Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT ANTIPIRETIK”

ASISTEN :
Ida Ayu Andri P, S. Farm., M. Farm., Apt
GOLONGAN Y (Jumat 15.30 – 17.30)
KELOMPOK 4
Frederica Lidya Sembiring 2443018316
Shinta Dwi Amalia 2443018319
Arieska Dwi Puspita 2443018322
Wulan Angleliya 2443018346
Nida Shabira Wadini 2443018347
Aida Nur Fitriani 2443018348

Fakultas Farmasi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Judul Praktikum


Pengujian Aktivitas Obat Antipiretik
1.2 Tujuan Praktikum
a. Mahasiswa dapat mengenal metode pengujian antipiretik dan menerapkannya

b. Mahasiswa dapat menegnal obat antipiretik dan cara kerjanya

c. Mahasiswa dapat mempelajari cara pengolahan data hasil percobaan


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori tentang Obat Uji
2.1.1 Struktur
Paracetamol

2.1.2 Golongan Farmakologi


Paracetamol termasuk Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-Inflamasi Nonsteroid.
(Farmakologi dan Terapi edisi V hal 237-239)
2.1.3 Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Farmakokinetik
Paracetamol di absorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi
tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara
1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% paracetamol
terikat protein plasma. Obat ini di metabolism oleh enzim mikrosom hatin sebagian
asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil
lainnya dengan asam sulfat. Selain itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi,
metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan
hemolysis eritosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai kecil
sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi.
(Farmakologi dan Terapi edisi V hal 238)
Farmakodinamik
Efek analgesik paracetamol serupa dengan salisilat yaitu, menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya menurunkan suhu tubuh dengan
mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral seperti salisilat. Efek
antiinflamasinya sangat lemah, oleh karena itu paracetamol merupakan penghambat
biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi, erosi dan pendarahan lambung tidak telihat
pada kedua obat ini, demikian juga dengan gangguan pernapasan dan keseimbangan
asam basa. (Farmakologi dan Terapi edisi V hal 238)
2.2 Efek samping dan reaksi obat yang tidak diinginkan
Reaksi alergi terhadap derivate para-aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya
berupa eritema atau urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada
mukosa. Fenasetin dapat menyebabkan anemia hemolitik, terutama pada pemakaian
kronik. Anemia hemolitik dapat terjadi berdasarkan mekanisme autoimun, defisiensi
enzim G6PD dan adanya metabolit yang abnormal.Methemoglobinemia dan
sulfhemoglobinemia jarang menimbulkan masalah pada dosis terapi, karena hanya
kira-kira 1-3% Hb diubah menjadi met-Hb. Methemoglobinemia baru merupakan
masalah pada takar lajak.
Eksperimen pada hewan coba menunjukkan bahwa gangguan ginjal lebih mudah
terjadi akibat asetosal daripada fenasetin. Penggunaan semua jenis analgesik dosis
besar secara menahun terutama dalam kombinasi berpotensi menyebabkan nefropati
analgesik. (Farmakologi dan Terapi edisi V hal 238)
2.3 Dosis dan indikasi obat
Dosis
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500mg atau sirup
mengandung 120mg/5mL. Selain itu parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi
tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan. Dosis parasetamol untuk dewasa 300mg-
1g per kali, dengan maksimum 4g per hari; untuk anak 6-12 tahun : 150-300mg/kali,
dengan maksimum 1,g/hari. Untuk anak 1-6 tahun : 60-120mg/kali dan bayi dibawah
1 tahun : 60mg/kali; pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari.
(Farmakologi dan Terapi edisi V hal 239)
Indikasi
Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesic dan antipiretik, telah
menggantikkan penggunaan salisilat. Sebagai analgesic lainnya, parasetamol
sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati
analgesic. Jika dosis terapi tidak memberikan manfaat, biasanya dosis lebih besar
tidak menolong. Karena hampir tidak mengiritasi lambung, parasetamol sering
dikombinasi dengan AINS untuk efek analgesic.
(Farmakologi dan Terapi edisi V hal 238)
2.4 Metode pengujian obat
2.4.1 Subcutan
Pemberian subkutan mudah dilakukan, jarang menyakitkan dan secara sadar
dilakukan pada tikus. Tingkat penyerapannya lebih rendah daripada injeksi
intraperitoneal atau intramuscular. Subkutan dilakukan di atas area interscapular.
a. Pemberian subkutan pada area kulit longgar, sebagai berikut :
- Tikus ditahan lalu diletakkan diatas handuk bersih atau permukaan padat. Pegang
sekeliling area dengan ibu jari dan telunjuk.
- Jarum dimasukkan ibawah kulit area interskapula kemudian zat disuntikkan
b. Pemberian subkutan pda daerah inguinal, sebagai berikut :
- Tikus ditahan manual, kepala menghadap bawah. Kaki belakang tikus dipegang
dengan kuat.
- Jarum dimasukkan ke kuadran kiri atau kanan awah perut, lihat garis tengah perut.
Kemudian zat disuntikkan Jika ada kebocoran, jarum harus dimajukan beberapa
millimeter melalui jaringan subkutan.
2.4.2 Intragastrik (sonde)
Pemberian langsung dengan oral untuk mecampurkan zat dengan makanan atau air
minum. Jarum ujung bola digunakan untuk mencegah kerusakan kerongkongan
atau melewati lubang glottal menuju ke trakea. Jarum sonde 22G merupakan tipe
yang cocok pada tikus dewasa. Imobilisasi kepala sangat penting pada prosedur
penyuntukan dengan jarum sonde. Ketika leher ditarik, posisi vertical. Garis lurus
terbentuk antara mulut dan spighter jantung melalui lubang esophagus. Jarum
dilewatkan dengan lembut melalui mulut dan faring ke kerongkongan.
Tikus biasanya menelan sebagai jarum makan mendekati faring, gerakan menelan
tsb dapat membantu sehingga probe lolos pembukaan esophagus. Jika ada halangan
yang dirasakan, jika tikus batuk, tersedak, cairan terlihat keluar dari hidung, ini
menunjukkan bahwa jarum telah memasuki paru-paru. Segera dilakukan penarikan
jarumdengan sangat hati-hati. Jika ada pertanda cairan masuk ke paru-paru, tikus
harus ditidurkan. Volume yang direkomendasikan > 2ml.
2.4.3 Termometer membrane timpani inframerah
Pengukuran dengan termometer ini dianggap ideal karena membrane timpani dan
hipotalamus berbagi suplai darah arteri yang berasal dari arteri karotis; oleh karena
itu, membrane timpani dianggap secara langsung mencerminkan suhu inti.
Pengukuran dengan tympanic thermometer lebih akurat daripada pengukuran
dengan suhu rektal, sebab akurasi pada rektal termometer menyajikan akurasi lebih
rendah karena adanya aliran darah local dan tinja (feses).
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
Digunakan hewan percobaan yaitu : Mencit Jantan
3.1.1 Alat
- Alat suntik
- Alat sonde
- Ear thermometer B-Braun
3.1.2 Bahan
- Pepton 5%
- Paracetamol 10mg/ml
3.2 Perhitungan Dosis
Berat badan mencit : 27 gram
Dosis Peptone : 1ml/ 200grBB. Sediaan peptone yang tersedia adalah 5%
Dosis Paracetamol : 1,3 mg/20 gr BB
Faktor konversi mencit : 0.14
Perhitungan :
1. Volume penyuntikan Pepton :
Faktor konversi mencit : 0.14 (X 1 ml) = 0.14 ml
> Dosis yang diberikan : 27 gram/20 gram X 0.14 ml = 0.189 ml
2. Dosis Parasetamol diberikan :
> Dosisi yang diberikan : 27 gram/20 gram X 1.3 mg = 1.75 mg
3. Volume pemberian :
Parasetamol 10 mg/ml
Dosis = 1,75 mg
> Volume penyuntikan = 1,75 mg/10 mg x 1 ml = 0,175 ml
> Factor pengenceran = 0.05/0,175 = 0,28 kali pengenceran
(tidak perlu pengenceran)
3.3 Klasifikasi Hewan Coba
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub-filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Sub-ordo : Myoimorphia
Famili : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus
Galur : Swiss Webster
3.4 Skema Kerja Praktikum

Menyiapkan Alat dan bahan


Praktikum
Tikus ditimbang dahulu, untuk
(Mencit jantan galur swiss mengetahui berat tikus. Lalu
Webster, Parasetamol 10 mg/ml, hitung dosis yang akan
Pepton 5%, alat suntik 1 ml, ear diinjeksikan ke tikus.
thermometer B-Braun, jarum
suntik, timbangan tikus.

Dilakukan pengukuran suhu


tubuh mencit sebelum
Pepton disuntikan secara
perlakuan (T=0) dengan cara
Subkutan pada bagian tengkuk
memasukan ear thermometer
mencit sebagai inductor panas.
pada telinga bagian luar
mencit.

Setelah 2 jam suhu tubuh


Dilakukan pengukuran suhu
mencit diukur. Apabila terjadi
tubuh mencit setelah
peningkatan suhu sebesar 2°C.
pemberian parasetamol, yaitu
diberikan Parasetamol sesuai
pada menit ke-15’, 30’, 45’, 60’
dosis tiap kelompok secara per
dan 90’.
oral.

Data ditabulasikan dan dibuat grafik suhu mencit setiap


waktu.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Praktikum

39.5
39
38.5
38
37.5 Kelompok 1
37
36.5 Kelompok 2
36
Kelompok 3
35.5
35 Kelompok 4
34.5
34
Sebelum 0' 15' 30' 45' 60' 90'
di induksi

4.2 Pembahasan Hasil Praktikum


Berdasarkan hassil praktikum, dapat dilihat bahwa, mencit setelah mencit
diinduksikan dengan pepton, suhu tubuh mencit dari semua kelompok meningkat
dari sebelumnya, kemdian setelah diberikan perlakuan parasetmol dengan dosis yang
berbeda, dan diamati tiap 15 menitnya, didapatkan suhu berbeda dari masing-masing
kelompok, namun sama hasilnya berdasarkan efek dari paracetamol sebagai
antipiretik, yakni menurunkan suhu tubuh mencit.
- Pada kelompok 1, awal setelah diberikan paracetamol pada menit ke 15, tidak
terjadi perubahan, yakni tetap pada suhu 38.2, lalu pada menit ke-30, suhu tubuh
semakin meningkat menjadi 38.5. lalu efek antipiretik terlihat pada menit ke 45,60,
dan 90, yakni terjadi penurunan suhu tubuh
- Pada kelompok 2, awal setelah diinjeksikan paracetamol, suhu tubuh mencit lebih
besar daripada kelompok sebelumnya, yakni 38.5 pada menit ke-15, kemudian naik
lagi pada menit seterusnya hingga sampai menit ke-60, dan 90, terlihat bahwa
antipiretik yang diberikan sedang bekerja karena terjadi penurunan suhu tubuh.

- Pada kelompok 3, suhu tubuh mencit mulanya lebih kecil daripada suhu tubuh
mencit kelompok 1 dan 2, akan tetapi sama pada menit ke-15 dan 30, terjadi kenaikan
suhu tubuh 38.1 dan 38.2. Namun pada mencit kelompok 3, mulai terlihat efek
antipiretik dan suhu tubuh semakin menurun pada menit ke 45,60, dan 90.
- Pada kelompok terakhir, pada menit ke 15 dan 30, suhu tubuh lebih meningkat
daripada suhu tubuh emncit 3 kelompok sebelumnya. Kemudian pada menit ke 45
mulai terjadi penurunan suhu tubuh, sampai seterusnya dimenit ke 60 dan 90.
- Dapat terlihat bahwa pepton berperan dalam meningkatan suhu tubuh mencit dari
sebelum diinduksikannya pepton (T=0). Lalu setelah diberikan paracetamol, suhu
tubuh mencit dapat menurun disebabkan efek paracetamol sebagai antipiretik.
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan Praktikum
Pada pengujian efek parasetamol sebagai antipiretik, dengan menggunakan mencit
sebagai hewan coba, menunjukkan parasetamol mempunyai efek sebagai antipiretik,
karena setelah diberikan pepton pada mencit sebagai indicator panas, suhu tubuh
mencit mulai meningkat, lalu dengan diberikannya parasetamol, suhu tubuh mencit
mulai menurun, sehingga efek antipiretik pada parasetamol dapat dibuktikan.
5.2 Usulan Penelitian
1. Perbandingan Efek Antipiretik antara Ibuprofen dengan Campuran Ibuprofen
dan Kafein oleh Dian Ayu Juwita, Deni Noviza, dan Erizal
Semua tikus diaklimatisasi selama 2 minggu, kemudian ditimbang dan dibagi
menjadi 3 kelompok secara acak. Semua tikus diukur suhu rektalnya sebelum diberi
perlakuan. Masing-masing tikus pada kelompok I, II dan III diberi larutan pepton 5%
secara intramuskular sebagai penginduksi demam. Setelah 3 jam suhu rektal
masingmasing tikus diukur kembali. Kemudian Kelompok I (kontrol) diberi Na-CMC
1%, Kelompok II diberi sediaan uji ibuprofen secara oral dengan dosis 5,4 mg, dan
kelompok III diberi hasil lebur campuran fisik ibuprofen : kafein 0,4 : 0,6 dengan
dosis yang diberikan setara dengan dosis ibuprofen 5,4 mg. Dilakukan pengukuran
suhu rektal semua tikus tiap 30 menit hingga menit ke 150 setelah perlakuan
menggunakan termometer digital.
2. Uji Aktivitas Antipiretik dan Kandungan Flavonoid Total Ekstrak Daun Pepaya
oleh Dwi Ningsih.
Uji aktivitas antipiretik menggunakan tikus putih jantan galur wistar, umur 2-3 bulan,
dengan berat badan 150-200 gram. Jumlah tikus yang digunakan sebanyak 25 ekor
yang dibagi menjadi 5 kelompok, masingmasing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus.
Kelompok I: kontrol demam (CMCNa 1%), kelompok II : kontrol antipiretik
(ibuprofen), kelompok III-V : ekstrak daun papaya dosis 100, 200, dan 400 mg/kgBB.
Hewan uji dipuasakan selama 18 jam sebelum uji. Hewan uji diukur suhu rektal tikus
terlebih dahulu, kemudian diinduksi dengan vaksin DPTHb sebanyak 0.2 mL secara
intramuscular dan diinkubasi  4 jam, kemudian dilakukan pengukuran suhu rektal
kembali. Setelah hewan uji mengalami demam, masing-masing diberikan sediaan uji
sesuai perlakuan, kemudian diukur suhu rektalnya setiap 30 menit sampai menit ke
120. Hasil pengukuran tersebut digunakan untuk menghitung AUC (Area Under
Curve) masing-masing hewan uji menggunakan metode trapezoid.
3. AKTIVITAS ANTIPIRETIK EKSTRAK ETANOL DAUN MENGKUDU
(Morinda citrifolia L.) PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus)
GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI PEPTON 5% oleh Sulastri Herdaningsih
Uji aktivitas antipiretik dilakukan dengan cara pengukuran suhu rektal pada semua
hewan uji sebelum dan sesudah diinduksi dengan pepton 5%. Hewan uji diinduksi
secara peroral (P.O), pengukuran suhu pada rektal dilakukan pada lima kelompok uji
coba yang terdiri dari kelompok larutan kotrol negatif, kelompok larutan kontrol
positif (pembanding), sediaan uji kelompok 1, sediaan uji kelompok 2, dan sediaan
uji kelompok 3. Diukur suhu awal (t(awal)) yaitu sebelum diinduksi pepton dan
setelah diinduksi pepton selama satu jam, diukur kembali suhu rektal menggunakan
thermometer infrared dengan satuan , pada selang waktu 30’, 60’, 90’, 120’, 150’,
180’, 210’, 240 menit setelah penyuntikan untuk tiap kelompok konsentrasi lalu,
dibandingkan dengan kontrol negatif dan kontrol positif untuk melihat aktivitas pada
sediaan uji.
DAFTAR PUSTAKA
Farmakologi dan Terapi Edisi 6

Shimizu. S. 2004. The Laboratory Mouse. Routes of Administration. National


Institute of Animal Health, Tsukuba, Japan

Gasim. G. I., I. R. Musa., dkk. 2013. Accuracy of tympanic temperature


measurement using an infrared tympanic membrane thermometer. BMC
Research Notes 6(194): 2

Boere. V., I. O. Silvia., dkk. 2003. Correlation between tympanic and rectal
temperature in marmosets (Callithrix penicillata) under acute stress. Brazilian
Journal of Veterinary Research and Animal Science 40(2): 90-95

Juwita,Dian Ayu, dkk. 2015, Perbandingan Efek Antipiretik Ibuprofen dengan


Campuran Ibuprofen dan Kafein, Jurnal Farmasi Indonesia, Volume 7, No.4,
Universitas Andalas, Padang.

Ningsih,Dwi,dkk. 2018, Uji Aktivitas Antipiretik dan Kandungan Flavonoid


Total Ekstrak Daun Pepaya, Jurnal Farmasi Indonesia, Volume 15, No.2,
Universitas Setia Budi, Surakarta.

Herdaningsih,Sulastri,dkk. 2019, AKTIVITAS ANTIPIRETIK EKSTRAK


ETANOL DAUN MENGKUDU (Morinda citrifolia L.) PADA TIKUS PUTIH
JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI
PEPTON 5%, Medical Sains, Volume 3, No.2, Akademi Farmasi Yasri,
Pontianak.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai