Oleh:
Desak Made hari Wijayanti 1802642031
Made Arya Dananjaya 1802642036
Putu Chandra Parama Jyoti 1802642037
Umur pasien merupakan suatu pertimbangan yang penting untuk menentukan dosis obat,
khususnya anak-anak dan orang lanjut usia (>65 tahun). Anak-anak bukan dewasa kecil dimana
adanya perbedaan dalam kemampuan farmakokinetik dan farmakodinamik obat, sehingga harus
diperhitungkan dosis obat yang diberikan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan: total body
water, protein plasma, fungsi ginjal dan hati. Sebagai contoh chloramfenikol dimetabolisme
oleh enzim glukoronidase yang ada di hati dimana pada bayi enzim tersebut belum lengkap
Pada orang usia lanjut kebanyakan fungsi fisiologisnya mulai berkurang seperti proses
metaboliknya lebih lambat, laju filtrasi glomerulus berkurang, kepekaan/respon reseptor (factor
farmakodinamik) terhadap obat berubah, kesalahan minum obat lebih kurang 60 % karena
penglihatan, pendengaran telah berkurang dan pelupa, efek samping obat 2-3 kali lebih banyak
2) Berat badan
Pasien obesitas mempunyai akumulasi jaringan lemak yang lebih besar, dimana jaringan
lemak mempunyai proporsi air yang lebih kecil dibandingkan dengan jaringan otot. Jadi pasien
obese mempunyai proporsi cairan tubuh terhadap berat badan yang lebih kecil daripada pasien
3) Jenis kelamin
Wanita dianggap lebih sensitive terhadap pengaruh obat dibandingkan pria. Pemberian obat
pada wanita hamil juga harus mempertimbangkan terdistribusinya obat ke janin seperti pada
obat-obat anestesi, antibiotik, barbiturate, narkotik, dan sebagainya yang dapat menyebabkan
4) Status patologi
Kondisi patologi seperti pasien dengan fungsi ginjal & hati yang rusak/ terganggu akan
menyebabkan proses metabolisme obat yang tidak sempurna. Sebagai contoh pemberian
tetrasiklin pada keadaan ginjal/hati rusak akan menyebabkan terakumulasinya tetrasiklin dan
terjadi kerusakan hati. Maka harus dipertimbangkan dosis obat yang lebih rendah dan frekuensi
5) Toleransi
Efek toleransi obat yaitu obat yang dosisnya harus diperbesar untuk menjaga respon terapi
tertentu. Toleransi ini biasanya terjadi pada pemakaian obat-obatan seperti antihistamin,
Dosis obat dapat berbeda-beda tergantung pada bentuk sediaan yang digunakan dan cara
pemakaian. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kecepatan dan luasnya absorpsi obat. Seperti
bentuk sediaan tablet memerlukan proses desintegrasi dan disolusi lebih dahulu sebelum
diabsorpsi sehingga dosisnya lebih besar dibandingkan bentuk sediaan larutan. Cara pemberian
7) Waktu pemakaian
Waktu ketika obat itu dipakai kadang-kadang mempengaruhi dosisnya. Hal ini terutama
pada pemberian obat melalui oral dalam hubungannya dengan kemampuan absorpsi obat oleh
saluran cerna dengan adanya makanan. Ada beberapa obat yang efektif bila dipakai sebelum
makan atau sesudah makan. Untuk obat-obat yang mengiritasi lambung & saluran cerna lebih
Obat-obat yang diberikan secara bersamaan akan terjadi interaksi obat secara fisika dan
kimiawi yang dapat berupa efek yang diinginkan atau efek yang menganggu. Missal interaksi
tetrasiklin dengan logam-logam kalsium, magnesium & aluminium (logam ini terdapat pada
antasida atau produk susu keju), pemakaian secara bersamaan harus dihindari atau dengan cara
mengatur jadwal pemberian, karena tetrasiklin membentuk kompleks dengan logam tersebut
Usia(tahun)
Dosis= x dosis dewasa
Usia+12
Usia ( tahun )
Dosis= x dosis dewasa
20
o Rumus Cowling
Usia ( tahun ) +1
Dosis= x dosis dewasa
24
bobot ( pon)
Dosis= x dosis dewasa
150
o Rumus Thremick-Fier (Jerman)
bobot (kg)
Dosis= x dosis dewasa
70
o Rumus Black (Belanda)
bobot (kg)
Dosis= x dosis dewasa
62
Merupakan teknik pemeriksaan untuk mengetahui kondisi suatu jaringan dengan menggunakan
indra peraba. Pada umumnya jaringan tubuh mempunyai konsistensi yang khas sehingga jaringan
yang satu dengan yang lain dapat dibedakan dengan cara palpasi. Agar pemeriksaan ini dapat
dilakukan secara efektif, maka pemeriksa harus mengenal betul karakteristis masing-masing daerah
yang akan diperiksa, dan variasi struktur anatomisnya yang normal. Prosedur palpasi terdiri atas
bidigital, bimanual dan bilateral.
a. Palpasi bidigital
b. Palpasi bimanual
Mengggunakan jari pada satu bagian dan tangan pada bagian lain. Biasanya digunakan
untuk palpasi kelenjar submandibular dengan jari telunjuk pada dasar mulut dan jari tangan
lainnya ditekan pada kulit.
c. Palpasi bilateral
Menggunakan kedua tangan pada sisi yang berbeda. Biasanya digunakan pada pemeriksaan
sendi temporomandibular
Pemeriksaan ini akan memberikan informasi lebih rinci mengenai kondisi-kondisi yang tidak
dapat terungkap melalui inspeksi seperti; texture/strutur, dimensi/ketebalan, konsistensi,
temperatur. Aktivitas atau gerakan-gerakan fungsional tertentu seperti detak nadi atau getaran-
getaran yang ditimbulkan oleh lesi vaskuler, dan getaran gigi pada tulang alveoler pada waktu
gerak oklusi. dapat dideteksi dengan cara palpasi Sasaran pemeriksaan dengan cara palpasi pada
dasarnya bukan untuk mengetahui adanya rasa sakit, tetapi cara pemeriksaan ini dapat
menimbulkan reaksi rasa sakit sebelum abnormalitas jaringan yang akan diperiksa terdeteksi.
Oleh karena itu respon terhadap pemeriksaan palpasi ini perlu juga diperhatikan
III. Pemeriksaan Penunjang Penyakit Mulut
1) Radiografi
a. Radiografi periapikal
Radiografi periapikal dalah radiografi yang berguna untuk melihat gigi geliligi secara
individual mulai dari keseluruhan mahkota, akar gigi dan jaringan pendukungnya. Indikasi
penggunaan radiografi antara lain untuk melihat infeksi pada apikal, status periodontal, lesi-
lesi pada periapikal dan lainnya. Pada ilmu penyakit mulut, contohnya pasien datang karena
terdapat benjolan pada gusinya dan terasa sakit, radiografi periapikal dapat membantu dalam
penentuan diagnosis apakah benjolan tersebut berkaitan dengan ilmu konservasi gigi,
periodontal atau ilmu penyakit mulut.
b. Radiografi Oklusal
Radiografi oklusal adalah radiografi yang digunakan untuk melihat anatomi tulang maksila
maupun mandibula dengan area yang luas dalam satu film. Radiografi oklusal dapat
mendeteksi adanya fraktur, celah di palatum, dan kelainan lainnya yang terjadi pada area luas.
Film yang digunakan adalah film khusus untuk oklusal. Teknik yang digunakan untuk
pengambilan radiografi, yaitu dengan cara menginstruksikan pasien untuk mengoklusikan atau
menggigit bagian film. Hal ini dapat dikaitkan dengan ilmu penyakit mulut mengenai torus
palatinus. Dapat dilakukan rontgen pada bagian torus tersebut, apakah itu merupakan variasi
normal atau abses pada bagian palatal rongga mulut.
Radiografi Ekstraoral
a. Radiografi Panoramik
b. CBCT
2) Pemeriksaan Biopsi:
Biopsi merupakan salah satu cara pemeriksaan patologi anatomi yang dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis pasti suatu lesi yang dicurigai sebagai suatu
keganasan. Pemeriksaan patologi ini juga bermanfaat tidak hanya menegakkan diagnosis dan
rencana pengobatan tetapi juga untuk menentukan prognosis. Jadi secara umum biopsi
adalah pengangkatan sejumlah jaringan tubuh yang kemudian akan dikirim ke laboratorium
untuk diperiksa. Metode biopsi terdiri dari biopsi eksisi dan insisi (Birnbaum dan Dunee,
2000).
● Biopsi Eksisi
Metode ini biasanya digunakan untuk lesi dengan diameter kurang dari 1 cm dan jika
operator yakin bahwa lesi tersebut jinak, karena jika lesi berupa keganasan metode
ini berisiko terlepasnya sel ganas. Tahapan pengerjaannya yaitu:
1. Anestesi local atau blok jika memungkinkan. Batas anestesi tidak boleh lebih
dekat 2 cm dari area lesi.
2. Lesi distabilkan dengan menancapnya dengan jahitan dan distabilisasi dengan
tang jaringan.
3. Kemudian lesi ditarik melalui benang jahitan
4. Lakukan insisi pada mukosa sekitar dasar lesi dalam bentuk elips
5. Gunakan kombinasi potongan tumpul dan tajam untuk melepas lesi
6. Letakkan spesimen segera ke dalam botol besar yang berisi cairan fiksasi
formalin/formol saline 10% (volume fiksasi sepuluh kali lebih banyak dari
spesimen), kemudian beri label, dan ditutup.
7. Tutup luka dengan dijahit.
● Biopsi Insisi
Metode ini digunakan untuk lesi yang besar atau jika terdapat dugaan keganasan.
Metode insisi dibagi menjadi menjadi 4 yaitu metode insisi dengan menggunakan
scalpel, punch, needle/threpine, dan aspirasi (FNAB). Sebelum pengerjaan dilakukan
pencatatan letak lesi, ukuran, dan bentuk dalam kartu status pasien.
1. Teknik ini digunakan untuk lesi fibro-osseous yang letaknya dalam. Teknik
ini jarang digunakan karena spesimen yang dihasilkan kecil kemungkinan
tidak dapat mewakili lesi yang terlibat.
1. Teknik ini dapat digunakan untuk lesi berupa kista dan disertai fluktuasi.
Dengan injeksikan jarum pada area lesi dan lakukan aspirasi. Jika aspirasi
gagal maka artinya lesi tersebut padat. Klasifikasi lesi yang dapat dilihat dari
aspirasi yaitu:
● Jika aspirasi berupa udara dari kista mandibular, menunjukan adanya kista
tulang soliter.
● Jika aspirasi berupa darah menunjukan adanya suatu hematoma,
hemangioma, ataupun pembuluh darah
● Aspirasi pus menunjukan adanya suatu abses atau kista yang terinfeksi
● Aspirasi keratin yang terlihat seperti pus namun tidak berbau menunjukan
adanya keratosis odontogenik
● Aspirasi cairan mengandung kristal berwarna kekuningan menunjukan
adanya kista peruiodontal atau dentigerous.
Pemberian label pada botol spesimen dan pengisian formulir permintaan tes:
Pengemasan spesimen:
2. Maag:
Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung atau
gangguan kesehatan yang disebabkan oleh faktor iritasi dan infeksi, asam lambung
berlebih yang diproduksi tubuh lama kelamaan dapat menekan katup lambung
hingga terjadinya arus balik isi gastrik ke arah eksofagus (GERD) sehingga secara
pasif asam lambung dapat mencapai rongga mulut, kondisi ini dapat memicu
beberapa hal seperti: (Hirlan, 2009)
Pertimbangan dental:
● Dysgeusia
adalah suatu kondisi di mana sensasi rasa busuk, mulut terasa asin, tengik,
atau logam akan bertahan di mulut.
● Gigi sensitive
Gigi terasa ngilu karena terkikisnya tubuli dentin
● Erosi gigi
Terkikisnya enamel gigi yang disebabkan oleh asam
● Pulpitis
● Perubahan mukosa (eritema dan atrofi)
3. Rheumatic fever:
Demam reumatik merupakan komplikasi dari radang tenggorokan, dan penyakit ini
biasanya terjadi pada 7 hari hingga 1 bulan setelah pengidap mengalami infeksi
tenggorokan. Demam reumatik atau disingkat "DR" merupakan suatu sindrom klinik
akibat infeksi streptococcus beta–hemplyticus golongan A. Bakteri ini adalah jenis
kokus gram positif, yang berkolonisasi di kulit dan faring. Organisme ini dapat
menyebabkan penyakit supuratif salah satunya yang dapat di temukan di rongga
mulut adalah faringitis, dan radang teggorokan (Rilantono Lily, 2013)
Faringitis streptococcus beta hemolityc grup A, terlihat eksudat yang khas pada tonsil
Infeksi virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan melemahkan kemampuan
tubuh untuk melawan infeksi (Depkes Australia, 2013). Beberapa manifestasi oral dari
penderita HIV yaitu:
6. TBC
● Kelainan yang terbentuk dirongga mulut sebagai infeksi sekunder dari TB paru
disebabkan oleh faktor sistemik seperti penurunan fungsi host dan peningkatan
virulensi dari organisme, serta faktor predisposisi lokal seperti oral hygiene buruk,
trauma local, adanya lesi seperti leukoplakia dan lainnya. Manifestasi TBC pada
rongga mulut diantaranya adalah ulser, pembesaran gingiva, glositis (atrofi lidah),
tuberkuloma, pembesaran kelenjar limfe, osteomyelitis. (Lestari, 2011).
7. Venereal disease
Venereal disease atau yang disebut infeksi menular seksual adalah suatu infeksi yang
disebabkan oleh berbagai bakteri maupun virus yang disebarkan melalui aktivitas seksual
(Depkes RI, 2016).
● Gonore
● Herpes genital
Virus herpes simpleks (Herpes simplex virus) tipe 2 dan tipe 1 dapat menimbulkan
infeksi pada rongga mulut, berupa penyakit gingivostamatitis, infeksi rekuren pada
area wajah dan bibir yaitu herpes labialis atau cold sore dengan bentuk berupa
vesikel di daerah tepi bibir.
● Sifilis
Penyakit yang disebabkan oleh abkteri Treponema pallidum. Manifestasi penyakit ini
pada rongga mulut adalah terjadinya atrofi lidah
8. Hipotensi
Hipotensi atau tekanan darah rendah adalah kondisi saat tekanan darah berada
dibawah rentang normal, kisaran tekanan rendah dapat mencapai 90/60 mmHg. (Soeprapto
Andrianto, 2017)
● Warna mukosa pucat akibat penurunan sirkulasi dan volume darah dalam tubuh
● Pembengkakan bibir dan lidah akibat penggunaan norepineprin dan midrodine
● Xerostomia akibat penggunaan obat – obatan (ex: midodrine)
(Erni, 2012)
9. Penyakit Jantung
a) Xerostomia
Xerostomia merupakan suatu sensasi subjektif kekeringan pada rongga mulut
yang diakibatkan karena berkurangnya aliran saliva ataupun karena adanya
perubahan komposisi pada saliva. Faktor penyebab yang paling sering
ditemukan pada penderita xerostomia adalah obat-obatan. Xerostomia yang
disebabkan karena obat-obatan berkaitan dengan kombinasi dan dosis dari obat
yang dikonsumsi oleh penderita. Obat-obatan dapat mempengaruhi aliran saliva
dengan meniru aksi sistem saraf otonom atau beraksi pada proses seluler untuk
salivasi secara langsung. Obat-obatan juga secara tidak langsung dapat
mempengaruhi salivasi dengan adanya perubahan pada keseimbangan cairan
dan elektrolit atau dengan mempengaruhi aliran darah menuju kelenjar.21
b) Reaksi Likenoid
Obat-obatan dapat menimbulkan manifestasi oral dalam bentuk
eritematous, vesikular, dan ulseratif. Lesi-lesi tersebut menyerupai liken planus
dan biasa disebut reaksi likenoid. Secara klinis dan histologis, reaksi likenoid
memang mirip dengan liken planus. Penyebab reaksi likenoid ini biasanya
dikaitkan dengan penggunaan obat-obatan, kontak langsung dengan bahan
restorasi dental, ataupun karena penyakit graft-versus-host.
Obat-obatan dapat menyebabkan tubuh seseorang menghasilkan respon imun
yang abnormal. Pada pasien dengan reaksi likenoid terdapat auto antibodi
sitoplasma sel-sel basal epitel. Di dalam sel-sel basal tersebut terdapat sel T
yang memiliki antigenitas pada permukaan selnya. Sel T kemudian dikenali
sebagai benda-benda asing sehingga terjadilah reaksi likenoid.
Reaksi likenoid akibat penggunaan obat-obatan2
c) Gingival Enlargement
Gingival enlargement adalah suatu pembengkakan pada gingiva yang
menyebabkan gingiva menjadi terlihat tidak berkontur lagi. Pada keadaan ini, gingiva
menjadi lebih besar dan ukurannya bertambah dari normal pada tepi gingiva, papilla
interdental, ataupun pada gingiva cekat di bagian sisi vestibular dan sisi oral.
Pembengkakan dapat menutupi sebagian ataupun keseluruhan bagian mahkota gigi.
Permukaannya bisa halus maupun berlobus, bentuknya fibrous, dan biasanya
ditemukan tanpa adanya inflamasi. Gingival enlargement juga dikenal dengan
sebutan hiperplasia gingiva.
Beberapa obat-obatan sering dihubungkan dengan terjadinya gingival
enlargement termasuk obat-obatan kardiovaskular seperti phenytoin dan calcium
channel blockers.
12. Asma
a. Xerostomia
Asma dapat menimbulkan gejala sesak nafas dengan meningkatnya kecepatan
pernafasan, dan karena usaha penderita untuk menghirup nafas sebesar-besarnya
maka penderita menghirup udara melalui mulut.Ini dikenali sebagai mouth breathing.
Mouth breathing adalah kebiasaan bernafas melalui mulut daripada hidung. Mouth
breathing dapat menimbulkan xerostomia. Xerostomia adalah keadaan di mana mulut
kering akibat pengurangan atau tiadanya aliran saliva. Xerostomia merupakan gejala
dari berbagai kondisi seperti perawatan yang diterima, dan merupakan salah satu efek
samping dari obat-obatan asma yang dapat berhubungan atau tidak berhubungan
dengan penurunan fungsi kelenjar saliva. Pada penderita asma, penggunaan obat-
obatan asma terutama yang termasuk dalam golongan beta-2 agonis mempengaruhi
aliran saliva secara langsung dengan memblokade sistem syaraf dan menghambat
sekresi saliva
b. Karies
Saliva berfungsi untuk membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan dan
kuman serta mempunyai peran sebagai antibakterial dan sistem bufer.Penurunan pH
saliva dan jumlah saliva yang kurang menyebabkan peningkatan bakteri Lactobacilli
dan Streptococcus mutans di dalam rongga mulut yang menyebabkan terbentuknya
karies. Selain itu, tingkat karies yang lebih tinggi pada penderita asma juga dikaitkan
dengan adanya karbohidrat yang difermentasi (fermentable carbohydrate) dalam obat
asma. Beberapa inhaler bubuk kering mengandung gula (lactose monohydrate)