Anda di halaman 1dari 4

MENJAGA GENERASI MILENIAL YANG BERAKHLAK DAN CERDAS

DI MASA PANDEMI

Banyak orang tua dan guru yang resah terhadap muridnya akibat dari wabah covid 19, sebab sejak virus ini
menyebar di negeri yang kita cintai ini, semua aktivitas menjadi lumpuh termasuk dunia pendidikan. Salah satu contoh
lulusan tingkat SMP/SMA yang sudah dinyatakan selesai belajar adalah angkatan tahun 2020, mereka merupakan
generasi pertama lulus tanpa Ujian Nasional.

Pendidikan Karakter di Masa Pandemi, Menjadi Tanggung Jawab Siapa?


Oleh : Takhroji Aji
Guru bahasa Inggris pada MTs Negeri 7 Model Jakarta

Anwar Makarim menerbitkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa
Darurat Coronavirus Disease (Covid-19). Terkait belajar dari rumah. Mendikbud menekankan bahwa pembelajaran
dalam jaringan (daring)/jarak jauh dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa,
tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan. Mendikbud
mengajurkan bagi daerah yang sudah melakukan belajar dari rumah agar dipastikan guru juga mengajar dari rumah
untuk menjaga keamanan para guru.
Mendikbud dalam isi Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 itu juga menyatakan bahwa pembelajaran daring/jarak jauh
difokuskan pada peningkatan pemahaman siswa mengenai virus korona dan wabah Covid-19. Adapun aktivitas dan
tugas pembelajaran dapat bervariasi antar siswa, sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk dalam hal
kesenjangan akses/fasilitas belajar di rumah. Bukti atau produk aktivitas belajar diberi umpan balik yang bersifat
kualitatif dan berguna dari guru, tanpa diharuskan memberi skor/nilai kuantitatif. Walaupun banyak sekolah
menerapkan belajar dari rumah, bukan berarti guru hanya memberikan pekerjaan saja kepada peserta didik, tetapi juga
ikut berinteraksi dan berkomunikasi membantu peserta didik dalam mengerjakan tugas-tugas mereka. Guru tetap perlu
berinteraksi dan berkomunikasi dengan siswanya meskipun tidak dari dalam ruang kelas.
Sampai hari ini ruang kelas masih dipandang sebagai pendidikan yang sesungguhnya oleh sebagian besar rakyat
Indonesia. Masyarakat masih memandang bahwa ruang kelas adalah sekolah yang sesungguhnya  dan kelas online
itu less effective. Masyarakat belum menganggap kelas online dapat membantu dalam pendidikan anak meskipun, saat
ini telah banyak bermunculan start-up yang bergerak dalam bidang pendidikan online. Kita menganggap bahwa
penutupan ruang kelas berdampak terhadap guru, siswa, dan orang tua di mana pun. Jika sebelumnya ada banyak sekali
sekolah yang sudah menggunakan teknologi dalam pembelajaran, maka dalam kondisi yang tidak biasa ini, semua
sekolah di Indonesia dipaksa untuk menerapkan teknologi dalam proses belajar mengajar. Padahal teknologi tidak
sepenuhnya dapat membantu proses belajar dari jarak jauh menjadi lebih mudah untuk diterapkan. Ada banyak kendala
yang dihadapi oleh siswa dalam menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran jarak jauh, khususnya untuk para
siswa dan guru yang tinggal di daerah – daerah terpencil, mereka yang tinggal di pedalaman, ditambah lagi dengan
kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan orang tua peserta didik untuk memiliki HP smartphone dan harus membeli
kuota internet guna mengakses internet setiap hari. Mengesampingkan keterbatasan di atas, artikel ini ingin
menyampaikan bahwa ada kendala yang tidak dapat dijangkau oleh teknologi yang lebih dari itu semua, bahwa
teknologi tidak dapat menyentuh salah satu inti dari pendidikan, yaitu pendidikan karakter. Ketika  pendidikan harus
menerapkan pembalajaran jarak jauh, ketika siswa harus belajar dari rumah, ketika guru harus mengajar dari rumah,
maka siapa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan karakter siswa?
Salah satu ajaran yang terkenal dari sang bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara adalah “ Setiap orang
menjadi guru setiap rumah menjadi sekolah.” Mengintegrasikan ajaran beliau dengan  tujuan kurikulum 2013, maka
setidaknya kita dapat mengambil dua pelajaran. Pertama bahwa setiap anggota keluarga yang lebih dewasa harus dapat
mengajarkan sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Kedua bahwa setiap rumah hendaknya menjadi
tempat bagi setiap anggota keluarga, khususnya anak – anak, untuk bisa memperoleh sikap spiritual, sosial,
pengetahuan, dan keterampilan untuk kehidupan yang penuh makna di masa depan. Sikap spiritual dan sosial inilah
yang akan membentuk karakter peserta didik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
karakter atau watak adalah sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang
dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya. Pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan karakter yang baik itu
tidak selalu harus mengandalkan ruang – ruang kelas melalui  guru yang secara resmi mengajar di sekolah, namun
seyogyanya bisa diperoleh dari orang tua dan orang dewasa yang ada di rumah dan di sekitarnya (community based
education).
Al Quran sendiri banyak menjelaskan tentang pendidikan Islam seperti di surat Al Lukman ayat 13 yang artinya: “Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya Wahai anakku!
Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman
yang besar.
Pada ayat di atas, dijelaskan bahwa pendidikan yang paling ditekankan adalah pendidikan karakter yang dilakukan
orang tua dari rumah, karena pendidikan dari orang tua merupakan pendidikan yang paling pertama  didapatkan oleh
seorang anak sebelum mendapatkan pendidikan dari luar seperti sekolah atau madrasah. Dan ayat tersebut menjelaskan
kepada kita bahwa orang tua sebagai orang dewasa yang ada di rumah dan sebagai guru pertamanya peserta didik,
harus melarang kita untuk berbuat yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Disamping itu pada ayat selanjutnya  secara
terang-terangan menjelaskan kepada kita tentang prinsip-prinsip dasar dari materi pendidikan karakter yang sangat kuat
yang terdiri atas masalah iman, ibadah, sosial, dan ilmu pengetahuan yang nantinya akan membentuk karakter seorang
anak untuk menjadi bekal bagi anak tersebut.
Penelitian yang penulis lakukan dengan jumlah responden sebanyak 178 orang tuam murid dari tingkat TK sampai
dengan SMU menunjukan bahwa orang tua siswa setuju untuk mengatakan bahwa mereka tidak dapat sepenuhnya
melakukan pendidikan karakter terhadap anaknya tanpa bantuan guru. Para orang tua yakin bahwa guru sangat
membantu mereka dalam membentuk dan membangun karakter anak-anaknya. Mereka merasa bahwa keberadaan guru
dalam membangun karakter anak-anak sangat dibutuhkan. Tanpa adanya peran serta guru maka orang tua  tidak dapat
secara maksimal membentuk dan membangun karakter anak – anak mereka.

Keterangan :
Diagram 1 menunjukan dari 178 responden, 92,1% ( 164 responden) menyatakan bahwa orang tua tidak dapat
membangun karakter anak dengan maksimal tanpa peran serta para guru.
Diagram 2 menunjukan dari 178 responden, 88,2% (157 responden) menyatakan bahwa karakter anak tidak dapat
dibangun di rumah dan lingkungan anak tanpa adanya peran serta sekolah
Diagram 3 menunjukan dari 178 responden 98,3% (175 responden) menyatakan bahwa selama anak – anak belajar dari
rumah peran serta guru dalam membangun karaktek peserta didik masih sangat diperlukan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural
Organization) yang bergerak dibidang pendidikan, pengetahuan dan budaya mencanangkan empat pilar pendidikan
yakni: (1) learning to Know (belajar agar mendapatkan ilmu pengetahuan), (2) learning to do (belajar agar
mendapatkan keterampilan), (3) learning to be (belajar agar bisa menjadi dirinya sendiri, menjadi seseorang yang
bermanfaat), dan (4) learning to live together (belajar agar bisa hidup bermasyarakat secara global). Keempat pilar
tersebut secara sinergi membentuk dan membangun pola pikir pendidikan di Indonesia. Pembentukan karakter
ditunjukan oleh pilar ke (3) learning to be (belajar agar bisa menjadi dirinya sendiri, menjadi seseorang yang
bermanfaat), dan pilar ke (4) learning to live together (belajar agar bisa hidup bermasyarakat secara global). UNESCO
menekankan betapa pentingnya pendidikan karakter sehingga memasukannya menjadi pilar pendidikan seluruh dunia.
Sejalan dengan UNESCO, pembangunan pendidikan nasional Indonesia didasarkan pada paradigma membangun
manusia Indonesia seutuhnya yang tertuang di dalam tujuan kurikulum. Tujuan kurikulum tahun 2013 revisi 2016
mencakup empat kompetensi, yaitu (1) kompetensi sikap spiritual, (2) sikap sosial, (3) pengetahuan, dan (4)
keterampilan. Kompetensi tersebut dicapai melalui proses pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, dan/atau
ekstrakurikuler. Rumusan Kompetensi Sikap Spiritual yaitu “Menghargai dan menghayati ajaran agama yang
dianutnya”. Adapun rumusan Kompetensi Sikap Sosial yaitu, “Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,
peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan
alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya”. Kedua kompetensi tersebut akan membentuk karakter peserta
didik dan dapat dicapai melalui pembelajaran tidak langsung (indirect teaching), yaitu keteladanan, pembiasaan, dan
budaya sekolah dengan memperhatikan karakteristik mata pelajaran serta kebutuhan dan kondisi peserta didik. Kondisi
saat ini dimana anak harus belajar dari rumah tidak memungkinkan bagi guru untuk membangun karakter peserta didik
secara langsung ataupun melalui indirect teaching seperti di sekolah. Sayangnya pendidikan karakter berupa perilaku
jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dll melalui pembelajaran jarak
jauh saat ini dianggap minim oleh para orang tua murid meskipun pembelajaran jarak jauh ini difasilitasi oleh
teknologi yang memadai.
Diagram 4 di atas menunjukan dari 175 responden 59,4% (104 responden) menyatakan guru memberikan pendidikan
karakter dengan jumlah yamg lebih sedikit dibandingkan materi pelajaran, 8% (14 responden) menyatakan guru tidak
memberikan pendidikan karakter. Hanya 32,6% (57 responden) yang menyatakan bahwa pendidikan   karakter
diberikan dengan porsi yang sama dengan materi pelajaran.      
Meskipun guru harus mengajar dari jarak jauh namun para orang tua masih sangat percaya bahwa pendidikan karakter
di bawah bimbingan guru tetap diperlukan demi terciptanya tujuan pendidikan nasional sesuai amanah UUD tahun
1945

Oleh Fathoni Ahmad Tradisi literasi sudah berkembang jauh sebelum era milenial hadir di tengah-tengah pesatnya
perkembangan teknologi digital dan media sosial. Hal itu terbukti dengan melimpahnya karya-karya ulama dan tokoh-
tokoh Nusantara. Tradisi literasi lahir dari nalar ilmiah, tidak sembarang mengambil kesimpulan tanpa verifikasi dan
kritik sumber, serta berbasis metodologi dan pembacaan mendalam. Spirit tradisi literasi di atas penting diperhatikan
oleh generasi milienial yang lebih banyak mengonsumsi berita dan informasi via jaringan online dan media sosial.
Tabayun, itulah tradisi lain yang perlu dibawa sehingga seseorang tidak terjebak dengan berita atau informasi, gambar,
video yang belum tentu kebenarannya. Literasi yang baik dengan proses tabayun merupakan upaya agar seseorang bisa
memelihara akal sehatnya. Karena konsumsi informasi yang tidak benar akan mendestruksi (merusak) akal sehat
sehingga yang tertanam adalah kebencian belaka. Spirit literasi digital dengan proses tabayun yang kuat adalah salah
satu langkah yang harus dilakukan karena tidak sedikit informasi palsu (hoaks) atau berita bohong (fake news) yang
kerap mempengaruhi seseorang sehingga berdampak pada tatanan sosial yang terganggu, menimbulkan keresahan, dan
perpecahan antar-elemen bangsa. Atas sedikit banyak dampak yang ditimbulkan dari era digital ini, sejumlah elemen
bangsa sadar akan tantangan hebat yang bakal dihadapi oleh generasi Indonesia ke depan. Sebelum menginjak ke
berbagai tantangan yang lebih serius, kelompok yang sadar akan keberlangsungan Indonesia terus berupaya membekali
anak-anak yang disebut generasi milenial ini untuk memperkuat literasi digital. Generasi milenial disebut juga
Generasi Z. Merujuk pada abjad huruf, Z merupakan huruf terakhir sehingga bisa dikatakan bahwa generasi milenial
merupakan generasi terakhir dengan perkembangan teknologi yang luar biasa. Dalam klasifikasi generasi era digital,
generasi ini disebut native digital, generasi yang lahir ketika era digital telah berkembang pesat. Adapun generasi
satunya disebut digital immigrant. Generasi ini lahir ketika terjadi proses transformasi digital. Lahir ketika era internet
belum berkembang pesat bahkan belum ada perkembangan internet, kemudian saat ini dihadapkan pada era di mana
generasi asli digital atau native digital juga menghadapinya. Kelompok digital immigrant inilah yang sadar akan
tantangan perkembangan digital bagi masa depan bangsa dan generasi mudanya sehingga terus mendorong literasi
digital agar generasi Z tidak terlalu terbius dengan virus digital dan segala sesuatu yang mengiringinya. Namun,
kelompok digital immigrant juga tidak sedikit yang terpengaruh dengan gaya kehidupan generasi milenial. Langkah
pencerdasan generasi milenial perlu mendapat panduan dari generasi-generasi sebelumnya yang justru lebih dahulu
memahami dinamika yang berkembang dalam dunia teknologi informasi. Bahkan dari pemahaman tersebut, pola
prediksi perkembangan teknologi selanjutnya bisa dilakukan. Langkah pencerdasan ini bisa dimulai dengan
memberikan pemahaman melalui penulisan buku terkait literasi digital dan perkembangannya. Generasi milenial tetap
bisa belajar dari pendiri Facebook Mark Zuckerberg; pendiri Google Lary Page dan Sergey Brin; pendiri Twitter Evan
Williams, Jack Dorsey, Christoper Biz Stone, dan Noah Glass; dan pendiri Alibaba Jack Ma. Mereka menghiasi dunia
digital dengan berbagai platform yang bisa digunakan oleh generasi milenial untuk berinteraksi dengan sesamanya,
baik untuk kebutuhan sosial, bisnis, pendidikan, dan lainnya. Poin penting dari para pendiri kerajaan digital tersebut
ialah komitmen yang kuat dalam melakukan inovasi berdasarkan kebutuhan-kebutuhan manusia zaman modern
sehingga memberikan gambaran jelas terkait karakteristik generasi milenial. Perkembangan era digital satu sisi bisa
memperkuat bangunan kemanusiaan sebuah bangsa, tetapi di sisi lain juga dengan mudahnya masyarakat terpengaruh
arus informasi yang beredar sehingga potensi perpecahan juga mudah tersulut. Di tengah arus media digital yang
demikian masif, Hasan Chabibie (2017) menjelaskan, kebinekaan yang menjadi identitas warga Indonesia mendapat
ancaman (tantangan, red) serius. Ancaman itu berupa meningkatnya eskalasi kebencian dan provokasi yang disebarkan
secara massif melalui media sosial. Revolusi teknologi dan mudahnya akses media sosial ternyata menyimpan ruang
gelap berupa kebencian dan isu-isu negatif yang dihembuskan kelompok radikal. Kelompok radikal tidak terlepas dari
kelompok konservatif yang menghembuskan isu-isu keagamaan untuk kepentingan politik kekuasaan. Namun
sebelumnya, kelompok ini sudah beredar di Indonesia dengan upaya meresahkan masyarakat dengan dalil-dalil
keagamaan yang cenderung menyerang tradisi keagamaan masyarakat Indonesia. Kini ruang mereka lebih luas di era
perkembangan digital dengan merambah dakwah di media sosial untuk mempengaruhi masyarakat secara luas dengan
pemikiran-pemikiran radikal dan dalil-dalil keagamaan yang konservatif. Di sinilah tantangan besar generasi milenial
agar lebih cerdas dalam memilah dan memilih informasi yang harus diikuti atau dikonfirmasi kebenarannya (tabayun).
Era digital ini tidak memungkiri bahwa yang selama ini berkembang justru wacana-wacana keagamaan
kontraproduktif, karena agama yang seharusnya bisa memperkuat persaudaraan (ukhuwah) berbagai elemen bangsa
justru menjadi pemicu perpecahan di antara anak bangsa.  Sehingga tidak heran ketika KH Ahmad Ishomuddin (2017)
mengatakan, generasi saat ini mempunyai semangat belajar keagamaan yang tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan
kemampuan memahami agama itu sendiri. Sebab itu, belajar kepada guru, ustadz, dan kiai yang tepat mempunyai
peran yang sangat penting untuk mendukung gagasan literasi digital. Dunia pendidikan merupakan elemen penting
bangsa dan negara yang turut terkena dampak (impact) perkembangan digital. Dampak positif banyak dihasilkan
seperti media pembelajaran dan akses komunikasi serta informasi yang semakin mudah. Namun sejurus itu, dampak
negatif juga terus membayangi seperti banyaknya konten-konten bersifat merusak, krisis interaksi sebab ketagihan
gadget, dan lain sebagainya. Namun demikian, betapa perkembangan digital ini mampu menjangkau luas berbagai
elemen bangsa untuk mengakses pendidikan seluas-luasnya melalui inovasi pendidikan yang terwujud dalam berbagai
platform aplikasi digital yang sangat bermanfaat. Artinya, perkembangan digital dalam dunia pendidikan merupakan
salah satu langkah mewujudkan gagasan literasi digital. Generasi milenial yang mempunyai karakter lebih dominan
dalam mengakses informasi melalui internet ketimbang buku harus diimbangi dengan konten-konten dan aplikasi
positif dalam dunia pendidikan. Namun, di tengah perkembangannya, literasi digital ini juga harus menjadi media
untuk anak bangsa bahwa belajar langsung kepada seorang guru yang tepat juga menjadi bekal dalam mengarungi
dunia digital. Karena, bekal ini akan bermanfaat bagi generasi milenial untuk mengisi dunia maya dengan konten-
konten positif dalam rangka membangun Indonesia yang kuat dan agama yang lebih ramah untuk kehidupan bersama.
Penulis adalah Redaktur NU Online  --------------  Artikel ini diterbitkan kerja sama antara NU Online dengan
Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/112127/menjadi-generasi-milenial-yang-cerdas

Tiga Hal yang Harus Dimiliki Generasi Milenial


Menurut Ridwan Kamil
Administrator
- 19 November 2018, 03:15 WIB

BANDUNG, (PR).- Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil mengisi ceramah pada "Milenials Day" yang diadakan di Gedung
Negara Pakuan, Rumah Dinas Gubernur Jawa Barat, pada Minggu, 18 November 2018.

Pada forum diskusi anak muda milenials Jawa Barat bertema #energimilenials ini, dibahas berbagai isu terkini yang menyoal
optimisme pemuda, rancangan masa depan, isu media sosial, hoaks, serta bagaimana jurus seorang milenial menghadapi
semuanya secara Islami.

Hadir tokoh dari kelompok dan organisasi kepemudaan Jawa Barat seperti Yana Umar  yang merupakan dirigen Viking
Persib Club, kelompok XTC Hijrah, Brigez Road to Jannah, Moonraker, dan GBR Fisabilillah. Adapula talkshow Islami (I-
talkshow) oleh Ustad Budi Prayitno, Ustad Sinyo, dan Ustad Edwin Khadafi.

Pada kesempatan tersebut, Ridwan Kamil berpesan kepada para milenial untuk memiliki tiga nilai, yakni beriman, berilmu,
dan berakhlak. "Punyailah tiga nilai ini. Saya yakini kalau Anda punya nilai tiga ini. Jangan hanya satu, jangan hanya dua,
harus tiga," kata Emil, sapaan akrab Gubernur, dalam rilis Humas Pemprov Jabar. 

Generasi milenial, haruslah memiliki iman, karena Indonesia sendiri merupakan bangsa yang religius. Ketuhanan Yang
Maha Esa telah disebutkan dalam sila pertama Pancasila. "Semua harus punya iman, rajin ke masjid, rajin ke tempat ibadah,"
kata Emil.

Kedua, para milenial harus berilmu, dan terus mengembangkan kemampuan. Menurut Emil, dengan ilmu dan keahlian yang
dimiliki, generasi milenial memiliki daya saing. Dengan bekal ilmu juga, generasi milenial bisa menangkal hoaks, dan pada
jangkauan yang lebih luas lagi, dengan ilmu, di masa depan milenial akan jadi generasi yang tak mudah dibodohi.

Selanjutnya, nilai yang ketiga ialah berakhlak. Setelah memiliki Iman dan ilmu, para milenial pun wajib berakhlak. "Banyak
pintar tetapi jahat, banyak pintar tetapi julid, banyak pintar tetapi nyinyir, jadilah orang yang berakhlak, sopan santun bicara
yang baik atau diam," kata Emil.***

Anda mungkin juga menyukai