Anda di halaman 1dari 20

EARLY WARNING SYSTEM PADA LAHAR DINGIN MERAPI

Muhammad Yasser Arafat


Manajemen Rekayasa Kegempaan, Universitas Islam Indonesia

1. LATAR BELAKANG
Gunung merapi merupakan salah satu gunung berapi yang masih aktif di
wilayah Indonesia. Bukan hanya itu, gunung merapi juga merupakan gunung
paling aktif dengan siklus letusan selama empat tahun sekali. Letusan tersebut
dapat memberikan dampak besar terhadap penduduk sekitar. 30 km dari puncak
merapi terdapat dua kota besar yaitu Magelang dan Yogyakarta. Gunung ini
terbentuk karena aktivitas di zona subduksi lempeng Indo-Australia.
Dampak langsung yang ditimbulkan oleh letusan merapi adalah awan panas
yang berasal dari lontaran larva dan juga hujan debu vulkanik yang mengandung
sulfur dan silika. Dampak tidak langsung dari letusan merapi yang dimana banyak
memakan kerugian bagi penduduk sekitar adalah banjir lahar dingin. Banjir lahar
dingin berasal dari tumpukan material lontaran merapi berupa pasir dan bebatuan
yang numpuk pada sungai selanjutnya dibawah oleh hujan yang menghasilkan
aliran debir sehingga berdampak buruk bagi masyarakat yang berada pada
bantaran sungai.
Lahar dingin bisa dikatakan bencana sekunder dari gunung letusan atau
erupsi Merapi. Adapun kawasan rawan bencana banjir lahar dingin yaitu kali
Opak, kali Putih, kali Gendol, kali Code, kali Boyong, kali Krasak dan lain-lain.
Daerah kawasan tersebut meruapakan daerah titik pusat pemerintah terhadap
bencana banjir lahar dingin.
Berbagai tindakan yang dilakukan pemerintah dalam hal pengurangan
korban berupa material dan jiwa terhadap bencana lahar dingin. Tindakan tersbut
berupa Preparadness, Emergency Respon, Prevention, Mitigation dan Early
Warning System. Dalam hal ini berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah
dan juga LSM dalam penanganan bencana sudah semakin baik setiap tahunnya
terutama pada tindakan Early Warning System yang akan dibahas selanjutnya.
Semua upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan LSM belum bisa
dikatakan dapat berjalan mulus. Hal tersebut dikarenakan adanya beberapa
kendala-kendala yang didapatkan dalam merealisasikan semua upaya dalam

1
penanganan banjir lahar dingin. Kendala-kendala tersebut dapat berasal dari
kondisi wilayah, SDM serta masyarakat bantaran sungai sendiri yang bisa saja
sebagai penghalang dalam penanganan bencana lahar dingin atas dasar ketidak
tahuan masyarakat terhadap penangan bencana. Didalam Essay ini akan banyak
membahas tentang bagaimana dari ews banjir lahar dingin, persiapan dilapangan,
tanggapan masyarakat sampai pada penilaian indikator capaian dari ews banjir
lahar dingin.

Informasi merupakan suatu bentuk penyampaian berita dari suatu keadaan


yang sedang terjadi, baik itu berita baik maupun berita kurang baik. Seperti halnya
dalam informasi kebencanaan, didalamnya disampaikan informasi-informasi yang
penting kepada masyarakat mengenai berbagai hal tentang bencana yang terjadi di
sekitar mereka. Semisal terjadinya banjir lahar dingin di daerah aliran material
pasca erupsi Merapi. Maka masyarakat berhak menerima informasi berupa
keadaan yang sedang terjadi di lapangan, dalam hal ini di daerah aliran sekitar
pemukiman mereka. Informasi ini lah yang akan menunjang pengurangan resiko
akibat bencana yang terjadi. Hal ini dikarenakan masyarakat dapat mengambil
tindakan dengan adanya informasi yang telah diberikan tersebut.

Penyampaian informasi yang baik dan benar juga perlu dipikirkan dengan
sebaik-baiknya. Hal ini berhubungan dengan distribusi informasi kepada
masyarakat. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah perlu ditingkatkannya
cara penyampain informasi yang cepat dan tepat kepada masyarakat. Sehingga
sistem informasi kebencanaan yang sudah ada perlu ditingkatkan, apabila belum
ada maka perlu diterapkan sistem informasi yang bisa menunjang tindakan dini
pada penanggulangan bencana yang terjadi.Informasi berperan sangat penting
dalam pengurangan risiko bencana baik tahap sebelum,saat, maupun setelah
kejadia bencana. Sebagai warga yang hidup didekat gunung teraktif di dunia,
warga lereng gunung merapi membutuhkan informasi yang cepat,akurat dan tepat
sasaran untuk mendukung kesiapsiagaan.

Pasca erupsi Gunung Merapi 2010 beberapa kawasan di sekitaran daerah


aliran material erupsi belum bisa merasa tenang, seperti halnya di daerah aliran
sungai Gendol. Dikarenakan material yang banyak menjadi berkah oleh banyak

2
orang ini menjadi sangat berbahaya ketika dibawa oleh aliran air akibat hujan
deras pada musim penghujan. Hal itu akan menjadi masalah ketika debit air yang
mengalir di aliran penuh material itu melebihi debit rencana yang telah dirancang
untuk melewati daerah aliran yang ada. Material yang terbawa air banjir inilah
yang akan menjadi aliran debris berkekuatan tinggi. Di dalamnya terdapat
material batu, pasir, bahkan pepohonan yang bercampur dengan debit air yang
tinggi. Sehingga bangunan disekitar aliran yang meluap akan terhantam oleh
aliran debris lahar dingin yang ada. Bangunan dan jembatan pun akan hancur
ketika dilewati aliran debris tersebut.

Dengan adanya upaya peningkatan sistem informasi kebencanaan yang telah


ada di daerah aliran banjir lahar dingin khususnya aliran sungai Gendol ini,
diharapkan masyarakat yang ada akan mampu bekerja sama dengan instansi
terkait dan sesama warga didalam penyampaian informasi yang baik, cepat dan
tepat sasaran. Sehingga masyarakat dapat mendapatkan peringatan dini dari
informasi itu lebih cepat, tindakan dalam menanggapinya pun lebih cepat. Pada
akhirnya resiko yang ditimbulkan akan lebih berkurang dibanding kejadian yang
telah lalu.

2. LETUSAN GUNUNG MERAPI


2.1 Pengenalan Gunung Merapi
Sudah dibahas sebelumnya bahwa Gunung Merapi merupakan gunung yang
terletak di tengah-tengah Jawa Tengah dan juga merupakan salah satu gunung
yang aktif sampai saat ini. Gunung Merapi tercatat ketinggiannya adalah 2968 m
diatas permukaan laut tahun 2006. Gunung Merapi adalah gunung termuda dalam
rangkaian gunung berapi yang mengarah ke selatan dari Gunung Ungaran.
Gunung ini terbentuk karena aktivitas di zona subduksi Lempeng Indo-
Australia yang bergerak ke bawah Lempeng Eurasia menyebabkan munculnya
aktivitas vulkanik di sepanjang bagian tengah Pulau Jawa. Puncak yang sekarang
ini tidak ditumbuhi vegetasi karena aktivitas vulkanik tinggi. Puncak ini tumbuh
di sisi barat daya puncak Gunung Batulawang yang lebih tua.
Proses pembentukan Gunung Merapi telah dipelajari dan dipublikasi sejak
1989 dan seterusnya. Berthomier, seorang sarjana Prancis, membagi

3
perkembangan Merapi dalam empat tahap. Tahap pertama adalah Pra-Merapi
(sampai 400.000 tahun yang lalu), yaitu Gunung Bibi yang bagiannya masih dapat
dilihat di sisi timur puncak Merapi. Tahap Merapi Tua terjadi ketika Merapi mulai
terbentuk namun belum berbentuk kerucut (60.000 - 8000 tahun lalu).
Sisa-sisa tahap ini adalah Bukit Turgo dan Bukit Plawangan di bagian
selatan, yang terbentuk dari lava basaltik. Selanjutnya adalah Merapi Pertengahan
(8000 - 2000 tahun lalu), ditandai dengan terbentuknya puncak-puncak tinggi,
seperti Bukit Gajahmungkur dan Batulawang, yang tersusun dari lava andesit.
Proses pembentukan pada masa ini ditandai dengan aliran lava, breksiasi lava, dan
awan panas.
Aktivitas Merapi telah bersifat letusan efusif (lelehan) dan eksplosif.
Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan runtuhan material ke arah barat
yang meninggalkan morfologi tapal kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km
dengan beberapa bukit di lereng barat. Kawah Pasarbubar (atau Pasarbubrah)
diperkirakan terbentuk pada masa ini. Puncak Merapi yang sekarang, Puncak
Anyar, baru mulai terbentuk sekitar 2000 tahun yang lalu. Dalam
perkembangannya, diketahui terjadi beberapa kali letusan eksplosif dengan VEI 4
berdasarkan pengamatan lapisan tefra.
Karakteristik letusan sejak 1953 adalah desakan lava ke puncak kawah
disertai dengan keruntuhan kubah lava secara periodik dan pembentukan awan
panas (nuée ardente) yang dapat meluncur di lereng gunung atau vertikal ke atas.
Letusan tipe Merapi ini secara umum tidak mengeluarkan suara ledakan tetapi
desisan. Kubah puncak yang ada sampai 2010 adalah hasil proses yang
berlangsung sejak letusan gas 1969.
Pakar geologi pada tahun 2006 mendeteksi adanya ruang raksasa di bawah
Merapi berisi material seperti lumpur yang secara "signifikan menghambat
gelombang getaran gempa bumi". Para ilmuwan memperkirakan material itu
adalah magma. Kantung magma ini merupakan bagian dari formasi yang
terbentuk akibat menghunjamnya Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng
Eurasia.

4
Gambar 2.1 Puncak Merapi pada tahun 1930
Source: Wikipedia, 2013

Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 10-
15 tahun sekali. Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar tercatat pada
tahun 1006 (dugaan), 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan pada tahun 1006
membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu, berdasarkan
pengamatan timbunan debu vulkanik. Ahli geologi Belanda, van Bemmelen,
berteori bahwa letusan tersebut menyebabkan pusat Kerajaan Medang (Mataram
Kuno) harus berpindah ke Jawa Timur.
Letusan pada tahun 1872 dianggap sebagai letusan terkuat dalam catatan
geologi modern dengan skala VEI mencapai 3 sampai 4. Letusan terbaru, 2010,
diperkirakan juga memiliki kekuatan yang mendekati atau sama. Letusan tahun
1930, yang menghancurkan tiga belas desa dan menewaskan 1400 orang,
merupakan letusan dengan catatan korban terbesar hingga sekarang.
Letusan bulan November 1994 menyebabkan luncuran awan panas ke
bawah hingga menjangkau beberapa desa dan memakan korban 60 jiwa manusia.
Letusan 19 Juli 1998 cukup besar namun mengarah ke atas sehingga tidak
memakan korban jiwa. Catatan letusan terakhir gunung ini adalah pada tahun
2001-2003 berupa aktivitas tinggi yang berlangsung terus-menerus.
Pada tahun 2006 Gunung Merapi kembali beraktivitas tinggi dan sempat
menelan dua nyawa sukarelawan di kawasan Kaliadem karena terkena terjangan
awan panas. Rangkaian letusan pada bulan Oktober dan November 2010
dievaluasi sebagai yang terbesar sejak letusan 1872 dan memakan korban nyawa
273 orang (per 17 November 2010), meskipun telah diberlakukan pengamatan

5
yang intensif dan persiapan manajemen pengungsian. Letusan 2010 juga teramati
sebagai penyimpangan dari letusan "tipe Merapi" karena bersifat eksplosif disertai
suara ledakan dan gemuruh yang terdengar hingga jarak 20-30 km.

2.2 Dampak Erupsi Gunung Merapi

Sangat besar dampak yang ditimbulkan oleh letusan gunung Merapi baik
langsung maupun tidak langsung. Berbagai dampak yang ditimbulkan seperti
dampak sosial, lingkungan, kesehatan, materi dan lain-lain. Adapun dampak dari
letusan atau erupsi Gunung merapi sebagai berikut:

1. Dampak Sosial : Erupsi merapi menimbulkan banyak korban jiwa.


Bencana alam ini telah merenggut kurang lebih 206 jiwa hingga tanggal
12 November 2010. Jumlah ini masih mungkin bertambah karena
adanya korban tewas yang masih belum ditemukan. Sedangkan jumlah
pengungsi yang berasal dari D.I.Y dan Jawa Tengah diperkirakan sekitar
384.136 orang yang menyebar 635 titik pengungsian. Selain itu, para
korban yang dirawat ada sekitar 486 pasien yang dirawat di beberapa RS
di Klaten, Magelang, Boyolali, Sleman, dan Kota Magelang ( data per
tanggal 12 November 2010). Selain itu, erupsi merapi mengakibatkan
sejumlah warga kehilangan ternak, rumah, pekerjaan sehari – hari serta
harta benda. Banyak juga para korban yang menjadi depresi. Menurut
laporan, ada sekitar lima ratusan orang yang di rawat di RSJ Magelang
dan Klaten.
2. Dampak Lingkungan : Sebanyak 14 desa habis terlahap letusan gunung
merapi. Yaitu desa Kalibening, Kaliurang, Kapuhan, Keningar, Lencoh,
Ngargomulyo, Paten, Samiran, Sengi, Sewukan, Sumber, Seruteleng dan
Tlogolele. Selain itu berbagai jenis gas seperti Sulfur Dioksida (SO2),
gas Hidrogen Sulfida (H2S), Nitrogen Dioksida (NO2), serta debu
dalam bentuk partikel debu (Total Suspended Particulate atau Particulate
Matter) berterbangan bebas di udara. Partikel debu tersebut selain
membahayakan kesehatan, juga membahayakan lalulintas penerbangan.
Sejumlah penerbangan keluar dan ke dalam negeri dibatalkan karena

6
adanya abu vulkanik ini. Terbang melewati awan abu tersebut
mengancam keselamatan karena partikel abu dapat menyebabkan
kerusakan mesin. Misalnya pada tanggal 28 Oktober 2010, pesawat
udara Thomas Cook Skandinavia terbang melewati awan Merapi dari
Indonesia ke Arab Saudi, dan terpaksa diberhentikan di Batam untuk
dilakukan chek up. Hasilnya ditemukan bahwa mesin mengalami
kerusakan dan harus diganti. Hal ini juga semakin diperparah dengan
jauhnya jangkauan debu dan abu tersebut. Karena kabarnya abu
vulkanik mencapai Bogor.Selain itu juga, lahar dingin yang merupakan
bahaya sekunder juga dapat menyebabkan korosi pada candi borobudur
karena memiliki keasaman yang sangat tinggi. Beberapa lahan juga
menjadi rusak akibat bencana alam ini. Tetapi, disamping menimbulkan
dampak negatif, letusan gunung merapi juga menimbulkan dampak
positif yaitu dengan adanya lahar dingin yang mengalir serta material
vulkanik yang dimuntahkan merapi dapat menambah kesuburan tanah di
daerah sekitar merapi sehingga sangat cocok untuk pertanian.
3. Dampak Kesehatan : Menurut laporan, rata – rata pasien korban merapi
mengalami luka bakar akibat terkena wedhus gembel. Selain itu abu
vulkanik yang berterbangan bebas di udara juga dapat mengganggu
kesehatan pernapasan sehingga setiap orang diwajibkan untuk memakai
masker. Banyak juga para korban yang cedera karena terkena batu
kerikil yang berjatuhan dari udara. Dan letusan ini juga semakin
memperparah penyakit yang sudah diderita para korban.
4. Dampak Materiil : Kerugian material yang diderita akibat erupsi merapi
diperkirakan mencapai 5 triliyun rupiah. Kegiatan di semua sektor macet
total. Dari sektor perikanan, pariwisata, pertanian, UMKM, perhotelan
dan ekonomi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dari sektor
perikanan sendiri kerugian yang diderita mencapai 11 miliar rupiah.
Dari sektor pertanian mengalami kerugian sekitar Rp 247 miliar,
terutama pada salak pondoh yang rugi Rp 200 miliar. Sedangkan pada
sektor UMKM, terdapat sekitar 900 UMKM di Sleman, dari 2.500
UMKM, untuk sementara berhenti total. Kebanyakan usahannya adalah

7
peternakan, holtikultura, dan kerajinan. Sejumlah 1.548 ekor ternak
Mati. Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, menginformasikan
pada Kamis (11/11/10), jumlah ternak yang mati akibat erupsi merapi
mencapai 1.548 ekor. Dari jumlah itu, sapi perah yang mati mencapai
1.221 ekor, sapi potong 147 ekor, kambing atau domba 180 ekor.
Sementara selebihnya, kebanyakan ditampung di Tirtomartani,
Kecamatan Kalasan dan Wedomartani, Kec Ngemplak. Di sektor
Perikanan diperkirakan cukup besar, yaitu sekitar 1.272 ton. Sementara,
Sektor Perhotelan; kunjungan wisatawan berkurang ataupun sebagian
menunda banyak event yang semula akan dilaksanakan di Yogyakarta
banyak yang dialihkan pelaksanaannya, tingkat hunian hotel turun 70%.
Hal ini memberikan dampak pada penurunan penjulan produk kerajinan,
usaha kuliner, usaha transportasi turun, dan sebagainya.
Sektor Jasa; lebih terkait dengan penurun kinerja di sektor perhotelan.
Sementara, Sektor Konstruksi: terdapat 2.271 rumah rusak.
Persentase jumlah kredit perbankan DIY yang diberikan kepada debitur
yang berpotensi terkena dampak bencana alam dibanding total kredit
(total kredit DIY Rp 13,505 triliun). Total kredit di Sleman sendiri
adalah Rp 4.486 triliun. Jumlah kredit perbankan DIY yang berpotensi
terkena dampak bencana (di Sleman) berjumlah Rp 81.962 miliar
dengan rincian (di luar BRI dan BCA). Sektor Transportasi, yakni
transportasi udara; penutupan Bandara Adisucipto sampai 15 November
2010 menyebabkan jumlah penerbangan dan jumlah penumpang
pesawat turun. Terdapat 23 penerbangan domestik dan 3 penerbangan
internasional perhari terhenti atau diperkirakan terdapat pengurangan
jumlah penumpang sekitar 58.300 penumpang selama 11 hari (per hari
rerata 5.300 penumpang). Setelah bandara dibukapun diperkirakan
penerbangan masih belum optimal.Sementara untuk transportasi darat;
transpotasi darat terpukul karena jumlah kunjungan wisatawan turun
drastis. Rental mobil yang biasanya ramai mengalami pukulan cukup
berat.

8
3. BENCANA ALAM LAHAR DINGIN
3.1 Lahar Dingin
Lahar dingin merupakan jenis ancaman sekunder dari bencana letusan
gunung berapi. Proses bencana ini terjadi ketika fase letusan gunung berapi primer
sudah berhenti. Walaupun dikatakan ancaman bahaya sekunder tetapi dampak
yang ditimbulkan tidak kalah dari ancaman bahaya primer. Salah satu bukti
ganasnya lahar dingin sudah ditunjukkan dengan terkuburnya candi borobudur
akibat dari letusan merapi kuno.
Selain tekuburnya candi terbesar tersebut, ada dampak besar lagi yang
ditimbulkan yaitu dimana Kerajaan yang awalnya berpusat di yogyakarta maka
harus dipindahkan akibat dari dampak banjir lahar dingin. Pada masa modern,
gunung Merapi kembali menunjukkan bahwa kisah letusan yang dahsyat bukan
merupakan kisah atau dongeng/cerita. Pasca letusan Merapi pada bulan November
2010, Merapi mulai menyebarkan materialnya ke kawasan sungai atau kali. Sejak
awal desember aliran lahar dingin sudah nampak pada bebebrapa kali salah satu
contohnya yaitu pada kali code yang memiliki penduduk bantaran yang cukup
besar.

3.2 Bahaya Lahar Dingin


Tumpukan lahar dingin yang berisi material vulkanik, merupakan ancaman
yang tidak boleh dianggap remeh. Karena, apabila hujan turun dikawasan puncak
gunung akan berpotensi mengalirkan tumpukan material vulkanik yang jumlahnya
tidak sedikit.
Hal ini harusnya diwaspadai karena aliran lahar dingin bisa membawa
beberapa ancaman pada manusia. Ada beberapa alasan, mengapa masayarakat
harus mewaspadai banjir lahar dingin diantaranya adalah:
1. Lahar dingin memiliki daya terjang yang sangat kuat. Hal ini terbukti
dengan robohnya beberapa jembatan yang terbuat dari beton yang
mampu di runtuhkan oleh terjangan lahar dingin
2. Material vulkanik yang berukuran besar. Seperti batu dan pasir yang
bisa menimbun apa saja yang dilewatinya.

9
3. Lahar dingin bisa terjadi dalam jangka waktu yang lama. Karena
tumpukan material yang hanyut menjadi lahar dingin tidak terjadi
dengan seketika, namun berlangsung secara bertahap.
4. Kawasan yang bisa dijangkau oleh arus lahar dingin, jaraknya bisa lebih
dari pada jarak yang bisa dijangkau oleh awan panas atau lahar panas.
Seingga, bukan tidak mungkin kawasan yang jauh dari sebuah gunung
berapi bisa pula terkena dampak lahar dingin. Sebagaimana pernah
terjadi pada candi borobudur yang memiliki jarak sekitar 30 kilometer
dari puncak merapi namun masih bisa tertimbun oleh material letusan
gunung Merapi tersebut.

3.3 Early Warning System


3.3.1 Parameter Informasi Pembentuk EWS (Early Warning System)
Parameter informasi diperlukan untuk menunjang pembentukan dan
penerapan suatu sistem peringatan dini pada suatu kawasan rawan bencana alam
seperti bencana lahar dingin Gunung Merapi ini. Adapun beberapa parameter
informasi yang dapat digunakan untuk membentuk suatu sistem peringatan dini
antisipasi bencana banjir lahar dingin adalah sebagai berikut:

3.3.1.1 Letusan Gunung Merapi


Yogyakarta merupakan kota yang penuh dengan budaya, selain itu juga
terkenal dengan kota wisata. Beberapa object wisata dapat ditemukan di kota
Yogyakarta salah satunya adalah Gunung Merapi. Gunung Merapi merupakan
gunung terkatif didunia dengan siklus letusan empat tahun sekali. Hal tersebut
dapat menjadikan sumber bencana bagi kehidupan masyarakat kota Yogyakarta.
Hal yang harus diperhatikan disini adalah siklus letusan tersebut. Waktu
recover masyarakat akan bencana sangat singkat sehingga dibutuhkan mitigasi
bencana dalam keperluan recover. Bencana yang dapat ditimbulkan pasca letusan
merapi adalah banjir lahar dingin yang diawali dengan letusan yang memuntahkan
material sehingga sungai pada kawasan merapi tertutupi dengan material sampai
pada curah hujan meningkat dan menimbulkan bencana yaitu banjir lahar dingin.

10
3.3.1.2 Curah Hujan
Curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah dalam
waktu tertentu. Serta alat untuk mengukur banyaknya curah hujan disebut Rain
Gauge. Curah hujan diukur dalam jumlah harian, bulanan, dan tahunan. Curah
hujan yang jatuh di satu daerah di Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor
sebagai berikut.

1. Bentuk medan/topografi
Relief daratan Indonesia tidak homogen. Adanya medan yang berbukit-bukit
dan bergunung-gunung akan menyebabkan angin yang membawa uap air naik.
Makin ke atas suhunya makin turun sehingga terjadi kondensasi dan menimbulkan
hujan orografis.
2. Arah lereng medan
Faktor ini sebenarnya berkaitan dengan faktor bentuk medan. Pada lereng
pegunungan yang menghadap ke arah angin banyak terjadi hujan, sebaliknya pada
lereng pegunungan yang membelakangi arah angin merupakan daerah bayang-
bayang hujan. Itulah sebabnya kota Bandung dan Palu memiliki curah hujan yang
sedikit, karena kedua kota tersebut terletak di daerah bayang-bayang hujan.

Dengan curah hujan yang tinggi pada daerah lereng hulu sungai maka akan
berpngaruh besar pada terjadinya banjir lahar dingin merapi. Karena dengan
adanya curah hujan yang tinggi akan menghasilkan debit aliran yang tinggi dan
membawa material erupsi sebagai aliran debris.

Tabel 3.1 Curah Hujan di Daerah Yogyakarta

No. Wilayah Curah Hujan (mm/tahun)


1. Kabupaten Sleman 2500 - 3000
2. Kabupaten Kulon Progo 1750- 2500
3. Kabupaten Bantul < 1750
4. Kabupaten Gunungkidul < 1750
Sumber : http//:google.com

3.3.1.3 Debit Rerata


Debit rerata merupakan salah satu parameter hidrologi yang sangat
berpengaruh pada kejadian bencana lahar dingin Gunung Merapi ini. Debit

11
dengan skala besar sangat berbahaya ketika mengalir pada daerah aliran sedimen
material erupsi Gunung Merapi. Karena debit yang besar itu dapat menimbulkan
aliran air bercampur material dengan gaya yang besar dan sering disebut aliran
debris. Dengan mengetahui debit yang terjadi setiap kali terjadi hujan akan dapat
mempermudah kita membentuk suatu sistem peringatan dini bencana banjir lahar
dingin.
Debit pada aliran suatu sungai sangat dipengaruhi faktor geografi dan
klimatologi seperti kemiringan lereng dan curah hujan yang terjadi pada aliran
tersebut. Kemiringan lereng yang curam pada daerah hulu akan mempercepat
aliran air sehingga debit yang terjadi makin besar. Sehingga debit rerata yang
besar akan memperbesar kemungkinan terjadinya banjir lahar dingin di kawasan
tersebut.

3.3.1.4 Peta Geologis dan Geografis


Untuk dapat mengetahui keadaan aliran sungai dibutuhkan data-data
informasi dari peta geologi dan peta geografi. Dari peta geologi dapat diketahui
informasi operasional lahar dan potensi endapan material yang dihasilkan dari
erupsi Gunung Merapi. Dengan informasi tersebut dapat diketahui sedimentasi
yang terjadi pada daerah aliran tersebut. Sehingga dapat diketahui debit
maksimum yang masih dapat ditampung ketika sudah tersedimentasi.
Peta geografis wilayah akan membantu kita mengetahui bentuk-bentuk
penampang aliran yang ada. Kemiringan dasar sungai pun dapat diketahui,
sehingga dapat direncanakan debit yang terjadi dengan kemiringan dasar sungai
yang telah tersedimentasi. Kedua peta ini akan digunakan untuk menunjang
pembentukan sistem peringatan dini banjir lahar dingin yang akan mengurangi
dampak akibat bencana tersebut.

12
Gambar 3.1 Peta Zonasi Ancaman Banjir Lahar Dingin
Source: BNPB, 2012

3.3.1.5 Peta Wilayah Pemukiman


Dalam penerapan sistem peringatan dini perlu juga diketahui wilayah
pemukiman di sekitaran aliran yang ditinjau dalam hal ini Sungai Code. Perlu
dipetakan juga wilayah-wilayah yang rawan terkena terjangan banjir lahar dingin
Gunung Merapi. Dengan demikian dapat direncanakan penempatan sistem EWS
pada daerah-daerah yang dianggap rawan.
Pemetaan zonasi ancaman banjir lahar dingin memerlukan peta pemukiman
yang ada di sekitar aliran sungai yang dialiri lahar dingin. Peta pemukiman di
sekitar daerah aliran didapatkan dengan pencitraan jauh menggunakan foto udara
dari satelit. Peta wilayah pemukiman juga diperlukan guna mengetahui kepadatan
wilayah suatu kawasan, dengan demikian dapat direncanakan daerah-daerah yang
lebih rawan banyak terjadi korban. Sehingga perlu diletakkan sistem peringatan
dini di wilayah tersebut.

13
Gambar 3.2 Salah Satu Pemukiman Rawan Bencana Banjir Lahar
Source: Citra Satelit/Google Earth, 2012

3.3.2 Pembahasan EWS Das Sein dan Das Sollen


Sebelum berbicara tentang EWS (Early Warning System) terlebih dahulu
mengetahui alur dari terjadinya bencana banjir lahar dingin. Dalam hal ini
mengetahui posisi dimana early warning system akan bekerja serta seberapa besar
peranan untuk mencegah banyaknya korban yang terjadi. Gunung Merapi bisa
dikatakan gunung yang paling aktif di Indonesia dengan siklus 2 sampai 5 tahun.
Penyebab terjadinya banjir lahar dingin dimulai dengan erupsi atau letusan
gunung berapi. Letusan tersebut melontarkan material berupa batuan besar yang
berukuran besar sampai pada material berukuran kecil seperti pasir.
Setelah gunung berapi melontarkan materialnya, lambat laun aktifitas dari
vulkanik meredup. Terlihat tumpukan material vulkanik yang banyak pada sungai
hulu dan juga pada pemukiman warga. Biasayanya material besar dilontarkan dan
menuju ke sungai-sungai pada kaki gunung berapi. Tumpukan material yang
banyak pada sungai hulu menyebabkan kemiringan yang cukup besar.

14
Endapan
Lava

Endapan Mud flow


Material

Daerah Pengendapan Transportasi Produksi

Kemiringan 3% 3 - 6% 6%

Gambar 3.3 Kemiringan dari Endapan Material Kali Putih


Source: Bakti Setiawan, 2011

Setelah terjadi penumpukan material dan terjadinya hujan cukup besar


maka material yang tertumpuk di sungai bagian hulu akan terbawa ke bagian hilir
dengan kecepatan aliran yang cukup besar akibat dari kemiringan, selain itu
material yang padat mengakibatkan aliran lahar dingin menyapu seluruh yang ada
pada sungai maupun bantaran sungai. Aliran ini memiliki potensi besar untuk
meluap dimana sungai yang didesain tidak pernah memperhitungkan besarnya
aliran seperti pada aliran lahar dingin.

Gambar 3.4 Puncak Merapi pada tahun 1930


Source: Yasser, 2013

15
Gambar diatas merupakan fase yang dimulai dari letusan gunung Merapi
sampai terjadinya banjir lahar dingin. Dalam hal ini early warning system
berperan pada fase 3. Ketika terjadinya hujan maka tingkat waspada masyarakat
terhadap banjir lahar dingin meningkat. Dimulai dari tingkat waspada, siaga dan
awas. Berbicara tentang early warning system maka harus mengetahui jenis-jenis
early warning system yang ada.
Pada daerah kawasan rawan bencana lahar dingin Merapi sudah terealisasi
beberapa titik ews yang berupa sirine. EWS telah dipasang di sejumlah titik,
antara lain di Dusun Bronggang, Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, dan
di Dusun Tambakan, Desa Sindumartani, Kecamatan Ngemplak untuk aliran
Sungai Gendol. Sedangkan untuk aliran Sungai Boyong, EWS dipasang di sekitar
rumah makan Boyong Kalegan, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem.
Untuk tahun ini kami tambah lagi 2 EWS sehingga total yang terpasang di
sepanjang sungai Code mencapai 5 unit,” kata Kepala Kantor Perlindungan
Masyarakat yang juga Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB)
Kota Yogyakarta Sudarsono, Senin 24 Oktober 2011. EWS beroperasi dengan
sirine yang dihubungkan dengan alat komunikasi petugas pemantau didaerah hulu
sungai.
Selain sirine, alat EWS lainnya berupa sensor lahar dingin yang sudah
terpasang di sejumlah titik oleh BPPTK. Sensor dipasang di sungai utama yang
berhulu di Merapi antara lain Sungai Woro, Gendol, Boyong, Krasak, Senowo,
dan Sungai Putih. Adanya sensor tersebut akan dapat diketahui curah hujan di
daerah hulu dan potensi terjadi banjir lahar dingin. Alat sensor tersbut berupa
AFM (Acoustic Flow Monitor).
Sekilas alat ini terlihat seperti antena televisi yang diletakkan di atas
permukaan tanah, yang berada di pinggir suatu sungai. Secara visual, memang
terlihat demikian. AFM terdiri dari kotak besi seukuran laci meja ukuran besar
yang berada di atas permukaan tanah, berisi komponen elektronik. Di atas kotak
tersebut terdapat komponen berupa antena yang fungsinya untuk mentransmisikan
gelombang GSM.
Jika dilihat lebih detil, maka di bawah kotak besi tersebut terdapat
seismograf yang tertanam di dalam tanah. Seismograf ini akan memantau getaran

16
yang ada dan untuk getaran tertentu (seperti pergerakan lahar dingin dengan debit
besar, akan langsung memancarkan sinyal ke alamat tujuan yang telah diprogram.
Karena digunakan untuk memantau lahar dingin di lereng Merapi, maka AFM ini
diletakkan di pinggiran sungai di alam bebas.
Terlepas dari fungsional AFM, perletakan EWS yang berada pada alam
bebas dapat berpotensi terjadi kehilangan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Alat tersebut sudah terealisasi dengan baik tetapi hal tersebut
masih perlu peninjauan ulang berupa keamanan serta diadakan penambahan unit
agar dapat bekerja maksimal dalam tindakan penanggulangan bencana lahar
dingin.
Selain EWS masih banyak lagi jenis alat yang dapat digunakan dalam hal
pemantauan seperti CCTV. Pemantauan CCTV juga merupakan salah satu bentuk
dari pemantauan/EWS. Alat AFM disini bekerja dengan sensor seismograf yang
tertanam dalam tanah. Ketika terjadi longsor dan gempa alat ini akan mendeteksi
terjadinya getaran yang bisa merupakan pemberian informasi yang salah terhadap
lahar dingin. Maka dari itu peranan dari CCTV juga dapat memberikan kontribusi
besar dalam hal penetapan status terhadap banjir lahar atau dapat dikatakan bahwa
CCTV memberikan kepastian yang terjadi pada saat bencana.

Gambar 3.5 CCTV Kali Opak Bagian Hulu


Source: Kotajogja.com, 2013

17
Gambar 3.6 CCTV Kali Boyong Atas
Source: KotaJogja.com, 2013

Gambar 3.7 CCTV Kali Gendol Bawah


Source: KotaJogja.com, 2013

CCTV diatas juga memiliki kekurangan untuk saat ini. Terlihat pada
CCTV suasana Kali Opak, Kali Boyong dan Kali Gendol sangat sulit dipantau
dikarenakan cahaya yang kurang. Untuk saat ini telah terpasang 3 CCTV sesuai
seperti tampak pada gambar diatas. Hal ini perlu pengembangan dengan
penambahan unit serta penambahan cahaya agar pemantauan bisa dilakukan
sampai pada malam hari.

18
Gambar 3.8 Tindakan dalam Bencana Lahar Dingin
Source: Yasser, 2013

Gambar diatas merupakan susunan dari peringatan dini dimulai dari


pendeteksian sensor sampai pada evakuasi warga. Tahapan diatas menjelaskan
peringatan dini yang benar dalam hal menghadapi bencana banjir lahar dingin.
Dalam hal ini dibutuhkan beberapa parameter penilaian untuk sistem peringatan
dini saat ini yang ada di Yogyakarta pada bencana banjir Lahar Dingin.

3.3.3 Parameter dan Indikator Disaster EWS Banjir Lahar Dingin Merapi
Untuk melakukan assesment atau penilaian parameter dan indikator capaian
pada bencana banjir lahar dingin Gunung Merapi maka dibutuhkan parameter
yang menjurus kepada capaian dan keberhasilan sampai saat ini. Berikut
Parameter dan Indikator capaian dalam Disaster Early Warning System:

Tabel 3.2 Parameter dan Indikator Disaster EWS


Parameter Rangking Indikator
1. Pelatihan dalam 5 : Pelatihan dilakukan dua minggu sekali
pengembangan EWS 4 : Pelatihan dilakukan tiga minggu sekali
3 : Pelatihan dilakukan sebulan sekali
2 : Pelatihan dilakukan dua bulan sekali
1 : Pelatihan dilakukan lebih dari dua bulan
sekali

19
2. Waktu Tanggap Respon 5 : Waktu Tanggap 5 menit
Petugas Pemantau 4 : Waktu Tanggap 7 menit
3 : Waktu Tanggap 10 menit
2 : Waktu Tanggap 12 menit
1 : Waktu Tanggap >12 menit
3. Waktu Tanggap Respon 5 : Waktu Tanggap 10 menit
Warga 4 : Waktu Tanggap 15 menit
3 : Waktu Tanggap 20 menit
2 : Waktu Tanggap 25 menit
1 : Waktu Tanggap >25 menit
4. Jangkauan Suara Sirine EWS 5 : Jangkauan 1000 meter
4 : Jangkauan 800 meter
3 : Jangkauan 600 meter
2 : Jangkauan 400 meter
1 : Jangkauan <400 meter
5. Kecepatan waktu penyebaran 5 : Waktu Penyebaran 3 menit
informasi 4 : Waktu Penyebaran 5 menit
3 : Waktu Penyebaran 7 menit
2 : Waktu Penyebaran 9 menit
1 : Waktu Penyebaran >10 menit

4. KESIMPULAN
Dalam hal EWS banjir lahar dingin Gunung Merapi Yogyakarta masih
dalam tahap perkembangan. Dimulai dengan perkembangan jenis EWS,
pembelajaran, jumlah unit sampai pada system yang harus dikembangkan lagi
agar EWS berfungsi dengan baik dan mengurangi dampak dari bencana banjir
lahar dingin sendiri. Dalam hal ini penentuan titik lokasi juga harus diperhatikan,
serta indikator penentuan lokasi juga berperan penting.
EWS merupakan sistem peringatan dini yang digunakan dalam
mitigasi/pengurangan resiko bencana. Dalam hal ini EWS merupakan sistem yang
didapatkan dari hasil interpretasi beberapa informasi. Informasi apa saja yang
dibutuhkan adalah informasi dari parameter-parameter yang ditentukan. Dalam
bencana banjir lahar dingin adapun parameter yang ditentukan adalah letusan
gunung merapi, curah hujan, debit rerata peta geologis dan peta wilayah
pemukiman. Dari keseluruhan parameter tersebut maka sistem peringatan dini
atau Early Warning System dapat dibuat dimulai dengan penentuan alur kerja
system sampai pada penentuan letak titik EWS pada kali code. Semua hal tersebut
dilakukan dengan menginterpretasikan atau mengelola informasi tentang
kebencanaa.

20

Anda mungkin juga menyukai