Anda di halaman 1dari 3

Agar Indonesia Tampil di Piala Dunia 2038

Okki Trinanda Miaz


Pengamat Amatir Piala Dunia FIFA 2018

Peluit kick off telah ditiup dan Piala Dunia FIFA 2018 dimulai. Seperti yang sudah-sudah,
setiap Piala Dunia selalu penuh dengan kejutan-kejutan. Di perhelatan ini nama besar
sepertinya bukanlah jaminan. Maka jangan heran kalau sang juara bertahan Jerman kalah
dari Mexico, atau peraih lima kali Ballon d’Or, Lionel Messi, gagal mencetak gol penalti.
Namun satu hal yang tidak pernah mengagetkan, Indonesia kembali menjadi penonton saja.
Seperti biasa, fans sepakbola Indonesia hanya bisa mengikuti dari kejauhan melalui layar
kaca televisi masing-masing. Entah kapan kita bisa ikut pula bersorak menyemangati
timnas Indonesia di ajang tertinggi sepakbola itu.

Memang banyak yang tidak habis pikir, mengapa Indonesia sampai hari ini tidak pernah
ikut Piala Dunia FIFA. Dari 261 juta masyarakat Indonesia, apakah tidak mungkin kita
mencari 23 orang pemain hebat plus 10 orang ofisial handal? Jawabannya tentu saja bisa.
Indonesia adalah negara yang besar dan diberkahi dengan beragam manusia dan sejuta
bakat alaminya. Hanya saja, mungkin bukan orang/ pemain tidak tersedia di Indonesia, tapi
pengelolaan manusia-nya yang bermasalah.

Mari kita berkaca kepada salah satu tim yang berhasil membuat kejutan di Piala Dunia
tahun ini, Islandia. Negara ini hanya punya penduduk sekitar 350 ribu orang, jumlah ini
tidak sampai setengah jumlah penduduk Kota Padang (880.000 jiwa). Karena jumlahnya
yang sedikit, lucunya sebagian pemain timnas Islandia bukan merupakan pemain bola yang
bermain di liga reguler. Salah satu pemain belakangnya sehari-hari bekerja sebagai
pengantar garam. Kiper yang menggagalkan pinalti Messi adalah seorang sutradara video
pendek. Bahkan pelatih Timnas Islandia adalah seorang dokter gigi. Silahkan dibandingkan
dengan pemain-pemain dari negara lain yang merumput di Liga Premier Inggris, La Liga
Spanyol, atau Serie- A Italia. Tapi negara es ini mampu mengalahkan Inggris di EURO 2016,
dan pada saat kualifikasi Piala Dunia FIFA 2018 lalu mampu mengalahkan Turki dan
Ukraina.

Apa ya, yang dilakukan Islandia tapi tidak dilakukan oleh Indonesia? Setelah dicari tahu,
ternyata tidak ada yang instan. Apa yang diraih oleh Islandia saat ini adalah buah dari 20
tahun komitmen dan kerjakeras negara dan masyarakat-nya.

Bagaimana caranya Islandia yang 20 tahun lalu masih kalah melawan Faroe Island
(populasi 49.000 jiwa) dan Liechtenstein (populasi 38.000 jiwa), hari ini bisa masuk ke
gerbang Piala Dunia? Ada dua strategi utama, yaitu membangun fasilitas latihan sembari
mencetak pelatih bola profesional bersertifikasi dunia.

Islandia adalah negara sub tropis yang sangat dingin. Maka untuk latihan bermain bola
tidak bisa dilakukan sepanjang tahun. Maka semenjak 20 tahun yang lalu, hampir semua
kota di Islandia telah dibangun fasilitas lapangan sepakbola dalam ruangan dan fasilitas
training berpenghangat ruangan. Dengan adanya fasilitas-fasilitas tersebut, maka latihan
bola bisa dilakukan sepanjang tahun. Diantara fasilitas yang dibangun tersebut, sebanyak
150 lapangan bola sengaja dibangun di dekat sekolah atau kampus dengan menyediakan
biaya latihan yang terjangkau. Sehingga banyak muncul anak-anak SD sampai kuliah yang
meminati olahraga ini. Daripada ke mall atau keluar rumah yang dingin, lebih baik bermain
bola di dalam ruangan berpenghangat.

Selain fasilitas mumpuni, negara yang terkenal dengan Viking Clap ini ternyata juga sangat
serius membangun kompetensi para pemain bola-nya. Semuanya diawali dengan mencetak
pelatih-pelatih profesional bersertifikasi. Limabelas tahun lalu tidak seorangpun di Islandia
yang memiliki sertifikasi pelatih profesional. Tahun 2018 ini terdapat 716 orang pelatih
dengan sertifikasi “A” atau “B” dari Union of European Football Association (UEFA). Para
pelatih ini tersebar ke sekujur negara Islandia yang kecil itu. Maka tidak heran jika seorang
anak SD masuk klub sepakbola dekat rumahnya dengan biaya murah, tapi dilatih oleh
pelatih elit dengan sertifikasi “A” dari UEFA. Dan untuk kemajuan negara-nya, para pelatih-
pelatih berkelas ini bersedia diberikan honor yang murah. Pendapatan pelatih Islandia
rata-rata hanya $600 pertahun, atau sekitar 8,5 juta rupiah. Hal ini tidak menjadi masalah,
karena memang kebanyakan pelatih memiliki profesi lain diluar sepakbola, seperti guru,
dokter, pegawai pemerintah dan lain-lain.

Mungkin inilah beberapa langkah yang harus dilakukan oleh Indonesia. Pertama dengan
menciptakan fasilitas olahraga yang mumpuni, dekat dengan para anak muda, serta
tersedia dengan biaya yang murah. Bagaimana mungkin sepakbola bisa maju di Indonesia
jika lapangan standar internasional saja tidak punya. Paling-paling anak-anak kita bermain
di lapangan. Itupun kalau hujan sudah bercampur antara air dan lumpur.

Kedua, menciptakan pemain yang berkualitas ternyata dimulai dengan menciptakan


barisan pelatih profesional berkualifikasi Internasional. Kualifikasi dan kompetensi
internasional ini sangat penting, sehingga latihan yang dilakukan memiliki metode. Pelatih
tidak asal menyuruh pemain berlari-lari keliling lapangan atau menendang-nendang bola
saja. Tentu ada latihan yang spesifik untuk masing-masing pemain, sesuai dengan
kelebihan dan kekurangannya.

Terakhir, yang menjadi masalah serius bagi pemain Indonesia adalah kedisiplinan. Banyak
pemain Indonesia yang memiliki bakat alam tapi disiplin-nya buruk sekali. Pemain asal
Papua misalnya, siapa yang meragukan bakat alami pemain dari daerah ini. Tapi jarang
yang bisa bertahan lama, karena setelah pindah ke kota besar, seringkali terjebak dengan
minuman keras. Sehingga karier mereka juga tidak bertahan lama. Selain itu, ternyata
banyak pemain timnas Indonesia yang perokok berat. Cristian Gonzales misalnya.

Padahal kedisiplinan adalah salah satu aspek kerja keras yang harus dimiliki pemain
profesional. Apa bedanya Lionel Messi dengan Christiano Ronaldo? Messi adalah pemain
bola dengan bakat alam, sedangkan Ronaldo adalah pemain yang bekerja dan disiplin keras
untuk mencapai levelnya saat ini. Ronaldo, meskipun sudah memiliki hampir semua gelar
yang bisa dimiliki oleh seorang pemain bola, ia tetap setiap hari latihan meskipun di pusat
pelatihan ataupun di rumah. Bahkan sebelum tidurpun ia masih melakukan puluhan kali sit
ups. Untuk setiap kesalahan yang ia lakukan di lapangan, maka ia akan menghabiskan
waktu sekian jam untuk memperbaikinya. Berulang-ulang kali dilakukan.

Makan juga sangat dijaga. Meskipun memiliki kekayaan hingga miliaran dollar, Ronaldo
hanya makan yang sesuai dengan kebutuhan fisiknya. Patrice Evra, saat masih bersama-
sama di Manchester United, pernah diundang ke rumah Ronaldo. Pada saat makan,
ternyata hanya disuguhi sayur dan dada ayam yang rasanya hambar. Evra menyangka
masih ada makanan setelah itu, ternyata hanya itulah yang mereka makan. Setelah makan,
Ronaldo mengajak latihan lagi. Makanya Evra pernah mengatakan, jika di undang Ronaldo
ke rumahnya, sebaiknya jangan datang. Semua dilakukan Ronaldo untuk menjaga stamina
dan performa fisiknya dalam bermain bola. Tidak heran di usianya yang ke 33 tahun, ia
bisa lebih cepat dan ganas daripada pemain bola yang 10 tahun lebih muda dari dirinya.

Bagaimana pemain kita menjaga asupan gizinya? Sudah menjadi rahasia umum kalau sama
sekali tidak terjaga. Dulu Alfred Riedl pernah mengeluhkan para pemain timnas Indonesia
saat Pelatnas kebiasaan makan sembarangan. Makan di mess memang dijaga, tapi ketika
keluar dari situ, mereka jajan pangsit siomay, cireng dan lain sebagainya. Striker Indonesia,
Saktiawan Sinaga juga pernah gagal bermain karena kolesterolnya naik setelah sehari
sebelum pertandingan makan belut goreng. Iman Brotoseno pernah menulis, pemain
Indonesia tidak bisa lepas dari kecap. Terkadang nasi pemain sampai menghitam karena
penuh dengan kecap. Sehingga peran ahli gizi di timnas menjadi sia-sia.

Urusan makanan bagi seorang atlit adalah hal yang vital Ingatkah dulu bulutangkis
Indonesia merajai dunia? Salah satunya adalah karena peran ahli gizi Indonesia Tahir Djide
yang sangat disiplin. Setelah Tahir pensiun, diet atlit kembali tidak terjaga. Akibatnya
stamina dan fisik pemain menjadi tidak terjaga. Maka seperti sekaranglah prestasi
bulutangkis kita.

Untuk mencapai Piala Dunia, rupanya banyak sekali pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan. Baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Pada tulisan ini, baru dibahas
sebagian kecilnya saja. Namun satu hal yang pasti, butuh keseriusan dan kesabaran serta
program yang konsisten. Selama ini kegagalan Indonesia adalah karena terlalu
mengharapkan segala sesuatu yang instan. Jika usaha membenahi sepakbola dimulai saat
ini, berkaca pada Islandia, target paling masuk akal bagi Indonesia adalah Piala Dunia FIFA
2038. Semoga saja.

Anda mungkin juga menyukai