Anda di halaman 1dari 8

Tugas 10

VULKANOLOGI
Pengamatan Gunungapi

DISUSUN OLEH

Prieskha Indriyani
Gerard
270110120091
FTG D
Universitas Padjadjaran

TUGAS 10
PENGAMATAN GUNUNGAPI
GUNUNGAPI
Gunungapi atau disebut volcano dalam Bahasa Inggris berasal dari kisah di sebuah
pulau kecil di Laut Mediterania di lepas pantai Sicily. Berabad-abad lalu, orang-orang
yang tinggal di daerah ini percaya bahwa Vulcano adalah pandai besi dari pasukan
Vulcan, yang merupakan bagian dari Dewa-dewa Roma. Mereka berpikir bahwa lava
panas dan awan debu yang keluar dari gunungapi adalah akibat dari pekerjaan Vulcan
yang membuat peralatan bagi Jupiter dan Mars.
Namun studi lebih lanjut menegaskan bahwa gunungapi bukanlah merupakan bentuk
aktivitas supranatural, namun merupakan gejala alam yang dapat ditelaah secara ilmiah.
Definisi Gunung Api menurut :
1. Alzwar (1988)
- Timbulan di permukaan bumi, yang tersusun atas timbunan rempah gunungapi.
- Tempat dengan jenis dan kegiatan magma yang sedang berlangsung.
- Tempat keluarnya batuan leleran dan rempah lepas gunungapi dari dalam bumi.
2. Mac Donald (1972)
Tempat/bukaan berasalnya batuan pijar (gas) dan umumnya keduanya, keluar ke
permukaan bumi, sehingga bahan batuan tersebut berakumulasi membentuk bukit atau
gunung.
3. Bronto (2006)
Setiap proses alam yang berhubungan dengan kegiatan gunungapi, meliputi asal-usul
pembentukan magma di dalam bumi hingga kemunculannya di permukaan bumi dalam
berbagai bentuk dan kegiatannya. Setiap magma yang muncul ke permukaan bumi adalah
gunungapi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa gunungapi merupakan gunung yang berbeda dari
gunung lainnya, karena proses pembentukan yang bukan terjadi akibat perlipatan ataupun
pengangkatan dan erosi, melainkan akibat dari akumulasi produk erupsinya sendiri
(misalnya lava, bom, dan tephra).
Pada dasarnya gunungapi merupakan bukit kerucut ataupun gunung yang terbentuk di
sekeliling bukaan yang terhubung dengan sumber batuan leleh di bawah permukaan
bumi. Gunungapi juga merujuk pada bukaan atau celah yang mengalirkan batuan leleh
dan gas.
Gunungapi dapat dikategorikan berdasarkan aktivitasnya, menjadi :
1. Aktif
Yaitu gunung yang pernah meletus di masa lalu, dan masih mengalami erupsi material.
2. Dorman
Yaitu gunung yang pernah meletus di masa lalu, namun kini dalam keadaan tidak aktif,
tetapi masih mungkin mengalami erupsi.
3. Mati

Yaitu gunung yang pernah meletus di masa lalu, namun kini sudah tidak akan meletus
lagi.
BAHAYA GUNUNGAPI
Bahaya gunungapi adalah bahaya yang ditimbulkan oleh letusan/kegiatan yang
menyemburkan benda padat, cair dan gas serta campuran diantaranya yang mengancam
dan cenderung merusak serta menimbulkan korban jiwa dan kerugian harta dalam tatanan
kehidupan manusia.
Bahaya gunung api dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu bahaya secara
langsung (primer) dan bahaya secara tidak langsung (sekunder). Kedua bahaya tersebut
dapat menimbulkan kerugian harta benda dan jiwa manusia.
Bahaya langsung (primer) merupakan bahaya yang ditimbulkan secara langsung pada
saat terjadi letusan gunungapi. Hal ini disebabkan oleh tandaan material yang langsung
dihasilkan oleh letusan gunungapi seperti : aliran lava, atau leleran batu pijar, aliran
piroklastika atau awan panas, jatuhan piroklastika atau hujan abu lebat, lontaran material
pijar. Selain itu bahaya primer juga dapat ditimbulkan karena hembusan gas beracun.
Bahaya tidak langsung (sekunder) merupakan bahaya akibat letusan gunungapi yang
terjadi setelah atau selama letusan gunungapi tersebut terjadi. Bahaya tidak langsung
yang umumnya terjadi di Indonesia adalah bahaya lahar. Lahar merupakan massa berupa
campuran air dan material lepas berbagai ukuran hasil letupan gununguapi yang mengalir
menuruni lereng dan terendap kembali pada lokasi yang lebih rendah. Biasanya lahar
terbentuk karena adanya hujan lebat pada saat atau beberapa saat setelah letusan terjadi.
MITIGASI BENCANA
Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No 21 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana).
Bencana sendiri adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor
alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Bencana dapat berupa kebakaran, tsunami, gempa bumi, letusan
gunung api, banjir, longsor, badai tropis, dan lainnya. Kegiatan mitigasi bencana di
antaranya:
a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana;
b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
c. pengembangan budaya sadar bencana;
d. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana;
e. identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana;
f. pemantauan terhadap pengelolaan sumber daya alam;

g. pemantauan terhadap penggunaan teknologi tinggi;


h. pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup
i. kegiatan mitigasi bencana lainnya, misalnya dengan pemanfaatan teknologi.
Berdasarkan siklus waktunya, kegiatan penanganan bencana dapat dibagi 4 kategori:
1. kegiatan sebelum bencana terjadi (mitigasi)
2. kegiatan saat bencana terjadi (perlindungan dan evakuasi)
3. kegiatan tepat setelah bencana terjadi (pencarian dan penyelamatan)
4. kegiatan pasca bencana (pemulihan/penyembuhan dan perbaikan/rehabilitasi)
Bila dilihat dari definisi yang ada, mitigasi berarti kegiatan yang dilakukan sebelum
bencana terjadi, untuk mencegah atau mengurangi dampak resiko bencana. Kegiatan
yang bersifat preventif masuk kategori pertama (mitigasi). Sementara kuratif
(penyembuhan) masuk dalam kategori 4, kegiatan pasca bencana.
GUNUNGAPI, MITIGASI, DAN PENGAMATANNYA
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, gunungapi memiliki potensi bahaya, baik itu
yang berupa bahaya primer maupun bahaya sekunder. Akibat potensi bencana yang dapat
membahayakan kelangsungan hidup manusia, maka dilakukanlah mitigasi, dengan tujuan
untuk meminimalisir jumlah korban dan kerugian yang mungkin muncul apabila bencana
tersebut terjadi.
Maka dari itu tentunya menjadi suatu kebutuhan untuk melakukan tindakan preventif
maupun kuratif dalam menanggapi kebencanaan. Salah satu bentuk tindakan preventif
yaitu dengan pengenalan dan pemantauan risiko bencana agar tindakan perencanaan
partisipatif penanggulangan bencana serta penerapan upaya fisik, nonfisik, dan
pengaturan penanggulangan bencana dapat dilakukan. Hal ini dapat diwujudkan dengan
menetapkan sebuah pos pengamatan yang terus menerus memantau aktivitas gunungapi.
Mengingat Indonesia merupakan negara dengan 129 Gunung api aktif, pengamatan
gunung api merupakan pekerjaan yang mutlak dilakukan dalam upaya pengurangan risiko
bencana gunung api. Pemerintah kita melalui Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi (PVMBG) sudah membangun pos pengamatan di beberapa gunung api aktif
yang ada di seluruh Indonesia. Petugas di pos pengamatan bertugas untuk mengamati
aktifitas gunung api secara visual dan berdasarkan data pengukuran (seismisitas, thermal,
deformasi, densitas batuan, gas, dll). Dalam tulisan ini saya mencoba menjelaskan
beberapa hal yang perlu diamati dalam upaya mitigasi bencana erupsi gunung api. Pada
gambar 1 di bawah ini bisa dilihat beberapa jenis pengamatan gunung api. Semua
pengamatan ini perlu dilakukan karena ketika gunung api berhajat untuk erupsi maka
akan ada perubahan yang drastis terhadap semua komponen yang diamati. Karena
perubahan tersebut mengindikasi gunung api akan meletus maka pengamatan tersebut
mutlak dilakukan di setiap gunung api yang ada di Indonesia.
Dengan diadakannya pos pengamatan tersebut, maka segala aktivitas gunungapi, baik
itu dalam skala kecil maupun besar, dapat diketahui dengan jelas dan real time. Hal ini
akan membantu meminimalisir resiko bencana, yaitu dengan memberikan peringatan
kepada warga di sekitar lokasi apabila terdeteksi tanda ataupun gejala gunung akan
meletus. Karena proses pengamatan berjalan secara real time, maka akan dapat
memberikan waktu untuk tindakan evakuasi apabila memang diperlukan.

BERBAGAI JENIS PENGAMATAN


Berbagai
jenis
pengamatan
yang
perlu
dilakukan
antara
lain
tergambar pada
skema di atas,
dengan
penjelasan
sebagai
berikut :
1. Pengamatan Seismisitas
Pengamatan seismisitas
gunung
api
pertama
sekali diperkenalkan pada
akhir tahun 1970-an
melalui publikasi Aki
et.al pada tahun 1977. Ketika sebuah gunung api akan meletus maka akan ada aktifitas
seismisitas berupa tremor/getaran-getaran kecil/gempa vulkanik yang biasanya dirasakan
oleh masyarakat yang dekat dengan gunung api. Aktifitas seismisitas ini meningkat
karena peningkatan aktifitas dan tekanan di dapur magma. Peningkatan ini menyebabkan
terjadinya rekahan-rekahan yang menjadi sumber gempa vulkanik.
Sebelum pengamatan seismisitas ini bisa dilakukan, hal pertama yang harus dilakukan
adalah pemasangan seismometer di sekitar gunung api yang akan diamati. Untuk
pengamatan lebih akurat, harus dipasang lebih dari satu seismometer di setiap gunung
api. Di Indonesia, dari 129 gunung api aktif saat ini sudah dilakukan pengamatan
sebanyak 69 gunung api sisanya mudah-mudahan bisa disegera dilakukan pengamatan
(PVMBG). Pengamatan seismisitas akan menyelamatkan banyak jiwa seperti ketika
gunung api Pinatubo di Philipina erupsi pada tahun 1991.
Berdasarkan hasil pemantauan selama 30 tahun, seismic signatures di bawah ini
menggambarkan peristiwa umum yang menyebabkan getaran tanah di gunung api.
Keseluruhan pola dari seismic signatures ini terdapat perbedaan amplitudo, frekuensi, dan
durasi pada setiap rekaman. Debris flow memiliki seismic signatures dengan amplitudo
kecil, frekuensi sedang-tinggi, serta durasi lama. Distant earthquake memiliki seismic
signatures dengan amplitudo kecil, frekuensi lebih rendah dengan durasi yang lama. Pada
Tectonic Earthquake near mount memiliki amplitudo gelombang P yang kecil,frekuensi
sedang-tinggi, dan durasi sebentar. Sedangkan pada tectonic Earthquake beneath mount
memiliki amplitudo gelombang P yang lebih besar, frekuensi sedang-tinggi, dan durasi
sebentar. Rock falls dan Glacier-sliding memiliki pola tersendiri pada rekaman
seismiknya. Seismic signatures pada setiap gunung api dapat berbeda-beda karena

gunung api memiliki karakteristik magma dan morfologi yang berbeda. Seismic
signatures pada gunung api yang satu tipe pada umumnya akan sama pada peristiwa yang
sama.

2.
Pengamatan
Gas dan Thermal
Selain
peningkatan
seismisitas,
peningkatan gas dan
thermal (suhu) juga
terjadi
apabila
sebuah gunung api
akan
erupsi.
Beberapa gas keluar
ketika gunung api
mau dan sedang
erupsi antara lain;
Karbonmonoksida
(CO),
Karbondioksida (CO2), Hidrogen Sulfide (H2S), Sulfurdioksida (S02), dan Nitrogen
(NO2). Peningkatan suhu juga bisa teramati dari mulai mengeringnya sungai dan danau
serta perpohonan yang mulai mati di sekitar gunung api.
Pengukuran untuk gas dan thermal bisa dilakukan secara langsung, namun pengukuran
secara langsung sangat berisiko bagi pengukur. Solusi lain adalah dengan cara memasang
alat pengukuran gas dan thermal di lapangan fumaroel dan datanya terekam secara terusmenerus dan bisa dikirim secara automatis ke pusat pengamatan. Untuk saat ini
pengukuran kandungan gas juga sudah bisa dilakukan melalui pesawat terbang seperti
gambar (USGS) disamping tulisan ini.
3. Pengamatan Deformasi
Ketika gunung api akan meletus (erupsi) akan terjadi peningkatan tekanan di dapur
magma. Peningkatan tekanan di dalam dapur magma ini akan menyebabkan deformasi
(naik dan turun) permukaan gunung api. Deformasi ini bisa diamati menggunakan GPS,
Tiltmeter, dan beberapa peralatan lainnya. Pengamatan deformasi ini akan memberikan
informasi apakah gunung api sedang mengembang (mau2 meletus) atau sedang tidak
mengembang (tidur). Saat ini, beberapa gunung api di kepulauan Jawa dan Bali sudah
dilakukan pengamatan deformasi menggunakan GPS Geodetik L1 & L2.

Alat
untuk

mengukur deformasi, disebut sebagai reflector electro opting distance measurement


(EODM). Alat itu dapat mengukur jarak yang dipasang mengelilingi tubuh gunung
berapi. Sementara itu, tiltmeter merupakan alat untuk mengukur kemiringan tubuh
gunung. Agung menjelaskan cara kerja tiltmeter didasarkan pada sifat material sebuah
benda. Sebelum retak, material biasanya akan mengalami percepatan.
Ciri percepatan adalah grafik deformasinya makin tajam. Untuk tiltmeter yang
dipasang di sisi gunung yang diperkirakan men jadi arah erupsi, pengukuran di lakukan
dengan menggunakan waterpass yang diubah menjadi vol tase yang kemudian dikalibrasi
dengan ukuran sudut. Karena EODM dipasang mengelilingi badan gunung dan tiltmeter
dipasang di sisi erupsi gunung, maka apabila erupsi sudah terjadi, pemantauan deformasi
sudah tidak bisa dilakukan.
Pengamatan deformasi (perubahan horizontal dan vertikal) terhadap gunung api
dilakukan secara berkala. Gunung api yang diamati yaitu Gunung api Guntur,
Papandayan, Galunggung, Kelud, Bromo, Semeru, Ijen, Batur dan lain-lain. Untuk
Gunung api yang berada di kawasan pulau Sumatra banyak yang belum teramati
deformasinya.
4. Pengamatan Graviti dan Geomagnet
Pengamatan berat jenis (graviti) merupakan salah satu pengamatan menggunakan
metode geofisika. Ketika gunung api mau meletus maka akan terjadi perubahan densitas
(berat jenis) di bawah permukaan karena adanya magma yang menuju ke permukaan
tanah. Untuk mengetahui perubahan magma bawah permukaan ini perlu dilakukan
pengukuran metode graviti secara berkala pada sebuah gunung api. Permodelan hasil
pengukuran graviti akan bisa memprediksi volume dapur magma suatu gunung api.
Pengamatan Geomagnet dilakukan untuk mengamati nilai intensitas magnet di atas
gunung api, apabila magma mulai naik ke atas permukaan maka nilai intensitas magnet di
atas gunung api akan rendah karena pengaruh panas magma. Magma yang naik ke atas
permukaan akan memiliki nilai susceptibilitas yang rendah dibandingkan dengan batuan
vulkanik pembentuk gunung api. Hasil akhir dari pengukuran Geomagnet juga untuk
memodelkan volume daripada dapur magma.

5. Pengamatan Remote Sensing


Salah satu tujuan utama penginderaan jauh dalam bidang pemetaan adalah untuk
mengetahui atau mendapatkan gambar suatu obyek tanpa harus mendatangi obyek
tersebut secara langsung. Metode ini terkait dengan sensor yang bisa mengamati suatu
obyek, yang analoginya adalah kamera foto. Jika kamera atau sensor ini terletak di
pesawat udara, maka hasilnya adalah foto udara; jika terletak di satelit atau pesawat luar
angkasa, maka hasilnya adalah citra satelit. Sensor merekam semua pantulan radiasi yang
dipancarkan oleh obyek di permukaan bumi. Radiasi yang umum adalah dari pantulan
sinar matahari (gelombang cahaya) yang direkam oleh sensor dan diterjemahkan dalam
warna yang berbeda tergantung panjang gelombangnya. Metode ini dikelompokkan
menjadi penginderaan jauh pasif, karena sensor hanya menerima pantulan panjang
gelombang cahaya. Kelemahannya adalah sangat tergantung kepada sinar matahari,
artinya tidak berfungsi di malam hari, dan tidak dapat menembus awan.
Aplikasi remote sensing bisa digunakan dalam pemetaan topografi, pembuatan model
permukaan (digital elevation model), pemetaan arus laut, pekerjaan hidrologi, aktivitas
terkait dengan seismik, kegiatan terkait dengan deformasi permukaan (penurunan atau
kenaikan permukaan tanah), gunung api, perubahan daerah pesisir serta aplikasi
kehutanan.
DAFTAR PUSTAKA
http://adnorthya.blogspot.com/2012/04/bahaya-gunungapi.html
http://www.rcweb.0fees.net/index.php?p=1_27_Pengertian-Mitigasi-Bencana
http://www.ibnurusydy.com/pengamatan-gunungapi/
http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=7232
http://earthmax.wordpress.com/2010/02/21/pemantauan-seismisitas-gunung-api/
http://geodesy.gd.itb.ac.id/?page_id=286

Anda mungkin juga menyukai