Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang paru dan organ lainnya. Penyakit ini dapat
menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi TB. TB masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global dan nasional. Indonesia masih merupakan
salah satu dari negara dengan beban TB tertinggi. Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat
global diperkirakan 9,6 juta kasus TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan
dan 1,5 juta kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Berdasarkan hasil
Survei Prevalensi TB Indonesia tahun 2013-2014, diperkirakan prevalensi TB sebanyak
1.600.000 kasus sedangkan insiden TB sebanyak 1.000.000 kasus dan mortalitas TB 100.000
kasus. Dengan angka notifikasi kasus tahun 2014 sebanyak 324.000 kasus maka case detection
TB di Indonesia hanya sekitar 32%. Sebanyak 68% kasus masih belum diobati atau sudah diobati
tetapi belum tercatat oleh program. Hal ini memacu pengendalian TB nasional terus melakukan
intensifikasi, akselerasi, ekstensifikasi dan inovasi program melalui Strategi Nasional
Pengendalian TB.
Case Detection Rate (CDR) kasus TB merupakan indikator untuk mengukur keberhasilan
program dalam menemukan, mengobati dan melaporkan kasus Tuberkulosis (TB) secara
berjenjang mulai dari layanan di tingkat dasar sampai dengan pusat (Kementerian Kesehatan).
CDR diartikan sebagai jumlah semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan di antara perkiraan
jumlah semua kasus TB (insiden). Untuk tahun 2019 target yang dibebankan untuk dicapai
indikator CDR kasus TB ini baik yang dituangkan dalam Renstra maupun Renja Dinas
Kesehatan Provinsi Bali adalah sebesar 30 %. Pada tahun 2019 indikator CDR ini sudah dapat
dicapai dimana realisasinya adalah 34,7 %.
Case Notification Rate (CNR) adalah kasus yang ditemukan dan tercatat di program
dibandingkan dengan jumlah penduduk. Semakin banyak kasus TB yang ditemukan dan diobati
semakin baik karena akan semakin cepat memutus mata rantai penularan. Untuk indikator CNR
kasus TB atau kasus TB yang ternotifikasi dan terlaporkan adalah jumlah semua kasus TB yang
diobati dan dilaporkan di antara 100.000 penduduk yang ada di suatu wilayah tertentu. Data
menunjukkan CNR TB untuk Provinsi Bali sudah terjadi peningkatan signifikan dan sudah
mencapai target yaitu secara nasional Case Notification Rate ditargetkan naik 5% setiap tahun,
dimana CNR pada tahun 2018 sebesar 87,4% dan pada tahun 2019 sebesar 99,2%.
Angka Keberhasilan Pengobatan adalah jumlah semua kasus TB yang sembuh dan
pengobatan lengkap di antara semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan serta
menggambarkan kualitas pengobatan TB. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan
dari angka kesembuhan semua kasus dan angka pengobatan lengkap semua kasus. Angka
kesembuhan semua kasus yang harus dicapai minimal 85% sedangkan angka keberhasilan
pengobatan semua kasus minimal 90%. Pada tahun 2019, angka keberhasilan pengobatan kota
Denpasar berada peringkat 4 setelah Kabupaten Bangli, Klungkung, dan Gianyar yaitu sebesar
92,6% sedangkan untuk angka keberhasilan pengobatan di provinsi sendiri baru mencapai
89,6%. Angka capaian dibawah 90% disebabkan oleh beberapa hal seperti meninggal selama
pengobatan, gagal pengobatan putus obat dan pindah yang tidak bisa terlacak.
Pencapaian keberhasilan mencapai target program pengendalian TB diperlukan
penanganan yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan pada semua komponen DOTS
(Directly Observed Treatment Short-course), mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun
monitoring evaluasi. Sehingga kegiatan evaluasi tahunan terhadap pelaksanaan kegiatan
penanggulangan TB ditingkat pusat dan dilanjutkan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota
harus dilakukan. Disamping meningkatkan jangkauan pelayanan, upaya yang tidak kalah penting
dan perlu dilakukan dalam rangka penanggulangan penyakit TB Paru adalah meningkatkan
kesehatan lingkungan serta perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat.

1.2 Tujuan
a. Tujuan umum
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TB dengan cara memutuskan rantai
penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia
b. Tujuan khusus
- Tercapainya angka kesembuhan minimal 90% dari semua penderita baru BTA positif yang di
temukan.
- Penemuan secara aktif dapat dilakukan tehadap:
 Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan
HIV (orang dengan HIV dan AIDS).
 Kelompok yang rentan tertular TB seperti dirumah tahanan, lembaga permasyarakatan
(para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh, serta keluarga atau kontak
pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA positif.
 Pemeriksaan terhadap anak dibawah 5 tahun pada keluarga TB harus dilakukan untuk
menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB atau pengobatan pencegahan.
 Kontak dengan pasien TB resistan obat.

1.3 Manfaat
Dapat dijadikan sebagai sarana edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat terhadap tuberkulosis sehingga dapat mencegah dan menurunkan kejadian
tuberkulosis.
.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis adalah penyakit menular akibat bakteri Mycobacterium tuberculosis yang
ditularkan dari orang ke orang melalui droplet nuclei dan terutama menginfeksi paru-paru
(WHO, 2015). Selain menginfeksi paru-paru Mycobacterium tuberculosis juga dapat
menginfeksi organ lainnya seperti tulang, selaput otak, ginjal, dan kelenjar limfa yang disebut
TB ekstra paru (Depkes, 2007). Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2015, angka
prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 6,47/1000 penduduk (WHO, 2015). 80%
kasus TB di masyarakat adalah TB paru sedangkan 20% merupakan TB ekstrapulmonar
(Djojodibroto, 2009).
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman berbentuk batang dengan panjang 1-4
mm dan tebal 0,3-0,6 mm. Mycobacterium tuberculosis sebagai penyebab TB pertama kali
diidentifikasi oleh Robert Koch. Robert Koch menemukan bahwa imunitas yang didapat
(acquired immunity) mengikuti infeksi primer sebagai suatu fenomena koch. Konsep ini
kemudian digunakan untuk pengembangan vaksin TB salah satunya vaksin Bacillus Calmette
Guerin (BCG) (Amin, 2014). Sebagian dinding Mycobacterium tuberculosis terdiri dari asam
lemak atau lipid sehingga mampu tahan terhadap asam dan berbagai zat kimia. Karena
sifatnya yang tahan terhadap asam tersebut Mycobacterium tuberculosis disebut bakteri tahan
asam (BTA). Kuman ini dapat bertahan pada keadaan dingin dan kering karena sifatnya
yang mampu berada dalam fase dormant (Widoyono, 2008). Mycobacterium tuberculosis juga
memiliki sifat aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa bakteri ini senang berada di jaringan
dengan kandungan oksigen yang tinggi. Maka dar i itu Mycobacterium tuberculosis sering
menginfeksi bagian apeks paru-paru karena kadar oksigennya yang tinggi dibandingkan
bagian paru lainnnya (Somantri, 2007).
Proses terjadinya infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis sebagian besar melalui
inhalasi bakteri yang dikeluarkan oleh penderita TB BTA (+) positif saat batuk atau bersin
(Kemenkes, 2014). Berbagai faktor dapat menyebabkan seseorang menderita TB Paru
diantaranya faktor umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, kebiasaan merokok,
faktor lingkungan, status gizi, faktor pengetahuan, sikap serta perilaku individu. Faktor umur
menjadi salah satu faktor risiko TB karena berdasarkan data Kemenkes (2014) 75 % pasien TB
adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). Menurut Suryo (2010) dalam Astuti (2013),
berdasarkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita TB paru dibandingkan perempuan
karena sebagian besar laki-laki memiliki kebiasaan merokok yang memudahkan terjadinya
infeksi TB Paru. Kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko terinfeksi TB Paru sebesar 2,2
kali dibandingkan individu yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Begitu juga dengan
tingkat pendidikan yang akan memengaruhi berbagai faktor risiko lainnya diantaranya
pekerjaan, faktor lingkungan, pengetahuan, sikap serta perilaku individu tersebut. Individu
dengan tingkat pendidikan yang baik akan memiliki pengetahuan tentang penyakit TB Paru
dan memiliki sikap serta perilaku hidup bersih lebih baik dibandingkan individu dengan
tingkat pendidikan yang rendah. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap faktor
lingkungan individu tersebut diantaranya pencahayaan, ventilasi dan kelembapan udara di
tempat tinggalnya maupun di tempat kerjanya. Ketika tingkat pendidikan seseorang individu
itu baik akan memengaruhi jenis pekerjaannya sehingga akan berkorelasi pada
pendapatan yang diperoleh. Pendapatan tersebut nantinya akan berdampak pada pola
kehidupan sehari-hari mulai dari asupan gizi sampai kondisi lingkungan sekitarnya.
Diagnosis TB paru dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan bakteriologik dan radiologik. Menurut Depkes (2009) dalam Astuti (2013)
gejala utama pasien TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk tersebut
dapat disertai dengan dahak yang bercampur darah, batuk darah, sesak napas, nafsu makan
yang menurun (anoreksia), malaise, berkeringat di malam hari dan demam lebih dari 1
minggu. Menurut Werdhani (2007) gejala TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala
khusus. Gejala umum TB seperti batuk lebih dari 3 minggu (bisa disertai darah), demam
berlangsung lama disertai keringat pada malam hari, penurunan nafsu makan dan perasaan
yang tidak enak (malaise). Sedangkan gejala khusus TB tergantung dari organ tubuh yang
terinfeksi. Misalnya jika sebagian bronkus tersumbat akibat kelenjar getah bening yang
membesar maka akan menimbulkan suara “mengi” disertai sesak. Jika ada cairan di rongga
pleura maka akan terasa sakit di dada. Apabila mengenai tulang akan menimbulkan infeksi
pada tulang sehingga timbul nanah. Begitu pula bila menginfeksi selaput otak atau dikenal
dengan meningitis maka gejala yang timbul berupa demam tinggi dan kejang-kejang.
Pada TB Paru kelainan paru umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apex serta segmen posterior dan daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Pemeriksaan bakteriologik digunakan untuk
menemukan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bahan pemeriksaan bakteriologik ini
terutama berasal dari dahak. Tapi bahan lainnya juga dapat digunakan seperti cairan pleura,
cairan serebrospinal, bilasan lambung, bilasan bronkus dan jaringan biopsi. Untuk
pemeriksaan mikroskopis dahak diambil sebanyak 3 kali yaitu dahak sewaktu saat pertama
kunjungan, dahak pagi pada keesokan harinya dan dahak sewaktu saat mengantarkan dahak
pagi. Hasil pemeriksaan mikroskopik positif jika dari tiga kali pemeriksaan 2 kali positif dan 1
kali negatif. Bila 1 kali positif dan 2 kali negatif ulang pemeriksaan dengan bahan sediaan
seperti diawal. Jika hasilnya masih 1 kali positif dan 2 kali negatif maka hasil pemeriksaan
mikroskopiknya positif sedangkan jika ketiga bahan sediaan tersebut hasilnya negative maka
dapat dipastikan hasil mikroskopiknya negative. Untuk pemeriksaan radiologis pemeriksaan
standarnya menggunakan foto toraks PA. Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB aktif
adalah bayangan berawan/nodular di segmen apical, posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah, adanya kaviti lebih dari satu yang dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular, adanya bayangan bercak milier dan efusi pleura unilateral (umumnya)
atau bilateral (jarang). Sedangkan gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif yaitu
adanya fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas, kalsifikasi, kompleks
ranke, fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura (PDPI, 2006). Komplikasi yang dapat
terjadi akibat penyakit TB Paru dapat dibagi dalam 2 kategori yaitu komplikasi dini dan lanjut.
Komplikasi dini TB Paru diantaranya pleuritis, efusi pleura, empisema, laryngitis dan TB
usus sedangkan komplikasi lanjut antara lain obstruksi jalan napas, kor pulmonale,
amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (Ardiansyah, 2012).

2.2 Pegendalian, Pengobatan, dan Pencegahan TB di Indonesia


Pada awal tahun 1990 karena meningkatnya kasus TB, WHO dan IUATLD mengembangkan
strategi untuk pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course). Fokus utama DOTS adalah untuk penemuan dan penyembuhan
pasien yang akan memutus rantai penularan TB sehingga menurunkan insiden TB di
masyarakat. Pada tahun 2005 strategi DOTS diperluas oleh Global Stop TB partnership
menjadi Strategi Stop TB. Kebijakan pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan
berdasarkan azas desentralisasi. Hal tersebut berarti manajemen program penanggulangan TB
diserahkan ke masing-masing kabupaten/kota meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya. Pengendalian TB di Indonesia
menggunakan strategi DOTS sebagai kerangka dasar dengan memperhatikan strategi global
pengendalian TB (Global Stop TB Strategy). Penemuan dan pengobatan untuk pengendalian
TB dilakasanakan oleh seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yaitu Puskesmas
dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut yaitu Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta,
Rumah Sakit Paru, Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM), klinik pengobatan dan Dokter
Praktek Mandiri (Kemenkes, 2014).
Prinsip pengobatan TB menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Pengobatan
diberikan dalam bentuk panduan obat yang mengandung minimal 4 macam obat untuk
mencegah resistensi. Tahap pengobatan TB dibagi menjadi 2 tahapan yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Pada tahap awal obat diberikan setiap hari selama 2 bulan untuk menurunkan
jumlah bakteri dan pada tahap lanjutan untuk membunuh sisa kuman sehingga pasien dapat
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R),
Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan Etambutol (E). Panduan OAT yang digunakan di
Indonesia untuk kategori pertama yaitu 2(HRZE)/4(HR)3 artinya pada tahap awal selama dua
bulan masing-masing OAT (HRZE) diberikan setiap hari dan tahap lanjutan selama empat
bulan OAT (HR) diberikan tiga kali seminggu. Kategori pertama digunakan untuk pasien TB
Paru yang terkonfirmasi bakteriologis dan klinis serta pasien TB ekstraparu. Sedangkan OAT
kategori kedua yaitu 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3) artinya pada tahap awal diberikan selama
tiga bulan, yang terdiri dari dua bulan dengan HRZES setiap hari dilanjutkan satu bulan
dengan HRZE setiap hari. Kemudian pada tahap lanjutan selama lima bulan dengan HRE
yang diberikan tiga kali seminggu. Kategori dua diberikan pada pasien TB BTA (+) positif
yang pernah diobati sebelumnya tapi kembali kambuh, gagal pada pengobatan OAT yang
pertama atau pasien yang diobati kembali setelah putus berobat. Pemantauan kemajuan dan
hasil pengobatan pada orang dewasa dilakukan dengan pemeriksaan dahak ulang secara
mikroskopis. Dahak yang diperiksa yaitu dahak sewaktu dan dahak pagi. Hasil pemeriksaan
dinyataakan negatif, jika hasil kedua uji dahak tersebut negatif dan apabila salah satu atau
keduanya positif maka hasil pemeriksaan ulang dahak dinyatakan positif (Kemenkes, 2014).
Pencegahan penularan penyakit TB dapat dilakukan oleh masyarakat dan penderita
TB tersebut. Masyarakat dapat mencegah penularan TB dengan makan makanan yang
bergizi seimbang, istirahat yang cukup, tidak merokok dan minum alkohol, menjaga
lingkungan bersih, ventilasi yang baik, serta imunisasi BCG untuk balita. Bagi penderita TB
pencegahan penularan juga dapat dilakukan dengan tidak meludah di sembarang tempat,
menutup mulut saat batuk atau bersin, berperilaku hidup bersih dan sehat, serta berobat sesuai
aturan sampai sembuh (PPTI, 2010).
BAB III
METODE EVALUASI

3.1 Pengumpulan Data


Pengumpulan data bersumber data sekunder. Sumber data primer diperoleh koordinator
pelaksana program/kegiatan UKM P2 TB UPTD Puskesmas I Dinas Kesehatan Kecamatan
Denpasar Selatan. Selain itu, data sekunder didapatkan dari Profil UPTD Puskesmas 1 Dinas
Kesehatan Kecamatan Denpasar SelatanTahun 2020.

3.2 Cara Analisis


3.2.1. Menetapkan Prioritas Masalah
Masalah bisa lebih dari satu, tergantung dari indikator yang dipakai sehingga perlu dibuat
prioritas masalah. Tujuan menetapkan prioritas masalah adalah menetapkan masalah yang akan
dipecahkan masalahnya terlebih dahulu. Jika masalah lebih dari satu, maka penetapan prioritas
masalah dilakukan dengan metode USG (Urgency, Seriousness, Growth). Dalam
mengidentifikasikan masalah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti kemampuan
sumber daya manusia, biaya, tenaga, teknologi dan lain-lain. Untuk itu, dilakukan penilaian
prioritas masalah dari yang paling mendesak hingga tidak terlau mendesak. Proses untuk metode
USG dilaksanakan dengan memperhatikan urgensi dari masalah, keseriusan masalah yang
dihadapi, serta kemungkinan bekembangnya masalah tersebut semakin besar. Metode
ini merupakan salah satu cara menetapkan urutan prioritas masalah dengan teknik skoring 1-5
dan dengan mempertimbangkan tiga komponen, yaitu:
1. Urgency
Seberapa mendesak isu tersebut harus dibahas dikaitkan dengan waktu yang tersedia serta
seberapa keras tekanan waktu tersebut untuk memecahkan masalah yang menyebabkan isu
tadi.
2. Seriousness
Seberapa serius isu tersebut perlu dibahas dikaitkan dengan akibat yang timbul dengan
penundaan pemecahan masalah yang menimbulkan isu tersebut atau akibat yang
menimbulkan masalah-masalah lain kalau masalah penyebab isu tidak dipecahkan. Perlu
dimengerti bahwa dalam keadaan yang sama, suatu masalah yang dapat menimbulkan
masalah lain.
3. Growth
Seberapa kemungkinan-kemungkinannya isu tersebut menjadi berkembang dikaitkan
kemungkinan masalah penyebab isu akan makin memburuk kalau dibiarkan.

3.2.2. Membuat kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan


Untuk menentukan penyebab masalah, gambarkan terlebih dahulu proses terjadinya masalah atau
kerangka konsep prioritas masalah, sehingga diharapkan semua faktor penyebab masalah dapat
diketahui dan diidentifikasi.

3.2.3. Identifikasi penyebab masalah


Langkah selanjutnya adalah mengelompokkan unsur masukan, proses, umpan balik dan
lingkungan sebagai faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap prioritas masalah.
Selanjutnya menentukan tolok ukur dari masing-masing unsur tersebut.

3.2.4. Memprioritaskan penyebab masalah


Bila penyebab masalah telah diketahui, teliti kembali apakah semua penyebab tersebut saling
berkaitan. Bila saling berkaitan, tidak perlu dibuat prioritas penyebab masalah. Bila ternyata
penyebab masalah amat bervariasi, usahakan untuk mengelompokkan berdasarkan keterkaitan
masing-masing penyebab tersebut. Bisa saja dari 10 penyebab masalah dikelompokkan menjadi
3 kelompok besar. Tiga kelompok penyebab masalah ini yang perlu dicari prioritasnya.
Prioritas penyebab masalah dapat diperoleh dengan cara melakukan teknik kriteria
matriks yang telah dipelajari, bisa juga dengan metode lainnya seperti misalnya teknik kelompok
nominal (Nominal Group Technique), yakni metode untuk memperoleh beberapa prioritas utama
dari sedemikian banyak pilihan.

3.2.5. Membuat alternatif pemecahan masalah


Setelah kita mengetahui prioritas penyebab masalah, tindakan selanjutnya yang perlu dilakukan
adalah membuat 2 sampai 3 alternatif pemecahan masalah yang diperkirakan dapat mengatasi
penyebab masalah tersebut. Alternatif pemecahan masalah ini dibuat dengan memperhatikan
kemampuan serta situasi dan kondisi fasilitas kesehatan. Berarti diperlukan wawancara dengan
petugas di fasilitas kesehatan tersebut yang diperkirakan akan melaksanakan program tersebut.
Sumber rujukan lain yang sangat penting adalah referensi yang dapat diperoleh dari jurnal atau
pengalaman orang lain yang telah didokumentasikan. Komunikasi personal dengan seorang yang
berpengalaman juga sangat dianjurkan.
Alternatif penyebab masalah hendaknya dibuat secara rinci, sehingga jelas sekali tujuan
umumnya, tujuan khusus, sasaran, metode, jadwal kegiatan, sertarincian dananya. Dana sering
tidak ditulis secara rinci. Padahal dana sangat penting dalam menentukan apakah suatu alternatif
pemecahan masalah nantinya akan terpilih pada waktu melakukan pemilihan prioritas masalah.
Rincian dana ini harus dikembangkan oleh penilai.

3.2.6. Menentukan prioritas cara pemecahan masalah


Setelah membuat alternatif jalan keluar yang dianggap paling baik dan memungkinkan, langkah
selanjutnya adalah menentukan prioritas cara pemecahan masalah. Pemilihan cara pemecahan
masalah ini dengan memakai teknik kriteria matriks. Dua kriteria yang lazim digunakan adalah
sebagai berikut:
a. Efektifitas jalan keluar (effectifity/E), menetapkan nilai efektifitas untuk setiap alternatif jalan
keluar, yakni dengan memberikan angka 1 (paling tidak efektif) sampai dengan angka 5
(paling efektif). Prioritas jalan keluar adalah yang nilai efektifitasnya paling tinggi. Untuk
menentukan efektifitas jalan keluar, dipergunakan kriteria tambahan sebagai berikut:
1. Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (magnitude/M)
Makin besar masalah yang dapat di atasi, makin tinggi prioritas jalan keluar tersebut.
2. Pentingnya jalan keluar (importancy/I)
Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelanggengan masalah. Makin langgeng selesai
masalahnya, makin penting jalan keluar tersebut.
3. Sensivitas jalan keluar (vuneberality/V)
Sensitivitas dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar mengatasi masalah. Makin cepat
masalah teratasi, makin sensitif jalan keluar tersebut.
b. Efisiensi Jalan Keluar (efficiency/C), menetapkan nilai efisiensi untuk setiap alternatif jalan
keluar, yakni dengan memberikan angka 1 (paling tidak efisien) sampai dengan angka 5
(paling efisien). Nilai efisien ini biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang diperlukan
untuk melaksanakan jalan keluar. Makin besar biaya yang diperlukan, makin tidak efisien
jalan keluar tersebut.
Menghitung nilai P (prioritas) untuk setiap alternatif jalan keluar yaitu dengan membagi
hasil perkalian nilai M x I x V dengan nilai C. Jalan keluar dengan nilai P tertinggi, adalah
prioritas jalan keluar terpilih. Lebih jelas rumus untuk menghitung prioritas jalan keluar dapat
dilihat dibawah ini :
P= M x I xV
C
Keterangan:
P: Priority
M: Magnitude
I: Importancy
V: Vulnerability
C : Cost

3.3 Cara Evaluasi


Pengolahan data dilakukan secara manual dengan data di tabel-tabel yang tersedia, kemudian
dilanjutkan dengan perhitungan secara komputerisasi.

3.4 Waktu dan Lokasi


Pengambilan data dilakukan pada tanggal 4 April 2021 di UPTD Puskesmas I Dinas Kesehatan
Kecamatan Denpasar Selatan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Profil Puskesmas


A. Visi dan Misi Puskesmas
Visi UPTD Puskesmas I Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar Selatan adalah “PRIMA
DALAM PELAYANAN DAN PEMBINAAN KESEHATAN MENUJU MASYARAKAT
SEHAT YANG MANDIRI DAN BERKUALITAS”, sedangkan misi untuk mencapai visi
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Melakukan pelayanan kesehatan secara profesional, bermutu, dan sesuai prosedur.
2. Melaksanakan pembinaan kesehatan guna mendorong kemandirian masyarakat untuk
berperilaku hidup bersih dan sehat serta berwawasan lingkungan.
3. Mengembangkan pelayanan kesehatan inovatif untuk menuju kualitas pelayanan yang
lebih baik.
4. Mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki.

B. Keadaan Geografi
UPTD Puskesmas I Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar Selatan berlokasi di Kelurahan
Sesetan tepatnya di Jalan Gurita No. 8 Denpasar Selatan. Secara umum, situasi wilayah kerja
puskesmas adalah daerah perkotaan, berpenduduk padat dengan mobilitas yang tinggi sehingga
sangat sulit menentukan data-data riil penduduk. Hampir semua lokasi publik maupun akses-
akses ke rumah-rumah penduduk dilengkapi dengan sarana transportasi jalan yang bisa dilalui
dengan kendaraan roda empat dan beberapa ruas jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda
dua.
Luas wilayah kerja UPTD Puskesmas I Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar Selatan
adalah : 13,67 Km2 atau sebesar 10,7% dari luas wilayah Kota Denpasar. Dari 3 desa / kelurahan
tersebut, berdasarkan luas wilayah, Kelurahan Sesetan memiliki wilayah terluas yaitu 7,39 km2.
Kelurahan Panjer memiliki wilayah seluas 3,16 km2 dan Desa Sidakarya dengan wilayah terkecil
yaitu 3,12 km2. Sedangkan batas-batas wilayah kerja puskesmas adalah :
1. Utara : Desa Dauh Puri Kecamatan Denpasar Barat
2. Timur : Kelurahan Renon
3. Selatan : Selat Badung
4. Barat : Kelurahan Pedungan

C. Pemerintahan
Secara administrasi wilayah kerja UPTD Puskesmas I Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar
Selatan meliputi 3 desa / kelurahan. Adapun desa/kelurahan tersebut sebagai berikut:
A. Kelurahan Sesetan, terdiri dari 14 banjar:
a. Br. Kaja h. Br. Pegok
b. Br. Tengah i. Br.Karya Darma
c. Br. Pembungan j. Br. Taman Sari
d. Br. Gaduh k. Br. Taman Suci
e. Br. Lantang Bejuh l. Br. Suwung Batan Kendal
f. Br. Dukuh Sari m. Br. Kampung Bugis
g. Br. Alas Arum n. Br. Puri Agung
B. Kelurahan Sidakarya, terdiri dari 12 banjar:
a. Br. Dukuh Merta Jati g. Br. Sekar Kangin
b. Br. Sari h. Br. Kerta Dalem
c. Br. Tengah i. Br. Suwung Kangin
d. Br. Graha Kerti j. Br. Kerta Raharja
e. Br. Graha Santi k. Br. Kerta Petasikan
f. Br. Kerta Sari l. Br. Wirasatya
C. Kelurahan Panjer, terdiri dari 9 banjar:
a. Br. Manik Saga e. Br. Kangin
b. Br. Bekul f. Br. Antap
c. Br. Sasih g. Br. Tegal Sari
d. Br. Kerta Sari h. Br. Kaja
i. Br. Celuk
D. Kependudukan
Berdasarkan hasil proyeksi Supas Penduduk Tahun 2019, pencerminan penduduk di wilayah
kerja UPTD Puskesmas I Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar Selatan tahun 2019 berjumlah
133.859 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 68.113 jiwa dan penduduk
perempuan sebanyak 65.746 jiwa. Desa Sesetan merupakan desa dengan jumlah penduduk
terbesar yaitu 62.676 jiwa (46,8%), diikuti Panjer 45.740 jiwa (34,2%), dan Sidakarya 25.443
jiwa (19%). Untuk kepadatan penduduk di wilayah UPTD Puskesmas I Dinas Kesehatan
Kecamatan Denpasar Selatan adalah 9.771 jiwa/km2, dimana Kelurahan Panjer merupakan
wilayah dengan penduduk terpadat 14.294 jiwa/km2, dan Desa Sidakarya dengan kepadatan
terendah yaitu 8.208 jiwa/km2.
Sex ratio adalah perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan di suatu wilayah. Sex
ratio penduduk UPTD Puskesmas I Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar Selatan pada tahun
2019 adalah 104 % artinya terdapat 104 laki-laki diantara 100 penduduk perempuan. Jumlah
balita, anak dan remaja adalah sebesar 36.849 (27,5%) jiwa dari seluruh total penduduk
(133.859) dan jumlah usia lanjut (usila) sebesar 23.600 (17,6%) jiwa dari seluruh total penduduk.
Berdasarkan data ini dapat kita lihat bahwa komposisi penduduk usia produktif/dewasa sebanyak
80.064 (59,8%) jiwa lebih besar dibandingkan usia non produktif (anak-anak dan usia lanjut).

E. Sosial Ekonomi
Pertumbuhan perekonomian di wilayah UPTD Puskesmas I Dinas Kesehatan Kecamatan
Denpasar Selatan, sebagian besar disokong oleh sektor persewaan dan jasa perusahaan, sektor
pengangkutan dan sektor jasa-jasa lainnya

4.2 Indikator dan Tolak Ukur Keluaran


Evaluasi dilakukan pada program/kegiatan UKM P2 TB Cakupan Semua Kasus TB yang diobati
(CDS) di wilayah kerja UPTD Puskesmas 1 Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar Selatan bulan
mei tahun 2021. Sumber rujukan tolak ukur penilaian yang digunakan adalah data dari laporan
kinerja program gizi bulan maret tahun 2021. Adapun indikator kerja dari UKM P2 TB bulan
mei tahun 2021 sebagai berikut:
Tabel 4.1 Indikator Kerja UKM P2 TB Bulan Mei Tahun 2021
Capaian
Target tahunan Target bulanan Ket
No Indikator Kerja bulan ini
Abs % Abs % Abs %
Cakupan semua kasus belum
1 TB yang diobati 51 100 5 100 3 60 mencapai
(CDR) target
Angka keberhasilan Kasus TB yang Kasus TB yang
2 pengobatan (Succes menyelesaikan 90 menyelesaikan 90 0 0
Rate) pengobatan pengobatan

4.3 Identifikasi Masalah


Masalah yang ditemukan pada UKM P2 TB bulan mei tahun 2021 adalah tidak tercapainya
cakupan semua kasus TB yang diobati (CDR).

4.4 Prioritas Masalah


Adapun prioritas masalah yang didapat pada UKM P2 TB bulan mei tahun 2021 sebagai berikut

Tabel 4.2 Prioritas Masalah


Prioritas Masalah
No Masalah Total
U S G
Tidak tercapainya cakupan semua
1 4 4 5 80
kasus TB yang diobati (CDR)

4.5 Kerangka Konsep Masalah Dengan Fish Bone Analisis


cakupan semua kasus
TB yang diobati (CDR)

Mother nature Money

Pandemi covid-19 menyebabkan adanya


pembatasan kegiatan sosial, sehingga Tidak ada masalah dalam money
pelaksanaan kegiatan menjadi
terhambat.

Mensurement
Method

Tidak ada masalah dalam mensurement Tidak ada masalah pada


metode

Man Material

Tidak ada masalah pada


Banyak orang tua yang takut
material
membawa anaknya ke
posyandu karena masa
pandemi covid -19.

Gambar 4.1 Kerangka konsep masalah


4.6 Identifikasi Penyebab Masalah
Faktor-faktor yang menjadi penyebab masalah tidak tercapainya cakupan semua kasus TB yang
diobati (CDR) di wilayah kerja UPTD Puskesmas 1 Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar
Selatan ialah sebagai berikut:
1. Man (sumber daya manusia)
a. Sebagian besar masyarakat takut berobat karena adanya pandemi Covid -19
b. Pembatasan kunjungan rumah dikarenakan situasi pandemi Covid-19
c. Peningkatan target dari tahun sebelumnya
2. Method
Volume kunjungan pasien dengan keluhan batuk lebih dari 2 minggu sedikit yang datang ke
puskesmas
3. Money
Tidak ada masalah dari segi money.
4. Material
Tidak ada masalah dari segi material.
5. Environment
Pandemi Covid-19 menyebabkan adanya pembatasan kegiatan sosial, sehingga pelaksanaan
promosi kesehatan terkait TB terhambat dan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang TB.

4.7 Alternatif pemecahan masalah


Alternatif pemecahan masalah pada kasus ini adalah untuk menyelesaikan segala permasalahan
yang menjadi penyebab pencapaian semua kasus TB yang diobati (CDR) yang belum tercapai
seperti meningkatkan pemeriksaan kontak serumah, kerjasama lintas sektoral (jejaring), KIE
pada kontak serumah tentang gejala TB dan adanya masa inkubasi dan fase laten (gejala muncul
lama setelah infeksi) dan bila ada yang mengeluh batuk segera periksa ke Puskesmas, pemberian
leaflet tentang TBC pada kontak serumah, sosialisasi kontak komunikasi Puskesmas (alamat
puskesmas, nomor telepon, facebook, instagram dll),. Kegiatan pemecahan masalah dilaksanakan
dengan tetap mengikuti protokol kesehatan mengingat pandemic masih berlangsung.

4.8 Prioritas Pemecahan Masalah


Berdasarkan alternatif pemecahan masalah yang ada, maka dibuatlah prioritas pemecahan
masalah sesuai dengan rumus yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya
Tabel 4.3 Prioritas pemecahan masalah

Efektivitas Jumlah
No Alternatif pemecahan masalah Efisiensi/c
M I V MxIxV/C
Meningkatkan pemeriksaan kontak
1 5 5 5 2 62,5
serumah
Meningkatkan kerjasama lintas sektoral
2 4 4 3 2 24
(jejaring)
Kie pada kontak serumah tentang
gejala TB dan adanya masa inkubasi
dan fase laten (gejala muncul lama
3 5 4 4 2 40
setelah infeksi) serta bila ada yang
mengeluh batuk segera periksa ke
puskesmas
Pemberian leaflet tentang TB pada
4 4 3 3 3 12
kontak serumah
Sosialisasi kontak komunikasi
5 puskesmas (alamat puskesmas, nomor 5 3 3 2 22.5
telepon, facebook, instagram dll)
Keterangan :
M : magnitude
V : vulnerability c :
i :
cost
importancy
Jadi prioritas pemecahan masalah pada UKM P2 TB bulan mei tahun 2021 adalah:
1. Meningkatkan pemeriksaan kontak serumah
2. Kie pada kontak serumah tentang gejala TB dan adanya masa inkubasi dan
fase laten (gejala muncul lama setelah infeksi) serta bila ada yang mengeluh
batuk segera periksa ke puskesmas
3. Meningkatkan kerjasama lintas sektoral (jejaring)
4. Sosialisasi kontak komunikasi puskesmas (alamat puskesmas, nomor
telepon, facebook, instagram dll)
5. Pemberian leaflet tentang TB pada kontak serumah
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan
Penyakit TB masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global
dan nasional. Indonesia masih merupakan salah satu dari negara dengan beban TB tertinggi.
Pencapaian keberhasilan mencapai target program pengendalian TB diperlukan penanganan yang
sungguh-sungguh dan berkesinambungan pada semua komponen DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course), mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun monitoring evaluasi.
Sehingga kegiatan evaluasi tahunan terhadap pelaksanaan kegiatan penanggulangan TB ditingkat
pusat dan dilanjutkan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota harus dilakukan. UPTD
Puskesmas I Dinas Kesehatan Kecamatan Denpasar Selatan melalui kegiatan UKM P2 TB terus
berupaya mendeteksi hingga menuntaskan kasus TB yang ada di wilayah kerja puskesmas, di
bulan mei tahun 2021 cakupan semua kasus TB yang diobati (CDR) tidak mencapai target
bulanan yaitu sebesar 5 kasus, hanya didapatkan sebanyak 3 kasus sehingga membuat tidak
tercapainya cakupan semua kasus TB yang diobati (CDR). Hal ini dipengaruhi oleh beberapa
beberapa kendala seperti peningkatan target dari tahun sebelumnya, masih berlangsungnya
pandemi covid-19 dan hal lainnya yang sudah dijelaskan diatas. Adapun 2 prioritas pemecahan
masalah yaitu meningkatkan pemeriksaan kontak serumah dan kie kontak serumah mengenai
gejala TB yang harus diwaspadai, dengan demikian cakupan semua kasus TB yang diobati dapat
tercapai.

b. Saran
- Peserta internsip dokter Indonesia harus memahami mengenai ilmu kesehatan masyarakat dan
lebih menggali permasalahan yang ada sehingga bisa memberikan kontribusi pemecahan
masalah yang ada
- Perlu dilakukan penyuluhan lebih intensif melalui media social seperti whatsapp grup kepada
para kader yang ada di wilayah kerja UPTD Puskesmas I Dinas Kesehatan Kecamatan
Denpasar Selatan sehingga bisa membantu menemukan dan menurunkan angka kejadian
kasus TB
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai