Anda di halaman 1dari 21

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 KAJIAN PUSTAKA


Kajian pustaka menurut Ratna dalam Prastowo (2012:80) adalah bahan
bacaan yang sering dijadikan acuan dan landasan teori untuk menganalisis objek
penelitian. Penulis telah memaparkan hal yang dijadikan acuan untuk menganalisis
penelitian ini yakni seperti seputar baja sebagai struktur utama, alat berat, mobile
crane, standar operasional prosedur erection, dan produktivitas.

2.2 BAJA
Penggunaan material baja sebagai struktur utama suatu bangunan semakin
banyak seiring dengan berkembangnya sektor infrastruktur. Maka dari itu, penulis
akan menjabarkan definisi baja, jenis baja, karakteristik baja, dan baja SNI.

2.2.1 Definisi Baja


Baja adalah suatu material yang terbuat dari campuran besi dan
karbon yang telah mengikat satu sama lain menjadi ikatan logam yang
sangat kuat. Dan baja seringkali digunakan untuk membuat struktur utama
pada bangunan gedung bertingkat dan pada bangunan jembatan.

Sebagai struktur utama suatu konstruksi, baja memiliki beberapa


jenis dan karakteristiknya masing-masing berdasarkan bentuk dan
kegunaannya.

2.2.2 Jenis-Jenis Baja


Jenis-jenis baja yang pada umumnya mudah ditemui di pasaran atau
lapangan yakni sebagai berikut:
1) Baja H-Beam
Baja H-Beam adalah suatu baja yang mempunyai penampang
berbentuk huruf H dan berbentuk balok yang mempunyai panjang 12 meter
di pasarannya. Pada umumnya baja ini sangat sering digunakan pada
struktur utama konstruksi gedung bertingkat maupun pada konstruksi
jembatan.

2) Baja WF (Wide Flange)


Baja WF (Wide Flange) adalah baja yang memiliki bentuk hampi
sama dengan baja H-beam. Yang membedakannya adalah pada aspek
kekuatan, baja WF lebih unggul daripada baja H-beam, baik itu pada gaya
tarik dan gaya tekan, dan bentuk dari baja WF lebih lebar daripada baja H -
Beam Maka, sering kali baja WF ini digunakan pada struktur utama
bangunan gedung maupun bangunan jembatan. Panjang baja ini berkisar 12
meter di pasarannya.

3) Baja CNP
Baja CNP adalah suatu baja yang mempunyai penampang berbentuk
huruf C dan berbentuk balok yang mempunyai ukuran panjang 6 meter di
pasaran. Baja jenis CNP ini sering dijumpai pada struktur atap konstruksi
bangunan rumah tinggal maupun gedung bertingkat.

4) Baja Siku
Baja siku adalah baja yang memiliki penampang berbentuk siku 90°
atau huruf L. Panjang baja siku ini berkisar 6 meter pada pasarannya, dan
baja siku biasanya hanya digunakan untuk struktur rangka atap karena baja
siku mempunyai kekuatan yang lebih rendah dibandingkan jenis baja
konvensional lainnya seperti baja H-beam dan baja WF. Namun seiring
perkembangan zaman, baja siku juga sedikit langka digunakan sebagai
struktur rangka atap, dikarenakan kehadiran jenis baja ringan yang memiliki
massa lebih ringan dibandingkan baja siku.
5) Baja Ringan
Baja ringan adalah suatu material baja yang biasanya digunakan
untuk pekerjaan konstruksi rangka atap. Pada umumnya, penggunaan baja
ringan sebagai konstruksi rangka atap ini sering kita jumpai pada bangunan
rumah sederhana. Jenis baja ini sangat efisien karena massanya lebih ringan
disbanding baja siku dan jenis lainnya, lalu kuat dan bisa awet, mudah untuk
disambung, dan mempunyai tegangan tarik yang tinggi. Namun di sisi lain,
penggunaan baja ringan sebagai rangka atap tidak dianjurkan ketika pada
bagian atapnya dipasang dengan atap genteng tanah liat karena massa dari
material genteng tanah liat cukup berat, sehingga rentan roboh jika pada
perencanaan dan pelaksanaannya kurang teliti.

2.2.3 Karakteristik Baja


Menurut Ariet Elyas Tanto (2019), Baja sebagai struktur utama pada
bangunan memiliki karakteristik sebagai berikut:

1) Kekuatan (Power)
Yang pertama baja adalah jenis material yang mempunyai kekuatan
yang sangat baik. Terutama pada kuat tariknya. Efek samping dari
karakteristik ini adalah baja akan sangat mudah mengalami perubahan
bentuk jika diberikan beban. Perubahan bentuk tersebut akan menyebabkan
timbulnya regangan yang sangat besar sesuai dengan deformasi satuan
panjang. Nantinya regangan akan menimbulkan terjadinya tegangan pada
baja.

2) Kekerasan (Hardness)
Yang kedua, baja memiliki sifat ketahanan atau keras. Kekerasan
yang dimaksud adalah tingkat ketahanan suatu material pada besarnya gaya
yang dapat menembus permukaannya. Untuk mengetahui tingkat kekerasan
baja, bisa dilakukan dengan cara melakukan uji coba dengan metode
rockwell, ultrasonic, brinell, dan lain-lain.
3) Keuletan (Ductility)
Yang ketiga, baja memiliki sifat daktil atau keuletan. Keuletan
adalah kemampuan dimana baja melakukan deformasi sebelum baja itu
putus. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya sifat daktil baja ini yaitu
karena adanya regangan yang bersifat tetap sebelum baja itu putus. Untuk
mengetahui sifat daktil ini, kita bisa melakukan dengan uji coba pada uji
tarik baja.

4) Ketangguhan (Toughness)
Karakteristik selanjutnya yakni, baja memiliki tingkat ketangguhan.
Makna dari ketangguhan itu adalah hubungan beberapa jumlah energi yang
mampu diterima baja hingga baja itu putus. Sifat ini akan mendukung
tingkat keamanan dari suatu penggunanya. Untuk mengetahui tingkat
ketangguhan baja, kita bisa melakukan uji coba dengan menggunakan
metode memberikan pukulan.

2.3 ERECTION
2.3.1 Definisi Erection
Di dalam dunia konstruksi sendiri, pastinya kita sudah mengenal
kata erection. Erection sendiri artinya yakni proses pemasangan,
penegakkan, dan pengangkutan suatu objek material pada saat
pembangunan. Untuk melakukan erection pun dibutuhkan suatu keahlian
baik dari pihak kontraktor maupun dari pihak teknisi dari mobile crane itu
sendiri. Banyak sekali persiapan yang dilakukan sebelum melakukan proses
erection dan banyak sekali hal yang harus diperhatikan pada saat erection.

2.3.2 Standar Operasional Prosedur Erection


Sebelum dilakukannya proses erection tentunya pihak kontraktor
dan pihak teknisi harus mengetahui tata cara atau standar operasional
prosedur erection untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak ingin terjadi di
lapangan. Untuk standar operasional prosedur erection sendiri sudah
diterbitkan melalui Sistem Informasi Belajar Intensif Mandiri Bidang
Konstruksi (SIBIMA PU) kode : INA.5233.212.26.04.07 yakni sebagai
berikut:
1) Memeriksa Denah Lokasi Pada Gambar Kerja dan Melakukan
Proses Erection Sesuai Dengan Denah Lokasi
Pada tahap pertama ini, bisa dikatakan tahapan pra-erection bisa
dilakukan dengan memeriksa denah lokasi erection pada gambar kerja yang
sudah disetujui oleh tim pengawas. Setelah disetujui oleh tim pengawas,
tahapan selanjutnya yakni bisa melakukan proses erection sesuai dengan
denah lokasi.

Gambar 2.1 Denah Lokasi Erection


(Sumber : PT. Graha Muriatama Indonesia)

2) Inventarisasi Alat Angkut dan Angkut Elemen Struktur


Setelah proses fabrikasi selesai, maka hal selanjutnya yang harus
dilakukan adalah memindahkan dan mengangkut material untuk kemudian
dibawa ke lapangan. Untuk mobilisasi pengangkutan bisa menggunakan
berbagai pilihan seperti, untuk material yang relatif ringan bisa diangkat
oleh pekerja menggunakan alat bantu sederhana, sedangkan untuk material
yang relatif berat bisa menggunakan alat berat dengan kapasitas daya angkut
yang disesuaikan untuk membantu memindahkan material tersebut. Namun
semakin besar kapasitas daya angkut alat berat tersebut, juga semakin mahal
untuk harga sewanya.

3) Menyiapkan Struktur Penopang Sementara


Bangunan baja memiliki perlakuan sangat khusus yakni, untuk
struktur baja bisa didirikan dengan stabil apabila setelah semua elemennya
disatukan. Akan tetapi pada saat proses erection seringkali dari berbagai
pihak mengalami kelalaian sehingga bisa menyebabkan gagalnya proses
erection tersebut dalam arti struktur bisa roboh. Dalam permasalahan ini
akhirnya diperlukan adanya struktur penopang sementara sehingga struktur
menjadi stabil dan mampu menahan beban akibat berat sendiri maupun
beban mati. Salah satu struktur penopang sementara sederhana yang
dioperasikan secara manual adalah tiang yang dibuat dengan posisi agak
miring, dan dengan ditopang empat buah kabel/sling pada arah empat mata
angin. Di tiap bagian ujung bawah kabel penopang tersebut juga dipasang
jangkar yang mempunyai fungsi untuk memperkuat posisi tiang selama
digunakan. Di dalam dunia teknik bisa disebut dengan single pole dan gin
pole.
Gambar 2.2 Gin Pole

(Sumber : SIBIMA.PU INA.5233.212.26.04.07)

Tiang untuk dijadikan penopang sementara bisa terbuat dari


bermacam-macam bahan dasar seperti kayu, metal dan tentunya sudut
kemiringan dari kabel penyangga harus 45° atau lebih kecil dari 45°
disesuaikan dengan tinggi tiang penopang. Seperti pada umumnya single
pole atau gin pole pun juga memiliki beberapa tipe, seperti A frame dan
Dutchman.

Gambar 2.3 A Frame

(Sumber : SIBIMA.PU INA.5233.212.26.04.07)


Gambar 2.4 Dutchman

(Sumber : SIBIMA.PU INA.5233.212.26.04.07)

4) Persiapkan Alat Perlengkapan Penyambungan dan Perakitan


di Lapangan
Sesudah proses fabrikasi, tepatnya sebelum dilakukan pengangkutan
material ke lapangan, pihak kontraktor harus mempersiapkan peralatan
perlengkapan yang dibutuhkan sewaktu-waktu di lapangan untuk pekerjaan
penyambungan (pengelasan), dan alat-alat itu seperti kunci pas / kunci
momen, palu, peralatan las. Dan untuk alat lainnya ada paku keling, baut
dan mur.

5) Proses Erection Harus Memperhatikan Keselamatan Kerja


Seperti pada dunia industri pada umumnya, semua pihak yang
berada pada area atau lingkungan konstruksi harus memakai alat pelindung
diri (APD) dan menerapkan K3. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir
terjadinya resiko kecelakaan kerja yang bisa datang kapan saja. Dalam
proses erection hal-hal penerapan K3 juga harus diperhatikan contohnya :
- Memakai Alat Pelindung Diri (APD)
- Memastikan sambungan baja kuat
- Memastikan kabel sling kuat dan laik pakai
- Untuk pekerja diwajibkan melakukan jaga jarak dengan material
berat yang sedang diangkut dan jaga jarak dengan alat berat.

Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan untuk pengaman juga


harus mencukupi dan berpedoman pada standarisasi industri yang berlaku.
Kita bisa mengenali barang itu lewat pencantuman kode SNI (Standar
Nasional Indonesia), JIS (Japanese Industrial Standard), ANSI (American
National Standard Institute). Berikut ini adalah contoh tabel standar alat
pelindung diri:

Tabel 2.1 Standar Nasional Untuk Alat Pelindung Diri

Jenis APD Standar


Helm Safety ANSI Z 89, 1997 Standard
CE DIN EN397
Safety Shoes ANSI Z 41PT99, SS 105, 1997
Australian Standard AS/NZS
2210.3.2000
Sarung Tangan ANSI/ISEA 105-2005
Safety Belt EN 361-2002
ANSI A10. 14-1991
CE EN 361-3
(Sumber: SIBIMA.PU INA.5233.212.26.05.07)

2.3.3 Faktor Permasalahan Erection


Pada proses pelaksanaan erection sudah jelas banyak tantangan
permasalahan yang akan dihadapi. Berbagai permasalahan itu timbul akibat
adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya. Berikut ini adalah faktor
yang mempengaruhi permasalahan pada saat erection :
1) Kelalaian Dalam Pelaksanaan
Kelalaian menjadi faktor utama dalam adanya permasalahan dalam
dunia kerja. Begitu juga pada dunia konstruksi, pada saat pelaksanaan
erection akan sangat fatal jika terjadi kelalaian baik itu dari pihak operator
crane, pihak kontraktor pelaksana, dan pihak pengawas. Oleh karena itu,
tidak sembarang orang bisa menjadi operator dari sebuah crane, hanya
orang yang memiliki pengalaman dan bersertifikat ahli lah yang bisa
mengoperasikan crane. Ketentuan ini bertujuan untuk meminimalisir
kelalaian ataupun kesalahan dari pihak operator.
Pada pihak pelaksana juga memiliki ketentuan khusus untuk
mengatasi ini, yakni dengan cara pihak pelaksana secara individu harus
mempunyai pengalaman dan sertifikat ahli atau terampil dalam mengatasi
sebuah proyek. Begitu juga tim pengawas. Tim pengawas juga harus
memeriksa tahapan sampai hasil akhir pada sebuah pekerjaan dan langsung
memberikan catatan untuk laporan proyek. Contoh lain kelalaian dalam
pelaksanaan yakni :
- Kesalahan pekerja dalam proses fabrikasi, sehingga menyebabkan
perubahan dimensi, dan bentuk yang kemudian akhirnya
mengakibatkan masalah koneksi pada saat erection.
- Selanjutnya kesalahan dalam proses pemasangan angkur. Sebelum
angkur dipasang ke dalam pedestal, tentunya ada proses marking agar
tata letak posisi angkur sesuai dengan yang direncanakan.

2) Kesalahan Dalam Perencanaan


Pada saat tahap perencanaan tentunya konsultan perencana juga
memperhitungkan dimensi, ukuran, jenis baja yang akan di erection.
Perhitungan itu dilakukan agar tidak terjadi kegagalan struktur baik pada
saat pelaksanaan maupun pasca pelaksanaan.
Dalam hal ini peran konsultan perencana juga sangat penting dan
menjadi pedoman dalam pelaksanaan.
2.4 ALAT BERAT
Alat berat pada bidang teknik sipil adalah suatu alat yang berukuran besar
yang berfungsi untuk memudahkan manusia dalam melakukan pekerjaan
konstruksi dengan waktu yang relative lebih singkat (Rochmanhadi, 1985). Contoh
alat berat yang sering ditemui pada proyek konstruksi yakni seperti crane, mobile
crane, excavator, bulldozer, dan lain sebagainya.
Pemilihan alat berat juga dipilih secara kondisional dan sesuai dengan
kebutuhan pada proyek. Sebagai contoh, pada saat melakukan erection alat berat
yang digunakan dapat berupa tower crane, dan mobile crane.

2.5 MOBILE CRANE

2.5.1 Definisi Mobile Crane


Mobile Crane adalah salah satu alat berat yang fungsinya untuk
memudahkan mengangkat dan memindahkan objek material dengan beban
yang besar dalam waktu yang singkat. Menurut Darmawan, Wiranto, Nugraha
(2016) Mobile Crane dapat dibedakan jenisnya berdasarkan sistem kerja yakni
sebagai berikut :

1) Crawler Mobile Crane


Crawler Mobile Crane adalah alat berat crane yang menggunakan
roda berantai sebagai alat penggerak utamanya dan dengan crawler terdiri
atas satu set track yang menempel pada link untuk berpindah dan bergerak.

2) Mobile Crane Hydraulic


Mobile Crane Hydraulic adalah alat berat crane yang alat
pengoperasiannya mengandalkan tenaga hydraulic dan mobile crane
dipasang pada unit truck. Mobile crane jenis ini lebih sering digunakan
untuk proyek konstruksi bangunan tinggi karena sifatnya yang fleksibel, dan
memiliki pergerakan yang cepat.
2.5.2 Spesifikasi Mobile Crane
Mobile crane sendiri juga memiliki spesifikasi yang berbeda beda
antara satu dengan yang lainnya. Spesifikasi ini sudah sangat jelas bisa
mempengaruhi daya dukung pekerjaan pelaksanaan di lapangan. Spesifikasi
ini meliputi kapasitas angkut, panjang boom, dan lain lain. Berikut adalah
spesifikasinya sesuai dengan yang tercantum pada TADANO Formulir No.
GR-500-1-00311 / US-42.

Tabel 2.2 Spesifikasi Mobile Crane


Kapasitas Daya Angkut 50 Ton
Panjang Boom 33 M
Blok Hook 5 berkas gandum dengan kait putar dan
kait pengaman, untuk tali kawat 3/4
"(19 mm)
Kecepatan Maksimal 50 km/jam
Sudut Ayunan 0° - 360°
Mesin Mitsubishi 6M60-TLA3B
Jumlah Silinder 6 Silinder
Kapasitas Maks. Torsi 1.400rpm
(Sumber : TADANO Formulir No. GR-500-1-00311 / US-42)
Gambar 2.5 Mobile Crane
(Sumber : Dokumen pribadi penulis)

2.6 PRODUKTIVITAS
Untuk mencapai sebuah hasil yang maksimal, diperlukan perhitungan
tentang usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Sama halnya dengan yang ada di
lingkungan proyek. Untuk mencapai hasil kerja yang maksimal, maka perlu
mempertimbangkan dan memperhitungkan efektivitas pekerjaan. Efektivitas
pekerjaan dapat dihitung berdasarkan aspek produktivitas, biaya, dan waktu. Jika
kita sudah bisa mengetahui aspek tersebut, maka pekerjaan akan lebih terjadwal dan
terstruktur. Untuk tujuan itu, penulis akan membahas tentang produktivitas metode
pelaksanaan erection dengan menggunakan mobile crane di Universitas
Muhammadiyah Surabaya. Berikut ini adalah pengertian tentang produktivitas.

2.6.1 Definisi Produktivitas


Produktivitas adalah suatu usaha untuk menghasilkan sesuatu yang
ditinjau dari aspek waktu dan daya produksi. Sedangkan menurut George J.
Washin yang diterjemahkan oleh Slamet Saksono (1997) produktivitas
yakni bisa mengandung dua konsep yakni tentang efisiensi dan tentang
efektivitas. Di dalam efisiensi, produktivitas dapat diukur dengan sumber
daya, baik itu manusia, keuangan, ataupun alam yang bisa dibutuhkan untuk
memenuhi pelayanan tersebut. Sedangkan dari segi efektivitas,
produktivitas dapat diukur dari segi hasil mutu pelayanan yang telah di
capai.

Pada bidang teknik sipil, produktivitas kerja juga sangat


berpengaruh pada hasil akhir pekerjaan tersebut. Produktivitas kerja di
teknik sipil juga berpengaruh terhadap tiga batasan utama dalam manajemen
proyek atau biasa disebut dengan triple constraint. Tiga batasan utama
tersebut yakni :
1) Biaya
Suatu proyek harus dikerjakan sesuai dengan biaya yang tidak
melebihi rencana anggaran awal, baik itu dalam segi periode pelaksanaan
sampai total akhir biaya proyek.

2) Waktu
Suatu proyek juga harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang sesuai
dengan jadwal pelaksanaan proyek yang sudah disepakati oleh stakeholder.

3) Mutu
Suatu proyek juga harus menghasilkan produk yang bermutu bagus
sesuai dengan kesepakatan awal. Spesifikasi produk tersebut harus
memenuhi kriteria yang sudah disyaratkan oleh owner.

2.6.2 Produktivitas Alat


Menurut Darmawan, Wiranto, Nugraha (2016), produktivitas alat
dapat ditentukan kapasitas dan waktu siklus alat. Rumus dasar untuk
mencari produktivitas adalah :

𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾
Produktivitas =
𝐶𝐶𝐶𝐶

Kapasitas = q (Ton)

CT = Waktu siklus (menit)

Kapasitas disini adalah kapasitas produksi dari alat berat tersebut


sesuai dengan tonase yang ada pada sebuah alat berat. Dan CT adalah cycle
time atau waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk menyelesaikan 1 unit
pekerjaan. Pada dasarnya, waktu siklus ditetapkan dengan ketentuan dalam
hitungan menit, sedangkan produktivitas alat ditetapkan dengan ketentuan
produksi/jam, sehingga ada perubahan dari menit ke jam. Andai terdapat
faktor efisiensi alat dimasukkan ke dalam rumus, maka rumus diatas
menjadi :
60
Produktivitas = 𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾𝐾 𝑥𝑥 𝑥𝑥 𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸𝐸
𝐶𝐶𝐶𝐶

Yang berarti :

Kapasitas = q (Ton)

CT = Waktu siklus (menit)

Produktivitas = Q (ton/jam)

Efisiensi = Tabel Efisiensi Alat


Waktu siklus kerja di identifikasi dari beberapa gerakan dari mobile
crane saat beroperasi seperti:

- Gerakan mengangkat material


- Gerakan memutar
- Gerakan bongkar muat atau menurunkan material
- Gerakan mobilisasi (kembali ke posisi semula)

Selain itu, waktu siklus juga memperhatikan berbagai aspek sebagai


informasi untuk dasar perhitungan produksi dari alat berat tersebut, seperti:

A) Waktu Delay (Delay Time)


Waktu delay ini adalah waktu yang digunakan untuk
mempersiapkan dan memuat material yang dilakukan oleh pekerja.
Biasanya dalam waktu ini, operator bisa untuk istirahat sejenak.

B) Waktu Angkat (Erection Time)


Waktu angkat adalah waktu yang digunakan untuk mengangkat atau
erection. Waktu ini terpacu pada beratnya material dan ketinggian yang
dituju. Karena semakin berat dan tinggi tujuan, maka semakin lama pula
waktu yang dibutuhkan.

C) Waktu Memutar (Swing Time)


Waktu memutar ini adalah waktu yang dibutuhkan mobile crane
untuk memutar boom sesuai dengan tujuan atau sudut yang dituju.
D) Waktu Menurunkan (Reduce Time)
Waktu menurunkan adalah waktu yang dibutuhkan mobile crane
untuk menurunkan material atau melepaskan ikatan pada kait. Pada sesi
waktu ini operator akan bekerja sama dengan pekerja di lapangan.

E) Waktu Memasang (Connect Time)


Waktu memasang adalah waktu yang dibutuhkan untuk memasang
material yang telah diturunkan pada titik tertentu. Waktu ini juga biasa
disebut dengan connect time. Pada waktu ini operator juga akan bekerja
sama dengan pekerja di lapangan.
Menurut Wilopo (2009), untuk menentukan efisiensi waktu alat
berat, kita bisa meninjau melalui keahlian operator, standard
pemeliharaan, dan yang paling penting adalah topografi pada daerah
proyek tersebut. Berikut ini adalah tabel efisiensi kerja :

Tabel 2.3 Tabel Efisiensi Alat Berat

Kondisi Pemeliharaan Mesin


Alat Berat Baik Baik Sedang Buruk Buruk
Sekali Sekali
Baik 0.83 0.83 0.76 0.70 0.63
Sekali
Baik 0.70 0.75 0.71 0.65 0.60
Sedang 0.72 0.69 0.65 0.60 0.54
Buruk 0.63 0.61 0.57 0.52 0.45
Buruk 0.52 0.50 0.47 0.42 0.32
Sekali
(Sumber : Wilopo, 2009)
Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa efisiensi alat
berat juga mengacu pada kondisi alat berat tersebut dan cara pemeliharaan
alat berat.

2.6.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas


Menurut Darmawan, Wiranto, Nugraha (2016), kapasitas produksi
alat berat mobile crane dipengaruhi oleh beberapa faktor dan dihitung
berdasarkan waktu siklus dan produksi per siklusnya. Berikut adalah faktor
yang mempengaruhi produktivitas mobile crane :

1) Jenis Material
Yang pertama adalah jenis material. Hal ini disebabkan karena
massa dari setiap material sangat berbeda-beda. Jenis material ini dibagi
menjadi beberapa poin lagi, yakni :

A) Berat Material
Cara menentukan jenis material yang pertama yakni dengan
mengetahui berat material. Berat material adalah salah satu hal yang
mempunyai pengaruh paling besar dalam faktor yang mempengaruhi
produktivitas. Karena berat material ini bisa mempengaruhi proses
mobilisasi, proses mengangkat, proses menurunkan, dan lain sebagainya.
Dan sangat menentukan pengoperasian alat berat.

B) Kohesivitas Material
Yang dimaksud dengan kohesivitas material adalah kemampuan
saling mengikat diantara butir-butir material tersebut untuk menjadi satu
kesatuan. Untuk material dengan tingkat kohesivitas yang tinggi akan
sangat mudah menumpuk. Jadi jika material ini berbeda pada suatu tempat,
maka bisa di pastikan volume material bisa lebih besar dari volume ruang.
Ruang dalam arti seperti kapasitas bucket.
C) Bentuk Dasar Material
Material pada dasarnya memiliki bentuk dasar yang bermacam-
macam. Bentuk dasar material yang bisa diangkat oleh alat berat seperti
mobile crane yakni material padat, material cair, dan material padat cair.
Untuk material padat bisa dikerjakan dengan alat berat mobile crane, tower
crane, bulldozer dan lain sebagainya. Sedangkan untuk material yang
memiliki bentuk dasar cair bisa dikerjakan dengan alat clamsell.

2) Kondisi Lokasi
Faktor berikutnya yaitu adalah kondisi di lokasi pekerjaan. Kondisi
lokasi ini sangat berpengaruh pada maneuver mobile crane maupun alat
berat lainnya. Terkadang di suatu lokasi pekerjaan ada yang bertempat di
daerah berlumpur dengan lahan sempit, ada yang di daerah pemukiman
dekat penduduk. Hal ini membuat ruang gerak dari sebuah alat berat
mobile crane cukup dibatasi dan tidak leluasa, sehingga operator dituntut
untuk bekerja secara hati-hati. Hal ini akan berpengaruh terhadap
produktivitas kerja, karena semakin berat medan lokasi pekerjaan, maka
semakin lama pula waktu siklus yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
produksi per siklusnya. Dan jika lokasi pekerjaan sangat luas, maka akan
semakin memudahkan operator mobile crane untuk melakukan pekerjaan
lebih cepat dan sesuai target.

3) Ketinggian Alat
Ketinggian mobile crane juga sangat mempengaruhi faktor produksi
per siklusnya. Karena fungsi utama mobile crane yakni mengangkat
material dari bawah yang kemudian diangkat menuju pada ketinggian
tertentu suatu bangunan. Dengan adanya hal tersebut, maka posisi mobile
crane harus berada dibawah bangunan tersebut dan mengakibatkan akan
bertambah lamanya siklus waktu kerja. Siklus waktu kerja akan di
tentukan dengan ketinggian bangunan yang sedang dikerjakan tersebut.
Selain itu, proses loading erection yang dibutuhkan juga akan semakin
lama, dikarenakan operator harus dengan teliti melihat material yang ada
di sekitarnya.

4) Swing Mobile Crane


Swing mobile crane adalah dimana mobile crane memiliki
keistimewaan untuk melakukan putaran sehingga membentuk sudut putar
yang membantu proses kerja. Sudut putar pada mobile crane TADANO
GR-500XL yakni 0° - 360°. Semakin besar sudut putar, maka semakin
besar pula waktu siklus yang dibutuhkan.

5) Manajemen
Untuk mencapai hasil pekerjaan yang maksimal, maka dibutuhkan
kerja keras dan komunikasi yang bagus. Karena pekerjaan konstruksi
merupakan suatu pekerjaan yang melibatkan banyak orang (team work).
Untuk itu, pada setiap proyek memiliki struktur organisasi untuk membagi
tugas pada setiap divisi yang ada, dan tujuan lain pembuatan struktur
organisasi ini adalah memudahkan untuk melakukan manajemen dari
segala aspek. Contoh manajemen pada bidang alat berat yakni tentang :
- Perawatan pengelolaan alat berat. Selain memperhatikan fungsi
keselamatan, perawatan alat berat juga dapat mempengaruhi kinerja
terhadap mesin alat berat tersebut. Untuk melakukan perawatan pada alat
berat khususnya mobile crane harus dilakukan analisis terlebih dahulu
pada setiap kerusakan yang ada.
- Menjaga hubungan harmonis antara pihak operator alat berat dengan
pihak pelaksana di lapangan.
- Menjaga hubungan harmonis pada semua pihak yang bekerja di
lingkungan proyek.
Kondisi manajemen ini juga memiliki hubungan dengan kondisi
yang ada pada lingkungan lapangan pekerjaan. Berikut adalah tabel faktor
koreksi antara kondisi manajemen dengan kondisi lapangan :
Tabel 2.4 Tabel Faktor Koreksi Kondisi Manajemen
Dengan Kondisi Lapangan
Kondisi Kondisi Manajemen
Lapangan
Sangat Baik Baik Sedang Kurang
Sangat Baik 0.84 0.81 0.76 0.70
Baik 0.78 0.75 0.71 0.65
Sedang 0.72 0.69 0.65 0.60
Kurang 0.63 0.61 0.57 0.52
(Sumber : Hendra dan Haryanto 1998)

2.7 BIAYA
Menurut Chandra, et, al (2003), rencana biaya suatu proyek adalah
perkiraan estimasi keuangan yang merupakan hal inti untuk melakukan
pengendalian biaya proyek seperti halnya estimasi biaya proyek, anggaran proyek,
aliran kas proyek, dan keuntungan proyek tersebut.
2.7.1 Rancangan Rencana Biaya
Menurut Soeharto (1990), rancangan rencana biaya proyek melibuti
beberapa aspek yakni :
- Biaya pembelian ataupun persewaan peralatan dan material
- Biaya untuk upah tenaga kerja
- Fee dan Laba
- Biaya transport tenaga kerja
- Biaya administrasi

Anda mungkin juga menyukai