PENULIS
Priatna
Sofyan Primulyana
EDITOR AHLI
Hendra Gunawan
Nia Haerani
Nana Sulaksana
EDITOR BAHASA
Atep Kurnia
PENERBIT
Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi
Badan Geologi
Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral ILUSTRASI SAMPUL
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung - 40122 Kawah Woro Merapi
website: vsi.esdm.go.id dari foto Yustinus Sulistiyo, 1999.
Cetakan pertama: 2020
D
engan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang
Maha Esa, saya sampaikan selamat kepada Pusat Vulkanologi
dan Mititgasi Bencana Geologi atas diterbitkannya buku
berjudul Memahami Gas Gunung Api.
Indonesia menjadi rumah dari begitu banyak gunung api. Ini
disebabkan karena berada di jalur gunung api aktif dan merupakan
pertemuan antara jalur gunung api Pasifik dan jalur gunung api
Mediteranian, sebagai akibat dari tumbukan antara tiga lempeng
raksasa. Di antara gunung api aktif tersebut dapat dipastikan gas
vulkanik memainkan peran yang besar, dalam proses aktivitas
gunung api. Dengan kata lain, gas vulkanik merupakan salah satu
penanda keberadaan sebuah gunung api.
Kepada penulis, saya ucapkan terima kasih dan penghargaan,
semoga buku ini menambah khazanah pengetahuan kepada para
pembaca mengenai pentingnya data dan informasi gas vulkanik
dalam memahami aktivitas gunung api.
Akhir kata, buku ini diharapkan menggugah inspirasi dan
menjadi motivasi kepada para fungsional dan pemangku kepentingan
Badan Geologi untuk mendorong pentingnya menghasilkan sebuah
karya sebagai wujud upaya perlindungan dan kesejahteraan bagi
masyarakat luas.
.
Sambutan v
vi Memahami Gas Gunung Api
KATA PENGANTAR
A
lhamdulillah, buku Memahami Gas Gunung Api telah
diterbitkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi (PVMBG). Buku ini berusaha memberikan
informasi kepada masyarakat terkait upaya untuk memahami gas
gunung api. Dalam hal ini, PVMBG sebagai unit di lingkungan
Badan Geologi, di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral, memiliki tugas melaksanakan penelitian, penyelidikan,
perekayasaan dan pelayanan di bidang vulkanologi dan mitigasi
bencana geologi.
Pedoman Mitigasi Bencana Geologi yang meliputi Bencana
Gunung api, Gerakan Tanah, Gempa Bumi, dan Tsunami disebutkan
bahwa mitigasi bencana gunung api adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana gunung api, baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana gunung api. Salah satu yang patut mendapat
perhatian dalam upaya mitigasi bencana gunung api tersebut adalah
keberadaan gas vulkanik.
Buku Memahami Gas Gunung Api ini secara tersurat
mengindikasikan bahwa gas vulkanik memang patut sekali mendapat
perhatian yang serius. Di dalam buku ini, terlihat dari isi yang
dikemukakannya, antara lain berupa upaya mengenali gas vulkanik
berikut sifatnya dan bahaya yang ditimbulkan oleh gas vulkanik.
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Semoga buku ini
menjadi inspirasi bagi para pegawai di lingkungan PVMBG untuk
terus melakukan karya tulis ilmiah, demi tersebarnya informasi
kegunungapian dan mitigasinya ke tengah masyarakat luas.
Kasbani
Kepala Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi
v SAMBUTAN
ix DAFTAR ISI
131 PENULIS
Daftar isi ix
x Memahami Gas Gunung Api
01
MITIGASI
GUNUNG API
P
enduduk yang berjumlah sekitar 250 juta jiwa berisiko tinggi
jika berhadapan dengan letusan gunung api. Pertama-tama,
karena Indonesia merupakan negara yang paling banyak
mempunyai gunung api aktif. Di negeri ini ada 127 atau 13 %
dari keseluruhan gunung api aktif. Apalagi dalam tiga dasawarsa
terakhir ini banyak gunung api yang beristirahat kemudian bergiat
lagi menampilkan aktivitasnya, seperti Gunung Anak Ranakah, dan
Gunung Sinabung. Kedua, karena banyak penduduk yang bermukim
di dekat gunung api.
Daerah di sekitar gunung api yang subur, air berlimpah dan
pemandangan yang indah menjadi salah satu daya tarik penduduk
untuk bermukim. Saat ini ada sekitar 5 juta penduduk bermukim
atau beraktivitas di kawasan rawan bencana letusan gunung api.
Umumnya penduduk yang bermukim di lereng gunung api aktif
mempunyai sejarah panjang berhadapan dengan letusan gunung
api. Sebagai contoh penduduk di sekitar Gunung Merapi, mereka
S
elasa dini hari, 20 Februari 1979, di puncak keheningan malam
di perkampungan yang dibalut kabut, warga Desa Kepucukan
dikejutkan oleh serangkaian gempa bumi yang terjadi mulai
pukul 01.55. Mereka terbangun, panik, dan tak mengerti apa yang
terjadi, serta apa yang harus dilakukan. Pada jam-jam itu, biasanya
hawa di luar rumah terasa sangat dingin, lebih dari cukup untuk
membuat geraham gemeletuk. Namun, tengah malam itu, udara di
luar rumah terasa panas, dengan bau belerang yang menyesakkan
nafas. Dari arah Kawah Sinila tiba-tiba terdengar dentuman sangat
keras yang bergemuruh, dan kegelapan malam diterangi kobaran api.
Pukul 05.04, suasana masih gelap, terlihat asap putih menjulang
ke udara, dan suara gemuruh yang beruntun yang disertai hujan
abu. Barulah mereka sadar bahwa gunung yang tak jauh dari
perkampungan itu meletus. Mereka segera meninggalkan rumah,
Gas Karbon dioksida keluar dari Kawah Timbang, foto: Aziz Yuliawan
RISET
GAS GUNUNG API
13
Prof. Adjat Sudradjat dan Dr. Johanes Hutabarat terlibat riset di lapangan
D
alam konteks pengamatan gunung api, gas vulkanik dapat
memberikan berbagai informasi mengenai keadaan dan
aktivitas sebuah gunung api. Dari gas vulkanik, peneliti gas
dapat mempelajari hubungan antara aktivitas sebuah gunung api
dengan komposisi kimia yang ada dalam gas-gas vulkanik. Matsuo
(1961), Mizutani (1962), Iwasaki dkk. (1962) dalam penelitiannya
mencatat bahwa H2S dan CO2 merupakan gas vulkanik yang dominan
pada suhu yang rendah dan SO2 dan H2 meningkat kandungannya
seiring dengan meningkatnya suhu.
H2 12707 1
log ---------- = – ---------- + 2,548 – ----- log f O2
H2O T 2
Dikorelasikan dengan persamaan berikut:
SO2 27377 3
log ---------- = ---------- – 3,986 + ------ log f O2 – log f H2O
H2S T 2
Isotop
Isotop adalah atom-atom dari unsur kimia yang sama dan pada
intinya mempunyai jumlah proton sama tetapi mempunyai jumlah
neutron yang berbeda. Di alam, kurang lebih terdapat 1700 isotop,
260 isotop di antaranya termasuk isotop stabil (Allard, 1983). Rasio
dari kedua isotop tersebut bervariasi sepanjang waktu, dan variasi
ini tergantung dari kondisi lingkungan di sekitarnya (Wahyudi,
2001; Djuhariningrum dkk., 2003).
Isotop alam yang sering diketahui keberadaannya pada siklus
hidrologi terdiri dari Tritium (3H), Karbon-14 (14C), Oksigen-18
(18O) dan Deuterium (2H). Keterdapatannya di alam masing-masing
isotop oksigen dan hidrogen tersebut dapat bersenyawa membentuk
senyawa air.
Geokimia isotop merupakan suatu aspek geologi yang
berdasarkan penelitian kandungan relatif dan absolut dari elemen
serta isotopnya di bumi. Secara umum, bidang isotop ini dibagi
menjadi dua cabang penting yakni geokimia isotop stabil dan
radiogenik. Berbagai cabang ilmu memanfatkan isotop ini untuk
berbagai keperluan.
[Rsampel – Rstandar]
δ = --------------------------- x 1000
[Rstandar]
3. Isotop Hidrogen
Hidrogen memperlihatkan fraksionasi yang terbesar karena
perbedaan massa relatif antara dua isotop stabil 1H dan 2H
(deuterium, D) besar dibanding pasangan isotop yang lain.
Fraksionasi sampai 70% atau 7000/00 telah direkam pada sampel
geokimia.
5. Isotop Karbon
Karbon mempunyai dua isotop stabil, 12C and 13C, dan satu isotop
radioaktif, 14C. Isotop karbon digunakan untuk menjajaki sirkulasi
lautan. Isotop karbon stabil difraksionasi secara primer oleh
fotosintesis. Rasio 13C/12C juga merupakan indikator paleoklimate.
Karbon juga memperlihatkan perbedaan isotopik pada sampel
geokimia. Variasi ini berasal dari kegiatan organisme dengan
fraksionasi isotopik yang disebabkan oleh pengaruh kinetik dan
juga kemampuan karbon untuk eksist pada sejumlah besar senyawa
dalam sistem alamiah. Saat fraksionasi kimia dari karbon berada
pada siklus geokimia, fraksionasi isotopik juga terjadi. Banyak
fraksionasi isotop karbon anorganik berada pada kesetimbangan.
Kesetimbangan karbon dioksida pada atmosfir dengan bikarbonat
pada lautan digambarkan dengan persamaan:
6. Isotop Lain
Penelitian tentang isotop H, C, O, dan S memperlihatkan
bahwa unsur-unsur ini banyak berguna untuk pemisahan
sistem geokimia. Isotop nitrogen pada senyawa organik alami
memperlihatkan perbedaan δ15N sekitar 100/00 diatas dan di
bawah standar atmosferik nitrogen.
G
as memang tidak terlihat tetapi merupakan produk
sinambung dari aktivitas gunung. Bahkan dalam keadaan
diam sekalipun, seperti tidak mengeluarkan lava atau
menunjukkan aktivitas seismik, tetap saja gunung api mampu
melepaskan gas vulkanik. Di antara gas yang dihembuskan atau
dikeluarkan dari tubuh gunung api dapat berupa gas yang beracun,
atau meski tidak beracun tetapi bila terus-terusan terekspos oleh
manusia pasti akan mengakibatkan dampak buruk.
Meski dampak langsung gas vulkanik hanya mengakibatkan 3%
kematian akibat dampak gunung api selama tahun 1900-1986, tetapi
tetap saja setiap tahun menunjukkan dampak yang berakibat kepada
kematian. Gas vulkanik mempunyai efek regional dan global bila
mampu menerobos ke atmosfer. Akibatnya, bisa menyebabkan
panen dan dampak susulannya berupa kelaparan dan penyakit. Ini
hampir 40% menjadi penyebab kematian pada masa antara tahun
1600 hingga 1982 (Williams-Jones dan Rymer, dalam Sigurdsson,
2000).
Karbon monoksida
Karbon monoksida merupakan gas tidak berwarna dan tidak
berbau hasil dari pembakaran tidak sempurna dari material karbon.
Karbon monoksida terdiri dari satu atom karbon yang secara kovalen
berikatan dengan satu atom oksigen. Pada ikatan ini, ada dua ikatan
kovalen dan satu ikatan kovalen koordinasi antara atom karbon dan
oksigen. Gas ini memiliki sifat yang mudah terbakar dan beracun,
karena mampu membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah
yaitu hemoglobin. Hal ini sangat membahayakan bagikesehatan dan
lingkungan sekitar, baik lingkungan pemukimanmaupun lingkungan
kerja.
Konsentrasi gas CO apabila 0 sampai dengan 100 ppm masih
dianggap aman jika waktu kontak hanya sebentar. Bila CO sebanyak
30 ppm terhisap manusia selama 8 jam akan menimbulkan rasa pusing
dan mual. Namun, pengaruh CO terhadap tubuh manusia tidak sama
dengan manusia lainnya. Apabila terhisap ke dalam paru-paru, gas ini
akan ikut peredaran darah dan akan menghalangi masuknya oksigen
yang akan dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini dapat terjadi karena CO
bersifat racun metabolisme, ikut bereaksi secara metabolisme dengan
darah. Selain itu, CO diketahui dapat mempengaruhi kerja jantung
(sistem kardiovaskuler), sistem syaraf pusat, janin, dan semua organ
tubuh yang peka terhadap kekurangan oksigen.
Sulfur Dioksida
Gas Sulfur dioksida (SO2) adalah gas tidak berwarna, bersifat
asGas Sulfur dioksida (SO2) adalah gas tidak berwarna, bersifat asam,
sangat mengiritasi alat penciuman, berat jenis 2,26 tidak mudah
terbakar, tidak eksplosif, dan relatif stabil. Ambang batas penciuman
3 ppm. Sangat mengiritasi mata, tenggorokan dan saluran pernapasan,
dapat menimbulkan pembengkakan celah suara, dan menyebabkan
penyakit paru-paru kritis. Konsentrasi 20 ppm menyebabkan batuk
dan iritasi pada mata. Konsentrasi maksimum yang diizinkan oleh ahli
kesehatan 5 ppm. Terhadap tanaman sangat beracun, konsentrasi 0,3
ppm selama 8 jam menyebabkan kematian daun. Gas SO2 di udara
dengan adanya uap air segera bereaksi membentuk asam sulfat,
pembentukan asam sulfat dikatalisir oleh adanya partikel padat yang
terdapat dalam atmosfir (Tazieff dan Sabroux, 1983).
Asam Sulfida
Gas hidrogen sulfida (H2S) adalah gas tidak berwarna, berbau
telur busuk, berat jenis 1,19, beracun, dapat terbakar dan dengan
udara dapat membentuk campuran yang eksplosif. Pengaruhnya
pada manusia dengan konsentrasi rendah mengiritasi mata dan
saluran pernapasan. Apabila konsentrasi mencapai 150 ppm dapat
menyebabkan kehilangan rasa penciuman, sedangkan konsentrasi
1.000 ppm menimbulkan rasa sakit dan menyerang pusat pernafasan.
Nilai konsentrasi maksi-mum yang diizinkan oleh ahli kesehatan
sebesar 10 ppm, pada tanaman dalam tingkat konsentrasi 1 - 5 ppm
menghambat respirasi dan fotosintesis.
Gas yang sangat beracun ini telah menyebabkan setidaknya
46 orang (sejak awal abad ke-20) di Rotorua (Selandia Baru) dan
menjadi penyebab sejumlah kecelakaan di beberapa gunung api
Jepangs. Hal ini menyebabkan banyak pos pengamatan gunung
api di Jepang memasang detektor H2S dan sistem peringatan
di area yang sering dikunjungi oleh masyarakat. Salah satu
kejadiannya berlangsung pada tahun 1971 di Gunung Kusatsu-
Shirane, Honshu, ketika enam pemain ski menuruni bukit hampir
tewas setelah melewati depresi yang dipenuhi H2S. Pada 15
Radon (Rn)
Gas Radon tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, berupa
gas radioaktif, yang terbentuk dari peluruhan radioaktif uranium.
Dgas = 9,73 g / L. Kelarutan gas = 51 g / L. PEL = 200 Bq / m3.
Untuk jangka pendek, tidak ada informasi tentang dampak non-
kanker akut radionuklida pada manusia, tetapi dari hasil penelitian
pada hewan diketahui adanya peradangan di saluran hidung dan
kerusakan ginjal akibat paparan akut uranium setelah terhisap.
Untuk jangka panjangnya, paparan kronis melalui penghirupan
menyebabkan gangguan pernapasan, seperti penyakit paru-paru dan
kanker paru-paru. Perokok yang terpapar radon memiliki risiko 10-
20 kali lebih besar untuk terkena kanker paru-paru (Williams-Jones
dan Rymer, dalam Sigurdsson, 2000).
P
ada jam 9.30 malam, 21 Agustus 1986, Lake Nyos bergetar
dan suara gemuruh yang tidak tentu asalnya terdengar dari
pegunungan. Tidak lama setelah itu, keluarlah asap gas
beracun yang mengalir ke bawah lereng gunung, dengan kecepatan
sekitar 100 km/jam. Letusan ini melepaskan sekitar 100.000-300.000
ton (1,6 juta ton menurut beberapa sumber) karbon dioksida (CO2).
Awan gas ini lebih berat daripada udara, sehingga awan-awan ini
kemudian turun ke desa-desa sekitar, menggantikan semua udara
yang ada. Dalam hitungan menit, gas itu langsung merenggut nyawa
1.746 orang dan 3.500 ternak dalam radius 25 kilometer dari danau.
Malam hari sebelum peristiwa itu, ada sebuah tebing di tepian
danau, runtuh dan masuk ke air. Diperkirakan reruntuhan tebing
ini telah menggoncang lapisan-lapisan air. Sehingga lapisan paling
dasar yang dipenuhi dengan CO2 menjadi pecah dan mengalirkan
CO2 dalam jumlah besar ke permukaan danau. Keesokan paginya
Ternak yang mati bergelimpangan akibat menghirup gas beracun dari Lake Nyos.
Sumber foto: M.L. Tuttle, Survei Geologi AS.
G
as vulkanik yang diambil dari lapangan dapat digolongkan
ke dalam dua jenis gas yaitu gas terlarut (dalam NaOH) dan
gas tidak terlarut. Gas-gas yang terlarut dalam NaOH antara
lain: CO2 (karbon dioksida), H2S (hidrogen sulfida), SO2 (Sulfur
Dioksida), HCl (hidrogen Khlorida), dan NH3 (amonia). Sedangkan
gas-gas yang tidak terlarut di antaranya adalah: He (helium), H2
(hidrogen), N2 (Nitrogen), O2 (oksigen), Ar (argon), CH4 (metana),
dan CO (karbon monoksida).
Perbedaan jenis gas tersebut menyebabkan perlakuan
terhadapnya berbeda-beda pula. Untuk menganalisis komposisi gas
vulkanik, ada tiga metode analisis yang digunakan. Pertama, metode
analisis spektrofotometri untuk menganalisis gas terlarut HCl, HF,
NH3, dan SO2 yang menggunakan alat spektrofotometer. Kedua,
metode analisis volumetri untuk menganalisis gas-gas terlarut CO2
dan H2S dengan menggunakan tabung reaksi. Ketiga, menggunakan
Preparasi
Tahap awal yang dilakukan adalah persiapan di laboratorium.
Dengan langkah meliputi seluruh tahapan penyiapan tabung dan
peralatan lapangan, yaitu:
Pembuatan larutan 5N NaOH, dengan cara menimbang NaOH
p.a. 200 g; larutkan NaOH dalam gelas beaker dengan 400 ml
akuades dan tutup dengan tutup gelas; biarkan larutan tersebut
sampai dingin; kemudian pindahkan larutan tersebut ke dalam labu
ukur dan tambahkan akuades hingga mencapai volume satu liter;
kocok larutan NaOH tersebut sampai homogen.
Memvakum tabung giggenbach dengan pompa vakum.
Masukkan larutan 5N NaOH sebanyak 1/5 bagian volume tabung
yang sudah divakumkan dengan menggunakan corong; vakumkan
kembali tabung yang sudah diisi dengan larutan 5N NaOH dengan
pompa vakum sampai tekanan minus 1.000 mBar; timbang tabung
yang sudah divakumkan sampai ketelitian 0,1 mg; periksa kevakuman
tabung dengan mengocoknya hingga ada suara karakteristik dari
tabung, yang mengindikasikan tekanan total tabung mendekati
tekanan uap larutan yang ada di dalamnya; timbangan ulang tabung
vakum tersebut setelah didiamkan selama 12 jam, untuk pengecekan
kebocoran.
Laboratorium Isotop
Isotop merupakan unsur yang memiliki nomer atom sama
tetapi dengan massa atom yang berbeda. Secara umum isotop
dikelompokkan menjadi 2 jenis, yaitu isotop radioaktif dan isotop
stabil. Air merupakan senyawa pemeran utama dalam siklus
hidrologi. Molekul air (H2O) tersusun dari atom hidrogen dan
oksigen. Di alam, hidrogen memiliki 3 isotop yang terdiri dari 1
isotop radioaktif (yaitu tritium, T=3H) dan 2 isotop stabil (yakni 1H/
Protium dan Deuterium, D= 2H). Sedangkan oksigen memiliki 3
isotop stabil, yakni 16O, 17O, dan 18O.
Werner Giggenbach
P
ada 7 November 1997, Werner Giggenbach meninggal dunia
saat melakukan pengambilan percontoh gas vulkanik di kawah
Gunung Tavurvur, dekat Gunung Rabaul, Papua Nugini. Pada
perjalanan pengambilan percontoh gas vulkanik itu dia ditemani
istrinya, Agnes Reyes. Sesaat setelah mendaki keluar dari kawah
Tavurvur, Werner terjatuh, kemudian meninggal dunia.
Werner F. Giggenbach adalah seorang ahli di bidang sistem
panas bumi, gas vulkanik, geokimia, dan geokimia organik.
Dan pengalaman membayakan seperti yang akhirnya kemudian
merenggut nyawanya pada 1997 itu sering pula dialami oleh Werner.
Salah satunya yang terkenal adalah saat dia mendaki kawah
dalam Gunung Erebus, gunung api setinggi 3000 meter di Antartika,
pada Desember 1973. Pada saat Werner berada di kaki dinding kawah
tersebut, tiba-tiba terjadi letusan. Salah satu bongkah lava vesikuler
yang panas yang dilontarkan oleh gunung api tersebut membakar
kaki celana panjang yang dikenakannya serta hampir membakar
tali yang menghubungkan Werner dengan sesama pendaki, tetapi
akhirnya dia selamat tiba ke pinggir kawah.
Berikut ini adalah riwayat singkat Werner Giggenbach yang
berasal dari tulisan “In Memoriam Werner F. Giggenbach (1937-
1997)” (dalam Geothermics Vol. 27, No. 1, 1998, karya Patrick
Browne) dan “Werner Friedrich Giggenbach, Dr.rer.nat. FRSNZ
(1937-1997)” karya Manfred P. Hochstein (The Royal Society of
New Zealand, tanpa tahun).
Werner Friedrich Giggenbach lahir pada 10 November 1937 di
Augsburg, Jerman. Ia mempelajari kimia di Technische Hochschule
Muenchen atau Universitas Teknik Munik dan memperoleh gelar Dr.
rer.nat. pada Juni 1966. Disertasinya mengenai larutan biru sulfur
SAMPLING
DAN PEMANTAUAN
A
dapun percontoh yang diambil di lapangan fumarola dapat
berupa gas, air, kondensat, dan gas tanah. Dalam praktiknya,
untuk melakukan hal tersebut pertama-tama yang harus
dilakukan adalah Dengan cara mengamati tempat keluarnya gas;
melakukan pengukuran suhu gas di tempat-tempat keluarnya gas;
dan memilih titik pengambilan percontoh pada suhu yang tertinggi,
kecepatan hembusan gas yang cukup tinggi dan lubang keluarnya
kecil, untuk menghindari kontaminasi udara dan kondensasi
percontoh. Pengambilan percontoh dilakukan pada titik terpilih
keluarnya gas gunung api. Tahap awal pengambilan percontoh adalah
pengukuran suhu udara, pengukuran koordinat titik pengambilan
percontoh, dan deskripsi lokasi pengambilan percontoh.
Pengukuran Suhu
Sebelum melakukan pengambilan percontoh gas dan air
dilakukan pengukuran suhu dari tempat keluarnya gas atau dari air
telaga dan kawah yang menunjukkan adanya aktivitas vulkanik.
Parameter untuk memilih titik sampling yakni: suhu yang tertinggi,
COSPEC
Corelation Spectroscopy (COSPEC) dikembangkan pada 1960-
an oleh Barringer Research, di Toronto, Kanada, untuk mengukur
emisi SO2 dari untuk pemantauan polusi dari industri. COSPEC mulai
diperkenalkan ke komunitas vulkanologi sebagai alat penginderaan
jauh emisi SO2 dari gunungapi sejak tahun 1971 (Stoiber dkk., 1983).
Para ahli vulkanologi kemudian mulai menerapkan COSPEC untuk
pemantauan gas vulkanik dibeberapa gunungapi di dunia (misalnya,
Stoiber dan Jepsen, 1973; Stoiber dkk., 1980; Stoiber dkk., 1986;
Bluth dkk., 1994 ; Casadevall dkk., 1994; Elias dkk., 1998; Delgado
dkk., 2001; Rodrîguez dkk., 2004).
COSPEC mengukur kolom SO2 dengan menggunakan pancaran
sinar ultraviolet (UV) sebagai sumber energinya. Sinar masuk ke
dalam instrumen dan bergerak melalui serangkaian cermin, lensa,
dan slit untuk mencapai detektor dan photomultiplier dimana sinar
diubah ke dalam pulsa listrik dan amplifier. Jika gas ada di dalam
instrumen, COSPEC mendeteksi sejumlah radiasi UV yang diserap
oleh SO2.
Sinar ultraviolet diserap oleh SO2 yang ada di sepanjang jalur
optik pada plume dalam unit satuan ppm-meter pada tekanan atmosfer
adalah sebanding dengan hasil kali antara konsentrasi SO2 (ppm)
denganp anjang “optical path” (meter). Absorpsi ini berlangsung
pada panjang gelombang 300 nm. Rekorder spektrometer akan
MULTI-GAS
Multi-GAS adalah alat untuk mengukur gas-gas vulkanik
terutama CO2, SO2, dan H2S dari asap yang keluar melalui rekahan
alamiah di gunung api maupun gas vulkanik di danau kawah yang
keluar secara difusi. Sensor yang digunakan biasanya sensor CO2
Peserta seminar Cities on Volcanoes diskusi di stasiun sensor gas Kawah Timbang
STUDI KASUS
DI DATARAN TINGGI
DIENG
D
ataran Tinggi Dieng terletak pada posisi geografi di 7,200
LS dan 1900 LS, dengan titik tertinggi 2.565 meter. Ahli
gunung api Neumann van Padang menyebutkan, dataran
tinggi ini adalah puing yang terdiri dari beberapa kerucut setinggi
100-300 m, berderet sepanjang 14 km dengan lebar 6 km. Lajur
gunung api ini memanjang ke barat daya-tenggara, kelanjutan
dari deretan Gunung Sumbing-Sundoro. Sementara menurut van
Bemmelen, Dataran Tinggi Dieng merupakan kelompok gunung
api Kuarter yang secara fisiografis merupakan bagian Pegunungan
Serayu Utara. Pegunungan ini terletak pada zona lemah serta
merupakan sayap bagian utara dari jalur geantiklin Jawa dengan arah
timur-barat, memanjang ke barat, dari Dieng ke Gunung Slamet.
Tercatat setidaknya 15 kali letusan di Dataran Tinggi Dieng.
Letusan 1826 terjadi di Kawah Butak yang melenyapkan Desa
Jampang dan menyebabkan 38 orang meninggal. Pada Oktober
1939, di dekat Desa Batur, terjadi letusan dan menelan korban 10
Studi Kasus
Pembahasan terdiri dari data gas dan isotop kondensat dan isotop
air. Studi kasus dilakukan pada enam objek penelitian di Dataran
Tinggi Dieng. Dari enam kawah ini dilakukan pengambilan sampel
air untuk analisis isotop. Selain data gas dan air. Data ini merupakan
ringkasan data hasil penelitian gas dan data isotop deuterium dan
oksigen-18.
Kawah Sibanteng
Kawah Sileri
0
Konsentrasi Gas dan Uap Air dalam % mol
No Waktu Kode T C
CO2 H2S SO2 HCl H2 N2 CH4 O2+Ar NH3 H2O
1 10_2014 SL11 90,12 5,86 0,05 0,75 0,20 0,000 9,24 0,06 2,46 0,02 82,16
2 07_2017 SL12 93,10 4,41 0,06 0,60 0,01 0,001 0,07 0,05 0,01 0,01 95,42
Rata-rata 91,61 5,14 0,05 0,68 0,11 0,001 4,66 0,05 1,23 0,02 88,79
Kawah Candradimuka
Kawah Pakuwaja
(0 / )
No Tahun Lokasi Kode 00
ä18O äD
1 1996 Air Dingin Lamongan, Jawa Timur LN -5,1 -30
2 1996 Air Dingin Gambuhan, Jawa Tengah ST -0,9 2
3 1996 Air Dingin Baturaden, Jawa Tengah BR -5,5 -30
4 1996 Air Dingin Jrakah, Sleman JH -8,4 -52
5 1996 Air Dingin Garut, Jawa Barat GR -8,2 -51
(Amas – Ames)
Dengan:
f δ18O : fraksi isotop sampel Oksigen-18
δ18O : nilai isotop sampel
Ames : Air meteorik standar (oksigen-18)
Amas : Air magmatik Standar (oksigen-18)
−4,2 − (-11,7)
f d O = ---------------------- x 100%
18
6,7 – (-11,7)
7,5
= --------------- x 100%
18,4
= 40,76%
(Amas – Ames)
Dengan:
f δ 18O : fraksi isotop sampel Oksigen-18
δ 18O : nilai isotop sampel
Ames : Air meteorik standar
Amas : Air magmatik
8,4
= --------------- = 56,76%
14,8
( 0 /00 )
No Tahun Sampel Kondensat Kode
18
δ O δD
1 1995 Fumarol Papandayan FPD1 2,8 -35,0
2 1995 Fumarol Papandayan FPD2 0,1 -41,0
3 1995 Fumarol Papandayan FPD3 3,5 -32,0
4 1995 Fumarol Papandayan FPD4 4,5 -32,0
5 1995 Fumarol Papandayan FPD5 1,3 -41,0
6 1996 Fumarol Papandayan FPD6 4,0 -36,0
7 1996 Fumarol Papandayan FPD7 3,1 -34,0
8 1996 Fumarol Papandayan FPD8 2,5 -35,0
9 1996 Fumarol Papandayan FPD9 3,2 -39,0
10 1996 Fumarol Papandayan FPD10 -0,7 -49,0
11 2009 Fumarol Kawah Mas FKM 3,4 -36,6
12 2009 Fumarol Kawah Nangklak FKN 1,9 -41,5
13 1996 Kawah Gendol Merapi FGM 6,7 -30,0
δD = 2,4 δ18O − 44
δD = 8 δ18O + 10
δD = 2,4 δ18O − 44
8 δ18O + 10 = 2,4 δ18O − 44
δ18O = −9,60/00
(Ames fraksi percampuran isotop oksigen-18 Papandayan).
Dengan menggunakan cara perhitungan seperti yang telah
diuraikan pada bahasan sebelumnya maka fraksi percampuran
isotop oksigen-18 Kawah Papandayan dihitung menggunakan
fraksi percampuran dan hasilnya ditampilkan dalam persen. Contoh
perhitungan untuk Kawah Mas Papandayan dengan nilai Amas
Merapi 6,70/00 Dan nilai Ames hasil perhitungan = -9,60/00.
(Amas – Ames)
3,4 − (−9,6)
f δ 18O = ---------------------- x 100%
6,7 – (−9,6)
13
= --------------- = 79,75%.
16,3
Situs
https://merapi.bgl.esdm.go.id/pub/fasilitas.php.
Grocke, S., 2010. Monitoring Volcanic Gases. http://volcano.
oregonstate.edu/book/export/html/393
RIWAYAT PEKERJAAN
1990 Staf Analisis Gunung Api, PVMBG
2001 Kepala Seksi Standardisasi, PVBMG
2006 Kasubbag Evaluasi dan Laporan Badan Geologi
2015 Kepala Seksi Edukasi dan Informasi Museum Geologi
2017 Kasubbag Humas dan Kerjasama Badan Geologi
2018 Penyelidik Bumi PVMBG
KURSUS
1996 Course on Volcanology and Volcanic Sabo Engineering, Japan
PUBLIKASI
3 Buku, 4 Makalah Ilmiah, 5 Artikel Populer,
LAGU
2016 -2018 Menulis 34 Lagu Alam dan Religi
Penulis 131
Penulis
SOFYAN PRIMULYANA
DATA PRIBADI
Tempat, tanggal Lahir: Bandung, 7 Juli 1968
PEKERJAAN
Penyelidik Bumi Madya, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral
ALAMAT KANTOR
Jalan Diponegoro no. 57 Bandung 40122.
Telp. 022-7272606; Fax. 022-7202761
PENDIDIKAN
Pendidikan Formal
• (1996-2002) Teknik Geologi, STTMI
• (2008-2010) Magister Teknik Geologi, ITB
PENGALAMAN KERJA:
• (1989-2002) Survey Geokimia di Lapangan Panas bumi
• (2002-2005) Survey Inventarisasi Potensi Gunung api
• (2005 - sekarang) Survey Mitigasi Gunung api di Indonesia.