Anda di halaman 1dari 9

BAYU RAHMAT RAMADHAN / F 112 21 036

MOH FERRY / F 112 21 038


MOH ZAKI / F 112 21 035
Erupsi Gunung Berapi
1. Back Ground
Indonesia berada di jalur gempa teraktif di dunia karena dikelilingi oleh Cincin
Api Pasifik dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni, Indo-Australia dari
sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. Kondisi geografis ini di satu
sisi menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang rawan bencana letusan gunung api,
gempa bumi, dan tsunami namun di sisi lain menjadikan Indonesia sebagai wilayah
subur dan kaya secara hayati. Debu akibat letusan gunung berapi menyuburkan tanah
sehingga masyarakat tetap banyak yang tinggal di area sekitar gunung berapi. Jalur
Cincin Api juga memberikan potensi energi tenaga panas bumi yang dapat digunakan
sebagai sumber tenaga alternatif.
Dari pernyataan diatas dapat kita Tarik kseimpulan Indonesia adalah negara
yang ramah oleh letusan gunung berapi sehingga dalam paper ini akan di bahas
mengenai ap aitu erupsi gunung berapi dan bagaimana mitigasi yang harus kita lakukan
untuk menghindari korban jiwa sehingga kitab isa hidup tentram Bersama bencana alam
yang tidak bisa dihindari ini.
Erupsi adalah Fenomena Keluarnya Magma dari dalam bumi. Dirangkum dari
laman resmi Pendidikan Mitigasi Bencana (P2MB) Universitas Pendidikan Indonesia,
Erupsi dapat dibedakan menjadi erupsi letusan atau eksplosive eruption dan erupsi non
letusan atau non eksplosive eruption yang pada dasarnya sama tergantung tekanan yang
diberikan gunung.
Jenis erupsi yang terjadi ditentukan oleh banyak hal seperti kekentalan magma,
kandungan gas di dalam magma, pengaruh air tanah, dan kedalaman dapur magma
(magma chamber).
Proses keluarnya magma pada erupsi letusan adalah disertai tekanan yang
sangat kuat sehingga melontarkan material padat yang berasal dari magma maupun
tubuh gunung api ke angkasa. Pada erupsi non-letusan, magma keluar dalam bentuk
lelehan lava atau pancuran lava (lava fountain), gas atau uap air.
1.1. Jenis dan tipe Erupsi Gunung Berapi Utama di indonesia
a. Tipe Vulkanian
Letusan Jenis ini merupakan tipe erupsi yang memiliki dampak kerusakan yang
cukup besar. Karakteristik erupsi ini adalah tekanan gas yang besar, akibat
terjadinya sumbatan di saluran vulkanik dalam kubah magma yang memicu
lontaran material vulkanik dari dalam gunung, biasanya erupsi ini disertai dengan
suara dentuman yang cukup keras.
b. Tipe Hawaiian
Erupsi tipe ini memiliki ciri khas berupa lava pijar yang menyembur layaknya
air mancur dan diikuti dengan terbentuknya aliran lelehan lava di antara celah-celah
gunung. Erupsi jenis ini terjadi secara berkala dalam kurun waktu yang relatif
panjang. Penamaan erupsi tipe Hawaiian ini terinspirasi dari karakteristik beberapa
gunung di kepulauan Hawaii yang memiliki tipe sejinis. Diantaranya adalah
Gunung Mauna Loa, Mauna Kea dan Kilauea.
c. Letusan Tipe Plinian
Letusan gunung berapi yang paling berbahaya dari semua jenis yang ada adalah
letusan tipe Plinian. Letusan memiliki daya rusak yang sangat dasyat, bahkan dapat
melenyapkan seluruh badan gunung seperti yang terjadi pada Gunung Krakatau
(1883) dan Gunung St. Helen (1980). Akibat sejumlah besar energi yang
dilepaskan maka material yang dikeluarkannya pun dapat terlepar sejauh hingga
50 km. Selain itu, letusan tipe ini juga memiliki ciri khusus, yaitu terbentuknya
kolom erupsi yang berbentuk menyerupai jamur atau kembang kol (mirip dengan
ledakan nuklir).
d. Tipe Stramboli
Merupakan jenis letusan yang mempunyai interval waktu yang hampir sama di
setiap letusannya sehingga letusan dapat terjadi setiap beberapa kali dalam interval
waktu yang sama. Material-material yang keluar akibat letusan ini berupa bom,
lipari maupun abu vulkanik.

Berikut adalah gambar yang menunjukan tipe erupsi gunung berapi yang dikutip
dari media BPMPK

Seluruh tipe diatas adalah tipe letusan utama yang sudah terjadi di Indonesia,
bahkan dulu pembentukan danau toba diduga terjadi akibat letusan tipe Plinian pada
gunung api purba yang dikutip dari laman kemenparekraf.com. bahkan Terjadi erupsi
Gunung Semeru pada hari Rabu, 08 Desember 2021, pukul 00:01 WIB. dengan tinggi
kolom abu teramati ± 500 m di atas puncak (± 4176 m di atas permukaan laut). Kolom
abu teramati berwarna kelabu dengan intensitas tebal ke arah utara. Erupsi ini terekam
di seismograf dengan amplitudo maksimum 16 mm dan durasi 233 detik dikutip dari
magma.esdm.go.id. letusan

Gambar 1.1 Penjelasan Tipe Erupsi berdasarkan tipe Lava dan daya
Pembangun dikutip dari BPMPK
2. Pembahasan Mitigasi Sesuai Peraturan Perundang undangan di Indonesia
Dikutip dari laman Mitigasi Bencana Gunung Api Badan Geologi Kementerian
Energi dan Sumber daya Manusia tentang mitigasi gununng berapi. Pemerintah
Menggolongkan mitigasi sesuai UU No 24 2007 yaitu penyelenggaraan
penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana meliputi: (a)
kesiapsiagaan (b) peringatan dini dan (c) mitigasi bencana.
Seluruh system kesiap siagaan di referensikan dari UU No 24 tahun 2007 Pasal
44 Huruf B dan Pasal 44 Huruf C mengenai peringatan dini dan pengurangan resiko
bencana. Berikut bagan alir system berikut.

Gambar 2.1 Diagram Alir data dan informasi status aktivitas Gunung Api
Dikutip dari kementerian ESDM badan Geologi Indonesia
2.1.Peringatan Dini
Sistem ini berfungsi untuk menyampaikan informasi terkini status aktivitas Merapi dan
tindakan-tindakan yang harus diambil oleh berbagai pihak dan terutama oleh
masyarakat yang terancam bahaya. Ada berbagai bentuk peringatan yang dapat
disampaikan. Peta Kawasan Rawan Bencana sebagai contoh adalah bentuk peringatan
dini yang bersifat lunak. Peta ini memuat zonasi level kerawanan sehingga masyarakat
diingatkan akan bahaya dalam lingkup ruang dan waktu yang dapat menimpa mereka
di dalam kawasan Merapi. Informasi yang disampaikan dalam sistem peringatan dini
terutama adalah tingkat ancaman bahaya atau status kegiatan vulkanik Merapi serta
langkah-langkah yang harus diambil. Bentuk peringatan dini tergantung pada sifat
ancaman serta kecepatan ancaman Merapi. Apabila gejala ancaman terdeteksi dengan
baik, peringatan dini dapat disampaikan secara bertahap, sesuai dengan tingkat
aktivitasnya. Tetapi apabila ancaman bahaya berkembang secara cepat, peringatan dini
langsung menggunakan perangkat keras berupa sirine sebagai perintah pengungsian.
Ada 4 tingkat peringatan dini untuk mitigasi bencana letusan Merapi yaitu Aktif
Normal, Waspada, Siaga dan Awas.
(1) Aktif Normal : Aktivitas Merapi berdasarkan data pengamatan instrumental dan
visual tidak menunjukkan adanya gejala yang menuju pada kejadian letusan. (2)
Waspada : Aktivitas Merapi berdasarkan data pengamatan instrumental dan visual
menunjukkan peningkatan kegiatan di atas aktif normal. Pada tingkat waspada,
peningkatan aktivitas tidak selalu diikuti aktivitas lanjut yang mengarah pada letusan
(erupsi), tetapi bisa kembali ke keadaan normal. Pada tingkat Waspada mulai dilakukan
penyuluhan di desa-desa yang berada di kawasan rawan bencana Merapi.(3) Siaga:
Peningkatan aktivitas Merapi terlihat semakin jelas, baik secara instrumental maupun
visual, sehingga berdasarkan evaluasi dapat disimpulkan bahwa aktivitas dapat diikuti
oleh letusan. Dalam kondisi Siaga, penyuluhan dilakukan secara lebih intensif.
Sasarannya adalah penduduk yang tinggal di kawasan rawan bencana, aparat di jajaran
SATLAK PB dan LSM serta para relawan. Disamping itu masyarakat yang tinggal di
kawasan rawan bencana sudah siap jika diungsikan sewaktu-waktu. (4) Awas : Analisis
dan evaluasi data, secara instrumental dan atau visual cenderung menunjukkan bahwa
kegiatan Merapi menuju pada atau sedang memasuki fase letusan utama. Pada kondisi
Awas, masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana atau diperkirakan akan
terlanda awan panas yang akan terjadi sudah diungsikan menjauh dari daerah ancaman
bahaya primer awan panas.
2.2. Sirine Peringatan dini dan Komunikasi Radio
Peringatan dini sirine adalah suatu sistem perangkat keras yang berfungsi hanya
pada keadaan sangat darurat apabila peringatan dini bertahap tidak mungkin dilakukan.
Sirine dipasang di lereng Merapi yang dapat menjangkau kampung-kampung yang
paling rawan dan sistem ini dikelola bersama antara pemerintah Kabupaten
bersangkutan dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dalam hal ini
adalah BPPTK. Sarana komunikasi radio bergerak juga termasuk dalam sistem
penyebaran informasi dan peringatan dini di Merapi. Komunikasi berkaitan dengan
kondisi terakhir Merapi bisa dilakukan antara para pengamat gunungapi dengan kantor
BPPTK, instansi terkait, aparat desa, SAR dan lembaga swadaya masyarakat khususnya
yang tergabung dalam Forum Merapi.
2.2.Penyebaran Informasi
Penanggulangan bencana Merapi akan berhasil dengan baik apabila dilakukan
secara terpadu antara pemantauan Merapi yang menghasilkan data yang akurat secara
visual dan instrumental, peralatan yang modern, sistem peringatan dini, peralatan
komunikasi yang bagus dan didukung oleh pemahaman yang benar dan kesadaran yang
kuat dari masyarakat untuk melakukan penyelamatan diri. Pembelajaran kepada
masyarakat yang tinggal dan bekerja di daerah rawan bencana Merapi merupakan tugas
yang secara terus menerus harus dilakukan sesuai dengan dinamika perkembangan arah
dan besarnya ancaman yang bakal terjadi. Karena wilayah rawan bencana Merapi
berada pada teritorial pemerintah daerah maka kegiatan penyebaran informasi langsung
kepada masyarakat dilaksanakan atas kerjasama BPPTK dan instansi terkait. Sosialisasi
dilakukan tidak hanya dilakukan pada saat Merapi dalam keadaan status aktivitas yang
membahayakan, akan tetapi dilakukan baik dalam status aktif normal maupun pada
status siaga. Namun demikian pada keadaan aktivitas Merapi meningkat seperti ketika
aktivitas Merapi dinyatakan pada status Waspada dan atau Siaga menjelang terjadinya
krisis Merapi sosialisasi dilakukan lebih sering.Sosialisasi status aktivitas dan ancaman
bahaya Merapi pada intinya bertujuan untuk menyampaikan, menjelaskan kondisi
vulkanis Merapi untuk menjaga kesiapan segenap aparat dan masyarakat dalam
menghadapi peningkatan atau penurunan status aktivitas Gunung Merapi. Sasarannya
antara lain adalah menyampaikan kondisi aktivitas Merapi terkini, menyampaikan
makna dari status aktivitas yaitu Awas, Siaga, Waspada dan Normal, menjelaskan jenis-
jenis ancaman bahaya yang ada yaitu awan panas dan lahar hujan dan menyampaikan
tindakan-tindakan yang perlu dilakukan apabila status naik atau turun.
2.3. Forum Merapi
Penanggulangan bencana memerlukan keterlibatan semua pihak sesuai dengan
kompetensinya masing-masing. Walaupun erupsi Merapi tergolong berskala kecil
namun melihat dekat dan padatnya penduduk dari ancaman bahaya awanpanas maka
potensi bencana Merapi tetap tinggi. Dengan tujuan menjembatani komunikasi dan
pelaksanaan kegiatan bersama guna mewujudkan pengelolaan Gunung Merapi secara
menyeluruh pada aspek ancaman, daya dukung lingkungan dan sosial-budaya
masyarakatnya maka pada 17 Desember 2007 di Yogyakarta, Bupati Klaten, Bupati
Boyolali, Bupati Magelang, Provinsi Jawa Tengah dan Bupati Sleman, Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta serta Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana geologi
(PVMBG) sepakat bekerja sama dalam "Forum Merapi" dalam rangka pengurangan
risiko Merapi. Adapun manfaat yang ingin dicapai adalah terwujudnya penguatan
kapasitas dan kinerja pemerintah kabupaten sebagai pemegang tanggungjawab utama
pengurangan risiko bencana. Terjalin kerjasama secara sinergi di lintas kabupaten dan
pelaku dalam pengelolaan ancaman, daya dukung lingkungan dan sosial-budaya
masyarakat lereng Gunung Merapi. Forum Merapi merupakan wadah bersama untuk
menyatukan kekuatan, menyelaraskan program dan menjembatani komunikasi antar
pelaku dalam kegiatan bersama untuk aksi pengurangan risiko bencana letusan G.
Merapi serta menjaga kesinambungan daya dukung lingkungan bagi masyarakat
sekitarnya. Perjanjian Kerja Sama "Forum Merapi" telah disepakati pada 19 Desember
2008 di Pos Pengamatan Babadan, Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten
Magelang. Kesepakatan kerjasama "Forum Merapi" berdasarkan pertimbangan
kesadaran pentingnya kerja sama untuk mengurangi risiko bencana sebagaimana
dirintis sejak 26 Mei 2006 di kantor Badan Koordinator II Magelang oleh pemerintah
Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Boyolali,
Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sleman, Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, Paguyuban Siaga Gunung (PASAG) Merapi, Pusat Studi
Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta, serta
didukung oleh Oxfam Great Bratain (GB), Deutsche Gesselschaft for Technische
Zusammennabeit (GTZ), United Nations Children's Fund (UNICEF), dan United nation
Development Programme (UNDP).
2.4.Wajib Latih Penanggulangan Bencana
Wajib Latih Penanggulangan bencana termasuk di dalamnya adalah upaya
mengurangi resiko bencana yang meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiap-
siagaan, penyelamatan dan pemulihan. Kegiatan penanggulangan bencana merupakan
satu kesatuan aktivitas yang melibatkan semua komponen masyarakat dan aparatur
melalui koordinasi dari tingkat lokal sampai nasional. Peningkatan kapasitas
kelembagaan maupun kapasitas masyarakat merupakan hal mutlak penting demi
mengurangi resiko bencana. Dalam hal peningkatan kapasitas kelembagaan formal
pusat dan daerah sudah tersedia UU no 24 Tahun 2007 namun peningkatan kapasitas
masyarakat untuk mitigasi bencana belum terakomodai secara efektif. Konsep wajib
latih muncul sebagai alternatif dalam rangka pengurangan resiko bencana melalui
rekayasa sosial peningkatan kapasitas masyarakat di kawasan rawan bencana. Wajib
latih adalah program berkesinambungan yang diharapkan dapat membentuk budaya
siaga bencana pada masyarakat. Tujuan wajib latih adalah meningkatkan pengetahuan
masyarakat akan potensi ancaman bencana, menciptakan dan meningkatkan kesadaran
akan resiko bencana. Sasaran wajib latih adalah penduduk yang berada di kawasan
rawan bencana berusia 17-50 tahun atau sudah menikah, sehat jasmani dan rohani dan
mendapat ijin keluarga. Penyelenggaraan wajib latih dilakukan oleh instansi
pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkompeten di bidangnya dan
dilakukan atas sepengetahuan pemerintah setempat.

3. Perbandingan Mitigasi Bencana diluar negeri


Mengutip dari Natural Hazzard and Risk Reduction in Hawai’I dari james P
tentang bagaimana penanganan erupsi gunung berapi di hawai. Didapatkan bahwa
penanganan bencana disana lebih terintegrasi di bandingkan di Indonesia, untuk
penanganannnya sendiri dilakukan riset mendalam per gunung api atau perkasus. Kita
akan mengambil contoh penanggulangan bencana di hawai.
Penanganan bencana secara lebih spesifik telah dilakukan di hawai. Mulai dari
pembuatan peta rawan bencana erupsi sendiri seperti dapat dilihat dibawah :

3.1 Gambar Peta Klasifikikasi Lava cair dipulau Hawai

Dari gambar diatas dapat disimpulkan bagaimana lava akan mengalir jika terjadi
erupsi gunung api yang besar. Peta tersebut juga digunakan untuk pemetaan persebaran
penduduk yang mana pada zona merah dan jingga tidak boleh ada property privat.
di hawai juga sudah di sediakan shelter shelter pemerintah, serta jalur evakuasi.
Penanganan lava juga dapat dihentikan dengan system keairan yang mumpuni di hawai
dengan banyaknya keran keran air yang siap untuk digunakan Ketika di perlukan. Penaganan
juga kadang menggunakan helicopter.

Belum lagi dengan kemajuan sirine peringatan amerika yang sangat maju, system
peringatan dini sudah di umkan bahkan jauh jauh hari sebelum erupsi terjadi.

4. Kesimpulan
Dari beberapa kejadian yang telah terjadi, banyak factor yang membuat disaster risk
management di Indonesia dikatakan belum mumpuni. Mulai dari factor manusia atau
masyarakat dan system mitigasi yang belum diperhatikan sepenuhnya.
Ketika peta rawan bencana di buat kadang masyarakat sendiri tidak mematuhi zona
zona yang diberikan dan bahaya dibalik itu. Selain itu menurut saya masyarakat yang kurang
melek teknologi dan kepedulian pada peringatan pemerintah berkontribusi besar pada
bagaimana disaster risk management bisa bekerja di Indonesia.
Factor yang kedua adalah kurangnya sosialisasi pemerintah serta teknologi yang
belum mumpuni. Sosialisasi yang saya maksud adalah ketegasan pemerintah dalam
menyampaikan bagaimana pentingnya mitigasi bencana dan bagaimana menyampaikan
bencana dapat terjadi, ini dibuktikan pada masyarakat yang masih bandel untuk membangun
di zona merah. Selain itu juga teknologi dan pengembangan kota atau desa yang semraut.
Yaitu bagaimana riset dilakukan seharusnya mencontoh mitigasi bencana luar sesuai kasus
yang terjadi bukan di generalisir, sehingga didapatkan pemahaman mitigasi bencana sectoral.

Dengan memperbaiki itu semua diharapkan dapat meningkatkan mitigasi bencana di


Indonesia.
Daftar Pustaka
By James P. Kauahikaua1 and Robert I. Tilling1 “ Natural Hazards and Risk Reduction in
Hawai‘”
Kemenparekraf.Go.id
Badan Geologi ESDM Indonesia “ Mitigasi Bencana Gunung Api”
Bagus Padana “ Tipe Tipe Gunung API”
Magma Indonesia “ Gunung Api Semeru”

Anda mungkin juga menyukai