Anda di halaman 1dari 10

NAMA : SASMITA RASYID

KELAS : B PJKR

STAMBUK : ( A 421 19 033 )

TUGAS RESUME
LAPORAN PERMASALAHAN TIMAS NASIONAL
SENIOR DAN JUNIOR DI INDONESIA

Kita memiliki kemampuan yang lebih dari cukup untuk menjadi bangsa yang unggul dalam segala hal.
Oleh karena itu kita harus merajut kembali mentalitas bangsa ini khususnya timnas kita sehingga
bertumbuh menjadi lebih baik. 

Dengan demikian beberapa kendala berikut harus mampu diatasi dan ditanggulangi segera sehingga kita
terlepas dari sindiran sebagai bangsa bermental tempe itu. 

Tertinggal

Perkembangan di dunia olah raga ikut berlangsung cepat seperti halnya bidang-bidang yang lain.
Pembinaarn prestasi, teknologi pendudkung olahraga, dan evolusi strategi dan metode pelatihan pun
terus berkembang dari waktu ke waktu. 

Di negara-negara besar sepakbola strategi sepakbola terus berkembang, teknik permainan pun juga
demikian. Bahkan teknologi pendukung pertandingan seperti Video Assistence Reffere (VAR) sudah
banyak diterapkan di beberapa liga besar dunia. Bagaimana dengan Indonesia?

Emosi

Pemain sepakbola kita, termasuk juga suporternya terkenal memiliki "sumbu" pendek kala menjalani
pertandingan bertensi tinggi. Jika kita pernah menyaksikan pertandingan kelas dunia seperti el clasico
yang demikian panas, atau derby Manchester yang demikian sengit, maka kita akan melihat kualitas
emosi pemain di lapangan. 

Sepanas apapun tensi pertandingan, jarang sekali ada aksi anarki sebagaimana yang sering kita temui di
kompetisi negeri ini.

Menyerah

Semangat untuk memenagi pertandingan sepertinya belum terlalu kita miliki. Sudah berapa kali kita
harus menyerah ditangan tim-tim lawan yang sebenarnya kualitasnya setara atau lebih lemah dari kita?
Pengecut

Seringkali kita takut dan keder ketika menghadapi tim-tim besar di level asia atau dunia. Ketika undian
pertandingan mempertemukan kita dengan salah satu tim besar, maka kita langsung berfikiran bahwa
hasil realistis adalah kalah tipis dari mereka. Tidak beranikah kita menarget kemenangan atas tim-tim
besar tersebut? 

Beberapa waktu lalu kita memang dihajar habis-habisan oleh UEA, apakah lantas pada pertemuan
mendatang kita menjadi begitu "hormat" kepada mereka? Sepakbola sudah banyak memunculkan
contoh David versus Goliath, dimana mereka yang tidak diunggulkan mampu mempencundangi mereka
yang dianggap lebih hebat. Bola itu bulat, dan kita di Indonesia pun juga memainkan bola yang
bentuknya sama, bukan?

Egois

Kita mengetahui bahwa salah satu "kelemahan" pemain timnas sepakbola kita adalah postur tubuh yang
mungil. Hal ini sering dianggap sebagai biang keladi kekalahan seiring ketidakmampuan kita meredam
lawan-lawan berpostur tinggi besar. 

Pada akhirnya kebijakan naturalisasi pemain pun dilakukan, harapannya adalah mampu menanggulangi
permasalahan postur tersebut. Tetapi pada kenyataannya setelah kebijakan naturalisasi dilakukan
hasilnya masih tidak jauh berbeda.

Kalau kita lihat tim sepakbola FC Barcelona ketika diasuh oleh Joseph Guardiola, mereka dikomandoi
oleh pemain-pemain berpostur mungil seperti Xavi Hernandes, Andreas Iniesta, dan Lionel Messi. 

Postur mungil mereka justru menjadi kelebihan luar biasa karena diimbangi oleh kualitas skill yang
mumpuni. Selain itu, mereka juga bermain secara kolektif. Jarang yang individualistis. Jarang yang egois. 

Hal ini hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi para pemain kita agar tidak berlaku egosi saat di
lapangan. Kerja sama tim adalah yang utama. Bagaimanapun juga sepakbola itu dimainkan oleh sebelas
orang, bukan satu orang.

Tertinggal, Emosi, Menyerah, Pengecut, dan Egois harus bisa kita atasi sehingga kita mampu menjadi
sebuah tim sepakbola yang mampu berbicara di level dunia. 

Kita semua pasti berharap timnas kita mampu menciptakan prestasi luar biasa suatu hari nanti. Asalkan
kita mau berjuang untuk mewujudkan hal itu, maka tidak ada yang tidak mungkin.

Menyebut kita bermental tempe sebenarnya bukan bermaksud "merendahkan" martabat dari tempe itu
sendiri. Karena harus diakui bahwa tempe merupakan salah satu warisan nusantara yang begitu
berharga. 

Hanya saja mungkin dulu mendiang Presiden Soekarno menganalogikan mental tempe terkait dengan
karakteristik dari "benda" tersebut yang lunak dan mudah patah. Sebenarnya hal itulah yang harus kita
ambil pelajaran.
Piala Dunia merupakan salah satu pesta olahraga terbesar yang diselenggarakan empat tahun sekali.
Berdasarkan survei, ada sekitar 3,2 miliar orang atau hampir setengah penduduk bumi yang menonton
pertandingan bola setiap musimnya.

Indonesia termasuk salah satu negara dengan antusias sepak bola yang sangat tinggi. Terbukti dengan
banyaknya masyarakat yang rela mengorbankan jam tidurnya hanya untuk menonton pertandingan
yang semakin hari semakin seru.

Walaupun begitu, sangat disayangkan bahwa Indonesia hanya pernah sekali berpartisipasi di FIFA World
Cup, yaitu pada tahun 1938 di Prancis, yang waktu itu membawa nama Hindia Belanda karena masih
berada di bawah penjajahan Belanda.

Lantas, mengapa sampai sekarang Indonesia tidak pernah tampil lagi di piala dunia? Apakah sesusah itu
mencari 11 anak berbakat di Negeri Khatulistiwa ini?

Tentu saja tidak. Bakat dan kemauan boleh ada dalam diri seseorang, tetapi jika kualitas persepakbolaan
negeri tidak kunjung maju, hal itu tentu akan mempengaruhi pencapaian tim nasional. Lalu, apa saja
penyebab sepak bola Indonesia sulit berkembang?

1. Tidak ada pembinaan usia dini

Seperti yang kamu ketahui pembinaan usia dini sangat penting. Sebagaimana yang telah diterapkan di
Spanyol bertahun-tahun, anak laki-laki biasanya akan diajarkan bermain bola sejak usia 5 tahun,
walaupun yang diajarkan hanyalah hal dasar seperti cara menendang bola. Tidak seperti di Spanyol,
anak-anak di Indonesia justru belajar bermain bola saat menginjak usia 10 tahun atau lebih dan
bergabung di klub pada usia sekitar 15 tahun. Padahal, kalau saja bisa mengikuti jejak Negeri Matador
tersebut, pasti persepakbolaan negeri ini akan lebih maju.

2. Kurangnya sekolah sepak bola di berbagai daerah

Indonesia sudah memiliki beberapa sekolah sepak bola yang bagus, akan tetapi lokasinya selalu terpusat
di Jakarta atau di daerah Jawa lainnya. Sedangkan masih ada banyak anak yang ingin mengasah bakat
mereka di bidang ini lewat sekolah sepak bola tapi terkendala uang dan jarak. Akan lebih baik lagi kalau
ada sekolah sepak bola yang berada di pulau lainnya, seperti Kalimantan, Sulawesi, atau Sumatera.
Sekolah-sekolah tersebut diharapkan dapat menjangkau putra daerah yang tersebar di berbagai wilayah
di Indonesia.

3. Minimnya pelatih lokal berkualitas

Bicara soal kualitas pelatih lokal, saat ini belum banyak dari mereka yang memiliki lisensi A. Hal ini tentu
saja memengaruhi perkembangan sepak bola Indonesia, karena untuk membentuk suatu tim yang hebat
diperlukan pelatih yang tidak kalah hebat. Untuk itu, tahun ini PSSI merencanakan akan kembali
menggelar kursus pelatih AFC. Program ini diharapkan akan melahirkan lebih banyak pelatih lokal yang
bisa membawa timnas sepak bola ke jenjang turnamen yang lebih tinggi.

4. Tidak direstui orangtua

Melihat kondisi sepak bola Indonesia yang belum tertata rapi, tidak heran jika banyak orangtua tidak
setuju jika anaknya memilih sepak bola sebagai karier di masa depan. Salah satu hal yang paling
berpengaruh adalah tentang keterlambatan gaji yang dibayar. Menurut laporan Federasi Persatuan
Pesepakbola Profesional Internasional (FIFPro) yang dilansir goal.com, ada sekitar 82% pemain
mengatakan mereka terlambat menerima gaji, dengan hampir sepertiga dari mereka menghadapi
penundaan antara tiga dan enam bulan. Selain itu, banyak orang tua yang menilai sepak bola Indonesia
hanya merupakan hobi semata dan belum menjadi industri.

5. Target sepak bola ke depan gak jelas

Pemerintah Indonesia belum mempunyai visi dan misi yang jelas di masa depan untuk timnas sepak
bola. Berbeda halnya dengan Cina. Walaupun antusiasme sepak bola di Cina tidak sebesar yang ada di
Indonesia, pemerintahnya justru memiliki tujuan yang jelas dalam beberapa tahun yang akan datang,
yaitu untuk menjadi negara adikuasa sepak bola tahun 2050.

Hal itu, tentu saja, bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dicapai Indonesia, jika para petinggi sepak
bola negeri mampu menargetkan pencapaian penting dalam jangka waktu panjang. Melihat ke depan
adalah hal yang penting dan harus diimbangi dengan langkah-langkah untuk mencapai impian tersebut.

Kenapa Prestasi Timnas Indonesia Junior Tak Berlanjut ke Senior?

Ada fenomena menarik yang belakangan selalu melekat di Timnas Indonesia: cemerlang dan
berprestasi di level junior tapi melempeng saat sudah menginjak timnas senior. Kenapa hal itu terjadi?

Pertanyaan itu kami ajukan pada Rahmad Darmawan, mantan pelatih timnas yang kini menangani Tira
Persikabo. Ia menyebut faktor kompetisi menjadi penyebabnya.

Torehan apik tinas junior kembali ditunjukkan Timnas U-16 yang baru memastikan diri lolos ke
putaran final Piala AFC U-16 2020. Menjadi tuan rumah dalam babak kualifikasi 14-22 September lalu
tidak pernah kalah dalam empat laga, tiga kali menang dan sekali imbang. Kemenangan yang diraih
pun dengan skor besar.

Saat menghadapi Filipina, Timnas U-16 menang 4-0. Kemudian membantai Kepulauan Mariana Utara
15-1. Setelah itu, mencukur Brunei Darussalam 8-0. Terakhir imbang 0-0 lawan Cina. Hasilnya, tim
asuhan Bima Sakti ini lolos ke putaran final dan akan tampil di Piala AFC U-16 2020 di Bahrain pada
September tahun depan.

Sebulan lalu, skuat yang sama berhasil finis di urutan ketiga saat tampil di ajang Piala AFF U-15 2019.
Penampilan para pemain saat itu juga tidak buruk. Mereka menjadi juara grup, sebelum kalah di
semifinal.
Berbeda dengan performa Timnas U-16, tim nasional Indonesia senior yang sebelumnya tampil
melawan Malaysia dan Thailand dalam laga kualifikasi Piala Dunia 2022 di Stadion Gelora Bung Karno,
Senayan, Jakarta pada 5 September dan 10 September lalu, mengecewakan. Timnas senior yang
ditangani pelatih Simon McMenemy kalah 2-3 lawan Malaysia dan 0-3 lawan Thailand.

Pelatih Rahmad Darmawan yang pernah menangani Timnas U-23 mengatakan prestasi Timnas
Indonesia senior seperti sekarang ini karena sebelumnya tidak adanya kompetisi yang ideal pada
jenjang junior. Kompetisi berjenjang dari U-16, U-18, dan U-20, kata dia, ada baru-baru ini. "Menurut
saya itu sifatnya bukan kompetisi, tapi yang penting ada," kata pelatih yang akrab disapa coach RD ini
saat dihubungi Tempo, Senin, 22 September 2019.

Pelatih berusia 52 tahun yang kini menangani klub Liga 1, Tira Persikabo, ini mengatakan, sebuah
kompetisi level junior yang baik, syaratnya jumlah pertandingan antara 20-30 kali dalam setahun.
Kalau di Indonesia, kompetisi berjenjang malah dibagi ke dalam tiga zona. "Cuma ada sekitar 8 atau
7 home-away  jadi mainnya cuma 14 kali baru selesai, memang kurang," kata dia.

Rahmad menambahkan, buruknya kualitas kompetisi level junior membuat kemampuan pemain
menjadi stagnan. Padahal, negara Asia Tenggara yang lain, terus mematangkan pemain junior dengan
memfasilitasi dengan kompetisi. "Itu yang membedakan. Harusnya pemain itu semakin dimatangkan
kualitasnya melalui kompetisi, tapi sementara ini kualitas kompetisi kita ini enggak ada," tuturnya.

Ia memberikan catatan, sebuah kompetisi yang berkualitas harus memenuhi beberapa syarat.
Pertama, kualitas dari setiap tim yang berlaga setara atau perbedaannya tidak jomplang. Lalu, jumlah
pertandingan harus mencukupi dan ideal.

Rahmad juga menyoroti kompetisi junior. "Saya kemarin melihat ketika kompetisi junior masih
sekedar mengenalkanlah. Ini ada kita kompetisi U-20, ada kompetisi U-18, kompetisi U-16, menurut
saya itu belum sesuai dengan kompetisi yang menjadi syarat AFC dalam jumlah pertandingan," ucap
dia.

Untuk infrastruktur, kata Rahmad Darmawan, sebagian malah tidak memenuhi standar AFC. Sebagian
tim, kata dia sudah menggunakan stadion untuk bertanding tapi masih banyak yang menggunakan
lapangan ala kadarnya. "Kadang malah diberi lapangan yang grojal-grojal lah," kata dia.

Negara Indonesia pasti sadar akan buruknya prestasi tim nasional sepakbola tanah air. Selain buruknya
prestasi tim nasional, kualitas liga dan pembinaan pemain serta adanya kekacauan di tubuh pengurus
PSSI mengakibatkan kualitas persepakbolaan di tanah air kita ini menjadi buruk. Jangankan dapat
berprestasi di tingkat dunia, pada level Asia saja Indonesia masih sangat susah berprestasi, bahkan
kekuatan tim nasional Indonesia di mata negara Asia Tenggara semakin menurun. Dahulu Indonesia
adalah tim yang sangat ditakuti dan mempunyai kekuatan seperti halnya Thailand di Asia Tenggara.

Namun, sekarang level tim nasional Indonesia dirasa tidak sanggup menunjukkan kekuatan di mata
negara sesama Asia Tenggara. Jika kita melihat bakat pemain, Indonesia tidak kekurangan pemain yang
berbakat dan berkualitas. Buktinya adalah prestasi pemain muda Indonesia yang cukup meraih prestasi
di turnamen usia 12 tahun kebawah di pentas dunia. Meskipun belum meraih juara pertama namun tim
nasional cilik Indonesia dianggap memiliki kekuatan dan dapat berbicara banyak pada pentas sepakbola
junior tingkat internasional. Bahkan pemain muda bernama Irvin Museng, pemain asal Indonesia yang
berhasil menjadi top skorer Danone Cup pada tahun 2005 dan pada akhirnya direkrut oleh Ajax
Amsterdam sebagai tim junior.

Namun ketika visa pemain ini habis, pihak Indonesia tidak ada yang mau mengurus sehingga dia harus
dipulangkan ke Indonesia. Kita juga memiliki pemain bernama Kurniawan Dwi Yulianto yang pernah
beraksi di liga Italia muda bernama Primavera. Bahkan Kurniawan bersaing dengan Del Piero di tangga
top skorer. Del Piero adalah pesepakbola legendaris dunia sedangkan kurniawan adalah pemain yang
tidak cukup dikenal oleh dunia namun dia dapat menunjukkan taringnya.

Dengan pemain-pemain berbakat seperti itu dan banyaknya orang yang mencitai sepakbola,
mengapa Indonesia tidak dapat berprestasi di level Internasional bahkan semakin merosot prestasi
setiap tahunnya. PSSI adalah pihak yang banyak disalahkan karena PSSI yang bertanggung jawab atas
segala masalah yang ada pada persepakbolaan Indonesia. Masalah yang harus dibenahi oleh PSSI adalah
kualitas liga, pembinaan pemain, kompetisi U21 dan tentu saja pendanaan. Sistem pembinaan dan
pelatihan tentu saja berimbas dengan kualitas pemain tim nasional. Untuk persiapan laga internasional,
tim nasional Indonesia memerlukan banyak waktu dan uang untuk Training Center. Sampai kapan kita
akan membuang-buang waktu dan uang. Seharusnya tidak perlu dilakukan TC terlalu lama dengan biaya
yang banyak. Seharusnya klub yang harus melakukan pembinaan dan pelatihan pemain dengan baik
sehingga tidak perlu banyak waktu dan uang untuk TC timnas. Aspek lainnya adalah kompetisi U21.
Di setiap negara yang kualitas persepakbolaannya baik, pasti ditunjang dengan kompetisi yang
baik untuk pemain muda U21.Keberadaan kompetisi U21berguna sebagai pembinaan dan
pengembangan bakat pemain-pemain muda. Jika kompetisi ini berjalan serius dan baik maka pemain
mudah memiliki wadah untuk meningkatkan kemampuan secara teknik maupun mental. Selain pemain
berbakat dan kompetisi muda, masih banyak aspek lain yang harus diperhatikan dan perlu dibenahi oleh
PSSI.

Satu lagi aspek penting adalah pendanaan bagi liga profesional. Solusinya bukan meminta uang
APBD kepada pemerintah, namun PSSI harus membantu klub mencari sponsor dan melangkah menjadi
klub yang lebih profesional. Selain masalah liga profesional, yang perlu diperhatikan lagi oleh PSSI adalah
komitmen untuk mengembangkan pembinaan. Jika tim Indonesia junior U12 bisa meraih prestasi pada
tingkat dunia namun mengapa tim nasional senior masih jauh dari kata prestasi. Dilihat dari hal ini,
terjadi adanya suatu hal yang membatasi perkembangan pemain junior untuk menjadi tetap berkualitas
di level senior.
Solusinya bisa dengan membuat kompetisi pada U18, U19 dan U21 sebagai jembatan untuk
mempertahankan kemampuan. Ditambah lagi faktor infrastruktur, jangankan untuk pemain muda.
Untuk pemain senior saja masih belum layak infrastrukturnya. Jika melihat infrastruktur yang dimiliki
oleh Jepang, Jepang memiliki kualitas infrastruktur yang jauh lebih baik dan layak sehingga pemain
dapat terfasilitasi dalam mengembangkan kemampuan dan mental. Logikanya bagaimana pemain dapat
berkembang jika fasilitas dan infrastruktur kurang memadai. Masalah lain dalam persepakbolaan
Indonesia tidak ada hubungannya dengan PSSI. Salah satu masalahnya justru datang dari para atlet
sendiri, yaitu mental. Hampir semua pemain di Indonesia tidak memiliki etos kerja yang baik dan mental
yang sangat lemah. Mereka cenderung manja sehingga gampang menyerah dalam pertandingan.
Bahkan pemain malas berlatih dan merasa mereka mampu tanpa latihan. Ada pemain yang merasa
kelelahan dalam perjalanan sehingga mereka menolak untuk berlatih. Lalu pelatih mencoret nama
mereka dan tidak diberikan kesempatan bermain. Akibatnya mereka protes dan justru pelatih yang
dapat imbasnya.

Timnas Indonesia senior baru saja menelan kekalahan kelima di Kualifikasi Piala Dunia 2022 zona
Asia Grup G. Menghadapi tuan rumah Malaysia di Stadion Bukit Jalil pada Selasa (19/11/2019), Garuda
ditelan dua gol tanpa balas. Dampaknya lebih dari sekadar Indonesia terpatri di posisi juru kunci Grup G
dengan nol poin. Lebih dari itu, Garuda juga adalah satu-satunya wakil Asia Tenggara yang belum
mendapatkan poin hingga matchday kelima kualifikasi zona AFC. Vietnam yang memimpin Grup G
memiliki 11 poin. Selain itu, ada Malaysia (9 poin) dan Thailand (8). Filipina di Grup A dan Singapura di
Grup D juga sama-sama punya 7 poin. Myanmar di Grup F mengoleksi 6 poin. Bahkan Kamboja sudah
bisa mendapatkan satu poin di Grup C. Banyak masalah melingkari Timnas Indonesia. Salah satunya
adalah pemilihan lawan tanding dan jadwal laga internasional. Misalnya, jelang pengumuman peringkat
FIFA edisi Juni 2019, timnas lain berlomba-lomba naik peringkat agar terhindar dari pot kelima atau
terbawah. Malaysia, yang di ranking FIFA edisi April 2019 ada di urutan ke-168, mampu melompat ke
posisi 159 untuk edisi Juni 2019. Filipina juga unik. Dalam tiga duel terakhir kontra Indonesia sejak 2014,

tim ini tidak terkalahkan dengan sekali menang dan dua kali imbang. Posisi mereka di peringkat
FIFA tergolong bagus. The Azkals masuk pot ketiga di kualifikasi babak kedua. Pot yang sama dengan
Thailand. Sebaliknya, Indonesia justru melorot ke peringkat ke-160 pada Juni 2019 meski sempat ada di
tempat ke-159 pada April. Andai undian kualifikasi dilakukan pada bulan April, Garuda ada di pot
keempat. Namun faktanya, undian dilakukan pada Juni, dan PSSI terkesan abai akan potensi naik-turun
dalam pot ini. Gambaran pengelolaan Timnas Indonesia dapat dilihat dari grafik posisi mereka di
peringkat FIFA. Usai sanksi yang mendera, Garuda sempat berada di urutan ke-171 pada 2016, lalu
menembus 159 hingga April 2019. Namun posisi mereka kembali turun ke peringkat ke-171 dalam edisi
terakhir, Oktober 2019. Bergabung di Grup G Kualifikasi Piala Dunia 2022 dengan lawan yang didominasi
oleh wakil Asia Tenggara—yaitu Thailand, Vietnam, dan Malaysia—sebenarnya peluang Indonesia untuk
menunjukkan taji sekaligus memperbaiki peringkat FIFA sangat terbuka.
Namun harapan jauh panggang dari api. Lima kali bertanding, Garuda hanya bisa mencetak tiga
gol dan kebobolan 16 gol. Harapan dari Angkatan Muda Saat Timnas Indonesia senior mengalami
prestasi stagnan, harapan datang dari Garuda Select. Program yang dibentuk PSSI melalui skema kerja
sama dengan Mola TV ini sudah berjalan sejak awal 2019. Ada dua angkatan yang telah dikirim ke
Inggris. Angkatan pertama menjalani pelatihan selama lima bulan pada Januari hingga Mei 2019 lalu.
Dalam kurun waktu tersebut, tim yang dilatih Dennis Wise dan Des Walker ini tercatat menang lima kali,
seri empat kali, dan kalah tujuh kali. Sementara itu, angkatan kedua diberangkatkan pada Oktober 2019
dan dijadwalkan baru kembali pada April 2020. Dalam laga termutakhir melawan Oxford City U18 pada
Selasa (19/11) lalu, Garuda Select tumbang 0-1. Program Garuda Select sendiri adalah bagian dari
rencana besar PSSI sejak menggagas Filanesia (filosofi sepakbola Indonesia) dan kompetisi Elite Pro
Academy. Pemilihan tempat latihan di Inggris pun didasarkan dari fakta bahwa negara tersebut sukses di
level U16, U17, dan U20. “Kita belajar yang terbaik, kita bidik yang terbaik agar bisa mengejar
ketertinggalan itu,” kata Sekretaris Jenderal PSSI, Ratu Tisha Destria. Salah satu bukti sahih kesuksesan
Garuda Select adalah lolosnya Timnas Indonesia U19 ke putaran final Piala Asia U19 yang diadakan di
Uzbekistan pada 2020 lalu. Banyak lulusan Garuda Select angkatan pertama yang menghiasi skuad
Timnas Indonesia U19 di kualifikasi Piala Asia U19 seperti Ernando Ary, Bagas Kaffa, Bagus Kahfi, Sutan
Zico, dan David Maulana. Garuda yang kala itu ditukangi oleh pelatih Fakhri Husaini juga tercatat mampu
finis sebagai peringkat ketiga Piala AFF U18 2019. Ada harapan nyata dari bibit-bibit yang kini ada di
Timnas U19 dan yang masih ditempa di Garuda Select angkatan kedua. Nama-nama mereka lah yang
akan muncul di Piala Dunia U20 2021, saat Indonesia berstatus sebagai tuan rumah pada ajang yang
diikuti total 24 negara dari enam federasi tersebut. Anak-anak muda ini pula yang akan mengusung
mimpi lolos ke Olimpiade 2024 dan Piala Dunia 2030. Pertandingan-pertandingan Garuda Select dan
Timnas Indonesia dapat ditonton melalui live streaming di Mola TV.
Untuk menyaksikannya, penggemar sepakbola dapat menggunakan Mola Polytron
Streaming, Mola Polytron Smart TV, Mola Matrix, atau secara mobile dengan mengunduh aplikasi Mola
TV.
Setelah mengatasi kekurangan tim ini, baru kami bisa menghadapi ujian di Piala Dunia U20 dan Piala
Asia U19. Saya pikir kami dapat memenangkannya," ucap Elkan, yang saat ini memperkuat klub Inggris,
Ipswich Town. Adapun pada laga debutnya bersama timnas U19 Indonesia, Elkan berhasil membawa
Garuda Muda menang 4-1 atas Makedonia Utara. Pemain blesteran Indonesia-Inggris itu juga bermain
penuh selama 90 menit. Setelah ini, Garuda Muda akan kembali berhadapan Makedonia Utara. Duel
timnas U19 vs Makedonia Utara bakal berlangsung di Stadion NK Junak Sinj, Rabu (14/10/2020) malam
WIB. "Sekarang fokus kami ke pertandingan selanjutnya. Kami mau menang lagi," ujar Elkan Baggott
melanjutkan. "Target terdekat, kami ingin menang atas tim-tim Eropa," ucap dia. Baca berikutnya

Meski dari segi mental Timnas Indonesia U-19 terus menunjukkan perkembangan, Shin Tae Yong
menganggap Witan Sulaeman masih menunjukkan beberapa kekurangan di laga uji coba.

"Mental pemain sudah lebih baik, namun power dan passing masih perlu ditingkatkan lagi kualitasnya,"
tutur Shin Tae Yong.

Selain masalah power dan operan, hal lain yang jadi sorotan Shin Tae Yong adalah cara pemain-pemain
Indonesia dalam menempatkan posisi ketika melakukan serangan.

"Selain itu kemampuan mencari ruang di garis belakang pertahanan lawan juga masih kurang," ucap
Shin Tae Yong.

Timnas Indonesia U-19 sudah lebih dari satu bulan menjalani uji coba di Kroasia. Di bulan pertama,
Timnas Indonesia mencatat kekalahan dari Bulgaria [0-3] dan Kroasia [1-7], imbang lawan Arab Saudi [3-
3]. Setelah itu Timnas Indonesia U-19 sekali menang dan satu kali imbang lawan Qatar [2-1 dan 1-1],
kalah dari Bosnia [0-1], dan menang atas Dinamo Zagreb [1-0].

Di bulan kedua, Timnas Indonesia U-19 menang 4-1 atas Makedonia dan kemudian imbang tanpa gol.
Membicarakan tentang sepakbola Indonesia sekarang ini ibarat memancing emosi kita. Bagaimana
tidak, prestasi tim nasional (timnas) dari waktu ke waktu bukannya membaik malah semakin jeblok.
Sering kita menjadi pecundang dari lawan-lawan kita. Bahkan dari lawan yang dulu kelasnya berada
dibawah kita pun timnas kita tidak cukup mampu menaklukkannya. Terakhir kita kalah dari timnas
Vietnam dengan skor 3 -- 1. Sebelumnya timnas kita bahkan dibuat lebih menangis seiring
"pembantaian" yang dilakukan oleh Uni Emirat Arab (UEA) dengan skor 5 -- 0. 

Entah apa sebenarnya yang salah dengan timnas sepakbola Indonesia. Kebijakan naturalisasi pemain
yang digadang-gadang mampu mengerek prestasi timnas ternyata masih jauh panggang dari api. 

Timnas kita masih memble secara prestasi di lapangan hijau. Lantas apa sebenarnya permasalahan
utama kita sehingga tidak kunjung berprestasi tinggi sampai sekarang?

Mungkin beberapa tahun terakhir timnas usia muda kita cukup mampu berbicara dikancah dunia seiring
prestasi menjuarai Piala AFF U-16 atau Piala AFF U-19. Namun itu sebatas pada usia muda saja.
Sedangkan tolok ukur prestasi sebuah tim sepakbola kebanyakan mengacu pada kualitas pencapaian
timnas seniornya. Kita tentu tahu nama Lionel Messi. 

Hampir semua trofi dan penghargaan bergensi pernah ia raih di level klub. Juara Liga Spanyol, juara Liga
Champion, juara Piala Dunia Antar Klub, juara Piala Super Eropa, pemain terbaik dunia, pencetak gol
terbanyak, dan masih banyak lagi yang lain. 

Satu-satunya kekurangan Lionel Messi hanyalah belum mampu memberikan trofi bergengsi untuk
negaranya, Argentina. Padahal Lionel Messi sebenarnya pernah berhasil mempersembahkan trofi piala
dunia junior kepada Argentina. 

Namun hal itu tidak dianggap ada seiring levelnya yang masih junior. Sama halnya dengan timnas kita
pun juga demikian. Prestasi timnas garus muda belum cukup mampu menjawab harapan masyarakat
akan timnas sepakbola sarat prestasi di kancah dunia.

Jika timnas usia muda kita sudah mulai mampu berbicara di kancah dunia, lalu mengapa tidak bisa
dengan timnas senior? Apakah kita tidak cukup memiliki pemain berbakat? Sepertinya tidak. Buktinya
timnas usia muda kita cukup mampu berpretasi. 

Ketika mereka beranjak ke level senior, seharusnya bakat yang mereka miliki tidak akan menguap begitu
saja. Kualitas kompetisi kita buruk? Mungkin saja. Secara umum, sebenarnya permasalahan timnas kita
yatiu masih memiliki mentalitas "tempe".

Dalam salah satu pidatonya, Bung Karno pernah menyinggung bahwa Bangsa Indonesia ini bangsa yang
suka bekerja keras, bukan bangsa tempe. Hal ini untuk mengingatkan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai