Anda di halaman 1dari 15

Kolokium Hasil LitbangSumber Daya Air 2015

KONSEP PENATAAN RUANG PADA DAERAH RAWAN BENCANA BANJIR LAHAR DI


KAWASAN GUNUNGAPI MERAPI
Tata Yunita1), Ika Prinadiastari2), Banata Wachid Ridwan3)
1
Peneliti, 2Calon Peneliti, 3Staf Litbang Balai Sabo
Sopalan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta 55282
Email : f.t.yunita@alumnus.rug.nl

ABSTRAK
Secara alami, Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan potensi bencana tinggi, salah satunya erupsi Gunungapi
Merapi pada 2010 yang merupakan erupsi terbesar dalam kurun waktu 80 tahun terakhir dengan total material vulkanik
diperkirakan mencapai 150 juta m 3.Masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di sekitar gunungapi aktif maupun sungai-
sungai yang bermuara di gunungapi berpotensi terdampak ancaman bencana, baik primer berupa material letusan maupun
sekunder berupa banjir lahar hujan sehingga diperlukan upaya mitigasi bencana. Tujuan kegiatan ini adalah untuk
sinkronisasi antara upaya penanggulangan bencana sedimen dengan Teknologi Sabo dan penataan ruang (RTRW) yang
ada sehingga dapat mengarahkan pemanfaatan ruang yang resistan terhadap bencana sedimen. Metodologi meliputi
pengumpulan data primer maupun sekunder; survei dan investigasi lapangan; penyusunan konsep penataan ruang dengan
analisis spasial; dan penyusunan naskah ilmiah. Kesimpulan yang diperoleh adalah bahwa konsep Teknologi Sabo dalam
upaya pengendalian banjir lahar sesungguhnya dapat disinergikan dengan pendekatan penataan ruang karena keduanya
tidak bertentangan bahkan dapat saling mendukung satu sama lain. Dengan demikian, konsep Teknologi Sabo memang
menggunakan prinsip menjaga kawasan lindung di hulu yang merupakan daerah produksi sedimen dan melindungi atau
meminimalisir potensi risiko banjir lahar pada kawasan budi daya di hilir yang merupakan daerah transpor dan pengendapan
sebagaimana yang telah diimplementasikan pada Kawasan Gunungapi Merapi.
Kata kunci : lahar hujan, teknologi sabo, tata ruang, resistan, mitigasi bencana

ABSTRACT
Naturally, Indonesia was an archipelago with high potential on disaster events. Merapi Volcano eruption in 2010 was the
biggest eruption that ever happened at least in past 80 years. The eruption itself has produced almost 150 juta m 3 of volcanic
material. The people that lived and had activities in the area near the volcano or rivers disembogue on volcano prone to get
impact from disaster, both primary impact such as eruption material and secondary impact such as lahar flood, so it needs
disaster mitigation. The purpose of this study is to synchronize between sediment disaster prevention with Sabo Technology
and spatial planning that can direct land use to be resistant to sediment disaster. The method includes collecting data, both
primary and secondary; survey and field investigation; drafting spatial planning concept with spatial analysis; and drafting
scientific paper. The conclusion is Sabo Technology can be synergized with spatial planning because not contradictory, even
supporting each other on lahar flood disaster prevention. Sabo Technology concept is to keep protection forest in
upperstream as a production area and to protect or to minimize the lahar flood risk on cultivation area in downstream as a
transportation and sedimentation area as has been implementated in Merapi Volcano area.
Keywords : lahar, sabo technology, spatial planning, resistant, disaster mitigation

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Secara alami, Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan potensi bencana tinggi dikarenakan terletak pada
pertemuan 3 (tiga) lempeng benua dan memiliki ±129 gunungapi aktif yang tersebar di seluruh wilayah. Salah
satu bencana yang memiliki intensitas tinggi terjadi adalah letusan gunungapi, seperti Gunungapi Rokatenda,
Gunungapi Kelud, Gunungapi Sinabung, Gunungapi Slamet, dan terakhir Gunungapi Sangeang. Namun, tiga
gunungapi yang aktivitasnya cukup mendapat perhatian adalah erupsi Gunungapi Merapi di perbatasan
Yogyakarta dan Jawa Tengah, Gunungapi Kelud di Kediri, Jawa Timur, dan Gunungapi Sinabung di Karo,
Sumatera Utara.Erupsi Gunungapi Merapi pada penghujung tahun 2010 merupakan erupsi Merapi terbesar
dalam kurun waktu 80 tahun terakhir dengan total material vulkanik yang dilontarkan diperkirakan mencapai 150
juta m3.

Pusat Litbang Sumber Daya Air 1


Kolokium Hasil LitbangSumber Daya Air 2015

Erupsi gunungapi menimbulkan ancaman bencana primer, seperti lontaran material vulkanik, aliran lava,dan
aliran awan panas (pyroclastic) sedangkan ancaman bencana sekunder, salah satunya adalah ancaman banjir
lahar hujan.Banjir lahar hujan terjadi karena ada kejadian hujan dengan curah hujan cukup tinggi dan intensitas
lama pada bagian hulu sungai sehingga membawa turun material hasil letusan yang terendap pada lereng-lereng
melalui sungai-sungai yang berhulu di gunungapi. Saat ini, masih banyak penduduk yang memilih tinggal dan
beraktivitas di tempat-tempat yang memiliki potensi bencana gunungapi dikarenakan wilayah gunungapi memiliki
potensi ekonomis yang cukup tinggi, misalnya dalam sektor pertanian, sektor pertambangan, dan sektor
pariwisata. Selain itu, kawasan gunungapi umumnya juga merupakan kawasan lindung, dimana terdapat areal
yang difungsikan sebagai taman nasional dan tidak boleh dimanfaatkan sebagai kawasan hunian atau bahkan
budidaya, baik pertanian maupun perkebunan.
Masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di sekitar gunungapi aktif maupun sungai-sungai yang bermuara di
gunungapi berpotensi terdampak ancaman bencana sehingga diperlukan upaya mitigasi bencana sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Penanggulangan bencana dapat
dilakukan secara fisik dengan Teknologi Sabo sedangkan nonfisik, salah satunya dengan penataan ruang pada
daerah rawan bencana sedimen, khususnya bencana banjir lahar hujan di daerah vulkanik. Namun, kedua upaya
tersebut kurang bersinergi dalam pengimplementasiannya dan terkesan berjalan sendiri-sendiri walaupun
sebenarnya memiliki potensi untuk dikolaborasikan dan saling mendukung.
Penataan ruang berbasis mitigasi bencana dalam Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) No. 24/1992, yang
kemudian direvisi menjadi No. 26/2007 menyatakan, baik provinsi maupun kabupaten/kota harus menyusun
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang mengatur secara teknis dan detail peruntukan ruang sebagai upaya
meminimalisasi terjadinya bencana oleh alam dan manusia secara komprehensif dan bersinergi antar wilayah
yang berdekatan. Pasca erupsi Merapi 2010, keempat kabupaten yang masuk dalam kawasan Gunungapi
Merapi telah memiliki Perda RTRW (Kab. Sleman, Magelang, Klaten, dan Kota Yogyakarta). Perda tersebut
berperan penting karena mengatur peruntukan ruang, meliputi struktur dan pola ruang pada kawasan bencana
dengan mempertimbangkan risiko dampak bencana sehingga dapat meminimalisir kerugian yang akan
ditimbulkan oleh bencana.
Permasalahannya adalah meskipun telah disusun RTRW untuk mengarahkan pertumbuhan wilayah, namun
pada kenyataannya hal ini sangat sulit diterapkan karena wilayah tersebut terlanjur dihuni oleh penduduk.Sejalan
dengan RENSTRA 2009–2014, khususnya bidang peningkatan kualitas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
serta pengelolaan bencana yang terkait dengan air, maka perlu dilakukan kegiatan penelitian terkait konsep
penataan ruang pada daerah rawan bencana sedimen, dalam hal ini bencana lahar hujan di kawasan gunungapi.
Kegiatan penelitian ini mengambil lokasi di Kawasan Gunungapi Merapi sebagai kawasan dengan pemanfaatan
ruang yang cukup kompleks dengan potensi bencana vulkanik yang tinggi.

1.2. Lokasi
Kegiatan-kegiatan dalam penelitian ini berada pada kawasan rawan bencana sedimen, khususnya pada sungai-
sungai lahar di Kawasan Gunungapi Merapi, sebagai berikut:
- Pembahasan secara umum potensi bahaya banjir lahar mencakup Kawasan Gunungapi Merapi secara
luas yang meliputi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten
Klaten.
- Pembahasan potensi bahaya dan kerentanan kawasan pada DAS. Putih.
- Pembahasan potensi bahaya, kerentanan dan kapasitas kawasan mencakup 2 (dua) kecamatan pada
DAS Putih, yaitu Kecamatan Salam dan Kecamatan Srumbung.

1.3. Kajian Pustaka


Penelitian terhadap strategi penanggulangan bencana yang berkembang saat ini ada dua pendekatan, yaitu:
Mitigasi dan Adaptasi Bencana. Dalam mitigasi bencana, pendekatan yang diambil adalah dengan
mengasumsikan bahwa bencana dapat dihindari atau dihentikan, umumnya penelitian bersifat rekayasa teknik
atau bangunan fisik. Penelitian pengendalian banjir lahar, sebagian besar masih terfokus pada pada bangunan
fisik, contohnya kajian bangunan sabo di G. Gamalama (Rokhmat H., dkk, 2012), sabodam mikro untuk erosi
lahan (Soewarno dkk, 2011), kajian kerusakan bangunan sabo paska erupsi 2010 (Dyah, A.P. dkk, 2011), dan
kajian pengaruh aliran debris terhadap kerusakan Jembatan Pabelan (Yunita,F.T. dkk, 2011).

2 Pusat Litbang Sumber Daya Air


Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan sumber Daya Air 2015

Dengan meningkatnya frekuensi kejadian ekstrem bencana dan banyaknya kegagalan struktur pengendali
bencana, pendekatan adaptasi menjadi opsi yang dianggap realistis (Füssel, 2007). Adaptasi bencana berangkat
dari persepsi bahwa potensi bencana tidak dapat dihilangkan sepenuhnya sehingga perlu upaya untuk mengelola
risiko bencana. Contoh upaya adaptasi bencana berupa bangunan fisik adalah struktur bangunan tahan gempa,
rumah panggung, dan infrastruktur lainnya, sedangkan upaya nonfisik, seperti sistem prakiraan dan peringatan
dini, skema evakuasi, pendidikan bencana, termasuk juga penataan ruang pada kawasan bencana
Kajian terkait adaptasi bencana banjir lahar di Indonesia masih sangat terbatas dan sempit, umumnya berupa
pengembangan sistem prakiraan dan peringatan dini banjir lahar (Sukatja, C.B. dkk 2011; Hardjosuwarno, S.
dkk, 2013). Ciri utama dari pendekatan adaptasi adalah adanya manajemen risiko secara multidimensional.
Salah satu pendekatan dalam manajemen risiko bencana digunakan oleh Kron (2002), dimana risiko bencana
dimodelkan sebagai interaksi tiga faktor, yaitu bahaya (hazard), keterpaparan (exposure), dan kerentanan
(vulnerability). Pengurangan faktor bahaya (hazard) merujuk pada strategi "keep disaster away from people”,
pengurangan faktor kerentanan (vulnerability) merujuk pada strategi "prepare people for disaster", dan
pengurangan faktor keterpaparan (exposure) merujuk pada strategi "keep people away from disaster".
Sebagai fungsi dari risiko, ketiga variabel tersebut dapat saling mempengaruhi, baik menurunkan ataupun
meningkatkan risiko. Sebagai contoh, implementasi sabodam, yang seharusnya akan mengurangi risiko kejadian
banjir lahar (hazard reduction), pada kenyataanya justru mendorong pertumbuhan kawasan rawan tersebut
sehingga justru meningkatkan faktor keterpaparan (exposure increase). Dalam hal ini, frekuensi potensi bencana
dikurangi, tetapi potensi kerusakan dan kerentanan justru meningkat, karena adanya rasa “sepenuhnya aman”
yang keliru (Smits, A.J.M., dkk. 2006). Dalam hal ini peran penataan ruang sebagai kontrol yang menekan faktor
kerentanan menjadi sangat penting.
Dalam penelitian ini, pembahasan difokuskan pada pendekatan strategi penanggulangan yang besifat adaptif,
khususnya terkait penataan ruang dalam mengendalikan risiko bencana. Aspek mitigasi juga menjadi perhatian
penting, yaitu implementasi Teknologi Sabo, namun lebih ditekankan pada keselarasannya terhadap penataan
ruang di kawasan bencana sedimen, yaitu dengan pemilihan fungsi sabo yang tepat pada lokasi yang tepat (the
right sabo in the right place).

1.4. Tujuan
Tujuan kegiatan penelitian Studi Konsep Penataan Ruang pada Daerah Rawan Bencana Sedimen adalah untuk
sinkronisasi antara upaya penanggulangan bencana sedimen dengan Teknologi Sabo dan penataan ruang
(RTRW) yang ada sehingga dapat mengarahkan pemanfaatan ruang yang resistan terhadap bencana sedimen.

2. METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini meliputi:
a. Pengumpulan data, meliputi:
- Data sekunder dengan metode kajian pustaka dan kajian peta
Kajian pustaka meliputi perundang-undangan dan regulasi Pemerintah Pusat maupun Daerah, seperti
buku-buku terkait ilmu tata ruang dan Teknologi Sabo. Kajian peta merupakan inventarisasi peta pada
kawasan Gunungapi Merapi, yaitu: Peta kawasan rawan bencana gunungapi (KRB); Peta daerah
terdampak banjir lahar di Kabupaten Magelang, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Klaten; Peta
perubahan pemanfaatan lahan; dan Peta bangunan sabo.
- Data primer dengan survei dan investigasi lapangan
Kegiatan survei dan investigasi lapangan dilakukan pada kawasan banjir lahar di Gunungapi Merapi,
khususnya di Kali Putih, Kabupaten Magelang, dengan melakukan observasi lapangan berupa:
kesesuaian peta pemanfaatan lahan dengan kondisi nyata dan jika terjadi perubahan; pola pemanfaatan
lahan di sekitar bangunan sabo; kondisi alur sungai dan jenis pengaman banjir lahar yang ada;
pengaruh bangunan sabo secara struktur dan fungsi, termasuk fungsi tambahan, seperti jembatan dan
intake jaringan irigasi dalam perubahan pemanfaatan lahan; serta aktivitas penambangan pasir pada
bangunan sabo maupun daerah sekitarnya.
Selain survei dan investigasi lapangan awal, dilakukan survei detail berupa pemetaan kawasan hunian dan
wawancara masyarakat pada 3 (tiga) titik/spot lokasi amatan, yaitu 2 (dua) lokasi di Kecamatan Srumbung

Pusat Litbang Sumber Daya Air 3


Kolokium Hasil LitbangSumber Daya Air 2015

dan 1 (satu) lokasi di Kecamatan Salam mencakup identifikasi kerentanan (vulnerability) lokasi amatan
terkati:
- Aspek demografi, meliputi jumlah anggota keluarga dan umur, mata pencaharian, dan lama menetap
di kawasan terkait.
- Aspek pengalaman mengahadapi bencana, meliputi pengalaman kerugaian dan pengalaman respon
dan evakuasi.
- Aspek aktifitas sosial, ekonomi dan kultural, meliputi jenis, frekuensi, durasi, lokasi dan jarak aktifitas
sosial, ekonomi dan kultural.

b. Analisis data
Hasil survei pemanfaatan lahan dianalisis menjadi data peta untuk penentuan zona potensi ancaman
(hazard) bencana banjir lahar menggunakan metode SIG (Sistem Informasi Geografis), meliputi:
- Zona potensi bencana sedimen (banjir lahar)
Parameter-parameter data yang digunakan, antara lain kelas kelerengan berdasarkan perilaku aliran
lahar; jenis dan sebaran material vulkanik berdasarkan arah dan sebaran materia erupsi Gunungapi
Merapi;tutupan lahan dari peta pemanfaatan lahan (SNI 7645-2010, Klasifikasi Penutup Lahan); data
curah hujan bulanan; dan kondisi morfologi sungai yang rawan ancaman lahar (dimodifikasi dari
Maruyama, dkk, 1980). Dari data tersebut dilakukan pengkelasan dengan ditumpangsusunkan
(overlay) berdasarkan pembagian kawasan dan skor total.
- Kesesuaian pemanfaatan lahan dengan RTRW
Peta yang digunakan adalah peta zonasi potensi bencana sedimen (aliran lahar) hasil analisis, peta
RTRW, dan peta pemanfaatan lahan sehingga dapat dilihat zona konflik pemanfaatan lahan di
lapangan dengan RTRW yang telah ditetapkan.
- Kesesuaian zona RTRW dengan Sistem Sabo
Peta yang digunakan adalah peta kesesuaian pemanfaatan lahan dengan RTRW hasil analisis dengan
peta sistem sabo mencakup posisi bangunan sabo, sistem sungai, dan DAS yang bersangkutan
sehingga didapatkan daerah RTRW yang terkoreksi dengan Sistem Sabo, daerah-daerah
pemanfaatan lahan yang perlu dikoreksi untuk menyesuaikan RTRW dengan Sistem Sabo pada
daerah sungai yang diteliti.
Sedangkan untuk data hasil wawancara warga digunakan untuk mengukur tingkat kerentanan (vulnerability)
kawasan rawan bencana melalui metode pembobotan terhadap faktor-faktor berikut ini (Ciurean, R.L. dkk,
2013):
1. Kerentanan Fisik (physical vulnerability), meliputi kepadatan bangunan, jarak bangunan dari tepi sungai,
kondisi struktur bangunan, dan ketersediaan sarana/ prasarana sistem evakuasi.
2. Kerentanan Sosial (social vulnerability), meliputi kepadatan penduduk, kelompok usia rentan, mental
dan pengetahuan, pengalaman kebencanaan, serta interaksi sosial masyarakat.
3. Kerentanan Kultural (cultural vulnerability), meliputi aktifitas kultural keagamaan, aktifitas kultural trandisi
dan aktifitas organisasi masyarakat.
4. Kerentanan ekonomi (economical vulnerability), meliputi jenis mata pencaharian dan sektor penopang
ekonomi.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Tantangan penataan ruang di kawasan Gunungapi Merapi


Pasca bencana erupsi Merapi 2010, pemerintah daerah setempat memperbaharui Peta Kawasan Rawan
Bencana (KRB) Merapi dengan mengacu pada jarak luncuran lahar dan juga jarak antara sungai yang dilalui
lahar dengan wilayah ancaman bencana. Dari perhitungan jarak tersebut maka KRB dipetakan menjadi tiga
kawasan yakni KRB I,KRB II dan KRB III (Gambar 1).

4 Pusat Litbang Sumber Daya Air


Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan sumber Daya Air 2015

Gambar 1. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi


Sejauh ini untuk kawasan rawan bencana banjir lahar sudah ditetapkan sebagai KRB I, yaitu daerah di
sepanjang sungai lahar Merapi dengan batas 300 m dari bibir sungai. Penetapan ini dibuat secara umum untuk
semua sungai dengan pertimbangan keamanan dan kejadian limpasan lahar yang pernah terjadi di masa lalu.
Kebijakan terkait pemanfaatan ruang di Kawasan Gunungapi Merapi menghadapai tantangan besar. Selain
ancaman langsung dari aktivitas vulkanik, potensi banjir lahar pasca erupsi juga menjadi tantangan tersendiri.
Pasca mega erupsi tahun 2010, hingga tahun 2013 masih ada peluang material erupsi turun menjadi banjir lahar.
Menurut BPPTKG, ada sedikitnya 40 juta m3 yang tersebar di beberapa sungai, yakni di K. Putih (7 juta m3), K.
Woro (3,9 juta m3), K. Trisik (5,6 juta m3), K. Apu (8,7 juta m 3), K. Pabelan (8,1 juta m3), dan K. Gendol (19 juta
m3).
Tantangan ini tidak lepas dari tingginya konflik ruang di kawasan tersebut, dimana ada berbagai aktivitas
berlangsung dalam kawasan tersebut. Tantangan penataan ruang akibat adanya konflik ruang ini ternyata
muncul sebagai akibat dari kompleksitas pemanfaatan lahan. Artinya, semakin banyak fungsi atau pemanfaatan
ruang yang berbeda maka semakin tinggi potensi konflik yang terjadi, khususnya apabila kawasan tersebut
merupakan kawasan rawan bencana yang memiliki kerentanan tinggi. Gambar 2 menunjukkan diagram tingkat
kompleksitas pemanfaatan ruang di sekitar bangunan sabo sepanjang sungai lahar pada Kali Putih saat ini.
14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
5 3 3 5 A 6 7 8 2
-D -D C1 /12 RD -C8 -RD -RD U-C U-C
PU PU PU- C11 -
PU PU PU PU P P
-
PU

Gambar 4. Diagram tingkat kompleksitas pemanfaatan ruang di sekitar bangunan sabo


Kali Putih
Berdasarkan diagram, tampak tingkat kompleksitas pemanfaatan ruang relatif tinggi di hilir PU-C11/12, sebagai
kawasan rawan bencana, artinya pada kawasan tersebut intensitas kehadiran serta jumlah manusia dan objek
yang berpotensi terdampak cukup besar. Pemanfaatan ruang di Kali Putih sudah didominasi permukiman dan

Pusat Litbang Sumber Daya Air 5


Kolokium Hasil LitbangSumber Daya Air 2015

pertanian, dimana akan meningkatkan nilai kerentanan terhadap risiko bencana banjir lahar, sebagai
konsekuensi tingginya intensitas kehadiran dan jumlah objek yang potensi terdampak banjir lahar. Secara garis
besar permasalahan penataan ruang di kawasan Gunungapi Merapi disebabkan oleh konflik berikut ini:
 Konflik antara fungsi ruang KRB dan aktivitas penambangan yang ditimbulkan oleh penambangan bahan
galian golongan C yang tidak memperhatikan ketentuan teknis sehingga merusak alur sungai dan bangunan
sabo. Selain itu, penggunaan jalur evakuasi sebagai jalur angkut truk penambangan mengakibatkan kondisi
jalan evakuasi rusak.
 Konflik antara fungsi ruang KRB dan aktivitas pertanian yang disebabkan karena adanya lahan pertanian
dan peternakan masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana yang seharusnya membatasi
adanya aktivitas penduduk sementara kawasan tersebut merupakan daerah pertanian yang subur.
 Konflik antara fungsi ruang KRB dan kawasan permukiman disebabkan karena daerah yang ditetapkan
beresiko tinggi terlanjur banyak dihuniioleh penduduk sehingga upaya relokasi membutukan biaya besar
dan tidak dapat dilakukan sekaligus.
Hal ini menunjukkan bahwa penataan ruang kawasan bencana belum diterapkan dengan baik dalam upaya
mitigasi bencana gunungapi di Kawasan Merapi. Kontrol dalam arah pengembangan wilayah kawasan bencana
belum dapat dilakukan sehingga pertumbuhan signifikan dan masif masih terjadi di dalam kawasan rawan
bencana.

3.2. Penentuan Kawasan Rawan Bencana (KRB) Banjir Lahar


Kawasan Rawan Bencana Sedimen, dalam hal ini banjir lahar, diposisikan dalam KRB I, dimana merupakan
kawasan yang berada di sepanjang sungai lahar dalam jarak 300 m dari tepi sungai dari hulu ke hilir. Sementara
perilaku aliran lahar sesungguhnya tidak sama di sepanjang sungai. Dalam konsep pengendalian sedimen,
kawasan rawan bencana secara garis besar dibagi menjadi 3 (tiga) kawasan, yaitu:
1. Daerah produksi (production area).
2. Daerah transpor (transportation area).
3. Daerah pengendapan (sedimentation area).
Perilaku aliran lahar yang berbeda ini menyebabkan potensi bahaya yang berbeda pula. Daerah produksi
merupakan daerah sumber sedimen, biasanya memiliki kemiringan lebih dari 20˚. Pada daerah ini biasanya
fenomena yang terjadi adalah pergerakan massa sedimen, longsor endapan yang tidak stabil, dan erosi galur.
Sementara daerah transpor merupakan daerah sepanjang alur sungai lahar yang memiliki kemiringan antara 10˚-
20˚. Kawasan ini ditandai dengan bentuk alur yang menyerupai “V” dengan tebing yang terjal dan erosi dasar
sungai tinggi sehingga fluktuasi perubahan elevasi dasar sungai sangat tinggi. Risiko bahaya yang ditimbulkan
biasanya berupa longsor tebing akibat erosi dasar sungai yang menggerus kaki tebing dan menyebabkan tebing
tidak stabil. Perlu diwaspadai juga loncatan (overtopping) lahar ke kiri dan kanan alur yang dapat terjadi pada
titik-titik dengan morfologi alur yang membelok dan tinggi tebing yang tidak terlalu tinggi. Selain itu, pada daerah
ini kecepatan atau energi dari aliran lahar masih tinggi sehingga juga dapat membahayakan bangunan yang
melintang di sungai atau di atasnya karena efek benturan atau impak aliran serta abrasi. Oleh sebab itu, pada
kawasan ini bangunan seperti bendung dan jembatan akan rentan sekali mengalami kerusakan jika langsung
terpapar aliran lahar.

6 Pusat Litbang Sumber Daya Air


Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan sumber Daya Air 2015

Gambar 5. Peta Zonasi Kawasan Rawan Bencana Sedimen (Lahar) Merapi


Daerah pengendapan adalah daerah pada posisi pembukaan kipas aluvial ( alluvial fan open), dimana kemiringan
dasar sungai sudah cukup landai, yaitu kurang dari 10˚. Pada daerah ini, risiko bencana yang mungkin terjadi
adalah pengendapan material lahar berupa pasir hingga boulders yang dapat menimbun rumah, jalan, dan areal
pertanian masyarakat. Daerah ini biasanya merupakan daerah permukiman padat atau pertanian sehingga
sangat rentan terkena dampak endapan.
Dengan demikian, ancaman banjir lahar pada daerah sepanjang sungai lahar berbeda tergantung perilaku aliran
lahar sehingga zonasinya pun harus dibedakan sebagaimana disajikan secara detail dalam Tabel 1. Namun,
ketiga zonasi tersebut tidak dapat dipisahkan karena ancaman bahaya berupa aliran dari hulu ke hilir. Apa yang
terjadi di hulu akan menentukan besarnya bahaya di hilir. Banyaknya potensi sedimen yang mungkin luruh
menjadi aliran lahar pada daerah produksi akan menentukan seberapa besar banjir lahar yang akan mengalir ke
daerah transportasi. Begitu juga, kecepatan aliran pada daerah transpor akan mempengaruhi kerusakan yang
akan ditimbulkan ketika lahar mencapai daerah pengendapan.Oleh sebab itu, proses menguraikan risiko
bencana yang timbul akibat banjir lahar perlu ditelusuri secara kronologis mulai dari daerah sumber sedimen atau
sumber bahaya, yaitu daerah pembentukan yang akan dibahas selanjutnya.
Tabel 1 Zonasi Perilaku Aliran Lahar dan Potensi Bencana Lahar (Lahar Hazard)
Kemiringan Kategori Perilaku Aliran Lahar Potensi Ancaman
(Slope) Bencana Sedimen
(1) (2) (3) (4)
i > 20 Daerah produksi Tingkat erosi sangat tinggi Rawan erosi, longsor dan
(aliran debris terjadi) pergerakan material
dalam jumlah besar
10< i < 20 Daerah transpor Pergerakan material dan Rawan longsor tebing
erosi terjadi namun lebih sungai dan benturan
rendah (aliran debris (impak) bangunan air
terjadi dan turun) dan jembatan
i < 10 Daerah pengendapan Pengendapan material Rawan limpasan atau
berlebih hingga aliran loncatan aliran,
berhenti (aliran sedimen pengendapan material
mengendap) pasir hingga boulders,
dan pendangkalan alur

Pusat Litbang Sumber Daya Air 7


Kolokium Hasil LitbangSumber Daya Air 2015

3.3. Analisis Zonasi Kawasan Rawan Bencana Banjir Lahar


Risiko bencana yang mungkin timbul pada daerah produksi aliran lahar adalah longsor material yang tidak stabil
dan pergerakan massa, khususnya pasca terjadinya erupsi karena biasanya pada kondisi ini kawasan hulu tidak
memiliki tutupan vegetasi sebagai akibat dampak erupsi. Selain tutupan vegetasi, tingginya curah hujan juga
mempengaruhi potensi terbentuknya aliran lahar pada kawasan ini. Hal ini dikarenakan aliran permukaan dari
hujan merupakan media transportasi sedimen. Namun, faktor penentu terbentuknya aliran lahar adalah jumlah
dan jenis material deposisi hasil erupsi di puncak. Volume material akan menentukan besaran dan konsentrasi
banjir lahar serta daya rusaknya sedangkan jenis material erupsi akan menentukan karakteristik material, seperti
tingkat erosivitas, infiltrasi, dan tipe banjir lahar. Jenis material vulkanik yang paling mudah terangkut aliran
adalah jatuhan piroklastik atau hujan abu. Jenis ini paling mudah terangkut karena partikelnya sangat halus dan
membentuk lapisan semi kedap yang menghambat infiltrasi hujan sehingga aliran permukaan menjadi besar dan
dengan mudah mengangkut material vulkanik. Sementara aliran piroklastik biasanya terdeposisi lebih masif dan
cenderung menyimpan panas di dalam lapisannya hingga beberapa bulan sehingga air hujan yang jatuh akan
langsung terevaporasi akibat panas.
Dari faktor-faktor tersebut, tersusun suatu zonasi potensi sumber sedimen pada daerah pembentukan di
Kawasan Gunungapi Merapi. Zonasi potensi sumber sedimen ini menjadi penentu pada sungai lahar mana yang
memiliki potensi tinggi terjadinya banjir lahar dan dapat berubah karena terdapat faktor tutupan lahan dan jenis
material erupsi yang merupakan faktor yang dinamis atau tergantung dari pola erupsi yang terjadi. Oleh sebab
itu, zonasi ini perlu dikaji ulang dan diperbaharui apabila terjadi perubahan dalam kondisi parameternya, baik
akibat aktivitas vulkanik maupun intervensi manusia.
Pemanfaatan ruang pada zona potensi sumber sedimen ini sebagian besar merupakan kawasan lindung,
terutama pada kawasan puncak Merapi yang merupakan Kawasan Tanaman Nasional dan Kawasan Lindung
Geologi. Namun, khususnya pada kawasan yang dekat dengan aliran sungai sudah terdapat pemanfaatan ruang
sebagai kawasan budidaya, seperti hutan produksi dan pertanian serta pada beberapa area juga dijumpai
permukiman. Hal ini tentunya akan meningkatkan tingkat risiko bencana suatu kawasan. Pada Gambar 6 terlihat
daerah potensi terjadinya konflik ruang tinggi berada di bagian utara, timur, dan selatan. Tingginya tingkat risiko
pada daerah tersebut karena kawasan permukiman yang mulai merambah ke arah puncak Merapi, umumnya
pada daerah alur sungai lahar. Risiko banjir lahar lebih lanjut akan dibahas pada kawasan sungai lahar di Merapi,
yaitu DAS Putih.

Gambar 6. Peta Potensi Konflik Ruang dalam Zona Daerah Produksi


DAS Putih pada bagian hulu yang merupakan daerah produksi aliran lahar dengan kemiringan terjal dan memiliki
fungsi sebagai kawasan hutan. Namun, terdapat masih dijumpai juga kebun walaupun dalam areal yang tidak

8 Pusat Litbang Sumber Daya Air


Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan sumber Daya Air 2015

terlalu luas. Mengingat lokasi tersebut juga masuk dalam kawasan KRB III, maka perlu dilakukan upaya untuk
membebaskan kawasan tersebut dari aktivitas rutin masyarakat dan celah pembangunan yang lebih masif.
Untuk daerah transportasi, tampak pemanfaatan lahan sudah memasuki kawasan budidaya dengan variasi
fungsi pertanian, seperti kebun dan sawah dengan klaster-klaster permukiman di antaranya. Sementara pada
daerah pengendapan di hilirnya dapat terlihat klaster-klaster permukiman yang semakin besar berada di antara
areal pertanian sawah sedangkan pada areal kebun tampak berdampingan dengan permukiman.
Berdasarkan zonasi kerawanan bencana banjir lahar dan pemanfaatan ruang pada DAS Putih, maka dihasilkan
peta risiko bencana banjir lahar pada DAS Putih sebagaiman disajikan dalam Gambar 7. Nilai risiko tinggi untuk
banjir lahar pada daerah produksi, dimana potensi terjadi longsor material vulkanik dan aliran massa, serta pada
daerah pengendapan, khususnya pada zona bukaan kipas aluvial yang rawan limpasan dan endapan material
pasir maupun boulders.

Gambar 7. Peta Zonasi Kawasan Rawan Bencana Sedimen DAS Putih

Dari kondisi pemanfaatan ruang di sekitar bangunan sabo terlihat bahwa keberadaan beberapa bangunan sabo
mempengaruhi pola pemanfaatan ruang disekitarnya. Bangunan sabo dengan fungsi tambahan jembatan
mendorong perubahan pola pemanfaatan ruang di sisi kanan dan kiri alur sungai karena membuka akses
pengaruh ekonomi kedua sisi sungai, sementara bangunan sabo dengan fungsi tambahan intake irigasi
cenderung mendukung pola pemanfaatan ruang petanian di sekitarnya.

3.3. Analisis Kerentanan dan Kapasitas Kawasan


Pendekatan perencanaan pada kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada wilayah gunungapi diterapkan
dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan kawasan permukiman atau daerah terbangun di sekitar DAS
khususnya dari dampak sekunder paska peristiwa erupsi yang mengalir melalui jalur sungai. Dalam konteks
permukiman tradisional yang warganya sebagian besar hidupnya tergantung pada sumber daya alam khususnya
pada daerah pegunungan, keberadaan gunungapi dengan seluruh karakteristiknya telah melekat dengan
kehidupan sehari-hari warga setempat. Meskipun demikian, kewaspadaan terhadap potensi bahaya erupsi tetap
perlu ditingkatkan oleh masyarakat setempat. Pada aspek perencanaan, perlu diperhatikan prinsip-prinsip
penataan kawasan resisten terhadap dampak bencana erupsi sedangkan khusus pada Daerah Aliran Sungai
yang terhubung langsung dengan puncak, bahaya yang mengancam biasanya berupa ancaman lahar dingin dan
sedimen ataupun yang berasal dari material vulkanik berbahaya yang mengalir melalui jalur sungai paska erupsi.
Pada dasarnya, pengaturan tata guna lahan dan bangunan suatu kawasan merupakan alat atau mekanisme

Pusat Litbang Sumber Daya Air 9


Kolokium Hasil LitbangSumber Daya Air 2015

yang paling efektif untuk meningkatkan ketahanan kawasan rawan bencana terhadap berbagai resiko dampak
erupsi (World Bank Institute Distance Learning Natural Disaster Risk Reduction, 2002).
Sebelum menentukan arahan penataan ruang pada kawasan tersebut, perlu dilakukan pemetaan kerentanan
untuk mendapatkan gambaran kondisi tingkat rawan kawasan terhadap ancaman erupsi. Pemetaan terhadap
faktor kerentanan pada kawasan rawan bencana perlu dilakukan untuk mengetahui titik kelemahan suatu
kawasan yang menyebabkan kawasan tersebut rentan, sehingga kebijakan untuk penguatan kawasan tersebut
dapat lebih terarah dan tepat sasaran. Selanjutnya empat kelompok kerentanan, yang meliputi kerentanan fisik,
sosial, kultural dan ekonomi, dianalisis dan dibahas secara kuantitatif dengan lebih detail pada Kecamatan
Srumbun dan Salam di Kali Putih. Namun tidak semua faktor dapat dikuantitatifkan, beberapa hal yang tidak
dapat dijabarkan secara kuantitatif dideskripsikan secara kualitatif. Gambar 8 berikut ini merupakan hasil analisis
pemetaan kerentanan pada lokasi amatan di Kec. Srumbung dan Kec. Salam.

Sumber: Hasil analisis penelitian, 2014


Gambar 8. Nilai kerentanan kawasan di Kec. Srumbung dan Kec. Salam

Ditinjau dari kerentanan fisiknya, lokasi tinjauan baik di Kec. Srumbung maupun Kec. Salam memiliki kerentanan
tinggi karena lokasinya di sepanjang alur sungai lahar, namun pada Kec. Salam morfologi sungai yang membelok
tajam pada lokasi 3 membuat peluang terjadinya loncatan aliran lahar lebih besar. Dari kerentanan sosialnya,
Kec. Salam memiliki kerentanan lebih tinggi karena kepadatan penduduknya dua kali lipat kepadatan penduduk
di Kec. Srumbung, jumlah usia rentan, yaitu lansia dan balita juga lebih banyak meskipun secara persentase
hampir sama lebih dari 25%. Dari kerentanan ekonominya, Kec. Srumbung lebih rentan karena sektor
ekonominya ditopang oleh pertanian yang akan mengalami dampak langsung jika terjadi bencana, sedangkan
Kec. Salam sektor pariwisata menjadi penopang ekonomi meskipun pasti ada pengaruh penurunan wisatawan
akibat bencana namun masih bisa berjalan. Sedangkan dintinjau dari kerentanan kulturalnya, Kec. Srumbung
dan Kec. Salam sama-sama memiliki kekuatan aspek kultural terutama keagamaan karena kondisi masyarakat
yang homogen dan ikatan kulturalnya tinggi sehingga banyak nilai-nilai positif yang dapat membantu kelompok ini
dalam melewati kondisi sulit.
Dengan memahami kondisi kerentanan wilayah tersebut dan aspek-aspek yang menyebabkan kerentanan, maka
arahan penataan ruang pada wilayah tersebut disamping memepertimbangkan ancaman juga harus mendukung
penguatan kapasitas kawasan. Hasil analisis arahan penataan pada pada lokasi pemangamatan adalah sebagai
berikut:
a) Arahan Penataan Kawasan pada Kec. Srumbung pada Spot Amatan 1 dan 2
Kawasan Srumbung pada spot amatan ke-1 dan 2 masuk dalam zona KRB I dan II dan berada pada radius
20 km dari puncak Merapi. Dampak erupsi pada kawasan ini adalah lahar, hujan abu, air asam, awan
panas, lontaran batu pijar, guguran lava, hujan lumpur panas dan gas beracun. Terkait dengan karakteristik
ancaman banjir lahar, daerah Srumbung termasuk dalam daerah pengendapan dengan potensi risiko tinggi
terjadi limpasan dan endapan material angkutan sedimen. Pada sisi utara sungai tampak memilki sebaran
bangunan permukiman yang lebih sedikit dibandingkan sisi selatan Kali Putih. Dimana sisi selatan tersebut
didominasi oleh bangunan fungsi publik di samping permukiman atau hunian.

10 Pusat Litbang Sumber Daya Air


Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan sumber Daya Air 2015

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan pada spot amatan ke-1 DAS Kali Putih Srumbung, lahan
terbangun (fungsi permukiman, industri, komersial) sebagian besar berada pada zona kurang dari 100
meter dari bibir sungai namun terdapat pula area terbangun dengan jarak kurang dari 30 meter dari bibir
sungai. Pada spot amatan ke-2, lahan terbangun (fungsi publik dan permukiman) yang relatif dekat (kurang
dari 150 meter) dengan bibir sungai sebagai jalur aliran lahar dingin dan sedimen perlu diperhatikan secara
khusus mengingat besarnya kerentanan permukiman pada zona tersebut terhadap dampak bencana.
Karakteristik fungsi bangunan pada kawasan ini didominasi fungsi permukiman dan komersial, selain masih
terdapatnya ruang hijau di sekitar Kali Putih. Kebijakan relokasi perlu diterapkan karena potensi bahaya
yang dihadapi oleh spot pengamatan tersebut baik pada saat dan pasca peristiwa erupsi.
Selain itu perlu dilakukan perencanaan alih fungsi lahan yang terbangun di sekitar DAS menjadi area hijau
yang berfungsi sebagai buffer area yang melindungi daerah permukiman sekitar. Sistem vegetasi yang
mampu mereduksi efek panas yang terbawa oleh aliran lahar pada sungai dapat direncanakan pada area
tersebut. Sedangkan pada aspek tata guna bangunan, perlu adanya pembangunan pusat evakuasi pada
level komunal.

Kelompok bangunan rawan


terhadap material erupsi melalui
jalur sungai

Gambar 9.Tipologi Bangunan di Kec. Srumbung pada Spot 1

Pusat Litbang Sumber Daya Air 11


Kolokium Hasil LitbangSumber Daya Air 2015

Kelompok bangunan rawan


terhadap material erupsi melalui
jalur sungai

Gambar 10. Tipologi Bangunan di Kawasan Srumbung pada Spot 2

b) Arahan Penataan Kawasan Kecamatan Salam pada Spot Amatan 3


Kawasan Srumbung pada spot amatan 3 juga berada dalam zona KRB I dan II dan berada pada radius 20
km dari puncak Merapi. Dampak erupsi pada kawasan ini adalah lahar, hujan abu, air asam, awan panas,
lontaran batu pijar, guguran lava, hujan lumpur panas dan gas beracun. Terkait dengan karakteristik
ancaman banjir lahar, daerah Srumbung termasuk dalam daerah pengendapan dengan potensi risiko tinggi
terjadi limpasan dan endapan material angkutan sedimen. Kompleksitas potensi bencana pada kawasan
Srumbung ini menuntut adanya penataan fungsi lahan yang meningkatkan ketahanan kawasan terhadap
dampak eruspi. Fungsi lahan di sekitar sisi Kali Putih pada spot 3 didominasi oleh fungsi permukiman dan
industri yang relatif sangat dekat dengan bibir sungai.
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, lahan terbangun (fungsi permukiman, industri, komersial)
sebagian besar berada pada zona kurang dari 100 meter dari bibir sungai dengan jarak paling dekat adalah
kurang dari 30 meter dari bibir sungai. Pada aspek tata guna lahan, kebijakan relokasi perlu diterapkan
karena potensi bahaya yang dihadapi oleh spot pengamatan tersebut baik pada saat dan pasca peristiwa
erupsi. Selain itu perlu dilakukan perencanaan alih fungsi lahan yang terbangun di sekitar DAS menjadi area
hijau yang berfungsi sebagai buffer area yang melindungi daerah permukiman sekitar. Sistem vegetasi yang
mampu mereduksi efek panas yang terbawa oleh aliran lahar pada sungai dapat direncanakan pada area
tersebut.
Secara prinsip, perencanaan kawasan amatan ke-3 DAS Kali Putih Srumbung tidak berbeda dengan spot
amatan ke-1 dan ke-2. Pada aspek fungsi bangunan, kebijakan relokasi pada area di sepanjang DAS Kali
Putih khususnya pada zona radius kurang dari 150 meter perlu diterapkan. Selain itu perlu dilakukan alih
fungsi lahan permukiman pada DAS menjadi area hijau yang berfungsi sebagai buffer area.

12 Pusat Litbang Sumber Daya Air


Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan sumber Daya Air 2015

Kelompok bangunan rawan


terhadap material erupsi melalui
jalur sungai

Gambar 11. Tipologi Bangunan di Kawasan Srumbung pada Spot 3

3.4. Sinkronisasi Teknologi Sabo terhadap Penataan Ruang pada Kawasan Rawan Bencana Sedimen
Tantangan terbesar dari penataan ruang pada kawasan rawan bencana adalah dalam proses mengarahkan dan
mengendalikan pertumbuhan. Pada kondisi nyata, hal ini sulit untuk diimplementasikan karena pemanfaatan
lahan yang sangat kompleks. Pertumbuhan penduduk yang tinggi memberikan konsekuensi kebutuhan ruang
huni yang makin luas sehingga permukiman mulai mengekspansi kawasan rawan bencana, khususnya di pinggir
sungai.
Kebijakan relokasi penduduk dari kawasan rawan bencana sedimen akan mendapatkan resistensi/penolakan
yang besar dari masyarakat. Oleh sebab itu, pendekatan mitigasi secara struktural, dalam hal ini Teknologi Sabo,
masih sangat diperlukan untuk meminimalkan ancaman banjir lahar. Dalam hal ini pendekatan yang diambil
adalah meminimalkan ancaman (hazard). Implementasi Teknologi Sabo harus tepat agar sesuai dengan tujuan
pengendalian banjir lahar. Oleh sebab itu, penting untuk memahami “ the right sabo, in the right place, in the right
time”, dengan menempatkan Teknologi Sabo yang tepat pada daerah yang tepat untuk menangani banjir lahar
pada fase tertentu, mengingat aliran lahar dari hulu ke hilir mengalami perubahan fase dan perilaku.
Teknologi Sabo di daerah produksi, sedapat mungkin bersifat nonstruktural karena daerah tersebut merupakan
kawasan lindung sehingga keberadaaan bangunan fisik dapat membuka peluang pembangunan pada kawasan
tersebut. Upaya pengendalian dapat diarahkan dalam bentuk pekerjaan vegetasi, dengan tujuan tutupan berupa
vegetasi (vegetation works) dapat menghambat erosi galur dan menahan material agar tidak longsor atau
terbawa aliran permukaan.
Teknologi Sabo pada daerah transpor, sedapat mungkin diarahkan untuk mencegah terjadinya erosi dasar
sungai, menstabilkan alur sungai, mengarahkan arah aliran dan menahan sedimen berlebih serta mengalirkan
sisa sedimen berlebih dalam jumlah yang aman ke hilir. Pada kawasan ini beberapa lokasi dapat digunakan
sebagai titik penambangan, namun tidak pada semua lokasi bangunan sabo, sebaiknya dibatasi hanya pada
kantong lahar. Teknologi Sabo yang diimplementasikanpada kawasan ini adalah dam konsolidasi (consolidation
dam) dan kantong lahar (sand pocket).
Teknologi Sabo pada daerah pengendapan, sedapat mungkin lebih diarahkan pada upaya mengatur arah aliran,
mencegah limpasan, dan menjaga kemiringan dasar sungai. Pada daerah ini energi banjir lahar tidak terlalu
besar, namun biasanya terjadi pendangkalan alur akibat sedimen yang berlebilh dari hulu sehingga rawan
limpasan (overtopping) sehingga Teknologi yang diimplementasikan berupa kanalisasi (channelworks) dan
tanggul (training dyke).

Pusat Litbang Sumber Daya Air 13


Kolokium Hasil LitbangSumber Daya Air 2015

Kawasan Gunungapi Merapi merupakan salah satu kawasan rawan bencana banjir lahar yang sudah lama
mengimplementasikan konsep Teknologi Sabo. Dalam implementasi Teknologi Sabo di Merapi sudah
sesuai dengan zonasi pengendaliannya, dimana pada daerah sumber produksi tidak dibangun
bangunan sabo karena pada daerah sumber sedimen ini lebih diutamakan pada fungsi kawasan
lindung. Adanya bangunan sabo justru akan membahayakan keberlanjutan fungsi lindung
tersebut karena bangunan sabo dapat menimbulkan perubahan fungsi pemanfaatan di
sekitarnya.Selain itu, biasanya daerah produksi merupakan KRB III yang merupakan zona
aliran piroklastik sehingga keberadaan bangunan sabo pada zona ini justru berbahaya karena
dapat mengakibatkan aliran piroklastik meloncat keluar alur. Implementasi bangunan sabo di
Kawasan Gunungapi Merapi mulai terlihat pada daerah transpor dan pengendapan, yaitu di
hilir kawasan lindung.
Dalam penerapannya, Teknologi Sabo harus sejalan dengan upaya penataan ruang dan bahkan
harus dapat mengarahkan pola aktivitas masyarakat. Sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya peran Teknologi Sabo dalam penataan ruang adalah mengendalikan ancaman
dengan meminimalkan atau mengarahkan daerah rawan bencana, dengan demikian ruang
yang semula memiliki risiko bencana tinggi untuk aktivitas manusia menjadi memungkinkan
untuk dimanfaatkan bagi keperluan manusia. Namun, penting untuk dipahami bahwa Teknologi sabo
tidak menghilangkan ancaman melainkan meminimalkan potensi ancaman sehingga peluang bahaya tersebut
tetap ada, apabila ancaman yang terjadi melebihi kapasitas desain dari Teknologi Sabo itu sendiri. Oleh sebab
itu, kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap adanya potensi tersebut sangat penting.

4. KESIMPULAN

Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari kegiatan penelitian ini adalah:


a. Penataan ruang pada kawasan rawan bencana lahar harus memperhatikan zonasi ancaman bencana
(hazard) dari banjir lahar, yaitu zona produksi, zona transpor dan zona pengendapan, karena ketiganya
memiliki ancaman yang berbeda.
b. Kawasan rawan bencana banjir lahar pada zona produksi merupakan kawasan di hulu dengan kemiringan
lebih dari 200 dengan potensi bencana gerakan massa material vulkanik, dimana pemanfaatan ruang pada
kawasan ini sedapat mungkin difungsikan sebagai kawasan lindung atau kawasan budidaya tak terbangun.
c. Kawasan rawan bencana banjir lahar pada zona transpor merupakan kawasan di sepanjang alur sungai
lahar dengan kemiringan dasar sungai antara 100 – 200 dengan potensi bencana longsor tebing sungai dan
benturan (impak) bangunan air dan jembatan, dimana pemanfaatan ruangnya dapat digunakan sebagai
kawasan budidaya tak terbangun, tidak untuk permukiman, khususnya pada sisi sungai lahar dengan jarak
50 hingga 100 m.
d. Kawasan rawan bencana banjir lahar pada zona pengendapan merupakan kawasan di sepanjang alur
sungai lahar dengan kemiringan kurang dari 100, dengan potensi bencana limpasan atau loncatan aliran,
pengendapan material pasir hingga boulders, dan pendangkalan alur, khususnya pada alur sungai dengan
tebing rendah, belokan tajam, penyempitan dan perubahan kemiringan mendadak, dimana pemanfaatan
ruang pada sisi alur sungai dengan karakteristik tersebut sebaiknya digunakan sebagai kawasan budidaya
tak terbangun.
e. Konsep teknologi sabo dalam upaya pengendalian banjir lahar ternyata dapat disinergikan dengan
pendekatan penataan ruang karena keduanya tidak bertentangan bahkan dapat saling mendukung satu
sama lain, dimana teknologi sabo secara struktur fisik diletakkan tidak di kawasan lindung, tetapi setelah
kawasan lindung, karena dalam konsep teknologi sabo pada daerah tersebut merupakan daerah produksi
sedimen sehingga lebih tepat dengan pendekatan vegetasi atau greenery. Fungsi tambahan pada
bangunan sabo seperti intake irigasi menjaga kawasan sekitar daerah rawan bencana tetap sebagai
kawasan pertanian sehingga menekan laju alih fungsi lahan menjadi permukiman.Sementara pemanfaatan
bangunan sabo sebagai jembatan justru mendorong pertumbuhan pemukiman sehingga penempatannya
perlu dipertimbangkan agar tetap sejalan dengan penataan ruang.

Daftar Pustaka

14 Pusat Litbang Sumber Daya Air


Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan sumber Daya Air 2015

Ciurean, R.L., Dagmar Schröter dan Thomas Glade. 2013. Conceptual Frameworks of Vulnerability Assessmentsfor Natural
Disasters Reduction. Approaches to Disaster Management - Examining the Implications of Hazards, Emergencies
and Disasters, CC BY 3.0 license, http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/42656.pdf, diunduh tanggal 20 April 2014.
Dyah Ayu Puspitosari, Agus Sumaryono. 2010. Analisis Kerusakan Bangunan Sabo di Wilayah Merapi Akibat Banjir Lahar
Pasca Erupsi Merapi 2010. Jurnal Sabo Vol. 2 No. 2, p93-108.
Füssel, H-M., 2007, Adaptation planning for climate change: concepts, assessment approaches, and key lessons.
Integrated Research System for Sustainability Science and Springer 2:265–275.
Hardjosuwarno, S., Sukatja, B. dan Yunita, F.T. 2013. Early Warning System for Lahar in Merapi: Current and Future
Development. Input Paper in Prepared for the Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction 2015.
(http://www.preventionweb.net/english/hyogo/gar/2015/en/bgdocs/inputs/Hardjosuwarno%20et%20al.,
%202014.%20Early%20Warning%20System%20for%20Lahar%20in%20Merapi.pdf, didunduh tanggal 15 Oktober
2014 pukul 09.30WIB)
Kron, W. 2002. Flood risk = hazard * exposure *vulnerability . Proceedings International Symposium on Flood Defence 2002.
http://www.cws.net.cn /cwsnet/meeting-fanghong/v10108.pdf, downloaded on January 20th, 2010.
Maruyama, Y, dkk. 1980. Applied Study of Geomorphological Sand Classification on Debris Flow Control Planning in The
Area of M. Merapi, Central Jawa, Indonesia . 10th International Conference of The International Catographic
Association
Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana.
Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional.
Rokhmat H., Agus Sumaryono. 2012. Alternatif penangguangan banjir lahar dengan bangunan sabo di lereng Gunung
Gamalama. Prosiding PIT HATHI XXIX 2012, Bandung.United Nation. 2006. Early Warning Bulletin on Natural
Hazard. Edision V.LAPAN & UN-World Food Programme. Jakarta.
Smits, A.J.M., Nienhuis, P.H. and Saeijs, H.L.F. 2006. Changing estuaries, changing views , Hydrobiologia (2006) 565, pp.
339–355. http://link.springer.com/.
Soewarno;C. Bambang Sukatja ;Arif Rahmat Mulyana; Segel Ginting .2011. Teknosabo dengan basis analisis hidrologi
sebagai salah satu alternatif konservasi lahan di wilayah pegunungan . Jurnal Sabo Vol. 6 No. 2. p53-78.
Sukatja, C.B., Soewarno, Santosa Sandy Putra. 2011. Pengembangan teknologi sistem prakiraan dan peringatan dini
terjadinya aliran debris di Gunung Semeru. Junal Sabo Vol. 2 No. 2. p127-140.
Yunita, F.T., Ardian Alfianto, Sadwandharu, Djudi, Arif Rahmat Mulyanan. 2011. Pengaruh aliran debris terhadap kerusakan
Jembatan Pabelan di Dusun Prumpung, Kab. Magelang, Jawa Tengah . Jurnal Sabo Vol. 2 No. 1, p 25-36.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih diucapkan kepada semua pihak yang telah bekerja sama dan membantu sehingga kegiatan penelitian ini
dapat berjalan dengan lancar, khususnya narasumber Ibu Catharina Dwi Astuti Depari, S.T.,M.T. dari Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, Bapak Ir. Hananto Hadi Purnomo, M.Sc. dari Dinas PUP-ESDM Daerah Istimewa Yogyakarta, Ibu Rita
Probowati, ST., M.T. dari BAPPEDA Kabupaten Sleman, serta Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, Kabupaten
Klaten, dan Kabupaten Magelang

Pusat Litbang Sumber Daya Air 15

Anda mungkin juga menyukai