Anda di halaman 1dari 26

MATERI DISKUSI

ILMU PENYAKIT MULUT

Oleh:
Desak Made hari Wijayanti 1802642031
Made Arya Dananjaya 1802642036
Putu Chandra Parama Jyoti 1802642037

Program Studi Sarjana Kedokteran Gigi


dan Pendidikan Dokter Gigi
Universitas Udayana
2019
I. Perhitungan Dosis Obat
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dosis
1) Umur

Umur pasien merupakan suatu pertimbangan yang penting untuk menentukan dosis obat,

khususnya anak-anak dan orang lanjut usia (>65 tahun). Anak-anak bukan dewasa kecil dimana

adanya perbedaan dalam kemampuan farmakokinetik dan farmakodinamik obat, sehingga harus

diperhitungkan dosis obat yang diberikan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan: total body

water, protein plasma, fungsi ginjal dan hati. Sebagai contoh chloramfenikol dimetabolisme

oleh enzim glukoronidase yang ada di hati dimana pada bayi enzim tersebut belum lengkap

sehingga timbul akumulasi khloramfenikol menimbulkan grey sindrom.

Pada orang usia lanjut kebanyakan fungsi fisiologisnya mulai berkurang seperti proses

metaboliknya lebih lambat, laju filtrasi glomerulus berkurang, kepekaan/respon reseptor (factor

farmakodinamik) terhadap obat berubah, kesalahan minum obat lebih kurang 60 % karena

penglihatan, pendengaran telah berkurang dan pelupa, efek samping obat 2-3 kali lebih banyak

dari dewasa, maka dosis obat perlu diturunkan.

2) Berat badan

Pasien obesitas mempunyai akumulasi jaringan lemak yang lebih besar, dimana jaringan

lemak mempunyai proporsi air yang lebih kecil dibandingkan dengan jaringan otot. Jadi pasien

obese mempunyai proporsi cairan tubuh terhadap berat badan yang lebih kecil daripada pasien

dengan berat badan normal, sehingga mempengaruhi volume distribusi obat.

3) Jenis kelamin

Wanita dianggap lebih sensitive terhadap pengaruh obat dibandingkan pria. Pemberian obat

pada wanita hamil juga harus mempertimbangkan terdistribusinya obat ke janin seperti pada
obat-obat anestesi, antibiotik, barbiturate, narkotik, dan sebagainya yang dapat menyebabkan

kematian janin atau kerusakan congenital.

4) Status patologi

Kondisi patologi seperti pasien dengan fungsi ginjal & hati yang rusak/ terganggu akan

menyebabkan proses metabolisme obat yang tidak sempurna. Sebagai contoh pemberian

tetrasiklin pada keadaan ginjal/hati rusak akan menyebabkan terakumulasinya tetrasiklin dan

terjadi kerusakan hati. Maka harus dipertimbangkan dosis obat yang lebih rendah dan frekuensi

obat diperpanjang (Hidayatullah, 2012).

5) Toleransi

Efek toleransi obat yaitu obat yang dosisnya harus diperbesar untuk menjaga respon terapi

tertentu. Toleransi ini biasanya terjadi pada pemakaian obat-obatan seperti antihistamin,

barbiturate & anagetik narkotik.

6) Bentuk sediaan dan cara pemakaian

Dosis obat dapat berbeda-beda tergantung pada bentuk sediaan yang digunakan dan cara

pemakaian. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kecepatan dan luasnya absorpsi obat. Seperti

bentuk sediaan tablet memerlukan proses desintegrasi dan disolusi lebih dahulu sebelum

diabsorpsi sehingga dosisnya lebih besar dibandingkan bentuk sediaan larutan. Cara pemberian

obat juga akan mempengaruhi proses farmakokinetik.

7) Waktu pemakaian

Waktu ketika obat itu dipakai kadang-kadang mempengaruhi dosisnya. Hal ini terutama

pada pemberian obat melalui oral dalam hubungannya dengan kemampuan absorpsi obat oleh

saluran cerna dengan adanya makanan. Ada beberapa obat yang efektif bila dipakai sebelum
makan atau sesudah makan. Untuk obat-obat yang mengiritasi lambung & saluran cerna lebih

baik dipakai segera sesudah makan.

8) Pemakaian bersama obat lain (interaksi obat)

Obat-obat yang diberikan secara bersamaan akan terjadi interaksi obat secara fisika dan

kimiawi yang dapat berupa efek yang diinginkan atau efek yang menganggu. Missal interaksi

tetrasiklin dengan logam-logam kalsium, magnesium & aluminium (logam ini terdapat pada

antasida atau produk susu keju), pemakaian secara bersamaan harus dihindari atau dengan cara

mengatur jadwal pemberian, karena tetrasiklin membentuk kompleks dengan logam tersebut

yang sukar diabsorpsi oleh saluran cerna (Jas, Admar, 2009)

Metode Ukur Dosis Obat


1. Perhitungan Dosis Berdasarkan Umur
● Tidak akurat karena tdk mempertimbangkan sangat beragamnya bobot dan ukuran
anak2 dlm satu kelompok usia
● Obat bebas untuk pediatrik: dosis dikelompokkan atas usia, spt : 2-6thn; 6-12thn; diatas
12thn. Bila kurang dari 2thn, dinyatakan dg : atas pertimbangan dokter
● Persamaan yg digunakan :
o Rumus Young (anak dibawah 8 tahun)

Usia(tahun)
Dosis= x dosis dewasa
Usia+12

o Rumus Dilling (anak diatas 8 tahun)

Usia ( tahun )
Dosis= x dosis dewasa
20

o Rumus Cowling

Usia ( tahun ) +1
Dosis= x dosis dewasa
24

o Rumus Fried (khusus untuk bayi)


Usia ( bulan )
Dosis= x dosis dewasa
150
2. Berdasarkan Bobot
● Dosis lazim obat umumnya dianggap sesuai untuk individu berbobot 70kg (154pon)
● Rasio antara jumlah obat yg diberikan dan ukuran tubuh mempengaruhi konsentrasi obat
di tempat kerjanya
● Oleh karena itu, dosis obat mungkin perlu disesuaikan dari dosis lazim untuk pasien
kurus atau gemuk yg tidak normal
● Persamaan :
o Rumus Clark (AS)

bobot ( pon)
Dosis= x dosis dewasa
150
o Rumus Thremick-Fier (Jerman)

bobot (kg)
Dosis= x dosis dewasa
70
o Rumus Black (Belanda)

bobot (kg)
Dosis= x dosis dewasa
62

3. Berdasarkan Luas Permukaan Tubuh


● Disebut jg dg rumus BSA (Body Surface Area)
● Paling akurat karena mempertimbangkan tinggi dan bobot pasien dg menggunakan
rumus Du Bois dan Du Bois
● Terutama digunakan untuk :
o Pasien kanker yg menerima kemoterapi
o Pasien pediatrik pada semua usia anak2, kecuali bayi prematur dan bayi normal
yg fungsi hati dan ginjalnya blm sempurna shg memerlukan penilaian tambahan
dlm pengaturan dosis
● Menghitung dosis:
BSA(m¿¿ 2)=√ ❑¿
o BSA dewasa rata-rata = 1,73. Beberapa literatur menyebut 1,75m²
BSA anak
Dosis= x dosis dewasa
1,73

Resep Traumatic ulcer dan SAR:


R/ Triamcinolone acetonide in orabase 0.1% 5g. tub. No. I
S 3.d.d. lit. Or.
(paraf dokter)
Keterangan:
lit. or. = litus oris 🡪 obat oles mulut
in orabase 🡪 salep untuk penggunaan dalam mulut
tub 🡪 kemasan berupa tube
No. I 🡪 jumlah kemasan 1
S 3.d.d = de die 🡪 digunakan tiga kali sehari

II. Jenis-Jenis Palpasi pada Kedokteran Gigi

Merupakan teknik pemeriksaan untuk mengetahui kondisi suatu jaringan dengan menggunakan
indra peraba. Pada umumnya jaringan tubuh mempunyai konsistensi yang khas sehingga jaringan
yang satu dengan yang lain dapat dibedakan dengan cara palpasi. Agar pemeriksaan ini dapat
dilakukan secara efektif, maka pemeriksa harus mengenal betul karakteristis masing-masing daerah
yang akan diperiksa, dan variasi struktur anatomisnya yang normal. Prosedur palpasi terdiri atas
bidigital, bimanual dan bilateral.

a. Palpasi bidigital

Penekanan struktur dengan ibu jari dan telunjuk. Palpasi bidigital dapat digunakan untuk


evaluasi nodul pada bibir atau mukosa bukal

b. Palpasi bimanual
Mengggunakan jari pada satu bagian dan tangan pada bagian lain. Biasanya digunakan
untuk palpasi kelenjar submandibular dengan jari telunjuk pada dasar mulut dan jari tangan
lainnya ditekan pada kulit.
c. Palpasi bilateral
Menggunakan kedua tangan pada sisi yang berbeda. Biasanya digunakan pada pemeriksaan
sendi temporomandibular

Pemeriksaan ini akan memberikan informasi lebih rinci mengenai kondisi-kondisi yang tidak
dapat terungkap melalui inspeksi seperti; texture/strutur, dimensi/ketebalan, konsistensi,
temperatur. Aktivitas atau gerakan-gerakan fungsional tertentu seperti detak nadi atau getaran-
getaran yang ditimbulkan oleh lesi vaskuler, dan getaran gigi pada tulang alveoler pada waktu
gerak oklusi. dapat dideteksi dengan cara palpasi Sasaran pemeriksaan dengan cara palpasi pada
dasarnya bukan untuk mengetahui adanya rasa sakit, tetapi cara pemeriksaan ini dapat
menimbulkan reaksi rasa sakit sebelum abnormalitas jaringan yang akan diperiksa terdeteksi.
Oleh karena itu respon terhadap pemeriksaan palpasi ini perlu juga diperhatikan
III. Pemeriksaan Penunjang Penyakit Mulut
1) Radiografi

Radiografi Intra Oral

a. Radiografi periapikal

Radiografi periapikal dalah radiografi yang berguna untuk melihat gigi geliligi secara
individual mulai dari keseluruhan mahkota, akar gigi dan jaringan pendukungnya. Indikasi
penggunaan radiografi antara lain untuk melihat infeksi pada apikal, status periodontal, lesi-
lesi pada periapikal dan lainnya. Pada ilmu penyakit mulut, contohnya pasien datang karena
terdapat benjolan pada gusinya dan terasa sakit, radiografi periapikal dapat membantu dalam
penentuan diagnosis apakah benjolan tersebut berkaitan dengan ilmu konservasi gigi,
periodontal atau ilmu penyakit mulut.

b. Radiografi Oklusal

Radiografi oklusal adalah radiografi yang digunakan untuk melihat anatomi tulang maksila
maupun mandibula dengan area yang luas dalam satu film. Radiografi oklusal dapat
mendeteksi adanya fraktur, celah di palatum, dan kelainan lainnya yang terjadi pada area luas.
Film yang digunakan adalah film khusus untuk oklusal. Teknik yang digunakan untuk
pengambilan radiografi, yaitu dengan cara menginstruksikan pasien untuk mengoklusikan atau
menggigit bagian film. Hal ini dapat dikaitkan dengan ilmu penyakit mulut mengenai torus
palatinus. Dapat dilakukan rontgen pada bagian torus tersebut, apakah itu merupakan variasi
normal atau abses pada bagian palatal rongga mulut.
Radiografi Ekstraoral

a. Radiografi Panoramik

Radiografi panoramik adalah radiografi yang digunakan utuk melihat adanya


fraktur pada rahang, lesi atau tumor, dan melihat keadaan gigi geligi pada masa
bercampur untuk rencana perawatan ortodonti. Radiografi panoramik akan
memperlihatkan gambaran radiografi keadaan gigi geligi maksila, mandibula, sinus
maksilari, dan sendi temporo mandibular secara menyeluruh dalam satu buah film.
Rontgen panoramik dapat membantu dalam diagnosa lesi prakanker dalam ilmu
penyakit mulut. Misalnya pasien datang dengan keadaan bengkak besar dan tidak
terasa sakit, kita lakukan pemeriksaan radiografi panoramik untuk mengetahui bentuk
lesi, apakah terdapat gigi yang impaksi atau tidak erupsi dan perluasan kerusakan yang
telah terjadi

b. CBCT

Radiografi CBCT merupakan teknik pencitraan digital yang menggunakan


paparan sinar X berbentuk kerucut untuk memperoleh informasi objek dalam bentuk
citra 3 dimensi. Bentuk dan ukuran mesin CBCT mirip dengan mesin panoramik.
Sumber radiasi dan detektor mesin CBCT berputar mengelilingi kepala pasien
menyerupai radiografi panoramik untuk menangkap citra objek pada field of view
(FOV). Data yang didapat pada pemeriksaan CBCT diolah menggunakan perangkat
lunak, sehingga klinisi dapat mengamati kondisi pasien secara 3 dimensi. Apabila
dikaitkan dengan ilmu penyakit mulut, Karsinoma sel skuamosa (KSS) merupakan
tumor ganas rongga mulut yang berkembang dari epitel terluar mukosa oral. Secara
umum, KSS menunjukkan invasi dari superfisial ke arah tulang mandibula. Seperti lesi
maligna pada umumnya, KSS menunjukkan tepi lesi yang tidak jelas, namun pada
beberapa kasus KSS juga ditemukan sebagai lesi dengan batas tegas (well defined).
Menurut Rumboldt dkk. (2006),41 gambaran KSS pada contrast-enhanced CT (CECT)
tampak sebagai masa jaringan lunak oral yang tampak berbeda dengan jaringan sehat
disekitarnya. Lesi KSS berkembang progresif dan destruktif pada tulang alveolar,
sehingga gambaran radiografi gigi yang terlibat lesi KSS sering tampak ‘mengapung’
(floating teeth) di atas masa jaringan lunak tumor yang radiolusen.
c. MRI

Magnetic resonance imaging (MRI) atau pencitraan resonansi magnetik adalah


pemeriksaan yang memanfaatkan medan magnet dan energi gelombang radio untuk
menampilkan gambar struktur dan organ dalam tubuh. Gambaran tumor pada MRI sangat
variatif, tergantung jenis sekuen yang digunakan. Pengamatan menggunakan beberapa
sekuen MRI bertujuan untuk membedakan jaringan yang mengalami malignansi dengan
jaringan di sekitarnya yang sehat Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan
MRI lebih unggul dalam mencitrakan tumor jaringan lunak dibandingkan dengan CBCT.
Pemeriksaan MRI merupakan metode imejing yang paling sering digunakan untuk
memastikan ada tidaknya penyebaran kanker oral pada limfonodi servikalis, sedangkan
CBCT tidak dapat digunakan untuk pemeriksaan tersebut.

2) Pemeriksaan Biopsi:

Biopsi merupakan salah satu cara pemeriksaan patologi anatomi yang dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis pasti suatu lesi yang dicurigai sebagai suatu
keganasan. Pemeriksaan patologi ini juga bermanfaat tidak hanya menegakkan diagnosis dan
rencana pengobatan tetapi juga untuk menentukan prognosis. Jadi secara umum biopsi
adalah pengangkatan sejumlah jaringan tubuh yang kemudian akan dikirim ke laboratorium
untuk diperiksa. Metode biopsi terdiri dari biopsi eksisi dan insisi (Birnbaum dan Dunee,
2000).
● Biopsi Eksisi
Metode ini biasanya digunakan untuk lesi dengan diameter kurang dari 1 cm dan jika
operator yakin bahwa lesi tersebut jinak, karena jika lesi berupa keganasan metode
ini berisiko terlepasnya sel ganas. Tahapan pengerjaannya yaitu:
1. Anestesi local atau blok jika memungkinkan. Batas anestesi tidak boleh lebih
dekat 2 cm dari area lesi.
2. Lesi distabilkan dengan menancapnya dengan jahitan dan distabilisasi dengan
tang jaringan.
3. Kemudian lesi ditarik melalui benang jahitan
4. Lakukan insisi pada mukosa sekitar dasar lesi dalam bentuk elips
5. Gunakan kombinasi potongan tumpul dan tajam untuk melepas lesi
6. Letakkan spesimen segera ke dalam botol besar yang berisi cairan fiksasi
formalin/formol saline 10% (volume fiksasi sepuluh kali lebih banyak dari
spesimen), kemudian beri label, dan ditutup.
7. Tutup luka dengan dijahit.

● Biopsi Insisi
Metode ini digunakan untuk lesi yang besar atau jika terdapat dugaan keganasan.
Metode insisi dibagi menjadi menjadi 4 yaitu metode insisi dengan menggunakan
scalpel, punch, needle/threpine, dan aspirasi (FNAB). Sebelum pengerjaan dilakukan
pencatatan letak lesi, ukuran, dan bentuk dalam kartu status pasien.

Teknik biopsi insisi dengan scalpel:


1. Anestesi local
2. Tentukan batas yang jelas antara jaringan sehat dan lesi
3. Stabilkan lesi dengan jahitan dan tang jaringan
4. Iris spesimen dari tepi lesi dengan mengikutsertakan tepi jaringan sehat yang
terlihat
5. Specimen harus cukup besar agar dapat mewakili daerah lesi yang
bersangkutan
6. Hindari jaringan nekrotik pada lesi
7. Bila lesi dekat dengan tulang, hindari perforasi periosteum
8. Letakkan segera specimen ke dalam botol yang telah berisi cairan fiksasi.
Berikan label
9. Tutup luka dengan dijahit
Biopsi insisi dilakukan pada lesi yang diduga karsinoma. Insisi
meliputi tepi ulkus dan dasarnya tanpa melibatkan jaringan normal
(Marx dan Stern, 2003).

Teknik punch biopsy

1. Menggunakan instrument operasi untuk mendorong sebagian jaringan yang


mewakili lesi keluar

Brush diletakkan dan diputar untuk mendapatkan sel-sel epitel


(Marx dan Stern, 2003).
Teknik Needle/trephine/drill biopsy

1. Teknik ini digunakan untuk lesi fibro-osseous yang letaknya dalam. Teknik
ini jarang digunakan karena spesimen yang dihasilkan kecil kemungkinan
tidak dapat mewakili lesi yang terlibat.

Teknik Aspirasi (Fine Needle Aspiration Biopsy)

1. Teknik ini dapat digunakan untuk lesi berupa kista dan disertai fluktuasi.
Dengan injeksikan jarum pada area lesi dan lakukan aspirasi. Jika aspirasi
gagal maka artinya lesi tersebut padat. Klasifikasi lesi yang dapat dilihat dari
aspirasi yaitu:
● Jika aspirasi berupa udara dari kista mandibular, menunjukan adanya kista
tulang soliter.
● Jika aspirasi berupa darah menunjukan adanya suatu hematoma,
hemangioma, ataupun pembuluh darah
● Aspirasi pus menunjukan adanya suatu abses atau kista yang terinfeksi
● Aspirasi keratin yang terlihat seperti pus namun tidak berbau menunjukan
adanya keratosis odontogenik
● Aspirasi cairan mengandung kristal berwarna kekuningan menunjukan
adanya kista peruiodontal atau dentigerous.

Biopsi aspirasi untuk pus (Lamey dan Lewis, 1991).


Langkah kerja:
- Antiseptik dengan povidon iodin dan alcohol
- Fiksasi lesi/massa/ kelenjar dengan dua jari tangan kiri
- Injeksikan jarum ke massa / kelenjar dengan tangan kanan
- Jarum digerakkan perlahan dengan sudut dan kedalaman yang berbeda-beda
- Jarum diangkat dan spuit 20 cc yang telah terisi udara setengahnya dipasangkan pada
ujung jarum
- Aspirat disemprotkan ke kaca objek searah panjang spuit
- Sediaan diapus dengan menempelkan kaca objek lainnya dengan arah berlawanan
- Kaca objek yang berisi aspirat dimasukkan kedalam wadah berisi alcohol 96%
- Wadah ditutup agar tidak bocor dan dilabel pada bagian luarnya

● Teknik Swab Spesimen di Rongga Mulut


Teknik swab/ usapan/ sitologi merupakan pemeriksaan mikroskopik pada sel yang
dilepaskan atau dikerok dipermukaan lesi. Pemeriksaan sitologi biasanya dilakukan jika
biopsi tidak dapat dilakukan, pasien menolak biopsi, dan ada lesi multipel yang harus
diperiksa. Teknik usap (swab) pada lesi rongga mulut dapat menggunakan wooden cotton
bud steril/ tepi plastik instrument steril/ spatel lidah. Tahapan pengerjaannya yaitu:
1. Siapkan wooden cotton bud / spatel lidah steril dan kaca mulut
2. Siapkan container atau botol untuk tempat spesimen yang telah berisi larutan 1 ml
PBS atau larutan fiksasi formalin 10% dan diberi label nama pasien.
3. Gunakan APD (masker dan handscoon)
4. Instruksikan pasien membuka mulut
5. Gunakan kaca mulut untuk melihat lesi kemudian usap lesi dengan usapan satu
arah dilakukan beberapa kali dengan sedikit penekanan tanpa melukai mukosa
6. Wooden coton bud/ spatel yang telah berisi spesimen dimasukan kedalam
container/tabung yang telah berisi larutan PBS (Phospate Buffer Saline) 1 ml,
untuk dibawa ke laboratorium atau dapat juga diletakkan diatas slide, kemudian
disebarkan kesamping dengan menggunakan slide lainnya, lalu letakkan spesimen
kedalam botol tertutup yang telah berisi larutan fiksasi (Leepel,dkk., 2009, yulia,
2016).

Pemberian label pada botol spesimen dan pengisian formulir permintaan tes:

● Semua botol specimen diberi label berisi keterangan tentang pasien.


● Specimen disertai formulir permintaan pemeriksaan yang diisi lengkap
● Formulir permintaan pemeriksaan lab harus berisi penjelasan rinci tentang diagnosis
kerja, riwayat pemberian obat antimicrobial, dan riwayat alergi terhadap obat-obat
tertentu.
● Formulir permintaan pemeriksaan lab juga berisi informasi keadaan klinis
secukupnya sehingga dapat memberi interpretasi yang tepat untuk hasil lab yang
ditemukan
● Informasi tersebut termasuk: gambaran specimen, gambaran klinis (ukuran, lokasi,
warna, konsistensi, mobilitas, limfadenopati, dsb)

Pengemasan spesimen:

Digunakan kemasan tiga lapis (wadah pertama, kedua, dan terluar):

● Spesimen dikumpulkan ke dalam wadah pertama yang sesuai


● Wadah pertama tidak boleh sampai bocor dan harus diberi label yang sesuai
● Spesimen cair tidak boleh diisikan ke dalam wadah pertama dalam suhu 55oC
● Wadah pertama diletakkan ke dalam wadah kedua yang tidak tembus air
● Kemudian wadah pertana dan kedua diletakkan ke dalam wadah terluar
● Formulir permintaan pemeriksaan lab diisi lengkap
● Diantara wadah kedua dan wadah terluar dicantumkan:
Daftar isi wadah yang bersangkutan
Formulir permintaan pemeriksaan lab
Nama dan alamat yang dituju
Nama dan alamat pengirim
Nomor telepon yang dapat dihubungi
● Pada wadah terluar cantumkan
Nama dan alamat yang dituju
Nama dan alamat pengirim
Nama orang yang dapat dihubungi dengan nomor telepon darurat
Tempelkan stiker “bahan menular”
● Bila memungkinan, spesimen dikirim ke lab tanpa perantara, spesimen yang dikirim
melalui pos dapat rusak, terhambat, atau hilang.

IV. Manifestasi Penyakit Sistemik pada Rongga Mulut


1. Hipertensi:
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi saat tekanan darah berada pada
nilai 130/80 mmHg atau lebih. (Soeprapto Andrianto, 2017)
Pertimbangan dental:
● Xerostomia
o Efek samping dari obat antihipertensi, diuretic, calcium-channel.
Manajemen:
▪ Ganti obat antihipertensi yang lebih sediit menghambat
salivasi.
▪ Kunyah permen karet (pemanis non sukrosa)
▪ Oral musturizers (pilocarpine, cevimelime) sebelum makan
● Gingival overgrowth
o Karena obat obatan antihipertensi (cth:nifedipin); OH buruk
Manajemen: ganti alternative obat anti hipertensi, tingkatkan OH
● Dental drug therapy
o Penggunaan obat anestesi dengan epinefrin (2% lidocaine dengan
1:100.00 epinefrin) dibatasi minimal 2 ampul🡪 masih dalam batas
aman
o Bila tekanan darah >180 mmHg harus dirujuk

2. Maag:
Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung atau
gangguan kesehatan yang disebabkan oleh faktor iritasi dan infeksi, asam lambung
berlebih yang diproduksi tubuh lama kelamaan dapat menekan katup lambung
hingga terjadinya arus balik isi gastrik ke arah eksofagus (GERD) sehingga secara
pasif asam lambung dapat mencapai rongga mulut, kondisi ini dapat memicu
beberapa hal seperti: (Hirlan, 2009)
Pertimbangan dental:
● Dysgeusia
adalah suatu kondisi di mana sensasi rasa busuk, mulut terasa asin, tengik,
atau logam akan bertahan di mulut.
● Gigi sensitive
Gigi terasa ngilu karena terkikisnya tubuli dentin
● Erosi gigi
Terkikisnya enamel gigi yang disebabkan oleh asam
● Pulpitis
● Perubahan mukosa (eritema dan atrofi)
3. Rheumatic fever:
Demam reumatik merupakan komplikasi dari radang tenggorokan, dan penyakit ini
biasanya terjadi pada 7 hari hingga 1 bulan setelah pengidap mengalami infeksi
tenggorokan. Demam reumatik atau disingkat "DR" merupakan suatu sindrom klinik
akibat infeksi streptococcus beta–hemplyticus golongan A. Bakteri ini adalah jenis
kokus gram positif, yang berkolonisasi di kulit dan faring. Organisme ini dapat
menyebabkan penyakit supuratif salah satunya yang dapat di temukan di rongga
mulut adalah faringitis, dan radang teggorokan (Rilantono Lily, 2013)

Faringitis streptococcus beta hemolityc grup A, terlihat eksudat yang khas pada tonsil

4. Inflammatory rheumatism (inflamasi persendian)


● Adalah inflamasi kronis sistemik pada sendi tubuh, salah satu contoh
inflammatory rheumatism adalah Artritis Reumatoid, penyakit ini disebabkan
oleh gangguan sistem kekebalan tubuh bukan hanya tertuju pada jaringan
sendi, namun kadang ke organ lain. Tapi yang paling sering terjadi adalah
kerusakan sendi dan tulang rawan berupa erosi di kedua tulang.
● Penelitian ini menemukan Aggregatibacter actinomycetemcomitans, yang
selama ini menjadi penyebab periodontitis, diketahui mampu mengganggu
proses citrullination.
● Citrullination adalah sebuah proses yang mengatur produksi protein untuk
sistem kekebalan tubuh secara alami pada manusia. Dalam kasus RA,
proses citrullination menjadi berlebihan dan menyebabkan peradangan serta
kerusakan jaringan.
● Dan dalam pengujian ini, para peneliti menemukan bahwa kondisi
gangguan citrullination juga muncul pada pasien dengan penyakit
periodontitis (Clifton O. Bingham, III, 2013)
5. HIV / AIDS

Infeksi virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan melemahkan kemampuan
tubuh untuk melawan infeksi (Depkes Australia, 2013). Beberapa manifestasi oral dari
penderita HIV yaitu:

● Necrotizing Ulcerative Periodontitis/ Gingivitis


Akibat perkembangan bakteri dalam tubuh yaitu Treponema pallidum (penyebab
sifilis)
● Oral kandidiasis
Pertumbuhan jamur Candida yang tidak terkontrol akibat penurunan sistem imun
dalam tubuh dan ketidakseimbangan flora normal dalam rongga mulut serta
penggunaan steroid inhalers pada beberapa penderita HIV
● Ulcer
Disebabkan akibat perkembangan Cytomegalovirus dalam tubuh dan penggunaan
berbagai jenis obat-obatan sistemik yang diperlukan sesuai gejala yang timbul.
● Kaposi sarcoma
Terdapat lesi berupa macula berwarna merah kebiruan/ ungu kebiruan pada palatum
durum/molle dan gingiva akibat human herpes virus 8 (HHV 8)
● Oral squamous cell papilloma
Lesi berbentuk seperti kembang kol diakibatkan oleh perkembangan Human
Papiloma Virus (HPV) dalam tubuh
(Soeprapto, 2017)

6. TBC

Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri


Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2017).

● Kelainan yang terbentuk dirongga mulut sebagai infeksi sekunder dari TB paru
disebabkan oleh faktor sistemik seperti penurunan fungsi host dan peningkatan
virulensi dari organisme, serta faktor predisposisi lokal seperti oral hygiene buruk,
trauma local, adanya lesi seperti leukoplakia dan lainnya. Manifestasi TBC pada
rongga mulut diantaranya adalah ulser, pembesaran gingiva, glositis (atrofi lidah),
tuberkuloma, pembesaran kelenjar limfe, osteomyelitis. (Lestari, 2011).
7. Venereal disease

Venereal disease atau yang disebut infeksi menular seksual adalah suatu infeksi yang
disebabkan oleh berbagai bakteri maupun virus yang disebarkan melalui aktivitas seksual
(Depkes RI, 2016).

● Gonore

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Neisseria Gonorrhoea yang menular melalui


hubungan seksual dari alat kelamin, mulut atau anus. Gejala yang terdapat dalam
mulut yaitu stomatitis, atropi papila lidah bagian tengah, terdapat pus yang keluar
dari gingiva dan terjadi atritis pada sendi rahang

● Herpes genital

Virus herpes simpleks (Herpes simplex virus) tipe 2 dan tipe 1 dapat menimbulkan
infeksi pada rongga mulut, berupa penyakit gingivostamatitis, infeksi rekuren pada
area wajah dan bibir yaitu herpes labialis atau cold sore dengan bentuk berupa
vesikel di daerah tepi bibir. 

● Sifilis

Penyakit yang disebabkan oleh abkteri Treponema pallidum. Manifestasi penyakit ini
pada rongga mulut adalah terjadinya atrofi lidah

8. Hipotensi

Hipotensi atau tekanan darah rendah adalah kondisi saat tekanan darah berada
dibawah rentang normal, kisaran tekanan rendah dapat mencapai 90/60 mmHg. (Soeprapto
Andrianto, 2017)
● Warna mukosa pucat akibat penurunan sirkulasi dan volume darah dalam tubuh
● Pembengkakan bibir dan lidah akibat penggunaan norepineprin dan midrodine
● Xerostomia akibat penggunaan obat – obatan (ex: midodrine)

(Erni, 2012)
9. Penyakit Jantung

a) Xerostomia
Xerostomia merupakan suatu sensasi subjektif kekeringan pada rongga mulut
yang diakibatkan karena berkurangnya aliran saliva ataupun karena adanya
perubahan komposisi pada saliva. Faktor penyebab yang paling sering
ditemukan pada penderita xerostomia adalah obat-obatan. Xerostomia yang
disebabkan karena obat-obatan berkaitan dengan kombinasi dan dosis dari obat
yang dikonsumsi oleh penderita. Obat-obatan dapat mempengaruhi aliran saliva
dengan meniru aksi sistem saraf otonom atau beraksi pada proses seluler untuk
salivasi secara langsung. Obat-obatan juga secara tidak langsung dapat
mempengaruhi salivasi dengan adanya perubahan pada keseimbangan cairan
dan elektrolit atau dengan mempengaruhi aliran darah menuju kelenjar.21
b) Reaksi Likenoid
Obat-obatan dapat menimbulkan manifestasi oral dalam bentuk
eritematous, vesikular, dan ulseratif. Lesi-lesi tersebut menyerupai liken planus
dan biasa disebut reaksi likenoid. Secara klinis dan histologis, reaksi likenoid
memang mirip dengan liken planus. Penyebab reaksi likenoid ini biasanya
dikaitkan dengan penggunaan obat-obatan, kontak langsung dengan bahan
restorasi dental, ataupun karena penyakit graft-versus-host.
Obat-obatan dapat menyebabkan tubuh seseorang menghasilkan respon imun
yang abnormal. Pada pasien dengan reaksi likenoid terdapat auto antibodi
sitoplasma sel-sel basal epitel. Di dalam sel-sel basal tersebut terdapat sel T
yang memiliki antigenitas pada permukaan selnya. Sel T kemudian dikenali
sebagai benda-benda asing sehingga terjadilah reaksi likenoid.
Reaksi likenoid akibat penggunaan obat-obatan2
c) Gingival Enlargement
Gingival enlargement adalah suatu pembengkakan pada gingiva yang
menyebabkan gingiva menjadi terlihat tidak berkontur lagi. Pada keadaan ini, gingiva
menjadi lebih besar dan ukurannya bertambah dari normal pada tepi gingiva, papilla
interdental, ataupun pada gingiva cekat di bagian sisi vestibular dan sisi oral.
Pembengkakan dapat menutupi sebagian ataupun keseluruhan bagian mahkota gigi.
Permukaannya bisa halus maupun berlobus, bentuknya fibrous, dan biasanya
ditemukan tanpa adanya inflamasi. Gingival enlargement juga dikenal dengan
sebutan hiperplasia gingiva.
Beberapa obat-obatan sering dihubungkan dengan terjadinya gingival
enlargement termasuk obat-obatan kardiovaskular seperti phenytoin dan calcium
channel blockers.

Gingival enlargement akibat penggunaan obat-obatan5


d. Burning Mouth Syndrome
Burning mouth syndrome (BMS) merupakan suatu rasa sensasi terbakar pada mulut,
dapat muncul di bagian lidah, bibir ataupun membran oral mukosa lain nya dengan atau
tanpa disertai oleh gejala-gejala klinis. Terkadang BMS juga disertai dengan adanya rasa
gatal pada gingiva dan lidah. Nama lain BMS yaitu oral dysaesthesia, sore mouth, sore
tounge, glossodynia, stomatodynia, glossopyrosis, dan stomatopyrosis. Burning mouth
syndrome biasanya muncul secara spontan tanpa ada faktor- faktor tertentu yang
memicunya. Gangguan yang muncul, terjadi pada pagi hari dan intensitas rasa
terbakarnya semakin meningkat hingga menjelang malam hari. Rasa sensasi terbakar
yang muncul sering terjadi di bagian 2/3 anterior lidah, anterior palatum keras, dan
mukosa bibir bawah.

e. Dysgeusia (Gangguan Indera Perasa)


Perubahan sensasi rasa dapat terjadi dalam beberapa bentuk yaitu ageusia, dysgeusia,
dan hypogeusia. Dysgeusia merupakan suatu gangguan pada indera perasa dan sering
dihubungkan dengan penggunaan obat-obatan. Hal ini biasanya terjadi setelah
mengonsumsi obat-obatan dalam jangka waktu yang lama dengan berbagai macam jenis
obat. Mekanisme obat dapat mempengaruhi sensasi rasa bervariasi. Mekanisme yang
terlibat dalam terjadinya gangguan indera perasa akibat penggunaan obat-obatan antara
lain yaitu efek metabolit obat yang dapat berinteraksi dengan taste bud ataupun saliva
pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan secara langsung pada taste bud.

10. Diabetes Melitus

a. Xerostomia (Mulut Kering)


Diabetes yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan aliran saliva (air liur),
sehingga mulut terasa kering. Saliva memiliki efek self-cleansing, di mana alirannya
dapat berfungsi sebagai pembilas sisa-sisa makanan dan kotoran dari dalam mulut. Jadi
bila aliran saliva menurun maka akan menyebabkan timbulnya rasa tak nyaman, lebih
rentan untuk terjadinya ulserasi (luka), lubang gigi, dan bisa menjadi ladang subur bagi
bakteri untuk tumbuh dan berkembang. Berdasarkan literatur yang saya dapatkan bahwa
pada penderita diabetes salah satu tandanya adalah Poliuria, dimana penderita banyak
buang air kecil sehingga cairan di dalam tubuh berkurang yang dapat mengakibatkan
jumlah saliva berkurang dan mulut terasa kering, sehingga disarankan pada penderita
untuk mengkonsumsi buah yang asam sehingga dapat merangsang kelenjar air liur
untuk mengeluarkan air liur.

b. Gingivitis dan Periodontitis


Periodontitis ialah radang pada jaringan pendukung gigi (gusi dan tulang).
Selain merusak sel darah putih, komplikasi lain dari diabetes adalah menebalnya
pembuluh darah sehingga memperlambat aliran nutrisi dan produk sisa dari tubuh.
Lambatnya aliran darah ini menurunkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi,
Sedangkan periodontitis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Dan hal
ini menjadi lebih berat dikarenakan infeksi bakteri pada penderita Diabetes lebih berat.
Ada banyak faktor yang menjadi pencetus atau yang memperberat periodontitis, di
antaranya akumulasi plak, kalkulus (karang gigi), dan faktor sistemik atau kondisi tubuh
secara umum. Rusaknya jaringan Periodontal membuat gusi tidak lagi melekat ke gigi,
tulang menjadi rusak, dan lama kelamaan gigi menjadi goyang.
c. Oral thrush
Penderita diabetes yang sering mengkonsumsi antibiotik untuk memerangi
infeksi sangat rentan mengalami infeksi jamur pada mulut dan lidah. Apalagi
penderita diabetes yang merokok, risiko terjadinya infeksi jamur jauh lebih besar.
Oral thrush atau oral candida adalah infeksi di dalam mulut yang disebabkan
oleh jamur, sejumlah kecil jamur candida ada di dalam mulut. Pada penderita.
Diabetes Melites kronis dimana tubuh rentan terhadap infeksi sehingga sering
menggunakan antibiotik dapat mengganggu keseimbangan kuman di dalam
mulut yang mengakibatkan jamur candida berkembang tidak terkontrol sehingga
menyebabkant thrush. Dari hasil pengamatan saya selama berpraktik sebagai
dokter gigi yang ditandai dengan adanya lapisan putih kekuningan pada lidah,
tonsil maupun kerongkongan.

d. Dental Caries (Karies Gigi)


Diabetes Mellitus bisa merupakan faktor predisposisi bagi kenaikan
terjadinya dan jumlah dari karies. Keadaan tersebut diperkirakan karena pada
diabetes aliran cairan darah mengandung banyak glukosa yang berperan sebagai
substrat kariogenik. Karies gigi dapat terjadi karena interaksi dari 4 faktor yaitu
gigi, substrat, kuman dan waktu. Pada penderita Diabetes Melitus telah diketahui
bahwa jumlah air liur berkurang sehingga makanan melekat pada permukaan
gigi, dan bila yang melekat adalah makanan dari golongan karbohidrat bercampur
dengan kuman yang ada pada permukaan gigi dan tidak langsung dibersihkan
dapat mengakibatkan keasaman didalam mulut menurun, sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya lubang atau caries gigi.

11. Hepatitis A, B,C


Pada penyakit hati, terutama atresia bilier dan hepatitis neonatal, dapat
terjadi diskolorisasi pada gigi sulung. Dimana, pada atresia bilier gigi akan
berwarna hijau, sedangkan pada hepatitis neonatal berwarna kuning. Keadaan ini
disebabkan oleh depositnya bilirubin pada email dan dentin yang sedang dalam
tahap perkembangan.
a. Menyebabkan oral hygiene buruk, dalam hal ini bau mulut tidak sedap
b. Hepatitis aktif kronis dapat menyebabkan gangguan endokrin sehingga
menimbulkan penyakit multiple endokrinopati keturunan dan kandidosis
mukokutaneus.
c. Kegagalan hati dapat menyebabkan timbulnya foetor hepatikum. Dimana, foetor
hapatikum sering disebut dalam sejumlah istilah seperti: bau “amine”, bau “kayu
lapuk”, bau “tikus “ dan bahkan bau “bangkai segar”.
d. Sirosis hati dapat menyebabkan hiperpigmentasi pada mulut.
e. Timbul ulkus - ulkus karena berkurangnya zat – zat vitamin dan gizi dalam rongga
mulut.
f. Proses makan menjadi tidak benar sehingga peran saliva terganggu.

12. Asma

a. Xerostomia
Asma dapat menimbulkan gejala sesak nafas dengan meningkatnya kecepatan
pernafasan, dan karena usaha penderita untuk menghirup nafas sebesar-besarnya
maka penderita menghirup udara melalui mulut.Ini dikenali sebagai mouth breathing.
Mouth breathing adalah kebiasaan bernafas melalui mulut daripada hidung. Mouth
breathing dapat menimbulkan xerostomia. Xerostomia adalah keadaan di mana mulut
kering akibat pengurangan atau tiadanya aliran saliva. Xerostomia merupakan gejala
dari berbagai kondisi seperti perawatan yang diterima, dan merupakan salah satu efek
samping dari obat-obatan asma yang dapat berhubungan atau tidak berhubungan
dengan penurunan fungsi kelenjar saliva. Pada penderita asma, penggunaan obat-
obatan asma terutama yang termasuk dalam golongan beta-2 agonis mempengaruhi
aliran saliva secara langsung dengan memblokade sistem syaraf dan menghambat
sekresi saliva
b. Karies
Saliva berfungsi untuk membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan dan
kuman serta mempunyai peran sebagai antibakterial dan sistem bufer.Penurunan pH
saliva dan jumlah saliva yang kurang menyebabkan peningkatan bakteri Lactobacilli
dan Streptococcus mutans di dalam rongga mulut yang menyebabkan terbentuknya
karies. Selain itu, tingkat karies yang lebih tinggi pada penderita asma juga dikaitkan
dengan adanya karbohidrat yang difermentasi (fermentable carbohydrate) dalam obat
asma. Beberapa inhaler bubuk kering mengandung gula (lactose monohydrate)

Anda mungkin juga menyukai