Anda di halaman 1dari 11

Nama : I Wayan Candra Purnata

Nomor : 09
Kelas : X MIPA 2

TUGAS INDIVIDU

Kegiatan 1
Mosi berita 1 : Pemerintah daerah terlambat mengirim bantuan social bagi warga yang
terdampak banjir.
Mosi berita 2 : Penyebab banjir yang semakin parah akibat pemerintah daerah yang kurang
responsive.

Kegiatan 2
Mosi : Penyebab banjir yang semakin parah akibat pemerintah daerah yang kurang
responsive.
Tugas Sudut Pandang/ Sikap Pro
No.
Pendapat Argumen

1. Banjir yang semakin parah terjadi Dewasa ini, kejadian banjir kian sering
memang disebabkan kurangnya terjadi. Banjir yang terjadi tidak semata –
perhatian pemerintah daerah terhadap mata dikarenakan curah hujan yang tinggi
pemukiman warga tetapi juga merupakan factor tata letak
maupun komposisi bangunan di suatu
wilayah. Komposisi atau tata letak sebuah
wilayah merupakan salah satu penyebab
utama banjir karena komposisi yang
kurang (tidak memiliki irigasi, tanaman
perindang, dsb). Dalam penataan sebuah
desa maupun kota, tentu yang paling
berperan adalah pemerintah.
Pemerintahlah yang menjadi motor dalam
komposisi suatu wilayah, apabila keliru
atau salah melakukan tata ruang maka
dampaknya akan serius, banjir salah
satunya. Daerah pemukiman yang kurang
teratur dapat menjadi penyebab utama
banjir. Tidak adanya saluran irigasi,
kurangnya penyerapan air, dan penataan
pemukiman yang tidak teratur merupakan
penyebab dari banjir ini. Tentu semua itu
berhubungan erat dengan pemerintah,
yang seharusnya pemerintah lebih peka
terhadap situasi pemukiman warga
sehingga dapat dicari solusi secara
sesegera mungkin.

2. Pemerintah hanya berfokus pada Memang daerah perkotaan merupakan


pembangunan kota sehingga di daerah pusat dari suatu pemerintahan yang harus
pemukiman warga seperti tidak di urus ditata dengan rapi, tetapi daerah
pemukiman juga merupakan bagian dari
suatu wilayah pemerintahan tersebut. Jika
melihat fakta dilapangan, banyak ditemui
sentralisasi pembangunan yang mana
kebanyakan berfokus pada daerah
perkotaan. Sama halnya seperti kasus di
atas, banjir yang semakin parah yang
memang salah satu penyebabnya adalah
saluran irigasi merupakan salah satu
komponen pembangunan tanggung jawab
pemerintah. Artinya jika banjir disebabkan
karena irigasi, dan irigasi merupakan
tanggung jawab pemerintah maka ini akan
menimbulkan korelasi. Jadi secara
langsung penyebab banjir mengarah ke
pemerintah

Tugas Sudut Pandang/ Sikap Kontras


No.
Pendapat Argumen
1. Penyebab banjir yang semakin parah Suatu wilayah yang memang dominan
bukan karena pemerintah daerah yang memiliki curah hujan tinggi biasanya
kurang responsive akan tetapi memang memang sulit untuk di cegah dampak
kondisi suatu wilayah dampaknya (bencana alam). Sama halnya
apabila suatu daerah merupakan dataran
tinggi maka kemungkinan terkena
bencana akan semakin besar. Pemerintah
telah mengupayakan untuk melakukan
usaha pra-bencana dengan memberikan
himbauan lebih kepada daerah rawan
bencana. Kita tidak bisa memprediksi
kapan hujan akan dating dan sederas apa
hujan itu menerjang. Maka dari itu
pemerintah menghimbau lebih terhadap
mitigasi bencana, dengan memberikan
tanda – tanda akan terjadi suatu banjir
maupun bencana lainnya. Selain itu,
pemerintah juga melakukan usaha pasca-
bencana dimana pemerintah akan
bertanggung jawab jika terdapat
kerusakan materil.

2. Banjir tidak sepenuhnya persoalan Disituasi seperti ini, apabila pemerintah


pemerintah akan tetapi seluruh warga telah berusaha memberikan upaya
juga bertanggung jawab. pencegahan seperti membuat irigasi yang
dapat mengatasi banjir, tetapi banjir masih
terjadi. Tentu hal itu perlu dipertanyakan.
Jika irigasi telah terbuat, tetapi irigasi
tersebut tersumbat sampah apakah itu
merupakan salah dari pemerintah?. Irigasi
dibuat pemerintah untuk warga, wargalah
yang memakai property itu. Jadi apabila
irigasi dipenuhi dengan sampah, wargalah
yang bertanggung jawab. Ini
mengindikasikan perlu adanya kerjasama
antara pemerintah dengan warga. Karena
seperti simbiosis mutualisme, jika
pemerintah telah membuat irigasi maka
warga harus menjaga. Pemerintah untung
karena tidak perlu mengeluarkan
anggaran tambahan jika terjadi bencana
maupun kerusakan irigasi. Warga juga
untuk karena mendapat saluran air untuk
mengatasi persoalan banjir.
NASKAH TEKS DEBAT KELOMPOK 6

Link video : https://youtu.be/dLqjYFXfQL8


Nama kelompok :
1) Tim Afirmasi
 I Wayan Candra Purnata (09), Pembicara 1
 Ni Kadek Wulan Dwipuspa Kumawati (19), Pembicara 2
 Made Agus Rancana Dwipayana (35), Pembicara 3
2) Tim Oposisi
 Ni Komang Ayu Elva Suandewi (20), Pembicara 1
 Ni Luh Widiayani (34), Pembicara 2 dan 3

MOSI: PEMERINTAH AKAN MENERAPKAN HUKUMAN MATI BAGI PARA


KORUPTOR

Pembicara 1
Tim Afirmasi
Terimakasih atas waktu yang diberikan kepada kami yaitu tim afirmasi. Pada
kesempatan kali ini saya sebagai pembicara 1 dari tim afirmasi terlebih dahulunya akan
memperkenalkan anggota tim afirmasi. Pertama, saya sendiri atas nama I Wayan Candra
Purnata sebagai pembicara 1 dan rekan saya Ni Kadek Wulan Dwipuspa Kumawati sebagai
pembicara 2 dan yang terakhir Made Agus Rancana Dwipayana sebagai pembicara 3.
Selanjutnya saya sebagai pembicara 1 akan menjelaskan latar belakang mosi, kata
kunci,pemahaman topik, dan argument. Setelahnya dari pembicara 2 akan dipaparkan penguat
argument kami. Di akhir, pembicara 3 akan menyampaikan argument penutup, simpulan serta
saran. Pertama saya mulai dengan penyampaian mosi debat kali ini, yaitu:
Mosi : Pemerintah akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor.
Definisi Mosi : Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang harus ditindak
tegas oleh pemerintah. Para pelaku korupsi yang disebut dengan koruptor harus
diberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan norma dan konstitusi, tertaut
dalam mosi yaitu penerapan hukuman mati bagi koruptor
Kata kunci : Konstitusi, hukuman mati, dan koruptor
Perlu saya tegaskan, dalam debat kali ini kami akan membahas putusan atau vonis hukuman
mati terhadap pelaku korupsi yang merugikan negara (sesuai ketentuan undang – undang yaitu
diatas 1 miliar rupiah). Saya mengecam keras para perilaku korupsi dan haruslah mereka
diberikan hukuman terberat sesuai dengan KUHP yaitu hukuman mati.
Tindak pidana korupsi atau Tipikor saat ini masih menjadi bayang – bayang bagi bangsa
indonesia. Tindak kejahatan korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara akan tetapi tindak
kejahatan korupsi juga merampas hak – hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.
Pemerintah telah mengusahakan berbagai cara agar Indonesia bersih dari tindakan korupsi,
tetapi masih saja terdapat oknum aparat maupun pejabat pemerintah yang masih bebal akan
tindak pidana korupsi. Pada situasi ini, berbagai factor dapat mempengaruhi terjadinya
perbuatan korupsi. Namun, yang paling disorot disini adalah peran pemerintah dan lemahnya
implementasi peraturan perundang – undangan tentang penindakan korupsi. Indonesia
mempunyai beberapa peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi, tetapi dalam implementasinya seakan tidak sesuai dengan isi undang – undang
tersebut. Banyak kasus korupsi yang memungkinkan mendapatkan hukuman terberat (penjara
seumur hidup ataupun hukuman mati berdasarkan KUHP) tetapi paling mentok sekadar
kurungan 20 tahun penjara. Maka dari itu untuk pelaku koruptor yang merugikan negara,
haruslah dikenakan hukuman berat supaya sesuai dengan dampak yang ditimbulkan koruptor
terhadap negara maupun penduduk pribumi.
Dahulunya, sebelum terjadinya reformasi. Kasus korupsi di Indonesia sangatlah
meresahkan. Korupsi kopra salah satu contohnya, yang dilakukan oleh Iskandar tahun 1960 –
1961 yang merugikan negara hampir 6 miliar. Namun setelah adanya pergerakan reformasi
tahun 1998, ada beberapa tuntutan dari mahasiswa kala itu salah satunya adalah pemberantasan
korupsi. Menindaklanjuti tuntutan tentang pemberantasan korupsi, maka pada tahun 2002
dibentuklah KPK dengan tujuan utama untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Pemberantasan tindak pidana korupsi oleh KPK sangatlah gencar dilakukan, sehingga banyak
ditemukan kasus korupsi yang merugikan negara. Akan tetapi, pada penindakan dan pemberian
putusan di pengadilan terlihat implementasi terhadap Undang – undang masih kurang. Banyak
koruptor yang merugikan negara hingga triliunan rupiah, bahkan disaat ada bencana masih saja
anggarannya dikorupsi. Undang – undang telah memberikan peluang untuk mengeksekusi mati
pidana korupsi tertaut dalam pasal 2 ayat 2 UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan
“Kejahatan korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya
dapat dipidana dengan hukuman mati”.
Dari banyaknya kasus korupsi hingga 1 miliar lebih dan merugikan negara, tidak
satupun yang divonis hukuman mati. Hanya mentok pada kurungan seumur hidup (bahkan
terdapat sekadar kurungan 20 tahun penjara ditambah pemberihan grasi). Sepantasnya, tindak
pidana korupsi harus ditindak tegas karena saya tekankan korupsi tidak hanya merugikan
keuangan negara akan tetapi juga kesejahteraan dan hak – hak rakyat Indonesia. Jikalau sudah
seperti itu, kasus korupsi tidak hanya termasuk kejahatan pelanggaran hukum tetapi juga
kejahatan kemanusiaan karena korupsi merampas hak – hak rakyat. Maka dari itu penindakan
kasus korupsi ini haruslah disamakan dengan penindakan kasus pembunuhan bahkan teroris.
Maka dari itu tidak ada alasan lagi, mengapa penindakan korupsi tidak ada yang dihukum mati
karena telah jelas pada realitanya korupsi sangat merugikan bangsa dan rakyat.
Banyaknya kejadian korupsi di Indonesia oleh pejabat negara memberikan contoh
buruk bagi masyarakat pribumi dalam melakukan hal yang tidak terpuji serta dapat
mencerminkan betapa buruknya mosal bangsa ini. Indonesia menjadi negara nomor 3 sebagai
jumlah koruptor terbanyak di kawasan Asia. Tentu ini hal yang sangat memalukan bagi seluruh
warga negara Indonesia dimana negara kita yang berpedoman dan menjadikan Pancasila
sebagai pandangan hidup seperti dilecehkan oleh oknum – oknum koruptor.
Tim Oposisi
Terimakasih atas waktu yang diberikan kepada kami, tim oposisi. Pada kesempatan kali
ini saya sebagai pembicara 1 dari tim oposisi terlebih dahulunya akan mengenalkan anggota
tim oposisi. Pertama saya sendiri atas nama Ni Komang Ayu Elva Suandewi sebagai pembicara
1 dan rekan saya Ni Luh Widiayani sebagai pembicara 2 dan merangkap langsung sebagai
pembicara 3. Selanjutnya saya sebagai pembicara 1 akan menjelaskan latar belakang mosi, kata
kunci, dan argument. Setelahnya dari pembicara 2 akan dipaparkan penguat argument kami.
Di akhir, pembicara 3 akan menyampaikan argument penutup, simpulan serta saran. Pertama
saya mulai dengan penyampaian mosi debat kali ini.
Mosi : Pemerintah akan menerapkan hukuman mati bagi para koruptor.
Definisi mosi : Seseorang yang melakukan kejahatan harus mendapatkan sanksi yang
setimpal, seperti dalam mosi yaitu penerapan hukuman mati bagi para koruptor
yang sangat merugikan negara.
Kata kunci : Hukuman mati, HAM, UU, pemerintah, dan koruptor
Perlu saya tegaskan, bahwasannya saya mengutuk para koruptor dan menginginkan mereka
dijatuhi hukuman berat. Akan tetapi saya tidak setuju jikalau koruptor dijatuhi hukuman mati
sebagai bentuk hukuman mereka.
Korupsi yang terjadi di Indonesia ini terbilang cukup parah dan tidak terkendali,
semakin banyak orang – orang besar yang terungkap melakukan korupsi dan mungkin juga
banyak yang belum terungkap. Korupsi adalah kejahatan yang sangat merugikan bagi
masyarakat bahkan negara, tetapi masih banyak orang – orang besar/pengusaha besar
melakukannya. Pemerintah mengatakan bahwa korupsi ini berkaitan dengan kekuasaan karena
para koruptor menyalahgunakan kekuasaannya. Pemerintah melakukan banyak cara untuk
membuat jera para koruptor dan mengurangi kasus korupsi di Indonesia tetapi tetap saja masih
banyak para pejabat yang tidak kooperatif dalam menjalankan tugasnya.
Saya tidak setuju jika para koruptor dihukum mati karena cara itu tidak akan secara
langsung menghentikan rantai kasus korupsi. Beberapa alasan yang menegaskan bahwa
hukuman mati tidak pantas dijadikan tindak pidana. Pertama, karena melanggar HAM (Hak
Asasi Manusia) dimana negara wajib menghormati hak – hak warga negaranya termasuk hak
untuk hidup. Kedua, bahwa hukuman mati merupakan pelanggaran terhadap salah satu norma
negara kita. Ketiga, melanggar Undang – Undang dimana menurut UUD pasal 28A
menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya”. Tidak hanya hukuman mati seperti hukuman gantuk, kursi listrik maupun
hukuman tembak saja yang tidak diperbolehkan tetapi hukuman pengal, suntik mati dan lain
sebagainya adalah juga termasuk hukuman kejam dan tidak manusiawi.
Pun juga menurut beberapa pakar hukum, bahwa hukuman mati bertentangan dengan
Pancasila sila ke-2 karena hukuman mati dapat merampas nyawa orang dan hak untuk
hidupnya. Hukuman mati bertentangan dengan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia
dimana secara filosofi, konstitusi tidak memberikan wewenang kepada negara untuk
memberlakukan hukuman mati tertaut dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan pasal
28A UUD Negara Republik Indonesia.
Diambil perbandingan dengan negara lain yang telah banyak menerapkan hukuman
mati bagi para koruptor, China salah satu contohnya. Penerapan hukuman mati di negara
tersebut tidak dapat menurunkan persepsi korupsi. Menurut data, penerapan hukuman mati bagi
para koruptor di China sama sekali tidak mengalami peningkatan dalam indeks persepsi
korupsi. Sejak 2015 hingga 2018, nilai indeks persepsi korupsi china masih berkisar 37 hingga
41. Sedangkan di Indonesia tak jauh berbeda yaitu berkisar 36 hingga 38 pada jangka tahun
yang sama, padahal di Indonesia belum terlaksana tren hukuman mati bagi para koruptor
sedangkan di china tegas dengan pelaksanaan hukuman mati. Hal itu menunjukan bahwa
penerapan hukuman mati tidak berpengaruh terhap menurunnya tren kasus korupsi, tanpa
menerapkan hukuman mati pun negara – negara lain di eropa dapat menurunkan indeks kasus
korupsinya.

Pembicara 2
Tim Afirmasi
Pemberlakuan hukuman mati sangatlah pantas bagi para pelaku korupsi yang
merugikan negara karena untuk menjadi pengertak dan ancaman serius bagi para calon
koruptor. Itu mengindikasikan bahwa negara serius dalam menangani tindak pidana korupsi
dan tidak akan menimbulkan kecurigaan masyarakat kepada pemerintah bahwa terdapat
kecacatan hukum didalam sistem konstitusi.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwasannya masih banyak para koruptor yang
dihukum tidak sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang KKN (Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme) dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Masih
terdapat diskriminasi penerapan hukum bagi masyarakat keseluruhan, pasal 27 UUD 1945
seperti minus penerapannya. Contohnya saja dapat dilihat dari kasus korupsi Setya Novanto
dengan kasus E-KTP yang merugikan negara hampir 2,3 triliun juga merugikan seluruh rakyat
Indonesia. Berdasarkan fakta dilapangan dan juga menurut beberapa pakar hukum, Setya
Novanto tidak mendapatkan hukuman tegas baik jenis hukumannya dan pelaksanaan putusan
pengadilan yang mana Setya Novanto mendapatkan sel mewah. Hal ini tentu akan mengundang
pejabat – pejabat lain bahwa hukuman bagi para pelaku korupsi hanya sebatas seperti kasus
Setya Novanto. Tentu itu tidak akan menimbulkan rasa takut bagi calon – calon koruptor
lainnya.
Maka dari itu kita membutuhkan tindakan yang mutlak serta tegas untuk melakukan
penanganan terhadap koruptor. Terkait dengan isu pelanggaran HAM terhadap terdakwa
hukuman mati, hal ini mendapatkan respon kontra dari beberapa pakar hukum juga dari majelis
hakim. Mereka berpendapat bahwa hukuman mati sah – sah saja dipergunakan sebagai
penindakan hukum terberat jika kejahatan yang dilakukan setimpal. Korupsi adalah kejahatan
yang merugikan banyak orang dengan menyalahgunakan kekuasaan, ini tergolong kejahatan
luar biasa atau extra ordinary crime lebihnya lagi jika merugikan negara hingga triliunan
rupiah. Maka saya pikir, hukuman mati setimpal dengan tindak kejahatan korupsi. Jika
membicarakan hukuman mati bagi para koruptor yang tidak sesuai dengan konstitusi, para
hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pidana mati tidak bertentangan dengan
konstitusi atau peraturan perundang – undangan. Menurut Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor) disebutkan bahwa “Kejahatan
korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana
dengan hukuman mati”. Tentu penerapan hukuman mati pada tindak pidana korupsi akan
sejalan dengan konstitusi apabila penerapannya sesuai dengan situasi dan kondisi dan juga
kembali lagi berdasarkan keberanian hakim mengambil tindakan tegas.
Selain itu, hukuman mati bagi para pelaku korupsi semestinya diperlukan karena
tindakan pelaku korupsi yang merugikan banyak orang yang tidak sesuai dengan kehidupan
yang berkeadilan social (sila ke 5 pancasila). Sejalan dengan itu, pemberlakuan hukuman mati
bagi para koruptor haruslah disikapi dengan cara demokratis. Yaitu banyak rakyat Indonesia
yang merasa dirugikan dengan tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat dan merasa bahwa
hak – hak mereka diambil. Maka dari itu banyak rakyat Indonesia yang menginginkan bahwa
pelaku korupsi hendaknya di hukum mati selain membuat efek jera juga dapat menjadi upaya
tegas pemerintah untuk memberantas tindak kejahatan korupsi di Indonesia.

Tim Oposisi
Jika berbicara mengenai tentang pemberlakuan hukuman mati maka hendaknya kita
lihat terlebih dahulu berpikir lebih luas, apakah penanganan hukum di Indonesia sudah tepat?.
Fakta mengatakan bahwa banyak tindakan hukum lain juga tidak sesuai denga undang –
undang, salah satu contohnya adalah kasus penyiraman air keras novel baswedan. Sesuatu hal
yang sangat jangal dan terlihat jelas, pencarian tersangka memakan waktu sampai 3 tahun dari
awal 2017 hingga 2020. Namun tuntutan hukuman yang diajukan oleh jaksa hanya sebataas 1
tahun kurungan penjara? Hal ini pastinya sangat perlu dipertanyakan. Kembali lagi ke topik
awal, penerapan hukuman mati semestinya perlu dikaji lagi lebih dalam, karena hukuman mati
tidak seperti hukuman lainnya yang mana hukuman mati ini dapat merebut hak untuk hidup
dari seseorang. Dan apabila nanti misalkan sudah ada koruptor yang dihukum mati, dan setelah
dihukum mati koruptor itu tidak sepenuhnya bersalah. Apakah terlalu kejam untuk
menjatuhkan hukuman seperti itu?.
Disini juga dapat dikaitkan penerapan hukuman mati bagi koruptor dengan hubungan
indoneisa dengan negara lain. Penerapan hukuman mati dalam tibdak pidana korupsiakan
menjadi kontraproduktif, khususnya dalam konteks penindakan dengan metode ekstradisi
pelaku tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri. Jika memang benar hukuman mati
bagi para korupsi terlaksana, program Mutual Legal Assistance (MLA) yang merupakan kerja
sama bilateral antara Indonesia dengan negara – negara lain kemungkinan besar tidak akan
dapat berjalan. Menurut hukum yang berlaku di negara – negara Eropa, Australia, dan
Argentina misalnya, permohonan ekstradisi akan ditolak apabila orang yang diekstradisi
berpotensi diancam dengan pidana mati atau apabila negara yang menjadi tujuan ekstradisi
tidak menyetujui permohonan. Hal ini tentu juga akan berdampak bagi hubungan bilateral
bahkan multilateral Indonesia dengan negara – negara pengecam hukuman mati.
Pembicara 3
Tim Afirmasi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan sedang mempertimbangkan
ancaman hukuman mati bagi koruptor dalam kasus korupsi Bupati Kudus Muhammad Tamzil.
Hukuman berat bagi koruptor adalah keharusan, tapi hukuman mati bukanlah pilihan yang
pantas. Muhammad Tamzil terancam dituntut hukuman mati karena telah dua kali terjerat kasus
korupsi. Ia pernah divonis bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan sarana dan prasarana
pendidikan di Kabupaten Kudus tahun anggaran 2004-2005. Atas perbuatannya itu, ia dihukum
22 bulan penjara dan denda Rp 100 juta. Kali ini ia terjerat kasus suap jual-beli jabatan di
lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus tahun anggaran 2019. Hukuman mati bagi pelaku
korupsi memang dimungkinkan. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi secara eksplisit menyebutkan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan bagi pelaku
tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu.
dengan semakin maraknya kasus korupsi di Indonesia sehingga Diharapkan dengan
adanya wacana hukuman mati bagi koruptor bisa menimbulkan sedikit ketakutan bagi pihak
yang akan melakukan tindakan korupsi sehingga wacana tersebut tidak sampai dilaksanakan di
Indonesia yang sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat jika hukuman
mati bagi koruptor akhirnya dilaksanakan maka hukuman tersebut harus tepat pada sasaran
yaitu para pelaku melakukan penggelapan uang negara dengan jumlah yang besar dan dalam
situasi yang darurat misalnya negara dalam keadaan terkena bencana atau yg lainya sehingga
tindak korupsi tersebut tidak bisa ditolelir lagi dengan hukuman pidana biasa
koruptor yang merugikan negara ingga triliunan rupiah dan dihukum mati merupakan
sebuah hukuman paling pantas. Mereka mengambil hak – hak rakyat kecil dan hanya
memperdulikan kepentingan “cuan” mereka. Hal ini sangatlah licik sehingga memang
sepantasnya para koruptor dihukum dengan hukuman paling berat sesuai KUHP. Selain itu,
diperlukan juga penanganan hukum yang tepat dan istilahnya tidak salah tangkap agar tidak
terjadi kecacatan hukum di negara indonesai ini. Semua pihak haruslah ikut saling membahu
dalam penanganan kasus korupsi, sekecil dan sedikit apapun itu kasus korupsinya.

Tim Oposisi
Kembali lagi ke pendapat awal, bahwasannya kami tidak menyetujui adanya hukuman
mati bagi para koruptor. pada Undang-undang tentang HAM nomor 39 tahun 1999 dimana
pada pasal 9 ayat 1 dikatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup
dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Tertaut pada UU tersebut bahwasannya terdapat pasal
yang melarang adanya hukuman mati. Karena menggunakan kata setiap orang, maka hal itu
juga berlaku pada terdakwa kasus kejahatan, bahkan berlaku bagi mereka yang bukan warna
negara Indonesia. Jadi jelas, bahwa negara memandang bahwa semua orang berhak untuk
hidup, bahwa membunuh adalah tidak pantas, siapapun pelakunya, termasuk jika jika
dilakukan oleh negara. Jadi ketika negara melaksanakan eksekusi mati, maka sejatinya negara
telah melanggar hukum buatannya sendiri. Hal tersebut kemudian diperjelas lagi dengan UUD
kita bahwa disini dapat dikaitkan hukuman mati bertentangan dengan kobstitusi kita.
Intinya, menurut saya hukuman mati adalah bentuk hukuman yang sudah tidak layak
diterapkan di zaman sekarang, selain karena sebagai bentuk pelanggaran HAM dan
ketidakkonsistenan negara dalam menjalankan undang-undang, ada kemungkinan kesalahan
vonis dalam pengadilan, tidak solusitatif, tidak sesuai dengan cara pandang negara maju, juga
karena hukuman mati tidak lebih efektif dalam menekan angka kejahatan sehingga hukuman
mati lebih banyak merugikan negara dibanding manfaatnya.
Penanganan kasus korupsi sebaiknya tidak hanya dilakukan secara represif, akan lebih
baik jika penanganan kasus korupsi dilakukan secara progresif dan preventif yaitu lebih
condong ke pencegahan bukan penindakan. Sosialisasi jargon “saya anti korupsi” lebih baik
dilakukan kepada anak siswa SMP karena menurut saya, mereka sudah mulai paham dan
haruslah ditanamkan mindset anti korupsi. Namun apabila sudah terlanjur melakukan tindak
kejahatan korupsi, ada beberapa sanksi yang sekiranya dapat diterapkan :
a. Hukuman kurungan maksimal 20 tahun penjara/kurungan penjara seumur hidup;
b. Pencabutan hak politik, sehingga mereka tidak akan bisa menempati posisi di
pemerintahan lagi;
c. Penyitaan harta pribadi dengan mengambil haknya dalam mengakses keuangan
pribadinya ;
d. Pencekalan agar koruptor tidak bisa mengelak dan pergi keluar negeri.

Pidato penutup
Tim Afirmasi
Baik sekian tadi pemaparan beberapa argumentasi kami, adapun rangkuman jalannya
debat kali ini dapat saya sampaikan bahwa hukuman mati bagi para koruptor memang
sepatutnya dilaksanakan. Tindak kejahatan korupsi merupakan tindak kejahatan yang dapat
mengambil hak – hak rakyat, oleh karena itulah penindakan kasus korupsi semestinya dapat
disamakan dengan penindakan kasus pembunuhan. Tindak pidana korupsi merupakan jenis
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang penanganannya pun haruslah sejalan dengan
itu. Hukuman mati bagi para koruptor merupakan suatu tindakan yang pantas, karena seperti
beberapa argument dari tim kami banyak kasus korupsi yang vonisnya tidak sesuai dengan
undang – undang serta efek bola saljunya pun terus mengalir begitu deras. Maka diperlukan
suatu tindakan yang tegas dari pemerintah, bahwa koruptor yang sangat merugikan negara
hingga triliunan maupun koruptor melakukan kejahatannya disaat bencana dan krisis pantas
untuk dihukum mati. Dilihat dari pemaparan argument kami jika dibandingkan dengan tim
kontra, argumentasi kami lebih banyak berpatokan pada data, konstitusi atau peraturan –
perundangundangan, dan realistis. Hal ini tentu sejalan juga dengan pendapat para pakar
hukum maupun para hakim yang juga setuju dengan penerapan hukuman mati bagi para
koruptor.
Akhir kata, saya sebagai perwakilan tim afirmasi berterimakasih atas perhatian dan
waktunya. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata maupun pengucapan kalimat. Sedikit
jargon dari saya “Hukuman mati, koruptor ciut!!!”
Tim Oposisi
Sekian beberapa pendapat dan argumentasi dari tim kami, rangkuman jalannya debat
kali ini dapat saya sampaikan bahwa hukuman mati bagi para koruptor tidak sepantasnya
diberlakukan di Indonesia karena dapat melanggar Hak Asasi Manusia yaitu mengambil hak
hidup seseorang. Tentu seperti pemaparan argument dari tim kami, hal ini bertentangan dengan
UUD pasal 28A Tahun 1945. Berkaitan dengan hal itu, tentu negara Indonesia
memprioritaskan Hak Asasi Manusia terlebih dahulu karena berkaitan dengan hubungan
manusia dengan tuhan. Dilihat dari pemaparan argument kami, jika dibandingkan dengan
argument tim pro. Argument kami lebih unggul pada fakta perbandingan indeks persepsi
korupsi, pada konstitusi yaitu UUD 1945, dan Pancasila yaitu sila ke-2. Maka dari itu, dilihat
dari pemaparan argument, saya rasa keunggulan tim kami mencolok pada hal – hal yang saya
sebutkan tadi.
Baik sekiranya sekian yang dapat kami sampaikan, mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata maupun kalimat. Akhir kata, atas perhatian dan waktunya saya ucapkan
terimakasih.

Anda mungkin juga menyukai