Anda di halaman 1dari 143

MEMAHAMI

GAS GUNUNG API


MEMAHAMI
GAS GUNUNG API

PUSAT VULKANOLOGI DAN MITIGASI BENCANA GEOLOGI


BADAN GEOLOGI
MEMAHAMI GAS GUNUNG API

PENULIS
Priatna
Sofyan Primulyana

EDITOR AHLI
Hendra Gunawan
Nia Haerani
Nana Sulaksana

EDITOR BAHASA
Atep Kurnia

DESAIN ISI DAN SAMPUL


Ayi R. Sacadipura

PENERBIT
Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi
Badan Geologi
Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral ILUSTRASI SAMPUL
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung - 40122 Kawah Woro Merapi
website: vsi.esdm.go.id dari foto Yustinus Sulistiyo, 1999.
Cetakan pertama: 2020

Undang-undang RI Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta


Ketentuan Pidana Pasal 42:
Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau men-
jual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak
terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidanakan dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (Lima
Ratus Juta Rupiah).
SAMBUTAN

D
engan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang
Maha Esa, saya sampaikan selamat kepada Pusat Vulkanologi
dan Mititgasi Bencana Geologi atas diterbitkannya buku
berjudul Memahami Gas Gunung Api.
Indonesia menjadi rumah dari begitu banyak gunung api. Ini
disebabkan karena berada di jalur gunung api aktif dan merupakan
pertemuan antara jalur gunung api Pasifik dan jalur gunung api
Mediteranian, sebagai akibat dari tumbukan antara tiga lempeng
raksasa. Di antara gunung api aktif tersebut dapat dipastikan gas
vulkanik memainkan peran yang besar, dalam proses aktivitas
gunung api. Dengan kata lain, gas vulkanik merupakan salah satu
penanda keberadaan sebuah gunung api.
Kepada penulis, saya ucapkan terima kasih dan penghargaan,
semoga buku ini menambah khazanah pengetahuan kepada para
pembaca mengenai pentingnya data dan informasi gas vulkanik
dalam memahami aktivitas gunung api.
Akhir kata, buku ini diharapkan menggugah inspirasi dan
menjadi motivasi kepada para fungsional dan pemangku kepentingan
Badan Geologi untuk mendorong pentingnya menghasilkan sebuah
karya sebagai wujud upaya perlindungan dan kesejahteraan bagi
masyarakat luas.
.

Eko Budi Lelono


Kepala Badan Geologi

Sambutan v
vi Memahami Gas Gunung Api
KATA PENGANTAR

A
lhamdulillah, buku Memahami Gas Gunung Api telah
diterbitkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi (PVMBG). Buku ini berusaha memberikan
informasi kepada masyarakat terkait upaya untuk memahami gas
gunung api. Dalam hal ini, PVMBG sebagai unit di lingkungan
Badan Geologi, di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, memiliki tugas melaksanakan penelitian, penyelidikan,
perekayasaan dan pelayanan di bidang vulkanologi dan mitigasi
bencana geologi.
Pedoman Mitigasi Bencana Geologi yang meliputi Bencana
Gunung api, Gerakan Tanah, Gempa Bumi, dan Tsunami disebutkan
bahwa mitigasi bencana gunung api adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana gunung api, baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana gunung api. Salah satu yang patut mendapat
perhatian dalam upaya mitigasi bencana gunung api tersebut adalah
keberadaan gas vulkanik.
Buku Memahami Gas Gunung Api ini secara tersurat
mengindikasikan bahwa gas vulkanik memang patut sekali mendapat
perhatian yang serius. Di dalam buku ini, terlihat dari isi yang
dikemukakannya, antara lain berupa upaya mengenali gas vulkanik
berikut sifatnya dan bahaya yang ditimbulkan oleh gas vulkanik.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Semoga buku ini
menjadi inspirasi bagi para pegawai di lingkungan PVMBG untuk
terus melakukan karya tulis ilmiah, demi tersebarnya informasi
kegunungapian dan mitigasinya ke tengah masyarakat luas.

Kasbani
Kepala Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi

Kata Pengantar vii


viii Memahami Gas Gunung Api
DAFTAR ISI

v SAMBUTAN

vii KATA PENGANTAR

ix DAFTAR ISI

1 MITIGASI GUNUNG API



13 RISET GAS GUNUNG API

29 SIFAT DAN BAHAYA GAS VULKANIK

43 PREPARASI DAN ANALISIS LABORATORIUM

59 SAMPLING DAN PEMANTAUAN



75 STUDI KASUS DI DATARAN TINGGI DIENG

126 DAFTAR PUSTAKA

131 PENULIS

Daftar isi ix
x Memahami Gas Gunung Api
01

MITIGASI
GUNUNG API

Mitigasi Gunung Api 1


Letusan Gunung Sinabung 2020, foto: Priatna

P
enduduk yang berjumlah sekitar 250 juta jiwa berisiko tinggi
jika berhadapan dengan letusan gunung api. Pertama-tama,
karena Indonesia merupakan negara yang paling banyak
mempunyai gunung api aktif. Di negeri ini ada 127 atau 13 %
dari keseluruhan gunung api aktif. Apalagi dalam tiga dasawarsa
terakhir ini banyak gunung api yang beristirahat kemudian bergiat
lagi menampilkan aktivitasnya, seperti Gunung Anak Ranakah, dan
Gunung Sinabung. Kedua, karena banyak penduduk yang bermukim
di dekat gunung api.
Daerah di sekitar gunung api yang subur, air berlimpah dan
pemandangan yang indah menjadi salah satu daya tarik penduduk
untuk bermukim. Saat ini ada sekitar 5 juta penduduk bermukim
atau beraktivitas di kawasan rawan bencana letusan gunung api.
Umumnya penduduk yang bermukim di lereng gunung api aktif
mempunyai sejarah panjang berhadapan dengan letusan gunung
api. Sebagai contoh penduduk di sekitar Gunung Merapi, mereka

2 Memahami Gas Gunung Api


sudah sangat kenal dengan letusan gunung ini selama hampir
1000 tahun. Namun, mereka tetap setia bermukim di bawah kaki
Merapi, meskipun mereka mengetahui ancaman letusan yang bisa
datang sewaktu-waktu. Pemahaman terhadap karakter Merapi hanya
mereka dapatkan dari pengalaman hidup yang panjang di lereng
gunung api. Mereka sebisa mungkin mencoba hidup selaras dengan
dinamika gunung api.

Gunung Guntur di Garut berkah bagi penduduk di sekitarnya, foto: Priatna

Banyaknya penduduk yang bermukim di wilayah rawan letusan


gunung api mengindikasikan perlunya penguatan kapasitas dalam
mengantisipasi dan mitigasi letusan yang akan datang. Menurut
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.
15 Tahun 2011 tentang Pedoman Mitigasi Bencana Geologi yang
meliputi Bencana Gunung api, Gerakan Tanah, Gempa Bumi, dan
Tsunami disebutkan bahwa mitigasi bencana gunung api adalah
serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana gunung api, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana gunung api.

Mitigasi Gunung Api 3


Distribusi 127 gunung api di Indonesia (PVMBG, 2010)

Pulau Tipe A Tipe B Tipe C Jumlah


Sumatra 12 12 6 30
Jawa 19 10 5 34
Bali 2 - - 2
Lombok 2 - - 2
Flores 18 2 5 25
Sulawesi 11 2 5 18
Maluku 12 4 - 16
Jumlah 76 30 21 127

Berdasarkan mekanismenya, bahaya gunung api dibedakan


menjadi bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer
merupakan bahaya yang diakibatkan secara langsung oleh produk
letusan gunung api, yaitu aliran lava, aliran piroklastik, jatuhan
piroklastik berupa lontaran batu pijar dan hujan abu, gas beracun,

Letusan Gunung Sinabung 2015, foto: Sofyan Primulyana

4 Memahami Gas Gunung Api


serta lahar letusan. Bahaya sekunder merupakan bahaya yang
diakibatkan secara tidak langsung oleh produk letusan gunung api,
yaitu lahar dan longsoran gunung api.
Pada praktiknya, mitigasi bencana gunung api dilakukan melalui
kegiatan pengurangan risiko dan peningkatan kesiapsiagaan pada
tahap prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana.

Prof. Nana Sulaksana Narasumber workshop Geokimia 2015

Kegiatan prabencana dilakukan sebelum terjadi bencana dan


dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana gunung api. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi risiko bencana gunung api, baik melalui
pengurangan ancaman maupun kerentanan pihak yang terancam
bencana. Kegiatan tersebut antara lain: penyediaan informasi gunung
api, pemetaan kawasan rawan bencana gunung api dan pemetaan
risiko bencana gunung api, penyelidikan gunung api, pemantauan
dan peringatan dini bencana gunung api, kewaspadaan yang harus
dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana
gunung api, diseminasi informasi gunung api melalui berbagai
media, penguatan ketahanan masyarakat, dan penyusunan rencana
kontinjensi bencana gunung api.

Mitigasi Gunung Api 5


Kegiatan saat tanggap darurat dilakukan dalam situasi ketika
terjadi bencana gunung api. Hal ini dilakukan untuk mengurangi
risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman maupun
kerentanan pihak yang terancam bencana. Kegiatan tanggap
darurat letusan gunung api dari Kementerian ESDM antara lain
melakukan pemantauan lebih intensif terhadap aktivitas gunung
api, berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan/atau Badan
Penanggulangan Bencana Daerah, dan melakukan diseminasi
kepada masyarakat dalam upaya penyelamatan.

Dr. Hanik Humaida narasumber Field Trip Dieng, 2014.

Kegiatan pascabencana dilakukan dalam situasi setelah terjadi


bencana gunung api. Kegiatan pascabencana dari Kementerian
ESDM antara lain melakukan evaluasi tingkat aktivitas gunung api,
pemetaan sebaran hasil letusan, dan evaluasi potensi lahar. Hasil
evaluasi ini digunakan sebagai dasar rekomendasi untuk perbaikan
dan/atau rehabilitasi lingkungan daerah bencana, perbaikan atau
pembangunan kembali sarana dan prasarana.
Bagaimana dengan mitigasi bencana yang disebabkan oleh
gunung api? Menurut Edmonds, dkk. (2018), gas yang dihembuskan
atau keluar dari gunung api kebanyakannya berbahaya tetapi sering

6 Memahami Gas Gunung Api


kali diabaikan. Padahal dampak gas vulkanik pada kehidupan itu
bisa berupa akibat langsung dan tidak langsung. Secara langsung,
gas vulkanik telah merenggut nyawa lebih dari 2000 orang selama
600 tahun terakhir (Auker, dkk., 2013 dalam Edmonds, dkk., 2018).
Namun, jutaan orang terkena dampaknya, dengan efek mulai dari
gangguan pernapasan hingga dampak neurologis, hingga gagal
panen dan kelaparan karena pendinginan iklim akibat aerosol sulfat
yang terhembus dan masuk stratosfer selama terjadinya letusan
eksplosif.
Lebih lanjut, Edmonds, dkk. (2018) menyatakan bahwa bahaya
gas sangat kontras dengan bahaya vulkanik lainnya seperti lahar,
aliran piroklastik dan jatuhnya abu. Gas vulkanik adalah pembunuh
senyap (silent killer) yang tidak terlihat dan dapat mencakup
area yang luas dan medan yang kompleks. Gas vulkanik dapat
berakumulasi jauh dari sumbernya dan mengalir ke lembah sebagai
aliran gravitasi, seperti yang terjadi di Dataran Tinggi Dieng pada
tahun 1979. Orang yang membauinya akan menjadi sesak napas saat
mereka tidur. Terkadang bahaya terlihat dalam bentuk gumpalan
kondensasi yang berasal dari ventilasi, dengan gas yang dapat
merusak bangunan dan pesawat terbang, merusak tanaman, dan
menyebabkan penyakit pernapasan dan luka bakar kulit.
Untuk mengurangi risiko akibat bahaya gas vulkanik, menurut
Edmonds, dkk. (2018) haruslah didahului dengan mengidentifikasi
tantangannya. Tantangannya pertama: kesulitan mencapai cakupan
yang memadai sehubungan dengan pemantauan gas vulkanik,
misalnya, konsentrasi gasnya mungkin rendah di sebagian wilayah,
tetapi bisa jadi di wilayah lainnya mempunyai konsentrasi tinggi,
sehingga jaringan peralatan pemantauan yang dibutuhkan harus
banyak dan tersebar.
Tantangan kedua berpautan dengan pengembangan kewaspadaan
dan sistem peringatan dini yang harus dikomunikasikan secara tepat
waktu kepada masyarakat. Bahaya gas dapat berkembang pesat dan
sangat tersebar, membuat komunikasi peringatan terhadap bahaya
gas vulkanik menjadi bermasalah.

Mitigasi Gunung Api 7


Tantangan ketiga berupa pendidikan dan pemahaman risiko
bahaya gas vulkanik. Dalam hal ini, tanggapan yang efektif
terhadap peringatan mengenai bahaya gas vulkanik mengisyaratkan
masyarakat yang berpendidikan dan memahami bahaya gas tersebut.
Dalam tantangan ini, yang harus dipastikan adalah masyarakat yang
sudah berpendidikan dan melek bahaya gas vulkanik akan merespon
dengan cara yang cepat dan tepat.
Dalam kerangka merespons bahaya gas vulkanik tersebut juga
mengandung arti masyarakat sudah memiliki perlengkapan demi
melindungi diri, seperti masker gas, tahu harus pergi ke mana
jika terjadi evakuasi dan waspada terhadap peningkatan aktivitas
gunung api. Misalnya, masyarakat menjauhkan diri dari kawasan
rawan bencana gas beracun terutama di lembah, celah dan cekungan
pada saat cuaca mendung, hujan dan berkabut serta tidak ada angin
dengan menggunakan masker gas atau kain penutup hidung yang
dibasahi air dan segera menjauh dari lokasi tersebut.

Memakai masker melintasi Kawah Sikendang, gambar: Ayi R. Sacadipura

8 Memahami Gas Gunung Api


KASUS BENCANA GAS DI INDONESIA

Petaka Dini Hari di Dieng

S
elasa dini hari, 20 Februari 1979, di puncak keheningan malam
di perkampungan yang dibalut kabut, warga Desa Kepucukan
dikejutkan oleh serangkaian gempa bumi yang terjadi mulai
pukul 01.55. Mereka terbangun, panik, dan tak mengerti apa yang
terjadi, serta apa yang harus dilakukan. Pada jam-jam itu, biasanya
hawa di luar rumah terasa sangat dingin, lebih dari cukup untuk
membuat geraham gemeletuk. Namun, tengah malam itu, udara di
luar rumah terasa panas, dengan bau belerang yang menyesakkan
nafas. Dari arah Kawah Sinila tiba-tiba terdengar dentuman sangat
keras yang bergemuruh, dan kegelapan malam diterangi kobaran api.
Pukul 05.04, suasana masih gelap, terlihat asap putih menjulang
ke udara, dan suara gemuruh yang beruntun yang disertai hujan
abu. Barulah mereka sadar bahwa gunung yang tak jauh dari
perkampungan itu meletus. Mereka segera meninggalkan rumah,

Gas keluar menyusuri lembah Kawah Timbang, foto: Aziz Yuliawan

Mitigasi Gunung Api 9


dan masing-masing berusaha menyelamatkan diri, menjauhi sumber
letusan sebagai daerah bahaya. Ada yang bergegas menuju Kota
Batur, ada pula yang melingkar mendaki bukit untuk keluar dari
perkampungan. Namun, sebagian lagi tak dapat keluar, karena
perkampungan mereka sudah tekepung aliran piroklastika. Jalan
antara Desa Kepucukan dengan Batur terputus karena tertutup aliran
piroklastik setinggi 1,5 meter.

Gas Karbon dioksida keluar dari Kawah Timbang, foto: Aziz Yuliawan

Letusan keras terjadi lagi pukul 05.50. Asap kelabu menjulang


ke angkasa. Getaran keras sekali disertai gemuruh, berlangsung
selama lima menit, kemudian melemah. Sepuluh menit kemudian,
gemuruh berulang terus-menerus disertai semburan lumpur dan
bebatuan sebanyak 15.000 m3, berupa bebatuan lapuk karena proses
hidrotermal. Piroklastik mengalir ke arah Sungai Tempurung,
kemudian memotong jalan raya di Desa Pekasiran, Kecamatan
Batur.
Gempa dan gemuruh letusan dari Kawah Sinila itu telah membuat
kepanikan warga Desa Kepucukan, Kabupaten Banjarnegara, yang
jaraknya hanya 6 km dari Dieng, dan 27 km dari Wonosobo. Letusan

10 Memahami Gas Gunung Api


yang terjadi sangat dekat dari kampung itu membuat mereka panik
dan ingin segera menyelamatkan diri. Kemudian mereka berlari
ke arah barat menuju kota Kecamatan Batur. Namun, naas bagi
mereka. Letusan freatik itu telah memicu keluarnya gas dari Kawah
Timbang I dan dari lobang dan rekahan di sekitar SD Inpres, satu
kilometer dari Kampung Kepucukan. Karena gas karbon dioksida
itu lebih berat dari udara dan gas, maka akan bertiup ke daerah yang
lebih rendah atau menuju lembah. Itulah sebabnya gas racun yang
mengambang itu menghembus ke bawah melintas jalan raya yang
menghubungkan Batur dengan Kampung Kepucukan.
Warga Kepucukan yang sedang bergegas berlari menyelamatkan
diri menuju kota Batur, baik melalui jalan raya ataupun jalan setapak,
mereka satu persatu bertumbangan, bergelimpangan menemui
ajalnya di sekitar SD Inpres, karena menghirup gas racun. Mayat-
mayat itu terlihat seperti masih hidup, namun begitu dipegang,
barulah kita yakin, karena tubuh itu akan segera hancur begitu
disentuh. Warga Kepucukan yang bergegas menyelamatkan diri ke
arah selatan melalui jalan setapak, semuanya selamat.
Karena menghirup gas beracun itulah telah menyebabkan 149
orang menemui ajalnya. Kemudian mayat-mayat itu dikuburkan
secara masal. Empat hari setelah letusan, kandungan gas beracun itu
diukur oleh Akbari dkk., hasilnya dapat menjawab, mengapa begitu
banyak korban yang mati lemas. Konsentrasi gas CO2 terbanyak
di dekat Sumur Jalatunda yang mencapai 520.000 ppm, di Kawah
Sinila 200.000 ppm, di Sigludug 25.000 ppm, di Timbang I 10.000
ppm, sementara nilai ambang batasnya hanya 5.000 ppm.
Sampai hari Rabu, kawah yang meletus masih menggumpalkan
asap tebal dengan bau belerang yang menyesakkan nafas. Untuk
keselamatan penduduk, maka lima desa yang berdekatan dengan
pusat letusan harus dikosongkan, yaitu (jumlah penduduk pada
tahun 1978): Desa Sumber: 2.587 jiwa, Desa Batur: 7.273 jiwa, Desa
Simbar: 1.381 jiwa, Desa Pekasiran: 2.314 jiwa, Desa Kepucukan:
1.200 jiwa.***

Mitigasi Gunung Api 11


12 Memahami Gas Gunung Api
02

RISET
GAS GUNUNG API

13
Prof. Adjat Sudradjat dan Dr. Johanes Hutabarat terlibat riset di lapangan

D
alam konteks pengamatan gunung api, gas vulkanik dapat
memberikan berbagai informasi mengenai keadaan dan
aktivitas sebuah gunung api. Dari gas vulkanik, peneliti gas
dapat mempelajari hubungan antara aktivitas sebuah gunung api
dengan komposisi kimia yang ada dalam gas-gas vulkanik. Matsuo
(1961), Mizutani (1962), Iwasaki dkk. (1962) dalam penelitiannya
mencatat bahwa H2S dan CO2 merupakan gas vulkanik yang dominan
pada suhu yang rendah dan SO2 dan H2 meningkat kandungannya
seiring dengan meningkatnya suhu.

14 Memahami Gas Gunung Api


Stoiber dan Rose (1970) melihat bahwa rasio CI-/SO42- dalam
kondensat gas gunung api menurun secara bertahap selama 1,3
tahun sebelum terjadi erupsi di Gunung Santiago. Osaka dkk,
(1980) berhasil memprediksi atau memperkirakan erupsi Gunung
Kusastsu-Shirane pada 1976 berdasarkan kajian geokimia yang
dilakukannya selama dua tahun yaitu adanya peningkatan rasio
SO2/H2S setahun sebelum erupsi pada tahun 1976. Hirabayashi
dkk (1982), melakukan kajian kimia pada Gunung Sakurajima dan
melihat adanya peningkatan rasio HCl/SO2 secara signifikan 1.5
bulan sebelum kembali meletus, dan peningkatan konsentrasi H2
dari gas “bubble” pada mata air panas sekitar dua minggu sebelum
meningkatnya aktivitas erupsi pada pertengahan bulan Desember
1982.

Gunung Kusastsu-Shirane Jepang 1996, foto: Priatna

Hirabayashi dkk. (1990) juga melaporkan bahwa diagram


triagonal (HF+HCl)-(SO2+H2S)-(CO2+CO) pada Gunung Tokachi,
Miyakejima, Izu Oshima memperlihatkan meningkatnya kandungan
relatif CO2 seiring dengan menurunnya aktivitas gunung api, dan
menunjukkan peningkatan baik HCl atau (SO2+H2S) ketika terjadi
peningkatan aktivitas gunung api.

Riset Gas Gunung Api 15


Delmelle dan Stix (dalam Sigurdsson, 2000), menyebutkan
bahwa gas merupakan bagian fundamental dari aktivitas vulkanik.
Mulai dari hembusan uap asam hingga mengalirnya karbon dioksida
yang tak terlihat melalui tanah, gas vulkanik memainkan peran
penting yang mempengaruhi perilaku gunung api. Secara umum,
peningkatan gas gunung api dapat menghasilkan aktivitas erupsi.
Dengan demikian, erupsi paling eksplosif dapat disebabkan oleh
magma yang kaya gas dan bertekanan kuat yang terlepas dari magma
ketika naik ke permukaan.
Dengan mempelajari gas vulkanik, para ahli vulkanologi
dapat memperoleh wawasan tentang sejumlah fenomena. Pertama,
mereka dapat menilai apakah magmanya dangkal. Kedua, mereka
dapat menentukan apakah magmanya kaya atau miskin gas terlarut.
Ketiga, mereka dapat memperkirakan berbagai sumber gas,
misalnya dari mantel, material subduksi, batuan sedimen kerak, atau
fluida dangkal gunung api, seperti panas bumi, air tanah, bahkan
air hujan. Keempat, dengan melakukan pengukuran gas secara
berkesinambungan, para ilmuwan dapat membantu memprediksi
aktivitas kearah yang memungkinkan terjadinya erupsi, terutama
jika informasi ini diintegrasikan dengan data pemantauan lainnya,
seperti kegempaan dan deformasi.

Gas Gunung Api


Gas gunung api atau gas vulkanik adalah gas-gas yang
dikeluarkan melalui bagian tubuh gunung api dan menjadi penanda
aktivitas gunung api. Komposisi gas gunung api adalah H2O (80-
95%) dan gas lain seperti CO2, CO, H2S, SO2, HCl, HF, N2, O2, S2,
CH4, dan H2. Adanya perubahan konsentrasi dari masing-masing
gas sangat dipengaruhi oleh suhu dan tekanan atau tingkat aktivitas
vulkanik yang sedang terjadi (Tazieff dan Sabroux, 1983).
Menurut Delmelle dan Stix (dalam Sigurdsson, 2000), unsur
utama gas vulkanik terdiri dari hidrogen (H), karbon (C), oksigen
(O), belerang (S), nitrogen (N), dan halogen seperti klor (Cl), fluor
(F), dan brom (Br). Unsur-unsur minornya antara lain helium (He),

16 Memahami Gas Gunung Api


neon (Ne), argon (Ar), kripton (Kr), dan xenon (Xe). Sejumlah unsur
logam (seperti natrium, vanadium, krom, bismut, tembaga, seng,
emas) dapat terdeteksi saat pelepasan gas vulkanik bersuhu tinggi.
Hidrogen sebagian besar berbentuk molekul air (H2O), spesies
H lainnya yaitu hidrogen (H2), metana (CH4), atau amonia (NH3).
Dari rumpun karbon, karbon dioksida (CO2) merupakan molekul
dominan, sedangkan metana (CH4) dan karbon monoksida (CO)
jumlahnya sedikit. Selanjutnya ada Sulfur dioksida (SO2) dan
hidrogen sulfida (H2S), sulfur molekuler (S2) dan terkadang karbonil
sulfida (COS). Klorin, F, dan Br terutama terdapat sebagai hidrogen
klorida (HCl) yang lebih dominan, hidrogen fluorida (HF) dan
hidrogen bromida (HBr). Nitrogen dominan berbentuk molekul
nitrogen (N2). Logam-logam berupa garam klorida atau sulfida,
seringkali terdapat dalam jumlah kecil dan bersifat mudah menguap.
Magma merupakan material cair bersuhu tinggi dimana silika
(SiO2) sebagai senyawa utamanya, sehingga silika merupakan
senyawa utama bagi sebagian besar mineral dan batuan di kerak bumi
dan lapisan bawah mantel (underlying mantle). Pada saat magma
naik ke permukaan terjadi pembekuan magma yang dinamakan
batuan beku. Batuan beku mengandung mineral yang terbentuk
ketika magma membeku baik di reservoir, ketika bermigrasi ke
permukaan maupun di permukaan.
Komposisi utama magma adalah silika, dan digunakan sebagai
dasar klasifikasi batuan vulkanik, yaitu basalt (basa), intermediate,
dan riolit (asam). Klasifikasi lebih detail, dibedakan berdasarkan
komponen seperti kandungan AI2O3, alkali (Na dan K) serta unsur
trace (Zr, Nb, La, Th, U, dan Rb). Sebagai contoh untuk magma
yang bersifat basaltik yang termasuk dalam kelompok toleitik
atau subalkalin akan mengandung K, P, Ti, Rb, Zr, Nb, U dan Th
dalam jumlah yang sedikit, sedangkan yang termasuk dalam alkalin
basalt mengandung Na dan K serta unsur trace dalam jumlah yang
banyak. Komposisi magma (melt silika) berada dalam rentang
konsentrasi yang lebar, dari basaltik (<50% Si02 dan sekitar 25-
35% MgO+FeO+CaO) sampai riolitik (70-75% SiO2, 15-20%
Al2O3+K20+Na2O dan <5% MgO+CaO+FeO).

Riset Gas Gunung Api 17


Pergerakan magma menuju ke permukaan selain dipengaruhi
oleh komposisinya juga oleh kandungan gasnya. Magma yang
kaya akan gas dengan viskositas yang kental, densitas kecil, dan
suhu yang lebih rendah cenderung akan terjadi erupsi yang kuat
(eksplosif), magma akan terpecah pecah menjadi partikel-partikel
kecil dan terjadi pendinginan yang cepat menjadi tephra vulkanik.
Sebaliknya, magma dengan viskositas yang encer, densitas tinggi,
lebih panas, dan lebih sedikit kandungan gasnya, akan terjadi erupsi
yang lemah, magma akan keluar berupa lava yang mengalir atau
bersifat efusif. Jadi viskositas dan jumlah gas sangat berpengaruh
terhadap karakter erupsi. Tingginya viskositas secara umum
berkorelasi dengan kandungan silika dan gas.
Jumlah komposisi gas vulkanik tergantung pada proses-proses
yang terjadi di dalam magma serta proses proses yang terjadi ketika
magma bergerak naik ke tempat lebih dangkal. Gas-gas utama di
dalam magma terlepas dalam urutan sebagai berikut: CO2, S, Cl,
H2O dan F. Beberapa gas seperti N2, CO2 dan gas-gas mulia tidak
mudah larut dalam melt silika. Di sisi lain, H2O dan gas-gas yang
lebih mudah terlarut seperti S, Cl, dan F, terperangkap di dalam melt.
Uap air (kondensat) merupakan salah satu bentuk gas yang
mempunyai peranan penting dalam proses vulkanik. Peran H2O
magmatik sangat fundamental karena menentukan percepatan dan
kecepatan suatu erupsi. Air di dalam magma terdapat dalam bentuk
molekular (H2O) juga ion hidroksil (OH-). Adanya H2O dalam
magma direfleksikan dalam kristalisasi mineral amfibol. Konsentrasi
air dalam magma sangat bervariasi. H2O jauh lebih mudah larut
dalam magma yang asam dari pada magma basaltik. Konsentrasi
H2O yang diukur dalam glass atau melt inclusion non-degassed
(misalnya dalam fenokris quartz dari magma riolitik) sekitar 5-7%.
Magma yang terbentuk di zona subduksi umumnya kaya H2O dan
miskin CO2, seperti dibuktikan dari hasil analisis melt inclusion
dalam gelas maupun Kristal.
Gas magmatik SO2 pada perjalanannya ke permukaan, kontak
dengan air akan berubah menjadi SO3, kemudian menjadi SO4.
Demikian juga CO2, akan teroksidasi dalam air membentuk HCO3-.

18 Memahami Gas Gunung Api


Gas-gas magmatik SO2, H2S, dan HCl dalam air akan membentuk
senyawa asam sehingga air akan memiliki derajat keasaman yang
tinggi atau pH yang rendah. Gas-gas lainnya adalah NH3, SO4, Cl, dan
B. Gas-gas vulkanik dapat bercampur dengan air bawah permukaan
selama perjalanannya ke permukaan sehingga temperaturnya sedikit
rendah.
CO2 dalam bentuk molekul terjadi pada tekanan tinggi (>10 kb),
pada tekanan yang rendah, CO2 berbentuk anion CO2 atau karbonat.
CO2 mempunyai kelarutan dalam magmayang kecil. CO2 adalah
komponen yang paling umum dalam melt inclusion dalam kristal
yang terbentuk pada tekanan tinggi, misalnya pada batas mantel-
kerak atau di bawahnya.
Jumlah total sulfur yang larut dalam magma tergantung pada
kandungan besi. Magma basaltik di sepanjang Mid Ocean Ridge
Basalt (MORB) mengandung kira-kira 1,000 ppm S (0,1%), alkali
basalt lebih dari 5.000 ppm. Kelarutan dan jumlah SO2 dan H2S sangat
tergantung pada komposisi dan tingkat oksidasi dalam magma. Pada
konsentrasi oksigen yang sama, sulfur sebagai SO2 pada temperatur
tinggi dan sebagai H2S pada temperatur rendah. Pada temperatur
yang sama tetapi konsentrasi oksigen turun, SO2 diubah menjadi
H2S. Naiknya SO2 beberapa bulan atau tahun sebelum erupsi
merupakan salah satu indikator naiknya magma dalam ke tempat
yang lebih dangkal. Juga, SO2 yang tinggi dan kontinyu diikuti suatu
erupsi mengindikasikan adanya magma baru yang naik.
Halogen dalam magma terutama adalah HCl, HF, dan HBr.
Magma alkali basaltik mengandung halogen lebih signifikan
dibanding dengan sub-alkaline (toleitik). Magma alkalin asam
menunjukkan kandungan halogen tertinggi. Halogen mempunyai
kelarutan yang relatif tinggi di dalam magma, sehingga hanya sekitar
20-50% halogen dalam magma lepas sebagai gas selama erupsi. Cl
kurang terlarut dibanding F. Florin (F) karena kelarutannya yang
tinggi dalam magma, tidak mudah membentuk fase gas selama
erupsi, tetapi tertinggal dalam melt dalam jumlah yang masih besar.
HF sangat mudah terserap dalam padatan namun juga juga sangat
mudah larut dalam air.

Riset Gas Gunung Api 19


Menurut Walace dan Anderson (2000), tingkat kelarutan gas
magmatik menurun secara berturut-turut HF>HCl=H2O> Sulfur
total (H2S+SO2)>CO2. Ketika naik, kelarutan gasnya akan berkurang
sehingga gas dapat muncul di permukaan dalam bentuk fumarola.
Apabila suplai gas magmatiknya berkurang maka kandungan gas di
dalam fumarola berkurang dan temperaturnya juga akan menurun
(Delmelle dan Stix, 2000).
Kandungan gas vulkanik di dalam fumarola tergantung
kepada beberapa faktor, yaitu: kelarutan, temperatur dan tekanan,
serta lingkungan tektoniknya (Delmelle dan Stix, 2000). Dengan
demikian, kajian mengenai gas vulkanik selain untuk mengetahui
kandungan kimianya, juga untuk memperkirakan sumber asal gas
(origin) tersebut di dalam magma serta proses sekunder yang terjadi
di bagian dangkal yang dapat mempengaruhi kandungannya.
Mousalam, Y. 2018, mengukur komposisi gas yang keluar dari
lubang di Chillan lima hari setelah terjadi erupsi pertama. Dengan
asumsi kesetimbangan percampuran gas, menggunakan metoda
geotermometer Giggenbach (1987, 1996), dan menggunakan date
termodinamika Stull (1969) suhu kesetimbangan titik leleh gas dan
fugasitas oksigen dapat dihitung sebagai berikut:

H2 12707 1
log ---------- = – ---------- + 2,548 – ----- log f O2
H2O T 2

Dikorelasikan dengan persamaan berikut:

SO2 27377 3
log ---------- = ---------- – 3,986 + ------ log f O2 – log f H2O
H2S T 2

Melalui perhitungan ini dan dibandingkan dengan data-data


referensi gunung api dunia dapat diketahui karakteristik magma
yang berada di bawah permukaan berdasarkan perbedaan suhu
kesetimbangan dalam reaksi kimia yang terjadi.

20 Memahami Gas Gunung Api


Aiuppa dkk. (2017) mengklasifikasikan suhu di bawah
permukaan kedalam 3 kelompok gas yakni: kelompok gas
hidrotermal dengan suhu di bawah 2500C, kemudaian kelompok
kedua adalah gas campuran antara hidrotermal dan gas magmatik
yang memiliki suhu antara 2500C sampai dengan suhu 4500C, dan
kelompok gas magmatik yaitu suhu di atas 4500C.
Selanjutnya dituangkan dalam grafik rasio CO2/ST terhadap suhu
bawah permukaan maka setiap sampel dapat ditentukan masuk
dalam tiga kelompok gas. Dalam grafik selain diketahui kelompok
gas, dapat diketahui juga tingkat kandungan karbon dioksida.

Isotop
Isotop adalah atom-atom dari unsur kimia yang sama dan pada
intinya mempunyai jumlah proton sama tetapi mempunyai jumlah
neutron yang berbeda. Di alam, kurang lebih terdapat 1700 isotop,
260 isotop di antaranya termasuk isotop stabil (Allard, 1983). Rasio
dari kedua isotop tersebut bervariasi sepanjang waktu, dan variasi
ini tergantung dari kondisi lingkungan di sekitarnya (Wahyudi,
2001; Djuhariningrum dkk., 2003).
Isotop alam yang sering diketahui keberadaannya pada siklus
hidrologi terdiri dari Tritium (3H), Karbon-14 (14C), Oksigen-18
(18O) dan Deuterium (2H). Keterdapatannya di alam masing-masing
isotop oksigen dan hidrogen tersebut dapat bersenyawa membentuk
senyawa air.
Geokimia isotop merupakan suatu aspek geologi yang
berdasarkan penelitian kandungan relatif dan absolut dari elemen
serta isotopnya di bumi. Secara umum, bidang isotop ini dibagi
menjadi dua cabang penting yakni geokimia isotop stabil dan
radiogenik. Berbagai cabang ilmu memanfatkan isotop ini untuk
berbagai keperluan.

Riset Gas Gunung Api 21


Variasi isotop dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama,
yaitu:
• Variasi isotop yang diakibatkan karena adanya pelepasan
radioaktif dari nuklida tidak stabil, yang menyebabkan variasi
komposisi isotop
• Variasi isotop yang diakibatkan karena adanya variasi dalam
isotop nonradiogenik yang biasanya dihasilkan oleh reaksi
pertukaran, reaksi kinetika dalam sistem biologi, atau proses-
proses kimia-fisika, seperti penguapan atau difusi.

Para peneliti melakukan kajian terhadap isotop dan melakukan


pembagian isotop sebagai berikut:
1. Isotop Stabil
Isotop stabil yaitu isotop yang terdapat pada unsur H, C, O,
dan S. Keempat unsur ini dapat ditemukan pada spesies volatil
atau fugitif dan pada fasa padatan. Isotopik ini lebih sering
dijumpai pada unsur-unsur dengan berat atom rendah. Dengan
meningkatnya temperatur mengakibatkan fraksionasi isotop
stabil menurun, sehingga fraksionasinya dalam sistem sedimen
lebih besar dari pada dalam batuan magmatik. Derajat fraksionasi
isotop stabil akan menurun pada material yang dibentuk pada
permukaan bumi. Perbedaan pengukuran oleh spektrometri
massa merupakan perbandingan absolut, seperti 18O/ 16O, tetapi
sering ditampilkan dalam bentuk faktor δ dalam per mil (0/00)
atau bagian per seribu.

[Rsampel – Rstandar]
δ = --------------------------- x 1000
[Rstandar]

R: perbandingan dua isotop dalam sampel atau standar


Penggunaan faktor ini dapat mengurangi kesalahan sistematik
pada pengukuran spektrometer dan laboratorium. Perbedaan

22 Memahami Gas Gunung Api


isotopik didasarkan pada selisih massa antara isotop yang sudah
pasti dengan selisih dalam frekuensi vibrasi atom-atom dalam
molekul atau kristal.

Sifat-sifat termal isotop seperti energi dalam (E), kapasitas


panas, dan entropi (S) bervariasi dan dapat terfraksinasi dalam
distribusi isotop antara dua fasa. Generalisasi fraksionasi isotop
mencakup ikatan yang dibentuk oleh isotop ringan lebih mudah
diputuskan daripada isotop berat, Molekul dengan isotop ringan
akan bereaksi lebih cepat dibanding dengan isotop berat, Isotop
yang ringan menunjukkan secara khusus diperkaya dalam reaksi
kimia irreversible. Pengukuran variasi isotopik merupakan
fungsi dari proses fraksionasi dan komposisi isotopik awal dari
starting material.

Hasilnya dapat memberikan informasi mengenai: Temperatur


pembentukan batuan dan mineral, termasuk fosil. Proses kimia
dan fisika yang mempengaruhi batuan saat atau menyertai
pembentukannya. Hubungan genetik antara batuan dan jenis
meteorit.
2. Isotop Oksigen
Oksigen merupakan unsur yang paling berlimpah di kulit
bumi. Oksigen mempunyai tiga isotop stabil, 16O, 17O, and 18O.
Perbedaan pada rasio isotop oksigen digunakan untuk menjejaki
pergerakan air, paleoklimat, dan gas atmosfer seperti ozon dan
karbon dioksida. Perbandingan isotop pada fossil foraminifera
digunakan untuk memperkirakan temperatur laut pada zaman
purba.

3. Isotop Hidrogen
Hidrogen memperlihatkan fraksionasi yang terbesar karena
perbedaan massa relatif antara dua isotop stabil 1H dan 2H
(deuterium, D) besar dibanding pasangan isotop yang lain.
Fraksionasi sampai 70% atau 7000/00 telah direkam pada sampel
geokimia.

Riset Gas Gunung Api 23


4. Isotop Sulfur
Sulfur memiliki empat isotop stabil, dengan kelimpahan: 32S
(0.9502), 33S (0,0075), 34S (0,0421) and 36S (0,0002). Perbedaan
pada perbandingan isotop sulfur digunakan untuk mempelajari
asal sulfur pada bijih dan temperatur pembentukan mineral
mengandung sulfur. Troilit meteorit mempunyai rasio 34S/32S
22,21 dan dapat dianggap mewakili sulfur purba.

5. Isotop Karbon
Karbon mempunyai dua isotop stabil, 12C and 13C, dan satu isotop
radioaktif, 14C. Isotop karbon digunakan untuk menjajaki sirkulasi
lautan. Isotop karbon stabil difraksionasi secara primer oleh
fotosintesis. Rasio 13C/12C juga merupakan indikator paleoklimate.
Karbon juga memperlihatkan perbedaan isotopik pada sampel
geokimia. Variasi ini berasal dari kegiatan organisme dengan
fraksionasi isotopik yang disebabkan oleh pengaruh kinetik dan
juga kemampuan karbon untuk eksist pada sejumlah besar senyawa
dalam sistem alamiah. Saat fraksionasi kimia dari karbon berada
pada siklus geokimia, fraksionasi isotopik juga terjadi. Banyak
fraksionasi isotop karbon anorganik berada pada kesetimbangan.
Kesetimbangan karbon dioksida pada atmosfir dengan bikarbonat
pada lautan digambarkan dengan persamaan:

H12CO3- (aq) + 13CO2 (g) = H13CO3- (aq) + 12CO2 (g)

Perbedaan nilai pengukuran mengindikasikan bahwa reaksi


metabolik biokimia mempengaruhi kinetik isotop. Perbedaan
δ13C pada air alami akan secara langsung mempengaruhi δ13C
pada karbonat terpresipitasi.

6. Isotop Lain
Penelitian tentang isotop H, C, O, dan S memperlihatkan
bahwa unsur-unsur ini banyak berguna untuk pemisahan
sistem geokimia. Isotop nitrogen pada senyawa organik alami
memperlihatkan perbedaan δ15N sekitar 100/00 diatas dan di
bawah standar atmosferik nitrogen.

24 Memahami Gas Gunung Api


Dalam penelitian hidrologi, isotop deuterium dan oksigen-18
digunakan sebagai sidik jari (finger print) untuk mengetahui asal-
usul air dan dapat membedakan berbagai sumber air seperti air
hujan, air tanah, air laut, air magma dan air konat (connate water).
Dalam siklus hidrologi, senyawa air mengalami proses
fraksinasi, evaporasi, dan kondensasi. Senyawa yang mempunyai
berat molekul besar seperti deuterium dan oksigen-18 cenderung
lebih sulit menguap tetapi lebih mudah terkondensasi sehingga
pada berbagai jenis air kandungan isotop deuterium dan oksigen-18
mempunyai nilai konsentrasi yang berbeda-beda.
Dalam penelitian panas bumi yang dilakukan Iswahyudi, dkk.
(2015), fluida panas bumi dengan temperatur tinggi menyebabkan
interaksi intensif dengan batuan samping. Jika demikian, air panas
bumi umumnya memiliki komposisi Oksigen-18 yang lebih besar
dari pada yang ada pada air meteorik.
Evaporasi di permukaan atau dekat permukaan juga menyebabkan
komposisi Deuterium pada mata air panas bumi lebih tinggi daripada
air meteorik. Namun, adanya boiling selama perjalanan air panas
dan uap bersama-sama saat mencapai permukaan akan mengubah
komposisi isotop air pada fase cair dan uap.
Uap air panas yang minim Deuterium dan Oksigen-18 langsung
keluar dari bawah permukaan tanpa mengalami perubahan komposisi
isotop tersebut secara signifikan, dan mencapai permukaan sebagai
mata air panas. Percampuran fluida panas bumi dengan air meteorik
dangkal yang memiliki kandungan isotop deuterium dan oksigen-18
kecil diduga turut menurunkan kandungan isotop tersebut pada mata
air panas.
Sama halnya dengan isotop deuterium dan oksigen-18, gas yang
telah dikondensasikan menjadi air kondensat mempunyai peranan
penting dalam proses vulkanik. Bentuk kondensasi uap air, misalnya
air yang keluar dari kawah, hembusan uapnya merupakan salah satu
ciri aktifnya suatu gunung api.

Riset Gas Gunung Api 25


Penelitian isotop telah lama dilakukan oleh para peneliti
kebumian terutama di bidang geokimia diantaranya oleh Craig sejak
tahun 1961, yang telah melakukan percobaan menggunakan sampel
air laut. Komposisi isotop air dinyatakan dalam bentuk perbandingan
dengan komposisi isotop air laut.
Secara internasional, air laut dipilih sebagai standar dan disebut
sebagai standard mean ocean water atau SMOW (Craig, 1961).
Menurut Craig (1961), nilai Deuterium dan Oksigen-18 air di alam
secara umum akan mengikuti korelasi dengan garis linier dari air
meteorik dengan persamaan sebagai berikut:
δD = 8 δ18O + 10
δD : isotop Deuterium (2H)
δ 18O : isotop Oksigen (18O)
Persamaan ini berasal dari analisis isotop pada air sungai, danau,
hujan, dan salju di seluruh dunia, yang mencakup rentang dari -320
to + 40 (o/oo) untuk δD dan -40 hingga + 6 untuk δ18O, yang meliputi
130 sampel air.

Komposisi isotop sampel uap dari solfatar Tahun 1983-1992


dan 1995, (Chiodini, 1999).

26 Memahami Gas Gunung Api


Berdasarkan pada data dasar kimia dan isotop, Cioni, dkk.,
(1984) dan Chiodini, dkk. (1996) dalam Panichi dan Volpi (1999)
menyarankan bahwa uap fumarol adalah hasil proses pencampuran
antara komponen air meteorik dengan fluida magma pada bagian
yang dangkal dari tipe andesit yang berada pada δ18O dalam rentang
3 sampai dengan 60/00 dan δD pada rentang angka -300/00 sampai
dengan angka -200/00.
Berdasarkan grafik tersebut terdapat area air metamorfik yang
merupakan air yang telah terubahkan, atau air hasil percampuran
aktivitas magmatik dengan hidrotermal dalam sistem gunung api.
Kelompok air metamorfik memiliki angka isotof oksigen-18 relatif
tinggi mendekati angka air magmatik namun memiliki nilai isotop
deuterium yang berbeda dengan nilai air magmatik yakni pada
rentang angka δD = -150/00 sampai -50/00.
Priatna dan Kadarsetia (2007) menentukan garis air
meteorik dari beberapa lokasi di pulau Jawa yakni: Jrakah
Yogyakarta, Gambuhan Slamet, Baturaden, Lamongan, dan
Garut dengan persamaan δD = 7,2 δ18O + 8, ditampilkan
bersama-sama data isotop di Gunung Merapi.

Diskusi di lapangan dengan para ahli geologi.

Riset Gas Gunung Api 27


28 Memahami Gas Gunung Api
03

SIFAT DAN BAHAYA


GAS VULKANIK

Riset Gas Gunung Api 29


Sebaran gas di Kawah Timbang Dieng, foto: Surip

G
as memang tidak terlihat tetapi merupakan produk
sinambung dari aktivitas gunung. Bahkan dalam keadaan
diam sekalipun, seperti tidak mengeluarkan lava atau
menunjukkan aktivitas seismik, tetap saja gunung api mampu
melepaskan gas vulkanik. Di antara gas yang dihembuskan atau
dikeluarkan dari tubuh gunung api dapat berupa gas yang beracun,
atau meski tidak beracun tetapi bila terus-terusan terekspos oleh
manusia pasti akan mengakibatkan dampak buruk.
Meski dampak langsung gas vulkanik hanya mengakibatkan 3%
kematian akibat dampak gunung api selama tahun 1900-1986, tetapi
tetap saja setiap tahun menunjukkan dampak yang berakibat kepada
kematian. Gas vulkanik mempunyai efek regional dan global bila
mampu menerobos ke atmosfer. Akibatnya, bisa menyebabkan
panen dan dampak susulannya berupa kelaparan dan penyakit. Ini
hampir 40% menjadi penyebab kematian pada masa antara tahun
1600 hingga 1982 (Williams-Jones dan Rymer, dalam Sigurdsson,
2000).

30 Memahami Gas Gunung Api


Secara normal, gas keluar melalui geiser, fumarola, dan
rekahan-rekahan di bebatuan. Pada beberapa kasus, gunung api
menghembuskan gas beracun, seperti karbon monoksida, karbon
dioksida, dan gas-gas sulfur. Gas-gas juga dapat bercampur baur
dengan air sehingga menghasilkan kolam bersifat asam hidroklorik,
hidroflorik, dan asam sulfur. Oleh karena itu, tidak disarankan untuk
berenang dalam kolam-kolam gunung api aktif yang warnanya aneh
dan berbau asing (Kusky, 2008).
Oleh karena itu, ada baiknya untuk lebih mengenai jenis-jenis,
sifat-sifat, dan bahaya-bahaya yang dikandung oleh setiap gas
vulkanik yang berpotensi memiliki racun. Berikut ini uraiannya:

Karbon monoksida
Karbon monoksida merupakan gas tidak berwarna dan tidak
berbau hasil dari pembakaran tidak sempurna dari material karbon.
Karbon monoksida terdiri dari satu atom karbon yang secara kovalen
berikatan dengan satu atom oksigen. Pada ikatan ini, ada dua ikatan
kovalen dan satu ikatan kovalen koordinasi antara atom karbon dan
oksigen. Gas ini memiliki sifat yang mudah terbakar dan beracun,
karena mampu membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah
yaitu hemoglobin. Hal ini sangat membahayakan bagikesehatan dan
lingkungan sekitar, baik lingkungan pemukimanmaupun lingkungan
kerja.
Konsentrasi gas CO apabila 0 sampai dengan 100 ppm masih
dianggap aman jika waktu kontak hanya sebentar. Bila CO sebanyak
30 ppm terhisap manusia selama 8 jam akan menimbulkan rasa pusing
dan mual. Namun, pengaruh CO terhadap tubuh manusia tidak sama
dengan manusia lainnya. Apabila terhisap ke dalam paru-paru, gas ini
akan ikut peredaran darah dan akan menghalangi masuknya oksigen
yang akan dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini dapat terjadi karena CO
bersifat racun metabolisme, ikut bereaksi secara metabolisme dengan
darah. Selain itu, CO diketahui dapat mempengaruhi kerja jantung
(sistem kardiovaskuler), sistem syaraf pusat, janin, dan semua organ
tubuh yang peka terhadap kekurangan oksigen.

Sifat dan Bahaya Gas Vulkanik 31


Karbon Dioksida
Gas karbon dioksida (CO2) adalah gas tidak berwarna, tak
berbau, tak terbakar, tidak reaktif dan mempunyai berat jenis 1,53.
Pada konsentrasi rendah tidak bersifat racun, tetapi konsentrasi
antara 3 - 5 % mengaktifkan saluran pernafasan, dan sakit kepala.
Pada konsentrasi antara 8 - 15 % menimbulkan sakit kepala,
pening, muntah-muntah, bahkan dapat mengakibatkan meninggal
bila korban tidak mendapat cukup oksigen. Konsentrasi yang lebih
tinggi secara cepat menyebabkan koma dan kematian. Konsentrasi
maksimum di udara yang diizinkan sebesar 5.000 ppm. Di udara
normal konsentrasinya 0,03%. Pada tanaman CO2 dibutuhkan untuk
fotosintesis (Tazieff dan Sabroux, 1983).
Peristiwa terkait CO2 yang paling mematikan adalah peristiwa
di mana CO2 mengalir menuruni bukit sebagai arus, berkumpul di
daerah dataran rendah dan membuat semua kehidupan mati lemas di
jalurnya. Peristiwa pertama yang tercatat terjadi di Dataran Tinggi
Dieng pada 20 Februari 1979. Demikian pula yang terjadi dari
Danau Kivu (di perbatasan antara Rwanda dan Republik Demokratik
Kongo) pada tahun 1984 dan Danau Nyos (Kamerun) 21 Agustus
1986 (Williams-Jones dan Rymer, dalam Sigurdsson, 2000).

Sulfur Dioksida
Gas Sulfur dioksida (SO2) adalah gas tidak berwarna, bersifat
asGas Sulfur dioksida (SO2) adalah gas tidak berwarna, bersifat asam,
sangat mengiritasi alat penciuman, berat jenis 2,26 tidak mudah
terbakar, tidak eksplosif, dan relatif stabil. Ambang batas penciuman
3 ppm. Sangat mengiritasi mata, tenggorokan dan saluran pernapasan,
dapat menimbulkan pembengkakan celah suara, dan menyebabkan
penyakit paru-paru kritis. Konsentrasi 20 ppm menyebabkan batuk
dan iritasi pada mata. Konsentrasi maksimum yang diizinkan oleh ahli
kesehatan 5 ppm. Terhadap tanaman sangat beracun, konsentrasi 0,3
ppm selama 8 jam menyebabkan kematian daun. Gas SO2 di udara
dengan adanya uap air segera bereaksi membentuk asam sulfat,
pembentukan asam sulfat dikatalisir oleh adanya partikel padat yang
terdapat dalam atmosfir (Tazieff dan Sabroux, 1983).

32 Memahami Gas Gunung Api


Karakteristik: Gas atau cairan tidak berwarna (< -10 C) dengan
bau menyengat yang khas. Bau yang tercium pada 0,3 - 1,0 ppm dan
mudah tercium pada 3 ppm. Dgas = 2,26 g / L. Kelarutan gas = 10 g
/ L. PEL = 5 ppm di udara; 13 mg / m3 udara.
Di Gunung Masaya, di barat laut Nikaragua, aktivitas degassing
jangka panjang dari kawahnya telah memberikan dampak yang
signifikan pada vegetasi sekitarnya: konsentrasi SO2 yang tinggi
mengganggu respirasi stomata dan menyebabkan nekrosis.
Kemudian pada 6 Juni 1912, Gunung Novarupta, di Semenanjung
Alaska, meletus secara eksplosif dan memicu runtuhnya Gunung
Katmai. Letusan tersebut melepaskan gas yang menciptakan hujan
asam yang berdampak besar pada lingkungan setempat (Williams-
Jones dan Rymer, dalam Sigurdsson, 2000).

Asam Sulfida
Gas hidrogen sulfida (H2S) adalah gas tidak berwarna, berbau
telur busuk, berat jenis 1,19, beracun, dapat terbakar dan dengan
udara dapat membentuk campuran yang eksplosif. Pengaruhnya
pada manusia dengan konsentrasi rendah mengiritasi mata dan
saluran pernapasan. Apabila konsentrasi mencapai 150 ppm dapat
menyebabkan kehilangan rasa penciuman, sedangkan konsentrasi
1.000 ppm menimbulkan rasa sakit dan menyerang pusat pernafasan.
Nilai konsentrasi maksi-mum yang diizinkan oleh ahli kesehatan
sebesar 10 ppm, pada tanaman dalam tingkat konsentrasi 1 - 5 ppm
menghambat respirasi dan fotosintesis.
Gas yang sangat beracun ini telah menyebabkan setidaknya
46 orang (sejak awal abad ke-20) di Rotorua (Selandia Baru) dan
menjadi penyebab sejumlah kecelakaan di beberapa gunung api
Jepangs. Hal ini menyebabkan banyak pos pengamatan gunung
api di Jepang memasang detektor H2S dan sistem peringatan
di area yang sering dikunjungi oleh masyarakat. Salah satu
kejadiannya berlangsung pada tahun 1971 di Gunung Kusatsu-
Shirane, Honshu, ketika enam pemain ski menuruni bukit hampir
tewas setelah melewati depresi yang dipenuhi H2S. Pada 15

Sifat dan Bahaya Gas Vulkanik 33


September 1997, 4 pendaki tewas setelah menghirup gas vulkanik
di dasar kawah Numano-Taira (Williams-Jones dan Rymer, dalam
Sigurdsson, 2000).

Asam Klorida (HCl)


Gasnya tak berwarna dengan bau menyengat dam mengiritasi.
Bau yang dapat dideteksi oleh kebanyakan orang antara 1 dan 5
ppm. dgas = 1,27 g / L. Kelarutan gas¼62 g / L. PEL = 5 ppm di
udara; 7 mg / m 3 udara. Untuk jangka pendek dapat menyebabkan
iritasi pada selaput lendir mata dan saluran pernapasan dengan
rasa terbakar, tersedak, dan batuk. Pada konsentrasi > 35 ppm, bisa
menyebabkan iritasi pada tenggorokan meski terpapar sebentar.
Kesulitan bernapas yang parah dapat terjadi bersamaan dengan
peradangan kulit atau luka bakar. Bila konsentrasinya > 100 ppm
akan menyebabkan edema paru dan seringkali spasme laring.
Sementara untuk jangka panjang, paparannya dapat menyebabkan
erosi pada gigi dan ruam kulit.
Asam klorida besar pengaruhnya terhadap lingkungan. Karena
HCl sangat larut dalam air sehingga mudah terbawa hujan dari
plume dan menghasilkan hujan asam dengan pH rendah, seperti
yang terjadi di Gunung Kilauea dan Gunung Masaya. Sejumlah
besar HCl mungkin juga telah terhembus ke stratosfer selama
letusan Gunung El Chichon (Meksiko) pada 1982 dengan dampak
terhadap lingkungan yang besar. Di Hawaii, awan kabut lava atau
“laze” terbentuk dari pendidihan dan penguapan air laut saat aliran
lava masuk ke laut. Hasilnya adalah campuran HCl (hingga 10e15
ppm) dan air laut dan menghasilkan hujan asam (pH 1,5e2), yang
berbahaya bagi penduduk setempat (Williams-Jones dan Rymer,
dalam Sigurdsson, 2000).

Asam Florida (HF)


Cairan atau gas korosif bening, tidak berwarna, berasap dan
berbau menyengat. Gas ini bisa menyebabkan iritasi hidung dan
mata pada konsentrasi <5 ppm. Dgas = 0,7 g / L. Kelarutan gas

34 Memahami Gas Gunung Api


dapat bercampur dalam semua proporsi. PEL = 3 ppm di udara, 2 mg
/ m3 udara. Untuk jangka pendek, gas ini dapat menyebabkan iritasi
ekstrem dan korosi pada kulit dan selaput lendir. Kontak dengan mata
akan menyebabkan luka bakar, dan jika tidak segera dihilangkan
akan menyebabkan kebutaan. Paparan pada kulit menghasilkan
luka bakar parah dan lambat sembuhnya. Kemudian dampak jangka
panjangnya berupa perubahan pada tulang serta iritasi kronis pada
hidung, tenggorokan, dan paru-paru.
Gunung Laki (Islandia), yang meletus antara 1783 hingga
1785, antara lain menyebabkan kolom letusan yang naik hingga
ketinggian maksimum 15 km dan masuk ke atmosfer berupa 219
Mt SO2, 7,0 Mt HCl, dan 15,0 Mt. HF selama 8 bulan. Kabut gas di
ketinggian rendah menyebabkan rumput yang terkontaminasi fluor
menjadi kerdil, menyebabkan hilangnya lebih dari 50% ternak yang
merumput di Islandia. Akibatnya, hal ini menyebabkan kelaparan,
berbagai penyakit dan dua musim dingin yang parah, menyebabkan
kematian 10.521 orang (22% dari populasi Islandia). Hembusan
abu, gas, dan aerosol ke stratosfer juga mempengaruhi Eropa Barat,
Afrika Utara, dan Asia Barat dan mengakibatkan pendinginan di
belahan Bumi Utara sebesar 1-20C. Demikian pula dengan Gunung
Ambrym (Vanuatu) yang pelepasan gas HF-nya tinggi dan berdampak
signifikan pada kesehatan 9.000 penduduknya. Karena air hujan
digunakan oleh mayoritas penduduk untuk memasak dan minum,
terkontaminasi fluorida mencapai 9,5 ppm; pada konsentrasi yang
direkomendasikan WHO dalam air minum adalah 1 ppm (Williams-
Jones dan Rymer, dalam Sigurdsson, 2000).

Asam Sulfat (H2SO4)


Tidak berwarna, berminyak, tidak berbau. Bisa menyebabkan
iritasi pada hidung dan mata pada konsentrasi rendah. dgas = 3,4
g/L. Kelarutan gas¼dapat bercampur dalam semua proporsi.
PEL=20 ppmdi udara, 1 mg/m3 udara. Untuk jangka pendek bisa
menyebabkan iritasi pada mata, hidung, dan tenggorokan, juga
terjadinya luka bakar parah dengan kerusakan jaringan yang cepat
serta erosi gigi. Menghirup H2SO4 dapat menyebabkan kesulitan

Sifat dan Bahaya Gas Vulkanik 35


bernapas dan radang saluran pernapasan bagian atas. Sedangkan
dampak jangka panjangnya dapat menyebabkan erosi pada gigi,
iritasi kronis pada mata, hidung, tenggorokan, dan paru-paru
(Williams-Jones dan Rymer, dalam Sigurdsson, 2000)

Asam Sianida (HCN)


Gas asam sianida (HCN) merupakan gas yang sangat beracun.
Hal tersebut dibuktikan bahwa manusia yang menghirup HCN
berkadar20-40 ppm sudah mulai menunjukkan gejala keracunan.
Gejala keracunan gas HCN antara lain fatique, sakit kepala, vertigo,
muntah, kejang, koma dan bisa menyebabkan kematian. Apabila
terpapar secara akut dengan konsentrasi sekitar 150 ppm sangat
berbahaya dan terpapar 300 ppm dapat mematikan secara langsung.
Apabila terpapar di dalam ruangan dengan konsentrasi rendah (<10
ppm) dan berlangsung lama akan menimbulkan keluhan kronis.

Radon (Rn)
Gas Radon tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, berupa
gas radioaktif, yang terbentuk dari peluruhan radioaktif uranium.
Dgas = 9,73 g / L. Kelarutan gas = 51 g / L. PEL = 200 Bq / m3.
Untuk jangka pendek, tidak ada informasi tentang dampak non-
kanker akut radionuklida pada manusia, tetapi dari hasil penelitian
pada hewan diketahui adanya peradangan di saluran hidung dan
kerusakan ginjal akibat paparan akut uranium setelah terhisap.
Untuk jangka panjangnya, paparan kronis melalui penghirupan
menyebabkan gangguan pernapasan, seperti penyakit paru-paru dan
kanker paru-paru. Perokok yang terpapar radon memiliki risiko 10-
20 kali lebih besar untuk terkena kanker paru-paru (Williams-Jones
dan Rymer, dalam Sigurdsson, 2000).

36 Memahami Gas Gunung Api


KASUS BENCANA GAS DI DUNIA

Danau Pembawa Petaka di Kamerun

P
ada jam 9.30 malam, 21 Agustus 1986, Lake Nyos bergetar
dan suara gemuruh yang tidak tentu asalnya terdengar dari
pegunungan. Tidak lama setelah itu, keluarlah asap gas
beracun yang mengalir ke bawah lereng gunung, dengan kecepatan
sekitar 100 km/jam. Letusan ini melepaskan sekitar 100.000-300.000
ton (1,6 juta ton menurut beberapa sumber) karbon dioksida (CO2).
Awan gas ini lebih berat daripada udara, sehingga awan-awan ini
kemudian turun ke desa-desa sekitar, menggantikan semua udara
yang ada. Dalam hitungan menit, gas itu langsung merenggut nyawa
1.746 orang dan 3.500 ternak dalam radius 25 kilometer dari danau.
Malam hari sebelum peristiwa itu, ada sebuah tebing di tepian
danau, runtuh dan masuk ke air. Diperkirakan reruntuhan tebing
ini telah menggoncang lapisan-lapisan air. Sehingga lapisan paling
dasar yang dipenuhi dengan CO2 menjadi pecah dan mengalirkan
CO2 dalam jumlah besar ke permukaan danau. Keesokan paginya

Lake Nyos di Kamerun. Sumber: Wikipedia

Sifat dan Bahaya Gas Vulkanik 37


aliran CO2 ini kemudian memasuki wilayah pemukiman penduduk.
Dan karena CO2 tidak berwarna dan tidak berbau, penduduk tidak
menyadari kedatangannya. Itulah yang menyebabkan banyak
penduduk yang tewas ketika sedang mengerjakan kegiatan
hariannya. CO2 ini seperti pembunuh yang mengintai diam-diam.
Mungkin hanya segelintir orang saja yang menyadari adanya bahaya
tak kasat mata yang terdapat di dasar danau yang terlihat sangat
indah di permukaannya itu. Tanpa mereka sadari, mereka elah
menghirup CO2 yang berasal dari lapisan paling dasar danau, yang
telah terakumulasi selama puluhan tahun. Dan banyak sekali orang
yang meninggal karena itu.
Lake Nyos atau Danau Nyos berada sekitar 315 Km sebelah barat
laut Yaounde, ibu kota Kamerun. Kedalaman danau ini mencapai
157 m dengan bagian terdalamnya 208 meter. Ada banyak penduduk
yang tinggal dilembah di sekeliling danau. Danau tersebut terbentuk
pada tahun 1600-an sebagai kawah gunung api. Kandungan gas
CO2 di danau ini sangat tinggi. Para peneliti menyebut dalam satu
galon air Danau Nyos, terkandung lima galon gas CO2. Dalam
dunia geologi, Danau Nyos adalah anomali. Alih-alih dilepaskan ke
atmosfer, Danau Nyos justru menyimpan gas CO2 di dalam hingga
menciptakan suatu wadah bertekanan tinggi. Danau ini jadi seperti
bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak.

Ternak yang mati bergelimpangan akibat menghirup gas beracun dari Lake Nyos.
Sumber foto: M.L. Tuttle, Survei Geologi AS.

38 Memahami Gas Gunung Api


Terbukti, pada peristiwa 21 Agustus 1986 malam itu. Kejadian
itu membuat warga di sekitar Desa Cham Nyos dan Subum sesak
napas saat sedang tidur. Beberapa mengalami pendarahan pada
hidung dan mulut. Saat para korban selamat terbangun, mereka
tidak menemukan adanya tanda-tanda kekerasan yang terjadi. Yang
ada hanya mayat. Bahkan hewan kecil seperti lalat pun ikut mati.
Tak heran jika hal ini merupakan salah satu misteri encana paling
aneh sepanjang sejarah.
Semua penduduk yang meninggal itu tewas dalam posisi ketika
sedang melakukan pekerjaan sehari-hari. Ada yang tewas sambil
memompa air, sedang memasak dan ada juga yang tewas ketika
sedang meminum segelas air. Beberapa orang yang selamat dari
peristiwa itu menceritakan apa yang terjadi pada hari orang-orang
tersebut meninggal. Konon, pada malam sebelum kejadian itu,
udara tiba-tiba terasa hangat dan tercium bau seperti telur busuk.
Masyarakat tidak terlalu memperdulikan kejadian itu. Tiba-tiba
keesokan paginya, banyak mayat yang bergelimpangan ketika mulai
sibuk dengan aktivitas harian mereka. Tidak ada yang tahu pasti
apa yang menjadi penyebab kematian yang aneh itu. Namun, para
ahli menemukan, kalau warna air Danau Nyos berubah dari bening
menjadi warna oranye terang.
“I could not speak. I became unconscious. I could not open
my mouth because then I smelled something terrible ... I heard my
daughter snoring in a terrible way, very abnormal ... When crossing
to my daughter’s bed ... I collapsed and fell. I was there till nine
o’clock in the (Friday) morning ... until a friend of mine came and
knocked at my door ... I was surprised to see that my trousers were
red, had some stains like honey. I saw some ... starchy mess on
my body. My arms had some wounds ... I didn’t really know how
I got these wounds ... I opened the door ... I wanted to speak, my
breath would not come out ... My daughter was already dead ... “
(Saya tidak bisa berbicara dan rasanya mau pingsan. Saya tidak bisa
membuka mulut dan kemudian mencium sesuatu yang mengerikan.
Saya dengar anak saya mendengkur dengan cara yang mengerikan,

Sifat dan Bahaya Gas Vulkanik 39


Oleh penduduk setempat, Lake Nyos disebut juga dengan Danau Jahat.
Sumber: Wikimedia.

sangat tidak normal. Ketika menyeberang ke tempat tidur anak


perempuan saya, saya pingsan dan jatuh. Saya ingin berbicara,
napas saya tidak keluar, putri saya sudah meninggal). Itulah kata-
kata Joseph Nkwain dari Desa Subum, salah satu korban selamat
dari bencana 21 Agustus 1986 itu.
Penduduk setempat percaya, kematian 1.746 orang yang tinggal
di sekitar Danau Nyos diakibatkan oleh kekuatan jahat yang muncul
di danau tersebut. Untuk itu danau ini pun mendapat julukan sebagai
‘The Bad Lake’ alias danau jahat atau pembawa sial.
Untuk mencari jawaban, para ahli kemudian meneliti Danau
Craten di Oregon. Danau ini adalah danau terluas nomor tujuh di
dunia. Luasnya mencapai 50 km persegi dengan kedalaman 594
meter. Sehingga digambarkan kalau Empire State dimasukkan ke
danau ini, pasti akan tenggelam. Danau Craten menampung sekitar
19 triliun liter air. Sekitar 7700 tahun yang lalu, Gunung Mazame
di tempat itu meletus dan melemparkan puncak gunungnya. Kawah
inilah yang kemudian membentuk Danau Craten. Namun, ternyata
aktivitas gunung Mazame masih tetap mempengaruhi danau tersebut.
Karena dibawah danau ternyata masih terdapat kolam-kolam bekas
magma yang masih tetap panas.
Para ahli menemukan bahwa suhu air di dasar danau lebih hangat
beberapa derajat, kadar garamnya juga sepuluh kali lebih pekat
dan mengandung banyak CO2. Lalu CO2 ini kemudian merembes

40 Memahami Gas Gunung Api


dari celah-celah kerak bumi dan menuju ke kawah yang kini telah
menjadi danau. Namun, keberadaan air telah menghalangi CO2 itu
naik ke udara. Kalaupun ada sedikit yang terlepas, masih bisa hilang
terbawa hembusan angin. Sehingga tidak terlalu membahayakan.
Proses pergantian musim juga sangat mempengaruhi. Pada
musim dingin, perputaran air akan terdorong ke bawah karena suhu
dibawah lebih hangat. Sebaliknya pada musim panas, perputaran air
akan naik ke atas. Siklus inilah yang kemudian membuat munculnya
lapisan-lapisan air yang berbeda kadar kepadatannya. Lapisan air
yang paling bawah lebih pekat daripada yang diatas. Di lapisan air
yang paling bawah inilah CO2 yang mengalir dari dasar bumi itu
tertahan.
CO2 tidak bisa naik lebih tinggi karena perbedaan kepekatan air di
lapisan atasnya. Sehingga berkumpul dan terakumulasi selama puluhan
tahun dan menjadi sangat banyak di lapisan air yang paling bawah.
Fenomena ini kemudian ditemukan juga pada Danau Horseshoe yang
berukuran lebih kecil dari Danau Craten. Pohon-pohon yang tumbuh
di sekitar danau itu mengering dan akhirnya mati.
Setelah diselidiki, ternyata kadar CO2 di danau ini mencapai 100
ton/hari dan meresap ke tanah. Inilah yang membuat pohon-pohon
di sekitarnya mati. Para ahli kemudian melakukan percobaan dengan
menggali sedikit tanah di tepi danau itu lalu mencoba menyalakan
api. Namun, akibat pekatnya kadar CO2-nya, api langsung padam
begitu didekatkan dengan tanah. Ternyata akumulasi CO2 yang
sudah sangat banyak di danau itu akhirnya meluap dan menyebabkan
danau itu menjadi sangat berbahaya. Namun, kadar CO2 di Danau
Horseshoe tidak terlalu membahayakan manusia, karena batas kadar
yang membahayakan adalah 1,75 juta ton. Dan ini hanya akan terjadi
pada peristiwa gunung meletus.
Penemuan-penemuan inilah yang kemudian membantu para ahli
untuk bisa menyimpulkan apa yang terjadi di Danau Nyos.
*Dari berbagai sumber

Sifat dan Bahaya Gas Vulkanik 41


42 Memahami Gas Gunung Api
04

PREPARASI DAN ANALISIS


LABORATORIUM

Preparasi dan Analisis Laboratorium 43


Yustinus Sulistiyo di laboratorium

G
as vulkanik yang diambil dari lapangan dapat digolongkan
ke dalam dua jenis gas yaitu gas terlarut (dalam NaOH) dan
gas tidak terlarut. Gas-gas yang terlarut dalam NaOH antara
lain: CO2 (karbon dioksida), H2S (hidrogen sulfida), SO2 (Sulfur
Dioksida), HCl (hidrogen Khlorida), dan NH3 (amonia). Sedangkan
gas-gas yang tidak terlarut di antaranya adalah: He (helium), H2
(hidrogen), N2 (Nitrogen), O2 (oksigen), Ar (argon), CH4 (metana),
dan CO (karbon monoksida).
Perbedaan jenis gas tersebut menyebabkan perlakuan
terhadapnya berbeda-beda pula. Untuk menganalisis komposisi gas
vulkanik, ada tiga metode analisis yang digunakan. Pertama, metode
analisis spektrofotometri untuk menganalisis gas terlarut HCl, HF,
NH3, dan SO2 yang menggunakan alat spektrofotometer. Kedua,
metode analisis volumetri untuk menganalisis gas-gas terlarut CO2
dan H2S dengan menggunakan tabung reaksi. Ketiga, menggunakan

44 Memahami Gas Gunung Api


metode analisis kromatografi untuk gas tidak terlarut, yaitu H2, CO,
O2+Ar, N2, CH4, CO yang dianalisis dengan kromatografi gas setelah
dipisahkan dengan penyaring molekuler dengan menggunakan
Helium sebagai gas pembawa (carrier gas) dengan menggunakan
alat kromatograf.
Berikut ini uraian analisis atas gas-gas vulkanik sebagaimana
yang terdapat di Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi
Kebencanaan Geologi (BPPTKG) di Yogyakarta, pada lembaga
yang berada di bawah naungan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, itu ada Laboratorium
Gas, Laboratorium AAS, Laboratorium Air, dan Laboratorium
Isotop Air untuk menganalisis gas vulkanik.

Preparasi
Tahap awal yang dilakukan adalah persiapan di laboratorium.
Dengan langkah meliputi seluruh tahapan penyiapan tabung dan
peralatan lapangan, yaitu:
Pembuatan larutan 5N NaOH, dengan cara menimbang NaOH
p.a. 200 g; larutkan NaOH dalam gelas beaker dengan 400 ml
akuades dan tutup dengan tutup gelas; biarkan larutan tersebut
sampai dingin; kemudian pindahkan larutan tersebut ke dalam labu
ukur dan tambahkan akuades hingga mencapai volume satu liter;
kocok larutan NaOH tersebut sampai homogen.
Memvakum tabung giggenbach dengan pompa vakum.
Masukkan larutan 5N NaOH sebanyak 1/5 bagian volume tabung
yang sudah divakumkan dengan menggunakan corong; vakumkan
kembali tabung yang sudah diisi dengan larutan 5N NaOH dengan
pompa vakum sampai tekanan minus 1.000 mBar; timbang tabung
yang sudah divakumkan sampai ketelitian 0,1 mg; periksa kevakuman
tabung dengan mengocoknya hingga ada suara karakteristik dari
tabung, yang mengindikasikan tekanan total tabung mendekati
tekanan uap larutan yang ada di dalamnya; timbangan ulang tabung
vakum tersebut setelah didiamkan selama 12 jam, untuk pengecekan
kebocoran.

Preparasi dan Analisis Laboratorium 45


Penimbangan tabung gas sebelum dan sesudah sampling

Pada gas kromatografi terdapat fasa gerak (carrier gas) dan


fasa diam. Carrier gas yang digunakan adalah gas inert (Argon)
sedangkan fasa diam yang digunakan adalah padatan (molecular
sieve). Sample gas (campuran He, H2, N2, O2, CH4, CO) yang
akan dianalisis kandungannya dibawa oleh carrier gas menuju
kolom (molecular sieve) tempat pemisahan komponen-komponen
penyusun campuran gas. Prinsip pemisahan komponen-komponen
penyusun campuran gas adalah berdasarkan proses adsorpsi
(proses penjerapan pada permukaan padatan). Komponen yang
memiliki afinitas (kecenderungan untuk terikat, dalam hal ini
dengan molecular sieve) tinggi akan tertahan lebih lama di kolom.

46 Memahami Gas Gunung Api


Komponen yang afinitasnya rendah akan lebih cepat melewati
kolom. Hal ini membuat masing-masing komponen memiliki waktu
retensi yang berbeda. Urutan munculnya spektrum adalah sebagai
berikut: He, H2, N2, O2, N2, CH4, CO.

Alat analisis kromatografi gas

Dengan demikian, bila melihat cara pengambilan percontoh gas,


pengukuran dan pemantauan gas dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu pengambilan langsung di lapangan dan melalui penginderaan
jauh (Stix dan Gaonac’h dalam Sigurdsson, 2000; Grocke, 2010).
Larutan NaOH menyerap gas asam seperti CO2, SO2, dan HCl
dengan reaksi netralisasi, misalnya NaOH HCl H2O NaCl. Gas lain
yang tidak bereaksi dengan NaOH (misalnya hidrogen, helium,
karbon monoksida) terkumpul di bagian atas dari larutan ruang
kepala botol yang dievakuasi. Botol-botol ini secara informal disebut
‘’botol Giggenbach’’ setelah Werner Giggenbach, ahli vulkanologi
yang pertama kali mengembangkan teknik ini pada tahun 1970-an.

Preparasi dan Analisis Laboratorium 47


Yustinus Sulistiyo sedang menerangkan teknik analisis gas kromatografi

Untuk mengambil percontoh gas bersuhu tinggi di lapangan,


ahli vulkanologi mencari fumarola terpanas yang paling mewakili
komposisi gas magmatik. Fumarola tersebut diambil percontohnya
secara berkala, tergantung pada tingkat aktivitas vulkanik dan
kemudahan aksesnya. Jika gunungnya sering meletus, kemungkinan
besar akan ada celah besar dalam data! Biasanya, ahli vulkanologi
pertama-tama mengukur suhu fumarola dengan termokopel, lalu
memasukkan tabung kaca titanium atau kuarsa ke dalam fumarol.
Setelah gas mengalir melalui tabung, dihubungkan ke botol silinder
yang dievakuasi yang sebagian diisi dengan larutan natrium
hidroksida pekat (NaOH).

Pengambilan Sampel Gas


Pengambilan sampel gas dilakukan pada lubang fumarol dengan
suhu paling tinggi dan memiliki tekanan gas kuat. Setelah dilakukan
pengukuran suhu dilanjutkan dengan pengambilan sampel gas di
lapangan fumarol pada rekahan tempat keluarnya gas. Pengambilan
sampel gas dilakukan pada titik tradisi atau titik sampling tetap yang
dijadikan standar berdasarkan suhu tertinggi.

48 Memahami Gas Gunung Api


Gambar sketsa sampling gas, sumber: BPPTKG

Peralatan dan perlengkapan lapangan yang dibutuhkan adalah


tabung giggenbach vakum, termokopel yang mempunyai kemampuan
sampai 1.200 oC, alat penentu koordinat (Global Positioning System/
GPS), palu geologi, pipa silika, pipa titanium, selang silikon, sarung
tangan asbes, masker gas full-face, peta topografi, kompas geologi,
dan corong gelas.

Laboratorium Isotop
Isotop merupakan unsur yang memiliki nomer atom sama
tetapi dengan massa atom yang berbeda. Secara umum isotop
dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu isotop radioaktif dan isotop
stabil. Air merupakan senyawa pemeran utama dalam siklus
hidrologi. Molekul air (H2O) tersusun dari atom hidrogen dan
oksigen. Di alam, hidrogen memiliki 3 isotop yang terdiri dari 1
isotop radioaktif (yaitu tritium, T=3H) dan 2 isotop stabil (yakni 1H/
Protium dan Deuterium, D= 2H). Sedangkan oksigen memiliki 3
isotop stabil, yakni 16O, 17O, dan 18O.

Preparasi dan Analisis Laboratorium 49


Alat pengukur isotop Deuterium dan Oksigen-18

Bertolak dari fakta adanya perbedaan massa pada isotop stabil


dalam H2O menyebabkan proses fisikokimia alam yang dijalani oleh
H2O selama siklus hidrologi berdampak pada terjadinya fraksinasi
isotop stabil H2O. Fraksinasi yang terjadi pada H2O ini menjadikan
mereka dapat digunakan sebagai perunut sumber fluida dan proses
yang terjadi, karena fluida selama mengikuti jalur sirkulasinya akan
berinteraksi dengan material lainnya. Dalam vulkanologi, isotop
stabil dari H2O ini dapat digunakan untuk membedakan asal dari
fluida H2O apakah berasal dari air magmatik ataupun air meteorik,
beserta kemungkinan proses yang terjadi, seperti pencampuran air
meteorik dengan air magmatik, maupun interaksi antara air-batuan.
Di samping menggunakan teknik spektrometer massa, analisis
isotop stabil air ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan
teknik Cavity Ring-Down Spectroscopy. Teknik spektroskopi ini
didasarkan pada absopsi dari suatu molekul/atom ketika terkena
gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang tertentu.
Hampir setiap molekul kecil dalam fase gas (misalnya CO2, H2O,
H2S, NH3) memiliki spektrum absopsi inframerah dekat yang
unik. Perubahan intensitas dari spektrum inilah yang direkam oleh
detektor sebagai rasio isotop stabil air (H2O). Metode analisis isotop
stabil H2O dengan Cavity Ring-Down Spectroscopy ini memiliki

50 Memahami Gas Gunung Api


kelebikan dalam hal kemudahan preparasi percontoh, operasional
alat, biaya perawatan dan biaya operasional yang jauh lebih murah
dari pada menggunakan spektrometri massa.

Pengambilan Sampel Kondensat


Pengambilan sampel kondensat untuk keperluan analisis isotop
deuterium dan oksigen-18 dilakukan pada manifestasi gas vulkanik
solfatara yang bersuhu dan bertekanan besar, agar air meteorik tidak
terlalu banyak mempengaruhi komposisinya. Pengambilan sampel
kondensat tersebut hampir sama dengan pengambilan sampel gas
dengan tabung Giggenbach. Melalui proses kondensasi, uap airnya
ditampung dalam tabung biasa tidak perlu divakum. Kondensat air
dapat dikumpulkan dengan menggunakan kondenser yang dibantu
dengan pompa hisap. Untuk mencegah uap air keluar dari tabung
kondenser, bisa menggunakan dua buah tabung condenser.

Gambar sketsa sampling kondensat, sumber: BPPTKG

Selama beberapa dasawarsa belakangan ini timbul minat besar


di kalangan para ahli kebumian untuk mempelajari gas vulkanik
dimana sebelumnya kalangan ahli gunung api kerap tertuju kepada
penyelidikan geofisika seperti pemantauan seismik dan deformasi.
Hali ini menurut Stix dan Gaonac’h (dalam Sigurdsson, 2000),

Preparasi dan Analisis Laboratorium 51


disebabkan karena akses ke lapangan fumarola bersuhu tinggi di
kawah aktif sulit dan berbahaya, sehingga pengambilan percontoh
serta analisis gas selanjutnya memerlukan keterampilan yang cukup
sulit. Oleh karena itu, pengambilan percontoh gas secara langsung
biasanya dilakukan secara sporadis.

Pengukuran suhu dan kandungan gas di Kawah Timbang

Namun, menurut kedua penulis tersebut, sejak 30 tahun terakhir,


ada perkembangan menarik. Semuanya disebabkan oleh empat
alasan berikut ini: Pertama, ahli vulkanologi mulai menerapkan
teknik penginderaan jauh (remote sensing) untuk mengukur gas.
Pengukuran ini membantu untuk dapat melakukan pengambilan
percontoh gas dari kawah secara sinambung, sehingga jenis-jenis
gas yang berbeda sekarang dapat pula dipelajari. Kedua, kemajuan
teknologi memungkinkan pemasangan sensor gas semipermanen di
kawah. Ketiga, penggunaan isotop stabil membantu menentukan asal
dan perjalanan gas. Keempat, pemahaman tentang termodinamika
gas vulkanik telah meningkat pesat dalam 15 tahun terakhir.
Perkembangan dalam penginderaan jarak jauh untuk gas ini banyak
dinisbatkan dari karya-karya Werner Giggenbach dari Institute of
Geological and Nuclear Sciences, Selandia Baru.

52 Memahami Gas Gunung Api


AHLI GAS GUNUNG API DUNIA

Werner Giggenbach

P
ada 7 November 1997, Werner Giggenbach meninggal dunia
saat melakukan pengambilan percontoh gas vulkanik di kawah
Gunung Tavurvur, dekat Gunung Rabaul, Papua Nugini. Pada
perjalanan pengambilan percontoh gas vulkanik itu dia ditemani
istrinya, Agnes Reyes. Sesaat setelah mendaki keluar dari kawah
Tavurvur, Werner terjatuh, kemudian meninggal dunia.
Werner F. Giggenbach adalah seorang ahli di bidang sistem
panas bumi, gas vulkanik, geokimia, dan geokimia organik.
Dan pengalaman membayakan seperti yang akhirnya kemudian
merenggut nyawanya pada 1997 itu sering pula dialami oleh Werner.
Salah satunya yang terkenal adalah saat dia mendaki kawah
dalam Gunung Erebus, gunung api setinggi 3000 meter di Antartika,
pada Desember 1973. Pada saat Werner berada di kaki dinding kawah
tersebut, tiba-tiba terjadi letusan. Salah satu bongkah lava vesikuler
yang panas yang dilontarkan oleh gunung api tersebut membakar
kaki celana panjang yang dikenakannya serta hampir membakar
tali yang menghubungkan Werner dengan sesama pendaki, tetapi
akhirnya dia selamat tiba ke pinggir kawah.
Berikut ini adalah riwayat singkat Werner Giggenbach yang
berasal dari tulisan “In Memoriam Werner F. Giggenbach (1937-
1997)” (dalam Geothermics Vol. 27, No. 1, 1998, karya Patrick
Browne) dan “Werner Friedrich Giggenbach, Dr.rer.nat. FRSNZ
(1937-1997)” karya Manfred P. Hochstein (The Royal Society of
New Zealand, tanpa tahun).
Werner Friedrich Giggenbach lahir pada 10 November 1937 di
Augsburg, Jerman. Ia mempelajari kimia di Technische Hochschule
Muenchen atau Universitas Teknik Munik dan memperoleh gelar Dr.
rer.nat. pada Juni 1966. Disertasinya mengenai larutan biru sulfur

Preparasi dan Analisis Laboratorium 53


dan memperoleh tingkat summa cum laude. Antara September 1966
dan Agustus 1968 dia mengambil kajian pascadoktoral di Michigan
State University, Amerika Serikat.
Pada September 1968, Werner bergabung sebagai ilmuwan di
Chemistry Division of the Department of Scientific and Industrial
Research (DSIR), Lower Hutt, Selandia Baru. Dia sangat aktif
dalam grup tersebut yang dikepalai oleh Jim Ellis, yaitu terlibat
dalam kajian mengenai panas bumi dan fluida vulkanik. Werner
hampir 30 tahun terlibat dalam DSIR hingga grup tersebut pada
tahun 1992 dijadikan sebagai bagian dari the Institute of Geological
and Nuclear Sciences (IGNS).
Kariernya di Selandia Baru tersela antara Maret 1980 hingga
Oktober 1982, saat Werner bergabung dengan the International
Atomic Energy Agency (IAEA), Wina, Austria. Di sana dia diangkat
sebagai kepala laboratorium isotop panas bumi. Selama di IAEA,
Werner pernah melakukan pengambilan percontoh fluida panas bumi
di seluruh dunia, antara lain di Meksiko dan negara-negara Amerika
Tengah. Dia juga tertarik pada sistem panas bumi yang disebutnya
sebagai “volcanicmagmatic-hydrothermal system”, yaitu sistem
panas bumi yang berisi inti dari fluida magmatik.
Setelah kembali dari Wina, dia tetap melakukan kontak
dengan grup IAEA dan sering diundang rapat-rapat di negara-
negara berkembang sejak tahun 1984. Sebagai konsultan untuk
UNESCO, UNDP, dan IAEA, Werner dapat melaksanakan program
pengambilan percontoh fluida selama tahun 1980-an dengan
mengunjungi pelbagai projek panas bumi dan gunung api di
Guatemala, Kolombia, Ekuador, Kosta Rika, dan Filipina.
Pada 1986, atas perminataan the International Volcanological
Commission, Werner diminta datang bersama dengan para ahli
lainnya ke Kamerun untuk menyelidiki letusan Lake Nyos.
Pemahamannya mengenai anomali pada unsur 3He di dalam gas
menyebabkannya menemukan bahwa bencana tersebut disebabkan
oleh akumulasi karbon dioksida terlarut yang memasuki danau dari
kedalaman tanpa proses vulkanisme.

54 Memahami Gas Gunung Api


Werner F. Giggenbach
(1937-1997).
Sumber: Hochstein (tt)

Kecintaan dan dorongan bagi Werner untuk memahami kekuatan


lontaran gunung api dimulai pada awal tahun 1970-an sebagai akibat
dari kegiatan program pengambilan percontoh yang pertamanya
pada gunung-gunung api aktif di Selandia Baru. Kemudian ada pula
perubahan pada pola kerjanya, karena nampaknya dia tidak termasuk
ilmuwan yang diam di tempat. Untuk memeriksa apakah temuan-
temuan pendahuluannya di Selandia Baru berdasarkan program
penelitian panas bumi-gunung apinya mempunyai implikasi lebih
luas, Werner melakukan pengambilan percontoh pada sistem panas
bumi dan vulkanik bersuhu tinggi lainnya di dunia.
Kesempatan pertamanya dapat ia raih, saat dia mengambil
percontoh fluida vulkanik Gunung Erebus, pada 1973, yang hampir
mencelakainya itu. Pengambilan percontoh tersebut dilakukannya

Preparasi dan Analisis Laboratorium 55


Werner turun ke kawah Gunung Erebus, di Antartika, pada 1973.
Sumber: adam.antarcticanz.govt.nz

56 Memahami Gas Gunung Api


Werner saat berada di Gunung Erebus tahun 1973.
Sumber: adam.antarcticanz.govt.nz

selama tiga kali ekspedisi, sehingga Werner merasa bahagia karena


percontoh-percontoh yang sudah diambilnya. Sebagaimana yang
telah diutarakan sebelumnya, ia terus mengadakan pengambilan
percontoh melalui pelbagai kesempatan yang dimiliknya. Hingga
akhirnya Werner dianggap sebagai ahli di bidang sistem panas bumi,
gas vulkanik, geokimia, dan geokimia organik.
Peninggalannya yang akan senantiasa dikenang dan digunakan
orang hingga saat ini misalnya adalah keberadaan “Gigagram”,
untuk menilai ekuilibrium kation fluida termal untuk memprediksi
parameter-parameter reservoir yang penting. Grafik bersegitiga
tersebut mulai dipresentasikan oleh Werner pada tahun 1986. Selain
itu, ada pula yang disebut dengan “Giggenbach Bottle” atau botol
Giggenbach atau tabung Giggenbacah, yakni botol/tabung Pyrex
kecil seukuran 0.21 liter yang dikembangkan oleh Werner dan
digunakan di seluruh dunia untuk pengambilan percontoh panas
bumi dan gas vulkanik secara langsung di lapangan.***

Preparasi dan Analisis Laboratorium 57


58 Memahami Gas Gunung Api
05

SAMPLING
DAN PEMANTAUAN

Sampling dan Pemantauan 59


Pemantauan gas di Gunung Bromo

A
dapun percontoh yang diambil di lapangan fumarola dapat
berupa gas, air, kondensat, dan gas tanah. Dalam praktiknya,
untuk melakukan hal tersebut pertama-tama yang harus
dilakukan adalah Dengan cara mengamati tempat keluarnya gas;
melakukan pengukuran suhu gas di tempat-tempat keluarnya gas;
dan memilih titik pengambilan percontoh pada suhu yang tertinggi,
kecepatan hembusan gas yang cukup tinggi dan lubang keluarnya
kecil, untuk menghindari kontaminasi udara dan kondensasi
percontoh. Pengambilan percontoh dilakukan pada titik terpilih
keluarnya gas gunung api. Tahap awal pengambilan percontoh adalah
pengukuran suhu udara, pengukuran koordinat titik pengambilan
percontoh, dan deskripsi lokasi pengambilan percontoh.

Pengukuran Suhu
Sebelum melakukan pengambilan percontoh gas dan air
dilakukan pengukuran suhu dari tempat keluarnya gas atau dari air
telaga dan kawah yang menunjukkan adanya aktivitas vulkanik.
Parameter untuk memilih titik sampling yakni: suhu yang tertinggi,

60 Memahami Gas Gunung Api


kecepatan hembusan gas yang cukup tinggi. Untuk menghindari
terjadinya kontaminasi udara luar, maka titik sampling yang
diprioritaskan adalah yang percontoh yang keluar dari lubang atau
rekahan yang kecil.

Pengukuran suhu fumarola

Pengambilan Sampel Gas


Pengambilan percontoh dilakukan pada titik terpilih tempat
keluarnya gas vulkanik. Setelah dilakukan pengukuran suhu
dilanjutkan dengan pengambilan percontoh gas pada rekahan
dengan suhu yang paling tinggi. Khusus untuk tekanan gas yang
cukup besar pengambilan percontoh gas bisa dilakukan sekaligus
dengan dua tabung.

Pengambilan sampel gas

Sampling dan Pemantauan 61


Pengambilan Sampel Kondensat
untuk Analisis Isotop
Pengambilan percontoh kondensat untuk analisis isotop
deuterium dan oksigen-18 dilakukan pada manifestasi gas vulkanik
solfatara yang bersuhu dan bertekanan besar, agar air meteorik
tidak terlalu banyak mempengaruhi komposisinya. Pengambilan
percontoh tersebut hampir sama dengan pengambilan percontoh
gas dengan tabung Giggenbach, tetapi uap airnya ditampung dalam
tabung dingin.
Kondensat air dapat dikumpulkan dengan menggunakan
kondenser yang dibantu dengan pompa hisap. Untuk mencegah
uap air keluar dari tabung kondenser, bisa menggunakan dua buah
tabung kondenser. Karena adanya uap air yang tidak terkondensasi
dan lolos melewati kondenser menyebabkan komposisi kondensat
hasil sampling tidak mewakili komposisinya sebelum keluar
dari fumarola. Dalam hal tersebut, pompa hisap digunakan untuk
mempercepat proses pengambilan kondesat. Tekanan udara di

Pengambilan sampel kondensat

62 Memahami Gas Gunung Api


tabung kondenser yang rendah akan membuat gas mengalir lebih
cepat dari sumber dengan tekanan udara tinggi ke tabung kondenser
yang memiliki tekanan udara lebih rendah. Percontoh kondensat
yang terkumpul dalam tabung condenser selanjutnya disimpan
dalam botol HDPE (High Density Polyethilene) hingga penuh tanpa
ada gelembung kemudian ditutup dengan rapat. Percontoh kondensat
selanjutnya dibawa ke laboratorium.
Selain dari lapangan fumarola, gas juga dapat diambil
percontohnya dari tanah. Itulah yang disebut dengan gas tanah (soil
gas) (Stix dan Gaonac’h dalam Sigurdsson, 2000). Ini disebabkan
karena gunung api tidak hanya melepaskan gas dari kawah atau
lapangan fumarola, tetapi juga berupa pelepasan gas (degassing)
seperti CO2, helium, dan radon (Rn). Gas-gas tersebut tidak bereaksi
dengan batu sekitarnya. Gas-gas ini dapat terembus pada suhu
yang lebih rendah melalui patahan. Penyebaran dan jumlah gas
ini memberi informasi tentang permeabilitas keseluruhan bangun
vulkanik, potensi degassing lateral dari area selain kawah aktif, dan
kemampuan gunung untuk melepaskan CO2 dan gas lainnya.
Penyebaran gas yang terlepas dan menyebar biasanya dipantau
dengan mengukur konsentrasi gas dalam gas tanah atau gas terlarut
dari mata air. Untuk analisis gas tanah, kuar (probe) dimasukkan
ke dalam tanah hingga kedalaman sekitar satu meter, percontoh gas
dipompa ke detektor inframerah atau ke dalam semprit. Gas tersebut
kemudian dipindahkan ke wadah yang divakum. Sebagai alternatif,
detektor gas dipasang di tanah untuk jangka waktu tertentu. Di mata
air, percontoh air diambil dari sumbernya dan dimasukkan ke dalam
botol yang ditutup rapat.

Penginderaan Jarak Jauh


Sejak akhir 1960-an, ahli vulkanologi mulai sering melakukan
percobaan mengukur gas vulkanik dengan menggunakan
penginderaan jarak jauh. Pendekatan ini menarik, karena pengukuran
dilakukan jauh dari gunungnya, peralatan serta pengamatnya tidak
berada di dekat semburan gas atau kawah. Dengan demikian, cara ini

Sampling dan Pemantauan 63


lebih aman dan lebih mudah dilakukan, juga dapat membuat lebih
banyak gas yang dapat dipantau dibandingkan dengan pengambilan
percontoh gas secara langsung.
Terdapat berbagai macam teknik penginderaan jarak jauh untuk
gas vulkanik,di antaranya Corelation Spectroscopy (COSPEC),
Differential Optical Absorption Spectroscopy (DOAS), mini DOAS,
Flyspec untuk mengukur emisi SO2, Fourier transform infrared
(FTIR) untuk mengukur gas-gas H2O, SO2, CO2, CO, HCl dan HF.
Total Ozone Mapper Spectrometer (TOMS) untuk mengukur SO2
yang terhembus ke statrosfer.

COSPEC
Corelation Spectroscopy (COSPEC) dikembangkan pada 1960-
an oleh Barringer Research, di Toronto, Kanada, untuk mengukur
emisi SO2 dari untuk pemantauan polusi dari industri. COSPEC mulai
diperkenalkan ke komunitas vulkanologi sebagai alat penginderaan
jauh emisi SO2 dari gunungapi sejak tahun 1971 (Stoiber dkk., 1983).
Para ahli vulkanologi kemudian mulai menerapkan COSPEC untuk
pemantauan gas vulkanik dibeberapa gunungapi di dunia (misalnya,
Stoiber dan Jepsen, 1973; Stoiber dkk., 1980; Stoiber dkk., 1986;
Bluth dkk., 1994 ; Casadevall dkk., 1994; Elias dkk., 1998; Delgado
dkk., 2001; Rodrîguez dkk., 2004).
COSPEC mengukur kolom SO2 dengan menggunakan pancaran
sinar ultraviolet (UV) sebagai sumber energinya. Sinar masuk ke
dalam instrumen dan bergerak melalui serangkaian cermin, lensa,
dan slit untuk mencapai detektor dan photomultiplier dimana sinar
diubah ke dalam pulsa listrik dan amplifier. Jika gas ada di dalam
instrumen, COSPEC mendeteksi sejumlah radiasi UV yang diserap
oleh SO2.
Sinar ultraviolet diserap oleh SO2 yang ada di sepanjang jalur
optik pada plume dalam unit satuan ppm-meter pada tekanan atmosfer
adalah sebanding dengan hasil kali antara konsentrasi SO2 (ppm)
denganp anjang “optical path” (meter). Absorpsi ini berlangsung
pada panjang gelombang 300 nm. Rekorder spektrometer akan

64 Memahami Gas Gunung Api


memperlihatkan sebuah kurva berbentuk puncak (“peak”). Tinggi
rata-rata dari puncak sebanding dengan jumlah SO2 di sepanjang
“optical path” dalam plume, dengan satuan dalam konsentrasi
perpanjang optic (ppm-m).
Setelah dilakukan setting terhadap sudut pengukuran dan
pemilihan konsentrasi standar, maka dilakukan pengukuran dengan
cara menggerakkan alat selebar sudut pengukuran. Hasil scan
tersebut direkam oleh rekorder. Dalam kromatogram menunjukkan
hasil pengukuran standar dan percontoh secara bergantian. Standar
yang digunakan untuk kalibrasi adalah standard internal (gas SO2)
yang sudah diketahui konsentrasinya. Konsentrasi standar sel gas
SO2 yang digunakan adalah 156 ppm-m untuk konsentrasi rendah
dan 348 ppm-m untuk konsentrasi tinggi.
Data yang diperoleh dari hasil pengukuran diolah untuk
menghitung konsentrasi SO2 yang terukur. Dari kromatogram yang
diperoleh kemudian diukur tinggi awal dan akhir setiap pengukuran/
peak kromatogram dan peak kromatogram percontoh.
Biasanya pengukuran dengan COSPEC dilakukan pada tempat
yang tetap (fix position), dengan menempatkan COSPEC pada tripod
yang berotasi dan melakukan scanning di area plume. COSPEC
dapat juga dioperasikan di atas mobil atau perahu, yang berjalan
melintasi di bawah plume. COSPEC dapat dioperasikan di atas
helicopter namun membutuhkan biaya yang besar serta keterbatasan
geografi.

DOAS dan Flyspec


Sejak tahun 2001, para ahli vulkanologi mulai menggunakan
miniatur spektrometer UV atau dikenal sebagai DOAS karena jauh
lebih murah, lebih kecil dan mengonsumsi lebih sedikit daya daripada
COSPEC (Galle dkk. 2002; McGonigle dkk. 2002; Mc Gonigle dan
Oppenheimer 2003; Edmonds dkk. 2003; Oppenheimer dan Mc
Gonigle 2004; Horton dkk. 2005; Williams-Jones dkk. 2005). DOAS
beratnya kurang dari 1 kilogram (tanpa komputer laptop). Dimensi
DOAS (~ 90 mm x ~ 65 mm x ~ 35 mm) lebih kecil dibandingkan

Sampling dan Pemantauan 65


dimensi COSPEC. Daya yang dibutuhkan mini DOAS lebih kecil
yaitu 1W, dibandingkan 23W untuk COSPEC (Galle dkk, 2002).
Perangkat baru ini merekam spektrum UV dengan resolusi <1-nm,
menawarkan fleksibilitas dalam metode pengambilan spektral, dan
target spesies gas (Bobrowski dkk. 2003; O’Dwyer dkk. 2003).
Perangkat ini meningkatkan beberapa faktor dalam pengumpulan
data, metodologi dan menawarkan kesempatan untuk aplikasi
lapangan yang lebih luas. DOAS menggunakan spektrometer
USB Ocean Optics, dan terdiri dari teleskop, serat optik, cermin
collimating, celah ~ 50-μm, resolusi spektral instrumen 0,6 nm
dalam rentang panjang gelombang 245-380 nm.kisi bidang, cermin
melengkung, dan charged-coupled-device (CCD) linier. Spektrum
yang dihasilkan ditampilkan di computer melalui koneksi USB,
yang juga berfungsi sebagai sumber daya. Biasanya terdapat antena
GPS yang disertakan dalam sistem, yang memungkinkan posisi dan
waktu saat data dikumpulkan.
FLYSPEC mirip dengan mini-DOAS (Horton dkk. (2006) dan
Elias dkk. (2006), menggunakan spektrometer USB Ocean Optics.
Untuk FLYSPEC, celah 25-μm menghasilkan resolusi spektral 0,25
nm pada rentang panjang gelombang 177-330 nm. Kedua sistem
spektrometer menggunakan komputer laptop untuk pemrosesan data
dan sebagai sumber daya, dan secara signifikan lebih kecil, ringan,
dan lebih murah daripada COSPEC.
Baik spektrometer mini DOAS dan FLYSPEC memberikan
tampilan waktu nyata dari spektrum yang dikumpulkan dan
konsentrasi SO2 yang sesuai, untuk mengaktifkan lokasi batas asap.
Waktu integrasi keduanya optimal sehingga ada pancaran maksimum
tanpa saturasi piksel oleh cahaya.
Pengukuran emisi SO2 menggunakan DOAS dapat juga
dilakukan secara otomatis dan kontinyu pada siang hari (pukul 06.00-
18.00 WIB). Di Indonesia telah di lakukan di G. Sinabung dan G.
Gamalama. Setiap stasiun DOAS terhubung menggunakan sistem
NOVAC (Network for Observation of Volcanic and Atmospheric
Change). Data yang diperoleh dari setiap stasiun DOAS dikirim
melalui jaringan telemetri digital ke stasiun repeater atau langsung

66 Memahami Gas Gunung Api


ke Pos Pengamatan Gunungapi menggunakan software NOVAC.
Program Wind Forecast Importer disematkan di sistem NOVAC
untuk mengirimkan data berupa file arah dan kecepatan angin
(Windgram*.txt) yang diperoleh melalui pengambilan data dari
National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) (website
NOAA Ready) yang harus dilakukan setiap hari. Seluruh data yang
masuk ke sistem NOVAC diolah menghasilkan emisi SO2 harian
yang dikonversi ke dalam satuan ton/hari.

Pengukuran SO2-DOAS di Gunung Papandayan

Pengukuran SO2-DOAS di Gunung Sinabung

Sampling dan Pemantauan 67


Stasiun DOAS-Novac telemetri di Gunung Sinabung

Stasiun DOAS-Novac telemetri di Gunung Gamalama

68 Memahami Gas Gunung Api


FTIR
Fourier transform infrared (FTIR) adalah spektrometer untuk
mengukur gas-gas dalam plume. Untuk pengukuran tersebut, sebuah
teleskop infrared telescope ditujukan kepada sumber panas, misalnya
danau lava, pancuran lava, lampu infrared dan matahari. Rdiasi
infrarednya dikumpulkan dan digabungkan ke dalam spektrometer
tersebut. Di sini, spektrum direkam dan dianalisis untuk absorpsi
melalui pelbagai gas di dalam plume. Metode ini mempunyai
kepekaan terhadap H2O, SO2, CO2, CO, HCl dan HF, sehingga
datanya berisi informasi rinci mengenai komposisi plume gas.

Pemantauan gas di Kawah Ijen menggunakan FTIR

MULTI-GAS
Multi-GAS adalah alat untuk mengukur gas-gas vulkanik
terutama CO2, SO2, dan H2S dari asap yang keluar melalui rekahan
alamiah di gunung api maupun gas vulkanik di danau kawah yang
keluar secara difusi. Sensor yang digunakan biasanya sensor CO2

Sampling dan Pemantauan 69


infra merah yang dikonfigurasi untuk mengukur CO2 dengan kisaran
konsentrasi 0 – 5000 ppm dan H2O dengan kisaran 0 -80 ppt dan
sensor elektrokimia untuk pengukuran SO2 dan H2S, masing-masing
dengan kisaran konsentrasi 0 – 100 ppm. Sensor gas terintegrasi
penuh ke dalam satu paket bersama dengan elektronik, datalogger,
dan unit GPS.

Stasiun Multi GAS dan di Kawah Ijen, Jawa Timur

Pengukuran gas menggunakan Multi-GAS memiliki


keunggulan karena pengukuran gas tidak dilakukan secara
langsung pada lubang rekahannya melainkan gas-gas vulkanik
yang sudah keluar dan bercampur dengan ambien (udara) sehingga
bahaya terhadap personel di lapangan berkurang. Pengukuran
Multi-GAS dilakukan secara langsung dilapangan secara rutin
atau periodik tergantung kebutuhan. Pengukuran Multi-GAS juga
dapat dirancang secara otomatis misalnya pengukuran otomatis
setiap 6 jam, dan data pengukuran disalurkan secara langsung
ke Pos Pengamatan Gunungapi menggunakan sistem telemetri

70 Memahami Gas Gunung Api


Pemantauan Gunung Kaba melalui peralatan multi gas

Pemantauan aktivitas Gunung Ibu menggunakan peralatan multi gas

Sampling dan Pemantauan 71


tertentu. Data hasil pengukuran dapat ditampilkan secara real-time
baik berupa konsentrasi masing-masing gas dalam satuan ppmv
maupun berupa rasio gas menggunakan software tertentu, biasanya
software LoggerNET dan software RTMC Real Time Monitor and
Control).

Pengukuran Multigas dan Infra Red kamera di Kawah Ijen

Peserta seminar Cities on Volcanoes diskusi di stasiun sensor gas Kawah Timbang

72 Memahami Gas Gunung Api


TOMS
Total Ozone Mapper Spectrometer (TOMS) pertama kali
diluncurkan dari pesawat ruang angkasa Nimbus 7 pada 1978.
Sejak saat itu, pengukuran ozon stratosfer dengan menggunakan
wilayah ultraviolet dekat menjadi lazim, terutama menjadi alat
untuk mengukur lontaran atau hembusan besar SO2 ke stratosfer dari
letusan gunung api. Dengan demikian, sejak 1979, melalui TOMS
dapat terukur jumlah SO2 yang terhembus dari 50 letusan gunung
api di seluruh dunia.
TOMS memiliki beberapa kelemahan. Resolusi spasial sejauh 50
km relatif kasar, tidak dapat dengan mudah melakukan pengukuran
pada malam hari, pada sudut matahari rendah, atau pada lintang
tinggi. Memang, ini disebabkan karena TOMS dirancang untuk
melakukan pengukuran SO2 yang dihembuskan oleh letusan gunung
api yang relatif besar, sehingga dak dapat mengukur level rendah.
TOMS generasi kedua diluncurkan pada satelit Earth Probe
dan ADEOS tahun 1996. Alat ini dirancang untuk mengukur SO2
vulkanik dengan lebih baik dengan meningkatkan resolusi spasial
dan panjang gelombang optimal. Namun, satelit ADEOS gagal pada
tahun 1997 (Stix dan Gaonac’h dalam Sigurdsson, 2000).

Sampling dan Pemantauan 73


74 Memahami Gas Gunung Api
06

STUDI KASUS
DI DATARAN TINGGI
DIENG

Preparasi dan Analisis Laboratorium 75


Dataran Tinggi Dieng terhampar indah membentang, foto: M. Nizar Firmansyah

D
ataran Tinggi Dieng terletak pada posisi geografi di 7,200
LS dan 1900 LS, dengan titik tertinggi 2.565 meter. Ahli
gunung api Neumann van Padang menyebutkan, dataran
tinggi ini adalah puing yang terdiri dari beberapa kerucut setinggi
100-300 m, berderet sepanjang 14 km dengan lebar 6 km. Lajur
gunung api ini memanjang ke barat daya-tenggara, kelanjutan
dari deretan Gunung Sumbing-Sundoro. Sementara menurut van
Bemmelen, Dataran Tinggi Dieng merupakan kelompok gunung
api Kuarter yang secara fisiografis merupakan bagian Pegunungan
Serayu Utara. Pegunungan ini terletak pada zona lemah serta
merupakan sayap bagian utara dari jalur geantiklin Jawa dengan arah
timur-barat, memanjang ke barat, dari Dieng ke Gunung Slamet.
Tercatat setidaknya 15 kali letusan di Dataran Tinggi Dieng.
Letusan 1826 terjadi di Kawah Butak yang melenyapkan Desa
Jampang dan menyebabkan 38 orang meninggal. Pada Oktober
1939, di dekat Desa Batur, terjadi letusan dan menelan korban 10

76 Memahami Gas Gunung Api


orang meninggal. Letusan ini juga menyebabkan sekitar lima hektare
tanah hancur. Selanjutnya, pada 4 Desember 1944 terjadi letusan di
Kawah Sileri yang memakan korban sebanyak 59 orang meninggal
dunia, 38 luka-luka, dan 55 orang hilang.
Karena karbon dioksida atau CO2 itu sebagai gas yang tak berbau
dan tak berwarna, warga desa yang berlari untuk menyelamatkan
diri tidak akan mengenalinya. Dalam situasi panik serta sifat
CO2 itu, warga desa yang bergegas menyelamatkan diri justru
menjemput maut, karena lintasan yang mereka lalui merupakan
kawasan yang disapu aliran gas beracun. Meskipun terkenal dengan
gas racun, Dataran Tinggi Dieng tetap merupakan aset wisata yang
ramai dikunjungi orang. Penduduk terutama para petani dan para
pengunjung harus lebih berhati-hati ketika cuaca berkabut, karena
gas yang keluar konsentrasinya susah terurai dan berbahaya jika
terhirup.

Pengambilan sampel gas

Bila terjadi semburan gas gunung api dengan kadar CO2


yang belum diketahui ambang batasnya, maka gunakanlah obor
untuk mengetahui tinggi rendahnya kandungan gas tersebut.
Bila kandungan gas racunnya tinggi, maka obor akan mati. Maka

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 77


segeralah menghindar dari kawasan itu karena dapat mematikan.
Sambil berjalan menghindari pusat semburan gas racun, gunakanlah
kain atau handuk kecil yang dibasahi sebagai penutup hidung.
Langkah aman bagi penduduk dan para pengunjung adalah selalu
membawa air minum untuk menetralisasi gas yang terhirup, serta
handuk kecil yang dapat digunakan untuk menutup mulut dan
hidung dari kemungkinan menghirup gas.
Secara alami, gas racun gunung api akan keluar terus. Untuk
mengurangi risiko bencana yang ditimbulkan oleh gas racun dari
gunung api, telah dipasang alarm pendeteksi gas racun di beberapa
lokasi. Alarm akan berbunyi ketika konsentrasi gas mencapai nilai
ambang batas. Pemasangan alarm yang jumlahnya terbatas dirasakan
kurang efektif, karena jumlah lokasi gas tersebar dalam jumlah yang
begitu banyak.
Selain melatih kesiap-siagaan masyarakat di Dataran Tinggi
Dieng dalam mengantisipasi bahaya gas beracun, sosialisasi itu
akan semakin menyatu dengan warga bila memanfaatkan budaya
dan peralatan tradisional yang sudah menjadi keseharian mereka.
Selain itu, penting artinya adanya pemasangan papan tanda dilarang
mendekati lokasi gas beracun, arah evakuasi, dan adanya alarm
gas. Pemasangan patok-patok peringatan akan bahaya gas racun
dipancangkan di dekat kawah yang berpotensi mengeluarkan gas
racun, namun pemasangan papan peringatan itu banyak diprotes
pemilik lahan karena dianggap dapat menurunkan nilai jual tanah
pertanian mereka.

Studi Kasus
Pembahasan terdiri dari data gas dan isotop kondensat dan isotop
air. Studi kasus dilakukan pada enam objek penelitian di Dataran
Tinggi Dieng. Dari enam kawah ini dilakukan pengambilan sampel
air untuk analisis isotop. Selain data gas dan air. Data ini merupakan
ringkasan data hasil penelitian gas dan data isotop deuterium dan
oksigen-18.

78 Memahami Gas Gunung Api


Komposisi gas gunung api dari enam kawah mengawali
pembahasan dan dilanjutkan dengan membandingkan kandungan
karbon dioksida pada enam kawah. Pembahasan khusus dilakukan
pada sembilan data gas Kawah Sikidang dengan mengkorelasikan
karbon dioksida dengan gas sulfur dan gas-gas lainnya. Selain
korelasi gas kabon dioksida dilakukan juga korelasi antar gas.
Komposisi gas yang dianalisis di tiap kawah memberikan angka
yang bervariasi pada bahasan ini khusus untuk gas karbon dioksida
diklasifikasikan inklusif berdasarkan penelitian di Dataran Tinggi
Dieng.

Dokumentasi lokasi penelitian:


(K01) Kawah Sikidang, (K02) Kawah Sibanteng, (K03) Kawah Sileri,
(K04) Kawah Candradimuka, (K05) Kawah Pakuwaja, (K06) Kawah Sikendang.

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 79


Untuk mengetahui proses naiknya gas ke permukaan data
karbon dioksida dan data total sulfur serta kandungan uap air diplot
pada diagram Terner. Diagram Terner rasio CO2/ST pada umumnya
digunakan untuk data gas dengan temperature tinggi yaitu gunung
api magmatik, namun pada penelitian ini diplot khusus untuk gas
Kawah Sikidang gunung api dengan temperatur dibawah 1000C.
Untuk mengetahui suhu di bawah permukaan di lokasi penelitian
digunakan persamaan Giggenbach dan ditampilkan dalam grafik
karbon dioksida terhadap suhu kesetimbangan hasil perhitungan.
Melalui perhitungan ini dapat diketahui klasifikasi gunung api
berdasarkan suhu di bawah permukaan yang akan membedakan
antara magmatik dan hidrotemal atau campuran keduanya.
Pada beberapa data Dataran Tinggi Dieng dilakukan
perbandingan dengan data Gunung lainnya seperti Gunung Merapi
dan Gunung Papandayan. Pemilihan gunung tersebut berdasarkan
ketersediaan data sekunder yang berkaitan dengan data gas dan data
isotop deuterium dan oksigen-18.

Komposisi Gas Dataran Tinggi Dieng


Secara umum kandungan gas di Dataran Tinggi Dieng didominasi
oleh gas karbon dioksida dan gas sulfur, sementara gas lainnya
terdeteksi dalam jumlah relatif kecil. Data gas karbon dioksida
dan gas sulfur pada penelitian ini digunakan untuk mempelajari
komposisi dan korelasi gas di lapangan fumarol Dataran Tinggi
Dieng. Pembahasan gas diutamakan untuk mengetahui karakteritik
vulkanik Dataran Tinggi Dieng dengan referensi gas Kawah
Sikidang. Sementara pembahasan data gas terkait bahaya gas
beracun gunung api dilakukan saat membahas Kawah Sikendang.

Komposisi Gas Kawah Sikidang


Pengambilan sampel gas di Kawah Sikidang dilakukan di
lapangan fumarol pada tiga titik yang berbeda, pada ketinggian 2054
mdpl, 2060 mdpl, dan 2074 mdpl, sementara kawah utama Sikidang

80 Memahami Gas Gunung Api


Kawah Sikidang, lapangan fumarol paling ramai dikunjungi wisatawan.
Foto: Surip.

berada pada ketinggian 2055 mdpl dengan koordinat S07o13’12.2’’


E109o54’14.8’’.
Hasil pengukuran gas tahun 2017 sampai dengan tahun 2018
pada tiga titik lokasi di Kawah Sikidang, hasilnya menunjukkan
konsentrasi gas karbon dioksida berada antara 0,399% mol sampai
dengan 4,409% mol, konsentrasi gas asam sulfida0,002% mol

Komposisi gas Kawah Sikidang Tahun 2017-2018


0
Konsentrasi Gas dan Uap Air dalam % mol
No Waktu Kode T C
CO2 H2S SO2 HCl H2 N2 CH4 O2+Ar NH3 H2O
1 01_17 SK11 93.21 0.526 0.420 0.010 0.000 0.003 0.012 0.000 0.000 0.000 99.028
2 10_17 SK12 90.35 1.590 0.210 0.320 0.030 0.000 0.020 0.000 0.000 0.220 97.610
3 07_18 SK13 93.31 1.584 0.002 0.467 0.216 0.000 0.078 0.001 0.005 0.216 97.467
4 01_17 SK21 94.51 4.409 1.825 1.211 0.283 0.002 0.752 0.003 0.021 0.028 91.207
5 10_17 SK22 91.66 1.124 0.695 0.532 1.731 0.001 0.034 0.001 0.000 0.173 95.710
6 07_18 SK23 93.81 0.399 0.357 0.061 0.001 0.001 0.004 0.000 0.000 0.000 99.177
7 01_17 SK31 93.33 2.075 0.994 0.615 0.010 0.001 0.666 0.001 0.082 0.290 95.266
8 10_17 SK32 91.61 1.638 0.898 0.396 1.639 0.001 0.032 0.001 0.000 0.281 95.113
9 07_18 SK33 93.02 0.468 0.265 0.206 0.004 0.003 0.007 0.000 0.000 0.209 98.838
Rata-rata 92.71 1.535 0.629 0.424 0.435 0.001 0.178 0.001 0.001 0.157 96.602

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 81


sampai dengan 1,825% mol, dan konsentrasi gas sulfur dioksida
0,010% sampai 1,122% mol. Sementara kandungan uap air dalam
rentang 91,20% mol sampai dengan 99,17% mol. Suhu fumarol
Kawah Sikidang rata-rata 92,710C.
Secara visual kecepatan asap di kawah utama dan di lapangan
fumarol relatif stabil termasuk bau gas yang tercium masih dalam
batas normal dan tidak membahayakan. Fumarol Sikidang dengan
nilai rata-rata gas karbon dioksida dengan pembulatan 1,54% mol,
gas asam sulfida 0,63% mol, dan gas sulfur dioksida 0,42% mol,
dengan melihat nilai rata-rata konsentrasi gas karbon dioksida,
masih relatif kecil bila dibandingkan dengan kandungan gas di
kawah lainnya di Dataran Tinggi Dieng.

Komposisi Gas Kawah Sibanteng


Pengambilan Sampel dilakukan pada koordinat S07o13’12,1’’
E109o54’10,9’’ dengan ketinggian 2063 mdpl.

Kawah Sibanteng

82 Memahami Gas Gunung Api


Kandungan gas karbon dioksida di Kawah Sibanteng antara
1,736% mol sampai 2,622% mol dengan rat-rata pembulatan 2,18%,
kandungan rata-rata asam sulfida 0,60% mol, kandungan sulfur
dioksida 0,47% mol, dan kandungan rata-rata uap air 94,01% mol.
Secara umum suhu di Kawah Sibanteng memperlihatkan angka
yang relatif stabil pada suhu rata-rata 92,950C.

Komposisi gas Kawah Sibanteng Tahun 2017-2018

Konsentrasi Gas dan Uap Air dalam % mol


No Waktu Kode T 0C
CO2 H2S SO2 HCl H2 N2 CH4 O2+Ar NH3 H2O
1 10_17 SB11 93,30 1,736 0,243 0,449 0,011 0,001 0,145 0,001 0,000 1,049 96,366
2 07_18 SB12 92,60 2,622 0,943 0,498 3,715 0,008 0,031 0,002 0,000 0,052 91,657
Rata-rata 92,95 2,179 0,593 0,473 0,000 0,005 0,088 0,002 0,000 0,551 94,012

Komposisi Gas Kawah Sileri.


Kawah Sileri berada pada posisi geografis S07o11’36,4’’ dan
E109o53’1,96’’ dengan ketinggian 1880 mdpl dikelilingi oleh
bukit di sekitarnya.

Kawah Sileri

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 83


Sampel Kawah Sileri memiliki kandungan karbon dioksida rata-
rata sebesar 5,14% mol, sementara kandungan rata-rata H2S 0,05%
mol dan SO2 0,06% mol angka ini relatif kecil.

Kandungan gas Kawah Sileri Tahun 2014 dan 2017


(Data Geokimia Gunung Api Indonesia, BPPTKG).

0
Konsentrasi Gas dan Uap Air dalam % mol
No Waktu Kode T C
CO2 H2S SO2 HCl H2 N2 CH4 O2+Ar NH3 H2O
1 10_2014 SL11 90,12 5,86 0,05 0,75 0,20 0,000 9,24 0,06 2,46 0,02 82,16
2 07_2017 SL12 93,10 4,41 0,06 0,60 0,01 0,001 0,07 0,05 0,01 0,01 95,42
Rata-rata 91,61 5,14 0,05 0,68 0,11 0,001 4,66 0,05 1,23 0,02 88,79

Komposisi Gas Kawah Candradimuka.


Kawah Candradimuka berada pada koordinat S07011’19,3”
dan E109053’23,9” dengan ketinggian 1935 mdpl.

Kawah Candradimuka

84 Memahami Gas Gunung Api


Data komposisi gas karbon dioksida Kawah Candradimuka
memiliki kandungan rata-rata sebesar 6,15% mol. Nilai ini hampir
sama dengan data karbon dioksida Kawah Sileri, namun masih
lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan gas karbon dioksida
di Kawah Sikidang.

Kandungan gas Kawah Candradimuka 2012 dan 2018


(Data Dasar Geokimia Gunung Api, BPPTKG).
Konsentrasi Gas dan Uap Air dalam % mol
No Waktu Kode T 0C
CO2 H2S SO2 HCl H2 N2 CH4 O2+Ar NH3 H2O
1 05_2012 CD1 93,20 6,55 0,17 0,27 0,04 0,00 0,03 0,05 0,00 0,06 93,01
2 12_2018 CD2 92,80 5,67 0,27 0,34 0,00 0,06 0,00 0,05 0,00 0,16 93,29
Rata-rata 93,00 6,15 0,22 0,31 0,02 0,03 0,01 0,05 0,00 0,11 93,15

Kawah Candradimuka mengeluarkan hembusan degan tekanan


yang sangat kuat terdengar bunyi gemuruh dari kawah. Data yang
diperoleh di Kawah Candradimuka angkanya mendekati data di
Kawah Sileri.

Komposisi Gas Kawah Pakuwaja
Pengambilan sampel dilakukan pada ketinggian 2262 mdpl
dengan posisi geografis S07o13’37,6’’ E109o55’18,7’’.

Kawah Pakuwaja

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 85


Konsentrasi gas karbon dioksida antara 10,470% mol sampai
16,026% mol rata-rata 13,25% mol, konsentrasi asam sulfida
0,147% mol sampai 0,159% mol dengan rata-rata 0,15% mol dan
sulfur dioksida 0,574% mol sampai 0,876% mol rata-rata 0,73%
mol.
Kandungan uap air 82,410% mol sampai 88,480% mol dengan
rata-rata 85,45% mol dan suhu rata-rata 92,400C. Kawah Pakuwaja
relatif aman dari bayaha gas beracun karena lokasinya yang berada
di lapangan terbuka di perbukitan yang jarang dikunjungi oleh
penduduk setempat dan masyarakat pendatang.

Kandungan gas Pakuwaja Tahun 2017-2018


Konsentrasi Gas dan Uap Air dalam % mol
No Waktu Kode T 0C
CO2 H2S SO2 HCl H2 N2 CH4 O2+Ar NH3 H2O
1 10_17 PW11 92,30 10,470 0,147 0,574 0,000 0,003 0,087 0,170 0,001 0,061 88,480
2 07_18 PW12 92,50 16,026 0,159 0,876 0,001 0,004 0,130 0,252 0,003 0,136 82,410
Rata-rata 92,40 13,250 0,150 0,730 0,000 0,000 0,110 0,210 0,020 0,100 85,450

Komposisi Gas Kawah Sikendang.


Posisi geografis pada S07o12’43,6’’ dan E109o54’53,2’’ dengan
ketinggian 1903 mdpl.

Kawah Sikendang, foto: Atep Kurnia

86 Memahami Gas Gunung Api


Di Kawah Sikendang gas utama seperti Karbon dioksida, asam
sulfida, dan sulfur dioksida secara konsisten terdeteksi begitu juga
gas nitrogen dan metana.

Komposisi gas Kawah Sikendang Tahun 2017-2018


Konsentrasi Gas dan Uap Air dalam % mol
No Waktu Kode T 0C
CO2 H2S SO2 HCl H2 N2 CH4 O2+Ar NH3 H2O
1 10_2017 SD11 20,02 34,93 1,05 3,90 0,004 0,000 0,436 0,761 0,003 1,539 57,376
2 07_2018 SD12 20,20 31,57 1,29 2,24 0,002 0,001 0,365 0,753 0,002 1,313 62,560
Rata-rata 20,11 33,25 1,17 3,07 0,003 0,001 0,406 0,707 0,003 1,426 59,968

Kandungan rata-rata gas karbon dioksida 33,25% mol dan


kandungan uap air yang hanya 59,96% mol, membuat kawah
Sikendang harus diwaspadai. Karakteristik kawahnya berbeda
dengan kawah lainnya. Suhu yang terukur di lubang mofet rata-rata
20,110C, tercium bau gas yang sangat menyengat.
Kandungan karbon dioksida di Kawah Sikendang menunjukkan
flutuasi yang tinggi, seperti pengukuran pada sebelumnya (Priatna,
2014), yang menunjukkan angka kandungan karbon dioksida pada
73,80% mol. Hasil pengukuran 33,25% mol merupakan yang
terendah selama dilakukan pengukuran. Kandungan karbon dioksida
yang mencapai angka 70% mol ditemukan juga di Kawah Timbang.
Sementara Kawah Sinila mencapai angka 64,58% mol.
Berdasarkan fakta pengukuran gas di laboratorium dan observasi
di lapangan banyak ditemukan binatang yang mati, maka Kawah
Sikendang perlu dilakukan penataan mengingat lokasinya di tepi
Telaga Warna yang banyak dikunjungi wisatawan serta menjadi
jalan perkampungan di sekitar Telaga Warna dan Pengilon.

Klasifikasi Tingkat Kandungan CO2


di Dataran Tinggi Dieng.
Pembahasan selanjutnya membandingkan kandungan gas karbon
dioksida di enam lapangan fumarol. Kandungan karbon dioksida
yang terendah pada angka 1,54% mol di Kawah Sikidang dan
kandungan tertinggi 33,25% mol ditemukan di Kawah Sikendang.

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 87


Komposisi gas karbon dioksida pada 6 kawah
Lokasi penelitian Dataran Tinggi Dieng

No Kawah Rata-Rata CO2 % mol


1 Sikidang 1,54
2 Sibanteng 2,18
3 Sileri 5,14
4 Candradimuka 6,15
5 Pakuwaja 13,25
6 Sikendang 33,25

Konsentrasi karbon dioksida di Kawah Sikendang paling


tinggi dibandingkan dengan kawah lainnya hal ini diakibatkan oleh
terjadinya akumulasi gas karbon dioksida dalam lubang dan aliran
gas berbelok-belok atau aliran gas berarah horizontal. Akibat lainnya
konsentrasi gas karbon dioksidan di Kawah Sikendang lebih tinggi
karena adanya lapisan karbonat yang terpanaskan dalam tekanan gas
dan suhu yang rendah.
Di Kawah Sikendang tidak terlihat uap air yang mengepul seperti
yang ditemukan di kawah Sikidang dan Sileri. Konsentrasi gas
karbon dioksida tahun 2017-2018 ditambah dengan data sekunder
Kawah Sikendang tahun 2014 ditampilkan dalam diagram batang.
Pembahasan berikutnya adalah usulan klasifikasi tingkat
kandungan gas karbon dioksida yang terukur langsung dari sumber
fumarol. Klasifikasi ini terbatas pada usulan hasil penelitian di enam
lokasi Dataran Tinggi Dieng dengan modifikasi dari Peta Sebaran
Gas CO2 Dataran Tinggi Dieng (Andreastuti, 2007). Modifikasi
dilakukan pada nilai dan warna.
Berdasarkan usulan tersebut, maka kandungan karbon dioksida
hasil penelitian pada enam kawah di Dataran Tinggi Dieng. Gas
Kawah Sikidang dan Sibanteng masuk tingkat kandungan “Sangat

88 Memahami Gas Gunung Api


Klasifikasi tingkat kandungan gas CO2 Dieng

No CO2 % mol Tingkat Warna Simbol


Kandungan
1 00,00-04,99 sangat rendah hijau

2 05,00-09,99 rendah biru

3 10,00-24,99 sedang kuning

4 25,00-49,99 tinggi oranye

5 50,00 – 99,99 sangat tinggi merah

Klasifikasi konseptual komposisi gas CO2


Lokasi penelitian Dataran Tinggi Dieng

No Kawah Rata-Rata Tingkat Simbol


CO2 Kandungan
(% mol)
1 Sikidang 1,54 sangat
rendah

2 Sibanteng 2,18 sangat


rendah

3 Sileri 5,14 rendah

4 Candradimuka 6,15 rendah

5 Pakuwaja 13,25 sedang

6 Sikendang 33,25 tinggi

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 89


Rendah”, Kawah Sileri dan Kawah Candradimuka dikelompokkan
kedalam tingkat kandungan “Rendah”. Sementara itu Pakuwaja
masuk tingkatan “Sedang” dan Kawah Sikendang dengan 33,25%
mol masuk tingkat kandungan “tinggi.”
Gas karbon dioksida memiliki hubungan yang sangat kuat
dengan H2S, SO2, CH4, serta hubungan kuat ditunjukkan terhadap
N2 dan kandungan H2O. Data menunjukkan bahwa peningkatan
kandungan CO2 diikuti dengan peningkatan kandungan gas SO2 dan
H2S. Sementara itu gas karbon dioksida tidak menunjukkan korelasi
dengan HCl, NH3, H2. Adanya tidaknya korelasi gas-gas tersebut
dapat ditunjukkan dengan ada atau tidaknya reaksi kimia yang
terjadi dalam sistem gas gunung api.
Nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0,67 yang memberi nilai
koefesien korelasi (R) = 0,82 dan berdasarkan skala likert angka
tersebut memiliki hubungan sangat kuat. Reaksi kimia karbon
disulfida dengan uap air menghasilkan asam sulfida dan karbon
dioksida dapat dijelaskan bahwa peningkatan konsentrasi asam
sulfida akan diikuti dengan peningkatan karbon dioksida, dan
karena posisi dalam persamaan reaksinya berlawanan arah maka
peningkatan karbon dioksida ini akan diikuti dengan penurunan
kandungan uap air.

CS2+2H2O = CO2 + H2S

Dengan hasil analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa


H2S bisa dijadikan parameter untuk mengetahui variasi kandungan
gas karbon dioksida. Melalui reaksi berikut bisa menjelaskan
hubungan gas tersebut.
Berdasarkan reaksi kimia di atas pembentukan gas karbon
dioksida diikuti oleh meningkatnya kandungan gas asam sulfida.
Jika reaksi bergerak ke kanan maka akan terjadi pembentukan gas
CO2 yang diikuti dengan peningkatan jumlah kandungan H2S.

90 Memahami Gas Gunung Api


Hubungan CO2 terhadap SO2 dinyatakan sangat kuat. Hasil ini
memberi bukti bahwa tingkat korelasi CO2 lebih kuat terhadap SO2
bila dibandingkan dengan korelasi CO2 terhadap H2S. Khusus untuk
gas dengan sumber temperatur tinggi kehadiran gas sulfur dioksida
di beberapa gunung api dijadikan parameter dalam pemantauan
aktivitas gunung api.
Karbon disulfida dalam sistem fluida selain bereaksi dengan
uap air, dapat bereaksi juga dengan oksigen membentuk gas karbon
dioksida dan gas sulfur dioksida dengan persamaan reaksi sebagai
berikut:
CS2 + 3O2 = CO2 + 2SO2

Pembentukan gas CO2 akan diikuti dengan pembentukan gas


SO2, berdasarkan reaksi kimia.
Dalam rekasi gas yang berhubungan dengan pembentukan
kandungan gas SO2 atau H2S, yang akan terbentuk lebih banyak
akan sangat bergantung kepada ketersediaan kandungan uap air atau
gas Oksigen dalam magma tersebut. Selain itu pengaruh suhu sangat
besar dimana SO2 lebih dominan dari pada H2S pada temperatur
tinggi.
Jika oksigen lebih banyak maka kandungan SO2 akan lebih
banyak dari pada H2S demikian juga jika uap air bereaksi lebih
banyak dengan CS2 maka kandungan H2S akan lebih banyak.
Dari hasil analisis yang terjadi di Kawah Sikidang kandungan
asam sulfida lebih tinggi dari pada sulfur dioksida, hal ini karena
dipengaruhi oleh kandungan uap air sebagai zat pereaksi lebih tinggi
dari pada kandungan oksigen.
Dalam pemantauan gunung api untuk mengetahui aktivitas
vulkanik, gas SO2 sering digunakan sebagai parameter
dalam pengukuran, seperti peralatan COSPEC (Correlation
Spectrofotometry) dan DOAS (Differential Optical Absorption
Spectroscopy).

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 91


Fluktuasi Karbon Dioksida dan Gas Sulfur
di Kawah Sikidang.
Berikut ini hasil analisis sembilan sampel gas karbon dioksida,
gas asam sulfida, serta dengan gas sulfur dioksida. Dari sembilan
data hasil analisis gas di Kawah Sikidang, bila dibandingkan gas
asam sulfida memiliki kandungan lebih tinggi dari sulfur dioksida.
Hasil ini menunjukkan bahwa pada suhu rendah di bawah suhu
1000C, hidogen sulfida lebih dominan muncul dari pada sulfur
dioksida. Pada suhu rendah uap air relatif lebih banyak dibandingkan
dengan oksigen. Berdasarkan reaksi CS2 + H2O akan lebih sering
terjadi dan menghasilkan H2S + CO2. Berbeda dengan suhu tinggi
kehadiran oksigen yang dominan akan meningkatkan kandungan SO2.
Kandungan gas H2S Kawah Sikidang antara 0,01% sampai dengan
1,83% mol dengan kandungan rata-rata 0,63% mol, sementara
kandungan gas SO2 antara 0,01 sampai dengan 0,62% mol dengan
rata-rata 0,42% mol. Kandungan gas karbon dioksida antara 0,40
sampai dengan 4,41% mol dengan rata-rata 1,53% mol, lebih tinggi
dari pada gas asam sulfida 0,63% mol, juga terhadap gas sulfur
dioksida yang hanya memiliki kandungan rata-rata 0,42% mol.
Untuk mengetahui fluktuasi gas karbon dioksida dan gas sulfur
tersebut, ditampilkan grafik gas karbon dioksida bersamaan dengan
gas asam sulfida dan gas sulfur dioksida. Pola ini menunjukkan

Pola fluktuasi gas CO2, gas H2S dan gas SO2


Kawah Sikidang

92 Memahami Gas Gunung Api


adanya keterkaitan baik hidrogens sulfida juga sulfur dioksida
memberikan fluktuasi yang mempunyai hubungan kuat. Melalui
pendekatan prosenstasi sebanyak tujuh sampel dari sembilan sampel
memberikan angka sebesar 77,77% H2S dan 22,23% SO2.

Rasio Total Karbon dengan Total Sulfur (CO2/ST)


Data total gas karbon (CO2+CO) dan total gas sulfur (SO2+H2S),
serta data kandungan uap air dihitung dalam persentase dan hasilnya
ditampilkan dalam diagram terner untuk mengetahui proses naiknya
gas ke permukaan. Sembilan data Kawah Sikidang Dataran Tinggi
Dieng diplot dalam diagram terner dan seluruh data tersebut
dibandingkan dengan data Kawah Gendol dan Kawah Woro Gunung
Merapi. Data Gunung Merapi sebanyak 21 sampel dari Kawah
Gendol dan 18 sampel dari Kawah Woro pada tahun 1999 sampai
dengan tahun 1994 dijadikan data sekunder untuk membandingkan
nilai rasio CO2/ST.
Khusus untuk gunung api dengan suhu tinggi nilai rasio CO2/
ST ini dapat dijadikan sebagai petunjuk proses degassing gunung
api. Sementara untuk hasil penelitian di Dataran Tinggi Dieng dapat
aplikasikan untuk mengetahui gambaran sistem naiknya uap dan
gas menuju permukaan pada gunung api dengan sistem magmatik
hidrotermal atau lebih dominan hidrotermal.

Rasio CO2/ST di Kawah Sikidang


Dalam mempelajari karakteristik naiknya gas menuju permukaan
pada penelitian ini dibuat hubungan segitiga pada diagram terner
dengan menggunakan kandungan total karbon, total sulfur, dan uap
air.
Diagram terner telah digunakan untuk mengetahui sistem
degassing gunung api yang memiliki temperatur tinggi. Dalam
penelitian ini diterapkan pada temperatur rendah menggunakan
sampel dari Kawah Sikidang.

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 93


Selain dibandingkan dengan data Kawah Merapi, melalui
penggambaran pada diagram segitiga terner ditampilkan juga nilai
rasio total CO2/ST khusus di Kawah Sikidang.
Melalui Diagram terner dapat menentukan sistem magmatisme
di kawasan Sikidang. Nilai total karbon dibagi oleh total sulfur
CO2/ST di Kawah Sikidang memberikan nilai 0,92 sampai dengan
3,38. Sebanyak tujuh dari sembilan sampel Kawah Sikidang
terletak diantara nilai CO2/ST = 0,2 hingga CO2/ST = 1,5 berarti
proses degassing di Kawah Sikidang yang didominasi oleh proses
hidrotermal berbeda dengan Sistem degassing Merapi.
Dari sembilan sampel yang dianalisis sebanyak tujuh sampel
berada pada nilai di bawah angka CO2/ST = 1,5 yang artinya bahwa
sistem magmatisme yang terjadi di Kawah Sikidang didominasi
melalui suatu proses yang dikenal dengan istilah degassing sistem
hidrotermal.
Jika menggunakan diagram terner Allard, maka dua sampel
lainnya menunjukkan angka di atas nilai CO2/ST = 1,5 artinya proses
naiknya gas ke permukaan mengalami degassing dengan sistem
tertutup.

Diagram Terner Kawah Sikidang

94 Memahami Gas Gunung Api


Dalam hal ini gas bersama magma naik ke permukaan pada
posisi yang lebih tinggi. Namun berdasarkan karkteristik hidrotermal
Dieng angka tersebut masih dalam area hidrotermal dengan rentang
CO2/ST =0,9 sampai dengan angka CO2/ST =3,4. Proses degassing
sistem hidrotermal yaitu keluarnya gas atau uap hasil pemanasan
air meteorik. Sembilan data yang mengkorelasikan total karbon
dioksida dengan total gas sulfur di Kawah Sikidang diplot dalam
diagram Terner.

Perbandingan CO2/ST Dieng dengan Gunung Merapi.


Untuk mempelajari rasio CO2/ST di Dataran Tinggi Dieng,
berikut ini ditampilkan terlebih dahulu hasil perhitungan Kawah
Gendol dan Kawah Woro, Gunung Merapi hasil analisis pada
periode tahun 1990 sampai dengan tahun 1994, sebanyak 21 data
gas dari Kawah Gendol dan 18 data dari Kawah Woro.

Diagram Terner Kawah Sikidang sistem hidrotermal.

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 95


Lokasi Kawah Gendol letaknya sangat dekat dengan kubah
lava Merapi dan memiliki suhu lebih tinggi maka Kawah Gendol
maka Kawah Gendol dijadikan parameter untuk memantau aktivitas
Gunung Merapi.

Gunung Merapi, foto: Heru Suparwoko

Dari 21 sampel yang diplot pada diagram Terner terdapat dua


sampel nilai CO2/ST dibawah 1,5 sedangkan sisanya di atas nilai
1,5. Melalui data ini, Gunung Merapi mengalami degassing sistem
tertutup. Sampel gas tersebut tidak mengalami proses pelepasan gas
dari fluida dan baru terpisahkan pada zona dangkal dekat permukaan,
proses seperti ini dikenal dengan istilah degassing sistem tertutup.
Bila dihitung berdasarkan prosentasi maka 90,47% gas yang
berasal dari Kawah Gendol mengalami degassing sistem tertutup
yang dalam perjalanannya akibat akumulasi aktivitas magma
membentuk kubah lava besar yang aktif mengakibatkan karakteristik
Kawah Gendol memiliki tipe letusan magmatik.

96 Memahami Gas Gunung Api


Selain Kawah Gendol berikut ini ditampilkan data hasil analisis
sampel gas dari Kawah Woro Gunung Merapi, dimana dari 18 data
pengambilan sampel di Kawah Woro, nilainya CO2/ST = 1,06 sampai
dengan 7,58.
Sebanyak 17 data dengan nilai rasio CO2/ST diatas 1,5 sementara
satu sampel dari Kawah Woro memiliki nilai CO2/ST dibawah 1,5.
Suhu Kawah Woro pada periode tahun 1990-1994 antara 4380C
sampai dengan 5800C dengan suhu rata-rata 5380C lokasinya di
puncak dan relatif jauh dari kubah lava sebagai pusat aktivitas
Merapi.
Perbandingan data rasio total CO2/ST antara Gunung Merapi
dengan Kawah Sikidang. Gunung Merapi dengan karakteristik
erupsi magmatik eksplosif sementara di Kawah Sikidang Dataran
Tinggi Dieng lebih dominan dengan karakteristik erupsi freatik.
Dengan menggunakan Diagram Terner proses degassing sistem
hidrotermal mirip dengan degassing sistem terbuka.

Diagram Terner Kawah Sikidang dengan Gunung Merapi.

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 97


Penentuan Suhu Bawah Permukaan
Dataran Tinggi Dieng
Untuk mendapatkan suhu di bawah permukaan Dataran Tinggi
Dieng diperlukan data gas SO2, H2S, H2 dan H2O menggunakan
persamaan kesetimbangan gas Giggenbach 1987, 1996 dan Stull
1969.
Setelah diperoleh suhu bawah permukaan selanjutnya
ditampilkan dalam grafik bersama dengan rasio CO2 dengan total
gas sulfur (CO2/ST). Dari data penelitian di Dataran Tinggi Dieng
ada 12 data yang memenuhi syarat untuk dihitung Kawah Sikidang,
Kawah Sibanteng, Kawah Pakuwaja, dan Kawah Candradimuka.

Hasil perhitungan suhu bawah permukaan Dieng


0
T C Konsentrasi Gas % mol log log log
Kode CO2/ST T0C
fumarol CO2 H2S SO2 H2 H2O H2/H2O SO2/H2S H2O/100
SK11 93.21 0,526 0,42 0,01 0,003 99,028 1,22 -4,52 -1,623 0,004 297
SK21 94.51 4,409 1,825 1,211 0,002 91,207 1,45 -4,66 -0,178 0,040 329
SK22 91.66 1,124 0,695 0,532 0,001 95,710 0,92 -4,98 -0,116 0,019 300
SK23 93.81 0,399 0,357 0,061 0,001 99,177 0,95 -5,00 -0,767 0,004 280
SK31 93.33 2,075 0,994 0,615 0,001 95,266 1,29 -4,98 -0,209 0,021 298
SK32 91.61 1,638 0,898 0,396 0,001 95,113 1,27 -4,98 -0,356 0,022 293
SK33 93.02 0,468 0,265 0,206 0,003 98,838 0,99 -4,52 -0,109 0,005 347
SB11 92.60 2,622 0,943 0,498 0,008 91,657 1,82 -4,06 -0,277 0,038 392
SB12 93.30 1,736 0,243 0,449 0,001 96,366 2,51 -4,98 -0,267 0,016 312
PW11 92.30 10,47 0,147 0,574 0,003 88,480 14,52 -4,47 -0,592 0,053 377
PW12 92.50 16,026 0,159 0,876 0,004 82,410 15,48 -4,31 -0,741 0,084 401
CD12 92.80 5,760 0,270 0,340 0,060 93,290 9,44 -3,19 -0,319 0,030 543
SL12 93.10 4,410 0,060 0,600 0,001 95,420 6,68 -4,98 1,000 0,020 337
SD12 20.20 31,357 1,291 2,244 0,001 62,560 8,93 -4,80 0,240 0,204 323

Setelah diperoleh suhu kesetimbangan selanjutnya data tersebut


diplot dengan CO2/ST, yang dilengkapi dengan pembagian tiga
area yakni area hidrothermal pada suhu 0-2500C, area magmatik-
hidrotermal atau percampuran antara magmatik dengan hidrotermal
dengan suhu 250-4500C, dan area magmatik dengan suhu di atas
4500C.
Berdasarkan pada rasio CO2/ST dan suhu kesetimbangan yang
dihitung dari kesetimbangan redoks SO2/H2S, Kawah Pakuwaja
dan Candradimuka memiliki kandungan gas CO2 lebih banyak dan

98 Memahami Gas Gunung Api


Kawah Candradimuka memiliki suhu kesetimbangan yang lebih
tinggi dan menunjukkan manifestasi gas magmatik yang lebih kuat
pada sumbernya.

Suhu di bawah permukaan Dataran Tinggi Dieng

Untuk mengetahui posisi suhu di bawah permukaan Dataran


Tinggi Dieng berikut ini dibandingkan dengan hasil perhitungan
suhu di bawah permukaan Gunung Merapi dan Gunung Papandayan.

Kawah Baru Papandayan

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 99


Keenam sampel gas dari Kawah Gendol Gunung Merapi
menunjukkan nilai suhu di bawah permukaan lebih besar dari 4500C,
berarti masuk kelompok Magmatik
Suhu bawah permukaan Kawah Gendol Merapi
dan Kawah Gunung Papandayan (Primulyana, 2009)
0
T C Konsentrasi Gas % mol log log log
Kawah CO2/ST T0C
Fumarol CO2 H2S SO2 H2 H2O H2/H2O SO2/H2S H2O/100
Gendol 0494 715 2,86 0,68 2,21 0,53 93,10 0,30 -2,24 0,512 0,0031 811
Gendol 0694 714 3,5 0,84 0,25 0,67 92,55 10,79 -2,14 -0,526 0,0033 737
Gendol 0794 803 3,62 0,13 0,70 0,45 92,70 0,81 -2,31 0,731 0,0033 812
Gendol 1094 798 4,27 0,28 0,95 0,60 92,90 1,02 -2,19 0,530 0,0032 831
Gendol 1194 799 6,63 0,34 2,32 1,17 86,72 0,37 -1,87 0,834 0,0062 991
Nangklak 92,00 25,51 2,38 3,65 0,048 61,77 2,76 -3,11 0,186 0,209 553
Mas 96,95 21,55 3,19 4,50 0,046 59,53 1,99 -3,11 0,149 0,225 549
Welirang 94,29 2,83 0,06 0,84 0,003 94,29 0,22 -4,50 1,151 0,025 397
Balagadama 102,40 9,11 2,17 0,23 0,012 87,84 35,99 -3,86 -0,977 0,056 387
Manuk 94,54 3,98 0,55 0,62 0,005 94,54 2,99 -4,28 0,057 0,024 380

Sementara sampel dari Gunung Papandayan tiga sampel berada


pada kelompok magmatik-hidrotermal dan dua sampel yaitu sampel
Kawah Nangklak dan Kawah Mas berada pada kelompok magmatik-
hidrotermal.

Suhu di bawah permukaan Dataran Tinggi Dieng,


Gunung Papandayan dan Gunung Merapi

100 Memahami Gas Gunung Api


Korelasi Isotop Deuterium
dengan Oksigen-18
Untuk mengetahui karakteristik vulkanik di Dataran Tinggi
Dieng salah satunya dilakukan melalui pengukuran isotop deuterium
dan oksigen-18 dari sampel air dan kondensat dari beberapa lokasi
di Dataran Tinggi Dieng.
Pengambilan sampel dilakukan dari tiga jenis sampel yakni:
sampel kondensat, sampel air kawah, dan sampel air telaga. Sampel
kondensat diambil dari lapangan fumarol Sikidang, Sibanteng,
Pakuwaja, dan Sileri, dan Candradimuka. Sementara sampel air
kawah diambil dari Kawah Sikidang, Kawah Sibanteng, Kawah
Sileri, dan Kawah Candradimuka. Sedangkan sampel air telaga
diambil dari Telaga Dringo, Telaga Warna, Telaga Pengilon, Telaga
Cebong, Telaga Merdada, dan Telaga Menjer.
Pada tahap awal menentukan persamaan garis air meteorik di
Dataran Tinggi Dieng. Sebagai bahan diskusi data air meteorik ini
dibandingkan dengan data air meteorik tahun 1996 di lima lokasi di
Pulau Jawa dan juga garis air meteorik dunia hasil penelitian Craig
tahun 1961. Data berupa grafik ditampilkan bersama-sama data
komposisi rasio isotop dari beberapa lokasi.
Sampel air kawah dan kondensat dari lapangan fumarol dianalisis
di Laboratorium Pengujian Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi
(PAIR) Badan Tenaga Nuklir Nasional tahun 2017-2018. Sementara
pengujian sampel isotop untuk air meteorik dan air telaga dilakukan
di Laboratorium Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi
Kebencanaan Geologi (BPPTKG), Yogyakarta pada tahun 2017.
Untuk membahas data isotop Dataran Tinggi Dieng diperlukan
data pembanding gunung api lain, dalam kasus ini dipilih data
Kawah Gendol dan Kawah Woro Gunung Merapi yang memiliki
karakteristik vulkanik magmatik. Khusus data Kawah Gendol
digunakan sebagai standar dalam menentukan angka Air Magmatik
Standar, karena memiliki sifat magmatik dan memenuhi nilai angka
sesuai dengan area air magmatik dunia. Dengan demikian Kawah
Gendol yang mencerminkan karakteristik Gunung Merapi dapat

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 101


dijadikan air magmatik standar untuk penghitungan dalam penelitian
tingkat magmatisme suatu gunung api termasuk dalam penelitian di
Dataran Tinggi Dieng yang dinyatakan dalam fraksi percampuran
isotop Oksigen-18 (f δ18O).
Untuk mengetahui nilai fraksi percampuran isotop oksigen-18 (f
δ18O) dalam sampel diperlukan angka Air Meteorik Standar (Ames)
yang diperoleh dari titik temu antara persamaan garis air meteorik
dan persamaan garis sampel. Disamping itu diperlukan angka Air
Magmatik Standar (Amas) dan Air Metamorfik Standar (Amos) yang
ditentukan berdasarkan angka standar maksimum atau angka rata-
rata maksimum hasil hitungan.
Untuk menentukan angka air magmatik standar (Amas)
digunakan nilai isotop oksigen-18 Kawah Gendol yang posisinya
berada pada area air magmatik. Area tersebut berdasarkan studi
beberapa gunung api hasil penelitian para ahli isotop gunung api
dunia. Kemudian Nilai air meteorik standar diperoleh melalui titik
pertemuan dua persaman garis lurus. Pada penglolahan data tahap
pertama akan dihitung fraksi percampuran Kondensat sampel dari
Gunung Merapi.

Penentuan Persamaan Garis Air Meteorik


Pembahasan mengenai isotop akan diawali dengan menampilkan
persamaan garis air meteorik hasil para ahli. Standar yang disebut
standard mean ocean water atau SMOW (Craig, 1961), nilai
Deuterium dan Oksigen-18 air di alam secara umum akan mengikuti
korelasi dengan garis linier dari air meteorik dengan persamaan
sebagai berikut:
δD = 8 δ18O + 10

Untuk mendapatkan persamaan garis air meteorik lokal di lokasi


penelitian pada penelitian ini dilakukan pengambilan sampel air
meteorik dari delapan lokasi di Dataran tinggi Dieng pada tahun
2017.

102 Memahami Gas Gunung Api


Isotop Deuterium dan Oksigen-18 air meteorik Dieng
(0/00 )
No Tahun Lokasi Kode
18
δ O δD
1 2017 Air Dingin Sikidang ASK -9,36 -59,4
2 2017 Air Dingin Water Park AWP -9,1 -57,2
3 2017 Air Dingin Pos Dieng APD -9,84 -61,1
4 2017 Air Dingin Kebun Dieng AKP -9,71 -61,3
5 2017 Air Hujan Pos Dieng AHP -9,8 -61,1
6 2017 Air Hujan Kebun Dieng AHK -10 -67
7 2017 Air Dingin Masjid ADM -9,77 -62,6
8 2017 Air Dingin Gunung Prau AGP -9,9 -62,1

Nilai isotop deuterium air meteorik di Dataran tinggi Dieng


berada pada nilai isotop deuterium (δD)= -57,200/00 hingga (δD)=
-670/00 dan nilai isotop oksigen-18 (δ18O) pada rentang -100/00
hingga (δ18O)= -9,10/00. Delapan data tersebut diplot dalam grafik
δ18O terhadap δD menghasilkan sebuah persamaan garis (4.2) air
meteorik sebagai berikut:
δD = 7,8 δ18O + 15

Garis air meteorik Dataran Tinggi Dieng.

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 103


Jika dibandingkan dengan persamaan garis air meteorik dunia
(Craig, 1961) yakni δD = 8 δ18O + 8, koefisien regresinya hanya
berselisih 0,2 dan perbedaan tetapan sebesar 7. Persamaan garis
Air meteorik Dieng ini akan digunakan untuk menentukan Air
Meteorik Standar (Ames) dalam perhitungan nilai rasio percampuran
kandungan isotop oksigen-18 dari sampel. Dalam penelitian ini juga
dihitung nilai Air Magmatik Standar (Amas) yang menandakan nilai
magmatik maksimun rata-rata.
Selain membahas air meteorik Dataran Tinggi Dieng untuk
perbandingan ditampilkan juga data air meteorik hasil penelitian
isotop Gunung Merapi yang dikumpulkan pada tahun 1996 dari lima
lokasi di Pulau Jawa yakni: Jrakah Merapi, Guntur Garut, Baturaden
Jawa Tengah, Gambuhan Slamet Jawa Tengah, dan Lamongan Jawa
Timur

Isotop air meteorik Pulau Jawa.

(0 / )
No Tahun Lokasi Kode 00

ä18O äD
1 1996 Air Dingin Lamongan, Jawa Timur LN -5,1 -30
2 1996 Air Dingin Gambuhan, Jawa Tengah ST -0,9 2
3 1996 Air Dingin Baturaden, Jawa Tengah BR -5,5 -30
4 1996 Air Dingin Jrakah, Sleman JH -8,4 -52
5 1996 Air Dingin Garut, Jawa Barat GR -8,2 -51

Persamaan garis air meteorik dari lima sampel di Pulau Jawa


menghasilkan persamaan garis sebagai berikut:
δD = 7,2 δ18O + 8

Persamaan garis air meteorik ini digunakan untuk menghitung


air meteorik standar dalam penghitungan besarnya rasio campuran
isotop oksigen-18 Kawah Woro dan Kawah Gendol dalam sistem
vulkanik Merapi. Selain persamaan garis air meteorik di Dataran
Tinggi Dieng dihitung juga persamaan garis Kawah Woro dan
Kawah Gendol Gunung Merapi.

104 Memahami Gas Gunung Api


Garis air meteorik Gunung Merapi.

Komposisi Isotop Deuterium dan Oksigen-18


Sebanyak 14 sampel yakni Enam sampel kondensat dari fumarol
Sikidang dan masing-masing dua sampel dari Kawah Sibanteng,
Kawah Pakuwaja, Kawah Candradimuka dan Kawah Sileri.
memberikan angka isotop-18 pada rentang δ18O= -11,650/00 sampai
dengan -2,820/00, pada rentang isotop deuterium δD= -79,60/00 sampai
49,10/00.
Isotop Deuterium dan Oksigen-18 Kondensat Dieng
(0/00)
No Tahun Musim Sampel Fumarol Kode
18
δ O δD
1 10_2017 Hujan Sikidang 11 FSK11 -5,1 -55,4
2 07_2018 Kemarau Sikidang 12 FSK12 -4,2 -55,9
3 10_2017 Hujan Sikidang 21 FSK21 -10,1 -74,9
4 07_2018 Kemarau Sikidang 22 FSK22 -9,96 -77,0
5 10_2017 Hujan Sikidang 31 FSK31 -11,5 -74,3
6 07_2018 Kemarau Sikidang 32 FSK32 -11,07 -72,7
7 10_2017 Hujan Sibanteng 11 FSB11 -4,35 -49,1
8 07_2018 Kemarau Sibanteng 12 FSB12 -7,71 -66,8
9 10_2017 Hujan Pakuwaja 11 FPW11 -8,73 -67,0
10 07_2018 Kemarau Pakuwaja 12 FPW12 -6,81 -62,11
11 11_2019 Hujan Candradimuka 11 FCD11 -3,10 -49,6
12 09_2019 Kemarau Candradimuka 12 FCD12 -2,82 -50,9
13 07_2017 Kemarau Sileri 1 FSL1 -11,65 -79,6
14 07_2017 Kemarau Sileri 2 FSL2 -9,41 -65,1

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 105


Setelah diplot pada grafik Isotop Oksigen-18 terhadap Deuterium
diperoleh persamaan garis kondensat Dieng dengan angka korelasi
0,94.
δD = 3,3 δ18O − 39
Semua sampel kondensat memiliki isotop oksigen-18 nilainya
kurang dari nol artinya sampel lebih dominan mengandung air
meteorik.

Isotop δD-δ18O Kondensat Dataran Tinggi Dieng.

Titik sampling paling dekat dengan Kawah utama Sikidang


pada grafik isotop deuterium dan oksigen-18 memiliki nilai isotop
oksigen-18 paling tinggi namun masih lebih kecil dari 0. Sampel
lainnya yang memiliki nilai isotop oksigen-18 relatif tinggi adalah
sampel dari Kawah Sibanteng. Secara lokasi Kawah Sibanateng
berdekatan dengan Sikidang.
Pembahasan selanjutnya adalah data isotop kondensat Kawah
Gendol dan Kawah Woro Gunung Merapi. Isotop δ18O Kawah
Gendol berada antara 6,400/00 sampai 7,20 0/00 dan isotop deuterium

106 Memahami Gas Gunung Api


δD = -330/00 sampai -260/00. Sementara sampel dari Kawah Woro
letaknya lebih menyebar δ18O = 0,30/00 sampai 6,100/00 dan isotop
δD = -37 0/00 sampai dengan -260/00
Sampel fumarol Kawah Gendol berada dalam satu area air
magmatik, di sisi lain sampel kondensat fumarol Kawah Woro
Merapi sebagian berada diantara garis air meteorik dengan area air
magmatik. Persamaan garis kondensat Merapi dan besaran fraksi
percampuran isotop oksigen-18 akan dihitung pada pembahasan
khusus tentang fraksi percampuran yang menentukan besarnya
prosentase isotop oksigen -18 di Kawah Woro terhadap air magmatik
Kawah Gendol, dengan nilai Air magmatik standar Amas = 6,70/00.

Isotop δD-δ18O Kondensat Gunung Merapi.

Fraksi Percampuran Isotop Oksigen-18


Untuk menghitung fraksi percampuran isotop oksigen-18
fumarol di Dataran Tinggi Dieng, menggunakan nilai Air magmatik
stadar (Amas) kondensat Kawah Gendol yang besarnya adalah
rata-rata pengukuran isotop oksigen-18 yaitu 6,70/00. Perhitungan
nilai fraksi percampuran kondensat Dieng hasilnya dibandingkan
dengan fraksi percampuran isotop oksigen-18 Gunung Merapi. Data
isotop Kawah Gendol dan Kawah Woro ini sangat bermanfaat untuk
dijadikan data komparasi dengan Dataran Tinggi Dieng. Untuk

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 107


perhitungan fraksi percampuran kondensat Dataran Tinggi Dieng
digunakan data nilai Air magmatik standar (Amas) = 6,70/00 dan nilai
Air meteorik standar yang dihitung melalui pertemuan dua garis.
Persamaan pertama adalah persamaan garis air meteorik Dieng
yaitu: δD= 7,8 δ18O + 15 dan persamaan garis sampel kondensat
Dieng dan sampel kondensat Kawah Gendol Merapi:
δD=2,6 δ18O − 46

Isotop δD-δ18O kondensat Dieng dan Merapi

Dua Persamaan garis menghasilkan persamaan garis


menghasilkan
7,8 δ18O + 15 = 2,6 δ18O − 46
7,2 δ18O − 2,6 δ18O = − 46 − 15
5,2 δ18O = − 61
δ18O = − 61/5,2
δ18O = − 11,70/00
(nilai isotop oksigen-18 air meteorik standar)

108 Memahami Gas Gunung Api


Angka tersebut adalah hasil pertemuan antara garis air meteorik
dengan air sampel kondensat fumarol Sikidang dan Kawah Gendol.
Selanjutnya dihitung hasilnya ditampilkan dalam satuan %. Contoh
perhitungan untuk FSK11 = Fumarol Sikidang titik sampling 1.
(δ18O – Ames)
f δ O = ----------------- x 100%
18

(Amas – Ames)

Dengan:
f δ18O : fraksi isotop sampel Oksigen-18
δ18O : nilai isotop sampel
Ames : Air meteorik standar (oksigen-18)
Amas : Air magmatik Standar (oksigen-18)

Contoh perhitungan sampel Kondensat Sikidang 1

−4,2 − (-11,7)
f d O = ---------------------- x 100%
18

6,7 – (-11,7)

7,5
= --------------- x 100%
18,4

= 40,76%

Pengambilan sampel di titik Fumarol Sikidang 1 (FSK1)


menghasilkan isotop δ18O= -5,100/00 sampai dengan -4,2 0/00,
dan isotop δD= -55,400/00 sampai dengan -5,90/00. Nilai tersebut
merupakan nilai paling tinggi dibandingkan dengan titik sampling
fumarol Sikidang 2 dan titik sampling fumarol Sikidang 3 yang
letaknya lebih jauh dari kawah utama Sikidang.

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 109


Untuk mengetahui karakteristik Kawah Sikidang dilakukan
pengambilan tiga titik sampling kondensat yang tersebar di sekitar
Kawah Sikidang menjauh setiap 50 meter kearah timur laut.

Fraksi percampuran isotop Oksigen-18


Kondensat Dieng.
(0
Isotop Oksigen-18 /00) 18
fδ O
No Kondensat Kode
18
δ O Amas Ames 18
δ O - Ames Amas-Ames (%)
1 Sikidang 11 FSK11 -4,2 6,7 -11,7 7,5 18,4 40,76
2 Sikidang 12 FSK12 -5,1 6,7 -11,7 6,6 18,4 35,85
3 Sikidang 21 FSK21 -9,96 6,7 -11,7 1,7 18,4 9,46
4 Sikidang 22 FSK22 -10,1 6,7 -11,7 1,6 18,4 8,70
5 Sikidang 31 FSK31 -11,07 6,7 -11,7 0,63 18,4 3,42
6 Sikidang 32 FSK32 -11,5 6,7 -11,7 0,2 18,4 1,09
7 Sibanteng 11 FSB11 -7,7 6,7 -11,7 4,0 18,4 21,74
8 Sibanteng 12 FSB12 -4,35 6,7 -11,7 7,35 18,4 39,95
9 Pakuwaja 11 FPW11 -6,81 6,7 -11,7 4,89 18,4 26,58
10 Pakuwaja 12 FPW12 -8,73 6,7 -11,7 2,97 18,4 16,14
11 Candradimuka 11 FCD11 -3,1 6,7 -11,7 8,6 18,4 46,74
12 Candradimuka 12 FCD12 -2,82 6,7 -11,7 8,88 18,4 48,26
13 Sileri 1 FSL1 -9,41 6,7 -11,7 2,29 18,4 12,45
14 Sileri 2 FSL2 -11,65 6,7 -11,7 0,05 18,4 0,27

Sampel kondensat dari sumber fumarol di Dataran Tinggi


Dieng semuanya memiliki sifat dominan air meteorik, sedangkan
sampel kondensat dari fumarol Gendol Merapi berada pada area air
magmatik. Kandungan gas karbondioksida yang relatif tinggi pada
suhu tinggi di Gunung Merapi salah satunya mengindikasikan punya
sifat letusan magmatik.
Dua sampel dari Kawah Sikidang dan dari Kawah Sibanteng
angkanya menunjukkan nilai cukup tinggi beralasan karena kedua
titik sampling berada dekat dengan kawah utama Sikidang dan
Kawah Sibanteng. Khusus Sampel Kawah Sikidang makin jauh dari
kawah utama nilai fraksi percampuran isotop makin rendah dengan
urutan angka FSK1 > FSK2 > FSK3.
Kawah Sikidang pada titik sampling yang sama perubahannya
antara musim hujan dan kemarau tidak terlalu signifikan, begitu juga
ditemui di Kawah Candradimuka hanya berselisih 1,42%

110 Memahami Gas Gunung Api


Memperhatikan nilai fraksi percampuran di Kawah Candradimuka
dengan angka 48,26% menunjukkan angka tertinggi dibandingkan
dengan seluruh sampel kondensat di Dataran Tinggi Dieng. Secara
visual Kawah Candradimuka mengeluarkan uap dengan tekanan
yang tinggi mengindikasikan bahwa Kawah Candradimuka masih
memiliki sifat magmatik paling tinggi dibandingkan kawah lainnya
di Dataran Tinggi Dieng.
Dalam penghitungan fraksi percampuran menggunakan data
Kawah Gendol Merapi, karena semua sampel Kawah Gendol berada
dalam area air magmatik berdasarkan referensi perhitungan isotop
deuterium dan oksigen-18 dari penelitian gunung api dunia. Melihat
letak data isotop fumarol di Dataran Tinggi Dieng dengan fumarol
di Gunung Merapi terlihat jelas perbedaannya.
Melalui gambar ini dapat dijelaskan bahwa karakteristik vulkanik
di Dataran Tinggi Dieng berbeda dengan karakteristik vulkanik
Gunung Merapi. Merapi memiliki sifat magmatik dengan ciri khas
letusannya eksplosif sementara Dataran Tinggi dieng merupakan
campuran antara magmatik dan hidrotermal.
Pembahasan selanjutnya adalah data isotop kondensat Kawah
Gendol dan Kawah Woro Gunung Merapi. Suhu fumarol Gendol
antara 714 sampai dengan 8300C dan jaraknya hanya 10 meter dari
kubah lava Gunung Merapi.
Sementara Kawah Woro berada pada rentang suhu 4380C
sampai dengan 5800C posisi tersebar antara air meteorik dengan
air magmatik. Kedua data isotop tersebut menghasilkan persamaan
garis:
δD = 1,4 δ18O − 39

Untuk mengetahui kandungan magmatik Kawah Woro dilakukan
pengukuran fraksi percampuran isotop oksigen-18 menggunakan
persamaan garis air meteorik δD = 7,2 δ18O + 8 dan persamaan
garis δD = 1,4 δ18O − 39.

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 111


Isotop δD-δ18O Kondensat Gunung Merapi.

Dalam pembahasan ditentukan cara penghitungan fraksi


percampuran isotop oksigen-18 Kawah Woro terhadap Kawah
Gendol. Penentuan nilai isotop oksigen-18 Air meteorik standar
(Ames), nilai isotop Air magmatik standar (Amas) merupakan
standar Kawah Gendol = 6,7.
Penghitungan Air meteorik standar (Ames) dihasilkan melalui
pertemuan dua persamaan garis yaitu:
(1) Persamaan garis air meteorik Pulau Jawa
δD = 7,2 δ18O + 8

(2) Persamaan garis Kondensat Gunung Merapi


δD = 1,4 δ18O − 39

Dua Persamaan garis tersebut menghasilkan:


7,2 δ18O + 8 = 1,4 δ18O − 39
7,2 δ18O − 1,4 δ18O = − 39 − 8
5,8 δ18O = − 47
δ18O = − 47/5,8 = − 8,10/00

112 Memahami Gas Gunung Api


Angka tersebut adalah nilai isotop oksigen-18 Air meteorik
standar (Ames) hasil perhitungan antara garis air meteorik dengan
air sampel. Sementara untuk menentukan isotop-18 Air magmatik
standar digunakan angka rata-rata isotop oksigen-18 Kawah Gendol
yakni 6,70/00.

Contoh perhitungan untuk Kawah Woro 01


(δ 18O – Ames)
f δ O = ----------------- x 100%
18

(Amas – Ames)

Dengan:
f δ 18O : fraksi isotop sampel Oksigen-18
δ 18O : nilai isotop sampel
Ames : Air meteorik standar
Amas : Air magmatik

Contoh perhitungan sampel air Kawah Woro 01


0,3 − (−8,1)
f δ 18O = ---------------------- x 100%
6,7 – (−8,1)

8,4
= --------------- = 56,76%
14,8

Perhitungan fraksi percampuran isotop oksigen-18 dari keempat


sampel Kawah Woro, nilai fraksi isotop oksigen-18 sebanyak empat
kali nilainya bervariasi dari 56,76% hingga yang terbesar mencapai
95,95%.

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 113


Fraksi percampuran isotop oksigen-18
Kawah Woro Merapi.
Isotop Oksigen-18 (0/00) f δ18O
No Kondensat Fumarol Kode
18
δ O Amas Ames δ O - Ames Amas-Ames
18 (%)
1 Kawah Woro Merapi KW01 0,3 6,7 -8,1 8,40 14,8 56,76
2 Kawah Woro Merapi KW02 3,8 6,7 -8,1 11,90 14,8 80,41
3 Kawah Woro Merapi KW03 5,3 6,7 -8,1 13,40 14,8 90,54
4 Kawah Woro Merapi KW04 6,1 6,7 -8,1 14,20 14,8 95,95

Hal ini menunjukkan bahwa gas yang keluar melalui Kawah


Gendol Gunung Merapi tidak dipengaruhi oleh percampuran air
meteorik. Pengaruh tidak terlalu signifikan mengingat suhu di
Kawah Gendol sangat tinggi.
Disisi lain isotop gas yang keluar melalui fumarol Kawah
Woro berada antara garis air meteorik dan air magmatik artinya
sebagian gasnya mengalami pendinginan oleh air permukaan. Hal
ini mengindikasikan bahwa kontaminasi dan pendinginan oleh air
meteorik terjadi di sekitar lubang gas Kawah Woro pada bagian
yang dangkal.
Untuk mendapatkan gambaran tingkat aktivitas vulkanik di
Dataran Tinggi Dieng, berikut ini ditampilkan komposisi isotop
kondensat Dataran Tinggi Dieng bersama dengan data komposisi
isotop Kawah Gendol Merapi.

Isotop δD-δ18O Dieng dan Merapi.

114 Memahami Gas Gunung Api


Selanjutnya pembahasan dilakukan dengan membandingkan
Isotop Dataran Tinggi Dieng dengan isotop Fumarol Papandayan.
Faktor utama pemilihan Gunung Papandayan sebagai pembanding
adalah ketersediaan data.

Isotop fumarol Papandayan (Primulyana, 2009)


dengan data isotop Kawah Gendol Merapi.

( 0 /00 )
No Tahun Sampel Kondensat Kode
18
δ O δD
1 1995 Fumarol Papandayan FPD1 2,8 -35,0
2 1995 Fumarol Papandayan FPD2 0,1 -41,0
3 1995 Fumarol Papandayan FPD3 3,5 -32,0
4 1995 Fumarol Papandayan FPD4 4,5 -32,0
5 1995 Fumarol Papandayan FPD5 1,3 -41,0
6 1996 Fumarol Papandayan FPD6 4,0 -36,0
7 1996 Fumarol Papandayan FPD7 3,1 -34,0
8 1996 Fumarol Papandayan FPD8 2,5 -35,0
9 1996 Fumarol Papandayan FPD9 3,2 -39,0
10 1996 Fumarol Papandayan FPD10 -0,7 -49,0
11 2009 Fumarol Kawah Mas FKM 3,4 -36,6
12 2009 Fumarol Kawah Nangklak FKN 1,9 -41,5
13 1996 Kawah Gendol Merapi FGM 6,7 -30,0

Data tersebut digabungkan dengan data tahun 1995 sampai


dengan 1996 ditambah data isotop Kawah Gendol Gunung Merapi
menghasilkan persamaan garis:

δD = 2,4 δ18O − 44

Secara umum sampel kondensat kawah Gunung Papandayan


tersebar pada angka isotop lebih dekat dengan area magmatik,
dari seluruhnya 13 sampel kondensat 12 sampel diataranya kaya
dengan oksigen dan nilainya melebihi angka nol. Untuk mengetahui
persentase kandungan isotop oksigen-18 digunakan standar Air
magmatik Kawah Gendol Gunung Merapi, dengan nilai Air
Magmatik Standar (Amas) = 6,70/00.

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 115


Isotop δD-δ18O Kondensat Gunung Papandayan.

Setelah ditetapkan nilai Air magmatik Standar selanjutnya


menghitung nilai Air Meteorik Standar (Ames) oksigen-18 melalui
Persamaan Garis Air meteorik Dunia dan persamaan garis Kondensat
Papandayan dan Kawah Gendol Gunung Merapi.

δD = 8 δ18O + 10
δD = 2,4 δ18O − 44
8 δ18O + 10 = 2,4 δ18O − 44
δ18O = −9,60/00
(Ames fraksi percampuran isotop oksigen-18 Papandayan).
Dengan menggunakan cara perhitungan seperti yang telah
diuraikan pada bahasan sebelumnya maka fraksi percampuran
isotop oksigen-18 Kawah Papandayan dihitung menggunakan
fraksi percampuran dan hasilnya ditampilkan dalam persen. Contoh
perhitungan untuk Kawah Mas Papandayan dengan nilai Amas
Merapi 6,70/00 Dan nilai Ames hasil perhitungan = -9,60/00.

116 Memahami Gas Gunung Api


(δ 18O – Ames)
f δ O = --------------------- x 100%
18

(Amas – Ames)

3,4 − (−9,6)
f δ 18O = ---------------------- x 100%
6,7 – (−9,6)

13
= --------------- = 79,75%.
16,3

Nilai ini merupkan persentase fraksi percampuran isotop


oksigen-18 yang merupakan persentasi terhadap Air magmatik
standar Merapi (Amas) Kawah Gendol Merapi.

Fraksi Isotop oksigen-18 Papandayan


dengan data isotop Kawah Gendol Merapi, 1996.

Isotop Oksigen-18 (0/00) f δ18O


No Sampel Kondensat Kode
δ18O Amas Ames δ18O - Ames Amas-Ames (%)
1 Fumarol Papandayan FPD1 2,8 6,7 -9,6 12,4 16,30 76,07
2 Fumarol Papandayan FPD2 0,1 6,7 -9,6 9,7 16,30 59,51
3 Fumarol Papandayan FPD3 3,5 6,7 -9,6 13,1 16,30 80,37
4 Fumarol Papandayan FPD4 4,5 6,7 -9,6 14,1 16,30 86,50
5 Fumarol Papandayan FPD5 1,3 6,7 -9,6 10,9 16,30 66,87
6 Fumarol Papandayan FPD6 4,0 6,7 -9,6 13,6 16,30 83,44
7 Fumarol Papandayan FPD7 3,1 6,7 -9,6 12,7 16,30 77,91
8 Fumarol Papandayan FPD8 2,5 6,7 -9,6 12,1 16,30 74,23
9 Fumarol Papandayan FPD9 3,2 6,7 -9,6 12,8 16,30 78,53
10 Fumarol Papandayan FPD10 -0,7 6,7 -9,6 8,9 16,30 54,60
11 Fumarol Kawah MAS FKM 3,4 6,7 -9,6 13,0 16,30 79,75
12 Fumarol Kawah Nangklak FKN 1,9 6,7 -9,6 11,5 16,30 70,55

Fraksi percampuran isotop oksigen-18 kondensat Gunung


Papandayan secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan
isotop oksigen-18 yang ditemukan di Dataran Tinggi Dieng.
Persentase tertinggi di Dataran Tinggi Dieng ditemukan di Kawah
Candradimuka dengan angka 48,26%.

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 117


Sementara di Gunung Papandayan nilai persentasenya
dalam rentang 54,60% sampai 86,50%. Angka ini merupakan
perbandingan terhadap isotop oksigen-18 Kawah Gendol Merapi.
Hal ini membuktikan bahwa karakteristik Gunung Papandayan
mempunyai karateristik lebih aktif dibandingkan dengan vulkanik
Dataran Tinggi Dieng.
Melalui grafik kedudukan isotop deuterium terhadap oksigen-18
terlihat tiga klaster yaitu klaster Dataran Tinggi Dieng paling kiri,
klaster Papandayan di tengah, dan klaster Merapi paling kanan.

Isotop δD-δ18O Kondensat Dataran Tinggi Dieng,


Gunung Papandayan, dan Gunung Merapi

Komposisi gas karbon dioksida yang nilainya di atas 10% mol


adalah Kawah Sikendang (33,25% mol) dan Kawah Pakuwaja
(13,25% mol), yang nilainya antara 5% mol sampai dengan 10%
mol adalah Kawah Candradimuka (6,55% mol) dan Kawah Sileri
(5,86% mol), dan yang nilainya dibawah 5% mol adalah Kawah
Sibanteng (2,18% mol) dan Kawah Sikidang (1,54% mol).
Kawah Sikendang dengan kandungan karbon dioksida terbesar
(33,25% mol) merupakan tipe mofet dengan suhu hanya 20,110C
memiliki sifat racun yang sangat tinggi.

118 Memahami Gas Gunung Api


Berdasarkan perhitungan suhu di bawah permukaan dengan
menggunakan pendekatan kesetimbangan reaksi kimia diperoleh
suhu 2800C di Kawah Sikidang sampai dengan suhu 4010C
di Kawah Pakuwaja. Sebagian besar kawah di Dataran Tinggi
Dieng masuk kedalam kelompok sistem vulkanik kombinasi
percampuran magmatik-hidrotermal kecuali Kawah Candradimuka
yang menunjukkan suhu dibawah permukaan 5430C memiliki sifat
magmatik.
Aktivitas Kawah Candradimuka yang memiliki tiga tembusan
fumarol dengan tekanan dan suara asap sangat kuat mendukung fakta
perhitungan tersebut. Ketika musim kemarau dimana kandungan air
permukaan dan air hujan berkurang maka semburan lumpur bisa
mencapai ketinggian sepuluh meter dari permukaan lubang fumarol.
Sementara saat musim hujan dimana air permukaan berlimpah, air
hujan dan air permukaan masuk kedalam lubang fumarol terpanaskan
dan menghasilkan uap yang relatif banyak dengan tekanan yang
kuat dan bunyi bergemuruh.
Nilai rasio CO2/ST fumarol Sikidang berada antara 0,9
sampai dengan 3,4 menunjukkan degassing sistem hidrotermal
menunjukkan kemiripan dengan sifat degassing sistem terbuka pada
sistem fumarol suhu tinggi dengan rasio CO2/ST antara 0,2 sampai
dengan 1,5.
Secara visual hasil pemantauan terhadap Kawah Sikidang yang
berukuran sekitar 10 x 15 meter, terjadi bualan lumpur dengan
tekanan yang kencang, warna air kawah hitam pekat mengakibatkan
terjadinya akumulasi dan menghasilkan rasio isotop Deuterium dan
oksigen-18 tinggi dibandingkan air kawah yang lainnya.
Data ini memberi petunjuk bahwa aktivitas di Kawah Sikidang
merupakan proses percampuran antara air meteorik dan aktivitas
vulkanik menghasilkan air metamorfik yang merupakan air
terubahkan dang menghasilkan air berat dengan kandungan isotop
oksigen-18 dan isotop deuterium yang tinggi. Faktor lainnya
adalah terjadi proses penguapan di atas Kawah Sikidang yang terus
menerus.

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 119


Karakteristik Vulkanik Dataran Tinggi Dieng.
Pembahasan akhir dari penelitian ini yakni menggambarkan
sisitem vulkanik secara konseptual di Kawah Sikidang sebagai
objek penelitian utama Dataran Tinggi Dieng. Selain itu pembahasan
dilakukan juga terhadap lima kawah lainnya yang dijadikan kawah
pembanding yakni: Kawah Sibanteng, Kawah Sileri, Kawah
Candradimuka, Kawah Pakuwaja, dan Kawah Sikendang. Untuk
memberi pemahaman yang lebih dalam ditampilkan juga gambaran
konseptual sistem vulkanisme Gunung Merapi.
Berdasarkan data gas karbon dioksida dan gas sulfur, data
isotop deuterium dan oksigen-18 serta pengukuran suhu di bawah
permukaan membuktikan bahwa sistem vulkanik Kawah Sikidang
merupakan hasil percampuran aktivitas magmatik dan hidrotermal.
Hasil penelitian yang memadukan analisis korelasi gas karbon
dioksida dengan gas sulfur serta rasio isotop deuterium dengan
oksigen-18 Sistem vulkanik Kawah Sikidang dapat digambarkan
secara konseptual.
Sistem vulkanik percampuran magmatik dan hidrotermal
terjadi karena adanya aktivitas magma pada permukaan dangkal
memanaskan air meteorik yang masuk dan tertampung dalam
kawah. Dalam sistem ini gas tidak mampu membawa fluida magma
naik ke permukaan. Sistem degassing Kawah Sikidang memiliki
kemiripan nilai CO2/ST degassing sistem terbuka pada gunung tipe
magmatik bersuhu tinggi.
Hasil pengukuran isotop deuterium dan oksigen-18 air Kawah
Sikidang berada pada area air metamorfik atau air yang terubahkan
akibat adanya percampuran panas magmatik dan air meteorik dalam
sistem Kawah Sikidang. Hasil pengukuran gas pada beberapa lubang
fumarol di sekitar kawah utama Kawah Sikidang menunjukkan
kandungan gas karbon dioksida yang rendah dengan rata-rata 1,54%
angka ini paling rendah dibandingkan dengan kandungan karbon
dioksida di lima kawah lainnya di Dataran Tinggi Dieng.

120 Memahami Gas Gunung Api


Kawah Sikidang Dieng, selalu ramai diburu pengunjung, foto: Priatna

Berdasarkan analisis isotop deuterium dan oksigen-18 dari


sampel kondensat tiga lubang fumarol menunjukkan nilai fraksi
oksigen-18 yang relatif kecil (40,76%), bahkan pada lubang fumarol
yang paling jauh dengan kawah utama berada sangat dekat dengan
garis air meteorik dengan fraksi isotop-oksigen-18 sebesar 1,09%.
Hal ini juga didukung dengan hasil perhitungan di bawah permukaan
Kawah Sikidang yakni 2800C, suhu terendah dibandingkan dengan
lima kawah lainnya.
Terjadi anomali di Kawah Sikidang disebabkan oleh
akumulasi material vulkanik dalam kawah berukuran sempit
dengan penguapan gas yang cukup besar menyisakan air berat
pada kawah. Percampuran sistem magmatik dan hidrotermal
menyebabkan terjadinya fluida dengan air meteorik. Selain
Kawah Sikidang yang menjadi perhatian dalam penelitian ini
adalah Kawah Candradimuka. Berdasarkan hasil perhitungan

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 121


Gambar konseptual vulkanik Kawah Sikidang

suhu di bawah permukaan menunjukkan nilai 5430C masuk


dalam kelompok karakteristik magmatik. Kawah Candradimuka
pada ketinggian 1935 mdpl secara umum memiliki morfologi
terjal, terdapat tiga kawah aktif yang berjajar seperti aliran sungai
menghasilkan tekanan gas yang kuat dan suara asap yang keras.
Suhu di bawah permukaan hasil perhitungan tersebut
didukung oleh data isotop kondensat dimana fraksi percampuran
isotop oksigen-18 mencapai 48,260/00 merupakan yang tertinggi
dibandingkan dengan kawah lainnya di Dataran Tinggi Dieng.
Untuk lebih memahami karakteristik vulkanik di Dataran
Tinggi Dieng yang memiliki sifat magmatik-hidrotermal berikut
ini dilakukan pembahasan terhadap gunung api yang memiliki
sifat magmatik, yaitu Gunung Merapi dengan dua titik sampling
yakni Kawah Gendol dan Kawah Woro yang dijadikan sebagai
perbandingan.

122 Memahami Gas Gunung Api


Leetusan Gunung Merapi 2010, foto: Heru Suparwoko

Kandungan gas karbon dioksida Kawah Gendol dan Kawah


Woro lebih tinggi dari pada Kawah Sikidang, mengakibatkan rasio
CO2/ST Gunung Merapi lebih tinggi. Degassing di Gunung Merapi
dengan sistem tertutup yakni gas dan magma naik ke permukaan
bersamaan. Pertumbuhan kubah lava Merapi didukung dengan fakta
tingginya rasio CO2/ST untuk gunung yang memiliki karakteristik
magmatik.
Perbedaan antara Kawah Gendol dan Kawah Woro dapat
dijelaskan dengan hasil pengujian isotop deuterium dan oksigen-18.
Hasil pengujian isotop kondensat Air Kawah Gendol seluruhnya
menunjukkan sifat magmatik sementara di Kawah Woro bervariasi.
Pada lubang fumarol Kawah Gendol tidak terjadi percampuran
dengan air meteorik. Aliran gas merupakan cabang pada area
dangkal atau pada posisi lebih tinggi dari pada aliran gas Kawah
Woro.

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 123


Gambar konseptual vulkanik Gunung Merapi

Sebuah model konseptual pada penelitian ini diharapkan menjadi


jembatan untuk pembuatan sebuah model penelitian di masa yang
akan datang baik itu model statis berupa grafis atau sebuah model
dinamis yang memasukkan data dan rumusan ilmiah sebagai hasil
analisis suatu penelitian. Hasil model penelitian secara kuantitatif
akan sangat bermanfaat untuk memahami dan menentukan
karakteristik gunung api.
Ancaman bahaya yang terus mengintai masyarakat di Dataran
Tinggi Dieng itu bukan saja ancaman alami dari letusan gunung dan
semburan gas beracun, namun juga bahaya ekologis buatan manusia,
karena kekeliruan pengelolaan lahan di tebing yang sangat curam.

124 Memahami Gas Gunung Api


Untuk meningkatkan keselamatan penduduk setempat dan para
pengunjung, di beberapa lokasi yang diperkirakan mengeluarkan
gas beracun dengan konsentrasi tinggi dipasang alat pendeteksi
gas. Jika konsentrasi gas melebihi nilai ambang batas maka secara
otomatis pendeteksi gas tersebut akan berbunyi.
Kewaspadaan dan usaha yang sungguh-sungguh untuk
mengurangi risiko bahaya harus terus diupayakan dan dijalankan,
sehingga masyarakat Dieng dan masyarakat di sekitarnya mengetahui
bagaimana mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana. Masyarakat
pun harus terus menjaga kelestarian lingkungan agar Dataran Tinggi
Dieng tetap terjaga kesuburan tanahnya dengan hamparan tanaman
kentang laksana emas hijau yang menjanjikan untuk kelangsungan
hidup masyarakat terutama yang tinggal di daerah Dieng.

Penataan kawah dan papan peringataan, gambar: Ayi R. Sacadipura

Batas antara manfaat dan bencana begitu tipis di Dieng, semburan


gas dalam batas normal adalah penyubur tumbuhan namun, bila
melebihi ambang batas, semburan gasnya sangat mematikan.
Romantika hidup dalam limpahan kesuburan Dieng harus pandai-
pandai menimbang irama alam.

Studi Kasus di Dataran Tinggi Dieng 125


DAFTAR PUSTAKA
Makalah dan Buku
Allard, P., 1983. “The Origin of Hydrogen, Carbon, Sulphur,
Nitrogen and Rare Gases in Volcanic Exhalations: Evidence
from Isotope Geochemistry.” Forecasting Volcanic Events.
Tokyo: Elseivier.
Allibone, R., Cronin, S.J., Charley, D.T., Neall, V.E., Stewart, R.B.,
Oppenheimer, C., 2012. Dental fluorosis linked to degassing
of Ambrym Volcano, Vanuatu: a novel exposure pathway.
Environ. Geochem. Health 34, 155-170.
Baxter, P.J., 2005. Human impacts of volcanoes. In: Marti, J., Ernst,
G.G.J. (Eds.), Volcanoes and the Environment. Cambridge
University Press, New York, pp. 273-303.
Blong, R.J., 1984. Volcanic Hazards. Academic Press, Orlando,
Florida.
Browne, Patrick., 1998. “In Memoriam Werner F. Giggenbach
(1937-1997)”. Geothermics Vol. 27, No. 1.
Cantrell, L., Young, M., 2009. Fatal Fall into a volcanic fumarole.
Wilderness Environ. Med. 20, 77-79.
Craig, H. 1961. “Isotopic Variations in meteoric waters”. Science
133, 1702-1703.
Delmelle. P. dan Stix, J., 2000, Volcanic Gases, Encyclopedia of
Volcanoes. Dalam: Sigurdsson, Haraldur (ed). Encyclopedia
of Volcanoes. San Diego: Academic Press.
Edmonds, Marie., Grattan, John., dan Michnowicz, Sabina., 2018.
Volcanic Gases: Silent Killers. Dalam: Fearnley, et.al (ed).
Observing the Volcano World: Volcano Crisis Communication.
Cham: Springer Open.

126 Memahami Gas Gunung Api


Fearnley, et.al (ed)., 2018. Observing the Volcano World: Volcano
Crisis Communication. Cham: Springer Open.
Farrar, C.D., Sorey, M.L., Evans, W.C., Howle, J.F., Kerr,
B.D., Kennedy, B.M., King, C.-Y., Southon, J.R., 1995.
Forest-killing diffuse CO2emission at Mammoth Mountain
as a sign of magmatic unrest. Nature 376, 675-678.
Gerlach, T., 2011. Volcanic versus anthropogenic carbon dioxide.
EOS Trans. Amer. Geophys. Union 92, 201-202.
Hansell, A., Oppenheimer, C., 2004. Health hazards from volcanic
gases: a systematic literature review. Arch. Environ. Health
59, 628-639.
Hirabayashi, J., Yoshida, M., and Ossaka, J., 1990. Chemistry of
volcanic gases from the the 62-1 Mt. Tokuchi, Hokkaido,
Japan. Bull. Volcanol. Soc. Japan, 2, p. 205-215.
Hirabayashi, J., Ossaka, J., and Ozawa, T., 1982. Relationship
between volcanic and chemical composition of volcanic
gases - A case study on the Sakurajima Volcano. Geochem.
J., 16, p.10-21.
Hochstein, Manfred P., t.t. “Werner Friedrich Giggenbach, Dr.rer.nat.
FRSNZ (1937-1997)”. The Royal Society of New Zealand.
Humaida, Hanik., 2013. Kajian Geokimia Erupsi Gunung Merapi
dan Gunung Kelud. Disertasi pada Program Studi S3 Ilmu
Kimia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Humaida, Hanik., 2008. Pengukuran Emisi SO2 dengan DOAS
(Differential Optical Absorption Spectroscopy) dan COSPEC
(Correlation Spectroscopy) di Gunung Merapi (Indonesia).
Indo. J. Chem., 2008, 8 (2), 151 – 157.
International Volcanic Health Hazard Network. Volcanic Gases and
Aerosols Guidelines. http://www.ivhhn.org.

Daftar Pustaka 127


Iswahyudi, Sachrul., Asmoro Widagdo, Siswandi, Adi Candra,
Rachmad Setijadi, Eko Bayu Purwasatriya. 2015. “Analisis
Isotop 2H dan 18O Mata Air Panas Pancuran-7 Baturaden
untuk Mengetahui Asal Air Panasbumi Gunungapi Slamet”.
Dalam: Proceeding Seminar Nasional Kebumian Ke-8, Ac-
ademia-Industry Linkage, 15-16 Oktober 2015; Grha Sabha
Pramana
Iwasaki, I., Ozawa, T., Yoshida, M., Katsura, T., Iwasaki, B.,
Kamada, M., and Hirayama, M., 1962. Volcanic gases in
Japan. Bull. Tokyo Inst. Technol., 47, p.1-54.
Kusky, Timothy, 2008. Volcanoes: eruptions and other volcanic
hazards. New York: Infobase Publishing.
Le Guern, G., Tazieff, H., Faivre-Pierret, R., 1982. An example of
health hazard: people killed by gas during a phreatic eruption,
Dieng Plateau (Java, Indonesia), February 20th 1979. Bull.
Volcanol. 45, 153-156.
Le Guern, G., Tazieff, H., 1989. Lake Nyos. J. Volcanol. Geotherm.
Res. 39 special issue.
Matsuo, S., 1961. On the chemical nature of fumarolic gases of
Volcano Showashinzan, Hokkaido, Japan. J. Earth Sci.
Nagoya Univ., 9, p.80-100.
Menyailov, I.A., Nikitina, L.P., and Shapar, V.N., 1985. Results of
Geochemical monitoring of the activity of Ebeko volcano
(Kurile Island) used for eruption prediction. J. Geodynamics,
3, p.259-274.
Mizutani, Y., 1962. Origin of lower temperature fumarolic gas of
Showashinzan. J. Earth. Sci. Nagoya Univ., 10, p. 135-148.
Mousalam, Y., Bani, P., Schiper, C.I., Cardona, C., Franco, L.,
Barnie, T., Amigo, A., Curtis, A., Peters, Nial., Aiuppa, A.,
Giudice, G., Oppenheimer, C., 2018. Unrest at the Nevados de
Chillan Volcanic Complex: A failed or yet to unfold magmatic
eruption? Dalam: Artikel riset VOLCANICA.

128 Memahami Gas Gunung Api


Panichi, Costanzo., Volpi, Gianni. 1999. “Hydrogen, oxygen and
carbon isotope ratios of Solfatara fumaroles (Phlegrean
Fields, Italy): further insight into source processes”. Journal
of Volcanology and Geothermal Research, Volume 91, Issue
2, p. 321-328.
Priatna & Eka Kadarsetia. 2007. Characteristics of volcanic gas
correlated to the eruption activity; Case study in the Merapi
Volcano, periods of 1990-1994. Jurnal Geologi Indonesia
Vol. 2 No.4 December 2007
Priatna, 2019, Karakteristik Vulkanik Berdasarkan korelasi karbon
dioksida dengan Gas Sulfur dan Isotop Deuterium dengan
Oksigen-18, Disertasi, Universitas Padjadjaran.
Scarpa, R.. dan Tilling, R.I.(ed), 1996. Monitoring and Mitigation of
Volcano Hazards. Berlin: Springer-Verlag.
Scarpa, R., Tilling, R.I. (Eds.), 1996. Monitoring and Mitigation of
Volcano Hazards. Springer-Verlag, Berlin.
Thordarson, Th, Self, S., 1993. The Laki (Skafta´r Fires) and
Grı´msvo¨tn eruptions in 1783-1785. Bull. Volcanol. 55,
233-263.
Schmid, M., Halbwachs, M., Wehrli, B., Wu¨est, A., 2005. Weak
mixing in Lake Kivu: new insights indicate increasing risk
of uncontrolled gas eruption. Geochem. Geophys. Geosyst.
6, Q07009.
Sigurdsson, H., Devine, J.D., Tchoua, F.M., Presser, T.S., Pringle,
M.K.W., Evans, W.C., 1987. Origin of the lethal gas burst
from Lake Monoun. Cameroon. J. Volcanol. Geotherm. Res.
31, 1-16.
Sigurdsson, Haraldur (ed), 2000. Encyclopedia of Volcanoes. San
Diego: Academic Press.
Stix, John., dan Gaonac’h, Helene., 2000. Gas, Plume, and Thermal
Monitoring. Dalam: Sigurdsson, Haraldur (ed). Encyclopedia
of Volcanoes. San Diego: Academic Press.

Daftar Pustaka 129


Stoiber, R.E. and Rose, W.I., 1970. The Geochemistry of Central
America Volcanic Gas Condensaste. Geol. Soc. Am. Bull., 81,
p.2891-2912.
Tazieff, H. dan Sabroux, J.C., 1983. Forcasting Volcanic Events.
Tokyo: Elseivier.
Thordarson, Th, Self, S., Oskarsson, N., Hulsebosch, T., 1996.
Sulphur, chlorine, and fluorine degassing and atmospheric
loading by the 1783-1784 AD Laki (Skafta´r Fires) eruption
in Iceland. Bull. Volcanol. 58, 205-225.
Williams-Jones, Glyn dan Rymer, Hazel, 2000. Hazards of Volcanic
Gases. Dalam: Sigurdsson, Haraldur (ed). Encyclopedia of
Volcanoes. San Diego: Academic Press.

Situs
https://merapi.bgl.esdm.go.id/pub/fasilitas.php.
Grocke, S., 2010. Monitoring Volcanic Gases. http://volcano.
oregonstate.edu/book/export/html/393

130 Memahami Gas Gunung Api


Penulis
PRIATNA
PENDIDIKAN
1991 S1 Kimia ITB
2014 S2 Teknik Geologi UNPAD
2019 S3 Teknik Geologi UNPAD

RIWAYAT PEKERJAAN
1990 Staf Analisis Gunung Api, PVMBG
2001 Kepala Seksi Standardisasi, PVBMG
2006 Kasubbag Evaluasi dan Laporan Badan Geologi
2015 Kepala Seksi Edukasi dan Informasi Museum Geologi
2017 Kasubbag Humas dan Kerjasama Badan Geologi
2018 Penyelidik Bumi PVMBG

KURSUS
1996 Course on Volcanology and Volcanic Sabo Engineering, Japan

PUBLIKASI
3 Buku, 4 Makalah Ilmiah, 5 Artikel Populer,

LAGU
2016 -2018 Menulis 34 Lagu Alam dan Religi

KONTAK DAN MEDSOS


Telp: 08122008811, Email: parpar.priatna@gmail.com
FB: Parpar Priatna, IG: @parpar.priatna
Web: denaturmusic.net, Youtube: Denatur Music

Penulis 131
Penulis
SOFYAN PRIMULYANA
DATA PRIBADI
Tempat, tanggal Lahir: Bandung, 7 Juli 1968

PEKERJAAN
Penyelidik Bumi Madya, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral

ALAMAT KANTOR
Jalan Diponegoro no. 57 Bandung 40122.
Telp. 022-7272606; Fax. 022-7202761

PENDIDIKAN
Pendidikan Formal
• (1996-2002) Teknik Geologi, STTMI
• (2008-2010) Magister Teknik Geologi, ITB

Pendidikan non Formal


• (2006) Kursus “Volcanology and Compre- hensive Sediment -
related Disaster Measures“ di Jepang
• (2012) Kursus “Physical Volcanology and Hazard Assessment“

PENGALAMAN KERJA:
• (1989-2002) Survey Geokimia di Lapangan Panas bumi
• (2002-2005) Survey Inventarisasi Potensi Gunung api
• (2005 - sekarang) Survey Mitigasi Gunung api di Indonesia.

132 Memahami Gas Gunung Api

Anda mungkin juga menyukai