Anda di halaman 1dari 7

Laporan Praktikum ke-10 Hari/Tanggal : Senin 20 November 2017

Farmakologi Waktu : 08.00-12.00 WIB


Dosen : drh. Tetty Barunawati, M.Si
drh. Huda S., M.Si, Ph.D
Asisten : Aisha Mardatilah, A.Md

OBAT ANALGESIK (PARACETAMOL)


Kelompok 1, P-1

Nama NIM Ttd


1. Cut Aldila Febiana J3P116014 1.
2. Nur Fatkhul Ghozi J3P116051 2.
3. Yohanna Abigail Br Karo J3P116071 3.
4. Ricky S Hersade J3P216085 4.
5. Hafidz Fi Sabilillah J3P216106 5.

PROGRAM KEAHLIAN PARAMEDIK VETERINER


PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PENDAHULUAN

Parasetamol atau asetaminofen telah ditemukan sebagai obat analgesik yang efektif
lebih dari satu abad yang lalu tepatnya pada tahun 1893, tetapi hingga sekarang para ahli
tidak henti-hentinya meneliti mekanisme kerja dari obat tersebut. Parasetamol adalah obat
analgesik dan antipiretik yang populer di masyarakat luas, bahkan mungkin dapat
dikategorikan sangat terkenal. Parasetamol sangat mudah didapatkan secara bebas di warung-
warung, apotek, rumah sakit dan semua sarana pelayanan kesehatan lainnya. Obat ini terkenal
dimasyarakat sebagai pelega sakit kepala, sakit ringan, serta demam. Parasetamol adalah
metabolit fenasetin yang bertanggung jawab terhadap efek analgesiknya. Obat ini merupakan
penghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek
antiinflamasi yang bermakna.Parasetamol umumnya digunakan di masyarakat sebagai
penurun demam. Dosis terapi yang digunakan biasanya 500mg.Parasetamol juga digunakan
dalam dunia kedokteran sebagai obat untuk meredakan nyeri, yaitu mengurangi nyeri ringan
sampai sedang. Begitu juga dalam kedokteran anastesi, parasetamol mulai banyak digunakan
terutama untuk pereda rasa nyeri akut pasca operasi. Parasetamol merupakan analgesik yang
telah terbukti efek analgesik dan antipiretiknya, demikian pula dengan keamanannya. Obat
ini mempunyai aktivitas sebagai analgesik, tetapi aktivitas antiinflamasinya sangat lemah.
Parasetamol mampu menekan rasa nyeri pasca operasi dengan baik dengan efek samping
yang jauh lebih rendah dibandingkan Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID).Pada
sebuah Uji klinis acak telah dibandingkan efikasi dan keamanan tablet kombinasi tramadol
HCl 37,5 mg/parasetamol 325 mg dengan kapsul tramadol HCl 50 mg pada terapi nyeri
pascabedah setelah operasi tangan rawat jalan dengan anestesi regional intravena, ditemukan
bahwa parasetamol memberikan efikasi sebagai analgesik yang sebanding dengan tramadol
kapsul, dengan profil keamanan yang lebih baik, pada pasien yang mengalami nyeri
pascabedah operasi tangan rawat jalan.Sedangkan dalam studi lain, dibandingkan pemberian
parasetamol pada 80 pasien yang akan menjalani pembedahan Caesar. Disebutkan pada hasil
studi bahwa pemberian parasetamol intravena pasca operasi caesar efektif untuk penanganan
nyeri pasca operasi caesar. Pada dosis yang direkomendasikan, parasetamol tidak mengiritasi
lambung, mempengaruhi koagulasi darah, atau memengaruhi fungsi ginjal. Namun dari
semua kelebihan parasetamol obat ini juga memiliki beberapa kekurangan dan efek samping.
Pada dosis yang besar (lebih dari 2000 mg per hari) dapat meningkatkan risiko gangguan
pencernaan bagian atas. Selain itu, penggunaan parasetamol diatas rentang dosis terapi dapat
menyebabkan gangguan hati.
CARA KERJA

Untuk memulai praktikum kali ini, pertama tama yaitu alat dan bahan di siapkan
termasuk kapsul ( berisi paracetamol ) dan Tikus ( Rattus norvegicus sp. ) . Lalu encerkan 1
kapsul paracetamol dengan ml air dan didihkan air dengan beaker glass 500 ml dengan
pembakar spiritus hingga suhu mencapai 70-80oC. Kemudian tikus diperiksa parameter
frekuensi napas dan jantung sebelum memulai perlakuan selanjutnya. Setelah mendapatkan
data parameter sebelum diberi perlakuan, praktikan menghandle tikus dengan baik dan benar
dengan posisi ekor menggelantung lurus kebawah, lalu ekor tikus siap dicelupkan di air yang
bersuhu 70-80oC tersebut, dan mencatat berapa detik pergerakan tail flicks. Kemudian
praktikan mengambil data parameter frekuensi nafas dan jantung seperti di awal praktikum,
setelah itu tikus di istirahatkan selama 10 menit sebelum perlakuan selanjutnya. Setelah 10
menit tikus di handle dengan satu tangan ( kiri ) dan tangan kanan memegang spoit berisikan
paracetamol encer dengan sonde lambung dan tikus siap di cekok dan selang beberapa menit
saja kami menghitung parameter frekuensi nafas dan jantung kembali dan mencatat di lembar
hasil sembari tikus di istirahatkan selama 15 menit . Setelah 15 menit tikus dihandle (
perlakuan tail flicks yang ke 2 ) dengan posisi ekor menggantung lurus kebawah dan siap
dicelupkan ke air yang bersuhu 70-80oC dengan melihat berapa detik reaksi tail flicks dan
dicatat di lembar hasil seperti perlakuan tail flicks pertama tadi . Lalu kami kembali
memeriksa parameter frekuensi jantung dan nafas sembari tikus di istirahatkan selama 10
menit sebelum perlakuan tail flicks yang ketiga ( terakhir ). Setelah 10 menit tikus dihandle
dengan posisi ekor menggantung lurus kebawah dan siap dicelupkan ke air yang bersuhu 70-
80oC dengan melihat dan mencatat berapa detik reaksi tail flicks yang terakhir , kemudian
kami menulis hasil parameter dan perlakuan tadi di lembar hasil untuk diperiksakan ke dokter
pembimbing atau asisten dosen.

HASIL

SETELAH
PARAMETER AWAL CELUPAN 1 DIBERI CELUP 2 CELUP 3
OBAT

Frek. Napas 160/menit 80/menit 56/menit 84/menit 84/menit


Frek. Jantung 112 bpm 112bpm 128 bpm 156 bpm 160 bpm

Keseimbangan (+) (+) (+) (+) (+)

Refleks (+++) (+++) (+++) (++) (++)

Respon Nyeri
- 1 detik - 2 detik 3 detik
(Flick Tail)

PEMBAHASAN

Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri
dan akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita. Nyeri adalah
perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan ancaman kerusakan
jaringan. Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi
sebagai isyarat bahaya tentang adanya gangguan di jaringan seperti peradangan, rematik,
encok atau kejang otot (Tjay 2007).
Reseptor nyeri (nociceptor) merupakan ujung saraf bebas, yang tersebar di kulit, otot,
tulang, dan sendi. Impuls nyeri disalurkan ke susunan saraf pusat melalui dua jaras, yaitu
jaras nyeri cepat dengan neurotransmiternya glutamat dan jaras nyeri lambat dengan
neurotransmiternya substansi P (Guyton & Hall 1997; Ganong 2003).
Berdasarkan aksinya, obat-abat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu :
a. Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)
Secara farmakologis praktis dibedakan atas kelompok salisilat (asetosal, diflunisal)
dan non salisilat. Sebagian besar sediaan–sediaan golongan non salisilat termasuk derivat
asam arylalkanoat.
b. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium
atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan
rasa nyeri. Tetap semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan.
Ada 3 golongan obat ini yaitu:
1) Obat yang berasal dari opium-morfin
2) Senyawa semisintetik morfin
3) Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.
Mekanisme Kerja Obat Analgesik
a. Analgesik Nonopioid/Perifer (Non-Opioid Analgesics)
Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim
siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya adalah
prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok pembentukan
prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang terluka dengan
demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya tidak berbeda dengan
NSAID dan COX-2 inhibitors. Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini
adalah gangguan lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi
di kulit. Efek samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan
dosis besar.
b. Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
Mekanisme kerja utamanya ialah dalam menghambat enzim sikloogsigenase dalam
pembentukan prostaglandin yang dikaitkan dengan kerja analgesiknya dan efek sampingnya.
Kebanyakan analgesik OAINS diduga bekerja diperifer . Efek analgesiknya telah kelihatan
dalam waktu satu jam setelah pemberian per-oral. Sementara efek antiinflamasi OAINS telah
tampak dalam waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul
berpariasi dari 1-4 minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya NSAID didalam
darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak
dipengaruhi oleh adanya makanan. Volume distribusinya relatif kecil (< 0.2 L/kg) dan
mempunyai ikatan dengan protein plasma yang tinggi biasanya (>95%). Waktu paruh
eliminasinya untuk golongan derivat arylalkanot sekitar 2-5 jam, sementara waktu paruh
indometasin sangat berpariasi diantara individu yang menggunakannya, sedangkan
piroksikam mempunyai waktu paruh paling panjang (45 jam).

Mekanisme kerja Paracetamol


Parasetamol menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat
menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda
(Wilmana, 1995). Parasetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat dari pada
aspirin, inilah yang menyebabkan parasetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui
efek pada pusat pengaturan panas. Parasetamol hanya mempunyai efek ringan pada
siklooksigenase perifer (Dipalma, 1986). Inilah yang menyebabkan parasetamol hanya
menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol tidak
mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa
parasetamol menghambat sintesa prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin.
(Wilmana, 1995).
Paracetamol merupakan senyawa obat yang juga golongan non narkotik yakni turunan
anilin (golongan fenasetin). Parasetamol adalah obat analgetik untuk pasien yang yang tidak
tahan terhadap asetosal (dikenal dengan nama popular : aspirin). Parasetamol adalah derivet
p-aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik/analgetik. Sifat antipiretik disebabkan oleh
gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgetik
parasetamol dapat mrnghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang.
Parasetamol yang merupakan metabolit fenasetin mempunai ciri khusus karena kerja
antipireutik dan analgetikanya yang baik. Namun memiliki antiflogistik yang sangat rendah.
Hal ini karena tidak adanya afinitas terhadap jaringan ikat siklooksigenase (COX). Sifat
antiinflamasinya sangat lemah sehingga tidak digunakan sebagai antirematik. Umumnya
parasetamol dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi
(pengobatan mandiri).
Maka dari itu jika dibandingkan degan asetosal, kekuatan Asetosal memiliki efek
yang lebih kuat dibandingkan paracetamol karena asetosal mengasetilasi gugus serin dan
berikatan kovalen dengan gugus serin. Hal ini menyebabkan prostaglandin tidak dapat
terbentuk. Sedangkan parasetamol mengurangi rasa nyeri dengan cara menghambat enzim
siklooksigenase , karena enzimnya terhambat maka prostaglandin semakin sedikit yang
terbentuk sehingga nyeri yang timbul berkurang. Analgesik paracetamol lebih rendah. Pada
beberapa penelitian diduga paracetamol lebih spesifik menghambat COX3 dimana COX3
merupakan metabolit COX1. Dalam hal ini COX3 bertugas untuk menghasilkan
prostaglandin dengan efek sakit dan demam.

KESIMPULAN
 Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan
akhirnya akan memberikan rasa nyaman pada orang yang menderita.
 Obat analgetik dibagi menjadi 2 golongan yaitu Analgesik Non Opioid/Perifer (Non-
Opioid Analgesics), dan Analgesik Opioid/Analgesik Narkotika
 Pada percobaan yang dilakukan diperoleh hasil obat paracetamol dapat mengatasi
nyeri ringan sampai sedang yang diakibatkan oleh rangsangan fisik.

DAFTAR PUSTAKA
Ganong, William F, 2003, Fisiologi Saraf & Sel Otot. Dalam H. M. Djauhari
Widjajakusumah: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20, EGC, Jakarta.
Guyton, A.C. & Hall, J.E. , 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , Jakarta: EGC
Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat Penting, Jakarta: PT Gramedia.
Wilmana, P. F,1995, Analgesik Antipiretik Antiinflamasi Non Steroid dan Obat Piri, Dalam
Ganiswarna, S. G. (Ed.). Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai