Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

SISTEM SARAF PUSAT


PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA

KASUS SPINAL CORD INJURY

NAMA/ NIM :
DEKA DANTARA/ 2010306017

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2021
HALAMAN PENGESAHAN

MAKALAH STASE SISTEM SARAF PUSAT

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA

KASUS SPINAL CORD INJURY

Disusun oleh :
DEKA DANTARA 2010306017

Makalah Ini Dibuat Guna Menyelesaikan Tugas Stase Neuromuscular


Program Studi Profesi Fisioterapi
Fakultas Ilmu Kesehatan di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta

Jakarta, Juli 2021


Telah Disetujui Oleh :
Clinial Educator

NIP/NIK :
BAB I

PENDAHULUAN

A. DEFINISI KASUS

Spinal Cord Injury adalah trauma pada tulang belakang yang menyebabkan lesi

medula spinalis sehingga terjadi gangguan neurologik, tergantung letak kerusakan saraf

spinalis dan jaringan saraf yang rusak (Maja, 2013).

Spinal Cord Injury didefinisikan secara lengkap atau tidak lengkap menurut

Standar Internasional untuk Klasifikasi Neurologis SCI1 dan Skala Penurunan Asosiasi

Cedera Spinal Amerika (AIS). Secara lengkap didefinisikan sebagai AIS A, dan secara

tidak lengkap didefinisikan sebagai AIS B, AIS C, AIS D atau AIS E. Sistem klasifikasi

ini diperkenalkan pada tahun 1982 untuk menggantikan sistem Frankel yang asli, tetapi

mungkin lebih intuitif, di mana seseorang diklasifikasikan memiliki SCI yang tidak

lengkap jika mereka memiliki pelindung motorik atau sensorik lebih dari tiga tingkat di

bawah tingkat cedera. Sebaliknya, Standar Internasional untuk Klasifikasi Neurologis

SCI1 membedakan antara cedera lengkap dan tidak lengkap berdasarkan pengawetan

sensorik dan motorik di segmen S4/5. Diklasifikasikan lengkap jika seseorang tidak

mengalami kontraksi anal secara sukarela (indikasi pengawetan motorik S4/5) dan/atau

sensasi di dalam atau di sekitar anus (indikasi pengawetan sensorik S4/5) (Harvey, 2016).

International Classification of Functioning, Disability, and Health (ICF)

mendefinisikan partisipasi sebagai keterlibatan individu dalam situasi kehidupan, dan

menjelaskan konsep ini dalam kaitannya dengan konsep kondisi kesehatan, fungsi dan

struktur tubuh (gangguan), kegiatan, dan faktor kontekstual. ICF adalah kerangka kerja

yang komprehensif dan diterima secara luas untuk mengklasifikasikan dan menjelaskan

aspek fungsi, kecacatan, dan kesehatan pada orang dengan spektrum penyakit dan kondisi

yang luas, termasuk cedera tulang belakang (SCI) (Gomara-Toldra, 2014).


B. ETIOLOGI KASUS

Cedera sumsum tulang belakang (SCI) mengacu pada serangkaian cedera tulang

belakang yang disebabkan secara langsung atau tidak langsung oleh faktor eksternal.

Bergantung pada segmen yang terkena cedera, gejala dapat berkisar dari disfungsi

motorik dan sensorik, distonia otot, dan munculnya refleks patologis. SCI primer

mengacu pada cedera yang disebabkan oleh kekuatan eksternal yang bekerja secara

langsung atau tidak langsung pada sumsum tulang belakang. SCI sekunder mengacu pada

kerusakan lebih lanjut yang disebabkan oleh kompresi sumsum tulang belakang, yang

disebabkan oleh edema, hematoma, fraktur tekan, dan jaringan diskus intervertebralis

yang rusak. Cedera medulla spinalis ditandai dengan morbiditas tinggi, biaya tinggi, dan

usia pasien muda dan seringkali menyebabkan kecacatan permanen yang parah. SCI tidak

hanya mempengaruhi kualitas hidup pasien, tetapi juga menambah beban bagi keluarga

dan masyarakat (Fu, 2016).

C. PATOLOGI KASUS

Patofisiologi ASCI meliputi fase inisial primer, diikuti dengan mekanisme

sekunder. Manifestasi kelainan primer yang terjadi disebabkan oleh proses kompresi

langsung dan kontusi/memar pada spinal cord yang terjadi secara cepat, yang

menginisiasi proses inflamasi dan selanjutnya menimbulkan gejala/manifestasi sekunder.

Cedera primer ini bersifat irreversible, dan diikuti dengan kaskade inflamasi yang

memicu cedera lebih lanjut. Dibandingkan dengan cedera primer, cedera sekunder

bersifat reversible dan disebabkan oleh pelepasan sitokin dari berbagai sel. Hal itu

berakibat pada terjadinya kerusakan traktus spinal lebih lanjut karena hipoksia,

vasospasme, apoptosis, dan deposisi jaringan granulasi (Martiana, 2019).


D. TANDA DAN GEJALA KASUS

Gejala-gejala dapat bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya

inkontinensia. Kerusakan medula spinalis dapat dijelaskan dari tingkat “inkomplit”

dengan gejala-gejala yang tidak berefek pada pasien sampai tingkat “komplit” dimana

pasien mengalami kegagalan fungsi total (Maja, 2013).


BAB II

PROSES FISIOTERAPI

A. ASSESMENT FISIOTERAPI

Cedera spinal cord injury dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu cedera lengkap

dan tidak lengkap. Cedera lengkap berarti tidak ada fungsi di bawah tingkat yang

cedera, tidak ada sensasi dan tidak ada gerakan atau bisa dikatakan pasien sudah

mengalami kelumpuhan. Cedera tidak lengkap berarti ada beberapa fungsi di bawah

tingkat dasar dari cedera. Ini berarti bahwa pasien tidak mengalami kelumpuhan total

dan masih mampu menggerakkan sebagian anggota tubuh. Kelumpuhan hanya terjadi

pada area cedera.

B. DIAGNOSIS FISIOTERAPI

1. Impairment: Nyeri pada daerah insisi, penurunan kekuatan otot-otot tungkai

potensial terjadinya atrofi dan kontraktur pada otot-otot tungkai, menurunnya ROM

tungkai, gangguan sensasi, gangguan fungsi kontrol bladder dan bowel.

2. Functional Limitation: Gangguan seperti miring, duduk, dan berdiri serta gangguan

aktifitas berjalan.

3. Disability: pasien tidak dapat melakukan aktivitas pekerjaannya sehari-hari.

C. RENCANA INTERVENSI

Tujuan Jangka Pendek:

Mengurangi nyeri, meningkatkan kekuatan otot-otot tungkai, mencegah atrofi dan

kontraktur pada otot-otot tungkai, meningkatkan ROM tungkai, merangsang dan

mengembalikan rasa sensasi

Tujuan Jangka Panjang:


Mengembalikan ke ADL yang mandiri

D. INTERVENSI

1. Perubahan posisi (pencegahan pressure sores, kontraktur, inhibisi spastisitas,

mengkoreksi kelurusan dari fraktur)

2. Latihan ROM (pasif dan aktif) dan penguluran untuk mencegah kontraktur dan

adanya keterbatasan lingkup gerak sendi pada bagian yang lesi

3. Penguatan yang tersisa dan yang sehat (selective)

4. Bladder training yang dilakukan untuk menjaga kontraktilitas otot detrusor

5. Perhatian terhadap gerak yang boleh/tidak boleh pada cedera yang stabil/tak stabil

Salah satu teknologi yang digunakan dalam penanganan paraplegi adalah terapi

latihan. Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang

pelaksanaannya dengan menggunakan pelatihan-pelatihan gerak tubuh baik secara

aktif maupun secara pasif. Secara umum tujuan terapi latihan meliputi pencegahan

disfungsi dengan pengembangan, peningkatan, perbaikan atau pemeliharaan dari

kekuatan dan daya tahan otot, kemampuan cardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas

jaringan lunak, stabilitas, rileksasi, koordinasi keseimbangan dan kemampuan

fungsional. Setelah berbaring lurus untuk beberapa waktu selama periode awal pasien

harus berkembang oleh fisioterapis untuk duduk tegak di kursi roda. Ini adalah proses

bertahap yang bergerak pasien ke posisi tegak terlalu cepat dapat menyebabkan

penurunan tekanan darah yang parah. Sebuah kursi roda dengan kaki terletak

mengangkat dan kembali miring digunakan pada awalnya sampai pasien mampu

mentoleransi kursi tegak. Latihan teratur keseimbangan duduk adalah penting di

bawah pengawasan yang ketat dari fisioterapis sebagai kontrol batang diperlukan
untuk hidup mandiri. Setelah transfer duduk dikuasai ke kursi roda dan penguatan

dapat bekerja.

Pencegahan komplikasi sangat berperan penting. Tindakan rehabilitasi medik

merupakan kunci utama dalam penanganan pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi,

terapi okupasi, dan bladder training harus dilakukan sedini mungkin. Tujuan utama

fisioterapi ialah untuk mempertahankan range of movement (ROM) dan kemampu-an

mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-otot. Terapi okupasional terutama

ditujukan untuk memperkuat dan memper-baiki fungsi ekstremitas atas, serta

mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-hari. Pembentukan kontraktur

harus dicegah seoptimal mungkin (Maja, 2013).

E. EVALUASI

Tahap pertama pembelajaran keseimbangan duduk yang baik, memperkuat

otot dan transfer kursi roda kini telah dikuasai dan itu adalah waktu untuk rehabilitasi

tersisa untuk mengambil tempat di Unit Luka Spinal. Hanya suatu unit khusus dengan

tim multi-disiplin dapat mengajarkan sejumlah besar keterampilan yang tersisa

diperlukan untuk hidup mandiri. Tingkat independensi pasien dapat mencapai

tergantung pada banyak faktor seperti tingkat dari cedera tulang belakang, usia orang,

setiap kondisi medis dan motivasi dan dukungan keluarga.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan

Upaya pencegahan meliputi mobilisasi, perawatan kulit, pemenuhan

kebutuhan cairan dan nutrisi yang adekuat.

B. Saran
Untuk tercapainya keberhasilan perlu adanya motivasi yang kuat akan

psikis pasien. memberikan support emosional merupakan bagian dari proses

rehabilitasi.
DAFTAR PUSTAKA

Harvey, L.A. (2016). Physiotherapy rehabilitation for people with spinal cord injuries.
Journal of Physiotherapy, 62(2016), 4–11.
Fu, J., Wag, H., Deg, L., & Li, J. (2016). Exercise Training Promotes Functional Recovery
after Spinal Cord Injury. Neural Plasticity, 7(2016).
Martiana, I.K., Permana, D., & Widhiyanto, L. (2019). Traumatic cervical spinal cord injury.
Is urgent intervention superior to delayed intervention? A meta-analysis evaluation.
Journal Orthopaedi and Traumatology Surabaya, 8(1), 2019.

Anda mungkin juga menyukai