Anda di halaman 1dari 10

REGULASI DIRI

Pengertian Regulasi Diri


Menurut Hergenhann (dalam Triwulandari, 2007) regulasi diri adalah kemampuan
mengatur dan mengendalikan perilaku manusia. Sedangkan menurut Bandura
(dalam Singgih, 2006) menyatakan bahwa regulasi diri merupakan kemampuan
individu untuk mempertahankan komitmennya terhadap suatu tujuan selama
periode waktu tertentu, khususnya pada saat tidak adanya insentif yang berasal
dari luar diri
.
Menurut Bandura (dalam Grimm, 1983) ada tiga komponen tahap dari regulasi
diri: observasi terhadap performa yang sudah dilakukan, evaluasi diri dengan cara
membandingkan pencapaian dengan tujuan yang diharapkan, reward diri di mana
orang melakukan tindakan berikutnya (baik verbal, simbol maupun bukti nyata)
yang didasarkan hasil diskriminasi bersyarat yang terjadi selama evaluasi diri.

Menurut Bandura (dalam Singgih, 2006) faktor yang turut mempengaruhi


pembentukan regulasi diri adalah faktor umpan balik (adequate feedback) dan
faktor perasaan mampu (self efficacy). Semakin individu memiliki umpan balik
yang bersifat membangun serta disampaikan dengan cara yang baik dan semakin
individu memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya, maka semakin individu
mampu dalam mempertahankan komitmennya terhadap suatu tujuan selama
periode waktu tertentu. Kemampuan individu mempertahankan komitmennya
terhadap suatu tujuan yang bersifat jangka panjang dapat dinyatakan sebagai
tingkat regulasi diri yang baik pada diri individu.

Menurut Kowalaki (dalam Triwulandari, 2007) regulasi diri adalah tugas seseorang
untuk mengubah respon-respon, seperti mengendalikan impuls-impuls perilaku,
menahan hasrat, mengontrol pikiran, dan mengubah emosi. Menurut Watson
(dalam Triwulandari, 2007) regulasi diri adalah instruksi diri untuk mengadakan
perubahan pada perilaku seseorang.

Papalia (dalam Singgih, 2006) menyatakan bahwa regulasi diri adalah


kamampuan individu untuk mengendalikan tingkah lakunya pada saat tidak
adanya kontrol dari lingkungan. Fiske dan Taylor (2008) menyatakan regulasi diri
berkaitan dengan bagaimana individu mengontrol dan mengalahkan tindakan,
pikiran dan emosi mereka, difokuskan terutama kepada tujuan dan cara mendapat
tujuan itu.

Brandstatter dan Frank (dalam Taylor, 2008) mengemukakan regulasi diri adalah
individu secara sadar dan aktif membatasi pikiran, emosi dan perilakunya.
Menurut Fiske (dalam Taylor, 2008) regulasi diri diarahkan oleh proses
motivasional yang mendasar, dan yang terpenting dari semua ini adalah
melingkupi sasaran kebutuhan yang tepat, kebutuhan akan konsisten diri,
keinginan untuk lebih baik dan peningkatan diri yang cenderung menganut dan
mempertahankan regulasi diri yang baik.

Papalia (dalam Singgih, 2006) faktor-faktor yang turut mempengaruhi


pembentukan regulasi diri adalah faktor proses perhatian dan faktor kesadaran
terhadap emosi-emosi negatif. Semakin seseorang mampu menyadari emosi
negatif yang muncul dalam dirinya dan semakin seseorang mampu
mengendalikan perhatiannya pada sesuatu (attentional prosess), maka seseorang
tersebut akan semakin mampu menahan dorongan-dorongan dan mengendalikan
tingkah lakunya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa regulasi diri adalah


kemampuan individu untuk mengatur dan mengendalikan perilaku terhadap suatu
tujuan dalam periode waktu tertentu yang dipengaruhi oleh self efficacy, tindakan
moral, penundaan kepuasan sesaat. self efficacy yaitu keyakinan seseorang
tentang kemampuannya dalam melakukan sesuatu. Tindakan moral yaitu
bagaimana seseorang dapat mengatur tindakannya melalui standar-standar
moral. Delay of Gratification yaitu suatu proses penundaan kepuasan sesaat yang
dipengaruhi oleh tujuan dimasa mendatang dan nilai dari tujuan serta bagaimana
pengalaman lampau individu dalam menunda kepuasan sesaat.

Aspek-aspek Regulasi Diri


Menurut Hergenhann (dalam Triwulandari, 2007) mengemukakan tiga aspek-
aspek yang mempengaruhi dalam perilaku pengaturan diri (regulasi diri)
diantaranya:

a. Self Efficacy
Ziegler (dalam Triwulandari, 2007) menyatakan self efficacy berhubungan dengan
penilaian bagaimana seseorang menyadari kemampuan mereka untuk melakukan
suatu perilaku atau tindakan yang berhubungan dengan suatu tugas, dengan
begitu menurut Hergenhann (dalam Triwulandari, 2007) individu yang memiliki
preceived self efficacy akan terus mencoba, memperoleh lebih banyak dan
bertahan lebih lama terhadap suatu tugas dibandingkan dengan mereka yang
memiliki self efficacy dalam tingkat yang lebih rendah. Hal ini menggambarkan
mampu atau tidaknya individu untuk melakukan sesuatu seperti yang
diinginkannya.

Self efficacy menurut Bandura (dalam Feist, 2008) adalah keyakinan individu
terhadap kemampuan dalam mengerjakan tugas, aktifitas ataupun usaha untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Bandura mengungkapkan bahwa self efficacy
memiliki tiga indikator yaitu :

1) Dimensi tingkat (magnitude)


Berkaitan dengan derajat kesulitan tugas dimana individu merasa mampu
melakukannya. Individu merasa mampu melakukan tugas apakah berkaitan
dengan tugas yang sederhana, agak sulit atau sangat sulit.

2) Dimensi kekuatan (strength)


Dimensi ini dikaitkan ini kekuatan penilaian tentang kecakapan individu. Dimensi
ini mengacu pada derajat kemampuan individu terhadap keyakinan akan harapan
yang dibuatnya.

3) Dimensi generalisasi (generalty)


Dimensi ini berhubungan dengan luas bidang perilaku. self efficacy seseorang
tidak terbatas hanya situasi spesifik saja. Dimensi ini mengacu pada variasi situasi
dimana penilaian tentang self efficacy dapat diungkapkan.

b. Peraturan Moral (Moral Conduct)


Menurut Bandura (dalam Triwulandari, 2007) Moral Conduct adalah prinsip-prinsip
standar dari apa yang baik maupun yang buruk melalui proses internalisasi.
Terdapat sejumlah mekanisme kognitif yang dapat membuat seseorang dapat
bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip moral yang dimiliki tanpa
menimbulkan perasaan bersalah. Karena itu diperlukan adanya regulasi diri untuk
mengarahkannya. Komponen dari tindakan moral di antaranya:
1) Individu dapat menentukan perilaku (pikiran) yang benar dan yang salah.
2) Individu bisa menjaga perilakunya setelah menyadari kesalahannya.
c. Penundaan Kepuasan (Delay of Gratification)
Delay of Gratification adalah suatu proses penundaan kepuasan sesaat, ini juga
merupakan aspek dari regulasi diri yang dipertimbangkan oleh Bandura dan
Mischel (dalam Liebert dan Spiegler, 1990). Kemampuan untuk menunda
kepuasan sesaat. Menurut Hergenhann (dalam Triwulandari, 2007) berkaitan
dengan beberapa indikator diantaranya:

1) Keyakinan seseorang bahwa tujuan dimasa mendatang akan lebih baik.


2) Pengalaman lampau seseorang dalam menunda kepuasan sesaat.
3) Nilai dari tujuan di masa mendatang

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Regulasi Diri


Ada dua faktor yang mempengaruhi regulasi diri menurut Bandura (dalam Feist,
2008) yaitu:
a. Faktor eksternal dalam regulasi diri
Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri minimal dalam dua cara yaitu:
1) Faktor eksternal menyediakan standar untuk mengevaluasi perilaku diri
sendiri. Standar tidak semata-mata berasal dari daya tarik internal. Faktor-
faktor lingkungan, yang berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh pribadi, turut
membentuk standar individual bagi pengevaluasi.
2) Faktor eksternal mempengaruhi pengaturan diri dengan menyediakan cara-
cara penguatan. Penghargaan intrinstik tidak selalu cukup, juga memerlukan
insentif-insentif dari luar.

b. Faktor internal dari regulasi diri


Faktor eksternal berinteraksi dengan faktor internal atau personal dalam
regulasi diri. Bandura (dalam Feist, 2008) mengemukakan tiga persyaratan
internal untuk melatih regulasi diri yaitu:

1) Observasi-diri
Faktor internal pertama pengaturan diri adalah observasi diri terhadap
performa yang sudah dilakukan, orisinalitas tingkah laku diri. Manusia dapat
memonitor penampilannya meskipun tidak lengkap atau akurat. Individu
memilih dengan selektif sejumlah aspek perilaku dan mengabaikan aspek
yang lainnya, yang dipertahankan biasanya adalah yang sesuai dengan
konsep diri.

2) Proses penilaian
Proses penilaian adalah melihat kesesuaian tingkah laku dengan standar
pribadi, membandingkan tingkah laku dengan standar pribadi,
membandingkan tingkah laku dengan norma standar atau dengan tingkah
laku orang lain. Individu sanggup bukan hanya sadar diri secara reflektif,
namun juga menilai berharga tidaknya tindakan-tindakan berdasarkan tujuan
yang ditentukan bagi diri sendiri.

Proses penilaian tergantung pada empat hal yaitu:


a) Standar pribadi: mengevaluasi performa tanpa harus membandingkan
dengan hasil dari orang lain.
b) Standar acuan
c) Keseluruhan nilai yang ditetapkan bagi sebuah aktivitas
d) Cara individu menilai penyebab tingkah laku demi penyempurnaan
performa.

3) Reaksi diri
Berdasarkan pengalaman manusia merespon positif atau negatif perilaku
mereka tergantung kepada bagaimana perilaku itu diukur dan apa standar
pribadinya. Manusia mengarahkan diri pada insentif bagi tindakannya melalui
penguatan diri atau penghukuman diri. Manusia menetapkan standar-standar
tertentu bagi performa yang jika dipenuhi cenderung meregulasi perilaku
dengan memberi penghargaan pada diri sendiri dalam bentuk kebanggaan
diri dan kepuasan diri dan bila gagal memenuhi standar maka perilaku akan
diikuti oleh ketidak puasan dan mengkritik diri.

COMPASSION

Compassion adalah suatu tindakan yang menunjukkan pengakuan terhadap


rasa sakit atau keterpurukan orang lain maupun diri sendiri. Compassion
merupakan salah satu bentuk empati. Terdapat pengaruh resilience yang melekat
ketika kita harus menghadapi situasisituasi buruk, dimana kita harus mampu
menanggulanginya serta tetap kuat dan tegar. Ketika terdapat seseorang yang
mengalami situasi yang membuatnya sangat terpuruk, kita akan berusaha
mendukungnya untuk menjadi mampu dalam menghadapi kesulitannya. Untuk
dapat membantu orang tersebut, kita tentunya harus lebih mampu dalam
menghadapi situasi serupa. Lalu siapa yang akan mengajari diri kita untuk menjadi
lebih tegar? Jawabannya adalah pengalaman. Apabila kita sudah pernah
mengalami situasi tersebut, dan mampu melewatinya dengan baik, maka kita akan
mampu untuk membantu kesulitan orang tersebut.

A. Expressing Compassion

Orang yang penuh kasih sayang pada umumnya akan selalu peduli terhadap
orang-orang yang ada disekelilingnya. Mereka sangat terampil dalam menjalin
hubungan interpersonal dengan orang lain dalam kesehariannya.
Orang yang penuh kasih sayang biasanya dikenal karena cara mereka
berperilaku. Anda tidak perlu mengenal mereka dengan baik untuk menentukan
apakah mereka memiliki sikap yang penuh kasih atau tidak karena secara spontan
mereka akan menunjukan itu. Anda dapat memercayai mereka dan mengetahui
bahwa mereka akan membantu Anda dalam menghadapi kesulitan. Terdapat
beberapa skill yang digunakan dalam mengekspresikan rasa belas kasih,
diantaranya :
1. Making friends easily
Orang-orang yang penuh belas kasih adalah orang-orang yang ramah. Mereka
tidak takut dan dapat merangkul setiap orang. Mereka sangat terbuka untuk
menjadi seorang teman dan tidak bersikap defensive. Mereka tidak merasa malu
atau bahkan takut pada penolakan orang lain.
2. Feeling empathy
Perasaan empati akan timbul ketika sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi
pada seseorang. Ia bisa merasakan setidaknya untuk sesaat perasaan seseorang
saat melalui kesulitan yang terjadi. Ia akan menunjukan perhatiannya dengan
mengungkapkan kata yang menghibur atau pemahaman dan juga menawarkan
bantuan jika diperlukan.
3. Honest about reactions
Orang yang berbelas kasih akan memberitahu seseorang ketika kelakuan orang
itu menyinggung perasaannya. Ia tidak akan mendendam maupun menunggu
orang itu sadar jika mereka salah. Ia akan memberitahu orang itu jika perilakunya
sangat mengusik, dengan harapan orang itu berubah, sehingga hubungan
diantara mereka tetap berjalan.
4. Managing negative emotions

Orang yang berbelas kasih mengetahui jika dirinya sedang merasa marah, sedih,
takut maupun iri. Ia akan mencari tahu dengan berdiskusi bersama dirinya sendiri
di alam sadarnya, kemudian meresolusi apa yang menyebabkan emosi negatifnya
terus ada agar ia bisa mempererat hubungannya dengan orang lain.

5. Expecting fairness

Orang yang penuh kasih sayang sangat mengharapkan keadilan dan biasanya
bersedia untuk mengatasi pelanggaran keadilan yang terjadi. Contoh ketidakadilan
antara lain ketidakadilan peraturan dan regulasi, ketidakadilan pengelompokan,
ketidakadilan perilaku oleh anggota keluarga dan perilaku-perilaku lain yang dinilai
tidak adil jika dikaitkan dengan konsep keadilan dan kesetaraan. Penyelesaian
bisa diselesaikan tanpa dendam dan tuduhan. Namun, bagaimanapun kemarahan
dapat di ekspresikan dan dijelaskan.
6. Demonstrating affection

Orang yang penuh kasih sayang tidak takut untuk menunjukan kasih sayang
kepada orang lain. Mereka bersedia untuk memeluk seseorang atau
mengungkapkan apa yang dia rasakan terhadap mereka. Bagi beberapa orang
kurang menyukai kontak fisik, mereka akan mengungkapkan dengan kata-kata
dan senyuman.

7. Listening

Orang yang berbelas kasih mendengarkan orang-orang yang mendekatinya.


Mereka memberi perhatian, tanggapan, dan menghormati orang yang mereka
dengarkan. Ia tidak memberi tahu apa yang harus dilakukan oleh orang lain.

8. Accepting compliments and praise from others

Orang yang berbelas kasih bisa untuk menerima penghargaan dari orang lain
tanpa berkata "oh saya tidak ada melakukan sesuatu yang spesial" atau "aku tidak
layak dipuji seperti ini. Orang lain melakukan lebih banyak." Orang yang berbelas
kasih cenderung memuji orang lain lebih sering, namun ia sulit untuk menerima
pujian.
9. Initiating conversations

Orang yang penuh kasih bersedia memulai percakapan dengan orang lain dalam
rangka untuk menunjukkan keramahan kepada orang lain disekitarnya. Hal ini
berkaitan dengan bagaimana inisiatif Anda untuk memulai percakapan saat
berada dalam keadaan terdesak dengan sopan, sehingga seseorang mau
mendengarkan dengan antusias.
10. Asking for help
Sekelompok orang yang penuh kasih percaya terhadap orang lain, sehingga
dirinya merasa cukup bebas untuk meminta bantuan ketika ia memerlukannya. Ia
telah membangun sebuah jaringan untuk mendukungnya sehingga ia tidak pernah
merasa sendirian atau bahkan ditelantarkan ketika hal yang sangat buruk
menimpanya. Ia melakukan pendekatan kepada orang lain dengan kepedulian.
Sikap yang ditunjukkan oleh orang yang berbelas kasih seperti mengatakan
bahwa dirinya berharap orang lain membantunya karena ia tahu orang lain adalah
orang yang baik juga.

Compassion adalah suatu tindakan yang menunjukkan pengakuan terhadap


rasa sakit atau keterpurukan orang lain maupun diri sendiri. Compassion
merupakan salah satu bentuk empati. Terdapat pengaruh resilience yang melekat
ketika kita harus menghadapi situasisituasi buruk, dimana kita harus mampu
menanggulanginya serta tetap kuat dan tegar. Orang yang penuh kasih sayang
pada umumnya akan selalu peduli terhadap orang-orang yang ada disekelilingnya.
Mereka sangat terampil dalam menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain
dalam kesehariannya. Orang yang penuh kasih sayang biasanya dikenal karena
cara mereka berperilaku. Terdapat beberapa skill yang digunakan dalam
mengekspresikan rasa belas kasih, diantaranya adalah Making friends easily,
Feeling emphaty, Honest about reactions, Managing negative emotions, Expecting
fairness, Demonstrating affection, Listening, Accepting compliments and praise
from others, Initiating conversations, Asking for help.

A COMPASSIONATE MAN

Sub-bab ini mengemukakan anekdot tentang seorang yang bernama Moses


dan penguasa bernama Pharaoh atau Firaun. Dikisahkan bahwa Moses
merupakan seorang pemimpin dari kaum Yahudi di Israel, sedangkan Firaun
adalah tirani yang berkuasa saat itu. Firaun mencetuskan sistem perbudakan
terhadap masyarakat Yahudi yang mana hal itu tidak lain dan tidak bukan hanya
mengakibatkan penderitaan bagi mereka. Di sinilah peran Moses sebagai
pemimpin mereka muncul sebagai penyelamat. Walaupun Moses dianggap
bersaudara dengan sang Firaun, ia tidak serta merta mengikuti apa yang
dilakukan oleh Firaun. Moses menentang sistem perbudakan terhadap kaumnya
karena ia merasa iba dan tidak tega dengan kondisi kaumnya itu. Ia bertekad kuat
untuk membebaskan kaumnya dari sistem perbudakan yang menderita tersebut
karena ia merasa mereka juga berhak mendapatkan kebebasan. Moses bersikap
dengan mendahulukan kepentingan kaumnya, bahkan ketika ia sendiri terancam
nyawanya oleh sang Firaun. Namun Moses tidak memedulikan itu, ia merasa apa
yang dilakukannya adalah benar. Satu hal pasti yang ada di pikirannya adalah
“Kaumku harus bebas!”.

Dari anekdot di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa compassion atau
rasa iba atau rasa belas kasih merupakan komponen yang penting dalam
hubungan interpersonal. Mengapa rasa belas kasih menjadi penting? Tidak hanya
dengan belas kasih kita dapat memahami kondisi orang lain, namun dengan belas
kasih juga memungkinkan kita untuk bertindak sesuai kondisi itu, menurut apa
yang baik dan benar. Sekarang terdapat dua sisi dari belas kasih, pertama adalah
bagaimana orang lain memberi kita rasa belas kasih dan kedua adalah bagaimana
kita memberi rasa belas kasih kita kepada orang lain. Dari dua sisi tersebut
terdapat intisari, yaitu simpati dan empati. Tanpa simpati, kita tidak akan merasa
terlibat dengan apa yang dialami orang lain. Tanpa empati, kita tidak akan
bertindak terhadap simpati yang kita rasakan.

Terakhir, secara garis besar ada 3 pertanyaan penting terkait rasa belas kasih kita
terhadap orang lain dan sebaliknya yang dapat menjadi pertimbangan terkait rasa
belas kasih, yaitu: Bagaimana kita, dan orang lain, menunjukkan rasa belas kasih
terhadap sesama? Apakah menurut kita, dan orang lain, ada cara lain yang lebih
baik untuk mengekspresikan rasa belas kasih tersebut? Bagaimana jika kita
dihadapkan pada situasi yang sama dengan yang dialami orang lain, apa yang
akan kita dilakukan? Dan apa yang akan orang lain lakukan jika situasinya
menjadi terbalik?

Kesimpulan
Compassion atau rasa iba atau rasa belas kasih merupakan komponen yang
penting dalam hubungan interpersonal. Tidak hanya dengan belas kasih kita dapat
memahami kondisi orang lain, namun dengan belas kasih juga memungkinkan kita
untuk bertindak sesuai kondisi itu, menurut apa yang baik dan benar. Sekarang
terdapat dua sisi dari belas kasih, pertama adalah bagaimana orang lain memberi
kita rasa belas kasih dan kedua adalah bagaimana kita memberi rasa belas kasih
kita kepada orang lain. Dari dua sisi tersebut terdapat intisari, yaitu simpati dan
empati. Tanpa simpati, kita tidak akan merasa terlibat dengan apa yang dialami
orang lain. Tanpa empati, kita tidak akan bertindak terhadap simpati yang kita
rasakan.

Anda mungkin juga menyukai