Anda di halaman 1dari 33

BAB 1I

KONVERSI BIOKIMIA BIOMASSA

2.1 Fermentasi Etanol


2.1.1 Pendahuluan Etanol
Etanol merupakan salah satu produk hasil fermentasi dari bahan yang
mengandung gula sederhana, pati, atau bahan berserat lainnya. Bioproses
etanol dapat diawali dengan pemecahan gula atau pati menjadi bentuk sederhana
yang berlangsung dengan hidrolisis atau reaksi enzimatis (Azizah dkk., 2012).
Etanol memiliki rumus kimia C2H5OH dan dikenal juga sebagai alkohol. Etanol
dipakai sejak ratusan tahun lalu untuk meragikan gula menjadi arak sebagai
minuman keras. Etanol juga dapat dimanfaatkan dalam bidang pengobatan,
pangan, pembuatan kosmetik, dan bahan bakar (Sebayang, 2006).
Etanol merupakan bahan alami yang dihasilkan dari proses fermentasi
yang banyak ditemui dalam produk bir, anggur, spiritus, dan sebagainya. Sebutan
alkohol biasanya diartikan sebagai etil alkohol (CH3CH2OH), mempunyai
densitas 0,78506 g/ml pada 25ºC, titik didih 78,4ºC, tidak berwarna, dan
mempunyai bau serta rasa yang spesifik.
Bioetanol merupakan bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat
seperti minyak premium. Di pasaran dikenal gasohol yang merupakan campuran
antara bensin dan bioetanol. Pencampuran bioetanol absolut sebanyak 10%
dengan bensin 90% sering disebut Gasohol E-10. Gasohol singkatan dari
gasoline (bensin) dan alkohol (bioetanol). Etanol absolut memilki angka oktan
(ON) 117, sementara premium hanya 87-88. Gasohol E-10 secara
proporsional memiliki angka oktan 92 atau setara dengan Pertamax.

2.1.2 Proses Konversi Fermentasi Etanol


Pembuatan bietanol pada dasarnya terdapat tiga tahap pokok, yaitu
Hidrolisis, Fermentasi, dan Destilasi. Perbedaan teknik pembuatan bioetanol dari
satu jenis bahan ke jenis bahan yang lain adalah terletak pada jenis bahan yang
digunakan sebagai bahan baku bioetanol yang berpengaruh pada perbedaan
perlakuan pra hidrolisis. Berikut merupakan tahap pokok pembuatan bioetanol :
a. Hidrolisis
Gigih (2015) proses mengubah karbohidrat menjadi gula sederhana
disebut dengan hidrolisis. Pada prinsipnya hidrolisis merupakan proses
pemecahan rantai polimer bahan menjadi monomer-monomer sederhana.
Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan berbagai
metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi, ataupun kombinasi keduanya. Hal
tersebut juga didukung oleh pernyataan menurut Bambang dkk. (1992) yang
mengatakan bahwa hidrolisis dapat dilakukan dengan asam maupun enzim.
Hidrolisa asam seringkali menggunakan jenis asam berupa asam klorida
(HCl) atau asam sulfat (H2SO4). Selain jenis asam, konsentrasi asam juga sangat
penting untuk diperhatikan dalam proses hidrolisis. Hidrolisis dengan asam pekat
menghasilkan kadar gula reduksi yang lebih tinggi dibandingkan hidrolisis
dengan asam encer.
Proses hidrolisis asam menurut Adnan (2012) dapat dikatakan sederhana
dan dapat langsung diketahui hasilnya, namun memiliki beberapa kekurangan.
Proses hidrolisis asam sering menghasilkan produk campuran glukosa, selobiosa,
dan produk hidrolisis hemiselulosa, serta degradasi produk dari pemecahan
monomer gula menjadi aldehid dan keton. Rendemen glukosa yang tinggi dapat
dihasilkan dari hidrolisis asam bila dicapai dengan kondisi yang optimum. Pada
metode hidrolisis asam, limbah lignoselulosa dipaparkan dengan asam pada suhu
dan tekanan tertentu selama waktu tertentu. Proses hidrolisis asam menghasilkan
monomer gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa. Sementara pada proses
hidrolisis enzimatis dilakukan dengan penambahan enzim alphaamilase dan
amiglukosidae. Kelemahan hidrolisis enzim pada bahan ubi kayu yaitu substrat
masih menyisakan serat dan sedikit pati. Selain itu metode hidrolisis secara
enzimatis juga relatif mahal dan memerlukan waktu yang cukup lama.
b. Fermentasi
Fermentasi dapat diartikan sebagai semua kegiatan mikrobia hasil aerob
maupun annaerob yang menghasilkan suatu proses perubahan kimia spesifik
pada suatu substrat organik. Sementara fermentasi alkohol dapat diartikan
sebagai perubahan senyawa-senyawa gula (substrat) oleh mikrobia yang
menghasilkan alkohol dan gas CO2.
Reaksi kimia proses fermentasi :

C6H12O6 yeast C2H5OH + 2CO2

Glukosa etanol
Pada proses ini glukosa mengalami proses fermentasi dengan adanya
enzim zimase/invertase yang dihasilkan oleh Saccharomyces cerevisiae. Fungsi
enzim zimase adalah untuk memecah polisakarida (pati) yang masih
terdapat dalam proses hidrolisis untuk diubah menjadi monosakarida (glukosa),
sedangkan enzim invertase mengubah monosakarida menjadi alkohol dengan
proses fermentasi. Pada awal fermentasi masih diperlukan oksigen untuk
pertumbuhan dan perkembangan Saccharomyces cerevisiae, tetapi kemudian
tidak dibutuhkan lagi karena kondisi proses yang diperlukan adalah anaerob.

Terdapat Beberapa jenis fermentasi berdasarkan bahan yang digunakan,


yaitu:
A. Fermentasi Etanol Untuk Bahan - Bahan Sakarin
Dalam fermentasi etanol bahan sakarin seperti glukosa, fruktosa, dan
sukrosa dimetabolisme oleh strain ragi melalui jalur glikolisis (Embden-
Meyerhof Pathway) untuk menghasilkan etanol dan karbon dioksida pada
kondisi anaerob (Persamaan 1).

C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2 (1)


100 g 51.14 g 48.86 g
Fermentasi etanol adalah reaksi biologis pada suhu kamar dan pada
tekanan atmosfer. Saccharomyces cerevisiae adalah ragi yang banyak
digunakan untuk industri dan produksi bahan bakar etanol, dan memiliki
kemampuan yang sangat baik dalam fermentasi etanol dan toleransi terhadap
etanol. Strain ragi menghasilkan 51,14 g etanol dari 100 g glukosa menurut
persamaan (1). Dalam reaksi ini hampir 50% berat glukosa hilang sebagai
karbon dioksida, tetapi sekitar 91% dari energi yang terkandung dalam
glukosa (2,872 MJ/mol) dipertahankan dalam etanol. Oleh karena itu,
fermentasi etanol adalah proses biologis yang sangat baik untuk mengonversi
biomassa menjadi bahan bakar etanol. Sel-sel ragi pertama kali diisolasi dari
biakan murni bir pada tahun 1883 di Denmark dan banyak pekerjaan yang
dilakukan pada jalur metabolisme mereka saat fermentasi etanol. S. cerevisiae
dapat memfermentasi gula termasuk glukosa, fruktosa, galaktosa, manosa,
sukrosa, maltosa, kecuali pentosa seperti xilosa dan arabinosa. Pichia stipitis
dan Pachysolen tannophilus dikenal sebagai ragi yang mampu memfermentasi
pentosa, tetapi mereka tidak begitu toleran terhadap etanol seperti S.
cerevisiae. penelitian untuk perbaikan strain untuk membangun strain S.
cerevisiae memiliki kemampuan untuk memfermentasi pentosa sedang
banyak dilakukan di berbagai laboratorium.
Selain S. cerevisiae, Zymomomas mobilis adalah bakteri yang sangat
baik untuk memfermentasi berbagai gula seperti glukosa, fruktosa dan sukrosa
menjadi etanol. Hasil fermentasi dan tingkat fermentasi Z. mobilis seharusnya
lebih baik daripada ragi S. cerevisiae, namun Z. mobilis tidak begitu toleran
terhadap etanol sebagaimana S. cerevisiae. Zymobacter palmae, yang diisolasi
pada tahun 1980 di Jepang, memiliki kemampuan fermentasi etanol sama
dengan Z. mobilis dan urutan genom dasarnya telah ditemukan baru-baru ini.
Peningkatan strain dari Z. mobilis dan Z. Palmae tentang fermentasi pentosa
dan manosa telah berhasil dibuat di Jepang. Pentosa terkandung pada
konsentrasi yang relatif tinggi dalam kayu keras dan tanaman herba, dan
manosa adalah komponen karakteristik dari kayu lunak.
Bahan-bahan sakarin yang digunakan untuk produksi etanol pada skala
besar adalah jus dan molase dari tebu dan gula bit. Molase adalah produk
sampingan yang berupa biang cair terkonsentrasi setelah kristalisasi gula.
Konsentrasi gula dari molase adalah sekitar 50% dan mengandung glukosa,
fruktosa dan sukrosa sebagai komponen gula utama. Bahan-bahan sakarin ini
adalah substrat yang baik untuk fermentasi etanol oleh ragi dan Zymomonas.
Banyak jus tebu digunakan untuk produksi etanol di Brazil dan India.
Ketika hasil fermentasi adalah 82% (berdasarkan gula total), dan konsentrasi
gula molase adalah 55%, jumlah molase yang diperlukan untuk menghasilkan 1
m3 (kL) etanol 95% adalah 3,3 t-basah.
Bahan-bahan sakarin yang unik adalah whey susu dan molase jeruk.
Dalam industri susu Selandia Baru, misalnya, sejumlah besar whey susu yang
mengandung sekitar 4% laktosa dibuang. Mereka menggunakan limbah whey
untuk fermentasi etanol untuk memulihkan nilai tambah produk sampingan
dan untuk mengurangi BOD.

B. Fermentasi Etanol Dari Pati


Pati merupakan polimer dari glukosa di mana unit glukosa terhubung satu
sama lain melalui ikatan α-1,4 dan α-1,6. Bahan bertepung pertama-tama
dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan enzim amilase (Persamaan
(2)).

(C6H10O5)n + nH2O → nC6H12O6 (2)


bobot molekul n(162.14) n(18.02) n(180.16)
100 g 11.11 g 111.11 g

Bahan bertepung pertama-tama dimasak pada suhu antara 100 dan 130°C
dan kemudian dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan α-amilase dan
gluko-amilase. Sejumlah besar etanol diproduksi dari jagung di Amerika Serikat
dan dari ubi jalar di Cina.
Prosedur memasak dengan suhu rendah untuk produksi etanol dari ubi jalar
yang ada di Jepang sampai tahun 1990 dijelaskan di bawah ini. Ubi jalar mentah
ini pertama dihancurkan oleh hammer-mill dimasak pada 80-90°C selama 60
menit, ditambah dengan α-amilase untuk mencairkan pati dan untuk
mengurangi viskositas, dan kemudian didinginkan sampai suhu sekitar 58°C.
Pati cair dihidrolisis menjadi glukosa dihidrolisis selama dua jam oleh gluko-
amilase. Konsentrasi Glukosa bubur disesuaikan di sekitar 15%. Bir
fermentasi dengan etanol sekitar 8% vol diperoleh setelah empat hari
fermentasi secara batch pada 30-34°C. Ketika nilai pati ubi jalar sebesar
24,3% (27% setara glukosa), dan hasil fermentasi sebesar 92%, jumlah ubi
jalar yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 m3 (kL) etanol 95% adalah 6.03
t-basah.
Gambar 2.1 Proses produksi etanol dan sirup berkadar fruktosa tinggi dari
jagung. (Dimodifikasi dari (Elander. 1996)).

Bahan bakar etanol di Amerika Serikat sebagian besar diproduksi dari


jagung. Dalam proses secara basah jagung direndam dalam larutan encer
sulfit, difraksinasi menjadi pati, kecambah, gluten dan serat. Fraksi pati
dihidrolisis menjadi glukosa oleh amilase setelah pemasakan dan kemudian
difermentasi oleh ragi. Salah satu proses fermentasi yang populer adalah
proses fermentasi kontinyu dengan beberapa tangki fermentasi yang
terhubung secara seri dimana sel-sel ragi didaur ulang melalui mesin pemisah
sehingga menghasilkan tingkat fermentasi yang tinggi. Proses batch
tradisional juga dipraktekkan di beberapa pabrik ethanol.

C. Fermentasi Etanol Dari Lignoselulosa


Biomassa lignoselulosa umumnya terdiri atas selulosa, hemiselulosa dan
lignin. Sebelum fermentasi etanol, biomassa harus menjalani pra-perlakuan
dengan asam atau basa, dan/atau dengan selulase agar terhidrolisa menjadi
larutan gula.
Tabel 2.1. Komposisi dari berbagai biomasa (%)
Biomassa Selulosa Hemiselulosa Lignin
Kayu lunak 43 28 29
Kayu keras 43 35 22
Jerami padi 38 25 12
Kertas kantor 69 2 11

a. Proses Asam sulfat pekat


Proses dari Arkenol Co Ltd (AS) telah dimodifikasi dan ditingkatkan di
proyek NEDO antara tahun 2001 dan 2005. Asam sulfat pekat disemprotkan
pada serpihan kayu (kelembaban sekitar 15%) yang kemudian dibuat adonan
dengan baik pada suhu kamar. Selama pembuatan adonan, struktur dari
selulosa menjadi tidak mengkristal. Konsentrasi asam sulfat kemudian
disesuaikan pada 20 sampai 30% dengan menambahkan air, dan bahan kayu
dibiarkan pada suhu sekitar 90°C selama 10 sampai 15 menit untuk hidrolisis.
Setelah fraksi padat dikeluarkan melalui filtrasi, komponen gula dipisahkan
dari asam pada kromatografi penukar ion. Larutan Gula yang mengandung
heksosa dan pentosa difermentasi oleh ragi atau strain Zymomonas yang
direkayasa genetika. Asam sulfat dikonsentrasikan lagi untuk penggunaan
kembali.
b. Proses Asam sulfat Encer
Fraksi hemiselulosa didegradasi menjadi gula yang terutama terdiri atas
pentosa dan beberapa heksosa melalui pertama perlakuan asam sulfat encer
(0,5-1,0%) pada 150-180°C, dan sekitar 1 MPa (10 atm). Fraksi residu yang
mengandung selulosa dan lignin diperlakukan lagi dengan konsentrasi yang
sama dari asam encer tersebut pada 230-250°C dan pada 3-5 MPa (30-50 atm)
untuk menghasilkan glukosa. Hasil gula dari perlakuan pertama dan kedua
masing-masing dilaporkan sekitar 90% dan 50-60%. Di pabrik etanol
"Bioetanol Jepang Kansai" (Osaka, Jepang), yang telah dioperasikan sejak
Januari, 2007, larutan gula hanya dari fraksi hemiselulosa kayu dilaporkan
dikonversi menjadi etanol melalui fermentasi oleh E. coli yang dimodifikasi
secara genetik.
Di Amerika Serikat, penelitian kelompok termasuk NREL telah
ditantang untuk meningkatkan aktivitas selulase untuk keperluan industri
dalam proses asam sulfat encer. Target mereka adalah, dilaporkan, untuk
memulai produksi bioetanol dari biomassa seperti brangkasan jagung pada
tahun 2013.

Parameter Fermentasi Etanol


Sebelum proses fermentasi dilaksanakan, terdapat beberapa faktor yang
perlu diperhatikan dan berpengaruh pada proses fermentasi, yaitu :
a. Mikroba
Sudah diketahui bahwa proses penghasil etanol secara fermentasi
dilakukan oleh mikroba. Jenis mikroba yang digunakan dalam proses fermentasi
sangat berpengaruh pada etanol yang dihasilkan. Bila dilihat dari jenisnya, maka
terdapat beberapa jenis mikroorganisme yang banyak digunakan dalam proses
fermentasi diantaranya khamir, kapang, dan bakteri. Akan tetapi tidak semua
mikroorganisme tersebut dapat digunakan secara langsung karena masih
diperlukan seleksi untuk menjamin berlangsungnya proses fermentasi. Pemilihan
mikroorganisme biasanya didasarkan pada jenis substrat (bahan) yang digunakan
sebagai medium, misalnya untuk menghasilkan bioetanol digunakan khamir
Saccharomyces cerevisiae, untuk mengoksidasi alkohol menjadi asam asetat
digunakan bakteri Acetobacter. Seleksi ini bertujuan untuk mendapatkan
mikroorganisme yang mampu tumbuh dengan cepat dan mempunyai
toleransi tinggi terhadap konsentrasi gula yang tinggi sehingga dapat
menghasilkan kadar bioetanol yang dikehendaki.
b. Sumber Karbon
Sumber karbon yang ada disesuaikan dengan jenis mikroorganisme yang
digunakan.Sebagai contoh, laktosa tidak cocok untuk yeast (ragi) karena
yeast tidak menghasilkan laktase yang digunakan untuk memecah laktosa.
Konsentrasi gula juga berpengaruh terhadap proses fermentasi, dimana pada
konsentrasi gula 25% yeast akan mulai terhambat aktivitasnya, sedangkan
apabila konsentrasi terlalu rendah (sekitar 5%) maka gula yang ada akan habis
untuk energi saja.
c. Sumber Nitrogen dan Unsur Hara lain
Apabila dalam substrat kekurangan unsur nitrogen maka dapat
ditambahkan dalam bentuk asam-asam amino, pepton, peptida, ammonium
fosfat, maupun ammonium sulfat. Bentuk ammonium merupakan bentuk yang
paling mudah digunakan oleh yeast. Unsur hara lain yang dibutuhkan cukup
banyak utnuk fermentasi diantaranya P, K ,Mg, dan Ca, sedangkan unsur Fe dan
Cu dibutuhkan dalam jumlah kecil.
d. Kadar Alkohol
Kadar alkohol akan mempengaruhi pertumbuhan yeast, yaitu apabila
konsentrasi alkohol semakin tinggi maka yeast akan terhambat. Pada kadar
alkohol 16% aktivitas yeast mulai terhambat. Yeast umumnya lebih tahan
(toleran) terhadap etanol dibanding dengan mikroorganisme lain. Alkohol
berantai panjan akan bersifat toksik. Yeast akan terhambat oleh alkohol bila
dicapai Delle Unit (DU) sebesar 75-85, sedangkan DU = a + 4,5 c, dimana a
adalah presentase gula dalam substrat (berat/volume), dan c adalah presentase
etanol (volume/volume).
e. Karbondioksida (CO2)

Karbondioksida berpengaruh pada tekanan saat fermentasi dilakukan,


sehingga CO2 yang dihasilkan akan dapat mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme yang digunakan. Oleh sebab itu CO2 yang dihasilkan harus
dialirkan ke luar ruang fermentasi. Yeast akan mulai terhambat pada tekanan
15 g/l CO2.
f. Temperatur
Temperatur diatur sesuai dengan temperatur optimum sesuai dengan
mikroorganisme yang digunakan.
g. Aerasi
Aerasi diberikan untuk suplai oksigen pada yeast sehingga hasil glukosa
yang berupa asam piruvat tidak berubah menjadi CO2 melainkan menjadi etanol.
Akan tetapi, bila suplai oksigen tersebut terlalu banyak maka piruvat akan
dioksidasi melalui siklus Kreb sehingga tidak berbentuk etanol.
2.1.3 Teknologi Etanol

Gambar 2.2 Fermentasi etanol melalui proses Melle-Boinot (Saiki, 2007)

2.1.4 Produk
Berikut merupakan tabel toleransi alkohol pada beberapa macam yeast dan
macam mikroorganisme yang dapat digunakan untuk fermentasi alkohol dengan
substrat yang digunakan menurut Bambang dkk. (1992) :
Tabel 2.2 Toleransi Alkohol pada Beberapa Macam Yeast
Toleransi alkohol (% berat
Nama yeast
alkohol)
Saccharomyces cerevisiae Hansen 5,79-11,58
Saccharomyces cerevisiae Hansen Rasse XII 8,68
Saccharomyces cerevisiae Hansen Rasse M 10,61
ZygoSaccharomyces soja B 4,82
SchizoSaccharomyces mellacei Jorgenson 7,72
Saccharomyces ellipsoideus Hansen 9,65
SchizoSaccharomyces pombe 8,68

Manfaat Etanol
Widayatnim (2015) etanol banyak digunakan sebagai pelarut, germisida,
minuman bahan anti beku, bahan bakar, dan senyawa untuk sintesis senyawa-
senyawa organik lainnya. Etanol sebagai pelarut banyak digunakan dalam
industri farmasi, kosmetika, dan resin maupun laboratorium. Di Indonesia,
industri minuman merupakan pengguna terbesar etanol, disusul berturut-turut
oleh industri asam asetat, industri farmasi, kosmetika, rumah sakit, dan industri
lainnya. Etanol juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan senyawa
asetaldehid, butadiena, dietel eter, etil asetat, asam asetat, dan sebagainya.
Penggunaan etanol sebagai bahan bakar mempunyai prospek yang cerah.
Etanol dapat digolongkan sebagai bahan yang dapat diperbarukan karena dapat
dibuat dari bahan baku yang berasal dari tumbuh- tumbuhan. Asyeni (2010)
etanol dapat dibuat dari berbagai bahan hasil pertanian dan bukan bahan hasil
pertanian, misalnya etilen. Bahan hasil pertanian dapat dibagi dalam tiga
golongan, yaitu bahan yang mengandung turunan gula (molase, gula tebu, gula
bit, sari buah anggur, dan sari buah lainnya), bahan-bahan yang mengandung
pati (biji-bijian, kentang, tapioka), bahan yang mengandung selulosa (kayu,
jerami padi, dan beberapa limbah pertanian lainnya). Secara umum, produksi
bioetanol mencakup tiga proses, yaitu hidrolisis, fermentasi, dan pemurnian atau
destilasi.

2.2 Fermentasi Aseton – Butanol


2.2.1 Pendahuluan Fermentasi Aseton – Butanol
Fermentasi aseeton-butanol adalah reaksi dimana aseton dan butanol
dihasilkan dari glukosa dengan menggunakan Clostridium, bakteri anaerobik
ketat. Selanjutnya, etanol juga diproduksi. Oleh karena itu, fermentasi aseton-
butanol juga disebut sebagai fermentasi ABE. Clostridium tersebar luas di
tanah, dan mengeluarkan amilase, xilanase, protease dan lipase dari sel. Ada
dua jenis strain yang digunakan dalam fermentasi aseton-butanol. Salah
satunya adalah jenis Weizmann yang menghasilkan butanol dari pati, dan
yang lainnya adalah jenis Saccaro yang menghasilkan butanol dari sukrosa.
Fermentasi aseton-butanol memiliki sejarah panjang dan merupakan
suatu teknologi industri. Fermentasi aseton-butanol digunakan untuk
memproduksi aseton sebagai bahan baku bubuk tanpa asap dalam Perang
Dunia I dan butanol untuk bahan bakar pesawat tempur dalam Perang Dunia
II. Setelah Perang Dunia II, fermentasi aseton-butanol tidak lagi digunakan
karena pengembangan kimia minyak bumi. Baru-baru ini, butanol ditinjau
sebagai biofuel.

2.2.2 Proses Konversi Fermentasi Aseton – Butanol


Strain bakteri yang digunakan untuk produksi industri butanol adalah
bakteri penghasil aseton-butanol dan bakteri penghasil butanol-isopropanol
yang menghasilkan butanol dan isopropanol, produk sebelum menjadi aseton.
Jalur reaksi. Glukosa didekomposisi menjadi piruvat, asetil-KoA, dan
asetoasetil-KoA melalui jalur EMP, dan akhirnya dihasilkan aseton, butanol,
isopropanol dan etanol. Persamaan stokiometri fermentasi aseton-butanol
ditampilkan dalam Persamaan 3.

95C6H12O6 → 60C4H9OH + 30CH3COCH3 + 10C2H5OH + 220CO2 + 120H2 + 30 H2O (3)

Dalam fermentasi aseton-butanol, butanol secara bertahap terakumulasi


dan menyebabkan penghambatan produksi di lebih dari 3 kg/m 3 (g/L) dari
konsentrasi butanol. Ketika penghambatan produksi terjadi, pertumbuhan sel-
sel bakteri, konsumsi substrat, dan akumulasi produk ditekan. Konsentrasi
akhir butanol mencapai sekitar 30 kg/m3 (g/L). Setelah fermentasi, larutan
kultur disuling dan produk dipisahkan oleh perbedaan titik didihnya, misalnya
aseton (TD 56,3°C), etanol (TD 78,3°C) dan butanol (TD 117°C).
Gambar 2.3 Jalur reaksi fermentasi aseton-butanol.

2.2.3 Produk Fermentasi Aseton-Butanol


Fermentasi aseton-butanol diindustrialisasi untuk pasokan bahan baku
bubuk tanpa asap dan pesawat tempur. Saat ini, aseton dan butanol disintesis
di industri perminyakan. Biofuel, aditif bensin atau diesel terbarukan sekarang
mendapat banyak perhatian di seluruh dunia. Butanol dapat ditambahkan ke
keduanya baik bensin maupun diesel dan memiliki afinitas lebih untuk bensin
daripada etanol. Oleh karena itu, butanol akan menjadi biofuel yang
menjanjikan.
2.3 Fermentasi Hidrogen
2.3.1 Pendahuluan
Biohidrogen merupakan hidrogen yang dihasilkan dengan proses biologi
dari bahan-bahan yang terbarukan, seperti biomassa, limbah bioamassa, limbah
pertanian, limbah industri, dan lain-lain (Ntaikou dkk, 2010). Salah satu contoh
bahan baku yang potensinya cukup besar di Indonesia adalah limbah cair pabrik
kelapa sawit, limbah pabrik tapioka dan limbah pabrik tebu (molases).
Biohidrogen dapat diproduksi dari bahan-bahan terbarukan melalui proses
biologi yang melibatkan mikroba. Proses ini lebih dikenal dengan proses
fermentasi atau anaerobic digestion. Bahan baku yang mengandung senyawa
organik seperti gula, karbohidrat, protein dan lemak dimasukkan dalam fermentor
yang mengandung mikroba tertentu sehingga terjadi proses penguraian senyawa
organik menjadi gas hidrogen dan karbon dioksida. Selain itu juga dihasilkan
cairan yang mengandung asam-asam organik seperti asam asetat, asam butirat,
etanol. Selanjutnya, caran ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk cair.
Fermentasi anaerobik adalah reaksi dimana mikroorganisme anaerobik
secara oksidatif mengurai bahan organik untuk mendapatkan energi dalam
kondisi anaerobik. Kita sebut reaksi fermentasi ini fermentasi hidrogen jika
hidrogen adalah produk akhir proses. Dalam proses fermentasi hidrogen,
beberapa bahan organik dan alkohol diproduksi bersama dengan hidrogen.
Meskipun akseptor elektron terakhir adalah oksigen atau bahan anorganik
dalam respirasi, bahan organik yang terurai dan karbon dioksida dll dari bahan
substrat adalah produk akhir dalam fermentasi. Sebagai contoh, produk akhir
adalah etanol dan karbon dioksida dari glukosa selama fermentasi etanol.
Sementara sintesis ATP digabungkan dengan rantai transfer elektron dalam
respirasi, ATP dihasilkan dalam reaksi pada tingkat substrat dalam fermentasi.
Energi yang diperoleh dari fermentasi lebih kecil daripada yang dari respirasi
untuk jumlah substrat yang sama.
Peran dari produksi hidrogen adalah untuk mengatur tingkat oksidasi-
reduksi dalam sel bakteri dengan mengubah kelebihan tenaga pengurangan
menjadi hidrogen. Ada bakteri yang dapat mengambil dan memanfaatkan
hidrogen tersebut. Dalam rangka meningkatkan hasil hidrogen, reaksi
sebaliknya konsumsi hidrogen harus ditekan. Umumnya, diperlukan perlakuan
air limbah dari proses fermentasi hidrogen, karena proses fermentasi hydrogen
juga memproduksi beberapa bahan organik.

2.3.2 Proses Konversi Fermentasi Hidrogen


Bakteri penghasil hidrogen diklasifikasikan menjadi 2 jenis oleh
perbedaan dalam reaksi enzim. Salah satunya adalah bakteri dengan
hidrogenase, dan yang lainnya dengan nitrogenase.

Hidrogenase: 2H+ + X2- → H2 + X (4)


Nitrogenase: 2H + 2e + 4ATP → H2 + 4ADP + Pi
+ -
(5)
X: pembawa elektron, Pi: fosfat anorganik

Seperti ditunjukkan pada reaksi di atas, hidrogenase mengkatalisis reaksi


kebalikan dari evolusi dan penyerapan hidrogen. Di sisi lain, reaksi oleh
nitrogenase membutuhkan energi (ATP). Pada fermentasi anaerob, reaksi oleh
hidrogenase utamanya diperiksa. Penggambaran reaksi fermentasi hidrogen
adalah sebagai berikut:

C6H12O6 + 2H2O → 2CH3COOH + 2CO2 + 4H2 ΔG0’ = -184 k (6)


C6H12O6 → CH3CH2CH2COOH + 2CO2 + 2H2ΔG0’ = -257 kJ (7)

Gambar 2.4 menunjukkan jalur fermentasi hidrogen. Hidrogen terbentuk


dari hidrogenase baik melalui NADH dan ferredoxin, melalui ferredoxin saja,
atau melalui format-liase. Dalam proses fermentasi hidrogen, hidrogen
diproduksi dari dekomposisi oksidatif dari substrat organik. Oleh karena itu,
fermentasi hidrogen digunakan dalam perlakuan limbah dan air limbah.
Dalam kasus tersebut, perlakuan berikut seperti fermentasi metana atau
metode lumpur aktif diperlukan, karena proses fermentasi hidrogen menyertai
produksi asam organik. Laju reaksi fermentasi hidrogen cepat dibandingkan
dengan fermentasi metana. Hal ini mungkin menjanjikan pada metode pra-
perlakuan fermentasi metana.
Gambar 2.4 Jalur fermentasi hidrogen

2.3.3 Teknologi Fermentasi Hidrogen


PTSEIK – BPPT telah mengembangkan proses biohidrogen dari limbah
nabati/biomassa. Sebelumnya telah mengembangkan proses produksi biohidrogen
dari gliserol, molasses, dan lainnya. Saat ini focus pada proses biohidrogen dari
limbah cair pabrik kelapa sawit (POME), dimana potensi POME ini cukup tinggi
di Indonesia. Bekerjasama dengan Feng Chia University, Taiwan
mengembangkan biohidrogen dari limbah cair kelapa sawit. Penelitian ini
ditunjang dengan fasilitas fermentor kapasitas 40 liter, dimana prototype ini telah
memperoleh paten dengan ID P0032048 pada tahun 2010 fermentor 1 m3 untuk
produksi biogas.

Gambar 2.5 Sistem Produksi Biohidrogen


Selain sebagai bahan baku industri seperti ammonia, kilang minyak,
produksi methanol dan lain-lain, hidrogen dapat digunakan sebagai bahan bakar.
Hidrogen memiliki kisaran flammability yang lebar, yakni antara 4-75%. Kisaran
ini lebih besar dibandingkan dengan metana dan bensin, yaitu masing-masing 4,3-
15% dan1,4-7,6%. Selain itu energi ignition-nya rendah, yakni 0,02 mJ, yang
berarti bahwa ketika hidrogen berada pada kisaran konsentrasi flammability
hidrogen mudah terbakar dengan adanya sedikit energi. Sedangkan energi ignition
metana dan bensin masing-masing 0,24 dan 0,28 mJ. Hal ini menunjukkan bahwa
hidrogen merupakan gas yang mudah terbakar. Kecepatan pembakaran juga
tinggi, yakni 1,85 m/s.

Gambar 2.6 Teknologi proses biohidrogen dari limbah dan aplikasinya

Biohidrogen ini dapat diguakan sebagai bahan bakar dan penggunaannya


dapat untuk penerangan, rumah tangga, transportasi, komunikasi (Base Transfer
Station/BTS)dan lain-lain. Alat untuk mengkonversi hidrogen menjadi energi ini
dapat berupa Internal Combustion Engine (ICE) atau fuel cell. Menurut penelitian,
ICE berbahan bakar hidrogen memiliki nilai oktan lebih besar dari 120 sehingga
menghasilkan sedikit ketukan dibandingkan dengan bensin yang memiliki nilai
oktan 95. Selain digunakan dalam bentuk murni, hidrogen dapat diguakan sebagai
aditif yang dicampurkan dalam gas metana yang digunakan sebagai bahan bakar
dalam ICE. Campuran gas ini lebih dikenal sebagai hythane. Keuntungan dari
hythane ini adalah dapat digunakan untuk semua cuaca, tidak memerlukan
pemanasan, efisiensi 25% lebih besar dibandingkan dengan jika menggunakan gas
alam saja. Campuran ini biasanya mengandung 20% hidrogen dan 80% gas alam.
Pada rasio ini, tidak diperlukan modifikasi mesin dan dapat menurunkan emisi
lebih dari 20%.

2.3.4 Produk Fermentasi Hidrogen


Produk gas berevolusi dari fermentasi hidrogen dan metana mungkin
dapat digunakan untuk bahan bakar sel yang memiliki efisiensi konversi
energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan turbin gas dan mesin gas.
Metana dari fermentasi metana harus diubah menjadi hidrogen untuk bahan
bakar sel.

CH4 + 2H2O → CO2 + 4H2 ΔG0’ = 253 kJ (11)

Karena Persamaan 11 adalah reaksi endotermik, pasokan energi


dibutuhkan untuk melanjutkan reaksi. Umumnya, gas metana diubah menjadi
gas hidrogen dengan katalis nikel pada 650-750°C. Di sisi lain, dalam
fermentasi hidrogen, hasil energi lebih tinggi dari fermentasi metana dan
konversi katalitik dari metana tidak diperlukan untuk membuat gas hidrogen
menjadi bahan bakar sel.

2.4 Anaerobik Digesti


2.4.1 Pendahuluan Anaerobik Digesti
Anaerobik Digesti (AD) adalah proses biokimia di mana bahan organik
kompleks terurai tanpa oksigen, oleh berbagai jenis mikroorganisme anaerob.
Proses AD umumnya terjadi secara alami seperti sedimen air laut, perut
ruminansia atau rawa gambut. Dalam suatu instalasi biogas, hasil dari proses AD
adalah biogas dan digestate. Jika substrat untuk AD adalah campuran homogen
dari dua atau lebih jenis bahan baku (misalnya kotoran hewan dan limbah organik
dari industri makanan), prosesnya disebut "co-digestion" dan umum untuk
sebagian besar aplikasi biogas saat ini.

Substrat Anaerobik Digesti


Berbagai jenis biomassa dapat digunakan sebagai substrat (bahan baku)
untuk produksi biogas dari AD (Gambar 2.7, 2.8 dan 2.9). Kategori biomassa
yang paling umum digunakan dalam produksi biogas Eropa tercantum di bawah
ini.
 Kotoran hewan
 Residu pertanian dan produk sampingan
 Limbah organik yang dapat dicerna dari makanan dan agro industri (nabati dan
hewani)
 Fraksi organik dari sampah kota dan dari katering (nabati dan hewani)
 Limbah lumpur
 Tanaman khusus (dedicated energy crops) misalnya jagung, sorgum.

Gambar 2.7 Limbah organik yang di pabrik biogas Jerman (RUTZ 2008)
Gambar 2.8 Limbah Katering (RUTZ, 2007)

Gambar 2.9 Silase Jagung (RUTZ, 2007)

Pemanfaatan kotoran hewan dan bubur sebagai bahan baku AD memiliki


beberapa keunggulan karena sifat-sifatnya:
 Kandungan alami bakteri anaerob
 Kandungan air yang tinggi, bertindak sebagai pelarut untuk substrat lain dan
memastikan pencampuran dan aliran biomassa yang tepat
 Harga yang murah
 Aksesibilitas tinggi, dikumpulkan sebagai residu dari peternakan
Selama beberapa tahun terakhir, kategori baru bahan baku AD telah diuji
dan diperkenalkan di banyak negara, tanaman energi khusus (dedicated energy
crops)/DEC, yang merupakan tanaman yang ditanam secara khusus untuk energi,
masing-masing untuk produksi biogas. DEC dapat berupa herba (rumput, jagung,
raps) tetapi juga tanaman berkayu (willow, poplar, oak), meskipun tanaman
berkayu membutuhkan delignifikasi khusus sebelum Masehi.
Substrat yang mengandung lignin, selulosa, dan hemiselulosa dalam jumlah
tinggi juga dapat dicerna bersama, tetapi dalam kasus ini, perawatan awal
biasanya diterapkan untuk meningkatkan daya cerna.
Potensi hasil metana adalah salah satu kriteria penting evaluasi substrat AD
yang berbeda (Gambar 2.4). Terlihat jelas, kotoran hewan memiliki hasil metana
yang agak rendah. Oleh karena itu, dalam praksisnya, kotoran hewan tidak dicerna
sendiri, tetapi dicampur dengan substrat lain yang memiliki kandungan metan
tinggi, guna mendorong produksi biogas. Substrat umum, ditambahkan untuk co-
digestion dengan kotoran dan slurry, adalah residu berminyak dari industri
makanan, perikanan dan pakan, limbah alkohol, dari industri pembuatan bir dan
gula, atau bahkan tanaman energi yang dibudidayakan secara khusus.

Gambar 2.10 Yield metana untuk berbagai substrat (PRAßL 2007)

2.4.2 Proses Konversi Biokimia Anaerobik Digesti


Seperti yang dinyatakan sebelumnya, AD adalah proses mikrobiologis dari
penguraian bahan organik tanpa oksigen. Produk utama dari proses ini adalah
biogas dan digestate. Biogas merupakan campuran gas yang mudah terbakar yang
dihasilkan dari anaerobik digester, dimana penguraian bahan organik (seperti
kotoran hewan, kotoran manusia, dan tumbuhan) oleh bakteri tanpa menggunakan
oksigen. Digestate adalah substrat yang membusuk, hasil produksi biogas.
Proses pembentukan biogas merupakan hasil dari tahapan proses yang
saling terkait, dimana bahan awal terus menerus dipecah menjadi unit-unit yang
lebih kecil. Kelompok mikro-organisme tertentu terlibat dalam setiap langkah
individu. Organisme ini secara berturut-turut menguraikan produk dari langkah
sebelumnya. Diagram yang disederhanakan dari proses AD, yang ditunjukkan
pada Gambar 2.5, menyoroti tiga langkah proses utama: hidrolisis, asidifikasi, dan
metanogenesis.

Gambar 2.11 Tahap pembentukan biogas (Wahyuni, 2015)


Langkah-langkah proses berjalan paralel dalam ruang dan waktu, di tangki
digester. Kecepatan proses dekomposisi total ditentukan oleh reaksi rantai yang
paling lambat. Dalam kasus instalasi biogas, pengolahan substrat nabati yang
mengandung selulosa, hemi-selulosa dan lignin, hidrolisis adalah proses
penentuan kecepatan. Selama hidrolisis, sejumlah kecil biogas diproduksi.
Produksi biogas mencapai puncaknya selama metanogenesis.

Accumulated biogas yield


(m³/kg)
Gas production rate or biogas yield

Specific gas production rate


(m³/m³*d)

Average hydraulic retention time (HRT), in


days
Gambar 2.12 Produksi biogas setelah penambahan substrat sistem batch (LfU 2007)

a. Tahap Hidrolisis
Pada tahap ini bahan yang tidak larut seperti selulosa, polisakarida dan
lemak diubah menjadi bahan yang larut dalam air seperti glukosa. Bakteri
berperan mendekomposisi rantai panjang karbohidrat, protein dan lemak menjadi
bagian yang lebih pendek. Tahap pelarutan berlangsung pada suhu 25℃ di
digester.
Reaksi:
(C6H10O5)n(s) + n H2O(l) → n C6H12O6
Selulosa Air Glukosa

b. Tahap Asidifikasi
Pada tahap ini, bakteri asam menghasilkan asam asetat dalam suasana
anaerob. Tahap ini berlangsung pada suhu 25℃ di digester. Bakteri akan
menghasilkan asam yang akan berfungsi untuk mengubah senyawa pendek hasil
hidrolisis menjadi asam asam organik sederhana seperti asam asetat, H 2 dan CO 2.
Bakteri ini merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh pada keadaan asam.
Untuk menghasilkan asam asetat, bakteri tersebut memerlukan oksigen dan
karbon yang diperoleh dari oksigen yang terlarut dalam larutan.
Reaksi:
n (C6H12O6) → 2n (C2H5OH) + 2n CO2(g) + kalor
glukosa etanol karbondioksida

2n (C2H5OH)(aq) + n CO2(g) → 2n (CH3COOH)(aq) + n CH4(g)


etanol karbondioksida asam asetat metana
c. Tahap Metanogenisis
Pada tahap ini, bakteri metana membentuk gas metana secara perlahan
secara anaerob. Proses ini berlangsung selama 14 hari dengan suhu 25℃ di dalam
digester. Pada proses ini akan dihasilkan 70% CH 4, 30 % CO 2, sedikit H 2 dan
H 2 S (Price dan Cheremisinoff, 1981).
Reaksi:
2n (CH3COOH) → 2n CH4(g) + 2n CO2(g)
asam asetat metana karbondioksida

Parameter Anaerobik Digesti


Efisiensi AD dipengaruhi oleh beberapa parameter kritis, oleh karena itu
kondisi yang tepat untuk mikroorganisme anaerob harus disediakan. Pertumbuhan
dan aktivitas mikroorganisme anaerob sangat dipengaruhi oleh kondisi seperti
pengeluaran oksigen, suhu konstan, nilai pH, suplai nutrisi, intensitas pengadukan
serta keberadaan dan jumlah inhibitor (misalnya amonia). Bakteri metana
merupakan bakteri anaerob yang sensitif, sehingga keberadaan oksigen ke dalam
proses pencernaan harus benar-benar dihindari.
a. Temperatur
Proses AD dapat berlangsung pada suhu yang berbeda, dibagi menjadi tiga
rentang suhu: psikrofilik (di bawah 25℃), mesofilik (25 - 45℃), dan termofilik
(45 - 70℃). Ada hubungan langsung antara suhu proses dan HRT (Tabel 2.3).

Tabel 2.3 Thermal stage and typical retention times


Thermal stage Process temperatures Minimum retention time
psychrophilic < 20 °C 70 to 80 days
Mesophilic 30 to 42 °C 30 to 40 days
thermophilic 43 to 55 °C 15 to 20 days
Stabilitas suhu menentukan untuk AD. Dalam praktiknya, suhu operasi
dipilih dengan mempertimbangkan bahan baku yang digunakan dan suhu proses
yang diperlukan biasanya disediakan oleh sistem pemanas lantai atau dinding, di
dalam digester. Gambar 2.7 menunjukkan tingkat hasil biogas relatif tergantung
pada suhu dan waktu retensi.

Gambar 2.13 Hasil biogas relatif, pada suhu dan waktu retensi (LfU 2007)

Banyak instalasi biogas modern beroperasi pada suhu proses termofilik


karena proses termofilik memberikan banyak keuntungan, dibandingkan dengan
proses mesofilik dan psikrofilik:
 Penghancuran patogen yang efektif
 Laju pertumbuhan bakteri metanogenik yang lebih tinggi pada suhu yang
lebih tinggi
 Mengurangi waktu retensi, membuat proses lebih cepat dan lebih efisien
 Meningkatkan kecernaan dan ketersediaan substrat
 Degradasi substrat padat yang lebih baik dan pemanfaatan substrat yang
lebih baik
 Kemungkinan yang lebih baik untuk memisahkan fraksi cair dan padat
Proses termofilik juga memiliki beberapa kelemahan:
 Tingkat ketidakseimbangan yang lebih besar
 Permintaan energi yang lebih besar karena suhu tinggi
 Risiko penghambatan amonia yang lebih tinggi
Suhu operasi mempengaruhi toksisitas amonia. Toksisitas amonia
meningkat dengan meningkatnya suhu dan dapat dikurangi dengan menurunkan
suhu proses. Namun, ketika menurunkan suhu hingga 50 ° C atau lebih rendah,
laju pertumbuhan mikroorganisme termofilik akan turun secara drastis, dan risiko
pencucian populasi mikroba dapat terjadi, karena laju pertumbuhan yang lebih
rendah dari HRT sebenarnya (ANGELIDAKI 2004) . Ini berarti bahwa digester
termofilik yang berfungsi dengan baik dapat dimuat ke tingkat yang lebih tinggi
atau dioperasikan pada HRT yang lebih rendah daripada mis. mesofilik satu
karena laju pertumbuhan organisme termofilik (Gambar 2.8). Pengalaman
menunjukkan bahwa pada beban tinggi atau pada HRT rendah, digester yang
dioperasikan dengan termofilik memiliki hasil gas yang lebih tinggi dan laju
konversi yang lebih tinggi daripada digester mesofilik.

Gambar 2.14 Tingkat pertumbuhan relatif methanogen (ANGELIDAKI 2004)

b. pH
Nilai pH adalah ukuran keasaman / alkalinitas larutan (masing-masing
campuran substrat, dalam kasus AD) dan dinyatakan dalam bagian per juta (ppm).
Nilai pH substrat AD mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme methanogenik
dan mempengaruhi disosiasi beberapa senyawa penting untuk proses AD (amonia,
sulfida, asam organik). Pengalaman menunjukkan bahwa pembentukan metana
berlangsung dalam interval pH yang relatif sempit, dari sekitar 5,5 hingga 8,5 ,
dengan interval optimal antara 7,0-8,0 untuk sebagian besar metanogen.
Mikroorganisme asamogenik biasanya memiliki nilai pH optimal yang lebih
rendah.
Interval pH optimal untuk pencernaan mesofilik adalah antara 6,5 dan 8,0
dan prosesnya sangat terhambat jika nilai pH menurun di bawah 6,0 atau naik di
atas 8,3. Kelarutan karbon dioksida dalam air menurun pada peningkatan suhu.
Nilai pH dalam pencernaan termofilik oleh karena itu lebih tinggi daripada yang
mesofilik, karena karbon dioksida terlarut membentuk asam karbonat dengan
reaksi dengan air.
Nilai pH dapat ditingkatkan oleh amonia, diproduksi selama degradasi
protein atau dengan adanya amonia di aliran pakan, sementara akumulasi VFA
mengurangi nilai pH.
Nilai pH dalam reaktor anaerobik terutama dikendalikan oleh sistem
penyangga bikarbonat. Oleh karena itu, nilai pH di dalam digester tergantung pada
tekanan parsial CO2 dan pada konsentrasi komponen basa dan asam dalam fase
cair. Jika akumulasi dasarkan atau asam terjadi, kapasitas penyangga menangkal
perubahan pH ini, hingga tingkat tertentu. Ketika kapasitas penyangga sistem
terlampaui, perubahan drastis dalam nilai pH terjadi, sepenuhnya menghambat
proses AD. Untuk alasan ini, nilai pH tidak direkomendasikan sebagai parameter
pemantauan proses yang berdiri sendiri.
Kapasitas penyangga substrat AD dapat bervariasi. Pengalaman dari
Denmark menunjukkan bahwa kapasitas penyangga kotoran ternak bervariasi
menurut musim, mungkin dipengaruhi oleh komposisi pakan ternak. Oleh karena
itu, nilai pH pupuk kandang hewan domestik adalah variabel yang sulit digunakan
untuk identifikasi ketidakseimbangan proses, karena berubah sangat sedikit dan
sangat lambat. Namun, penting untuk dicatat bahwa nilai pH dapat menjadi cara
yang cepat, relatif dapat diandalkan dan murah untuk mendaftarkan
ketidakseimbangan sistem dalam sistem yang lebih lemah, seperti AD dari
berbagai jenis air limbah.
c. Volatile Fatty Acids (VFA)
Stabilitas proses AD tercermin dari konsentrasi produk menengah seperti
VFA. VFA adalah senyawa menengah (asetat, propionat, butirat, laktat),
diproduksi selama acidogenesis, dengan rantai karbon hingga enam atom. Dalam
kebanyakan kasus, ketidakstabilan proses AD akan menyebabkan akumulasi VFA
di dalam digester, yang dapat mengarah lebih jauh ke penurunan nilai pH. Namun,
akumulasi VFA tidak akan selalu diekspresikan oleh penurunan nilai pH, karena
kapasitas penyangga digester, melalui jenis biomassa yang terkandung di
dalamnya. Kotoran hewan misalnya memiliki surplus alkalinitas, yang berarti
bahwa akumulasi VFA harus melebihi tingkat tertentu, sebelum ini dapat
dideteksi karena penurunan nilai pH yang signifikan. Pada titik seperti itu,
konsentrasi VFA dalam digester akan sangat tinggi, sehingga proses AD akan
sudah sangat terhambat.
Pengalaman praktis menunjukkan bahwa dua digester yang berbeda dapat
berperilaku sama sekali berbeda sehubungan dengan konsentrasi VFA yang sama,
sehingga satu dan konsentrasi VFA yang sama dapat optimal untuk satu digester,
tetapi penghambatan untuk yang lain. Salah satu penjelasan yang mungkin dapat
menjadi fakta bahwa komposisi populasi mikroorganisme bervariasi dari digester
ke digester. Untuk alasan ini, dan seperti dalam kasus pH, konsentrasi VFA tidak
dapat direkomendasikan sebagai parameter pemantauan proses yang berdiri
sendiri.
d. Amonia
Amonia (NH3) adalah senyawa penting, dengan fungsi yang signifikan
untuk proses AD. NH3 adalah nutrisi penting, berfungsi sebagai pendahulu bahan
makanan dan pupuk dan biasanya ditemui sebagai gas, dengan bau menyengat
yang khas. Protein adalah sumber utama amonia untuk proses AD.
Konsentrasi amonia yang terlalu tinggi di dalam digester, terutama amonia
bebas (bentuk amonia yang tidak tersayat), dianggap bertanggung jawab atas
penghambatan proses. Ini umum untuk AD bubur hewan, karena konsentrasi
amonianya yang tinggi, berasal dari urin. Untuk efek penghambatannya,
konsentrasi amonia harus disimpan di bawah 80 mg/l. Bakteri methanogenik
sangat sensitif terhadap penghambatan amonia. Konsentrasi amonia bebas
berbanding lurus dengan suhu, sehingga ada peningkatan risiko penghambatan
amonia proses AD yang dioperasikan pada suhu termofilik, dibandingkan dengan
yang mesofilik.
e. Makro - mikro nutrient dan toxic compound
Mikroelemen seperti besi, nikel, kobalt, selenium, molipdenum atau
tungsten sama pentingnya untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup
mikroorganisme AD sebagai makronutrien karbon, nitrogen, fosfor, dan belerang.
Rasio optimal karbon makronutrien, nitrogen, fosfor, dan belerang (C:N:P:S)
dianggap 600:15:5:1. Penyediaan nutrisi yang tidak memadai, serta pencernaan
substrat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan penghambatan dan gangguan
dalam proses AD.
Faktor lain, mempengaruhi aktivitas mikroorganisme anaerobik, adalah
adanya senyawa beracun. Mereka dapat dibawa ke dalam sistem AD bersama
dengan bahan baku atau dihasilkan selama proses. Penerapan nilai ambang batas
untuk senyawa beracun sulit, di satu sisi karena bahan semacam ini sering terikat
oleh proses kimia dan di sisi lain karena kapasitas mikroorganisme anaerobik
untuk beradaptasi, dalam beberapa batas, dengan kondisi lingkungan, di sini
dengan adanya senyawa beracun.

2.2.3 Teknologi Anaerobik Digester


Digester merupakan hal yang paling utama dalam proses produksi biogas.
digester merupakan tempat bahan organik diurai oleh bakteri secara anaerob
(tanpa udara). Biodigester dirancang sedemikian rupa sehingga proses fermentasi
anaerob dapat berjalan dengan baik. Pada umumnya produksi biogas terbentuk 4-
5 hari setelah digester diisi. Berikut ini merupakan contoh tipe – tipe digester.
a. Digester Tipe Fixed Dome
Digester tipe Fixed Dome ini memiliki dua bagian, yaitu digester sebagai
tempat pencerna material biogas dan sebagai rumah bagi bakteri, baik bakteri
pembentukan asam ataupun bakteri pembentuk gas metana. Bagian ini dapat
dibuat dengan kedalaman tertentu menggunakan batu, batubata, atau beton.
Strukturnya harus kuat karena menahan gas agar tidak terjadi kebocoran.
Bagian yang kedua adalah kubah tetap (fixed dome). Dinamakan kubah tetap
karena bentuknya menyerupai kubah dan bagian ini merupakan pengumpul gas
yang tidak bergerak (fixed).
Keuntungan dari reaktor tipe kubah tetap ini adalah biaya konstruksi lebih
murah daripada menggunakan reaktor terapung karena tidak memiliki bagian yang
bergerak menggunakan besi yang tentunya harganya relatif lebih mahal dan
perawatannya lebih mudah. Sementara itu, kerugian dari reaktor ini adalah mudah
retak apabila terjadi gempa bumi dan sulit untuk diperbaiki jika bocor.
Gambar 2.15 Biodigester tipe fixed dome (Kalsum., 2020)

b. Digester Tipe Floating


Digester Tipe terapung (floating) pertama kali dikembangkan di India pada
tahun 1937 sehingga dinamakan dengan digester India. Memiliki bagian digester
yang sama dengan digester kubah, perbedaannya terletak pada bagian penampung
gas menggunakan peralatan bergerak dari drum. Keuntungan dari reaktor ini
adalah dapat dilihat secara langsung volume gas yang tersimpan pada drum karena
pergerakannya. Sementara itu, kerugiannya adalah biaya material konstruksi dari
drum lebih mahal.

Gambar 2.16 Biodigester Tipe Floating (Waskito, 2011)

c. Digester Tipe Balon


Digester balon terbuat dari plastik sehingga lebih efisien dalam
penanganannya dan mudah dipindahkan. Digester ini hanya terdiri dari satu
bagian, yaitu sumur pencerna yang berfungsi ganda sebagai tempat fermentasi dan
penyimpanan gas yang masing-masing bercampur dalam satu ruang tanpa sekat.
Bagian bawah digester terisi oleh material organik yang memiliki bobot lebih
besar dibandingkan gas yang terkumpul dibagian atas.
Digester ini cocok digunakan untuk skala rumah tangga. Keuntungan dari
digester ini adalah harganya yang lebih murah, konstruksi sederhana, waktu
pasang singkat, dan mudah untuk dipindahkan. Sementara itu kelemahannya
adalah mudah mengalami kebocoran.

Gambar 2.17 Biodigester Tipe Balon (Waskito, 2011)

d. Tipe Fiberglass
Digester bahan fiberglass merupakan jenis reaktor yang banyak digunakan
pada skala rumah tangga dan skala industri. digester ini menggunakan bahan
fiberglass sehingga lebih efisien dalam penanganan dan perubahan tempat biogas.
digester ini terdiri atas satu bagian yang berfungsi sebagai digester sekaligus
penyimpanan gas yang masing-masing bercampur dalam satu ruangan tanpa sekat.
Digester dari bahan fiberglass ini sangat efisien karena kedap, ringan, dan
kuat. Jika terjadi kebocoran, mudah diperbaiki atau dibentuk kembali seperti
semula dan lebih efisien. digester dapat dipindahkan sewaktu - waktu jika
peternak sudah tidak menggunakannya lagi.
Gambar 2.18 Digester Tipe Fiberglass (Wahyuni, 2015)
2.2.4 Produk
Komposisi biogas yang dihasilkan tergantung pada jenis bahan baku yang
akan digunakan. Komposisi biogas yang utama adalah gas metana (CH4) dan gas
karbon dioksida (CO2) dengan sedikit hidrogen sulfida (H2S). Komponen lainnya
yang ditemukan dalam kisaran konsentrasi kecil antara lain senyawa sulfur
organik, senyawa hidrokarbon terhalogenasi, gas hidrogen (H2), gas nitrogen (N2),
gas karbon monoksida (CO) dan gas oksigen (O2).

Tabel 2.4 Komponen Utama Biogas


Gas Kotoran sapi Campuran kotoran sapi
(%) + sisa pertanian (%)
Metana (CH4) 65,7 54-70
Karbon Dioksida (CO2) 27,0 45-57
Nitrogen (N2) 2,3 0,5-3,0
Karbon Monoksida 0
(CO)
Oksigen (O2) 0,1 6,0
Propena (C3H8) 0,7 -
Hidrogen Sulfida (H2S) - Sedikit
Sumber: (Harahap dkk, 1978)

Manfaat Biogas
Energi yang dihasilkan dari produksi biogas sangat potensial. Manfaat
biogas adalah menghasilkan gas metana sebagai pengganti minyak tanah dan
dapat dipergunakan untuk bahan bakar memasak untuk skala rumah tangga.
Dalam skala besar, biogas digunakan sebagai pembangkit energi listrik.
Produk samping dari proses produksi biogas akan dihasilkan sisa kotoran
ternak (slurry) yang dapat langsung dipergunakan sebagai pupuk organik pada
tanaman/budidaya pertanian. Manfaat energi biogas yang lebih penting lagi adalah
mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian bahan bakar minyak bumi yang
tidak bisa diperbaharui. Limbah biogas, yaitu kotoran ternak yang telah hilang
gasnya (slurry) merupakan pupuk organik yang sangat kaya akan unsur-unsur
yang dibutuhkan oleh tanaman, nilai kalori dari satu meter kubik biogas sekitar
6.000 watt jam yang setara dengan setengah liter minyak diesel oleh karena itu,
biogas sangat cocok digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah
lingkungan pengganti minyak tanah, Liquefied Petroleum Gas (LPG), butana,
batubara, maupun bahan-bahan lain yang berasal dari fosil. Berikut beberapa
manfaat dari biogas:
1. Sebagai sumber energi terbarukan
2. Mengurangi emisi gas rumah kaca dan pemanasan global
3. Mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil
4. Mengurangi limbah organik
5. Menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat
Adapun perbandingan nilai kesetaraan energi yang dihasilkan biogas dengan
bahan bakar lain dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut.

Tabel 2.5 Nilai kesetaraan biogas dengan bahan bakar lain


Aplikasi 1 m3 biogas setara dengan
Elpiji 0,46 kg
Minyak tanah 0,62 liter
Biogas 1 m3
Solar 0,52 liter
Kayu bakar 3,5 kg
Sumber: (Wahyuni, 2015)

Anda mungkin juga menyukai