Anda di halaman 1dari 2

Gus Dur: Idola (Baru) Remaja

Judul Buku : Gus Dur…Asyik Gitu Loh

Penulis : Maia Rosyida

Penerbit : The WAHID Institute

Tahun Terbit : 2007

Jumlah Halaman : 98 hlm

Oleh: Nurun Nisa'

Keliru besar kalau Anda menyangka bahwa Gus Dur cuma pujaan khusus kalangan dewasa
dan orang-orang politik saja. Mau bukti? Buku bertitel Gus Dur…Asyik Gitu Loh akan
membalikkan anggapan Anda selama ini.

Buku karya Maia Rasyida, siswi Sekolah Menengah Universal (SMU) Qaryah
Thayyibah, ini membingkai kekaguman remaja terhadap sosok Gus Dur dengan
bahasa khas anak gaul sekarang. Namun isinya tetap bernas.

Ini dapat dicermati dari lembar-lembar tulisannya. Di awal, misalnya, kita bisa melihatnya
dengan baik dalam soal penggambaran fisik Gus Dur.

“Gus Dur itu ganteng? Setuju banget. Tepatnya, good looking abis. Rasanya nggak perlu lagi
sibuk hunting cowok muda yang segar dan punya perut six pack. Gus Dur (memang) jika
dilihat dari struktur wajah mungkin masih boleh dibilang kalah jauh sama Brad Pitt atau
aktor siapalah itu yang bisa bikin cewek-cewek yang ngelihat langsung teriak histeris. Diliat
dari postur badan juga boleh dikatakan Gus Dur masih jauh dari sempurna….Tapi kenapa
kita bisa lebih betah mandangin wajah Gus Dur daripada para icon cover boy yang banyak
nampang di majalah remaja itu?” (hlm. 11)

Dara kelahiran 1987 ini punya jawabnya. Gus Dur enak dipandang sebab beliau memiliki
segudang kharismatik dan inner beauty luar biasa. Tak lain ia adalah seorang intelektual
yang menata hidupnya dengan akhlak dan selalu disirami dengan ilmu. Waktu SD saja Gus
Dur sudah akrab dengan karya-karya Karl Marx, catatan-catatan pemikir Marxisme, dan
berbagai macam buku filsafat.

Kita dapat pula membaca komentar Maia terhadap pembelaan Gus Dur atas goyangan Inul
yang kontroversial itu.

“Sikap Gus Dur membela Inul dari kecaman orang-orang yang mengaku Islam adalah
cerminan sikap Rasulullah. Rasulullah gak perlu pake kekerasan ketika mendidik umatnya
yang masih belum tau. Karna Gus Dur tau betul Inul itu belum begitu tau agama, maka dia
mengayominya dengan cara yang kalem. Menunjukkan begitulah Islam. Mengajak berpikir,
tak boleh keras, dan sangat menghormati perbedaan pemikiran,” (hlm. 39).

Sikap bijak Maia ini, bagi penulis, melebihi kadar usianya. Bahkan melampaui penentang
Inul, yang sebagiannya, terang benderang tidak menunjukkan kematangan usia mereka
dalam merespon isu yang sama. Mereka tak mampu menyampaikan perbedaan pendapat
dengan santun. Cuma berani unjuk kekuatan saja layaknya preman (berjubah).
Lain lagi soal korupsi. Maia prihatin betul dengan korupsi dan pengadilan yang tak kunjung
unjuk gigi. Maia salut dengan gaya Gus Dur yang potong kompas demi mengamputasi
budaya korupsi secara radikal.

“Korupsi udah nggak mau tau tempat lagi. Ini mungkin satu hal yang yang menyebabkan
negeri ini menjadi hopeless untuk bisa bersih...pengadilan juga udah banyak yang punya
dwifungsi. So..biar pengadilan jadi layak disebut adil dan terpercaya, kira-kira gimana yah
caranya? Nggak ada harapan banget nih. Kuncinya emang pemimpin mesti tegas dan bersih.
Berani dan tanggung jawab dunia wal akherat. Kaya’ Gus Dur ajalah. Santai gitu. Tinggal
pecat sana pecat sini. Asyik tuh. Nggak bertele-tele dan habis. Meski beresiko tinggi, ya
emang begitu kan resikonya jadi orang jadi orang nomor satu? Begitu kan resikonya seorang
pembela kebenaran?” (h. 52).

Mendengar ini, para politikus, aparat penegak hukum, dan tentu saja para koruptor itu
sendiri selayaknya merenung. Atau malah malu. Sebab, remaja yang masih bau kencur saja
tahu dan bisa memilih yang terbaik; bahwa kebenaran dan kebersihan mestilah dijadikan
pegangan hidup seperti dipraktikkan Gus Dur. Bukan berlindung di balik kebohongan atau
justru menggadaikan diri dengan kekuasaan. Padahal, mereka tahu perkara ini lebih dalam
dan lebih banyak ketimbang seorang remaja seumuran Maia. Tapi mereka tak mau
melakukannya.

Buku setebal 98 hlm ini layak baca untuk semua kalangan. Diksinya renyah—namun tak
sampai jatuh pada kegenitan remaja yang kadangkala membikin tulisan menjadi barisan
kosakata prokem yang tak ada isi sama sekali.

Meski begitu, ia tetaplah buku bergizi tinggi. Ini dapat dilihat dari rujukan pendapat Maia;
mulai dari puisi-puisi Gus Mus, cerita-cerita Abu Nawas, Sirah Nabawiyah sampai kaidah-
kaidah fiqhiyyah yang lumayan rumit.

Buku ini gue banget buat para teman remaja. Para orang tua tidak perlu khawatir membaca
buku ini. Dijamin tidak akan merasa digurui. Justru mereka dijadikan teman bicara yang
setara. Wallahu A’lam.

Anda mungkin juga menyukai