Anda di halaman 1dari 27

JADIKANLAH SEMUA BANGSA MURID-KU

(Kohesif1 Pendidikan Kristen dan Misi Gerejani


Berdasarkan Eksegesis Matius 28:19-20)
2
,Sensius Amon Karlau

Sekolah Tinggi Teologi Arastamar Wamena


*)Penulis Berkorespondensi: saranapak@yahoo.co.id

Abstrak

Para teoretikus Kristen memahami bahwa Matius 28:19-20 merupakan landasan pelaksanaan
misi yang bersifat holistik. Namun persoalannya adalah, terdapat sebagian kalangan yang
menganggap bahwa penekanan teks dimaksud lebih kepada misi gerejani. Kelompok lainnya
lagi menekankan pada aspek misi dalam konteks pendidikan. Hal ini tentu mengundang
pertanyaan: manakah yang paling utama berdasarkan amanat teks? Tujuan penelitian ini
adalah bagian dari upaya pemerkayaan dan pertanggungjawaban teologis-biblical dan juga
sebagai upaya meminimalisir kekeliruan pemahaman pada sebagian kalangan yang kurang
menghargai prinsip dan amanat sebuah teks untuk memosisikan misi pendidikan Kristen dan
misi gerejani pada teks dan konteksnya secara bertanggungjawab. Metode yang digunakan
adalah Qualitatif Research dengan pendekatan eksegesis. Dengan demikian disimpulkan
bahwa misi melalui pendidikan dan misi melalui pelayanan gerejani merupakan satu kesatuan
yang utuh dan “sejajar” atau bersifat kohesif. Sebabnya, pelaksanaan misi dalam pendidikan
dan misi gerejani sama-sama bermuara pada upaya “menjadikan murid” bagi Kristus dalam
jaminan Allah beserta dengan kita yang juga terkait dengan realitas religiusitas kekinian.

Kata-kata Kunci: Kohesif; Misi; Gerejani; Pendidikan; Kristen;

Pendahuluan

Pengajaran kristiani mengenal dua amanat atau mandat dalam Alkitab, yakni mandat
budaya sebagaimana ditegaskan dalam Kejadian pasal 1:26-27 dan amanat agung yang
diucapkan Tuhan Yesus dengan tegas sesaat sebelum terangkat ke surga dan dikemukakan
dalam tulisan Injil Matius pasal 28:19-20. Tentu bahwa upaya mewujudnyatakan dua amanat
ini selalu menjadi harapan bagi setiap orang Kristen, mengingat perintah ini sangat penting.
Menariklah apa yang dikatakan John Drane bahwa “Yesus telah menuntut ketaatan pengikut-
pengikut-Nya secara radikal dan dengan sepenuh hati ketika mereka pertama kali bertemu
dengan Dia. Dan pesan terakhir yang diberikan kepada mereka bernada sama menantangnya
dan tanpa mengenal kompromi.3 Namun upaya “melakukan” Firman tidak hanya sekedar
bertolak dari pemahaman yang sederhana dan asal saja, karena kualitas dan mutu pemaknaan
sebuah teks yang berkelindan dengan pengajaran Alkitab, selain bergantung pada pimpinan
1
Dari kata dasar kohesi yaitu hubungan yang erat atau perpaduan yang kokoh yang saling terkait dalam
struktur sintaksis atau struktur wacana yang padu atau berlekatan.
2
Penulis adalah adalah dosen tetap mata kuliah: Hermeneutik; Bahasa Ibrani dan Bahasa Yunani pada
program sarjana dan Kolokium PL, Kolokium PB serta Filsafat Ilmu pada program Pascasarjana. Penulis juga
menjabat sebagai Ketua sejak 2007 hingga saat ini di STT Arastamar Wamena.
3
John Drane, Memahami Perjanjian Baru, Pengantar Historis-Teologis, (Jakarta: BPK Gungung Mulia,
2011), 251
1 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
Roh Kudus, juga ditentukan oleh sejauhmana seseorang mempelajari teologi Perjanjian Baru
berdasarkan pemahaman teks asli Alkitab yaitu bahasa Yunani untuk PB. Hal ini penting
mengingat beratnya perdebatan dan diskusi-diskusi seiring transformasi global yang terus
berkembang secara progresif sehingga pengajaran Alkitab yang berkualitas menjadi
kebutuhan yang sangat urgen.
Membahas keterkaitan antara amanat atau mandat budaya dengan mandat atau amanat
agung tentunya dapat menjadi sebuah pembahasan yang menarik jika dikaitkan dengan
banyaknya pokok-pokok penting dengan bagian-bagian tertentu dalam teks Kitab Suci
dengan prinsip siu ipsius interpresius atau Alkitab menafsir didirnya sendiri. Namun pada
penulisan ini penulis berkeinginan hanya menjadikan Matius pasal 28:19-20 sebagai fokus
analisis dan pembahasan yang tentunya berangkat dari kenyataan praksis yang penulis
temukan selama ini. Bahwa sebagian kelompok, dalam hal ini pengajar Kristen, baik itu guru,
dosen, atau majelis atau bahkan pelayan gereja yang selalu mengutip ayat ini sebagai
landasan pelaksanaan penginjilan.4 Tentu bahwa pengutipan dan pembahasan praktis untuk
memotivasi jemaat atau murid agar melaksanakan amanat agung ini tidak dapat disalahkan.
Pada sisi lainnya, ada sekelompok lain lagi yang menjadikan bagian ini hanya bertujuan
untuk menegaskan pekerjaan penginjilan atau pelayanan yang bersifat misi dalam konteks
gerejani. Seorang pendidik Kristen yang cukup memiliki dedikasi dan kapasistas dalam
melaksanakan pendidikan Kristen yakni Ferri Yang mengatakan “Amanat Agung seringkali
disalah mengerti hanya sebagai amanat yang sifatnya memberikan penginjilan saja. Tetapi
pengertian ini salah. Tentu saja penginjilan masuk di dalamnya. Tetapi penginjilan bukanlah
satu-satunya hal yang disebutkan [dimaksudkan] Tuhan Yesus.5
Kedua kelompok ini sama-sama memiliki kelemahan, namun sama-sama juga memiliki
kelebihan yang perlu diapresiasi. Namun dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kemampuan memahami yang semakin terbuka dengan berbagai hal
semestinya memberikan rangsangan bagi setiap orang agar melandasi pelaksanaan amanat
agung secara bijak. Yakni mengupayakan agar pengajarannya benar-benar
mempertimbangkan argumentasi yang sehat dan bertanggungjawab sesuai dengan amanat
atau maksud terdalam dari pernyataan Yesus yang sangat agung itu.
Klaim sepihak yang memberikan kesan bahwa amanat agung hanya dapat dijadikan
landasan bagi pelaksanaan misi Kristen dalam konteks gerejani karena menitik beratkan
aspek “pergi dan membaptis” tentunya akan sangat diperkaya jika “pelaku misi” memahami
maksud teks dan konteks berdasarkan model hermeneutika yang bertanggungjawab dengan

4
Hal ini misalnya terlihat dalam tulisan Christopher J.H. Wright yang mengutip teks Matius 28:19-20
dan menjadikannya sebagai bagian dari beberapa teks pada Injil lainnya, yang sama-sama merujuk kepada hal
misi, lalu menekankan bahwa sebagai Rasul, murid-murid diutus untuk memuridkan, membaptis dan mengajar.
Wright tidak memberi penjelasan tentang manakah perintah yang paling utama dari maksud teks tersebut
sehingga terkesan bahwa semua perintah dalam nas ini bersifat “diutamakan” secara bersamaan., Christopher
J.H. Wright, Misi Umat Allah, (Jakarta: Literatur Perkantas, 2010), 26., bnd. Stenly R. Paparang yang dengan
tepat mengemukakan bahwa terdapat empat kata perintah, dan terdapat satu kata perintah utama yaitu
mathēteusate dari kata dasar mathēteuō. Namun dalam pembahasannya pun difokuskan pada hal bagaimana
melaksanakan misi memalui penginjilan yang bersifat ekspansi wilayah dengan mengaitkan pembahasannya
dengan ekspansi misi secara kewilayaan yang nampak dalam PL. lihat Stenly R. Paparang, Mewartakan Kabar
Baik Misi Kita Bersama, (Memahami Substansi Teks-teks Misi Dalam Konteks Tanggung Jawab Iman, dalam
Make God,s Mission Your Mission, (Jakarta: Penerbit Views dan DELIMA, 2018), 85-86
5
Ferri Yang, Pendidikan Kriten, (Surabaya: Momentum, 2018), 22
2 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
memperhatikan latar belakang budaya, sejarah, geogerafi, dan dan ilmu tata bahasa. Sebab,
sebagaimana diketahui bahwa hampir seluruh Perjanjian Baru ditulis menggunakan bahasa
Yunani Koine6 dengan latar belakang yang tidak dapat dipisahkan.
Dengan demikian maka rumusan masalah atau pertanyaan penelitian dapam artikel ini
yang perlu dipikirkan dan menjadi rujukan dalam penulisan ini yaitu: Apakah boleh
memaknai bahwa dalam kalimat amanat agung terdapat lebih dari satu perintah? Apakah
amanat agung hanya dispesifikan pada pekerjaan misi yang sempit yakni berkaitan dengan
pelayanan gerejani? Bolehkah memahami bahwa misi dalam konteks gerejani atau
pendidikan Kristen bersifat kohesif atau memiliki keterkaitan yang erat dan utuh? Bagaimana
memahami makna dari klausa “jadikanlan segala bangsa murid-Ku” sebagaimana diucapkan
Tuhan Yesus sebelum terangkat ke surga? Bagaimana memahami tujuan pendidikan Kristen
berdasarkan eksegesis Matius 28:19-20? Pertanyaan-pertanyaan ini mengarahkan penulis
untuk menyelediki secara eksegesis kalimat yang terdapat pada Injil Matius pasal 28:19-20
dengan judul “jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Kohesif pendidikan Kristen dan dan
Misi Gerejani berdasarkan Eksegesis Matius 28:19-20)

Latar Belakang dan Historisitas Injil Matius

Pada bagian ini, penulis akan mendeskripsikan mengenai penulis, periode penulisan,
latar belakang penulisan dan tema pokok dari Injil Matius guna memahami konteks sebagai
upaya memaknai teks dengan maksud menemukan “makna teks” sebagimana tujuan dari
penulisan ini.

Penulis

Injil Matius selalu dikaitkan dengan Matius pemungut Cukai sebagai penulisnya.
Namun kenyataan ini tidak serta merta menghilangkan perdebatan dalam sejarah
sebagaimana tergambar dalam beberapa literatur mula-mula. R.T. France mengatakan bahwa
“Early Christian tradition unanimously attributed this gospel to the authorship of Mathew
the apostle, the former tax-collector of Capernaum, whose call it records in 9:9 (Mark and
Luke call him Levi). There was also a persistent tradition that it was written originally not in
Greek but in Hebrew or Aramic. Both of these traditions are doubted by most modern
scholars”.7 Komentar France menegaskan bahwa tradisi orang-orang Kristen perdana sepakat
bahwa penulis Injil ini adalah Rasul Matius yang adalah mantan pemungut cukai di
Kapernaum, yang pemanggilannya sebagai murid Yesus dicatat dalam Markus dan Lukas dan
menyebutnya Lewi. Dahulu ada juga tradisi yang menyebut bahwa aslinya Injil ini bukan
ditulis dalam bahasa Yunani, melainkan dalam bahasa Ibrani atau Aram. Kedua tradisi ini
disangsikan oleh para teolog pada zaman modern.
6
Berdasarkan penelusuran sejarah bahasa, bahasa Yunani adalah bahasa kedua tertua yang telah
dipergunakan dan dalam ratusan tahun sebelum periode kekeristenan berkembang menjadi beberapa dialek.
Bahasa Yunani merupakan salah satu bahasa sastra terbaik di antara bahasa-bahasa kuno lainnya, sejak zaman
Homer, yaitu sekitar tahun 900 SM, melalui bahasa ini melahirkan sejumlah sastra kuno yang berkualitas dan
bersumbangsih bagi lahirnya berbagai rumpun ilmu pengetahuan yang mempengaruhi peradaban manusia sejak
zaman sebelum masehi hingga saat ini.
7
R.T. France, dalam 21 ST-Century Edition, New Bible Commentary bersama D.A. Carson, J.A. Motyer
& G.J. Wenham, (Nottingham, England Inter-Versity Press: IVP Avademic, 2010), 906
3 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
Senada dengan France, namun berbeda dalam hal rujukan, dimana France
menggunakan bukti internal sementara Leon Moris yang mengawali pendapatnya dengan
menekankan bukti eksternal yakni merujuk pada apa yang dikemukakan Irenius bahwa ketika
Simon Petrus dan Paulus berkhotbah di Roma dan meletakan dasar-dasar gereja, Matius juga
menerbutkan sebuah Injil tertulis di antara orang-orang Ibrani, di dalam dialek mereka
sendiri. Dan menurut Eusebius, Origen menganggap Matius sebagai Injil yang pertama kali
ditulis dan ditulis dalam bahasa Ibrani, dan Eusebius juga pun berpendapat bahwa setelah
berkhotbah kepada orang-orang Yahudi, Matius menuliskan Injil untuk mereka “dalam
bahasaibunya”, ketika ia berada pada titik akan meninggalkan mereka. Eusebius pun merujuk
pada tulisan Papias, uskup Hierapolis sekitar 60-130 M dan berkata bahwa menurut Papias:
“Matius mengumpulkan ucapan-ucapan rohani di dalam bahasa Ibrani, dan menafsirnya satu-
persatu sebaik mungkin.8
Dalam pembahasannya, baik France maupun Moris sama-sama mengemukakan
berbagai komentar yang sama dengan beberapa pandangan sebagaimana dikemukakan teolog
modern lainnya menegenai sosok penulis Injil Matius. Indikasi menarik dimana diketahui
bahwa secara tersirat, para teolog tetap merujuk kepada kesimpulan bahwa Rasul Matius
sebagai penulis Injil ini, sambil juga memberikan ruang diskusi secara terbuka dengan sebuah
hipotesisi yang mungkin saja memberikan konsekuens baru dengan mengakomodir sosok
penulis lainnya berdasarkan pertimbangan penting mengenai sosok penulis lain jika memang
lebih meyakinkan walaupun disadari bahwa akan mengalami kesulitan.

Penanggalan

Penetapan waktu atau periode penulisan Kitab Injil Matius menjadi sebuah perdebatan
menarik oleh sebagian teolog ketika mengaitkannya dengan bukti-bukti internal seperti dalam
22:6-7 yang mana terkesan bahwa Matius Matius mengalami sendiri peristiwa itu. Sementara
teolog lainnya menganggap bahwa tidak cukup bukti untuk menetapkan tahun penulisan pada
tahun 70 M karena Matius sendiri masih mengemukakan keprihatinannya yang mendalam
mengenai kehancuran Bait Allah yang mana seakan-akan terjadi di masa depan. Menariknya,
terdapat bagian-bagian dalam tulisan Matius yang memberikan indikasi bahwa Bait Allah
masih utuh (5:23-24; 17:24-27; 23:16-22); dan bagian-bagian ini tidak dicoret oleh
penulisnya waktu ia mengedit kitab ini, sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh penulis
sesudah tahun 70 M.
Diskusi para teolog sebagaimana dikemukakan Guthrie memperlihatkan kesan penting
bahwa tidak mudah memberikan kepastian mengenai tanggal penulisan Injil Matius. Maka
setelah mengutip pandangan beberapa ahli, kemudian Donald Guthrie mengutip B. Reicke
yang mengemukakan bahwa jika Injil Matius tidak memakai Markus dan jika aspek prediktif
diijinkan, maka tidak ada bukti yang jelas untuk menentukan kapan Injil Matius ditulis. Jika
Injil Matius dikenal oleh Lukas dan Injil Lukas diberi penanggalan sekitar 63 M, maka itu
berarti Injil Matius harus ditulis lebih awal.9 Guthrie kemudian memberikan kesan penting
8
Leon Moris, The Gospel according to Mathew, Terjemahan Indonesia dengan judul Injil Matius,
(Surabaya: Momentum, 2016), 12-13
9
Pendapat ini sebagaimana terdapat pada komentar Leon Moris yang mengemukakan bahwa dari [semua
pendapat para ahli, terj. pen.] hanya ada sedikit bukti kuat untuk memastikan kapan Injil Matius dituliskan.
Sebagian besar penafsir meletakan Injil ini antara periode 70-an hingga 90-an, tetapi ada alasan yang baik untuk
menyimpulkan Injil ini muncul sebelum 70 M, mungkin pada akhir 50-an atau awal 60-an. Kita sulit untuk
memberikan penaggalan yang lebih pasti., lihat lebih lengkap dalam Leon Moris, Injil Matius, 11
4 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
bahwa para teolog yang menetapkan tahun penulisan di atas tahun 85 perlu menyadari bahwa
kemungkinan mereka melakukan sebuah kesalahan sehingga perlu menyadarinya.10
Daniel J. Harrington mengemukakan komentarnya dalam kumpulan tulisan mengenai
tafsiran Alkitab Perjanjian Baru yang mana editornya yaitu Dianne Bergent dan Robert J.
Karris bahwa Injil Matius ditulis oleh seorang penulis yang hidup di Syria atau di suatu
tempat lain, dimana pengaruh Yahudi sangat kuat, sekitar tahun 85 M. 11 Berbeda dengan
Harrington, Donald Guthrie yang terkesan lebih mengandalkan bukti eksternal, R.T. France
yang secara sederhana memulai argumennya berdasarkan bukti internal berdasarkan beberapa
teks dalam Injil Matius. France menulis; Other argument depend on the relative scheme of
dating in both the writing of the Nt document and the development of Jewish-Christian
relations which is presupposed. There is little room for dogmatism here. And some scholars
regard a date in the early 60s as an attractive alternative to the more commonly proposed
date around AD 80.12
Terlepas dari berbagai spekulasi yang dikemukakan oleh para ahli, penulis lebih setuju
dengan argumentasi France yang mengemukakan bahwa terdapat beberapa argumentasi yang
mengaitkan makna dan kandungan teologis dari Kitab Injil Matius yang diakitkan dengan
orang Yahudi tidak dapat dipisahkan dengan orang Kristen mula-mula. Menariknya bahwa
argumentasi yang bersifat dogmatis tidak mungkin diterima dan para teolog umumnya
menyetujui bahwa tanggal penulisan Injil Matius yaitu di awal tahun 60-an. Dan cenderung
manyangsikan tahun 80 sebagai tahun penulisan injil ini.

Tujuan Penulisan dan Perhatian Utama

Motif dan kandungan kitab Perjanjian Lama yang tergambar jelas dan menjadi cirikhas
dari Injil Matius. Hal ini tentunya dapat dijadikan rujukan dalam memahami tujuan penulisan
kitab ini. Hal inilah yang dilakukan oleh Donald Guthrie yang mengatakan “ciri khas ini saja
sudah mengindikasikan bahwa Matius adalah seorang Yahudi yang menulis bagi orang
Yahudi. Silsilah dalam Injil Matius mau menunjukan bahwa Yesus adalah keturunan
langsung Abraham dan hal ini dengan jelas mengindikasikan maksud Matius. 13 Selanjutnya,
Guthrie mengutip P.L. Shuler yang menyimpulkan bahwa tujuan penulisan Injil Matius yaitu
“ingin menunjukan bahwa Yesus adalah Anak Allah, meski ia juga melihat bahwa Matius
ingin memberikan pengajaran kepada para murid gereja yang sungguh. 14 Maka memperjelas
komentar Guthrie, dan merujuk kepada judul penelitian ini yaitu “jadikanlah semua bangsa
murid-Ku” berdasarkan eksegesis Matius pasal 28:19-20 maka penulis perlu mengemukakan
komentar J.J de Heer dalam tulisannya mengenai Tafsiran Alkitab Injil Matius
mengemukakan bahwa Matius memiliki maksud khusus yaitu maksud apologetis, yakni
Matius ingin memberikan bahan kepada pembacanya agar dapat mempertanggungjawabkan
iman mereka di hadapan orang Yahudi yang menolak Yesus sebagai Mesias.
Selanjutnya maksud kateketis yaitu bermaksud memberikan pengetahuan tentang
pokok-pokok agama Kristen secara teratur kepada utusan-utusan Injil supaya mereka dapat
menjelaskan ajaran-ajaran Kristen kepada orang-orang yang belum Kristen, dan maksud
paranetis yaitu Injil Matius sebagai nasihat atau teguran. Penulis Injil Matius ingin
memberikan nasihat bahwa ketika seseorang masuk agama Kristen belum cukup. Karena
orang Kristen perlu menyadari akan penghakiman (pasal 24-25) dimana terdapat orang-orang
10
Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru Volume 1, (Surabaya: Momentum, 2008), 38
11
Daniel J. Harrington, Matius, dalam buku Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius,
2002), 32
12
R.T. France, dalam 21 ST-Century Edition, New Bible Commentary bersama D.A. Carson, J.A. Motyer
& G.J. Wenham, 906
13
Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru Volume 1, 17
14
Ibid., 23
5 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
Kristen yang dapat saja menjadi dingin sebagaimana yang mungkin penulis Injil Matius
ketemukan di daerah Syria dimana ia melayani sehingga ia merasa terpanggil untuk
menekankan secara khusus nada teguran dalam Injilnya.15
Penulis memahami bahwa pernyataan Donald Guthrie dan J.J. de Heer berangkat dari
presuposisi penting mengenai kenyataan dimana Matius sebagai seorang Yahudi sangat
menyadari akan realitas dimana ia mendapati bahwa dalam diri Yesus penggenapan dari
semua yang sangat berharga bagi orang Yahudi yaitu penggenapan akan janji mesianik dari
teks dan pengajaran PL. Hal ini misalnya terlihat dalam pasa 1:22; 2:15, 17, 23, 4:14; 8:17;
13:35; 21:4; 27:9). Injil Matius adalah kumpulan kisah yang menggambarkan Yesus sebagai
seorang tokoh yang hidup dan berkuasa.

Penerima atau Pembaca Mula-Mula

Penerima Injil Matius perlu dikemukakan dengan jelas guna memahami lebih komplit
mengenai tujuan dan pokok utama Injil Matius yang tentunya berkaitan dengan penekanan
Injil Matius sendiri. Jelasnya, penerima atau pembaca mula-mula tentunya adalah orang-
orang Kristen Yahudi yang berada sebuah tempat tertentu. Guthrie mengemukakan bahwa
“ada banyak dugaan tentang lokasi jemaat yang menerima Injil Matius, meski kita tidak
memiliki data yang memadai untuk memastikannya. Salah satu kemungkinan adalah jemaat
Yahudi-Palestina.16 Namun menarik untuk mengutarakan di sini juga komentar J.J. de Heer
yang mengemukakan bahwa “Injil Matius dikarang dalam bahasa Yunani, jadi, diperuntukan
bagi orang-orang yang mengerti bahasa Yunani. Dan setelah mengadakan diskusi literur
beberapa teolog, maka de Heer kemudian menyimpulkan bahwa Siria Selatan, dimana
terdapat banyak orang-orang Kristen Yahudi menjadi alternativ terakhir mengenai penerima
atau pembaca mula-mula.17
Pertimbangan mengenai motif dan esensi penulisan serta pokok penekanan penulis Injil
Matius, tidak serta-merta menerima orang-orang Yahudi Kristen di Syria sebagai pemba
mula-mula. Namun ketika mempertimbangkan fakta bahwa Matius pernal tinggal di daerah
Syria untuk melayani maka kemungkinan untuk menetapkan tempat atau lokasi pembaca
mula-mula yang lain tidak akan memiliki cukup bukti.

Garis Besar Injil Matius

Pada umumnya, para penulis pengantar PL maupun PB selalu mengemukakan garis


besar dengan cara memperhatikan struktur, gendre dan konteks serta beberapa hal lainnya
sebagai cara praktis untuk mengemukakan garis besar. Namun menarik karena ada juga ahli
lain yang tidak mengemukakan garis besar Kitab Injil Matius seperti J.J. de Heer 18 dan Leon
Moris. Tetapi ada pula yang mengemukakan garis besarnya dengan sangat sederhana seperti
Harringston19 dan juga sangat detail seperti halnya Donald Guthrie.20 Namun pada tulisan ini
15
J.J. de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 6-7
16
Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru Volume 1, 22-23
17
J.J. de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius, 5-6
18
Hal ini misalnya dilakukan oleh de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius., dan juga Leon Morris, Injil
Matius, yang mana tidak mengemukakan susunan garis besar Kitab. Penulis menganggap bahwa de Heer
mungkin saja menyesuaikan dengan beberapa bagian pendahuluan.
19
Daniel J. Harrington, Matius, dalam buku Tafsir Alkitab Perjanjian Baru,32
20
Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru Volume 1, 39-42
6 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
penulis lebih memilih untuk menampilkan garis besar meurut R.T. France 21 yang terlihat
tidak terlalu sederhana dan juga tidak terlalu detail sebagaimana dikemukakan demikian;
1:1-4:16 Memperkenalkan Yesus
1:1-17 Silsilah Yesus Sang Mesias
1:18-2:23 Kitab Suci digenapi melalui kelahiran dan masa
kanak-kana Yesus sebagai Sang Mesias
3:1-17 Yohanes Pembaptis dan Yesus
4:1-16 Pencobaan dan Persiapan
4:17-16-20 Pelayanan umum di Galilea dan sekitarnya
4:17-25 Pengantar kepada pelayanan umum
5:1-7:29 Wacana (khotbah) pertama: perihal menjadi murid
8:1-9:34 Beberapa mukjizat Yesus
9:35-10:42 Wacana kedua: tugas para murid
11:1-12:50 Berbagai sambutan terhadap pelayanan umum Yesus
13:1-52 Wacana ketiga: Yesus mengajar dengan menggunakan
Perumpamaan
13:53-16:20 Sambutan lebih lanjut terhadap pelayanan Yesus
16:21-18:35 Pelayanan Khusus di Galilea: mempersiapkan murid-murid
16:21-17:27 Pengajaran tentang misi Yesus
21:1-22 Wacana keempat: hubungan antar murid
21:23-23:39 Pertengkaran dengan para pemimpin Yahudi
24:1-25:46 Wacana kelima: penghakiman
26:1-28:20 Kematian dan kebangkitan Yesus
26:1; 46 Persiapan sebelum masa penderitaan
26:47-27:26 Yesus ditangkap dan diadili
27:27-56 Penyaliban Yesus
27:57-28:20 Yesus dikuburkan, bangkit, dan mengutus para murid

Metode

Untuk menghasilkan tulisan ini, penulis melakukan penelitian kualitatif (Qualitative


Research), Sejalan dengan Kris H. Timotius, Sugiyono mengatakan bahwa metode kualitatif
digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna 22
berdasarkan library research yang berusaha menganalisis. Terkait dengan metode analisis,
Burhan Bugin mengemukakan bahwa terdapat tiga kelompok besar metode analisis data
kualitatif yang dimana salah satunya adalah kelompok metode analisis teks dan bahasa. 23
21
R.T. France, dalam 21 ST-Century Edition, New Bible Commentary bersama D.A. Carson, J.A. Motyer
& G.J. Wenham, 907
22
Sugiyono, Metode Penelitian Kebijakan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Kombinasi, R&D dan
Penelitian Evaluasi, (Bandung: Penerbit ALFABETA, 2017), 39. Sejalan dengan Sugiyono, Kris H. Timotius
menegaskan bahwa penelitian kualitatif diperoleh bersifat deskriptif berupa kata-kata tertulis/lisan dan perilaku
yang dapat diamati. Untuk lebih jelasnya lihat Kris H. Timotius Dalam Pengantar Metodologi Penelitian,
Pendekatan Manajemen Pengetahuan untuk Perkembangan Pengetahuan, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2017),
54.
23
Kelompok yang kedua yaitu terkait dengan kelompok analisis tema-tema budaya dan yang ketiga yaitu
kelompok analisis kinerja dan pengalaman individual, serta perilaku institusi. Analisis teks dan bahasa adalah
7 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
Selanjutnya, metode deskriptif digunakan untuk melukiskan secara sistematis yang pada
hakekatnya adalah mencari teori24 melalui analisa teks. Creswell mengatakan bahwa
rancangan ini terutama terkait dengan pengumpulan data, analisis data, dan laporan penelitian
dimana data disini dapat berupa gambar maupun teks yang dieksegesis. 25 Dalam bahasa
Yunani, kata eksegesis berasal dari kata exagw; exsagō yang dapat diterjemahkan “lead out,
bring out, dan memiliki pengetian “membawa atau menuntun keluar”.26 Maksudnya ialah
berusaha menemukan dan membawa keluar maksud para penulis, pembaca, dan pendengar
Alkitab dalam konteks bahasa, sejarah, budaya, geogerafi dan lainnya secara asali melalui
proses analisis (analisa teks) yang mendalam. 27 Eksegesis ditujukan untuk menggali makna
teks, sebagaimana dahulu dimaksudkan oleh penulis teks itu dengan presuposisi penting
bahwa “Alkitab berkuasa menjelaskan dirinya”.28 Jadi tafsiran didasarkan pada studi bahasa
asli, arkeologi, antropologi dan belakangan ini juga sosiologi.
Kata exagw; exsagō memiliki kaitan dengan kata exegeomai; exsegeomai artinya
“menceriterakan” atau “menerangkan” serta “menyatakan” dan “memperlihatkan”. (Yoh.
1:18, Kis. 10:8, 15:12,14, 21:19). Akar kata Yunani ini mempunyai arti “membawa keluar
dari”. Maka ketika kata exagw; exsagō digunakan atau dijadikan sebagai cara mendekati,
memahami suatu teks atau tulisan PB, maka kata ini dapat berarti “tidak memasukan”
gagasan, ide, atau pemahaman atau pemaknaan pribadi pembaca dan pendengar ke dalam
tulisan sebagaimana pada teks tersebut. Perlu ditegaskan lagi bahwa jika kata exagw;
exsagō atau eksegese diterapkan pada sebuah teks tertentu, maka kata yang berarti kegiatan
untuk membawa keluar, dalam arti menggali dan mendeskripsikan sebuah makna teks

alat nalisis yang bertujuan mengungkapkan proses etik dan emik terhadap suatu peristiwa sosiologis yang
memiliki proses dan makna teks dan bahasa, sehingga dapat diungkapkan proses-proses etik dan emik yang
terkandung di dalam teks dan bahasa itu, baik dalam konteks objek, subjek, maupun wacana yang berlangsung
di dalam proses tersebut., untuk lebih jelasnya, lihat: H.M. Burhan Bugin, Penelitian Kualitatif Edisi Kedua,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2011), 161-163., bnd. Sudaryono, Metodologi Penelitian, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2017), 91.
24
Neneng Hartati, Statistika untuk Analisis Data Penelitian, (Bandung: Penerbit Pustaka SETIA, 2017),
68.
25
John W. Creswell, Research Design, Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran,
(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2016), 245-254.
26
Berasal dari kata dasar Exagw; exagō: “lead out, bring out” Lih. Dalam Horst Balz and Gerhard
Schneider, Exegetical Dictionary of the New Testament Volume-2, (Grand Rapids Michigan: William B,
Eerdmans Publishing Company, 1994), 1
27
Gerald O. Colins, Kamus Teologi, (Yogyakarta: KANISIUS, 1996), 66
28
Ducan S. Ferguson, Biblical Hermeneutics: An Introduction, (Atalanta: John Knox Press, 1986), 4
8 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
tersebut secara transkripsi’,29 gramatikal’, leksikal’,30 serta sintaksis.31 Konkretnya yaitu
upaya menafsirkan dan menemukan makna sebuah teks atau tulisan dalam bahasa tertentu
dengan tidak bermaksud memasukan ide, konsep, atau gagasan egsegator atau orang yang
melakukan eksegese melainkan bermaksud membawa keluar setiap makna sebuah teks dan
mengimplikasikan atau mengaplikasikannya sesuai dengan konteks kekinian bagi dosen
sebagai agen penting pelaksanaan proses pembelajaran.

Hasil Pembahasan dan Interpretasi Singkat


Pembahan mengenai penulis, periode penulisan, latar belakang kitab, tema pokok dan
susunan dari Kitab Matius pada bagian sebelumnya bermaksud agar setiap memaknai sebuah
kata, frasa dan klausa serta kalimat yang terdapat pada teks yang hendak dianalisis selalu
berangkat dari asumsi penting mengenai latar dan historisitas serta konteks maupun situasi
dimana kata atau kalimat itu diucapkan bagi pendengar atau pembaca yang tidak dapat
dipisahkan juga dengan situasi realitas mereka.
Teks Alkitab dalam Matius 28:19-20 dikatakan :
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang
telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai
kepada akhir zaman. (TB-LAI)
Memaknai kalimat secara konsentris sebagaimana terdeskripsi di atas tidak dapat
dipisahkan dengan konteks dan alur ceritera serta struktur teks dan kitab sebagaimana
tergambar pada seluruh Kitab Matius. Namun pada penelitian ini penulis memfokuskan
pembahasan hanya pada aspek leksikal dan gramatikal dari pasal 28:19-20 pada Kitab Matius
29
Elias P. Pohan dan Agustinus Setiawidi mengatakan: secara harfiah, transkripsi berarti pengubahan
atau pengalihan tulisan. Dalam hal ini, pengalihan dari “tulisan asli” ke tulisan lain, misalnya: Dari tulisan Ibrani
atau Yunani ke tulisan Latin, dan sebaliknya. Transkripsi juga sering dilakukan karena alasan praktis yang lain,
yaitu untuk mempercepat proses penulisan. Ada dua jenis transkripsi, Yaitu: transkripsi yang didasarkan pada
transliterasi (pengalihan huruf) dan transkripsi yang didasarkan pada bunyi pengucapan. 1. Transkripsi yang
didasarkan pada transliterasi boleh dikatakan lebih bersifat akademis. Setiap kata diubah secara teliti
berdasarkan transliterasi dari setiap huruf. 2. Sedangkan transkripsi yang didasarkan pada bunyi pengucapan
boleh dikatakan lebih bersifat praktis. Setiap kata ditranskripsikan sesuai dengan bunyi pengicapannya;
sebagaimana kata itu diucapkan, begitulah transkripsinya ditulis. Untuk lebih jelas berdasarkan contohnya,
Lihat Elias Pohan dan Agustinus Setiawidi, Bahasa Ibrani untuk Pemula, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015),
30-33
30
Untung Yuwono, dalam buku “Pesona Bahasa” mengatakan bahwa gramatikal yaitu keadaan unsur-
unsur bahasa yang saling merujuk dan berkaitan secara semantik. Dengan gramatika, sebuah wacana menjadi
padu: setiap bagian pembentuk wacana mengikat bagian yang lain secara mesra dan padu. Kemudian, Yuwono
mengemukakan pula bahwa gramatikal juga adalah hubungan semantik antarunsur yang dimarkahi alat
gramatikal atau alat bahasa yang digunakan dalam kaitannya dengan tata bahasa. Gramatikal dapat berwujud
referensi atau pengacauan, substitusi atau penyulihan, ellipsis atau pelesapan, dan konjungsi atau penggabungan.
Kemudian, secara leksikal artinya “hubungan semantik” antarunsur pembentuk wacana dengan memanfaatkan
unsur leksikal atau ‘kata’. leksikal dapat diwujudkan dengan reiterasi dan kolokasi. Untuk lebih jelsanya
mengenai pembahasan dari “pengertian gramatikan dan pengertian leksikal yang disertai contoh-contohnya”,
Lihat Untung Yuwono dalam Pesona Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), 96-98
31
Sintaksis merupakan bagian dari subsistem tata bahasa atau gramatika. Rangkaian kata yang mematuhi
kaidah sintaksis disebut apik, atau gramatikal. Penjelasan lebih lengkap mengenai gramatika beserta contohnya
dapat dilihat pada Liberti P. Sihombing dan Djoko Kentjono mengenai “Sintaksis” dalam buku “Pesona
Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), 123-134
9 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
dan mengaitkannya dengan sisi historisitas dari Kitab Matius sebagaimana dikemukakan pada
bagian sebelumnya. Tentu bahwa batasan penelitian ini akan menjadi celah bagi sebagian
kalangan yang menghendaki sempurnanya pendekatan eksegesis pada bagian ini. Namun
tujuan dimaksud tetap ada dalam rencana jangka panjang penulis.

Teks Yunani dan Transkripsi


πορευθέντες οὖν μαθητεύσατε πάντα τὰ ἔθνη, βαπτίζοντες αὐτοὺς εἰς τὸ ὄνομα τοῦ
πατρὸς καὶ τοῦ υἱοῦ καὶ τοῦ ἁγίου πνεύματος,. διδάσκοντες αὐτοὺς τηρεῖν πάντα ὅσα
ἐνετειλάμην ὑμῖν· καὶ ἰδοὺ ἐγὼ μεθ᾽ ὑμῶν εἰμι πάσας τὰς ἡμέρας ἕως τῆς συντελείας τοῦ
αἰῶνος32 (Poreuthentes oun marthēteusate panta ta esthē babptizontes autous eis to honoma tou
patros kai tou huiou kai tou agiou pneumatos. 20 Didaskontes aotous tērein panta osa eneteilamēn
humin. Kai idou egō meth humōn eimi pasas tas hēmeras eos tēs suntelaias tou aiōnos).

Analisis Leksikal

Ayat 19
πορευθέντες; Kata kerja partisip aoris pasif nominativ maskulin jamak dari kata dasar
“pereuomai” yang dapat diterjemahkan “pergi, meneruskan, memulai,
berjalan, beralih, maju, hasil pendapatan”.33 Engkau pergi.34
οὖν; Kata penghubung antarkata, atau antarfrasa, antarklausa dan antarkalimat yang
artinya: “sesuai dengan itu; jadi; karena itu; maka”.
μαθητεύσατε; Kata kerja imperativ aoris aktif orang ke-2 jamak dari kata dasar
“mateteuw” yang dapat diterjemahkan “haruslah kalian [dulu] sedang
membuat atau menjadikan murid”.35 Dulu sedang menjadikan murid.36
πάντα; Kata sifat infinitiv akusatif neuter dengan bentuk jamak dari kata dasar paj,
pasa, pan yang artinya “setiap” atau “semua”
τὰ ἔθνη,; Kata sandang τὰ (ini, itu, sang, yang) dan kata benda dengan kasus akusativ
jamak dari kata dasar eqnoj37 yang artinya “bangsa”; “bangsa bukan
Yahudi”; “bangsa yang tidak mengenal Allah”.38
32
Tim Penerjemah dan Penyusun, Perjanjian Baru Yunani-Indonesia, Edisi ke-2, (Jakarta: Lembaga
Alkitab Indonesia [LAI], 2002), 233
33
Cleon L. Rogers Jr & Cleon L. Rogers III dalam The New Linguistic and Exegetical Key to the Greek
New Testament, (Grand Rapids, Michigan, Zondervan Publishing House, 1998), 66., bnd. B.F. Drewes, Wilfrid
Haubeck, Hendrich von Siebenthal, Neuer sprachlicher Schlussel zum Apostelgeschichte dalam terjemahan
Bahasa Indonesia dengan judul Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru, Kitab Injil Matius Hingga Kitab Kisah
Para Rasul, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), xxxix
34
Huruf bold atau huruf yang ditebalkan adalah hasil simpulan atau terjemahan yang dilakukan penulis
setelah memperhatikan aspek kasus, kala, bentuk, dan lainnya yang menentukan terjemahan sebuah kata yang
selalu memiliki pengertian yang lain atau alternative lain.
35
Cleon L. Rogers Jr & Cleon L. Rogers III dalam The New Linguistic and Exegetical Key to the Greek
New Testament, 66
36
Biasanya terjemahan aoris imperatif sama dengan terjemahan presen imperativ. Aoris Imperatif dipakai
untuk menunjuk kepada perintah agar segera melakukan sesuatu, tanpa dipikirkan apakah hal itu harus terus
atau sering dilakukan. Untuk penjelasan lebih lengkap disertai contohnya, lihat J.W. Wenham, Bahasa Yunani
Koine, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1977), 79
37
Cleon L. Rogers Jr & Cleon L. Rogers III dalam The New Linguistic and Exegetical Key to the Greek
New Testament, 66 dan Hasan Sutatnto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi
Perjanjian Baru (PBIK), Jilid I, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2004),178
38
Terjemahan Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian
Baru (PBIK) Jilid II, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2004), 240
10 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
βαπτίζοντες; Kata kerja partisip aktif nominativ maskulin jamak dari kata sasar baptizw
yang artinya “membasuh” (dalam penyucian ritual orang Yahudi)
“membaptis”, “membersihkan”.39 [Sambil] Sedang membaptis.
αὐτοὺς ; Kata ganti orang akusativ maskulin jamak (orang ke-3) dari kata dasar autoj
yang artinya “diri”, “sendiri”, “itulah”, “bahkan”, “yang sama; ia; mereka”40
εἰς ; Kata depan atau kata perangkai dengan bentuk kasus “akusativ” yang artinya
“ke dalam; menjadi; sampai kepada”41
τὸ ὄνομα ; Kata benda akusativ neutrum tunggal “nama; orang; menamakan; menamai;
dalam nama; nama baik”.42
τοῦ πατρὸς ; Kata sandang τοῦ (ini, itu, yang, sang) dan kata benda yang kasusnya
nominativ maskulin tunggal dari kata dasar pethr atau patroj yang artinya
“ayah; nenek moyang; bapa; bapak”.43 Dapat diterjemahkan “sang bapa”
καὶ ; Kata penghubung antarkata, atau antarfrasa, antarklausa dan antarkalimat yang
artinya “dan; juga; bahkan; dan khususnya; memang; bahwa; yaitu; ketika;
maka; adapun; demikian juga; demikian; sehingga; malah; namun; walaupun;
padahal; kemudian; lalu; karena; bukan saja; tetapi juga; atau; dari”44
τοῦ υἱοῦ ; Kata sandang τοῦ (ini, itu, sang, yang) dan kata benda υἱοῦ dari kata benda
genitiv tunggal dari kata dasar uioj artinya “anak; anak laki-laki; anak
[binatang]; pengikut; keturunan; rakyat”.45 Dapat diterjemahkan “dan dari
sang anak”
καὶ ; (sama dengan di atas). “demikian juga”
τοῦ ἁγίου ; Kata sandang τοῦ (ini, itu, sang, yang) dan kata sifat ἁγίου genitiv neutrum
tunggal dari kata ἁγίοj artinya “kudus; yang ditabiskan; (kemah) suci; (Bait)
Suci; (ruang) Suci; (Ruang) Mahasuci.46 Diterjemahkan “[oleh] yang kudus”
πνεύματος, ; Kata benda genitiv neutrum tunggal dari kata dasar pnauma artinya “napas;
angin; roh; Roh; sikap”.47 Diterjemahkan “[oleh] dengan Roh”
Ayat 20
διδάσκοντες ; Kata kerja partisip presen aktif nominativ maskulin jamak dari kata dasar
didaskw artinya “mengajar; mengajarkan”.
αὐτοὺς ; Kata ganti personal akusativ maskulin jamak dari kata dasar autoj yang
artinya “diri”, “sendiri”, “itulah”, “bahkan”, “yang sama”, “ia”, “mereka”.48
τηρεῖν ; Kata kerja infinitiv present aktif dari kata kerja threw artinya “menjaga;
menahan; menyimpan; menyediakan; memegang; melindungi; menuruti”. 49
“sambil [sedang] menuruti”.
39
Ibid.,
40
Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru
(PBIK) Jilid II, 129. Kasus akusatif digunakan guna menerangkan batas akhir pada suatu tindakan, atau dapat
disebut juga sebagai penderita atau objek langsung. Bnd. Welly Pandensolang, Gramatika dan sintaksis bahasa
Yunani dalam Perjanjian Baru, 2010), 29
41
Welly Pandensolang, Gramatika dan sintaksis bahasa Yunani dalam Perjanjian Baru, (Jakarta: YAI
Press, 2010), 29
42
Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru
(PBIK) Jilid II, 573., sebagai obyek
43
Ibid., 619 (sebagai subyek), oknum/pelaku utama
44
Ibid., 414., penulis akan tetap konsisten menerjemahkan kata kai dengan “demikian juga”, karena
secara struktur kitab, bagin ini dapat dikategorikan sebagai kesimpulan atau penutup akhir dari semua rangkaian
pengajaran dan pelayanan Yesus dari pasal pertama yang terkait dengan murid-murid serta pendengar.
45
Ibid., 770
46
Ibid., 11
47
Ibid., 651
48
Ibid., 129
49
Ibid., 753
11 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
πάντα ; Kata sifat “indefinitif” dengan kasus Akusativ neutrum jamak dari kata dasar
paj, pasa atau panv yang artinya “semua; seluruh; setiap; apa saja; siapa
saja; segala; segala dapat berarti sangat”.50
ὅσα ; Kata ganti relatif dengan kasus akusatif dengan jenis kelamin Neutrum dan
jumlahnya jamak. Artinya adalah “sebesar; sejauh; sepanjang; segala;
sebanyak; apa saja; begitu”.51
ἐνετειλάμην ; Kata kerja indikativ aoris medium orang pertama tunggal dari kata dasar
enntelw yang artinya “memerintahkan; berpesan; atau menetapkan”.52
Diterjemahkan “saya dulu berpesan”.
ὑμῖν· ; Kata ganti orang dativ jamak dari kata dasar su artinya “engkau; mu; kamu;
kamu sendiri; -mu”53 [kepada], bagi kamu.
καὶ ; (sama dengan di atas). “demikian juga”
ἰδοὺ ; Kata seru yang dapat diterjemahkan “lihatlah; namun; memang; ingatlah; ada;
di sini ada”. Dapat diterjemahkan “Ingatlah selalu!”
ἐγὼ ; Kata ganti orang pertama tunggal yang artinya “aku [sendiri]; akulah; -ku;
kami; kita”,54
μεθ᾽ ; Kata depan atau perangkai preposisi dari kata dasar meta artinya “dengan; di
antara; bersama; [akan] menyertai; dengan bantuan; bagi; untuk; kepada;
terhadap; memihak; melawan; di belakang; sebelah”55
ὑμῶν ; Kata ganti orang genitiv jamak dari kata dasar su artinya “engkau; mu; kamu;
kamu sendiri; -mu”56. [Oleh], dari kamu
εἰμι ; Kata ganti orang atau pronomina orang pertama tunggal yang artinya “saya
ada; adalah; berada; terdapat; tinggal; terjadi; menjadi; mungkin;
melambangkan; sama seperti; artinya; yaitu”57 dapat diterjemahkan “aku
[sedang] tinggal atau berada”
πάσας ; Kata sifat “indefinitif” dengan kasus Akusativ feminim jamak dari kata dasar
paj, pasa atau panv yang artinya “semua; seluruh; setiap; apa saja; siapa
saja; segala; segala dapat berarti sangat”.58
τὰ ς ἡμέρας ; Kata sandang τὰς bentuk akusativ veminin jamak (ini, itu, sang, yang) dan kata
benda akusativ feminin jamak ἡμέρας dari kata dasar hmera yang artinya
“hari (waktu di antara matahari terbit dan terbenam); cahaya siang hari
(termasuk siang dan malam); hari (tertentu); hari yang ditentukan pengadilan;
pengadilan; zaman; waktu; umur”.59 Terj. Zaman itu [ini]
ἕως ; Kata depan atau perangkai preposisi dari kata dasar dengan kasus genitiv yang
dapat diterjemahkan “selama; sejauh; sampai; sebanyak”
τῆς συντελείας; Kata sandang τῆς bentuk genitiv feminin tunggal (ini, itu, sang, yang) dan
kata benda feminin dengan kasus genitiv tunggal dari kata sasar sunteleia
artinya “Akhir; akhir zaman; kesudahan”. Terj. “dari [sekarang ini sampai],
Akhir zaman”
τοῦ αἰῶνος. ; Kata sandang τοῦ dengan kasus genitiv maskulin tunggal (ini, itu, sang, yang)
dan kata αἰῶνος dari kata dasar aiwn bentuk genitiv dari kata benda maskulin
50
Ibid., 616
51
Ibid., 583
52
Ibid., 282
53
Ibid., 721
54
Dapat diterjemahkan “aku sendiri”
55
Ibid., 514
56
Ibid., 721
57
Ibid., 244
58
Ibid., 616
59
Ibid., 346
12 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
tunggal artinya “kurun waktu; waktu yang lama sekali; kekekalan; dunia
berarti alam semesta atau masyarakat yang sekuler; untuk selamanya; selama-
lamanya; sampai selama-lamanya; tetap untuk seterusnya dan selamanya
(bnd. Ibr. 1:8)”60

Terjemahan Literal

Karena itu [maka]61 pergilah kamu kepada semua bangsa dan menjadikan murid bagi
orang yang tidak mengenal Allah dan sambil [sedang] membaptis [sendiri], ke dalam nama
baik Sang Bapa, dan Sang Anak, dan juga [oleh] dengan Roh Kudus. Dan sambil [sedang]
mengajarkan untuk menuruti semua hal yang dulu [sedang] Aku pesankan kepada kamu,
demikian juga ingatlah selalu [bahwa] Aku sendiri akan menyertai diri kamu dan aku akan
selalu bersama pada zaman sekarang ini dan tetap untuk seterusnya dan selamanya.62
Jika terjemahan literal disini tidak disertakan bentuk alternatifnya, maka akan
dirumuskan demikian ; Karena itu pergilah kamu kepada semua bangsa, dan menjadikan
murid yaitu orang yang tidak mengenal Allah dan sambil membaptis, ke dalam nama baik
Sang Bapa, dan Sang Anak, dan juga dengan Roh Kudus. Dan sambil mengajarkan untuk
menuruti semua hal yang dulu Aku pesankan kepada kamu, demikian juga, ingatlah selalu
bahwa Aku sendiri akan menyertai diri-mu, dan akan selalu bersama kamu pada zaman
sekarang ini dan tetap untuk seterusnya dan selamanya.

60
Ibid., 32
61
[…] tanda kurung ini penulis gunakan untuk menyertakan bentuk alternatif terjemahan sebagaimana
maksud bahasa Yunani yang kadang-kadang dapat juga memiliki makna lain sebagai alternatif dalam
menerjemahkannya.
62
Penulis menerjemahkannya secara literal dengan menjadikan tulisan Cleon L. Rogers Jr & Cleon L.
Rogers III The New Linguistic and Exegetical Key to the Greek New Testament sebagai acuan dalam
mengartikan beberapa kata guna merangkaikannya dalam rumusan kalimat guna memahami makna sintaktikal
dari teks dimaksud, lihat Cleon L. Rogers Jr & Cleon L. Rogers III dalam The New Linguistic and Exegetical
Key to the Greek New Testament, (Grand Rapids, Michigan, Zondervan Publishing House, 1998)., Adapun
tujuan penulis menerjemahkan dengan mendasarinya pada analisa leksikal yang penulis lakukan agar
menjadikannya sebagai landasan dalam memberi pemaknaan pada tahap selanjutnya dalam artikel ini.
13 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
Diagram
οὖν (X) μαθητεύσατε τὰ ἔθνη,
πορευθέντες πάντα
βαπτίζοντες αὐτοὺς τοῦ πατρὸς
εἰς τὸ ὄνομα καὶ
τοῦ υἱοῦ
καὶ
καὶ τοῦ πνεύματος,
ἁγίου
τηρεῖν πάντα
διδάσκοντες αὐτοὺς
(X) ἐνετειλάμην ὅσα
ἰδοὺ ὑμῖν·
ἐγὼ εἰμι
μεθ᾽ ὑμῶν τὰς ἡμέρας ἕως τῆς συντελείας
πάσας τοῦ αἰῶνος.

Pada bagian ini, penulis hendak mengemukakan diagram dari teks Matius 28:19-20
sebagaimana dikemukakan oleh Leedy yang berjudul New Testament Diagrams. Berdasarkan
diagram ini, penulis berasumsi bahwa kata kerja menjadi kata penting yang perlu dipahami
agar merujuk kepada tujuan penulisan ini. Maka secara klasifikasi, terdapat empat kata kerja
yakni satu kata kerja utama dalam bentuk imperativ aoris aktif dan tiga kata kerja bantu
dalam bentuk partisip, infinitiv dan indikatif aktif. Semua kata-kata kerja ini akan dijelaskan
pada analisa gramatikal (tata bahasa) dengan tetap mengaitkannya dengan aspek sintaksis
nanti dengan menghubungkannya dengan semua kata keterangan, kata benda, kata sifat, kata
sandang, kata ganti orang, dan lainnya.
Berdasarkan pengklasifikasian jenis dan bentuk kata yang disesuaikan dengan gambar
diagram, maka dapatlah dikemukakan bahwa terdapat satu kata kerja utama dengan lima kata
kerja bantu pada pasal 28:19-20. Dan kata kerja utama disini yaitu kata μαθητεύσατε
(mathēteusate), kata kerja imperativ aoris aktif orang ke-2 jamak dari kata dasar
“maqeteuw” (mathēteuō) yang dapat diterjemahkan “haruslah kalian [dulu] sedang
membuat atau menjadikan murid”, atau dapat diterjemahkan “Dulu sedang menjadikan
murid”.63 Kata ini akan menjadi sentral dan fokus dalam “pemaknaan” guna memahami
tujuan pendidikan Kristen yang kemudian dikaitkan dengan kata-kata kerja lainnya yang
diakhiri dengan kata kerja terakhir lainnya, termasuk kata terein yang juga sangat penting
karena menekankan tentang hal “menuruti atau mengikuti” semua yang diajarkan,
dikhotbahkan, dan dilakukan Tuhan Yesus semasa pelayanan-Nya sebagaimana dikisahkan
menurut Matius.

63
Para ahli mengatakan bahwa dalam memahami setiap kata yang menggunakan bentuk kata kerja
imperativ aoris aktif dapat juga diterjemahkan sebagimana bentuk “presen indikatif aktif” namun tetap
memperhatikan factor “penegas atau factor “perintah”.
14 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
Struktur
Bertolak dari deskripsi penting dan pemberian arti atau makna secara leksikal bagi
seluruh kata sebagaimana terdapat dalam Matius 28:19-20. 64 Maka dalam pemenggalan
struktur di sini penulis akan membaginya berdasarkan teks Yunani sebagaimana PB
diredaksikan sambil mempertimbangkan terjemahan literal yang dikemukakan pada bagian
sebelumnya oleh penulis, yaitu:
1. πορευθέντες οὖν μαθητεύσατε πάντα τὰ ἔθνη, (poreuthentes oun mathēteusate
panta ta ethnē)
2. βαπτίζοντες αὐτοὺς εἰς τὸ ὄνομα τοῦ πατρὸς καὶ τοῦ υἱοῦ καὶ τοῦ ἁγίου
πνεύματος, (baptizontes autous eis to honoma tou patros kai tou huiou kai tou
agiou)
3. διδάσκοντες αὐτοὺς τηρεῖν πάντα ὅσα ἐνετειλάμην ὑμῖν· (didaskontes autous
tērein panta hosa eneteilamēn humin)
4. καὶ ἰδοὺ ἐγὼ μεθ᾽ ὑμῶν εἰμι πάσας τὰς ἡμέρας ἕως τῆς συντελείας τοῦ αἰῶνος
(kai idou egō meth humōn eimi pasas tas hēmeras eōs tēs sunteleias tou aiōnos)

Analisis Leksikal (Kata) dan Gramatika (Tata Bahasa)

Pada bagian ini, penulis hendak menyelidiki dan memaparkan semua


kata, yakni; kata benda, kata, kerja, kata sifat, kata keterangan, kata
ganti, kata penghubung, kata sandang, kata depan serta lainya yang
terdapat dalam teks Matius 28:19-20. Penulis menganggap bahwa semua
kata dalam bagian ini merupakan diksi yang penting untuk diselidiki guna
“membawa keluar” (eksegesis) makna sesungguhnya sesuai dengan
maksud teks tersebut.

1. πορευθέντες οὖν μαθητεύσατε πάντα τὰ ἔθνη, (poreuthentes oun mathēteusate


panta ta ethnē)
Memahami leksikalitas setiap kata dalam teks secara literer menjadi rujukan penting
dalam memaknai sebuah kata secara gramatikal selain juga latar belakang kitab. Hal ini
bertujuan akar titik berangkat dalam memberi makna menjadi acuan positif sekaligus sebagai
upaya meminimalisir kesalahan dalam memaknai sebagaimana dimaksud. Maka pada kalimat
sebagaimana dikemukakan oleh Matius pada pasal 28:19-20 diawali dengan klausa penting
yaitu πορευθέντες οὖν μαθητεύσατε πάντα τὰ ἔθνη, (poreuthentes oun mathēteusate panta
ta ethnē). Klausa ini terdiri atas lima kata yang diwali dengan kata πορευθέντες (poreuentes)
dalam tata bahasa Yunani. Kata πορευθέντες (poreuentes) adalah kata kerja partisip pertama,

64
Pada dasarnya bagian ini hendak memperlihatkan bahwa selama ini ternyata bahwa ada sebuah jurang
(gap) yang belum terisi dalam studi mengenai Matius 28:19-20. Di satu sisi, teks ini memiliki posisi yang cukup
penting, baik dalam sejarah kekristenan maupun dalam retorika Injil Matius. Di sisi lain, penekanan utama dari
teks yang penting ini tampaknya kurang mendapat perhatian secara leksikal dalam kaitannya dengan pendidikan
Kristen. Dan pada kenyataannya, lebih banyak teks ini dijadikan sebagai rujukan misi dalam Kekristena pada
masa lampau maupun saat ini.
15 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
dan memiliki kala aoris65 aktif dengan kausus nominativ66 maskulin jamak yang
diterjemahkan karena itu oleh TB-LAI “pergilah”. Dapatlah dipahami bahwa bentuk aoris
pasif disini menunjuk pada kondisi dimana para murid Yesus subyek atau pelaku utama
(kasus nominativ), bahwa mereka menjadi subyek utama yang saat itu hendak menerima
sebuah mandat baru dari Tuhan Yesus, dan peristiwa itu benar-benar terjadi dimana Yesus
sedang berkomunikasi dengan murid-murid-Nya. Hal ini dapat terkonfirmasi berdasarkan
konteks dekat dari bagian ini. Menariknya, kata kata οὖν (oun) yang diterjemahkan TB-LAI
“karena itu”, rupanya menghubungkan seluruh kalimat yang terdapat pada dua ayat terakhir
ini dengan pasal-pasal sebelumnya.
Jadi, awal kalimat yang didahului dengan οὖν (oun) di sini menjadi kata penghubung
yang memainkan peranan dalam menghubungkan seluruh pokok atau penekanan dalam Injil
Matius dengan pesan terakhir sebagaimana terdapat pada dua ayat penutup dari injil ini.
Tentu dapat dipahami bahwa Yesus bermaksud memeberikan perintah penting yang mana
perlu diawali dengan sebuah penegasan dan harapan bahwa para murid perlu mengingat
kembali semua hal yang pernah mereka ketahui selama ada bersama dengan Yesus. Dan
berdasarkan “semua itulah” maka sekarang Yesus mulai dengan sebuah kata pembuka untuk
memulai kalimat baru yaitu “karena itu pergilah kamu”.
Kata kerja selanjutnya yang penting untuk dianalisis yaitu kata μαθητεύσατε
(mathēteusate) yang dapat diterjemahkan “[dulu] haruslah kalian [sedang] menjadikan murid.
Jika melihat struktur bahasa aslinya, penulis sepakat dengan para ahli yang mengemukakan
bahwa kata μαθητεύσατε (matheteusate) merupakan kata yang paling penting di antara semua
kata perintah yang lain.67 Hal ini tentunya tidak dapat dibantah jika hanya menjadikan
Wallace membagi bentuk aoris menjadi 6 jenis yaitu: Constative, Ingressive,
65

Consummative, Epiostolary Aorist, Proleptic (futurictic) Aorist dan Immediate Past Aorist/
Dramatic Aorist, lih. Daniel B. Wallace, The Basics of New Testament Syntax, An
Intermediate Greek Grammar, (Zondervan, Grand Rapids Michigan, 2000), hlm. 239.
Terkait dengan Aoris, Pandensolang mengatakan bahwa kata aoris berasal dari kata
Yunani [a,] artinya tidak dan oristoj artinya “dapat dibatasi atau dijelaskan.” Dengan
demikian aoris artinya tindakan tanpa penjelasan (pencapaian dan kelangsungannya),
namun hanya menenkankan adanya peristiwa masa lampau, tanpa membahas
aspeknya, termasuk akumulasi tindakan yang terjadi, apakah tindakan hanya sesekali
terjadi atau lebih dari itu. Bndingkan dengan Welly Pandensolang, Gramatika dan
Sintaksis Perjanjian Baru, 179., terkait dengan konteks kisah ini, penulis setuju dengan
Schafer yang mengatakan bahwa ada bentuk aoristus mixtus (‘Aorist Campur’), Aorist
ke-II. Pembentukan aorist dengan pokok khusus yang berbeda dengan pokok present.
Lihat dalam Ruth Schafer, Belajar Bahasa Yunani Koine, Penduan Memahami dan
Menerjemahkan Teks Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), xxiii bnd. 146.,
Kata ei=pen adalah dipakai sebagai bentuk aoristus kedua dari legw -legō Lih. Hasan
Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian baru
(PIBK), Jilid-2, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2004), hlm. 245
66
Dalam Sintaksis bahasa Yunani, bentuk Nominatif selalu menunjuk kepada subyek utama yang selalu
menjadi penting untuk dipahami demi mahami sebuah kalimat sesuai dengan peruntukannya. Dalam tulisannya,
Wallace membagi presentase penggunaan kata dengan jenis kasus nominative lebih banyak yaitu 31 %
disbanding dengan kausus Genitiv yaitu 25 %, Datif yaitu 15 %, Akusativ yaitu 29 %, dan Vokativ sebanyak ˂ 1
%., lih. Daniel B. Wallace, The Basics of New Testament Syntax, An Intermediate Greek
Grammar, (Zondervan, Grand Rapids Michigan, 2000), hlm. 38
67
Hal ini, misalnya dilakukan oleh Ferry Yang ketika menjadikan bagian teks yang sama sebagai rujukan
biblis dalam mengemukakan gagasannya mengenai tujuan pendidikan Kristen. Namun “Yang” mengawali
gagasannya bahwa pada teks dimaksud, bukan terdapat empat kata perintah melainkan hanya satu perintah yaitu
maqheteusate. Yang kemudian mengarahkan gagasannya dalam kaitan dengan hal-hal praktis sebagaimana
terdapat dalam realitas bahwa pelaksanaan Pendidikan Kristen pada konteks dan perkembangan globalisasi saat
16 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
standar leksikal sebagai acuan dalam memaknai sebuah teks. Namun dengan memahami
keutuhan teologi Kitab Matius tentunya akan memberikan sumbangsih “pemaknaan” yang
jauh lebih menarik jika hendak memaknai bagian ini secara lebih komprehensif. Terkait hal
ini, berbeda dengan Ferry yang hanya menjadikan makna leksikal sebagai rujukan dalam
memaknai kata maqheteusate, Pelita Hati Surbakti yang mendasari gagasannya
berdasarkan latar belakang dan historisitas Injil Matius dan kemudian mengemukakan
gagasannya yang menarik terkait dengan penekanan Kitab Matius yaitu “tērein” yang dapat
diterjemahkan “sambil [sedang] menuruti”68 yang akan penulis analisis pada bagian kata
“tērein” nanti.
Frasa πάντα τὰ ἔθνη, (panta ta ethnē) merupakan kelanjutan dari kata-kata sebelumnya
yang memperjelas kuantifikasi dan lokusi dari subyek dan kata karja pada frasa sebelumnya.
Itu berarti bahwa kata sifat πάντα yang artinya “setiap” atau “semua” dan kata τὰ ἔθνη, (ta
ethnē) yang adalah kata benda dan kasusnya akusatif69 sehingga merupakan sasaran atau
objek kerja dari μαθητεύσατε (matheteusate), yakni “pekerjaan menjadikan murid” yang
tidak dibatasi lagi kepada hanya Israel. Benarlah apa yang dikatakan oleh J.T Nielsen yang
mengatakan bahwa “Kata kerja imperativ yang hanya digunakan satu kali pada kedua ayat ini
memberi kesan penting bahwa kata μαθητεύσατε (matheteusate) artinya “jadikanlah murid”
adalah termasuk kata-kata poko dalam kosa kata Injil Matius, dimana Matius menggunakan
kata ini sebanyak tiga kali (Mat. 13:52; 27:57; 28:19) yang selalu memiliki arti menjadikan
murid Yesus Kristus”.70
Dengan demikian maka klausa πορευθέντες οὖν μαθητεύσατε πάντα τὰ ἔθνη,
(poreuthentes oun mathēteusate panta ta ethnē) yang menjadi awal dari kalimat sebagaimana
dalam teks yang dianalisis, dapat dimaknai sebagai sebuah klausa pembuka yang
menghubungkan semua pengajara, khotbah, dan pekerjaaan Yesus yang telah dilakukan pada
konteks literer sebelumnya, yang kemudian diredaksikan oleh Matius agar pembaca dapat
memahami tentang tugas atau tanggung jawab para murid yang didorong oleh Yesus agar
mereka dapat menjadi penerus misi-Nya yang bergairah dengan tujuan menjadikan semua
orang yang secara konteks sosial berada pada posisi atau sebutan “bangsa yang tidak
mengenal Allah agar menjadi murid atau pengikut dari Tuhan Yesus.
Maka disinilah kemudian penulis hendek memberikan sebuah penekanan penting bagi
pemerhati dan pembelajar atau pelaku dalam konteks pendidikan Kristen agar
mengembalikan amanat teks sebagaimana terdapat pada Matius 28:19-20 yang mana
menekankan tentang aspek “pendidikan” sebagai upaya mengejawantahkan misi sebagaimana
ini. lihat Ferry Yang, Tujuan Pendidikan Kristen, Jadikanlah semua bangsa murid-Ku” dalam Pendidikan
Kristen, (Surabaya: Momentum, 2018), 34-52
68
Pelita Hati Surbakti, Yang Terutama Dalam Amanat Agung, Sebuah Pencarian Makna Kata Tērein
Dalam Matius 28:20a, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2017., Penulis memahami bahwa Surbekti mencoba
memaknai semua kata dalam Teks Matius 28:19-20 ini dengan menjadikan latar belakang teks secara literer dan
latar belakang social pembaca mula-mula dimana para Murid berada. Sementara Ferry Yang hanya menjadikan
makna leksikal dari setiap kata kemudian memberi penekanan sebagaimana terlihat dalam gagasannya. Maka
pada tulisan ini, penulis hendak mengemukakan kedua pendekatan ini bagi semua bagian kata, frasa, klausa,
kalimat dan kemudian menegaskan tentang “tujuan pendidikan Kristen” secara Biblis yang sedikit tidak diberi
penekanan seakan-akan bagian ini hanya berkaitan dengan misi gerejani.
69
Bentuk kasus “akusatif” dalam tata bahasa Yunani biasanya diterjemahkan dengan “kepada” yang
menunjuk kepada “objek”.
70
Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai perihal ini, lihat J.T. Nielsen, Kitab Injil Matius, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009), 198-99
17 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
dipahami. Dan pada saat yang sama, para pelaku atau pekerja misi gerejani perlu memahami
amanat teks ini secara seimbang dan meminimalisir upaya yang tidak seimbang, dimana
terjadi bahwa ayat ini seakan-akan hanya berbicara mengenai misi gerejani yang pada
kenyataannya justru lebih menekankan aspek pendidikan sebagaimana makna leksikal dari
mathēteusate itu sendiri.

2. βαπτίζοντες αὐτοὺς εἰς τὸ ὄνομα τοῦ πατρὸς καὶ τοῦ υἱοῦ καὶ τοῦ ἁγίου
πνεύματος, (baptizontes autous eis to honoma tou patros kai tou huiou kai tou
agiou)
Bertolak dari pemahaman akan pentingnya memuridkan semua orang pada setiap suku
dan bangsa, dalam hal ini bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, tentunya menjadi
pertanyaan penting pada zaman Yesus melayani bahwa setiap orang yang hendak
mendeklarasikan keberadaannya pada sebuah gerakan mesianik71 tentunya memiliki tata cara
ritual yang memperlihatkan keberadaannya yang berbeda ketika dibandingkan dengan sekte
atau gerakan mesianik lainnya yang muncul pada saat itu.
Hal penting yang perlu dilakukan oleh para murid dalam konteks “memuridkan” setiap
orang yaitu βαπτίζοντες (baptizontes). Kata ini merupakan bentuk partisip yang adalah kata
kerja bantu. Secara sederhana, dapat diterjemahkan “[sambil] membaptis”. Para ahli sepakat
bahwa pada ayat 29 ini, kata kerja utama mathēteusate kemudian diuraikan atau
diejawantahkan melalui tindakan partisip atau “kata kerja bantu” βαπτίζοντες (baptizontes)
dan didaskontej yang artinya “mengajar”. Penegasan mengenai hal ini dikemukakan oleh
Pelita Hati Surbekti demikian;
Dengan demikian, dalam kalimat Yesus Matius72 yang menjadi klimaks, kesimpulan
dan kunci untuk memahami Injil ini, terdapat dua aspek dari perintah untuk
memuridkan, yakni membaptis dan mengajar. Dari dua aspek tersebut, mengajar
tampaknya lebih menjadi perhatian Matius daripada membaptis. Setidaknya ia tampak
dari penggunaan kosa kata “baptis” yang muncul 7 kali dalam dua atau setidaknya
dalam tiga peristiwa, sementara kata “mengajar” muncul 14 kali dalam 12 peristiwa. 73
Kesan penting yang terlihat dari gagasan Surbekti yaitu menerasikan bahwa “hal
mengajar” lebih diberi tekanan sesuai jumlah munculnya sebutan “membaptis”. Namun
bukan berarti surbekti menganggap baptisan tidak penting melainkan lebih kepada
pemaknaan secara leksikal yang memang pula menunjukan kesan itu. Persoalan yang muncul
berdasarkan fenomena kekeristenan pada daerah-daerah tertentu dimana dilayani oleh
pengajar. Pengkhotbah atau pelayan Firman Tuhan yang kurang memahami hal leksikal
kadang-kadang dan bahkan sering mengajar, mengkhotbahkan hal “membaptis” yang
terkesan lebih utama dari hal “menjadikan murid” sebagaimana makna teks ini. Sehingga
disinilah diperlukan sebuah upaya yang kontruktif dan bersifat inklutif bagi para pengajar,
71
Hal ini sebagaimana terjadi pada zaman Yesus bahwa para murid dianggap sebagai pengikut sebuah
sekte dari aliran keagamaan Yahudi yang muncul sebagai reaksi terhadap segala penderitaan yang mereka alami
karena tekanan politik dari bangsa-bangsa yang secara silih berganti menjadi “perampas” kebebasan bagi Israel
dalam eksistensinya sebagai sebuah bangsa.
72
Surbekti menggunakan “istilah “Yesus Matius” untuk menunjuk kepada Kisah Matius sebagaimana
dalam Injilnya yang mengisahkan mengenai Yesus.
73
Pelita Hati Surbakti, Yang Terutama Dalam Amanat Agung, Sebuah Pencarian Makna Kata Tērein
Dalam Matius 28:20a, 23
18 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
pengkhotbah dan pendidik Kristen agar lebih bijak ketika memahami struktur dan tata bahasa
Yunani sebagai bahasa PB pada mulanya agar meminimalisir kekeliruan yang selama ini
terjadi.
Kata berikut yang perlu dijelaskan di sini yaitu kata αὐτοὺς dan kata εἰς, kedua kata ini
sama-sama menggunakan jenis kasus akusativ yankni berfungsi sebaga “penunjuk” sehingga
tetap terkait dengan kata βαπτίζοντες (baptizontes). Dimana kata αὐτοὺς yang dapat
diterjemahkan “kepada mereka”, kemudian dipertegas lagi dengan kata εἰς artinya “ke
dalam” atau “kepada” τὸ ὄνομα. Kata ini penting karena dalam nama berarti menunjuk
kepada siapa kesetiaan diikrarkan dalam baptisan. R.T. France mengemukakan “in the
names of denotes the one two whom allegiance is pledged in baptism. The Trinitarian
‘formula’ is striking; nothing like it occurs elsewhere in the NT, though the close association
of the Son with the father has been seen in 11:27; 24:36. Note how all three persons were
involved in Jesus’ own baptism (3:16-17)”.74
Menarik karena kata τὸ ὄνομα. Masih menggunakan kasus yang sama, baik kata
sandangnya maupun kata bendanya secara sintakstikal. Namun kata τὸ ὄνομα. Memiliki jenis
kelamin neutrum yang akan menunjuk kepada frasa τοῦ πατρὸς καὶ τοῦ υἱοῦ καὶ τοῦ ἁγίου
πνεύματος,. (tou patros kai tou huiou kai tou agiou). Kata τὸ ὄνομα yang dikaitkan dengan
frasa selanjutnya yang menunjuk kepada satu subyek, yakni nama baik “Sang Bapa” 75.
Menariknya, “Sang Anak”, dan “Roh Kudus” menggunakan kasus genitiv. Maka di sinilah
dapat dipahami bahwa “nama baik Sang Bapa, Sang Anak dan Roh Kudus” merupakan satu
subyek [oknum]76 yang memiliki tiga pribadi yakni Bapa, Anak dan Roh Kudus yang mana
sebagai sumber atau pemilik dari kehidupan bagi setiap orang yang hendak dijadikan murid
melalui kegiatan membaptis dan mengajar.
Berdasarkan pemaknaan secara leksikal, maka secara teologis, dapatlah dipahami
bahwa nama Sang Bapa, Sang Anak, dan Roh Kudus memiliki pribadi masing-masing yang
sejajar dan saling terkait satu dengan yang lainnya dalam karya, dan menjadi “penjamin” bagi
setiap orang yang menyatakan dikap menjadi murid atau pengikut-Nya.

3. διδάσκοντες αὐτοὺς τηρεῖν πάντα ὅσα ἐνετειλάμην ὑμῖν· (didaskontes autous


tērein panta hosa eneteilamēn humin)
Klausa ini diawali lagi dengan sebuah kata kerja dengan bentuk partisip yaitu
διδάσκοντες (didaskontes) yang secara sederhana dapat diterjemahkan “mengajarkan”. Kata
ini mempertegas pendapat beberapa ahli yang menganggap bahwa Kitab Injil Matius ini
adalah Kitab “pengajaran”, Tentu bahwa alasan ini sangat erat kaitannya dengan konteks
pembaca mula-mula yang mana mereka sebagai orang-orang Yahudi Kristen (helenis) yang
berada di Antiokhia tentunya mengharapkan sebuah Kitab sebagai rujukan dalam memahami
religiusitas pada zaman itu. Menariklah apa yang dikatakan Mouce yang dikutip oleh Leon
Moris ketika mengatakan “bahwa maqheteuein (mathēteuein) pertama-tama berarti
74
R.T. France, dalam 21 ST-Century Edition, New Bible Commentary bersama D.A. Carson, J.A. Motyer
& G.J. Wenham, 945 bandingkan dengan penjelasan Robert H. Gundry, Commentary on the New Testament,
Verse-by-Verse Explanation With a Literal Translation, (Peabody, Massachusetts: Hendickson, Publisher
Marketing, 2010), 135-136
75
Kata tou patroj adalah kata benda yang memiliki makna sebagai “subyek” sehingga menggunakan
kata yang memimiliki “kasus” nominativ.
76
Berkaitan dengan terminology Trinitas. Untuk hal ini
19 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
menjadi murid, kemudian menjadi deponent, dan dari sini memiliki arti aktif “memuridkan”,
Murid bukanlah dia yang telah diajar, tetapi mereka yang terus belajar.77
Kesan “kitab mengajar” sangat menjiwai seluruh Injil Matius ini. maka disini tentunya
makna διδάσκοντες (didaskontes) sangat penting untuk eksistensi misi gerejani melalui
kegiatan “mengajar”. Sebab melalui kegiatan mengajarlah, seseorang kemudian dapat
menjadi maqhete yang eksis dan dapat mempertahankan imannya dalam segala kondisi
sebagaimana dialami oleh pembaca mula-mula dari Kitab ini di Antiokhia dimana mereka
terus mengalami penganiayaan secara fisik maupun psikologi dikarenakan prinsip agamawi
yang sangat kuat dari orang Yahudi pada permulaan abad Masehi walaupun terus mengalami
penganiayaan.
Kata διδάσκοντες (didaskontes) yang merupakan sebuah kata kerja merujuk kepada
sebuah subyek dari kegiatan :mengajar” itu sendiri yaitu αὐτοὺς (autous) yang dapat
diterjemahkan “mereka”. Pertanyaannya yaitu siapkah “αὐτοὺς (autous)” di sini? Maka
disinilah fungsi sintakstikal dari bahasa Yunani menjadi penting. Bahwa kata αὐτοὺς
(autous) yang diterjemahkan “mereka” di sini dengan bentuk akusatif maka tentunya
menunjuk kepada sebuah objek. Maka kata αὐτοὺς (autous) di sini yaitu menunjuk kepada
“orang-orang” dari segala suku dan bangsa yang tidak mengenal Allah namun menjadi
meqhteuein atau pengikut Yesus.
Sekali lagi, kesan “pendidikan Kristen” melalui kata mengajar yang ditujukan kepada
orang-orang yang bersedia menjadi murid atau pengikut Yesus sangat mengkonfirmasi bahwa
misi Amanat Agung tidak dapat dipisahkan dengan pendidikan. Atau sebaliknya “pendidikan
Kristen adalah sebuah keharusan jika hendak memikirkan dan mengerjakan misi Allah guna
menghadirkan “sumum bonum” di tengah dunia ini. karena setelah αὐτοὺς (autous) yakni
“mereka” diajarkan, kemudian mereka dibimbing untuk tērein atau terus menuruti apa yang
telah diajarkan. Dalam dalailnya, Surbekti mengemukakan argumennya setelah menyelidiki
rimba informasi mengenai Kitab Matius dan kemudian menegaskan bahwa penekanan Injil
Matius yaitu “Allah beserta dengan kita”, dan jaminan “Allah beserta dengan kita ini
dipahami dan kemudian diresponi dengan sikap tērein atau terus menuruti apa yang telah
diajarkan.78
Berdasarkan makna leksikal dari kata tērein inilah, kemudian dapatlah dipahami
bahwa Yesus memang memberikan sebuah model dan esensi pengajaran yang baru kepada
para murid sebelum Ia terangkat ke surga. Bahwa pengajaran-Nya sangat berbedan dengan
para ahli agama atau guru-guru Yahudi pada zaman sebelum Yesus maupun zaman Yesus. Ia
menghendaki agar para murid memiliki sebuah standard kebenaran yang melebihi standar
sebagaimana dipahami dan dijadikan rujukan bagi guru-guru Yahudi. Standar kebenaran
yang Yesus inginkan para murid ajarkan dan lakukan yaitu berdasarkan semua yang telah
diajarkan Yesus kepada mereka πάντα ὅσα ἐνετειλάμην ὑμῖν (panta osa eneteilamēn humin).
Hal menarik lainnya yang perlu dipikirkan yaitu bahwa potensi mengajar yang dimiliki
para murid belum teruji. Maka kemungkinan untuk “membiasnya” pesan utama dalam sebuah
pengajaran tentunya tidak akan mampu dipertahankan dengan baik dalam kondisi dimana
munculnya berbagai pengajaran yang juga muncul dan eksis pada saat Matius menulis
77
Leon Moris, Injil Matius, 759
78
Pelita Hati Surbakti, Yang Terutama Dalam Amanat Agung, Sebuah Pencarian Makna Kata Tērein
Dalam Matius 28:20a,
20 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
Injilnya. Maka disinilah terlihat perfek nya langkah antisipatif yang sangat baik dilakukan
oleh Yesus dengan mengatakan panta osa ἐνετειλάμην ὑμῖν (panta osa eneteilamēn
humin) yakni “mereka perlu menuruti dan melakukan tērein semua yang telah dipesankan
bagi para murid.
Selanjutnya, tentunya bahwa pemaknaan kata tērein secara leksikal disini sejalan
dengan pemahaman mengenai latar belakang Kitab yang mana diketahui bahwa orang-orang
Kristen di Antiokhia sedang berada dalam kondisi yang sangat tidak menyelangkan. Namun
keyakinan mereka akan pengajaran perlu mendapat legitimasi datri Tuhan Yesus. Dengan
demikian maka dapatlah dipahami bahwa pendidikan Kristen memiliki tujuan yang bertolak
dari sebuah standar nilai atau standar kebenaran Yesus yang juga bersifat otoritatif. Namun
ketika mengaktualkan standard kebenaran dalam perspektif pendidikan Kristen kadang-
kadang dianggap sebagai hal sampingan saja dalam pelaksanaan pendidikan sebagaimana
diketahui saat ini. Pada intinya, tidak mungkin efektif jika pendidikan Kristen dijauhkan dari
konsen misi atau sebaliknya.

4. καὶ ἰδοὺ ἐγὼ μεθ᾽ ὑμῶν εἰμι πάσας τὰς ἡμέρας ἕως τῆς συντελείας τοῦ αἰῶνος
(kai idou egō meth humōn eimi pasas tas hēmeras eōs tēs sunteleias tou aiōnos).

Pelaksanaan “menjadikan murid” kepada para murid yang lokusnya bergeser dari Israel
sentris menjadi meluas panta ta eqnh (panta ta ethnē) tentunya berkaitan dengan
kesiapan para murid sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan misi dimaksud. Maka tentunya
dorongan berupa jaminan penyertaan dari pemberi mandat semestinya mencakup segala
aspek yakni tubuh dan jiwa yang siap sedia dalam kondisi apa pun. Maka disini, bagian akhir
dari kalimat yang dikemukakan oleh Matius tentunya memberikan jawaban mengenai hal itu.
Motivasi dan dorongan yang diberikan oleh Yesus diawali dengan kata penghubung antar
kata, antar frasa, antar klausa atau antar kalimat kai (kai) yang diterjemahkan secara
sederhana “dan” atau “dengan demikian”. Kata penghubung ini penulis terjemahkan “dengan
demikian” setelah memahami bahwa kata ini hendak menghubungkan bagian perintah
sebelumnya namun juga sekaligus mengantarkan pembaca pada sebuah kesimpulan dari
semua hal yang dikemukakan oleh penulis Matius bagi pembaca.
Kata kai (kai) kemudian diikuti dengan kata ἰδοὺ (idou) yang merupakan kata seru
yang dapat artinya “lihatlah; namun; memang; ingatlah; ada; di sini ada”. Dalam konteks
literer disini dapat diterjemahkan “Ingatlah selalu!” maksudnya bahwa Matius hendak
mingisahkan mengenai maksud Yesus disini yang mana menunjuk kepada sebuah klimaks
dalam maksud sebagai “jaminan” bagi para murid dalam mengerjakan hal “memuridkan”
orang-orang dari berbagai suku dan bangsa yang tidak mengenal Allah. Hal ἰδοὺ (idou)
yakni “ingatlah selalu” menunjuk kepada sebuah jaminan yang diberikan oleh “Sang egw”.
kata evgw, (egō) yang adalah ‘pronoun personal, first person’ atau ‘kata
ganti orang bentuk present orang pertama tunggal’ yang dapat
diterjemahkan “aku atau saya sendiri [sedang]”79. Kata egw, (egō) adalah
kata yang sangat sering digunakan dalam Perjanjian Baru, dan banyak
digunakan. Boleh dikatakan bahwa dalam Yunani klasik, kata egw-egō
mengungkapkan suatu hal berbeda atau sebuah hal yang [harus]

79
Ruth Schafer, Belajar Bahasa Yunani Koine, Panduan Memahami dan Menerjemahkan Teks
Perjanjian Baru, hlm. 28
21 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
diperhatikan jika digunakan oleh penulis untuk menggambarkan
seseorang. Meskipun sebagai kata ganti orang, kata egw (egō) digunakan
sebanyak 1.802 kali di dalam alasan dan maksud yang berbeda-beda.80
Secara sintakstikal, Kata egw, (egō) disini dapat dimaknai sebagai
penunjuk kepada “Sang Subyek yakni Yesus” yang penting bagi para
murid karena Dia sendiri yang memberikan jaminan penyertaan bagi
setiap pelaku “memuridkan”. Dan penting juga untuk memberikan
penegasan bagi pembaca atau pendengar serta umat Kristiani pada abad
mula-mula sebagaimana diketahui tentang tekanan psikologis dan fisik
yang dapat saja membuat mereka merasa ciut jika tidak ada jaminan dari
sang egw, (egō). Dan bentuk present di sini juga memiliki makna bahwa
Yesus akan berada setiap saat, atau yang dalam kata selanjutnya menjadi
jelas yaitu μεθ᾽ (meth). Kata ini adalah kata depan atau perangkai preposisi dari kata dasar
meta artinya “dengan; di antara; bersama; [akan] menyertai; dengan bantuan; bagi; untuk;
kepada; terhadap; memihak; melawan; di belakang; sebelah”81. Eric H.H. Chang
mengemukakan pemikiran yang sangat mendalam mengenai egw-egō
“Aku ada(lah)” sebagaimana digunakan dalam pengertian yang normal
atau dalam percakapan sehari-hari, dimana Yesus berbicara sebagai
seorang manusia sejati, tetapi secara khususnya sebagai “Sang Kristus”
atau “Sang Mesias.”82 Maka dapatlah dipahami bahwa Yesus sendiri yang akan selalu
memberikan penyertaan setiap saat dan pernyataan ini akan berdampak penting dalam
membangkitkan kembali semangat para murid yang sedikit mengalami goncangan karena
peristiwa kematian-Nya.
Namun setelah kebangkitan-Nya, Yesus memberikan janji penyertaan dari diri-Nya
bagi para murid tanpa terkecuali. Hal ini ditegaskan melalui kata yang digunakan yaitu kata
ὑμῶν (humon) yang adalah kata ganti orang dalam bentuk kasus genitiv jamak dari kata dasar
su artinya “engkau; mu; kamu; kamu sendiri; -mu” 83. Maka secara sintakstikal bentuk genitiv
disini dapat diberi makna “[Oleh] diri-Ku (Yesus sebagai pemilik) kepada atau bagi kamu
dalam hal ini para murid”. Bentuk jamak orang kedua jamak dini menarik karena menunjuk
kepada murid-murid secara kolektif tanpa terkecuali, namun juga bagi siapa pun yang mau
“mengerjakan hal memuridkan” dalam kaitan dengan aktifitas pendidikan dan misi gerejani.
Janji penyertaan Yesus yang bersifat kolektif sejalan dengan maksud dari kata
selanjutnya yang digunakan yaitu kata eimi. Menarik karena biasanya kata egw eimi
digunakan sebagai kata yang saling berkaitan dalam konteks Injil Yohanes. Namun dalam
konteks Injil Matius, Penulis memahami bahwa kata eimi (eimi) yang merupakan kata ganti
orang atau pronominal dalam bentuk tunggal yang secara sederhana dapat diartikan “aku
sedang tinggal atau berada” menjadi kelanjutan dari kata atau frasa sebelumnya yang
menyatakan mengenai “penyertaan Yesus bagi para murid secara kolektif. Penulis
menerjemahkan kata eimi dengan pertimbangan sisi sintakstikal dengan menjadikan
prasuposisi lata belakang sosial gereja Antiokhia dan konteks historis dari pembaca Injil
Matius pada zaman gereja mula-mula yang mana menganggap bahwa Allah yang disembah
adalah Allah yang transenden atau jauh dari umat-Nya. Sehingga kata eimi di sini tentu

Horst Balz and Gerhard Schneider, Exsegetical Dictionary of The New Testament,
80

Volume-1, (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1994),


hlm. 378
81
Ibid., 514
82
Eric H.H. Chang, The Only True God, Sebuah Kajian Monoteisme Alkitabiah,
(Semarang: Borobudur Publishing, 2011), hlm. 88-89
83
Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru
(PBIK) Jilid II, 721
22 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
mmberikan sebuah konfirmasi penting mengenai Allah yang dekat atau imanen. Makna dari
kata eimi di sini kemudian dipertegas lagi dengan kata yang memberikan cakupan atau
jangkauan secara kuantitatif yakni pasaj yang artinya “segala”.
Kata pasaj yang artinya “segala atau semua” di sini dapat dimaknai sebagai “segala
dalam pengertian jangkauan atau luasnya sebuah wilayah jika dikaitkan dengan kata atau
frasa sebelumnya dalam konteks ini. Maka segala disini dapat juga menunjuk kepada
“konteks atau kondisi social politik dan juga berkaitan dengan sebuah keberadaan. Namun
Kata pasaj yang artinya “segala atau semua” juga dapat dimaknai sebagai “segala” dalam
pengertian waktu sebagaimana diperjelas pada frasa selanjutnya sebagaimana dikatakan τὰς
ἡμέρας yang terdiri atas kata sandang τὰς dan kata benda ἡμέρας84 yang bentuk kasusnya
adalah akusativ veminin dan dapat diartikan “zaman ini”. Maka makna gramatikal dan
sintakstikal kata “zaman ini” disini menunjuk kepada obyek yang menerima dampak dari
janji penyertaan dari kata ganti orang pertama di atas yakni egw di atas. Menariknya, kata
τὰ ς ἡμέρας yang berkaitan dengan hal “waktu”, dapat juga diartikan “waktu di antara
matahari terbit dan terbenam, termasuk siang dan malam”.
Pemaknaan mengenai “penyertaan siang dan malam” disini menekankan tentang jangka
waktu yang sifatnya “pendek” karena berkaitan dengan “satu hari”. Namun juga dapat
dimaknai sebagai “jangka waktu yang panjang” yakni “zaman”. Sehingga penulis kemudian
menganggap bahwa penulis hendak memberikan sebuah konfirmasi mengenai penyertaan
dari “Sang Egw” yaitu Yesus sendiri yang menyertai dari hari kehari sampai tahun berganti
tahun dan bahkan ἕως (eōs) yaitu “selama” atau sepanjang zaman secara kontinu dan
simultan.
Pemaknaan kata sandang τὰς dan kata benda ἡμέρας dan kaitannya dengan kata ἕως
(eōs) oleh penulis dimana menekankankan tentang aspek waktu secara kontinu yang menjadi
jelas pada frasa selanjutnya yaitu τῆς συντελείας τοῦ αἰῶνος. (tēs sunteleias tou aiōnos. Kata
συντελείας (suntelaias) diawali dengan kata sandang τῆς yang dapat diterjemahkan “akhir;
akhir zaman; dan kesudahan”. Namun ketika memperhatikan aspek sintakstikal dengan
memperhatikan kasus serta pemaknaannya, maka penulis dapat memahami bahwa maksud di
sini yaitu penulis Matius menggunakan sebuah term penutup yang juga sekaligus bersifat
“penghiburan” bagi para pekerja yang terus “memuridkan” segala suku dan bangsa yang
tidak mengenal Allah yaitu bahwa “Sang Egw (egō) yang menunjuk kepada Yesus sendiri,
yakni bahwa Dia akan menyertai dari zaman sekarang [ini] sampai kepada akhir zaman,
sebagaimana ditegaskan dalam makna dari kata penutup τοῦ αἰῶνος. Yang dapat diartikan
sampai selama-lamanya atau sampai kekekalan.
Bertolak dari kata Kata sandang τοῦ dengan kasus genitiv maskulin tunggal (ini, itu,
sang, yang) dan kata αἰῶνος dari kata dasar aiwn bentuk genitiv dari kata benda maskulin
tunggal artinya “kurun waktu; waktu yang lama sekali; kekekalan; dunia berarti alam
semesta atau masyarakat yang sekuler; untuk selamanya; selama-lamanya; sampai selama-
lamanya; tetap untuk seterusnya dan selamanya (bnd. Ibr. 1:8)”85
Dengan demikian, kata terakhir yang digunakan oleh penulis Injil Matius sangat jelas
memberi penekanan akan penyertaan dari Yesus yang bersifat devinitif dan tetap untuk
selama-lamanya, dalam segala situasi dan dan konteks secara sosial, politik, atau lainnya
dimana aktifitas pendidikan yang tergambar dari maksud “memuridkan”. Maka sekali lagi,
disinilah terletak sebuah pemahaman penting bahwa pendidikan Kristen tidak dapat
dipisahkan dengan misi gerejani, atau sebaliknya misi gerejani tidak dapat mengesampingkan
aspek “pendidikan” yang mana berdampak pada hasil yang diinginkan oleh pemberi mandate
atau Amanat Agung yakni “jadikan semua bangsa murid-Ku”.
84
Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru
(PBIK) Jilid II, 346
85
Ibid., 32
23 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
Penutup dan Kesimpulan

Steleah melakukan berbagai diskusi secara library research yang mana merujuk pada
tema utama penelitian ini berdasarkan metode yang digunakan yaitu eksegesis deskriptif,
maka beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai kesimpulan dalam penulisan ini yaitu:
Pertama: Para murid Yesus diberikan sebuah mandat atau amanat baru yang perlu
mereka kerjakan, namun tetap menjadikan semua hal yang telah mereka pelajari melalui
komunikasi verbal mereka dengan Yesus, yang disertai pula dengan pengetahuan mereka
berdasarkan apa yang mereka lihat dan alami serta perhatikan selama mereka menjadi
“pengikut” Yesus dalam pelayanan. Bahwa mereka perlu menyadari pentingnya kecukupan
“pengetahuan” untuk menjadi seseorang yang hendak menerima mandate baru yang disebut
Amanat Agung. Maka dalam tataran pendidikan Kristen, seorang pendidik semestinya
memahami “kecukupan” pengetahuan yang holisti guna menjadi pendidik yang
bertanggungjawab dengan pesan penting yang diterimanya sebagai pendidik Kristen.
Kedua: Para murid Yesus perlu menyadari bahwa apa yang telah mereka ketahui bukan
hanya menjadi pengetahuan yang bersifat “theoria” atau teori dan konsep semata, melainkan
bahwa mereka perlu menjadikannya sebagai dasar pengajaran yang diwujudnyatakan dalam
kegiatan yang memiliki kaitannya dengan hal “pendidikan”. Karena hal “menjadikan murid”
atau “menjadikan pengikut” hanya dapat terwujud ketika seorang penerima mandat mau
melakukannya secara praktis dalam tataran proses interaksi “pendidikan”.
Ketiga: Pendidikan Kristen yang dalam hal ini memiliki kaitan dengan “misi gerejani”,
perlu mengarahkan fokusnyua kepada dunia yang luas dengan segala perkembangannya yang
bersifat holistik, hal ini penting mengingat bahwa Amanat Agung bukan hanya difokuskan
pada daerah tertentu, melainkan “seluruh dunia” merupakan lahan misi. Sebutan atau istilah
panta ta eqnh, (panta ta etnē) perlu menjadi sebuah acuan penting agar para pelaku
amanat Agung tidak hanya menjadikan daerah atau lokus tertentu menjadi ladang misinya
sementara mengorbankan daerah lainnya. Dan dalam pengertian yang masih berkaitan
dengan panta ta eqnh, (panta ta etnē), maka kesan penting yang didapatkan juga adalah
bahwa orang-orang yang melaksanakan pekerjaan “menjadikan murid” perlu memahami
bahwa “hal-hal teknis seperti membaptis dan hal menuntut para pengikut-Nya”, tidak perlu
dipersoalkan secara berlebihan dan kemudian menghilangkan tujuan utama dari Amanat
Agung yaitu “menjadikan murid” dari segala atau berbagai suku dan bangsa.
Keempat: Bertolak dari latar belakang sejarah dan penekanan Injil Matius yakni “Allah
beserta dengan kita” maka penting untuk dikemukakan juga bahwa yang kondisi sosial,
politik, agama dan lainnya tidak boleh dijadikan sebagai penghalang dalam pelaksanaan
Amanat Agung melalui pendidikan Kristen dan misi gerejani.
Kelima: semua yang diperintahkan dalam Amanat Agung penting untuk dilakukan
yaitu “pergi, jadikanlah, baptislah, dan ajarkanlah”. Hal inilah yang ditekankan dalam kata
tirein yakni bahwa setiap orang yang hendak melakukan Amanat Agung perlu “menyimpan,
dan menuruti” semua hal yang telah mereka pelajari dan ketahui.
Keenam: Terdapat sebuah penghiburan penting bagi orang-orang yang hendak
melakukan Amanat Agung banhwa “Yesus sendiri” yang akan “menyertai” dari zaman
lampau hingga zaman ini dan zaman yang akan datang, dan bahkan sampai kekal selama-
lalamaya.
Ketujuh: Bertolak dari pemahaman secara leksikal, gramatikal dan sintakstikal bahasa
Yunani maka dapatlah ditegaskan kembali bahwa pendidikan Kristen merupakan amanat
penting yang perlu dikerjakan oleh semua orang Kristen yang terlibat dalam misi gerejani.
Keduanya saling terkait. Namun pertanyaannya yaitu: manakah hal yang terpenting?
Jawabannya bahwa “di dalam pendidikan Kristen harus ada unsur misi, dan sebaliknya di
24 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
dalam misi gerejani harus terdapat juga unsur pendidikan. Maka dalam unsur atau kegiatan
“menjadikan murid” yang secara tersurat menekankan hal “pendidikan Kristen sebaiknya
juga ditegaskan agar menjadi satu-kesatuan dalam pelaksanaannya dengan misi gerejani. Dan
pelaku misi gerejani tidak boleh menganggap bahwa “pendidikan Kristen” hanya menjadi
kegiatan sampingan sebagai upaya mengejawantahkan misi Kristiani berdasarkan Amanat
Agung” sebagaimana terdapat dalam Matius 28:19-20. Dengan demikian maka klausa
“jadikan semua bangsa murid-Ku” sebagaimana diucapkan Yesus, susungguhnya merupakan
perintah penting yang menegaskan hubungan timbal balik yang tak terpisahkan antara misi
pendidikan Kristen dan misi gerejani.

25 Tulisan Jurnal: Sensius Amon


Karlau
Daftar Rujukan

Balz, Horst and Schneider, Gerhard., Exsegetical Dictionary of The New Testament,
Volume-1, (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1994)
Burhan Bugin, H.M., Penelitian Kualitatif Edisi Kedua, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2011)
Colins, Gerald O., Kamus Teologi, (Yogyakarta: KANISIUS, 1996)
Creswell, John W., Research Design, Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan
Campuran, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2016)
Drane, John, Memahami Perjanjian Baru, Pengantar Historis-Teologis, (Jakarta: BPK
Gungung Mulia, 2011)
de Heer, J.J., Tafsiran Alkitab Injil Matius, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011)
Drewes, B.F., Haubeck, Wilfrid & von Siebenthal Hendrich, Neuer sprachlicher
Schlussel zum Apostelgeschichte dalam terjemahan Bahasa Indonesia dengan judul Kunci
Bahasa Yunani Perjanjian Baru, Kitab Injil Matius Hingga Kitab Kisah Para Rasul, oleh BPK
Gunung Mulia, 2010)
Ferguson, Ducan S., Biblical Hermeneutics: An Introduction, (Atalanta: John Knox
Press, 1986)
France, R.T., dalam 21 ST-Century Edition, New Bible Commentary bersama D.A.
Carson, J.A. Motyer & G.J. Wenham, (Nottingham, England Inter-Versity Press: IVP
Avademic, 2010)
Guthrie, Donald, Pengantar Perjanjian Baru Volume 1, (Surabaya: Momentum, 2008)
Hartati, Neneng, Statistika untuk Analisis Data Penelitian, (Bandung: Penerbit Pustaka
SETIA, 2017)
Harrington, Daniel J., , Matius, dalam buku Tafsir Alkitab Perjanjian Baru,
(Yogyakarta: Kanisius, 2002)
H.H. Chang, Eric., The Only True God, Sebuah Kajian Monoteisme Alkitabiah,
(Semarang: Borobudur Publishing, 2011)
Moris, Leon, The Gospel according to Mathew, Terjemahan Indonesia dengan judul
Injil Matius, (Surabaya: Momentum, 2016)
Nielsen, J.T., Kitab Injil Matius, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 198-99
Paparang, Stenly R., Mewartakan Kabar Baik Misi Kita Bersama, (Memahami
Substansi Teks-teks Misi Dalam Konteks Tanggung Jawab Iman, dalam Make God,s Mission
Your Mission, (Jakarta: Penerbit Views dan DELIMA, 2018)
Pohan, Elias dan Setiawidi, Agustinus, Bahasa Ibrani untuk Pemula, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2015)
Sugiyono, Metode Penelitian Kebijakan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
Kombinasi, R&D dan Penelitian Evaluasi, (Bandung: Penerbit ALFABETA, 2017)
Timotius, Kris H., Pengantar Metodologi Penelitian, Pendekatan Manajemen
Pengetahuan untuk Perkembangan Pengetahuan, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2017)
Sudaryono, Metodologi Penelitian, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2017)
Rogers Jr, Cleon L. & Rogers III, Cleon L., dalam The New Linguistic and Exegetical
Key to the Greek New Testament, (Grand Rapids, Michigan, Zondervan Publishing House,
1998)
26 Tulisan Jurnal: Sensius Amon
Karlau
Pandensolang, Welly., Gramatika dan sintaksis bahasa Yunani dalam Perjanjian Baru,
(Jakarta: YAI Press, 2010)
Schafer, Ruth., Belajar Bahasa Yunani Koine, Penduan Memahami dan
Menerjemahkan Teks Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011
Sihombing, Liberti P. dan Kentjono, Djoko mengenai “Sintaksis” dalam buku “Pesona
Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005)
Surbakti, Pelita Hati., Yang Terutama Dalam Amanat Agung, Sebuah Pencarian
Makna Kata Tērein Dalam Matius 28:20a, (Jakarta: BPK Gunung Mulia
Sutatnto, Hasan., Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi
Perjanjian Baru (PBIK), Jilid I, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2004),178
Sutanto, Hasan., Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia dan Konkordansi
Perjanjian Baru (PBIK) Jilid II, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2004)
Tim Penerjemah dan Penyusun, Perjanjian Baru Yunani-Indonesia, Edisi ke-2,
(Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia [LAI], 2002)
Wallace, Daniel B., The Basics of New Testament Syntax, An Intermediate Greek
Grammar, (Zondervan, Grand Rapids Michigan, 2000
Wenham, J.W., Bahasa Yunani Koine, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara,
1977)
Wright, Christopher J.H., Misi Umat Allah, (Jakarta: Literatur Perkantas, 2010)
Yuwono, Untung, dalam Pesona Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005)
Yang, Ferry., Tujuan Pendidikan Kristen, Jadikanlah semua bangsa murid-Ku” dalam
Pendidikan Kristen, (Surabaya: Momentum, 2018), 34-52

27 Tulisan Jurnal: Sensius Amon


Karlau

Anda mungkin juga menyukai