Disusun Oleh :
1. Agnes Sri Wahyuni (18012301)
2. Bayu Perwira P (18012308)
3. Dilla Fifa M (18012313)
4. Finna Febrianti F (18012318)
5. Istiqomah Kurniawati (18012323)
6. Meri Mardiana (18012328)
7. Ninik Lestari (18012333)
8. Hesti Feronika (18012339)
9. Selfita Mailani (18012344)
10. Yulita Sofiatun (18012349)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Keperawatan Gawat
Darurat Konsep Dan Prinsip Pelaksanaan Bantuan Hidup Dasar” dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Harapan kami semogamakalah
ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
sehingga kami dapat memperbaiki bentukmaupun isi makalah ini. Sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman
yang kami miliki sangat kurang, oleh karena itu kami harapkan kepada para
pembaca untuk memberikan masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
pen
ulis
ii
iii
DAFTAR ISI
COVER...............................................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................1
C. Tujuan Penulisan....................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Bantun Hidup Dasar (BHD).....................................................3
B. Tujuan Bantuan Hidup Dasar (BHD).....................................................4
C. Indikasi Bantuan Hidup Dasar (BHD)...................................................4
D. Langkah-Langkah BLS (Basic Life Support)........................................5
E. Perbedaan Basic Life Support (BLS) Menurut AHA
Tahun 2005 Dan 2010............................................................................9
F. Survey Primer........................................................................................13
G. Melakukan BHD 1 Dan 2 Penolong......................................................21
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................24
B. Saran......................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Bantuan Hidup Dasar (BHD) ?
2. Apa Saja Tujuan Dari BHD?
3. Apa Saja Indikasi Dari (BHD)?
4. Apa Saja langkah-langkah Basic Life Support (BLS).
5. Bagaimana perbedaan dari Bantuan Hidup Dasar (BHD) menurut AHA
Tahun 2005 dan 2010?
6. Bagaimana Survey Primer BHD ?
7. Bagaimana Penatalaksanaan BHD 1 Dan 2
1
C. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Untuk mengetahui dan memahami serta mampu melaksanakan Bantuan
Hidup Dasar (BHD).
2. Tujuan Khusus:
a Untuk Mengetahui Definisi Bantuan Hidup Dasar (BHD).
b Untuk Mengetahui Tujuan Dari Bantuan Hidup Dasar (BHD).
c Untuk Mengetahui Indikasi Dari Bantuan Hidup Dasar (BHD).
d Memahami langkah-langkah Basic Life Support (BLS).
e Memahami perbedaan dari Bantuan Hidup dasar (BHD) menurut
AHA Tahun 2005 dan 2010
f Untuk Mengetahui Survey Primer BHD
g Untuk Mengetahui Penatalaksanaan BHD 1 Dan 2.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Bantuan hidup dasar pada anak atau sering disebut Pediatric Basic Life
Support (BLS) merupakan hal yang penting untuk kelangsungan dan
kualitas hidup anak. Pediatric Chain Survival berdasarkan American Heart
Association tahun 2010 meliputi tindakan preventif, resusitasi jantung paru
(RJP) segera dengan mengutamakan pijat jantung (teknik C-A-B atau
Circulation-Airway-Breathing), mengaktifkan akses emergensi atau
emergency medical system (EMS), bantuan hidup lanjut, serta melakukan
perawatan pasca henti jantung.
1. Deteksi dini dari henti jantung dan aktivasi sistem pelayanan gawat
darurat terpadu (SPGDT)
3
2. Melakukan RJP secara dini dengan teknik penekanan yang tepat
3. Melakukan kejut jantung secara dini
4. Melakukan Bantuan Hidup Lanjut yang efektif
5. Melakukan resusitasi setelah henti jantung secara terintegrasi
B. Tujuan Bantuan Hidup Dasar (BHD)
Tujuan Bantuan Hidup Dasar ini adalah memberikan bantuan dengan cepat
mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya
sambil menunggu pengobatan lanjutan. Jika pada suatu keadaan ditemukan
korban dengan penilaian dini terdapat gangguan tersumbatnya jalan nafas,
tidak ditemukan adanya nafas dan atau tidak ada nadi, maka penolong harus
segera melakukan tindakan yang dinamakan dengan istilah bantuan hidup
dasar (BHD).
Bantuan hidup dasar terdiri dari beberapa cara sederhana yang dapat
membantu mempertahankan hidup seseorang untuk sementara. Beberapa cara
sederhana tersebut adalah bagaimana menguasai dan membebaskan jalan
nafas, bagaimana memberikan bantuan penafasan dan bagaimana membantu
mengalirkan darah ke tempat yang penting dalam tubuh korban, sehingga
pasokan oksigen ke otak terjaga untuk mencegah matinya sel otak.
Penilaian dan perawatan yang dilakukan pada bantuan hidup dasar sangat
penting guna melanjutkan ketahapan selanjutnya. Hal ini harus dilakukan
secara cermat dan terus menerus termasuk terhadap tanggapan korban pada
proses pertolongan
4
f Tersengat listrik
g Infark miokard
h Tersambar petir
i Koma akibat berbagai macam kasus
Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk ke dalam darah
untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah
ke otak dan organ vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan
bantuan napas akan sangat bermanfaat agar korban dapat tetap hidup
dan mencegah henti jantung.
2. Henti jantung (cardiac arrest)
Pada saat terjadi henti jantung secara langsung akan terjadi henti
sirkulasi. Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan
organ vital kekurangan oksigen. Pernapasan yang terganggu
(tersengal-sengal) merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.
Penyebab henti jantung :
a cardiac : penyakit jantung koroner, aritmia, kelainan kutup
jantung, tamponade jantung, pecahnya aorta.
b Extra-Cardiac : sumbatan jalan nafas, gagal napas, ganguan
elektrolit, syok. Overdosis obat, keracunan.
Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat
medik yang bertujuan :
a Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.
b Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi
dari korban yang mengalami henti jantung atau henti napas
melalui Resusitasi Jantung Paru (RJP).
Resusitasi Jantung Paru terdiri dari 2 tahap :
1) Survei Primer (Primary Survey), yang dapat dilakukan oleh
setiap orang.
2) Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat
dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis terlatih dan
merupakan lanjutan dari survei primer.
5
a. Memeriksa keadaan pasien, respons pasien, termasuk mengkaji
ada / tidak adanya nafas secara visual tanpa teknik Look Listen
and Feel
b. Melakukan panggilan darurat.
c. Circulation :
Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi
maka dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi
jika tidak ditemukan denyut nadi, maka dilanjutkan dengan
melakukan kompresi dada. Untuk penolong non petugas kesehatan
tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi korban.
Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik.
Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah
sternum). Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit
dari tangan yang pertama diletakkan di atas sternum, kemudian
tangan yang satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada
di tengah sternum. Jari-jari tangan dirapatkan dan diangkat pada
waktu penolong melakukan tiupan nafas agar tidak menekan dada.
Posisi tangan.
Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri
disamping korban jika korban berada di tempat tidur Chest
compression Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus (30
kompresi, sekitar 18 detik) Kecepatan kompresi diharapkan
mencapai sekitar 100 kompresi/menit. Kedalaman kompresi untuk
dewasa minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan untuk bayi minimal
sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½
inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5 cm).
d. Airway.
Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang
maka bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Caranya
dengan meletakkan satu tangan pada dahi korban, lalu mendorong
dahi korban ke belakang agar kepala menengadah dan mulut
sedikit terbuka (Head Tilt) Pertolongan ini dapat ditambah dengan
mengangkat dagu (Chin Lift). Namun jika korban dicurigai cedera
tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust
6
yaitu dengan mengangkat dagu sehingga deretan gigi Rahang
Bawah berada lebih ke depan daripada deretan gigi Rahang Atas.
e. Breathing.
Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan
jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban
untuk memastikan volume tidal yang masuk adekuat. Untuk
pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai berikut :
1) Pastikan hidung korban terpencet rapat
2) Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)
3) Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin
4) Berikan satu ventilasi tiap satu detik
5) Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua
selama satu detik.
Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui
mulut korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung
korban. Untuk pemberian melalui bag mask pastikan
menggunakan bag mask dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat
memeberikan ventilasi yang memenuhi volume tidal sekitar 600
ml. Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan
dengan frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10
nafas/menit dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.
Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan
pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6
detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut
nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus perbandingan
kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2, setelah terdapat advance
airway kompresi dilakukan terus menerus dengan kecepatan 100
kali/menit dan ventilasi tiap 6-8 detik/kali.
f. RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien
bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi,
petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik,
kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau
pemasangan advance airway.
g. Alat defibrilasi otomatis.
7
Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat
tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan
yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut
atau tidak, jika iya lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan
lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun
jika ritme tidak dapat diterapi kejut lanjutkan RJP selama 2 menit
dan periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga
petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support ) datang, atau
korban mulai bergerak.
No ABC CAB
8
adalah henti jantung dan ritme Ventricular Fibrilation (VF) atau pulseless
Ventrivular Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut elemen RJP yang
paling penting adalah kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi
otomatis segera (early defibrillation).
Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali tertunda
karena proses pembukaan jalan nafas (airway) untuk memberikan
ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat pemisah atau alat
pernafasan lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka
kompresi dada akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit
tertunda satu siklus kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal
dilakukan sekitar 18 detik).
Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan
RJP dari orang sekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab hal
ini namun salah satu yang menjadi alasan adalah dalam algoritma A-
B-C, pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam
Airway adalah prosedur yang kebanyakan ditemukan paling sulit
bagi orang awam. Memulai dengan kompresi dada diharapkan dapat
menyederhanakan prosedur sehingga semakin banyak korban
yang bisa mendapatkan RJP. Untuk orang yang enggan melakukan
ventilasi mulut ke mulut setidaknya dapat melakukan kompresi dada.
E. Perbedaan Basic Life Support (BLS) Menurut AHA Tahun 2005 Dan
2010
Tanggal 18 oktober 2010 lalu AHA (American Hearth Association)
mengumumkan perubahan prosedur CPR (Cardio Pulmonary
Resuscitation) atau dalam bahasa indonesia disebut RJP (resusitasi jantung
paru) yang berbeda dari prosedur sebelumnya yang sudah dipakai dalam
9
40 tahun terakhir. Perubahan tersebut ada dalam sistematikanya, yaitu
sebelumnya menggunakan A-B-C (Airway-Breathing-Circulation)
sekarang menjadi C-A-B (Circulation-Airway-Breathing). Namun
perubahan yang ditetapkan AHA tersebut hanya berlaku pada orang
dewasa,anak, dan bayi.
Perubahan tersebut menurut AHA adalah mendahulukan pemberian
kompresi dada dari pada pembuka jalan nafas dan memberikan nafas
buatan pada penderita henti jantung. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa teknik kompresi dada lebih diperlukan untuk
mensirkulasikan sesegera mungkin oksigen ke seluruh tubuh terutama
organ-organ vital seperti otak, paru, antung, dll.
Menurut penelitian AHA, beberapa menit setelah penderita mengalami
henti jantung masih terdapat oksigen pada paru-paru dan sirkulasi darah.
Oleh karena itu memulai kompresi dada lebih dahulu diharapkan akan
memompa darah yang mengandung oksigen ke otak dan jantung sesegera
mungkin. Kompresi dada dilakukan pada tahap awal selama 30 detik
sebelum melakukan pembukaan jalan nafas dan pemberian napas buatan
seperti prosedur yang lama.
Setelah mengevaluasi berbagai penelitian yang telah dipublikasi
selama lima tahun terakhir AHA mengeluarkan Panduan RJP 2010. Fokus
utama RJP 2010 ini adalah kualitas kompresi dada.
10
prioritas utama adalah Circulation baru setelah itu tatalaksana
difokuskan pada Airway dan selanjutnya Breathing. Satu-satunya
pengecualian adalah hanya untuk bayi baru lahir (neonatus), karena
penyebab tersering pada bayi baru lahir yang tidak sadarkan diri dan
tidak bernafas adalah karena masalah jalan nafas (asfiksia). Sedangkan
untuk yang lainnya, termasuk RJP pada bayi, anak, ataupun orang
dewasa biasanya adalah masalah Circulation kecuali bila kita
menyaksikan sendiri korban tidak sadarkan diri karena masalah selain
Circulation harus menerima kompresi dada sebelum kita berpikir
memberikan bantuan jalan nafas.
2. Tidak ada lagi Look, Listen, and Feel
a AHA 2010 (new) “Look, listen, and feel for breathing was
removed from the sequence for assessment of breathing after
opening the airway. The healthcare provider briefly checks for
breathing when checking responsiveness to detect signs of cardiac
arrest. After delivery of 30 compressions, the home rescuer opens
the victim’s airway and delivers 2 breaths.”
b AHA 2005 (old) “Look, listen, and feel for breathing was used to
assess breathing after the airway was opened.”
Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung
adalah Bertindak bukan Menilai. Telepon ambulan segera saat kita
melihat korban tidak sadar dan tidak bernafas dengan baik (gasping).
Percayalah pada nyali Anda. Jika Anda mencoba menilai korban
bernapas atau tidak dengan mendekatkan pipi Anda pada mulut
korban, itu boleh-boleh saja. Tapi tetap saja sang korban tidak
bernafas dan tindakan look listen and feel ini hanya akan
menghabiskan waktu.
3. Tidak ada lagi Resque Breath
a AHA 2010 (new) “Beginning CPR with 30 compressions rather
than 2 ventilations leads to a shorter delay to first compression”
Resque breath adalah tindakan pemberian napas buatan sebanyak
dua kali setelah kita mengetahui bahwa korban henti napas
(setelah Look, Listen, and Feel). Pada AHA 2010, hal ini sudah
dihilangkan karena terbukti menyita waktu yang cukup banyak
sehingga terjadi penundaan pemberian kompresi dada.
11
4. Kompresi dada lebih dalam lagi
a AHA 2010 (new) “The adult sternum should be depressed at least
2 inches (5 cm)”
b AHA 2005 (old) “The adult sternum should be depressed 11/2 to 2
inches (approximately 4 to 5 cm).”
Pada pedoman RJP sebelumnya, kedalaman kompresi dada adalah
1 ½ – 2 inchi (4 – 5 cm), namun sekarang AHA
merekomendasikan untuk melakukan kompresi dada dengan
kedalaman minimal 2 inchi (5 cm).
5. Kompresi dada lebih cepat lagi
a AHA 2010 (new) “It is reasonable for lay rescuers and healthcare
providers to perform chest compressions at a rate of at least
100x/min.”
b AHA 2005 (old) “Compress at a rate of about 100x/min.”
AHA mengganti redaksi kalimat disini sebelumnya tertulis: tekan
dada sekitar 100 kompresi/ menit. Sekarang AHA
merekomendasikan kita untuk kompresi dada minimal 100
kompresi/ menit. Pada kecepatan ini, 30 kompresi membutuhkan
waktu 18 detik.
6. Hands only CPR
a AHA 2010 (new)
“Hands-Only (compression-only) bystander CPR substantially
improves survival following adult out-of-hospital cardiac arrests
compared with no bystander CPR.”
AHA mendorong RJP seperti ini pada tahun 2008. Dan pada
pedoman tahun 2010 pun AHA masuh menginginkan agar
penolong yang tidak terlatih melakukan Hands Only CPR pada
korban dewasa yang pingsan di depan mereka. Pertanyaan terbesar
adalah: apa yang harus dilakukan penolong tidak terlatih pada
korban yang tidak pingsan di depan mereka dan korban yang
bukan dewasa? AHA memang tidak memberikan jawaban tentang
hal ini, namun ada saran sederhana disini: berikan Hands Only
CPR, karena berbuat sesuatu lebih baik daripada tidak berbuat
sama sekali.
7. Pengaktivasian Emergency Response System (ERS)
12
a AHA 2010 (new) “Check for response while looking at the patient
to determine if breathing is absent or not normal. Suspect cardiac
arrest if victim is not breathing or only gasping.”
b AHA 2005 (old) “Activated the emergency response system after
finding an unresponsive victim, then returned to the victim and
opened the airway and checked for breathing or abnormal
breathing.”
Pada pedoman AHA yang baru, pengaktivasian ERS seperti
meminta pertolongan orang di sekitar, menelepon ambulans,
ataupun menyuruh orang untuk memanggil bantuan tetap menjadi
prioritas, akan tetapi sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan
kesadaran dan ada tidaknya henti nafas (terlihat tidak ada nafas/
gasping) secara simultan dan cepat.
8. Jangan berhenti kompresi dada
a AHA 2010 (new) “The preponderance of efficacy data suggests
that limiting the frequency and duration of interruptions in chest
compressions may improve clinically meaningful outcomes in
cardiac arrest patients.”
Setiap penghentian kompresi dada berarti menghentikan aliran
darah ke otak yang mengakibatkan kematian jaringan otak jika
aliran darah berhenti terlalu lama. Membutuhkan beberapa
kompresi dada untuk mengalurkan darah kembali. AHA
menghendaki kita untuk terus melakukan kompresi selama kita
bisa atau sampai alat defibrilator otomatis datang dan siap untuk
menilai keadaan jantung korban. Jika sudah tiba waktunya untuk
pernapasan dari mulut ke mulut, lakukan segera dan segera
kembali melakukan kompresi dada. Prinsip Push Hard, Push Fast,
Allow complete chest recoil, and Minimize Interruption masih
ditekankan disini. Ditambahkan dengan Avoiding excessive
ventilation.
13
rescuer not involved in rescue breaths or compressions.”
Cricoid pressure dapat menghambat atau mencegah pemasangan
jalan nafas yang lebih adekuat dan ternyata aspirasi tetap dapat
terjadi walaupun sudah dilakukan cricoid pressure. Cricoid
pressure merupakan suatu metode penekanan tulang rawan krikoid
yang dilakukan pada korban dengan tingkat kesadaran sangat
rendah, hal ini pada pedoman AHA 2005 diyakini dapat mencegah
terjadinya aspirasi dan hanya boleh dilakukan bila terdapat
penolong ketiga yang tidak terlibat dalam pemberian nafas buatan
ataupun kompresi dada.
10. Pemberian Precordial Thump
a AHA 2010 (new) “The precordial thump should not be used for
unwitnessed out- of-hospital cardiac arrest. The precordial thump
may be considered for patients with witnessed, monitored,
unstable VT (including pulseless VT) if a defibrillator is not
immediately ready for use, but it should not delay CPR and shock
delivery.”
b AHA 2005 (old) “No recommendation was provided previously.”
Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa precordial thump dapat
mengembalikan irama ventricular tachyarrhytmias ke irama sinus.
Akan tetapi pada sejumlah besar kasus lainnya, precordial thump
tidak berhasil mengembalikan korban dengan ventricular
fibrillation ke irama sinus atau kondisi Return of Spontaneous
Circulation (ROSC). Kemudian terdapat banyak laporan yang
menyebutkan terjadinya komplikasi akibat pemberian precordial
thump seperti fraktur sternum, osteomyelitis, stroke, dan bahkan
bisa mencetuskan aritmia yang ganas pada korban dewasa dan
anak-anak. Pemberian precordial thump boleh dipertimbangkan
untuk dilakukan pada pasien dengan VT yang disaksikan,
termonitor, tidak stabil, dan bila defibrilator tidak dapat
disediakan dengan segera. Dan yang paling penting adalah
precordial thump tidak boleh menunda pemberian RJP atau
defibrilasi.
F. Survei Primer
14
Dalam survei primer difokuskan pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi
serta defibrilasi. Untuk dapat mengingatkan dengan mudah tindakan
survei primer dirumuskan dengan abjad A, B, C, dan D, yaitu :
1. airway (jalan napas)
2. breathing (bantuan napas)
3. circulation (bantuan sirkulasi)
4. defibrilation (terapi listrik)
Sebelum melakukan tahapan A(airway), harus terlebih dahulu dilakukan
prosedur awal pada korban / pasien, yaitu :
a Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong.
b Memastikan kesadaran dari korban / pasien.
15
Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan
dengan melakukan tindakan :
16
lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula. Teknik
membuka jalan napas yang direkomendasikan untuk orang
awam dan petugas kesehatan adalah tengadah kepala
topang dagu, namun demikian petugas kesehatan harus
dapat melakukan manuver lainnya.
17
dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali
hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan
adalah 1,5–2 detik dan volume udara yang dihembuskan
adalah 400 -500 ml (10 ml/kg) atau sampai dada korban /
pasien terlihat mengembang.
Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan
menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang
cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16–
17%.Penolong juga harus memperhatikan respon dari korban /
pasien setelah diberikan bantuan napas.
Cara memberikan bantuan pernapasan :
a) Mulut ke mulut
18
kebanyakan orang dewasa adalah 400 - 500 ml (10
ml/kg).
b) Mulut ke hidung
c) Mulut ke Stoma
19
1) Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban / pasien.
20
dada korban / pasien, jari–jari tangan dapat diluruskan
atau menyilang.
21
d D (DEFRIBILATION)
22
konsekuensinya akan menyebabkan penolong cepat lelah. BHD 1 penolong
dapat mengikuti urutan sebagai berikut :
1. Penilaian korban.
3. Pernapasan (BREATHING)
Nilai pernapasan untuk melihat ada tidaknya pernapasan dan adekuat atau
tidak pernapasan korban / pasien. Jika korban / pasien dewasa tidak sadar
dengan napas spontan, serta tidak adanya trauma leher (trauma tulang
belakang) posisikan korban pada posisi mantap (Recovery position),
dengan tetap menjaga jalan napas tetap terbuka.
Jika korban / pasien dewasa tidak sadar dan tidak bernapas, lakukan
bantuan napas. Di Amerika Serikat dan dinegara lainnya dilakukan
bantuan napas awal sebanyak 2 kali, sedangkan di Eropa, Australia, New
Zealand diberikan 5 kali. Jika pemberian napas awal terdapat kesulitan,
dapat dicoba dengan membetulkan posisi kepala korban / pasien, atau
ternyata tidak bisa juga maka dilakukan :
23
nadi ada cek napas, jika tidak bernapas lanjutkan kembali bantuan
napas.
4. Sirkulasi (CIRCULATION)
Jika ada tanda–tanda sirkulasi, dan ada denyut nadi tidak dilakukan
kompresi dada, hanya menilai pernapasan korban / pasien (ada atau tidak
ada pernapasan). Jika tidak ada tanda–tanda sirkulasi, denyut nadi tidak
ada lakukan kompresi dada :
d Letakkan kembali telapak tangan pada posisi yang tepat dan mulai
kembali kompresi 30 kali dengan kecepatan 100 kali per menit.
5. Penilaian Ulang
b Jika ada napas dan denyut nadi teraba letakkan korban pada posisi
mantap. Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan
napas sebanyak 8-10 kali permenit dan monitor nadi setiap saat.
24
Airway Prioritas Pertama Pembunuh yang tercepat pada penderita
trauma adalah ketidakmampuan untuk mengantarkan darah yang
teroksigenisasi ke otak dan struktur vital lainnya. Pencegahan hipoksemia
memerlukan airway yang terlindungi, terbuka dan ventilasi yang cukup
merupakan prioritas yang harus didahulukan dibanding yang lainnya.
Bagaimana mungkin dapat memenuhi kebutuhan oksigen apabila jalan
napasnya tersumbat, apalagi jika mengalami sumbatan total. Semua
penderita trauma memerlukan oksigen. Oleh karena itu setiap gangguan
pada airway harus segera ditangani.
25
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Kami menyarankan agar siapapun yang membaca ini apabila
mengetahui adanya korban yang memerlukan Bantuan Hidup Dasar untuk
segera ditolong dengan cepat agar nyawanya bisa tertolong dengan cepat.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan.
26
DAFTAR PUSTAKA
27