Anda di halaman 1dari 34

TUGAS MAKALAH ASUHAN KEBIDANAN

KEGAWATDARURATAN UMUM PADA KASUS HENTI JANTUNG


Dosen Pengampu: Hj. Isnaniah,S.ST.,M.Pd

Disusun Oleh kelompok 1


Kelas VB

1. Ambulu Putri Pramono P07124119004


2. Annida Tuzakiah P07124119005
3. Annikmah P07124119006
4. Annisa Nurjanah P07124119007
5. Dewi Rosiyana P07124119014
6. Diaz Auralia Azhari P07124119015
7. Elmania May Ryca Al Fera P07124119019
8. Endang Rizky Aprilia P07124119020
9. Febi Yogantini P07124119025
10. Firda Priska P07124119026
11. Husnul Khotimah P07124119031

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES BANJARMASIN
PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA
JURUSAN KEBIDANAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Kebidanan
Kegawatdaruratan Umum Pada Kasus Henti Jantung” Makalah ini diajukan guna
memenuhi tugas kuliah.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan tepat waktunya.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna,oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan sarannya yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan
bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Banjarbaru, 08 Juli 2021

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
A. Latar Belakang ........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................3
C. Tujuan......................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................5
BAB III TINJAUAN KASUS.........................................................................16
BAB IV PENUTUP..........................................................................................20
A. Kesimpulan ...........................................................................................20
B. Saran......................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kegawatdaruratan merupakan suatu kejadian yang tiba-tiba menuntut
tindakan segera yang mungkin karena epidemi, kejadian alam, untuk bencana
teknologi, perselisihan atau kejadian yang disebabkan oleh manusia (WHO,
2012 dalam Putri dkk, 2019). Kondisi gawat darurat dapat terjadi akibat dari
trauma atau non trauma yang mengakibatkan henti nafas, henti jantung,
kerusakan organ dan atau perdarahan.
Kegawatdaruratan bisa terjadi pada siapa saja dan di mana saja, biasanya
berlangsung secara cepat dan tiba-tiba sehingga tak seorangpun dapat
memprediksikan. Oleh sebab itu, pelayanan kedaruratan medik yang tepat dan
segera sangat dibutuhkan agar kondisi kegawatdaruratan dapat diatasi.
Dengan pemahaman yang utuh tentang konsep dasar gawat darurat, maka
angka kematian dan kecacatan dapat ditekan serendah mungkin (Sudiharto,
2013 dalam Putri dkk, 2019).
Salah satu tugas petugas kesehatan adalah menangani masalah
kegawatdaruratan. Walaupun begitu tidak menutup kemungkinan kondisi
kegawatdaruratan tersebut dapat terjadi di luar rumah sakit atau di daerah
yang sulit dijangkau oleh petugas kesehatan sehingga peran serta masyarakat
menjadi hal penting yang dibutuhkan dalam kondisi tersebut yaitu membantu
korban sebelum ditemukan oleh petugas kesehatan (Sudiharto & Sartono,
2011 dalam Ngirarung dkk, 2017).
Maka dari itu, sudah semestinya masyarakat kalangan apapun mampu
berperan serta dalam menangani kondisi kegawatdaruratan. Contoh kondisi
kegawatdaruratan yang dapat mengancam jiwa dan membutuhkan penanganan
segera adalah cardiac arrest atau henti jantung. Kejadian henti jantung di luar
rumah sakit sebagian besar terjadi di
rumah.

3
Di Amerika dan Kanada kejadian henti jantung sekitar 350.000 orang per
tahun. Di Indonesia data pasti atau pendokumentasian kejadian henti jantung
di kehidupan sehari-hari atau di luar rumah sakit belum jelas (Thoyyibah,
2014).
Menurut World Health Organization (WHO), Cardiovaskuler diseases
(CVDs) merupakan penyebab nomor satu kematian secara global, disebutkan
juga lebih banyak orang meninggal setiap tahunnya akibat CVDs
dibandingkan penyakit lain. Diperkirakan 17,9 juta orang meninggal karena
CVDs pada tahun 2016, mewakili 31% dari semua kematian global. Dari
kematian ini, 85% disebabkan oleh serangan jantung dan stroke. CVD sendiri
merupakan penyebab awal terjadinya cardiac arrest (henti jantung).
Cardiac arrest merupakan hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba guna
mempertahankan sirkulasi normal darah yang berfungsi untuk menyuplai
oksigen ke otak dan organ vital lainnya, yang ditandai dengan tidak
ditemukan adanya denyut nadi akibat ketidakmapuan jantung untuk dapat
berkontraksi
dengan baik. Kematian pada cardiac arrest terjadi ketika jantung secara tiba-
tiba berhenti bekerja dengan benar (Muthmainnah, 2019).
Henti jantung membutuhkan intervensi atau tindakan darurat yang cepat
dan tepat karena dapat terjadi pada semua kelompok umur. Intervensi
penyelamatan jiwa sangatlah penting untuk mencegah kematian akibat henti
jantung (Kose dkk, 2019). Tindakan yang dapat digunakan sebagai intervensi
penanganan kegawatdaruratan yang dapat dilakukan oleh masyarakat dari
kalangan manapun adalah Basic Life Support (BLS) atau Bantuan Hidup
Dasar (BHD).
Berdasarkan penelitian BLS akan memberikan hasil yang baik jika
dilakukan dalam waktu 5 menit pertama saat korban mengalami henti jantung
dan henti nafas. Tindakan bantuan hidup dasar secara definisi merupakan
layanan yang dilakukan terhadap korban yang mengancam jiwa sampai

4
korban tersebut mendapat pelayanan kesehatan yang paripurna (Endiyono,
2018).
Basic Life Support (BLS) adalah suatu tindakan pada saat pasien
ditemukan dalam keadaan tiba-tiba tidak bergerak, tidak sadar, atau tidak
bernafas, maka periksa respon pasien. Bila pasien tidak merespon, aktifkan
sistem darurat dan lakukan tindakan bantuan hidup dasar (W.Sudoyo dkk.,
2015).
Pada kasus henti jantung, bantuan hidup dasar yang dilakukan adalah
Cardio Pulmonary Resusitation (CPR) atau yang biasa disebut Resusitasi
Jantung Paru (RJP) yaitu sekumpulan intervensi yang bertujuan untuk
mengembalikan dan mempertahankan fungsi vital organ pada korban henti
jantung dan henti nafas. Intervensi ini terdiri dari pemberian kompresi dada
dan bantuan nafas (Hardisman, 2014 dalam Ngirarung dkk., 2017).
Bantuan Hidup Dasar dalam hal ini yaitu tindakan Resusitasi Jantung
Paru (RJP) merupakan penentu penting dalam kelangsungan hidup korban
henti jantung. Hal ini berarti membutuhkan peningkatan jumlah bystander
BHD di
lingkungan masyarakat (AHA, 2010 dalam Ngirarung dkk, 2017).
Dalam usaha meningkatkan jumlah bystander BHD di lingkungan
masyarakat, motivasi dalam diri seseorang sangatlah diperlukan terlebih untuk
melakukan tindakan dalam memberikan pertolongan pada kondisi yang gawat
dan darurat. Motivasi merupakan suatu usaha yang disadari untuk
mempengaruhi tingkah laku seseorang agar tergerak hatinya untuk bertindak
melakukan sesuatu untuk mencapai hasil atau tujuan tertentu, dimana motivasi
juga merupakan penggerak, keinginan, rangsangan atau dorongan yang
membuat orang bertindak atau berperilaku dengan cara motivasi yang
mengacu pada sebab munculnya sebuah perilaku (Siagian, 2012).
Untuk meningkatkan motivasi dalam memberikan pertolongan
kegawatdaruratan pada kasus cardiac arrest (henti jantung), diperlukan adanya
pelatihan yaitu pelatihan Basic Life Support (BLS) atau BHD seperti yang

5
telah disebutkan sebelumnya.Pelatihan menjadikan masyarakat memiliki
keterampilan untuk melakukan BLS yang akan berbanding lurus dengan
peningkatan motivasi dalam dirinya untuk memberikan pertolongan karena
mampu melakukan BLS.
Maka dari itu penulis tertarik untuk membahas mengenai
Kegawatdaruratan Henti Jantung, pelatihan dan keterampilan dalam
memberikan pertolongan kegawatdaruratan sehingga dapat ditarik kesimpulan
terkait masalah tersebut diatas.

B. Rumusan Masalah
1. Apa konsep kegawatdaruratan
2. Apa konsep henti jantung
3. Apa konsep bantuan hidup dasar
4. Bagaimana penatalaksanaan henti jantung
5. Apa pengenalan dini dan aktivitas pelayanan gawat darurat

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep kegawatdaruratan
2. Untuk mengetahui konsep henti jantung
3. Untuk mengetahui Apa saja konsep bantuan hidup dasar
4. Untuk mengetahui Bagaimana penatalaksanaan henti jantung
5. Untuk mengetahui pengenalan dini dan aktivitas pelayanan gawat darurat

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Kegawatdaruratan
1. Definisi Kegawatdaruratan
Gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan darurat adalah perlu
mendapatkan penanganan atau tindakan segera untuk menghilangkan
ancaman nyawa korban. Jadi, gawat darurat adalah keadaan yang
mengancam nyawa yang harus dilakukan tindakan segera untuk
menghindari kecacatan bahkan kematian korban (Hutabarat & Putra,
2016).
Situasi gawat darurat tidak hanya terjadi akibat lalu lintas jalan raya
yang sangat padat saja, tapi juga dalam lingkup keluarga dan perumahan
pun sering terjadi. Misalnya, seorang yang habis melakukan olahraga tiba-
tiba terserang penyakit jantung, seorang yang makan tiba-tiba tersedak,
seorang yang sedang membersihkan rumput di kebun tiba-tiba digigit ular
berbisa, dan sebagainya. Semua situasi tersebut perlu diatasi segera dalam
hitungan menit bahkan detik, sehingga perlu pengetahuan praktis bagi
semua masyarakat tentang pertolongan pertama pada gawat darurat.
Pertolongan pertama pada gawat darurat adalah serangkaian usaha-
usaha pertama yang dapat dilakukan pada kondisi gawat darurat dalam
rangka menyelamatkan pasien dari kematian (Sutawijaya, 2009).

2. Tujuan pelayanan gawat darurat


Kondisi gawat darurat dapat terjadi dimana saja, baik pre hospital
maupun in hospital ataupun post hospital, oleh karena itu tujuan dari
pertolongan gawat darurat ada tiga yaitu:
a. Pre Hospital

7
Rentang kondisi gawat darurat pada pre hospital dapat dilakukan orang
awam khusus ataupun petugas kesehatan diharapkan dapat melakukan
tindakan penanganan berupa:
1) Menyingkirkan benda-benda berbahaya di tempat kejadian yang
berisiko menyebabkan jatuh korban lagi, misalnya pecahan kaca
yang masih menggantung dan lain-lain.
2) Melakukan triase atau memilih dan menentukan kondisi gawat
darurat serta memberikan pertolongan pertama sebelum petugas
kesehatan yang lebih ahli datang untuk membantu
3) Melakukan fiksasi atau stabilisasi sementara
4) Melakukan evakuasi yaitu korban dipindahkan ke tempat yang
lebih aman atau dikirim ke pelayanan kesehatan yang sesuai
kondisi korban
5) Mempersiapkan masyarakat awam khusus dan petugas kesehatan
melalui pelatihan siaga terhadap bencana
b. In Hospital
Kondisi gawat darurat in hospital dilakukan tindakan menolong
korban oleh petugas kesehatan. Tujuan pertolongan di rumah sakit
adalah:
1) Memberikan pertolongan profesional kepada korban bencana
sesuai dengan kondisinya
2) Memberikan Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan Bantuan Hidup
Lanjut (BHL)
3) Melakukan stabilisasi dan mempertahankan hemodinamika yang
akurat
4) Melakukan rehabilitasi agar produktifitas korban setelah kembali
ke masyarakat setidaknya setara bila dibanding bencana
menimpanya
5) Melakukan pendidikan kesehatan dan melatih korban mengenali
kondisinya dengan segala kelebihan yang dimiliki

8
c. Post HospitalKondisi gawat darurat post hospital hampir semua pihak
menyatakan sudah tidak ada lagi kondisi gawat darurat padahal
kondisi gawat darurat ada yang terjadi setelah diberikan pelayanan di
rumah sakit, contohnya korban perkosa. Korban perkosa mengalami
gangguan trauma psikis yang mendalam seperti, merasa tidak
berharga, harga diri rendah, sehingga mengambil jalan pintas dengan
mengakhiri hidupnya sendiri. Tujuan diberikan pelayanan dalam
rentang post hospital adalah:
1) Mengembalikan rasa percaya diri pada korban
2) Mengembalikan rasa harga diri yang hilang sehingga dapat
tumbuh dan berkembang
3) Meningkatkan kemampuan bersosialisasi pada orang-orang
terdekat dan masyarakat yang lebih luas
4) Mengembalikan pada permanen sistem sebagai tempat
kehidupan nyata korban
5) Meningkatkan persepsi terhadap realitas kehidupannya pada
masa yang akan datang (Hutabarat & Putra, 2016).

3. Tujuan Penanggulangan Gawat Darurat


Tujuan penanggulangan gawat darurat adalah:
a. Mencegah kematian dan cacat pada pasien gawat darurat, hingga dapat
hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat.
b. Merujuk pasien gawat darurat melalui sistem rujukan untuk
memperoleh penanganan yang lebih memadai.
c. Penanggulangan korban bencana
d. Penolong harus mengetahui penyebab kematian agar dapat mencegah
kematian. Berikut ini penyebab kematian, antara lain:
1) Mati dalam waktu singkat (4-6 menit)
a) Kegagalan sistem otak
b) Kegagalan sistem pernapasan

9
c) Kegagalan sistem kardiovaskuler
2) Mati dalam waktu lebih lama (perlahan-perlahan)
a) Kegagalan sistem hati
b) Kegagalan sistem ginjal (perkemihan)
c) Kegagalan sistem pankreas (Krisanty et al., 2016)

B. Konsep Henti Jantung


1. Pengertian henti jantung
Henti jantung (cardiac arrest) adalah penghentian tiba-tiba aktivitas
pompa jantung efektif, mengakibatkan penghentian sirkulasi (Muttaqin,
2009). Henti jantung adalah keadaan terhentinya aliran darah dalam
system sirkulasi tubuh secara tiba-tiba akibat tergangunya efektifitas
kontraksi jantung saat sistolik (W.Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, K, & Setiati,
2015). Henti jantung (cardiac arrest) adalah keadaan dengan sirkulasi yang
tidak efektif dari jantung ke seluruh tubuh (Hutabarat & Putra, 2016).
Henti jantung adalah terhentinya aktivitas pompa jantung yang
mengakibatkan penghentian sirkulasi dan terganggunya efektifitas
kontraksi jantung.
Kegawatdaruratan henti jantung atau cardiac arrest adalah suatu
keadaan dimana terjadinya penghentian mendadak sirkulasi normal darah
ditandai dengan menghilangnya tekanan darah areri. Pertolongan yang
tepat dalam kasus kegawatdaruratan cardiac arrest adalah dengan tindakan
Basic Life Support (BLS). (Hardisman, 2014)
Henti jantung atau cardiac arrest merupakan keadaan yang dapat
terjadi dimana saja dan memerlukan tindakan segera salah satunya dalam
setting intraoperatif. Hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba akan
menyebabkan berhentinya aliran darah ke semua organ sehingga kondisi
perfusi dan metabolisme dari organ yang mendukung fungsi masing-
masing akan juga hilang. (Irianti, 2018)

10
2. Penyebab Henti Jantung
Berdasarkan etiologinya, henti jantung dapat disebabkan oleh penyakit
jantung (82,4%), penyebab internal non jantung (8,6%) contohnya
penyakit paru, penyakit serebrovaskular, penyakit kanker, perdarahan
saluran cerna, obstetrik pediatrik, emboli paru, epilepsi, diabetes militus,
panyakit ginjal, dan penyebab eksternal non jantung (9,0%) seperti akibat
trauma, asfiksia, over dosis obat, upaya bunuh diri, listrik atau petir
(W.Sudoyo et al., 2015). Beberapa penyebab henti jantung meliputi sebab-
sebab pernapasan, pemutusan aliran oksigen, dan penyebab sirkulasi.
a. Sebab-sebab Pernapasan
Pemutusan aliran oksigen ke otak dan seluruh organ dapat
merupakan penyebab maupun konsekuensi dari henti kardiosirkulasi.
Keadaan kurangnya aliran oksigen itu disebut hipoksia, sebagai akibat
ganguan fungsi respirasi atau gangguan pertukaran gas dalam paru.
Menurut lokasinya dibedakan apakah di jalan nafas atau di pertukaran
gasnya, atau dapat pula disebut perifer atau sentral. Hipoksia akibat
ganguan jalan nafas seperti sumbatan pangkal lidah di hipofaring pada
orang yang tidak sadar atau sumbatan jalan nafas karena aspirasi isi
lambung atau cairan lambung. Dapat pula disebabkan oleh depresi
pernapasan (keracunan), kelumpuhan otot-otot pernapasan, keracunan,
atau kelebihan obat.
b. Pemutusan Aliran Oksigen
Pemutusan aliran oksigen bisa pula sebagai akibat henti
sirkulasi oleh kelainan jantung primer. Ini dapat terjadi karena
kegagalan kontraksi otot jantung, gangguan hantaran, dan otomatisasi
seperti gangguan gerakan mekanisme jantung, kematian jantung
mendadak (fibrilasi ventrikel), sering disebabkan oleh infak
miokardium dan penyakit serebrovaskular. Akan tetapi kegagalan daya
pompa miokardium oleh karena kerusakan serabut-serabut otot
miokardium pada infak atau mikarditis jarang menyebabkan henti

11
jantung mendadak. Kegagalan daya pompa mula-mula tampak dengan
adanya gangguan fungsi ventrikel kiri dan bendungan paru (dyspnea,
edema paru) dan gejala-gejala penurunan aliran oksigen (sianosis).
c. Penyebab Sirkulasi
Masalah pada system hemodinamika dapat menyebabkan henti
sirkulasi, bila fungsi transportasi terganggu. Beberapa keadaan di
bawah ini yang menyebabkan sirkulasi menjadi suatu henti jantung
paru meliputi:
1) Syok hipovolemik karena perdarahan, hilangnya plasma dan cairan
vascular, menurunkan transport oksigen ke organ-organ, dan dapat
menyebabkan henti sirkulasi, terutama bila terdapat kelainan
jantung sebelumnya. Penyebab lain kegagalan kardiosirkulasi
adalah sumbatan aliran darah karena emboli seperti pada emboli
paru.
2) Reaksi anafilatik terhadap obat, gigitan serangga dan makanan
yang proses terjadinya sangat cepat dapat menyebabkan henti
sirkulasi.
3) Kasus tenggelam dalam air tawar/garam, hipoksia dipandang
sebagai salah satu sebab utama terjadinya perpindahan cairan dari
intravascular ke ruang ekstravaskular (Muttaqin, 2009).

Penyebab henti jantung menurut Risang Bagus (2009), yaitu:

a. Terhentinya sistem pernafasan dengan tiba-tiba, karena:


1) Penyumbatan pada saluran pernafasan
2) Depresi susunan saraf pusat
3) Dehidrasi berat dengan gawat darurat keseimbangan asam basa
elektrolit dan cairan tubuh
4) Trauma dada
5) Paralise neuromuskular
b. Terhentinya peredaran darah dengan tiba-tiba, karena:

12
1) Shock perdarahan
2) Shock karena listrik
3) Shock karena obat
4) Kekurangan karbon dioksida
c. Terganggunya fungsi susunan syaraf pusat, karena:
1) Hipoksia, hiperkarbia, asidosis
2) Hipoglikemia
3) Gawat darurat elektrolit
d. Depresi susunan syaraf pusat (Sutawijaya, 2009)

3. Tanda-tanda henti jantung


Tanda-tanda seseorang mengalami henti jantung (cardiac arrest), antara
lain:
a. Korban tidak sadar
b. Korban tidak bernafas
c. Denyut nadi dan suara jantung hilang
d. Reflek cahaya tidak ada dan pupil melebar
e. Korban kelihatan seperti orang yang sudah meninggal, pucat dan
kadangkadang kulit berwarna biru (Sutawijaya, 2009).

C. Konsep Bantuan Hidup Dasar


1. Definisi BHD
Bantuan hidup dasar (basic life support) adalah suatu tindakan pada
saat pasien ditemukan dalam keadaan tiba-tiba tidak bergerak, tidak sadar,
atau tidak bernafas, maka periksa respon pasien. Bila pasien tidak
merespon, aktifkan sistem darurat dan lakukan tindakan bantuan hidup
dasar (W.Sudoyo et al., 2015).
Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah tindakan darurat untuk
membebaskan jalan nafas, membantu pernafasan dan mempertahankan

13
sirkulasi darah tanpa menggunakan alat bantu (Christie Lontoh, Maykel
Kiling, 2013).
BHD adalah suatu tindakan gawat darurat yang memerlukan
pertolongan segera untuk membebaskan jalan nafas, membantu
pernafasan, dan mempertahankan sirkulasi darah tanpa menggunakan alat
bantu. Resusitasi jantung paru (RJP) adalah istilah yang dipakai untuk
menyebut terapi segera untuk henti jantung dan atau nafas. RJP terdiri dari
pemberian bantuan sirkulasi dan nafas, dan merupakan terapi umum yang
bisa diterapkan pada hampir semua kasus henti jantung atau nafas.
Namun, tindakan ini tidak mengesampingkan perlunya menegakkan
diagnosis akurat sehinga terapi spesifik, bila tersedia, bisa diberikan sedini
mungkin untuk bisa menyelamatkan nyawa (Davey, 2006).
Basic Life Support (BLS) adalah suatu upaya oksigenasi darurat yang
harus dilakukan dengan cepat untuk penanganan pasien yang mengalami
henti jantung dan henti nafas secara mendadak yang disebabkan oleh
berbagai keadaan seperti pada korban tenggelam , tersengat listrik,
kecelakaan lalu lintas, korban kebakaran, serangan jantung, dan keadaan
kegawatdaruratan lainnya. (Bambang, dkk, 2012).
Tindakan Basic Life Support (BLS) pada kasus kegawatdaruratan henti
jantng harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Keterlambatan dan
kesalahan dalam melakukan tindakan gawat darurat dapat menimbulkan
efek yang sangat fatal dan tidak dapat diperbaiki pada tindakan
selanjutnya, sehingga setiap tenaga kesehatan terutama perawat harus
memiliki kemampuan yang baik dan sesuai SOP tentang Basic Life
Support (BLS). (Mawar & Sugianto, 2013).
Pemberian tindakan Basic life Support (BLS) untuk menangani cardiac
arrest dibutuhkan kemampuan perawat dalam melakukan tindakan Basic
Life Support (BLS) yang dapat diperoleh melalui proses pembelajaran,
atau melalui pelatihan khusus serta dapat diperoleh melalui seminar agar

14
dapat diaplikasikan sesuai SOP tindakan Basic Life Support (BLS).
(Wiliastuti, Anna, & Mirwanti, 2018)

2. Tujuan BHD
Tujuan dilakukannya BHD adalah:
a. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya pernapasan
b. Memberikan bantuan eksternal dan ventilasi pada pasien yang
mengalami henti jantung atau henti nafas melalui resusitasi jantung
paru (Nur, 2017).

3. Indikasi BHD
a. Henti nafas
Henti nafas dapat disebabkan karena tenggelam, stroke, obstruksi jalan
nafas oleh benda asing, inhalasi asap, kelebihan dosis obat, tekanan
aliran listrik, trauma, koma.
b. Henti jantung
Henti jantung dapat mengakibatkan: fibrilasi ventrikel, akhikardi
ventrikel, asistol. (Krisanty et al., 2016)

4. Langkah-langkah BHD
Menurut AHA 2015 berikut ini adalah langkah-langkah dalam
memberikan Bantuan Hidup Dasar (BHD), antara lain:
a. Menganalisis keamanan (Danger)
Memastikan keadaan aman baik bagi penolong, korban, maupun
lingkungan disekitarnya atau dikenal dengan istilah 3A (amankan diri,
amankan korban, amankan lingkungan). Keamanan penolong harus
diutamakan sebelum melakukan pertolongan terhadap korban agar
tidak menjadi korban selanjutnya.
b. Memeriksa respon korban (Respon)

15
Pemeriksaan respon korban dapat dilakukan dengan memberikan
rangsangan verbal dan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan jika keadaan
lingkungan benar-benar sudah aman agar tidak membahayakan korban
dan penolong. Rangsangan verbal dilakukan dengan cara memanggil
korban sambil menepuk bahunnya. Apabila tidak ada respon,
rangsangan nyeri dapat diberikan dengan penekanan dengan keras di
pangkal kuku atau penekanan dengan menggunakan sendi jari tangan
yang dikepalkan pada tulang sternum atau tulang dada.
c. Meminta Bantuan (Shout for help)
Jika korban tidak memberikan respon terhadap panggilan dan
rangsangan nyeri, segeralah meminta bantuan dengan cara berteriak
meminta tolong untuk segera mengaktifkan sistem gawat darurat.
d. Circulation
1) Cek nadi
AHA (2015) membedakan pengecekan nadi antara masyarakat
awam dengan tenaga kesehatan dan masyarakat awam terlatih.
Masyarakat awam tidak harus melakukan pemeriksaaan terhadap
nadi korban. Henti jantung ditegakkan apabila ditemukan adanya
korban tidak sadarkan diri dan pernafasannya tidak normal tanpa
memeriksa nadinya. Pada tenaga kesehatan dan orang awam
terlatih pemeriksaan nadi tidak lebih dari 10 detik pada nadi carotis
dan apabila ragu dengan hasil pemeriksaannya maka kompresi
dada harus segera dimulai.
2) Kompresi dada (RJP)
AHA (2015) menjelaskan bahwa kompresi dada (RJP) dapat
dilakukan apabila syaratnya terpenuhi yaitu : tidak adanya nadi
pada korban. Efektifitas kompresi dada maksimal dilakukan jika
posisi pasien dan penolong harus tepat. Pasien ditempatkan pada
permukaan yang datar dan keras, serta dengan posisi supinasi
(terlentang). Kedua lutut penolong berada disamping dada korban.

16
Letakkan 2 jari tangan di atas prosessus xiphoideus (PX)/ di antara
kedua putting susu. Letakkan kedua telapak tangan dengan cara
saling menumpuk, satu pangkal telapak tangan diletakkan ditengah
tulang sternum dan telapak tangan yang satunya diletakkan di atas
telapak tangan yang pertama dengan jari-jari saling mengunci.
Pemberian kompresi pada masyarakat awam dengan tenaga
kesehatan dan masyarakat awam terlatih berbeda. Masyarakat
awam hanya melakukan kompresi dada dengan sistem “push hard
and push fast” atau tekan yang kuat dan cepat (American Heart
Association, 2015).
Tenaga kesehatan harus melakukan resusitasi jantung paru
dengan kombinasi dari kompresi dada dan bantuan terhadap
pernapasan korban. Tenaga kesehatan harus menyediakan “high
quality CPR” atau resusitasi yang berkualitas tinggi dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Kedalaman kompresi dada adalah 2 inci atau 5 cm
b. Recoil atau pengembalian dinding dada sempurna
c. Meminimalkan enterupsi dalam pemberian kompresi dada
d. Rasio pemberian kompresi dada dengan bantuan napas adalah
30:2
e. Kecepatan kompresi dada minimal 100-120 x/menit
e. Airway control
Tindakan airway control dilakukan untuk membebaskan jalan
napas dari sumbatan. Sumbatan jalan napas dapat disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu lidah atau benda asing yang menyumbat jalan
napas. Tindakan yang dapat dilakukan adalah head tilt chin lift (untuk
pasien non trauma servikal) atau jaw thrust (dilakukan apabila korban
dicurigai mengalami cedera pada servikal). Benda asing dapat diambil
dengan tindakan cross finger untuk membuka mulut dan finger sweep
untuk membersihkannya.

17
f. Breathing support
Bantuan napas harus diberikan dalam waktu 1 detik. Tindakan
ini tidak harus dilakukan oleh masyarakat awam yang belum
mendapatkan pelatihan atau tidak percaya diri untuk melakukannya.
Pemberian napas bantuan harus cukup untuk meningkatkan
pengembangan dada. Pemberian dapat dilakukan secara mouth to
mouth dan mouth to barrier device breathing Bantuan napas untuk
korban henti napas tanpa henti jantung adalah 10-12 x/menit (1
bantuan napas setiap 5-6 detik) pada korban dewasa. Korban anakanak
atau bayi dilakukan sebanyak 12-20 x/menit (1 bantuan napas setian 3-
5 detik).
g. Recovery position
Recovery position dilakukan pada pasien tidak sadarkan diri
setelah pernapasannya normal dan sirkulasinya efektif. Posisi ini
dibuat untuk menjaga patensi jalan napas dan menurunkan risiko
obstruksi jalan napas dan aspirasi. Posisi korban harus stabil tanpa
penekanan pada dada serta kepala yang menggantung. Posisi ini
diharapkan dapat mencegah terjadinya sumbatan dan jika ada cairan
maka cairan tersebut akan mengalir melalui mulut dan tidak masuk ke
dalam saluran nafas. Tindakan ini dilakukan setelah RJP. Indikasi
penghentian RJP adalah pasien meninggal, penolong kelelahan, atau
bantuan datang. Waktu dan ketepatan memberikan BHD/BHL sangat
menentukan perbaikan neurologist dan angka keselamatan, waktu
untuk RJP: 4 menit sejak kejadian henti jantung dan waktu untuk
BHL: 8 menit setelah kejadian henti jantung. (Krisanty et al., 2016).

5. Penatalaksanaan

18
Penatalaksanaan henti jantung mendadak terbagi menjadi beberapa
tahap berbeda. Tahap pertama adalah identifikasi henti jantung mendadak
dan pemberian bantuan hidup dasar (BHD). Tahap berikutnya adalah
bantuan hidup lanjutan, termasuk pemberian obat-obatan via intravena
ataupun intraoseus. Saat return of spontaneous circulation (ROSC) telah
didapatkan, pasien selanjutnya harus menjalani perawatan pasca resusitasi
yang berkelanjutan untuk pencegahan henti jantung mendadak berulang di
masa depan.Resusitasi jantung paru (RJP), defibrilasi, dan
aktivasi emergency response system (EMS), harus segera dilakukan
setelah henti jantung mendadak diidentifikasi.

D. Pengenalan Dini dan Aktivasi Pelayanan Gawat Darurat


Pengenalan dini dilakukan oleh penolong atau bystander yang menyadari
penderita telah mengalami henti jantung mendadak. Pada saat bersamaan,
penolong melihat apakah pasien tidak bernapas atau bernapas secara tidak
normal (gasping).Selanjutnya dilakukan pemeriksaan denyut nadi pada orang
dewasa dengan meraba arteri karotis < 10 detik. Jika penolong secara definitif
tidak dapat merasakan pulsasi dalam periode tersebut, kompresi harus segera
dilakukan. Cek nadi dilakukan secara simultan bersamaan dengan penilaian
napas pasien. Jika pernapasan tidak normal atau tidak bernapas, namun denyut
nadi masih teraba, berikan bantuan napas setiap 5-6 detik, dengan volume
tidal yang direkomendasikan 500-700 ml atau dada terlihat mengembang.
Hindari pemberian bantuan napas yang berlebihan. Nadi pasien diperiksa
setiap 2 menit.
Penolong harus sesegera mungkin memanggil nomor akses EMS atau
Gawat Darurat setempat apabila pasien tidak merespons dan tidak bernapas
atau bernapas tidak adekuat (harus dianggap bahwa pasien mengalami henti
jantung mendadak).
Hambatan pada fase ini adalah penolong tidak mengenali tanda henti
jantung mendadak dan tidak memiliki ilmu terkait melakukan RJP. Hambatan

19
juga bisa terjadi jika henti jantung mendadak terjadi di rumah pribadi
dibandingkan lokasi umum.
1. Resusitasi Jantung Paru Segera
Penolong segera melakukan resusitasi jantung paru (RJP) pada
penderita henti jantung mendadak sampai bantuan datang. Metode RJP
penting untuk membantu sirkulasi dengan mengkombinasikan kompresi
dada dan pemberian napas buatan untuk memberikan oksigen yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup fungsi sel tubuh.
Beberapa poin dalam pelaksanaan resusitasi jantung paru (RJP)
berkualitas tinggi berdasarkan rekomendasi AHA 2020:
a. Kompresi dada dimulai dalam waktu < 10 detik setelah diagnosis henti
jantung mendadak ditegakkan
b. Melakukan kompresi dada dengan cepat (100-120 x/menit) dan
dengan kedalaman minimum 2 inci (5 cm) – 2,4 inci (6cm)
c. Meminimalkan interupsi selama kompresi berlangsung
d. Mencegah ventilasi yang berlebihan
e. Menggantikan pelaksana kompresi dada setelah 2 menit atau jika
kelelahan
f. Melakukan kompresi dada dan memberikan bantuan napas dengan
perbandingan 30:2 apabila tidak terpasang bantuan jalan napas tingkat
lanjut
Pada henti jantung mendadak yang non shockable seperti PEA dan
asistol, penanganannya meliputi: RJP yang efektif, pemberian obat-obatan
berupa  epinefrin dan  vasopressin, serta identifikasi/tatalaksana penyebab.
Setelah 5 siklus RJP, cek kembali irama jantung. Tatalaksana selanjutnya
sesuai dengan temuan.

2. Bantuan Pernapasan
Setelah melakukan kompresi dada, buka jalan napas korban dengan
baik pada korban trauma maupun non trauma. Bila terdapat kecurigaan

20
atau terbukti cedera spinal, gunakan manuver jaw thrust tanpa
mengekstensi kepala saat membuka jalan napas. Penolong memberikan
bantuan pernapasan sekitar 1 detik (inspiratory time), dengan volume
yang cukup untuk membuat dada mengembang. Hindari pemberian
bantuan napas yang cepat dan berlebihan karena dapat menimbulkan
distensi lambung beserta komplikasinya, seperti regurgitasi dan aspirasi.
Selain itu, ventilasi berlebihan juga dapat menyebabkan naiknya tekanan
intratorakal, mengurangi venous return, dan menurunkan cardiac output.

3. Defibrilasi Segera
Defibrilasi paling utama dilakukan pada menit-menit pertama setelah
onset henti jantung. Jika terlambat, jantung tidak akan berespons terhadap
terapi defibrilasi. Defibrilasi dilakukan pada kondisi henti jantung
mendadak yang shockable yaitu pada VF/VT tanpa nadi. Setelah 5 siklus
RJP atau 2 menit, segera lakukan penilaian. Bila masih ditemukan VF/VT 
tanpa nadi maka defibrilasi dapat segera dilakukan, dilanjutkan CPR 5
siklus atau 2 menit, kemudian lakukan penilaian ulang. Penolong harus
memeriksa denyut nadi karotis bilamana ritme yang teratur telah kembali.
Bilamana tidak ada denyut nadi atau tidak ada indikasi shock dengan
AED, RJP harus dilanjutkan dengan menilai ritme setiap lima siklus.
Keberadaan AED di tempat-tempat umum yang strategis dan pelatihan
pada masyarakat sangat berguna untuk meningkatkan kelangsungan hidup
penderita Out of Hospital Cardiac Arrest. Sejauh ini masih jarang
ditemukan tersedianya defibrilator komunitas di Indonesia, sehingga
angka pelaksanaan resusitasi jantung paru di Indonesia masih lebih rendah
dibandingkan negara lain.
Langkah–langkah penggunaan AED:
a. Pastikan korban dan penolong dalam situasi aman dan ikuti
langkah-langkah BHD dewasa. Lakukan kompresi dada dan
pemberian bantuan napas sesuai panduan BHD.

21
b. Segera setelah AED datang, nyalakan alat dan tempelkan
elektroda pads pada dada korban. Elektroda pertama di garis
midaxillaris sedikit di bawah ketiak, dan elektroda pads kedua
sedikit di bawah clavicula kanan
c. Ikuti perintah suara dari AED. Pastikan tidak ada orang yang
menyentuh korban saat AED melakukan analisis irama jantung
d. Jika shock diindikasikan, pastikan tidak ada seorangpun yang
menyentuh korban. Lalu tekan tombol shock
e. Segera lakukan kembali RJP
f. Jika shock tidak diindikasikan, lakukan segera RJP sesuai
perintah suara AED hingga penolong profesional datang dan
mengambil alih RJP, korban mulai sadar, bergerak, membuka
mata, bernapas normal, atau penolong kelelahan

E. Perawatan Jantung Lanjutan yang Efektif


Bantuan Hidup Lanjut  (Advance Cardiac Life Support) bertujuan
untuk menstabilkan kondisi pasien yang telah diresusitasi untuk melewati
tahap kritis. Tahap ini terdiri dari tatalaksana jalan napas buatan
(pemasangan endotracheal tube), pemberian obat-obatan intravena seperti
epinefrin dan cairan, serta jika perlu terapi defibrilasi sesuai dengan gambaran
EKG-nya.
1. Ventricular Tachycardia (VT) dan Ventricular Fibrillation (VF) bila
berlangsung lama akan menurunkan aktivitas jantung dan akan sulit untuk
dikonversi ke ritme yang normal. Beberapa jenis terapi energi defibrilasi
yang dapat dilakukan sesuai indikasi disritmia yang terjadi pada pasien:
2. Biphasic waveform defibrillators. Energi optimal yang dipakai untuk
mengakhiri VF bergantung pada spesifikasi alat, dan berkisar antara 120 –
200 Joule. Pada pasien dewasa menggunakan energi 200 J. Bilamana VF
berhasil diatasi tetapi timbul VF ulang, shock berikut gunakan energi yang
sama.

22
3. Monophasic waveform defibrillators, masih digunakan di banyak institusi,
memberikan energi secara unidirectional. Energi awal yang digunakan
pada pasien dewasa sebesar 360 J.
4. Cardioversion untuk atrial flutter, disritmia supraventrikuler,
seperti paroxysmal supraventricular tachycardia (PSVT), dan VT dengan
hemodinamik yang stabil umumnya memerlukan energi 50 – 100
J monophasic, lebih kecil dibandingkan dengan atrial fibrillation (AF) 100
– 120J. Energi optimal untuk kardioversi
dengan biphasic waveform belum diketahui. Energi 100 – 120J efektif dan
dapat diberikan pada takiaritmia yang lain. Kardioversi tidak akan efektif
untuk terapi takikardi junctional atau takikardia ektopik atau multifokal.

F. Perawatan Pasca Henti Jantung yang Terintegrasi


Perawatan pasca henti jantung dilakukan secara sistematis dan
berbasis multidisiplin ilmu untuk pasien setelah didapatkan kondisi return of
spontaneous circulation (ROSC). Perawatan pasca henti jantung memiliki
beberapa fase yang harus dijalani, yaitu fase stabilisasi awal dan manajemen
darurat tambahan dan berkelanjutan.
1. Fase Stabilisasi Awal
Resusitasi tetap berlangsung pasca ROSC dan tahapan tatalaksana
pada fase ini dapat dilakukan bersamaan atau berurutan, sebagai berikut:
a. Manajemen jalan napas: kapnografi gelombang atau kapnometri untuk
mengkonfirmasi dan memantau penempatan pipa endotrakeal
b. Manajemen parameter pernapasan: titrasi FIO2 untuk SpO2 92% -
98%; mulai dengan frekuensi napas 10 kali/menit, titrasi ke
PaCO2 sebesar 35-45 mmHg
c. Manajemen parameter hemodinamik: berikan kristaloid dan/atau
vasopresor atau inotropik untuk mencapai tekanan darah sistolik >90
mmHg atau mean arterial pressure >65 mmHg
2. Manajemen Darurat Tambahan dan Berkelanjutan

23
Evaluasi pada fase ini sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan
meliputi:
a. Intervensi jantung darurat: evaluasi awal EKG 12 sadapan;
pertimbangkan hemodinamika untuk keputusan tentang intervensi
jantung
b. Targeted Temperature Management (TTM): jika pasien dalam
kondisi Return Of Spontaneous Circulation dan tetap tidak sadar,
TTM dapat dimulai secepatnya pada suhu 32-360 C dan dipertahankan
selama 24 jam dengan menggunakan perangkat pendinginan
dengan feedback loop
c. Manajemen perawatan kritis lainnya, seperti: pantau suhu inti terus-
menerus (esofageal, rektal, kemih). Pertahankan normoxia,
normokapnia, euglikemia. Lakukan pemantauan elektroensefalogram
(EEG) terus menerus atau berkala. Berikan ventilasi yang tetap
melindungi paru.

G. Medikamentosa
Obat-obat untuk henti jantung mendadak akan diberikan pada keadaan
hemodinamik tidak stabil, iskemia atau infark miokard, dan aritmia.

H. Perawatan Jangka Panjang pada Penyintas Henti Jantung Mendadak


Pasien yang berhasil bertahan pasca mengalami henti jantung
mendadak tanpa kerusakan ireversibel pada otak harus menjalani pemeriksaan
menyeluruh untuk memastikan etiologi dan mendapatkan tatalaksana definitif
untuk pencegahan berulangnya henti jantung mendadak di kemudian hari.
Pasien dengan henti jantung mendadak yang disebabkan oleh iskemia
miokardial harus ditangani dengan intervensi bedah, farmakologis, dan
radiologis sehingga angka harapan hidup dapat meningkat. Penyintas henti
jantung mendadak yang dipicu kardiomiopati hipertrofik, penyakit jantung
bawaan, displasia ventrikular kanan, catecholaminergic polymorphic

24
VT, sindrom Brugada, dan long QT syndrome merupakan kandidat untuk
dipasang Implantable cardioverter-defibrillator (ICD).

I. Persiapan Rujukan
Jika henti jantung mendadak disebabkan oleh etiologi traumatik
ataupun yang membutuhkan pembedahan, segera rujuk ke dokter spesialis
bedah yang berkaitan setelah hemodinamik stabil. Beberapa tindakan bedah
yang dapat dilakukan pada pasien dengan henti jantung mendadak antara lain
sebagai berikut:
a. Pemasangan alat pacu jantung sementara pada kasus bradikardi dan
bradikardi yang diinduksi VT/VF
b. Ablasi radiofrekuensi pada kasus badai VT dan syok berulang meskipun
telah dilakukan tatalaksana medis
c. Terapi defibrilator kardioverter: Implantable Cardioverter Defibrillator
(ICD) termasuk terapi yang sangat efektif tapi dikontraindikasikan pada
kasus badai VT. Defibrilasi eksternal lebih disarankan untuk VT-VF
d. Coronary artery bypass grafting (CABG) untuk henti jantung mendadak
yang dipicu oleh penyakit arteri koroner multi arteri sehingga tidak
memungkinkan untuk intervensi perkutan
e. Eksisi aneurisma ventrikel kiri: Biasa dilakukan jika tidak dapat ditangani
dengan ablasi kateter
f. Penggantian katup aorta pada kasus henti jantung mendadak yang dipicu
stenosis aorta berat
g. Ventricular assist devices dan orthotopic heart transplantation: Tindakan
ini adalah opsi terakhir untuk henti jantung mendadak yang tidak
merespon dengan terapi apapun

25
BAB III
TINJAUAN KASUS

PENGKAJIAN
Hari/Tanggal : Minggu/ 8 Agustus 2021
Pukul : 07.00 WITA

IDENTITAS

Suami Istri

Nama Tn. M Ny. T

Umur 60 tahun 58 tahun

Agama Islam Islam

Pendidikan S1 SMA

Pekerjaan Pensiunan PNS IRT

Suku/Bangsa Jawa/Indonesia Jawa/Indonesia

Alamat Jawa Barat

PROLOG
Tn.M berusia 60 tahun sedang merokok di teras depan rumah. Tiba-tiba dadanya
sesak dan tidak sadarkan diri. Keluarga pasien mengatakan bahwa klien sudah
mengalami penyakit jantung/ 5 tahun dan pernah dirawat dirumah sakit 2 tahun yang
lalu. Keluarganya tidak mengalami riwayat penyakit keturunan seperti Hipertensi,
Asma, Jantung, Diabetes melitus, dan lainnya.
DATA SUBJEKTIF
Tn. M umur 60 tahun dadanya sesak dan tidak sadarkan diri.
DATA OBJEKTIF
Jalan napas tidak ada sumbatan, pernapasan tidak ada sesak, pola nafas teratur
frekuensi 22x/menit, irama teratur, bernapas dangkal, reflek batuk tidak ada, batuk

26
nonproduktif, tidak ada sputum, SpO2 99%, N 85x/menit, Irama teratur, Denyut kuat,
Ekstrimitas dingin, warna kulit pucat, capillary refill < 3 detik, tidak ada edema,
tingkat kesadaran Sopor, pupil Anisokor, reaksi terhadap cahaya kanan/kiri (-/-).
ANALISA
Tn.M usia 60 tahun dengan Cardiac arrest.

PENATALAKSANAAN
1. Periksa respon:
a. Petugas segera memeriksa ada tidaknya cedera dan tentukan ada respon atau
tidak.
b. Tepuk atau guncangkan secara halus, panggil atau tanya.
c. Bila diduga ada trauma kepala atau leher, pasien tak boleh digerakkan
kecuali bila benar-benar diperlukan.
2. Aktifkan sistem pelayanan emergensi yang ada:
a. Bila terjadi di luar RS :
1) Panggil bantuan,
2) Sebutkan jenis bantuan yang diperlukan,
3) Lokasi korban,
4) Nomor telpon yang digunakan,
5) Apa yang terjadi,
6) Jumlah orang yang memerlukan pertolongan,
7) Kondisi korban, dan informasi lainnya.
3. AIRWAY (Jalan nafas):
Bila korban tak memberikan respon:
a. Petugas harus menentukan apakah korban tersebut bernafas secara adekuat.
b. Letakkan korban pada posisi terlentang dan jalan nafas terbuka.
c. Posisi korban :
1) Tempatkan korban pada posisi terlentang, pada tempat yang keras dan
datar.

27
2) Bila korban telungkup, balikkan korban dalam satu kesatuan sehingga
kepala, bahu dan badan bergerak serentak hingga tak ada yang terputar.
Kepala dan leher harus berada pada satu bidang, lengan berada di
samping badan.
d. Posisi petugas/penolong:
Penolong harus berada pada sisi korban sehingga memungkinkan melakukan
bantuan nafas dan kompresi dada.
e. Buka jalan nafas:
1) Bila korban tak berrespon/tak sadar lakukan manuver ”head tilt-chin
lift” untuk membuka jalan nafas, dengan syarat pasien tak ada bukti
trauma kepala atau leher.
2) Bila dicurigai adanya trauma leher lakukan manuver ”jaw- thrust”.
3) Bila ada benda asing yang terlihat atau muntahan, segera keluarkan dari
dalam mulut dengan jari tangan yang memakai sarung tangan. Benda
yang keras dapat dikeluarkan dengan jari telunjuk, sementara tangan
yang lain tetap mempertahankan lidah dan rahang.
 Manuver ”head tilt-chin lift”:
o Letakkan satu tangan pada dahi korban, tekan dengan telapak
tangan hingga kepala menjungkit ke belakang. Letakkan jari-
jari tangan yang sebelah lagi di bawah tulang rahang bawah
dekat dagu. Angkat rahang dan dagu ke depan.
o Jangan menekan bagian lunak di bawah dagu dan jangan
menggunakan ibu jari untuk mengangkat dagu. Buka mulut
sehingga memungkinkan pernafasan spontan dan
memungkinkan bantuan nafas dari mulut ke mulut. Bila gigi
korban goyah atau ada gigi palsu, maka gigi tsb harus
lepaskan.
 Manuver ”jaw-thrust”:
o Letakkan tangan penolong pada masing-masing sisi kepala
korban, letakkan siku penolong pada bidang dimana korban

28
berbaring. Raih sudut rahang bawah korban dan angkat dengan
ke dua tangan. Bila bibir korban terkatup, regangkan atau buka
dengan ibu jari ke dua tangan.
4. BREATHING (Pernafasan):
a. Periksa ada tidaknya nafas:
Tempatkan telinga penolong dekat mulut dan hidung korban sambil tetap
membuka jalan nafas. Sambil memperhatikan dada korban lakukan:
a) Look: lihat ada tidaknya pergerakan dada;
b) Listen: dengar ada tidaknya hembusan nafas;
c) Feel: rasakan adanya hembusan
Prosedur pemeriksaan ini tak boleh lebih dari 10 detik.
b. Tentukan ada/tidaknya dan adekuat/tidaknya pernafasan.
1) Bila korban tak berespon/tak sadar dengan nafas normal, tak
ada cedera tulang belakang, posisikan penderita pada posisi mantap,
jaga jalan nafas terbuka.
2) Bila korban tak berespon dan tak bernafas, lakukan bantuan
nafas 2 kali. Bila tak dapat dilakukan pemberian bantuan nafas awal,
atur ulang posisi kepala dan ulang lagi usaha ventilasi.
3) Bila tetap tak berhasil memberikan ventilasi hingga dada
mengembang, tenaga terlatih harus melakukan manuver untuk
mengatasi sumbatan jalan karena benda asing (Heimlich manuver atau
abdominal thrust/back thrust).
4) Pastikan dada korban turun naik pada tiap bantuan nafas yang
diberikan.
5) Periksa ada tidaknya tanda-tanda sirkulasi.
5. CIRCULATION (Sirkulasi)
a. Periksa ada tidaknya tanda-tanda sirkulasi;
 Setelah pemberian bantuan nafas awal, periksa adanya
pernafasan normal, k atau gerakan dari korban sebagai respon terhadap

29
bantuan nafas yang diberikan. Sekaligus periksa ada tidaknya nadi
karotis jangan lebih dari 10 detik.
 Periksa denyut nadi arteri karotis adalah dengan
mempertahankan posisi kepala (head tilt) dengan satu tangan. Raba
trakhea dengan 2 atau 3 jari tangan yang lain, geser jari-jari tersebut ke
lateral sisi penolong hingga celah antara trakhea dan otot.
 Gunakan tekanan yang lembut saja sehingga tidak
menekan arterinya. Bila denyut arteri karotis tak teraba lakukan
kompresi dada.
b. Kompresi dada:
 Jari penolong mencari arkus kosta bagian bawah.
 Ditelusuri ke atas hingga teraba bagian terbawah sternum.
 Taruh salah satu pangkal tangan pada bagian separuh bawah
sternum, dan taruh tangan yang satu lagi di atas punggungn tangan
yang pertama, sehingga tangan dalam keadaan paralel. Pastikan sumbu
pangkal tangan tepat pada sumbu sternum.
 Jari-jari tangan dapat dibiarkan terbuka atau saling mengunci
satu sama lain tetapi jangan menekan dada.
 Usahakan mendapatkan posisi yang tepat di sternum dengan
cara meletakkan pangkal tangan penolong diantara ke dua papilla
mammae.
 Lakukan kompresi yang efektif dengan memperhatikan hal- hal
sebagai berikut:
o Posisi siku tidak menekuk, posisi lengan tegak lurus dengan dada
korban.
o Tekan di tengah sternum.
o Lepaskan tekanan hingga dada kembali ke posisi normal agar
darah masuk ke dada dan jantung, posisi tangan tetap menempel di
sternum.

30
o Lakukan 30 kali kompresi dada, pastikan dada kembali ke posisi
semula diantara dua kompresi. Buka lagi jalan nafas dan berikan
lagi 2 kali bantuan nafas, masing- masing 1 detik. Bila sudah
dilakukan intubasi kompresi dada dan ventilasi dapat dilakukan
kontinyu dan tidak perlu sinkron.
6. REASSESSMENT:
a. Evaluasi ulang korban, bila tetap tak ada tanda-tanda sirkulasi ulangi
RJP dengan dimulai dari kompresi dada. Bila tanda-tada sirkulasi sudah
tampak, periksa pernafasan.
b. Bila ada nafas, tempatkan dalam posisi mantap dan awasi nafas dan
sirkulasi.
c. Bila tak ada nafas tapi ada tanda-tnda sirkulasi, berikan bantuan nafas
10-12 kali/menit dan awasi adanya tanda-tanda sirkulasi tiap menit.
d. Bila tak ada tanda sirkulasi teruskan kompresi dada dan ventilasi
dengan rasio 30 kompresi 2 ventilasi.
e. Berhenti dan periksa tanda-tanda sirkulasi dan adanya pernafasan
spontan tiap menit.
f. Jangan berhenti RJP kecuali karena keadaan khusus.
g. Bila didapatkan adanya pernafasan yang adekuat dan adanya tanda-
tanda sirkulasi, pertahankan jalan nafas tetap terbuka dan posisikan dalam
posisi mantap; dengan cara:
 Satu lutut difleksikan.
 Satu lengan yang sepihak diletakkan dibawah pantat, lengan
yang lain difleksikan didepan dada.
 Pelan pelan diguligkan kearah yang sepihak dengan lutut yang
fleksi.
 Kepala di ekstensikan, lengan yang fleksi didepan dada
diletakkan mengganjal rahang bewah (agar tidak terguling ke depan )

31
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Henti jantung merupakan suatu keadaan terhentinya fungsi pompa
otot jantung secara tiba-tiba yang berakibat pada terhentinya proses
penghantaran oksigen dan pengeluaran karbondioksida. Keadaan ini
bisa terjadi akibat hipoksia lama karena terjadinya henti nafas yang
merupakan akibat terbanyak henti jantung pada bayi dan anak.
Kerusakan otak dapat terjadi luas jika henti jantung berlangsung
lama, karena sirkulasi oksigen yang tidak adekuat akan menyebabkan
kematian jaringan otak. Hal tersebutlah yang menjadi alasan
penatalaksanaan berupa CPR atau RJP harus dilakukan secepat
mungkin untuk meminimalisasi kerusakan otak dan menunjang
kelangsungan hidup korban.
Hal yang paling penting dalam melakukan resusitasi pada korban,
apapun teknik yang digunakan adalah memastikan penolong dan
korban berada di tempat yang aman, menilai kesadaran korban dan
segera meminta bantuan.

B. Saran
Informasi dan pelatihan tatalaksana henti nafas dan henti henti
jantung sebaiknya dapat diberikan kepada masyarakat umum,
mengingat bahwa resusitasi dapat memberikan pertolongan awal.
Dampak yang ditimbulkan semakin berat jika waktu datangnya
pertolongan semakin lama.

32
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/2402/3/BAB%20II.pdf
American Heart Association. Pediatric Basic Life Support : 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
emergencycardiovascular care. Circulation 2010
American Heart Association. Pediatric Basic Life Support : 2015 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
emergency cardiovascular care. Circulation 2015

33

Anda mungkin juga menyukai