Anda di halaman 1dari 13

1

UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI: MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

MATA KULIAH: ISU DAN MASALAH KEBIJAKAN PUBLIK KONTEMPORER

Pertemuan 2:

MASALAH PENDIDIKAN KARAKTER (CHARACTER BUILDING)


DI ERA PANDEMI
Oleh: E. Mulyasa
mulyasa2000@gmail.com

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengkaji dan menganalisis uraian tentang masalah pendidikan karakter


character building) di era pandemi, mahasiswa dapat:

1. Membedakan pendidikan karakter di era pandemi dengan era normal.

2. Menjelaskan tentang Kerjasama dalam Pembentukkan Karakter.

3. Menjelaskan Implementasi Pendidikan Karakter di Era Pandemi.

4. Melakukan analisis SWOT terhadap pelaksanaan pendidikan formal dalam era


pandemi.

5. Merumuskan berbagai strategi alternatif pendidikan karakter di era pandemi sekarang


ini.

PENDAHULUAN
2

Sejak dimulainya masa pandemi, pendidikan di Indonesia beralih melalui daring (online).
Hampir semua jenjang mengikuti pembelajaran melalui platform yang terdapat di
komputer. Banyak pembelajaran yang diambil ketika mengikuti belajar online. Menurut
Hendarman, kondisi anak zaman ‘now’ kebanyakan sudah menggunakan gadget bahkan
lebih canggih dari orang tua. Umumnya anak-anak menggunakan gadget untuk sosial
media, game, dan youtube. WHO telah mengeluarkan Clasification of Disease yang
menyebutkan kecanduan main game sebagai gangguan kesehatan jiwa. Maka dari itu,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Kebijakan Penguatan Pendidikan
Karakter. Strategi kebijakan ini tertuang dalam habituasi yaitu diajarkan,dibiasakan, dilatih
konsisten, menjadi kebiasaan, menjadi karakter, menjadi budaya. Strategi ini dapat
diterapkan mulai dari rumah, kelas, sekolah, dan masyarakat. Nilai Karakter yang dapat
diciptakan saat pembelajaran di rumah adalah nilai kemandirian, gotong royong, dan
kreativitas. Selama masa pandemi ini, semua pihak di sektor pendidikan harus keluar dari
zona nyaman untuk berinovasi menciptakan kreativitas, harus melakukan adaptasi yang
lebih dengan penggunaan teknologi, serta harus menyadari peranan penting teknologi
dalam mendukung pembelajaran.
 
Pada sesi selanjutnya, Reneta Kristiana memberi penjelasan bagaimana membentuk
karakter anak di masa belajar dari rumah. Peran guru yang masih bisa dilakukan saat
pembelajaran di rumah adalah menyiapkan materi pembelajaran, mengajarkan dan
mengevaluasi pembelajaran apakah sudah sesuai. Penting bagi guru untuk meningkatkan
kreativitas untuk pembelajaran di rumah agar tidak terlalu bosan. Peran guru saat ini yang
sudah digantikan orang tua adalah membimbing keteraturan dan kedisiplinan ketika proses
belajar, lalu juga memotivasi anak dalam belajar dan menjadi fasilitator yang baik bagi
anak dalam belajar.

KERJASAMA DALAM PEMBENTUKKAN KARAKTER


Karakter siswa bisa membentuk visi misi sekolah. Setiap mata pelajaran selalu ada
bagian karakter yang harus di kembangkan. Pihak sekolah memberikan informasi tentang
nilai-nilai  karakter yang akan ditanamkan, dari situ orang tua dapat diajak berkomunikasi.
Belajar dari pandemi, guru orangtua dan masyarakat harus bersinergi bekerja sama
membangun pendidikan.
3

Anwar Makarim menerbitkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang


Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19). Terkait
belajar dari rumah. Mendikbud menekankan bahwa pembelajaran dalam jaringan
(daring)/jarak jauh dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna
bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk
kenaikan kelas maupun kelulusan. Mendikbud mengajurkan bagi daerah yang sudah
melakukan belajar dari rumah agar dipastikan guru juga mengajar dari rumah untuk
menjaga keamanan para guru.

Mendikbud dalam isi Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 itu juga menyatakan
bahwa pembelajaran daring/jarak jauh difokuskan pada peningkatan pemahaman siswa
mengenai virus korona dan wabah Covid-19. Adapun aktivitas dan tugas pembelajaran
dapat bervariasi antar siswa, sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk dalam hal
kesenjangan akses/fasilitas belajar di rumah. Bukti atau produk aktivitas belajar diberi
umpan balik yang bersifat kualitatif dan berguna dari guru, tanpa diharuskan memberi
skor/nilai kuantitatif. Walaupun banyak sekolah menerapkan belajar dari rumah, bukan
berarti guru hanya memberikan pekerjaan saja kepada peserta didik, tetapi juga ikut
berinteraksi dan berkomunikasi membantu peserta didik dalam mengerjakan tugas-tugas
mereka. Guru tetap perlu berinteraksi dan berkomunikasi dengan siswanya meskipun tidak
dari dalam ruang kelas, dan juga bekerja sama dengan orang tua dalam membentuk
karakter dan kompetensi siswa.

Sampai hari ini ruang kelas masih dipandang sebagai pendidikan yang
sesungguhnya oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Masyarakat masih memandang bahwa
ruang kelas adalah sekolah yang sesungguhnya  dan kelas online itu less effective.
Masyarakat belum menganggap kelas online dapat membantu dalam pendidikan anak
meskipun, saat ini telah banyak bermunculan start-up yang bergerak dalam bidang
pendidikan online. Kita menganggap bahwa penutupan ruang kelas berdampak terhadap
guru, siswa, dan orang tua di mana pun. Jika sebelumnya ada banyak sekali sekolah yang
sudah menggunakan teknologi dalam pembelajaran, maka dalam kondisi yang tidak biasa
ini, semua sekolah di Indonesia dipaksa untuk menerapkan teknologi dalam proses belajar
mengajar. Padahal teknologi tidak sepenuhnya dapat membantu proses belajar dari jarak
4

jauh menjadi lebih mudah untuk diterapkan. Ada banyak kendala yang dihadapi oleh siswa
dalam menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran jarak jauh, khususnya untuk
para siswa dan guru yang tinggal di daerah – daerah terpencil, mereka yang tinggal di
pedalaman, ditambah lagi dengan kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan orang tua
peserta didik untuk memiliki HP smartphone dan harus membeli kuota internet guna
mengakses internet setiap hari. Mengesampingkan keterbatasan di atas, artikel ini ingin
menyampaikan bahwa ada kendala yang tidak dapat dijangkau oleh teknologi yang lebih
dari itu semua, bahwa teknologi tidak dapat menyentuh salah satu inti dari pendidikan,
yaitu pendidikan karakter. Ketika  pendidikan harus menerapkan pembalajaran jarak jauh,
ketika siswa harus belajar dari rumah, ketika guru harus mengajar dari rumah, maka siapa
yang bertanggung jawab terhadap pendidikan karakter siswa?

Salah satu ajaran yang terkenal dari sang bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar
Dewantara adalah “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”
Mengintegrasikan ajaran beliau dengan  tujuan kurikulum 2013, maka setidaknya kita
dapat mengambil dua pelajaran. Pertama bahwa setiap anggota keluarga yang lebih dewasa
harus dapat mengajarkan sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan. Kedua
bahwa setiap rumah hendaknya menjadi tempat bagi setiap anggota keluarga, khususnya
anak – anak, untuk bisa memperoleh sikap spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan
untuk kehidupan yang penuh makna di masa depan. Sikap spiritual dan sosial inilah yang
akan membentuk karakter peserta didik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
karakter atau watak adalah sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi
pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya. Pemerolehan
pengetahuan, keterampilan, dan karakter yang baik itu tidak selalu harus mengandalkan
ruang – ruang kelas melalui  guru yang secara resmi mengajar di sekolah, namun
seyogyanya bisa diperoleh dari orang tua dan orang dewasa yang ada di rumah dan di
sekitarnya (community based education).

Al Quran sendiri banyak menjelaskan tentang pendidikan Islam seperti di surat Al


Lukman ayat 13 yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,
ketika dia memberi pelajaran kepadanya Wahai anakku! Janganlah engkau
5

mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar


kezaliman yang besar.

Pada ayat di atas, dijelaskan bahwa pendidikan yang paling ditekankan adalah
pendidikan karakter yang dilakukan orang tua dari rumah, karena pendidikan dari orang tua
merupakan pendidikan yang paling pertama  didapatkan oleh seorang anak sebelum
mendapatkan pendidikan dari luar seperti sekolah atau madrasah. Dan ayat tersebut
menjelaskan kepada kita bahwa orang tua sebagai orang dewasa yang ada di rumah dan
sebagai guru pertamanya peserta didik, harus melarang kita untuk berbuat yang tidak sesuai
dengan ajaran agama. Di samping itu pada ayat selanjutnya  secara terang-terangan
menjelaskan kepada kita tentang prinsip-prinsip dasar dari materi pendidikan karakter yang
sangat kuat yang terdiri atas masalah iman, ibadah, sosial, dan ilmu pengetahuan yang
nantinya akan membentuk karakter seorang anak untuk menjadi bekal bagi anak tersebut.

Sebagian besar orang tua siswa mengatakan bahwa mereka tidak dapat sepenuhnya
melakukan pendidikan karakter terhadap anaknya tanpa kerjasama dengan guru. Para orang
tua yakin bahwa guru sangat membantu mereka dalam membentuk dan membangun
karakter anak-anaknya. Mereka merasa bahwa keberadaan guru dalam membangun
karakter anak-anak sangat dibutuhkan. Tanpa adanya peran serta guru maka orang tua 
tidak dapat secara maksimal membentuk dan membangun karakter anak – anak mereka.
Dalam kerangka inilah perlunya kerja sama orang tua dan guru dalam membangun pribadi
siswa.

Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui lembaga UNESCO (United Nations,


Educational, Scientific and Cultural Organization) yang bergerak dibidang pendidikan,
pengetahuan dan budaya mencanangkan empat pilar pendidikan yakni: (1) learning to
Know (belajar agar mendapatkan ilmu pengetahuan), (2) learning to do (belajar agar
mendapatkan keterampilan), (3) learning to be (belajar agar bisa menjadi dirinya sendiri,
menjadi seseorang yang bermanfaat), dan (4) learning to live together (belajar agar bisa
hidup bermasyarakat secara global). Keempat pilar tersebut secara sinergi membentuk dan
membangun pola pikir pendidikan di Indonesia. Pembentukan karakter ditunjukan oleh
pilar ke (3) learning to be (belajar agar bisa menjadi dirinya sendiri, menjadi seseorang
yang bermanfaat), dan pilar ke (4) learning to live together (belajar agar bisa hidup
6

bermasyarakat secara global). UNESCO menekankan betapa pentingnya pendidikan


karakter sehingga memasukannya menjadi pilar pendidikan seluruh dunia.

Sejalan dengan UNESCO, pembangunan pendidikan nasional Indonesia didasarkan


pada paradigma membangun manusia Indonesia seutuhnya yang tertuang di dalam tujuan
kurikulum. Tujuan kurikulum tahun 2013 revisi 2016 mencakup empat kompetensi, yaitu
(1) kompetensi sikap spiritual, (2) sikap sosial, (3) pengetahuan, dan (4) keterampilan.
Kompetensi tersebut dicapai melalui proses pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler,
dan/atau ekstrakurikuler. Rumusan Kompetensi Sikap Spiritual yaitu “Menghargai dan
menghayati ajaran agama yang dianutnya”. Adapun rumusan Kompetensi Sikap Sosial
yaitu, “Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong
royong), santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial
dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya”. Kedua kompetensi tersebut
akan membentuk karakter peserta didik dan dapat dicapai melalui pembelajaran tidak
langsung (indirect teaching), yaitu keteladanan, pembiasaan, dan budaya sekolah dengan
memperhatikan karakteristik mata pelajaran serta kebutuhan dan kondisi peserta didik.
Kondisi saat ini dimana anak harus belajar dari rumah tidak memungkinkan bagi guru
untuk membangun karakter peserta didik secara langsung ataupun melalui indirect
teaching seperti di sekolah. Sayangnya pendidikan karakter berupa perilaku jujur, disiplin,
tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri, dll melalui
pembelajaran jarak jauh saat ini dianggap minim oleh para orang tua siswa, meskipun
pembelajaran jarak jauh ini difasilitasi oleh teknologi yang memadai.

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI ERA PANDEMI

Meskipun guru harus mengajar dari jarak jauh namun para orang tua masih sangat
percaya bahwa pendidikan karakter di bawah bimbingan guru tetap diperlukan demi
terciptanya tujuan pendidikan nasional sesuai amanah UUD tahun 1945. Dalam pendidikan
karakter Thomas Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang
baik yang disepakati secara global, yaitu moral knowing atau memiliki pengetahuan
tentang moral dan etika dalam bermasyarakat, moral feeling yaitu memiliki perasaan yang
sesuai dengan moral, dan moral action yaitu melakukan perbuatan – perbuatan yang sesuai
dengan nilai – nilai  moral. Ketiga karakter ini berlaku secara global di seluruh dunia secara
7

fitrah manusia. Untuk mencapai ketiga karakter ini diperlukan tiga tempat pendidikan yang
bekerja secara bersamaan yaitu rumah, sekolah, dan masyarakat.

Rumah harus kembali menjadi school of love atau baitii jannatii. Rumah dibawah


tanggung jawab ayah dan ibu mejadi tempat penanaman  karakter yang kuat. Orang tua
harus dapat memberikan rasa aman terhadap anak –anak agar mereka merasa dekat dan
menjadikan orang tuanya sebagai role model yang pertama. Banyaknya anak remaja yang
mengidolakan artis atau orang lain yang ia temui di medsos atau televisi merupakan salah
satu dampak negative karena kurang maksimalnya peran orang tua sebagai role
model mereka di rumah. Menurut Megawangi (2003) beberapa kesalahan orang tua dalam
mendidik anak adalah (1) Orang tua kurang menunjukan kasih sayang mereka bik secara
verbal maupun fisik, (2) kurang meluangkan waktu untuk anaknya, (3) bersikap kasar
terhadap anak baik secara verbal maupun fisik, (4) memaksa anak untuk menjadi pintar
terlalu dini, (5) tidak menanamkan karakter yang baik dan kuat terhadap anaknya.

Pendidikan karakter melalui  sekolah  jarak jauh di saat peserta didik sedang school
from home (sekolah  dari rumah) dapat tetap dikawal dan dikontrol oleh para guru. Salah
satunya dengan memberikan lembar control karakter. Banyak karakter positif yang dapat
dikembangkan oleh guru sesuai kompetensi inti dari kurikulum 2013 seperti memiliki sifat
religius, jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, toleransi, gotong royong, santun, percaya
diri, dll. Guru dapat mengembangkan lembar kontrol untuk diberikan kepada peserta didik
dan untuk orang tua. Lembar kontrol tersebut dinilai  oleh guru, setelah  itu guru
memberikan umpan balik.  Guru kemudian menguatkan karakter yang sudah baik dan
mengubah karakter yang masih tidak sesuai. Guru dapat pula memberikan
penghargaan (prizing) kepada siswa yang berprestasi setidaknya dengan mengucapkan
selamat (congratulation) di group WA peserta didik, dan memberikan
hukuman (punishment) melalui WA jalur pribadi agar nama baiknya tetap terjaga dan anak
tidak merasa direndahkan di depan teman – temannya. Peserta didik juga dapat diberikan
ucapan selamat jika mengerjakan tugas tepat waktu dan diberikan hukuman jika terlambat
mengerjakan tugas sebagai bentuk penanaman karakter disiplin. Ketika ada kabar seorang
peserta didik tidak dapat mengerjakan tugas karena tidak memiliki kuota internet, maka
guru dapat mengajak teman – teman kelasnya untuk mentransfer pulsa sebagai bentuk
8

penanamna karakter empati dan peduli. Guru dan wali kelas harus selalu mengkontrol
setiap kata yang ditulis oleh peserta didik di dalam group WA anak2 sebagai bentuk
penanaman karakter sopan dan antun dalam berucap dan bertanggung jawab atas semua
ucapan dan perbuatan mereka.

Pendidikan karakter di masa learn from home (belajar dari rumah) ini harus tetap
dikawal dan diawasi oleh guru. Menurut Arifin (2003) Tanggung jawab pendidikan
karakter ada di tangan kita bersama demi mewujudkan pembangunan pendidikan nasional
yang didasarkan pada paradigma membangun  manusia Indonesia seutuhnya; yaitu manusia
Indonesia yang memiliki keimanan, ketakwaan, akhlak mulia dan budi pekerti yang luhur,
memiliki kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menguasai ilmu pengetahuan, serta
memiliki kecakakapan dan keterampilan demi Indonesia unggul.

Prof. Eko memaparkan bahwa ada empat “aktor” yang memiliki peran masing-
masing, yakni orangtua, siswa, guru dan masyarakat. Sedangkan untuk strategi di masa
mendatang, Eko menyebut bahwa ada lima hal yang bisa dilakukan oleh sekolah, yaitu:

1. Lakukan peninjauan kembali terhadap target pembelajaran yang ingin dicapai, agar
secara rasional selaras dengan situasi dan kondisi baru dalam new normal.

2. Identifikasi sumber daya yang perlu dimiliki dan diadakan agar tujuan baru yang telah
ditetapkan tersebut dapat dicapai dengan ketersediaan sumber daya yang ada.

3. Petakan situasi dan kondisi masing-masing guru dan siswa yang harus bersiap-siap
melakukan model pembelajaran baru berbasis blended learning sebagaimana dirancang.

4. Kajilah gap antara kebutuhan dan ketersediaan untuk menyusun langkah-langkah


strategis dan operasional yang perlu segera dilakukan untuk menjembataninya.

5. Eksekusi langkah-langkah tersebut secara kreatif dan inovatif dengan menjalin berbagai
kemitraan dengan pihak-pihak eksternal yang peduli mengenai pendidikan.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa di masa pandemi ini terbagi menjadi 4 kuadran; yakni
“orang tua, siswa, guru dan masyarakat,".
9

Kuadran 1

 Orangtua berperan sebagai guru.

 Kini ada komunikasi yang intensif antara anak dan orang tua.

 Orang tua berinteraksi dengan guru untuk mengklarifikasi tugas.

 Orang tua memberikan nilai tambah pada anak dalam bentuk pendidikan karakter,
pola pikir dan perilaku.

 Orang tua memiliki kesempatan untuk keluar dari zona bayang-bayang.

Kuadran 2

 Siswa melaksanakan pembelajaran mandiri.

 Generasi hebat adalah bisa melewati masa-masa krisis.

 Siswa berusaha keras untuk menunaikan tugas dan kewajiban meski dengan
pendampingan minimum dari guru.

 Siswa lebih bebas berkreasi dan berimajinasi mengenai tugas. Siswa terbiasa
mengelola waktu secara mandiri.

Kuadran 3

 Guru mengkonfirmasi kemajuan siswa bisa lewat media sosial. Guru memberikan
materi yang penting sebagai bekal siswa.

 Guru berusaha keras untuk beradaptasi dengan teknologi yang selama ini dipandang
sebelah mata.

 Guru memutar otak untuk membangun suasana keterikatan maksimum dengan


siswa. Guru mengembangkan dirinya.

 Guru aktif dan mencari sumber belajar.

 Guru semakin terbuka pikirannya terhadap kemudahan dari teknologi.


10

Kuadran 4

 Masyarakat menyediakan platform belajar di situasi tidak normal saat ini.

 Masyarakat industri secara serentak memberikan keleluasaan bagi siapa saja tanpa
biaya.

 Konten edukasi berkualitas terbuka bebas.

 Platform teknologi juga terbuka luas.

"Pada masa pendemi ini, tentu mereka akan menuntut blended learning. Karena semuanya
sudah tahu banyak dengan adanya teknologi dan juga dukungan orang tua,"

Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan, penciptaan


lingkungan, dan pembiasaan; melalui berbagai tugas keilmuan dan kegiatan kondusif.
Dengan demikian; apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh peserta didik
dapat membentuk karakter mereka. Selain menjadikan keteladanan dan pembiasaan
sebagai metode pendidikan utama, penciptaan iklim dan budaya serta lingkungan yang
kondusif juga sangat penting, dan turut membentuk karakter peserta didik. Penciptaan
lingkungan yang kondusif dapat dilakukan melalui berbagai variasi metode; seperti:
keteladanan, pembiasaan, pelatihan, pembelajaran, pengarahan, penugasan, kegiatan rutin
dan spontanitas.

Berbagai metode tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam


pembentukan karakter peserta didik. Pemberian tugas disertai pemahaman akan dasar-dasar
filosofisnya, sehingga peserta didik akan mengerjakan berbagai tugas dengan kesadaran
dan pemahaman, kepedulian dan komitmen yang tinggi. Setiap kegiatan mengandung
unsur-unsur pendidikan, sebagai contoh dalam kegiatan kepramukaan, terdapat pendidikan
kesederhanaan, kemandirian, kesetiakawanan dan kebersamaan, kecintaan pada lingkungan
dan kepemimpinan. Dalam kegiatan olahraga terdapat pendidikan kesehatan jasmani,
penanaman sportivitas, kerja sama (team work) dan kegigihan dalam berusaha.

Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui dari perwujudan


indikator Kompetensi Lulusan yang melekat dalam pribadi peserta didik secara utuh. Kata
11

utuh perlu ditekankan, karena hasil pendidikan sebagai output dari setiap satuan
pendidikan belum menunjukan keutuhan tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa lulusan-
lulusan dari setiap satuan pendidikan tersebut baru menjunjukkan kompetensi pada
permukaannya saja, atau hanya kulitnya saja. Kondisi ini juga boleh jadi disebabkan karena
alat ukur atau penilaian keberhasilan peserta didik dari setiap satuan pendidikan hanya
menilai permukaannya saja, sehingga hasil penilaian tersebut belum menggambarkan
kondisi yang sebenarnya.

Keberhasilan pendidikan karakter dapat diketahui dari berbagai perilaku sehari-hari


yang tampak dalam setiap aktivitas masyarakat; seperti: kesadaran, kejujuran, keikhlasan,
kesederhanaan, kemandirian, kepedulian, kebebasan dalam bertindak, kecermatan,
ketelitian, dan komitmen.

PENUTUP
Revitalisasi pendidikan karakter di era pandemi menuntut peran berbagai pihak;
terutama orang tua, guru, dan para tokoh masyarakat untuk memberi contoh dan menjadi
suri tauladan dalam perilaku sehari-hari. Hal tersebut diperlukan, terutama untuk
menciptakan iklim yang kondusif bagi pembentukkan karakter masyarakat; sehingga
pendidikan karakter tidak hanya dijadikan ajang pembelajaran, tetapi menjadi
tanggungjawab semua warga masyarakat untuk membina dan mengembangkannya; karena
pendidikan karakter bukan hanya tanggungjawab sekolah semata, tetapi merupakan
tanggungjawab semua pihak: orang tua, pemerintah, dan masyarakat. Semakin banyak
pihak yang terlibat dalam pendidikan karakter, akan semakin efektif hasil yang diperoleh.
Oleh karena itu, untuk mengefektifkan pendidikan karakter di era pandemic sekarang ini
diperlukan jalinan kerja sama antara sekolah, orang tua, masyarakat, dan pemerintah; baik
dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasannya.

TUGAS LATIHAN

1. Lakukanlah analisis SWOT terhadap pelaksanaan pendidikan formal dalam era


pandemi sekarang ini.

2. Rumuskan berbagai strategi alternatif pendidikan karakter di era pandemi sekarang ini.
12

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, Thomas. (2009). Multiple Intelligences in the Classroom. 3rd ed. California:
ASCD.
Bogdan and Taylor. (1975). Introduction to Qualitative Research Methode. NewYork: John
Willey and Sons.

Dewantara. (1967). Ki Hadjar Dewantara. Jogjakarta: Madjelis Leluhur Taman Siswa.

Depdiknas. (2005). Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Jakarta: Direktorat Ketenagaan


Dikti.

Dyer.et al. (2011). The Innovator’s DNA Matering The Five Skills of Disruptive
Innovator’s. Harvard Bussiness Review Press.

Goleman, Daniel (1996). Emotional Intelegence. New York, London: Bantam Book.

Joice, Bruce et al. (1996). Models of Teaching. Boston: Allyn and Bacon.

Kementrian Pendidikan Nasional. (2010). Disain Induk Pendidikan Karakter. Jakarta:


Kemdiknas.
Koellhoffer, Tara Tomczyk. (2009). Character Education Being Fair and Honest. New
York: Infobase Publishing.
Lickona, Thomas. (2003). My Thought About Character. Ithaca and London: Cornell
University Press.
Moleong. (2012). Pendekatan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada.

Mulyasa, H.E. (2011). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara.

Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Nomor 22 tahun 2016 Tentang Standar
Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Sinar Grafika.
SNI 19-8402. (1996). Sistem Informasi Standar Nasional Indonesia. Jakarta: BSN.
Thomas, J. Alan. 1985. The Productive School: A System Analisys Approach to
Educational Administration. Chichago University.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta:
Sinar Grafika.
13

White, John. (1990). Educational and The Good Life. London: Educational Studies. Kogan
Page.

https://bdkjakarta.kemenag.go.id/berita/pendidikan-karakter-di-masa-pandemi-
menjadi-tanggung-jawab-siapa.
https://tanotofoundation.org/id/news/menyusun-strategi-pendidikan-masa-depan-di-
era-pandemi/
https://edukasi.kompas.com/read/2020/06/09/180742171/5-langkah-susun-strategi-
pendidikan-di-masa-depan-pasca-pandemi?page=all#page2

Anda mungkin juga menyukai