substrat yang baik untuk COMT tetapi bukan
substrat yang baik unuk MAO, sehingga kerjanya sedikit lebih panjang daripada epinefrin.
Isoproterenol diambil oleh ujung saraf adrenergic tetapi tidak sebaik epinefrin dan NE.
Nonkatekolamin yang digunakan dalam klinik pada umumnya efektif pada pemberian oral
dan kerjanya lama, karena obat – obat ini resisten terhadap COMT dan MAO yang banyak
terdapat pada dinding usus dan hati sehingga efektif per oral.

12
2.5 Perangsang saraf adrenergik

Pada perangsangan adrenergik dilepaskan NE dari ujung saraf adrenergik dan Epi dari
medula adrenal. Epi bekerja pada smeua reseptor adrenergik alfa 1 alfa 2 beta 1 beta 2 beta 3
(aktivitas beta 2 agak lemah), sedangkan NE bekerja pada reseptor alfa 1 alfa 2 beta 1,
aktivitas beta 2 nya sangat lemah

Respon suatu organ otonom terhadap perangsang saraf adrenergik bergantung pada jenis
reseptor adrenergik yang dimiliki organ tersebut serta jenis organ itu sendiri. Misalnya, otot
polos pembuluh darah kulit hanya mempunyai reseptor alfa dan tidak mempunyai reseptor
beta, maka perangsang saraf adrenergik akan menyebabkan vasokontriksi tanpa diiimbangi
vasodilatasi lewat reseptor beta 2. Reseptor alfa 1 pada otot polos pembuluh darah akan
memberikan respons kontraks, tetapi reseptor yang sama pada otot polos usus akan
memberikan respons relaksasi pada perangsangan saraf adrenergik.

Suatu organ efektor dapat saja mempunyai lebih dari satu jenis reseptor adrenergik. Misalnya,
otot polos pembuluh darah otot rangka mempunyai reseptor beta 2 dan alfa. Epi bekerja pada
kedua reseptor tersebut, dengan afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor beta 2. Karena
itu, Epi kadar rendah, yaitu yang biasa terdapat dalam sirkulasi, akan mengikat hanya
reseptor beta 2 sehingga menyebabkan vasodilatasi. Dalam kadar yang tinggi, Epi akan
mengikat kedua reseptor beta 2 dan alfa. Karena reseptor alfa terdapat dalam jumlah yang
lebih banyak dari pada reseptor beta 2, maka efek vasokontriksi akibat aktivitas reseptor alfa
dominan terhadap efek vasodilatasi akibat aktivasi reseptor beta 2.

Respons masing-masing organ serta jenis reseptor adrenergik yang dimilikinya dapat dilihat
pada Tabel 2-1.

Pada arteriol koroner, paru dan otot rangka, vasodilatasi dominan akibat autoregulasi
metabolik. Epinefrin dalam kadar fisiologis menyebabkan vasodolatasi (dominasi respons
reseptor beta) pada otot rangka dan hati, terapi vasokontriksi (dominasi respons reseptor alfa)
pada visera abdominal lainnya. Pembuluh darah ginjal dan mesenterik juga mempunyai
reseptor dopaminergik (DA) yang menyebabkan vasodilatasi.

13
CONTOH KASUS JURNAL

PENGGUNAAN BRIMONIDIN (AGONIS ALFA-2 ADRENERGIK) SEBAGAI


TERAPI GLAUKOMA

Glaukoma merupakan suatu penyakit yang umumnya ditandai dengan suatu neuropati
optik umumnya ditandai dengan suatu neuropati optik dengan peningkatan tekanan intra
okuler (TIO) sebagai faktor resiko primernya. Pada umumnya tingkat tekanan intra okuler
normal pada populasi adalah 10-22 mm Hg.

Obat-obatan glaukoma menurunkan tekanan intra okuler dengan menekan produksi


humor akuos atau dengan meningkatkan pembuangan (outflow) melalui interaksi dengan
reseptor-reseptor di badan siliar atau pada jalur pembuangannya. Efek reseptor alfa-2 yaitu
menurunkan tekanan intra okuler dan mempunyai efek neuroproteksi. Preparat agonis alfa-2
diindikasikan sebagai terapi tahap 2 (second line) atau tahap 3 (third line) dari glaukoma,
yaitu sebagai terapi tambahan atau pengganti pada pasien-pasien glaukoma tak terkontrol
obat, dan juga pada pasien-pasien dengan kontraindikasi terhadap beta bloker.

Klonidin merupakan generasi pertama obat golongan ini yang dipercaya efektif
sebagai penurun tekanan intra okuler tetapi mempunyai efek hipotensi yang signifikan.
Apraklonidin dan brimonidin adalah obat-obat yang bersifat agonis selektif terhadap alfa atau
2 yang telah dikembangkan sebagai terapi glaukoma. Tidak seperti klonidin, apraklonidin
tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah, tetapi berhubungan dengan
tingginya kejadian alergi. Brimonidin bersifat lebih selektif terhadap reseptor alfa-2
dibanding dengan apraklonidin. Brimonidin menurunkan tekanan intra okuler melalui dua
mekanisme, yaitu menekan produksi humor akuos dan meningkatkan pembuangan humor
akuos melalui jalur 2,3uveosklera

FARMAKOLOGI

Stuktur Kimia

Brimonidin tartrat adalah golongan selektif agonis alfa-2 adrenergik. Nama kimia Brimonidin
tartrat adalah 5-bromo-6-(2-imidazolidinylidene amino) quinoxaline L-tartrate. Yang
mempunyai berat molekul 442.24 sebagai garam tartrat dan larut dalam air (34 mg/ml)
dengan pH 6.5.

14
Farmakodinamik

Mekanisme kerja

Brimonidin menurunkan tekanan intra okuler melalui dua mekanisme kerja yaitu mengurangi
produksi humor akuos dan meningkatkan pembuangan (outflow) humor akuos melalui jalur
uveosklera. Penurunan tekanan intraokuler diperantarai oleh stimulasi adrenoseptor alfa-2 di
mata.

Secara in vitro dengan autoradiografi, jumlah yang besar dari ikatan spesifik antara
brimonidin dan reseptor teridentifikasi pada iris dan epitel siliar manusia. Jumlah yang lebih
kecil dari ikatan juga terdapat pada muskulus siliaris, retina, retinal pigment epithelium
(RPE) dan koroid.

1. Efek pada Dinamika Humor Akuos

Aliran humor akuos mengalami penurunan 20% pada mata yang mendapat terapi dan 12%
pada mata kontralateral pada pasien-pasien dengan hipertensi okuli yang mendapat terapi
brimonidin 0,2% dua kali sehari selama 1 minggu. Sebagai tambahan, diperkirakan terjadi
peningkatan pembuangan humor akuos melalui jalur uveosklera sebesar 5 kali pada mata
yang mendapat terapi, tetapi hal ini tidak terjadi pada mata kontralateral. Brimonidin tidak
mempunyai efek terhadap tekanan vena episklera.

Brimonidin menyebabkan stimulasi pembuangan melalui jalur uveosklera. Peningkatan


produksi dan pelepasan prostaglandin endogen secara lokal merupakan sebab yang
memungkinkan. Agonis adrenergik merangsang sintesa prostaglandin di jaringan okuler dan
melepaskan prostaglandin kedalam bilik mata depan. Agonis alfa 2 adrenergik merelaksasi
muskulus siliaris dan dengan cara ini dapat meningkatkan pembuangan 20akuos humor
melalui jalur uveosklera.

2. Efek pada Tekanan Intra Okuler Efek dari dosis responsif brimonidin terhadap
tekanan intra okuler

Terjadi penurunan tekanan intra okuler sebesar 16,1%, 22,4% dan 30,1% pada pasien
dengan hipertensi okuli atau glaukoma yang mendapat terapi brimonidin 0,08%, 0,2% atau
0,5%. Puncak dari efek hipotensi ini terjadi 2 jam setelah pemberian dan bertahan sampai 12
jam. Pengurangan efek dalam menurunkan tekanan intra okuler dari brimonidin terjadi
selama minggu-minggu awal pemberian terapi, efek ini akan mendatar setelah 1 bulan, dan

15
akan memberikan efek penurunan tekanan intra okuler yang signifikan dari tekanan dasar.
Brimonidin tidak memberikan efek atau sedikit memberikan efek penurunan tekanan intra
okuler pada mata kontralateral.

3. Efek Sistemik

Brimonidin menyebabkan penurunan ringan dari tekanan darah sistolik dan diastolik serta
frekuensi denyut nadi. Dalam penelitian pada pasien-pasien dengan glaukoma dan hipertensi
okuli, selama 12 bulan menggunakan brimonidin 0,2%, rata-rata tekanan darah sistolik dan
diastoliknya mengalami penurunan 3,52-0,64 mmHg dan 1,7-1,04 mmHg. Rata-rata frekuensi
denyut nadi menurun 0,1-3,1 kali/menit.

Farmakokinetik

Absorbsi dan Distribusi

Penetrasi melalui kornea merupakan jalur primer dari obat untuk mencapai humor akuos dan
segmen anterior setelah pemberian topikal. Sedangkan rute konjungtiva atau sklera dari
penetrasi obat merupakan jalan masuk ke badan siliar dan jaringan posterior. Pada percobaan
in vivo pada mata kelinci, pemberian brimonidin secara langsung kontak dengan kornea
menunjukkan urutan konsentrasinya sebagai berikut: kornea > iris > humor akuos > badan
siliar > sklera anterior > konjungtiva > lensa. Bila diberikan langsung melalui konjungtiva,
urutan konsentrasinya adalah sebagai berikut: konjungtiva > kornea > sklera anterior > badan
siliar > iris > humor akuos > lensa.

Seperti obat-obat lain yang digunakan secara topikal pada mata, absorbsi dan retensi dari
brimonidin dapat ditingkatkan oleh ikatan obat dengan melanin okuler. Brimonidin telah
ditunjukkan mempunyai afinitas pada jaringan okuler yang mengandung melanin secara in
vitro dan in vivo.

Konsentrasi puncak (C ) dari obat pada iris badan siliar diperkirakan 4 kali lebih besar pada
mata kelinci yang berpigmen daripada yang albino setelah pemberian tunggal dengan
brimonidin 0,5%. Waktu untuk mencapai C (t ) adalah 90 dan 40 menit. Pada sukarelawan
yang sehat nilai C plasma adalah < 0,3 μg/l setelah pemberian tunggal dari brimonidin
0,08%, 0,2%, atau 0,5% pada kedua mata dan nilai t berkisar antara 1 sampai 4 jam.

16
Hubungan Brimonidin dengan Obat Anti Glaukoma lainnya

Perbandingan efektifitas dari brimonidin 0,2% dan betaxolol 0,25% dua kali sehari
menunjukkan rata-rata penurunan sebesar 5,6 mmHg dibanding 3,5 mmHg dengan
penggunaan selama 3 bulan

Secara umum prosentase penurunan tekanan intra okuler secara signifikan lebih besar
brimonidin dibanding dengan betaxolol (15,1% vs 12,4% ). Perbandingan efektifitas dari
brimonidin 0,2% dengan timolol 0,5% dua kali sehari menunjukkan brimonidin mempunyai
efek yang sama dalam menurunkan tekanan intra okuler yaitu sekitar 26% pada waktu
puncak (2 jam setelah pemberian). Tetapi pada waktu 12 jam setelah pemberian atau waktu
diantara dua puncak hanya terjadi penurunan sebesar 14-15% atau kurang efektif
dibandingkan dengan timolol. Data jangka panjang menunjukkan peningkatan efektifitas
pada waktu antara dua puncak dibandingkan dengan timolol.

Kombinasi brimonidin dengan dorzolamid memberikan efek penurunan produksi humor


akuos yang lebih besar daripada pemberian tunggal masing-masing obat, yaitu 37% pada
kombinasi dibanding dengan 28% dengan brimonidin dan 19% dengan dorzolamid sajA

BRIMONIDIN DAN EFEK NEUROPROTEKTIF

Neuroproteksi

Neuroproteksi adalah suatu paradigma terapi untuk memperlambat atau mencegah kematian
neuron, dalam hal ini ditujukan pada sel ganglion retina dan akson-aksonnya (serat saraf
optik), bertujuan untuk memelihara fungsi fisiologisnya. Neuroproteksi diarahkan pada
penghambatan destruksi primer atau peningkatan mekanisme kelangsungan hidup dari sel
ganglion retina atau serat saraf optik. Pada glaukoma, neuroproteksi menawarkan suatu
metode untuk mencegah kerusakan sel-sel ini yang ireversibel.

Kebanyakan dari penelitian tentang neuroproteksi difokuskan pada pencegahan kematian


pada neuron-neuron, disamping memelihara hubungan antar neuron dan kapasitas
fungsionalnya. Pada penelitian yang baru, menyatakan bahwa progresifitas dari glaucomatous
optic neuropathy mungkin juga dapat dicegah atau diperlambat oleh obat-obatan yang
memperlambat atau mencegah kematian (apoptosis) sel ganglion retina dan akson aksonnya.
Pengobatan ini ditujukan pada penghambatan proses destruktif primer atau peningkatan

17
mekanisme kelangsungan hidup dengan dasar pemikiran bahwa glaukoma adalah penyakit
neurodegeneratif. Bahanbahan berikut ini telah ditunjukkan mempunyai sifat neuroprotektif

 Betaxolol
 Brimonidin
 Aminoguanidin
 Memantin
 Vitamin E
 Ginkgo biloba

Reseptor alfa-2 merupakan salah satu target dari hormon stres alami yaitu norepinefrin, jadi
reseptor ini mungkin berperan dalam pengaturan ketahanan sel dan/ atau adaptasi sel untuk
melawan stres atau trauma. Agonis alfa-2 telah menunjukkan efek neuroproteksi pada tikus
percobaan yang mengalami iskemia serebral. Aktifasi reseptor alfa-2 dengan agonis seperti
brimonidin telah menunjukkan efek peningkatan kelangsungan hidup neuron retina setelah
mengalami berbagai trauma seperti iskemia sesaat, kerusakan nervus opticus, degenerasi
fotoreseptor, hipertensi okuli kronis.

Terdapat banyak jalur yang diaktifkan oleh reseptor alfa-2 yang kemungkinan dapat
meningkatkan ketahanan neuron terhadap trauma. Hal ini termasuk aktifasi intraseluler
kinase yang meningkatkan kelangsungan hidup sel dan menghambat pelepasan glutamat dan
aspartat serta masuknya kalsium ke dalam sel. Glutamat dan aspartat akan terakumulasi pada
saat akhir terjadinya iskemia. Aktifasi reseptor alfa-2 akan mengakibatkan hiperpolarisasi
neuron-neuron dan menghambat presynap yang melepaskan glutamat, aspartat dan
norepinefrin

Brimonidin sebagai Zat Neuroprotektif

Brimonidin adalah agonis selektif adrenergik alfa-2 yang digunakan secara topikal
untuk menurunkan tekanan intra okuler pada pasienpasien glaukoma. Brimonidin mempunyai
manfaat tambahan yang potensial dalam memberikan efek neuroproteksi pada sel ganglion
retina pada pasien38pasien glaukoma. Efek seluler dari brimonidin diperantarai oleh reseptor
adrenergik alfa-2. Penelitian secara imunohistokimia menunjukkan bahwa reseptor ini
terdapat pada retina manusia, sapi, dan babi. Telah ditunjukkan juga bahwa reseptor
adrenergik alfa-2A terdapat dalam lapisan sel ganglion dan lapisan nuklear dalam (inner

18
nuclear) pada retina tikus. Oleh karena itu brimonidin memenuhi kriteria pertama sebagai zat
neruroprotektif, karena mempunyai reseptor target pada retina.

Brimonidin menunjukkan efek maksimal pada dosis 2 nM. Kent dan kawan-kawan
melaporkan penelitian pengukuran konsentrasi brimonidin dalam vitreus setelah pemberian
secara topikal selama 4 sampai 14 hari pada mata pasien yang fakik, pseudofakia, dan afakia
yang direncanakan dilakukan pars plana vitrektomi. Rata-rata konsentrasi brimonidin dalam
vitreus adalah 185 nM. Konsentrasi ini diatas 2 nM yang merupakan kadar yang dibutuhkan
secara maksimal untuk mengaktifkan reseptor adrenergik alfa-2

19
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Salah satu bagian dari obat otonom yaitu obat adrenergic yakni obat dengan zat – zat yang
dapat menimbulkan ( sebagian ) efek yang sama dengan stimulasi susunan simpaticus ( SS )
dan melepaskan noradrenalin ( NA ) di ujung – ujung sarafnya. SS berfungsi meningkatkan
penggunaan zat oleh tubuh dan menyiapkannya untuk proses disimilasi. Contoh Obat
Adrenergik antara lain : Epinefrin, Norepinefrin, Isoproterenol, Dopamin, Dobutamin,
Amfetamin, Metamfenamin, Efedrin, Metoksamin, Fenilefrin, Mefentermin, Metaraminol,
Fenilpropanolamin, Hidroksiamfetamin dan Etilnorepineprin. Semua contoh obat adrenergic
tersebut memiliki mekanisme kerja dalam tubuh, indikasi,kontraindikasi, serta efek samping
yang berbeda – beda namun di khususkan untuk memacu adrenalin. Sehingga pemakaiannya
harus diperhatikan agar tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkan dalam tubuh dengan
tetap memperhatikan kontraindikasi pada pasien yang bersangkutan agar pemakaiannya
maksimal.

3.2 Saran
Sebaiknya pada pembuatan makalah ini diperlukan pemahaman yang lebih mendalam
mengingat isi dari makalah ini mengandung banyak istilah asing yang sulit dipahami maka
diperlukan kamus kedokteran ataupun kamus keperawatan yang menunjang demi tercapainya
hasil yang maksimal dari pembuatan makalah ini.

20
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku farmakologi dan terapan kedokteran
2. Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5, No. 1, April 2007 : Hal. 27 - 39 28
3. Peran reseptor adrenergik pada pernapasan elizabeth widya sondakh, jatu aphridasari
bagian pulmonologi dan kedokteran respirasi fakultas kedokteran universitas sebelas
maret/ rs dr. moewardi surakarta

21

Anda mungkin juga menyukai