Anda di halaman 1dari 26

Sistem Imunitas Rongga Mulut

Rongga mulut merupakan pintu masuk utama mikroorganisme, oleh karena itu
baanyak faktor yang terlibat dalam organisasi pertahanan terhadap kuman pathogen.
Menurunnya fungsi faktor-faktor ini akan menimbulkan masalah karena adanya bakteri
oportunistik yang dapat menjadi pathogen dan menimbulkan berbagai kelainan. Faktor-faktor
tersebut dapat dikategorikan menjadi barier anatomi dan fisiologi, seperti epitel, aliran air liur
atau anatomi gigi : pertahanan seluler misalnya fagositosis oleh leukosit dan makrofag; dan
imunitas humoral melalui antibody di dalam air liur dan celah gusi.
Berbagai faktor ini, merupakan fungsi beberapa jaringan di dalam rongga mulut seperti
membrane mukosa, jaringan limfoid rongga mulut, kelenjar air liur, dan celah gusi. Mukosa
sangat berperan paada kesehatan di dalam rongga mulut kaarena pada keadaan normal,
integritasnya berfungsi untuk menahan penetrasi mikroorganisme. Daerah yang agak rawan
di dalam rongga mulut pada pertemuan antara gigi dan gusi
Adapun beberapa komponen jaringan rongga mulut yang terlibaat, antara lain :
· Membran mukosa
Barier protektif mukosa mulut terlihat berlapis-lapis terdiri atas air liur pada
permukaannya, lapisan keratin, lapisan granular, membrane basal, dan komponen
seluler serta humoral yang berasal dari pembuluh darah. Komposisi jaringan lunak
mulut merupakan mukosa yang terdiri dari skuamosa yang karena bentuknya,
berguna sebagai barier mekanik terhadap infeksi. Mekanisme proteksi, tergantung
pada deskuamasinya yang konstan sehingga bakteri sulit melekat pada sel-sel epitel
dan derajat keratinisasinya yang mengakibatkan epitel mukosa mulut sangaat efisien
sebagai barier. Kedua hal ini, haruslah dalam keadaan seimbang. Keratinisasi
palatum durum dan gusi sangat baik sedangkan keratinisasi epitel kantong gusi
sangat baik, karenanya merupakan barier pertahanan yang agaak lemah. Namun,
kontak yang rapat antara epitel kantong gusi dan permukaan gigi dapat menurunkan
kemungkinan penetrasi mikroorganisme.
Jaringan lunaak rongga mulut berhubungan dengan nodus limfatik ekstraoral
dan agregasi limfoid intraoral. Suatu jaringan halus kapiler limfatik yang terdapat
pada permukaan mukosa lidah, dasar mulut. Palatum, pipi, bibir mirip yang berasal
dari gusi dan pilpa gigi. Kapiler-kapiler ini bersatu membentuk pembuluh limfatik
besar dan bergabung dengan pembuluh limfatik yang berasal dari bagian di dalam
otot lidah dan struktur lainnya. Antigen mikrobial yang dapat menembus epitel
masuk ke lamina propria. Akan difagositosis oleh sel-sel Langerhans yang banyak
ditemukan pada mukosa mulut.
Kelenjar saliva yang mengandung sel plasma dan limfosit, terdiri atas 6
kelenjar saliva utama dan beberapa kelenjar saliva kecil yang tersebar di bawah
mukosa mulut. Kelenjar saliva ini memproduksi IgA yang akan disekresikan ke
dalam rongga mulut dalam bentuk sIgA. Pada jaringaan gusi ditemukan berbagai
komponen selular dan humoral, seperti PMN neutrofil, makrofag, limfosit dan sel
plasma yang penting dalam respon imun terhadap plak bacterial. Pada daerah
submukosa jugaa tersebar sel limfoid yang akan berproliferasi bila barier pertahanan
pertama pada permukaan mukosa dapat ditembus antigen.
· Saliva
Air liur disekresikan oleh kelenjar parotis, submandibularis, submaksilaris,
dan beberapa kelenjar ludaah kecil pada permukaan mukosa. Aliran air liur sangat
berperan dalam membersihkan rongga mulut dari mikroorganisme. Dalam hal ini,
air liur bertindak sebagai pelumas aksi otot lidah, bibir, dan pipi. Aliran liur aakan
mencuci permukaan mukosa mulut sedangkan sirkulasi darah subepitel bertindak
sebagai suplemen paada batas jaringan lunak daan keras melalui cairan celah gusi.
Air liur akan tetap mengalir meskipun tanpa dirangsang, rata-rata sekitar 19
ml/jam atau sekitar 500 ml/hari. Rata-rata sekresi air liur meningkaat paada saat
makan atau rangsangan psikis dan menurun pada waktu tidur. Bila jumlah aliran
aair liur menurun, dapat meningkatkan frekuensi karies gigi, parotitis atau
peradangan kelenjar parotis. Pada pH air liur yang rendah, mikroorgnisme dapat
berkembang dengan baik. Sebaliknya, pada pH tinggi dapat mencegah terjadinya
karies tinggi.
· Celah gusi
Pengetahuan tentang struktur dan fungsi epitel jungsional yang terletak pada
celah gusi, berguna untuk memahami hubungan biologic antara komponen
vaskuler dan struktur periodontal. Epitel ini mempunyai dua lamina basalis,
satu melekat pada jaringan konektif dan yang lainnya pada permukaan gigi.
Polipeptida keratin pada epitel junctional berbeda pada keratin epitel sirkular.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa diantara keduanya funsinya juga berbeda.
Komponen selular dan humoral dari darah akan melewati epitel junctional
yang terletak pada celah gusi dalam bentuk cairan celah gusi. Apakah aliran
celah gusi ini merupakan proses fisiologik atau merupakan respon terhadap
inflamasi, sampai saat ini masih belum ada kesatuan pendapat. Pendapat yang
banyak dianut saat ini adalah, pada keadaan normal cairan celah gusi yang
mengandung leukosit ini akan melewati epitel junctional menuju ke
permukaan gigi. Aliran cairan ini akan meningkat bila terjadi gingivitis atau
periodontitis. Selain leukosit cairan celah gusi ini juga mengandung komponen
komplemen selular dan humoral yang terlibat dalam respon imun.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2 Sistem kekebalan tubuh ( imunitas ) adalah sistem mekanisme pada organisme yang
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh
patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang
luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta
menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat
dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa (Anwar, 2009).Yang dimaksud dengan
system imun adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk mempertahankan
keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai
bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja,1996).
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk mempertahankan
keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai
bahan dalam lingkungan hidup. Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila ke dalam
tubuh masuk suatu zat yang oleh sel at au jaringan tadi dianggap asing, yaitu yang disebut
antigen. Sistem imun dapat membedakan zat asing (non-self) dari zat yang berasal dari tubuh
sendiri (self). Dari beberapa keadaan patologik, sistem imun ini tidak dapat membedakan self
dan non-self sehongga sel-sel dalam sist em imun membentuk zat anti terhadap jaringan
tubuhnya sendiri yang disebut autoantibodi. Bila sistem imun terpapar pada zat yang
dianggap asing, maka ada dua jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun
nonspesifik dan respon imun spesifik.
Tugas dasar sistem imunitas tersebut antara lain adalah membedakan „dirinya sendiri‟
(seluruh sel di dalam tubuh) dengan „pendatang asing‟ (bakteri, virus, toksik, jamur, serta
jaringan asing). Menghadapi pendatang asing tadi, sistem imunitas harus membentuk sel
khusus melalui sel darah putih, untuk mengeliminasi pendatang asing tersebut. Karena
manusia berinteraksi dengan lingkungan sekitar, sistem imunitas mampu beradaptasi dengan
kondisi sehari-hari. Sistem imun terdiri dari sistem imun spesifik dan sistem imun
nonspesifik, keduanya berperan terutama dalam proses fagositosis. Dalam laporan ini akan
dijelaskan mengenai sistem imun dan proses fagositosis tersebut.

BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 SISTEM IMUN


Sistem imun pada manusia terdiri dari sistem imun nonspesifik dan sistem imun spesifik
3.1.1 NONSPESIFIK
Respon imun nonspesifik umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity) dalam
arti bahwa respon zat asing dapat terjadi walaupun tubuh sebelumnya tidak pernah terpapar
pada zat tersebut, sedangkan respon imun spesifik merupakan respon didapat (acquired) yang
timbul terhadap antigen tertentu, terhadap bagian tubuh mana yang terpapar sebelumnya.
Perbedaan utama terhadap kedua jenis respon imun itu adalah dalam hal spesifisitas dan
pembentukan memory terhadap antigen tertentu pada respon imun spesifik yang tidak
terdapat pada respon imun nonspesifik. Namun telah dibuktikan pula bahwa kedua jenis
respon di atas saling meningkat kan efektifitas dan bahwa respon imun yang terjadi
sebenarnya merupakan int eraksi antara satu komponen dengan komponen lain yang dapat
terdapat di dalam sistem imun. Interaksi tersebut berlangsung bersama-sama sedemikian rupa
sehingga menghasilkan suatu aktivasi biologik yang seirama dan serasi.
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi
mikroorganisme, oleh karena itu dapat memberikan respon langsung terhadap antigen,
sedangkan sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu
sebelum dapat memberikan responnya.
Respon imun nonspesifik. Salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap
masuknya antigen, misalnya antigen bakteri, adalah menghancurkan bakteri bersangkutan
secara nonspesifik dengan proses fagositosis. Dalam hal ini leukosit yang termasuk fagosit
memegang peranan peranan yang sangat penting, khususnya makrofag demikian pula
neutrifil dan monosit. Supaya dapat terjadi fagositosis sel-sel fagosit tersebut harus berada
dala jarak dekat dengan part ikel bakteri, atau lebih tepat lagi bahwa partikel tersebut harus
melekat pada permukaan fagosit . Untuk mencapai hal ini maka fagosit harus bergerak
menuju sasaran. Hal ini dimungkinkan berkat dilepaskannya zat atau mediator tertentu yang
disebut factor leukotaktik atau kemotaktik yang berasal dari bakteri maupun yang dilepaskan
oleh neutrofil atau makrofag yang sebelumnya telah berada di lokasi bakteri atau yang
dilepaskan oleh komplemen. Selain factor kemotaktik yang menarik fagosit menuju antigen
sasaran, untuk proses fagositosis selanjutnya bakteri perlu mengalami opsonisasi terlebih
dahulu.
Ini berarti bahwa bakteri terlebih dahulu dilapisi oleh immunoglobulin atau komplemen
(C3b), agar supaya lebih mudah ditangkap oleh fagosit. Selanjutnya partikel bakteri masuk ke
dalam sel dengan cara endositosis dan oleh pembentukan fagosom yang terperangkap dalam
kantung fagosom seolah-olah ditelan untuk kemudian dihancurkan, baik dengan proses
oksidasi-reduksi maupun oleh derajat keasaman yang ada dalam fagosit atau penghancuran
oleh lisozim dan gangguan metabolisme bakteri.
Kekebalan tubuh nonspesifik adalah bagian dari tubuh kita yang telah ada sejak kita lahir.
Ciri-cirinya: Sistem ini tidak selektif,artinya semua benda asing yang masuk ke dalam tubuh
akan diserang dan dihancurkan tanpa seleksi, Tidak memiliki kemampuan untuk mengingat
infeksi yan terjadi sebelumnya.

Komponen-komponen yang berperan dalam sistem imun nonspesifik dalam rongga mulut
adalah:
1. Protein-Enzim
a. Enzim lisozomal : merupakan enzim mukolitik yang mampu memecahkan ikatan
glikopeptide dinding bakteri gram positif, sehingga lisis. Termasuk kolagenase,
elastase, hyaluronidase. Mesikupun enzim-enzim ini diproduksi oleh sel-sel neutrofil,
sebagian besar dihasilkan oleh kelenjar ludah. Perlu ditekankan bahwa enzim
penghancur juga di produksi oleh bakteri sehingga hadirnya enzim ini juga dapat
merusak jaringan gingivanya sendiri. bahkan disebut suatu protase yang dapat
mengaktifkan IgA.
b. Laktoferin dan laktoperoksidase: yang mempunyai aktifitas antibakteri dan antivirus.
c. Musin: yang menghambat perlekatan virus pada sel epitel.
d. Interferon: diproduksi oleh sel hospes, sebagai reaksi terhadap invasi virus.
Dibedakan tiga tipe interferon manusia, yaitu: α(alfa), dihasilkan oleh sel-ael darah
putih,β(beta) oleh fibroblas dan γ(gamma) oleh limfosit yang teraktivasi. Zat ini
mempunyai spectrum luas dari aktivitas biologiknya termasuk melindungi sel dari
infeksi virus, menekan replikasi virus, meningkatkan aktivitas sel NK (Natural Killer)
dan menghadirkan HLA pada permukaan sel makrofag dan sel limfosit B.
e. Sitokin: merupakan zat biologik aktif yang diproduksi berbagai tipe sel dari kelompok
non-limfoid, sebagai reaksi terhadap suatu radang. Misalnya: histamin yang dikenal
sebagai vasodilator; prostaglandin, sebagai mediator rasa sakit yang potean bersama
dengan leukotrin, SRA-A (Slow Reacting Substance of Anaphylaxis) yang
menyebabkan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah dan kontraksi otot polos.
IL1 (Interleukin-1 diproduksi oleh sel monosit yang paling banyak dibicarakan,
memobilisasi sel yang terlibat dalam proses radang.
2. Komplemen
Sudah ada dalam darah, sebelum dibentuknya IgM dalam mobilitas elektroforosis termasuk
kelompok alfa dan beta globulin. Terutama dihasilkan oleh hari beredar dalam darah sebagai
bentuk yang tidak aktif, dan bersifat termolabil. Dalam cairan saku gusi ditemukan bentuk
C2, C4, dan C5. Mengenai C3 disamping dalam bentuk yang tidak aktif, juga dalam bentuk
yang berubah, artinya aktivasi komplemen sudah terjadi secara in vivo. Kehadiran ikatan
kompleks Ag-Ab, akan mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik seperti model kaskade
pembekuan darah (self amplifying). Dimulai dengan pengaktifan C142, berlanjut ke C3 dan
berakhir dengan lisisnya membran sel target oelh C5-9. Pengaktifan C3 juga dapat
brlangsung dengan jalan pintas tanpa adanya antibody yang disebut jalur alternatif. Plak gigi
ternyata berpotensi membuka jalur ini, akan mengaktifkan C3 yang berakhir juga dengan
membranolisis/antigenolisis. Konsentrasi C2 dan C4 dalam cairan gingival yang meradang,
meningkat dibandingkan dengan normal. Sel-sel ini baru aktif bekerja kalau tubuh dimasuki
zat-zat bersifat allergen ang biasanya terdapat dalam makanan.
3. Sel N.K (Natural killer)
Sel ini baru jelas peranannya dalam system pertahanan, terutama menghadapi perubahan
komponen tubuh sendiri, sebagai akibat dari perlakuan virus ataupun zat-zat kimia tertentu.
Sel ini tidak memiliki permukaan sel T ataupun sel B. dapat mengenal benda asing tanpa
memerlukan pengenalan spesifik terlebih dahulu (tidak mempunyai memori). Tidak memiliki
sifat fagosit tetapi mempunyai reseptor IgG sehingga membunuh sel targetnya dengan
mekanisme intim kontak ekstraseluler. Sel ini menempati garis pertahanan yang terdapat
dalam system pertahanan seperti halnya natural antibody dari system kekebalan humoral.
Terutama dalam upayanya mengendalikan kecenderungan sel menjadi ganas. Sel NK tidak
membunuh bakteri maupun benda asing lainnya dengan fagositosis. Sel NK memiliki vesikel
yang berisi perforin, dimana zat ini akan menempel pada dinding sel bakteri dan membuat
lubang pada sel bakteri yang menyebabkan air, garam maupun zat lain yang berada di luar
tubuh bakteri masuk ke dalam tubuh bakteri sehingga bakteri akan lisis.

3.1.2 SPESIFIK
Kekebalan tubuh spesifik adalah system kekebalan yang diaktifkan oleh kekebalan tubuh
nonspesifik dan merupakan system pertahanan tubuh yang ketiga. Ciri-cirinya: Bersifat
selektif terhadap bendaasing yang masuk ke dalam tubuh. Sistem reaksi ini tidak memiliki
reaksi yang sama terhadap semua jenis benda asing, Memiliki kemampuan untuk mengingat
infeksi sebelumnya, Melibatkan pembentukan sel-sel tertentu dan zat kimia ( antibody ),
Perlambatan, waktu antara eksposur dan respon maksimal.
Tanggap kebal seluler dikendalikan oleh sel-sel yang tersebar dalam jaringan submukosa,
gingival, kelenjar ludah, epitel, cairan saku gusi, tonsil dan kelenjar getah bening ekstraoral.
1. Agregasi Jaringan Limfoid Submukosa
Sel-sel mononuclear (limfosit dan makrofag) ditemukan tersebar tepat dibawah epitel mulut,
didaerah palatum lunak, dasar mulut, permukaan ventral dari lidah dan kadang-kadang di pipi
dan di bibir. Secara histologik, massa jaringan ini seperti jaringan tonsil.

2. Jaringan Limfoid Gingival


Melalui rangsang plak bakteri, jaringan ini menarik sel-sel terutama sel-sel limfosit yang
dalam situasi radang berubah menjadi sel-sel plasma. Rasio sel T dan B dalam cairan saku
gingival sehat akan meningkat menjadi 1:3 dibandingkan rasio dalam darah. Selain itu, dalam
proporsinya, sel-sel ini mampu membuat antibody yang spesifik. Bagaimanapun juga
kebanyakan sel-sel ini memproduksi zat-zat immunoglobulin non-reaktif. Makrofag hadir
dalam gingiva, disamping memproses antigen juga ikut membantu penghancuran plak gigi.
Reaksi timbal balik antara merusak dan melindungi berlangsung jelas dalam limfoid gingiva.

3. Kelenjar Getah Bening Ekstraoral


Anyaman halus saluran getah bening berjalan dari mucus saliva dasar mulut, palatum, bibir,
dan pipi seperti juga dari gingival dan pulpa. Semuanya bergabung membentuk saluran yang
lebih besar yang bersatu dengan saluran getah bening lainnya dari anyaman yang lebih dalam
pada otot lidah. Saluran ini melayani pengangkutan antigen menuju kelenjar getah bening
submental, submaksilaris, dan servikal. Tiap antigen yang berhasil masuk disebarkan
langsung melalui getah bening ini ataupun melalui sel-sel fagosit. Lalu diteruskan ke
kelenjarnya untuk dibangkitkan tanggap kebalnya. Gambaran khas dari kelenjar ini ialah
adanya sel-sel dendritik yang berperan dalam pemrosesan dan pemaparan antigen. Demikian
juga tonsil faringeal, lingual dan nasofaring memiliki sel-sel dendritik dan menjadi tempat
berlangsungnya sekresi antibody local. Tenggap kebal yang ditunjukan, dapat berbeda sesuai
dengan antigen dan prosentasinya . tanggap kebal seluler menyebabkan pembesaran daerah
parakortikal yang mengemban sel T. sedangkan tanggap kebal humoral melibatkan bagian
korteks yang didominasi oleh sel B. bagaimanapun juga sel-sel plasma yang memproduksi
antibody sebagian besar terdapat didalam medula.

4. Jaringan Limfoid Kelenjar Ludah


Limfosit, makrofag dan sel-sel plasma ditemukan di dalam kelenjar baik yang besar ataupun
kecil, tersebar dalam kelompok-kelompok dibawah mukosa mulut. Kebanyakan sel plasma
memproduksi IgA dan beberapa diantaranya IgG dan IgM. Tampak bawah kebanyakan IgA
dalam saliva disintesis secara local oleh sel-sel plasma kelenjar yang bersangkutan dalam
bentuk dimerik.

5. Sel-Sel Langerhans
Antigen yang masuk melalui mukosa difagositosis oleh sel-sel ini yang tersebar di atas
selaput dasar. Sel-sel ini merupakan sel-sel dendritik yang besar kemampuan kerja seperti
makrofag, memiliki reseptor Fe dan C3 serta antigen permukaan seperti Ia, yaitu antigen
transplantasi yang dtemukan terutama pada sel B dan makrofag yang identik dengan antigen
HLA-D. sesudah fagositosit, langerhans bermigrasi menuju kelenjar getah bening local dan
menatap di daerah sel T parakortikal. Dengan demikian memprakarsai tanggap kebal seluler.
3.1.3 SKEMA SISTEM IMUN NONSPESIFIK DAN SPESIFIK
Non-spesifik Spesifik
SELULER Neutrofil, eusinofil, basofil, platelet, makrofag, monosit sel N.K Sel T dan B, sel
dendritik, sel langerhans, sel pemresentasi antigen
HUMORAL Lisozim, sitokin, interferon, komplemen protein Antibody IgG, IgM, IgA, IgE,
IgD, limfokin

3.2 KEMOTAKSIS
Banyak jenis zat kimia dalam jaringan dapat menyebabkan netrofil dan makrofag bergerak
menuju sumber zat kimia. Fenomena ini dikenal sebagai kemotaksis. Bila jaringan
mengalami peradangan, sedikitnya terbentuk selusin produk yang dapat menyebabkan
kemotaksis ke arah area yang mengalami peradangan, misalnya beberapa toksin bakteri atau
virus, produk degeneratif dari dareah yang mengalami radang itu sendiri, dan beberapa
produk reaksi “kompleks komplemen”.
Proses kemotaksis bergantung pada perbedaan konsentrasi zat-zat kemotaktik. Pada daerah
dekat sumber, konsentrasi zat-zat ini paling tinggi dan menyebabkan gerakan sel darah putih
yang terarah. Kemotaksis efektif sampai jarak 100 mikrometer dari jaringan yang meradang.
Karena hamper tidak ada area jaringan yang jauhnya lebih dari 50 mikrometer dari kapiler,
maka sinyal kemotaktik dapat dengan mudah memindahkan sekelompok sel darah putih dari
kapiler ke daerah yang meradang.

3.3 FAGOSITOSIS
Fungsi netrofil dan makrofag yang terpenting adalah fagositosis, yang berarti pencernaan
intraseluler terhadap agen yang mengganggu. Sel fagosit harus memilih bahan-bahan yang
akan difagositosis; kalau tidak demikian, sel normal dan struktur tubuh pun akan dicerna.
Sistem imun tubuh membentuk antibody untuk melawan agen infeksius seperti bakteri.
Antibody kemudian melekat pada membrane bakteri dan dengan demikian membuat bakteri
menjadi rentan khususnya terhadap fagositosis. Untuk melakukan hal ini, molekul antibody
juga bergabung dengan produk C3 dari kaskade komplemen. Molekul C3 ini kemudian
melekatkan diri pada reseptor di atas membrane sel fagosit, dengan demikian memicu
fagositosis. Proses seleksi dan fagositosis ini disebut opsonisasi.
Fagositosis merupakan suatu istilah yang secara harafiah berarti sel makan dapat
dipersamakan dengan pimositosis yang berarti sel minum. Fagositosis merupakan suatu
proses atau cara untuk memakan bakteri atau benda asing yang dilakukan dimana setelah
benda asing atau bakteri melekat pada permukaan makrofag maka makrofag membentuk
sitoplasma dan melekuk kedalam membungkus bakteri atau benda tersebut. Tonjolan
sitoplasma yang saling bertemu itu akan melebur menjadi satu sehingga benda asing atau
bakteri akan tertangkap didalam sebuah vakuol fagostik intra sel.
Segera setelah partikel asing difagositosis, lisosom dan granula sitoplasmik lainnya segera
datang untuk bersentuhan dengan gelembung fagositik dan membrannya bergabung dengan
membrane gelembung, selanjutnya mengeluarkan banyak enzim pencernaan dan bahan
bakterisidal ke dalam gelembung. Jadi, gelembung fagositik sekarang menjadi gelembung
pencerna, dan segera dimulailah proses pencernaan partikel yang sudah difagositosis. Netrofil
dan makrofag, mempunyai sejumlah besar lisosom yang berisi enzin proteolitik yang khusus
dipakai untuk mencerna bakteri dan protein asing lainnya. Lisosom yang ada pada makrofag
(tetapi tidak pada netrofil) juga mengandung banyak lipase, yang mencerna membrane lipid
tebal yang dimiliki ileh beberapa bakteri tertentu seperti basil tuberkolosis.
Selain mencerna bakteri yang dicerna dalam fagosom, netrofil dan makrofag juga
mengandung bahan bakterisidal yang membunuh sebagian besar bakteri, bahkan bila enzim
lisosomal gagal mencerna bakteri tersebut. Hal ini penting karena beberapa bakteri
mempunyai selubung pelindung atau factor lain yang mencegah penghancurannya oleh enzim
pencernaan.

3.3.1 SEL-SEL FAGOSIT


Sel-sel fagosit terdiri dari :
a) Sel monosit : sel yang berasal dan matang di sum-sum tulang dimana setelah matang
akan bermigrasi ke sirkulasi darah dan berfungsi sebagai fagosit.
b) Sel makrofag : diferensiasi dari sel monosit yang berada dalamm sirkulasi. Ada 2
golongan , yaitu :
• Fagosit professional : monosit dan makrofag yang menempel pada permukaan dan akan
memakan mikroorganisme asing yang masuk. Monosit dan makrofag juga mempunyai
rseptor interferon dan migration inhibition Facktor (MIF).
• Antigen Presenting Cell (APC) : sel yag mengikat antigen asing yang masuk lalu
memprosesnya sebelum dikenal oleh limfosit. Sel-sel yang dapat menjadi APC antara lain :
kelenjar limfoid, sel langerhans dikulit, sel kupferr dihati, sel mikrogrial di SSP dan sel

3.3.2 Bentuk dan Sifat Makrofag


Fagosit mononukleus memiliki ciri marfologis dengan spectum luas berdasarkan keadaan
aktifitas gungsional dan jaringan yang dihuni. Makrofag dapat terfiksasi atu mengembara,
makrofag ini mengembara bergerak dengan mempergunakan gerakan amuboid, gerakan
amuboid ini juga terjadi jika ada rangsangan. Pada saat ini mereka mempunyai bentuk sangat
tidak teratur, dengan kaki palsu yang terjulur kesegala arah. Dengan mikroskop electron
terlihat permukaan makrofag tidak teratur, kaki palsu yang terjulur kesegala arah. Membran
plasma berlipat-lipat dan mengandung tonjolan dan lekukan Nukleus mengandung kromotin
padat, berbentuk bulat, lebih kecil, nucleoli tidak mencolok, sitoplasma terpulas gelap dan
sedikit mengandung vakuol kecil yang secara supra vital dengan merah netral. Makrofag
mempunyai lisozom primer yang mengeluarkan isinya kedalam vakuol, sitoplasma terpulas
terpulas gelap dan sedikit mengandung vakuol kecil yang terpulas secara supra vital dengan
merah netral. Makrofag mempunyai lisozom primer yang mengeluarkan isinya kedalam
vakuol yang mengandung bahan yang telah difagositose sehingga menghasilkan lisosom
sekunder atau disebut juga fagozomdimana terjadi pencernaan bahan yang ditelan tersebut.
Fagositosis dan perluasan dibantu juga dengan permukaan yang berlipatlipat. Umumnya
mempunyai apparatus Golgi yang berkembang baik, disamping lisosom dan sebuah retikulum
endoplasma kasar yang jelas. Pada proses transformasi monosit kemakrofag terdapat
peningkatan sitesis protein dan ukuran sel, juga terdapat peningkatan komplek Golgi, lisosom
mikrotubul dan mikro filamen. Makrofag terfiksasi pengembara merupakan fase-fase berbeda
dari sel yang sama dan satu fase dapat merubah dirinya sendiri menjadi fase lain. Karena
kesanggupan makrofag untuk bergerak dan memfagositer maka fungsi utama dari makrofag
adalah dalam pertahanan organisme tersebut. Makrofag menelan sisa-sisa sel, zat inter sel
berubah, mikro organisme dan partikel yang memasuki tubuh. Jika makrofag menjumpai
benda yang berukuran besar, makrofag-makrofag bersatu untuk membentuk sel besar dengan
100 nukleus atau lebih yang disebut dengan sel raksasa benda asing multi nuklir. Dalam
keadaan sehat, makrofag merupakan fase akhir dalam siklus hidup monosit, setelah
meninggalkan sum-sum tulang monosit tinggal selama 8 – 74 dalam dan melintasi dinding
venula atau kapiler untuk menembus jaringan penyambung, yang akhirnya menjadi
makrofag.
Makrofag juga berperan pada reaksi imunologis tubuh, dengan menelan memproses, dan
menyimpan antigen dan menyampaikan informasi kepada sel-seln berdekatan secara
imunologis kompeten (limfosit dan sel plasma). Makrofag mempunyai reseptor yang
mengikat antibody dan makrofag bersenjata demikian sanggup mencari dan menghancurkan
antigen yang khas terhadap antibody itu. Selama proses infeksi limfosit – T yang terangsang
menghasilkan sejumlah limfokin yang menarik makrofag ketempat yang membutuhkannya
dan terus mengaktifkannya. Makrofag berukuran 10 – 30 mm, bentuk tidak teratur, inti
lonjong atau bentuk ginjal letak exentrik, mengandung granula azurofilik, Makro. Makrofog
merupakan sel yang panjang umurnya dapat bertahan berbulan-bulan dalam jaringan. Bila
cukup dirangsang sel-sel ini dapat bertumbuh besar, membentuk sel epiteloid (yn epi=diatas
+ thele = putting + eidos = seperti sel) atau beberapa melebur menjadi sel datia (sel raksasa)
multinukleus, jenis-jenis sel yang ditemukan dalam keadaan patologis. Makrofag kadang-
kadang mempunyai bentuk yang sangat tidak teratur dengan kaki-kaki palsu yang terjulur
keseluruh arah, membran plasma yang melipat-lipat dan bertonjolan kecil-kecil. Keadaan
permukaan demikian itu membantu perluasan fagositosis dan gerakan sel. Sajian jaringan dari
hewan yang telah disuntik secara vital dengan karbon koloid atau zat warna koloid seperti
biru tripan menampakkan makrofag dengan kumpulan zat warna tadi dalam vakuol-vakuol
dalam sitoplasma.
Makrofag terutama berasal dari sel precursor dari sum-sum tulang, dari promonosit yang
akan membelah menghasilkan monosit yang beredar dalam darah. Pada tahap kedua monosit
berimigrasi kedalam jaringan ikat tempat mereka menjadi matang dan inilah yang disebut
makrofag (makro=besar+phagen=makan). Di dalam jaringan makrofag dapat berproliferasi
secara lokal menghasilkan sel sejenis lebih banyak. Pada penelitian yang terutama
menggunakan sel berlabel radioaktif mendapatkan bahwa kebanyakan bahkan mungkin
semua, sel fagostik ini berasal dari promonosit sel mononuclear yang berasal dari sum-sum
tulang. Jadi nama yang paling cocok untuk system ini adalah Sistem Fagosit. Pada penelitian
yang terutama menggunakan sel berlabel radio aktif, didapati bahwa kebanyakan bahkan
mungkin semua, sel fagostik ini berasal dari promonosi sel mononuklir yang berasal dari
sumsum tulang. Jadi nama yang paling cocok untuk system ini adalah Sistem Fagosit. Pada
penelitian yang terutama menggunakan sel berlabel ardio aktif, didapati bahwa kebanyakan
bahkan mungkin semua, sel fagositik ini berasal dari promonosi sel mononuklir yang berasal
dari sumsum tulang. Jadi nama yang paling cocok untuk system ini adalah Sistem Fagosit
Mononuklir atau lebih sederhana system makrofag. Sel-sel system makrofag terdapat pada:
1. Jaringan ikat Inggar berupa macrofag atau histiosit
2. Didalam darah berupa monosit
3. Didalam hati melapisi sinusoid dikenal sebagai sel Kupffer
4. Makrofag perivaskuler sinusod limpa, limfonodus, dan sum-sum tulang.
5. Pada susunan syaraf pusat berupa mikroglia yang berasal dari mesoderm.
3.3.3 Fungsi Makrofag
Karena sifat fagositik atau gerakan amuboidnya mereka aktif dalam pertahanan tubuh
terhadap mikroorganisme, memiliki reseptor untuk immunoglobihin pada membran selnya.
Makrofag mempunyai fungsi antara lain.
1. Fungsi utama adalah melahap partikel dan mencernakannya oleh lisozom dan
mengalarkan sederetan substansi yang berperan dalam fungsi pertahanan dan
perbaikan.
2. Dalam system imun tubuh sel ini berperan serta dalam mempengaruhi aktivitas dari
respon imun, mereka menelan, memproses dan menyimpan antigen dan
menyampaikan informasi pada sel-sel berdekatan secara imunologis compoten
(limposit dan sel plasma)
3. Macrofag yang aktif juga merupakan sel sektori yang dapat mengeluarkan beberapa
substansi penting, termasuk enzim-enzim, lisozim, elastase, kolagenase, dua protein
dari sistim komplemen dan gen anti virus penting, interveron.
Fagositosis sel makrofag terjadi secara bertahap dan mekanisme fagositosis
dipengaruhi oleh fakto eksentrik dan faktor intrinsic. Daya fagositosis maksimum
dicapai setelah 2 (dua) hari suntikan trypan blue. Hal berikutnya daya fagositosis sel
makrofag mulai berkurang.

Imunologi Mukosa
Sistem imunitas mukosa merupakan bagian sistem imunitas yang penting dan
berlawanan sifatnya dari sistem imunitas yang lain. Sistem imunitas mukosa lebih
bersifat menekan imunitas, karena hal-hal berikut; mukosa berhubungan langsung
dengan lingkungan luar dan berhadapan dengan banyak antigen yang terdiri dari
bakteri komensal, antigen makanan dan virus dalam jumlah yang lebih besar
dibandingkan sistem imunitas sistemik. Antigen-antigen tersebut sedapat mungkin
dicegah agar tidak menempel mukosa dengan pengikatan oleh IgA, barier fisik dan
kimiawi dengan enzim-enzim mukosa.
 Antigen yang telah menembus mukosa juga dieliminasi dan reaksi imun yang terjadi
diatur oleh sel-sel regulator. Hal ini untuk mencegah terjadinya respons imun yang
berlebihan yang akhirnya merugikan oleh karena adanya paparan antigen yang sangat
banyak. Sedangkan sistem imunitas sistemik bersifat memicu respons imun oleh karena
adanya paparan antigen.
 Sistem imunitas mukosa menggunakan beberapa mekanisme untuk melindungi pejamu
dari respons imunitas yang berlebihan terhadap isi lumen usus. Mekanisme yang dipakai
adalah barier fisik yang kuat, adanya enzim luminal yang mempengaruhi antigen diri
yang alami, adanya sel T regulator spesifik yang diatur fungsinya oleh jaringan limfoid
usus, dan adanya produksi antibodi IgA sekretori yang paling cocok dengan lingkungan
usus.
 Semua mekanisme ini ditujukan untuk menekan respons imunitas. Kelainan beberapa
komponen ini dapat menyebabkan peradangan atau alergi.

STRUKTUR SISTEM IMUNOLOGI MUKOSA


 Jaringan mukosa ditemukan di saluran napas bagian atas, saluran cerna, saluran genital
dan kelenjar mammae. Mekanisme proteksi terhadap antigen pada mukosa, terdiri dari:
membran mukosa yang menutupi mukosa dan enzim adalah perlindungan mekanik dan
kimiawi yang sangat kuat, sistem imun mukosa innate berupa eliminasi antigen dengan
cara fagositosis dan lisis, sistem imun mukosa adaptif dimana selain melindungi
permukaan mukosa juga melindungi bagian dalam badan dari masuknya antigen
lingkungan. Sistem imun lokal ini merupakan 80% dari semua imunosit tubuh pada orang
sehat. Sel-sel ini terakumulasi di dalam atau transit antara berbagai Mucosa-Assosiated
Lymphoid Ttisssue (MALT), bersama-sama membentuk sistem organ limfoid terbesar
pada mamalia.
 Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu; (i) melindungi membran
mukosa dari invasi dan kolonisasi mikroba berbahaya yang mungkin menembus masuk,
(ii) melindungi pengambilan (uptake) antigen-antigen terdegradasi meliputi protein-
protein asing dari makanan yang tercerna, material di udara yang terhirup dan bakteri
komensal, (iii) melindungi berkembangnya respons imun yang berpotensi merugikan
terhadap antigen-antigen tersebut bila antigen tersebut mencapai dalam tubuh. Sehingga
disini MALT menyeleksi mekanisme efektor yang sesuai dan mengatur intensitasnya
untuk menghindari kerusakan jaringan dan proses imun berlebih. Sistem MALT terlihat
sebagai suatu sistem imun kompartemenisasi yang bagus dan fungsi esensialnya berdiri
sendiri dari aparatus sistem imun. Secara fungsional, MALT terdiri dari dua komponen
yaitu jaringan limfoid mukosa terorganisir dan sistem imunologi mukosa tersebar.

Depiction of the human mucosal immune system. Inductive sites for mucosal immunity are
constituted by regional MALT with their B-cell follicles and M-cell (M)-containing follicle-
associated epithelium through which exogenous antigens are transported actively to reach
APCs, including DCs, macrophages, B cells, and FDCs. In addition, quiescent intra- or
subepithelial DCs may capture antigens at the effector site (exemplified by nasal mucosa in
the middle) and migrate via draining lymphatics to local/regional lymph nodes where they
become active APCs, which stimulate T cells for productive or downregulatory (suppressive)
immune responses. Naive B and T cells enter MALT (and lymph nodes) via HEVs. After
being primed to become memory/effector B and T cells, they migrate from MALT and lymph
nodes to peripheral blood for subsequent extravasation at mucosal effector sites (exemplified
by gut mucosa on the right). This process is directed by the local profile of vascular adhesion
molecules and chemokines, the endothelial cells thus exerting a local gatekeeper function for
mucosal immunity. The gut lamina propria contains few B lymphocytes but many J-chain-
expressing IgA (dimers/polymers) and IgM (pentamers) plasmablasts and plasma cells. Also,
there are normally some rare IgG plasma cells with a variable J-chain level (J), and many T
cells (mainly CD4+). Additional features are the generation of SIgA and SIgM via pIgR
(mSC)-mediated epithelial transport, as well as paracellular leakage of smaller amounts
(broken arrow) of both locally produced and plasma-derived IgG antibodies into the lumen.
There may also be some active transport of IgG mediated by the neonatal Fc receptor (not
indicated). Note that IgG cannot interact with J chain to form a binding site for pIgR. The
+
distribution of intraepithelial lymphocytes (mainly T-cell receptor / CD8+ and some /
+
T cells) is also depicted. The inset (lower left corner) shows details of an M cell and its
“pocket” containing various cell types. The cartoon is modified from Brandtzaeg and
Pabst1 with permission from Elsevier. APCs, antigen-presenting cells; DCs, dendritic cells;
FDCs, follicular dendritic cells; HEVs, high endothelial venules; MALT, mucosa-associated
lymphoid tissue; mSC, membrane secretory component; pIgR, polymeric Ig receptor; SIgA,
secretory IgA; SIgM, secretory IgM
RESPONS UMUM IMUNOLOGI MUKOSA
 Antigen yang berada di lumen diambil oleh sel epitelial abortif dan sel epitelial spesifik
(sel membran atau sel mikrofold atau sel M) di mukosa induktif, dibawa atau langsung
ditangkap oleh antigen-presenting cel (APC) profesional (APC terdiri dari; sel dendritik
(DC), sel limfosit B dan makrofag) dan dipresentasikan kepada sel-sel T konvensional αβ
CD4+ dan CD8+, semuanya berada pada tempat induktif. Beberapa antigen juga bisa
langsung diproses dan dipresentasikan oleh sel epitelial kepada sel T intraepitelial
tetangga (neighboring intraepithelial T cells) meliputi sel T dengan limited resevoire
diversity (sel T γδ dan sel NKT). Respons imun mukosa dipengaruhi oleh alamiah
antigen, tipe APC yang terlibat dan lingkungan mikro lokal. Dengan kebanyakan tipe
adalah antigen non patogen (protein makanan), jalur normal untuk sel dendritik mukosa
dan APC lain terlihat melibatkan sel T helper 2 dan respons berbagai sel T regulator,
biasanya hasilnya adalah supresi aktif imunitas sistemik, toleransi oral. Antigen dan
adjuvant, meliputi kebanyakan patogen, mempunyai motif disensitisasi oleh APC mukosa
sebagai pertanda bahaya (contoh; ligan toll-like reseptor (TLR)) disatu sisi dan kondisi
proinflamasi pada umumnya, menghasilkan respons imun yang lebih kuat dan luas, baik
sekresi hormonal maupun sisi efektor imunitaas seluler dan tidak menghasilkan toleransi
oral. Ini diasumsikan bahwa pengenalan patogen oleh TLR APC mukosa membedakan
dari respons pada flora komensal. Tetapi terakhir ditemukan bahwa pada kondisi normal,
bakteri komensal dapat dikenali oleh TLR, interaksi ini tampaknya suatu yang penting
untuk menjaga homeostasis epitel di usus.
 Sel B maupun sel T yang tersensitisasi, meninggalkan tempat asal dimana berhubungan
dengan antigen (contohnya plak payeri), transit melewati kelenjar limfe, masuk ke
sirkulasi, dan kemudian menempatkan diri pada mukosa terseleksi, umumnya pada
mukosa asal dimana mereka kemudian berdeferensiasi menjadi sel plasma dan sel
memori, membentuk IgA sekretori (Gambar 11-1). Afinitas sel-sel ini kelihatannya
dipengaruhi secara kuat oleh integrin pada tempat spesifik (homing reseptors) pada
permukaannya dan reseptor jaringan spesifik komplementari (adressin) pada sel endotel
kapiler. Pada penelitian terbaru mengindikasikan bahwa sel dendritik mukosa dapat
mempengaruhi properti homing . Sel dendritik dari plak payeri dan limfonodi mesentrik,
tetapi tidak sel dendritik dari limfa dan perifer, meningkatkan ekspresi reseptor homing
mukosa α4β7 dan reseptor CCR9, suatu reseptor untuk gut-assosiated chemokine sel T
memori dan sel T CD8+ memori, untuk lebih suka homing di epitel intestinal. Juga, sel
dendritikimprinting of gut homing specifity, terlihat terdiri dari retinoid acid yang
diproduksi oleh sel dendritik intestinal tetapi tidak oleh sel dendritik limfoid lain. Ini
mungkin bisa menjelaskan dugaan sistem imun mukosa umum dimana imunosit
teraktivasi pada suatu tempat menyebarkan imunitas ke jaringan mukosa jauh dari pada
oleh karena imunitas sistemik. Pada saat yang sama, oleh karena kemokin, integrin dan
sitokin terekspresi berbeda diantara jaringan mukosa, fakta tersebut juga bisa
menerangkan sebagian, mengapa didalam sistem imun mukosa, ada hubungan
kompartemenisasi khas dengan tempat mukosa terinduksi (contohnya usus dengan
glandula mamae dan hidung dengan saluran pernafasan dan genital).
 Adanya hubungan kompartemenisasi ini menjadi pertimbangan tempat diberikannya
imunisasi mukosa akan efek yang diharapkan. Imunisasi oral akan menginduksi antibodi
di usus halus (paling kuat di proksimal), kolon asenden, glandula mamae dan glandula
saliva tetapi tidak efektif menginduksi antibodi di segmen bawah usus besar, tonsil dan
genital wanita. Sebaliknya imunisasi perektal, akan menghasilkan respons antibodi yang
kuat di rektum tetapi tidak di usus halus dan colon proksimal. Imunisasi per nasal dan
tonsil akan memberikan respons antibodi di mukosa pernafasan atas dan regio sekresi
(saliva dan nasal) tanpa respons imun di usus, tetapi juga terjadi respons imun di mukosa
vagina seperti yang terlihat pada usaha imunisasi HIV. Penelitian pada tikus ditemukan
bahwa suntikan transkutan bisa menimbulkan efek imunitas di mukosa vagina.
Mekanisme efektor pada imunologi mukosa
 Selain mekanisme pembersihan antigen mekanis dan kimiawi, imuitas mukosa terdiri dari
sel lain berupa sistem imune innate yang meliputi netrofil fagositik dan makrofag,
denritik sel, sel NK (natural killer), dan sel mast. Sel-sel ini berperan dalam eliminasi
patogen dan inisisasi respons imun adaptif.
 Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan mukosa adalah suatu sistem
yang diperantarai antibodi IgA sekretori, kelas imunoglobulin predominan dalam sekresi
eksternal manusia. Imunoglobulin ini tahan terhadap protease sehingga cocok berfungsi
pada sekresi mukosa. Induksi IgA melawan patogen mukosa dan antigen protein terlarut
bergantung pada sel T helper. Perubahan sel B menjadi sel B penghasil IgA dipengaruhi
oleh TGF-β dan iterleukin (IL)10 bersama-sama dengan IL-4. Diketahui bahwa sel T
mukosa menghasilkan dalam jumlah yang banyak TGF-β, IL-10 dan IL-4, sel epitelial
mukosa menghasilkan TGF-β dan IL-10, menjadi petunjuk bahwa maturasi sel B
penghasil IgA melibatkan lingkungan mikro mukosa yaitu sel epitel dan limfosit T
tetangga
 Walaupun IgA predominan sebagai mekanisme pertahanan humoral, IgM dan IgG juga
diproduksi secara lokal dan berperan dalam mekanisme pertahanan secara signifikan. Sel
T limfosit sitolitik mukosa (CTL) mempunyai peran penting dalam imunitas pembersihan
patogen virus dan parasit intraseluler. Sel CTL ini juga akan terlihat setelah pemberian
imunisasi oral, nasal, rektal ataupun vaginal dan yang terbaru perkutaneus.

Mekanisme regulator pada imunologi mukosa


 Sistem imun mukosa telah mengembangkan berbagai cara untuk menjaga toleransi
terhadap antigen-self, antigen lingkungan pada mikroflora, antigen makanan dan material
udara terhirup. Tolerasi tersebut melalui mekanisme; aktifasi sel penginduksi kematian
(induce-cell death), anergi dan yang paling penting induksi sel T regulatori. Anergi
terhadap sel T antigen spesifik terjadi bila inhalasi atau menelan sejumlah besar protein
terlarut, dan penghilangan (deleting) sel T spesifik terjadi setelah pemberian antigen
dosis nonfisiologis, secara masif. Pada percobaan tikus sudah diketahui ada 4 sel T
regulator, yaitu; (i) antigen-induced CD4+ T helper 2 like cells yang memproduksi IL-4
dan IL-10, dan antagonis sel efektor T helper 1, (ii) sel CD4+CD45RBlowyang
memproduksi IL-10, (iii) sel CD4+ dan CD8+ yang memproduksi TGF-β (T helper 3),
(iv) Sel Treg (CD4+CD25+) yang mensupresi proliferasi melalui suatu sel contact-
dependent mechanism.
 Meskipun in vitro, sel yang terakhir dapat dikembangkan menjadi suatu bentuk sel
antigen spesifik in vivo setelah imunisasi. Sel ini bisa juga mengubah aktifitas supresor
pada sel CD4+ lain dengan cara menginduksi ekspresi dari transkripsi faktor Foxp3 dan
atau ikatan MHC klas II dengan molekul LAG-3 pada sel seperti infectious
tolerance. Mereka juga mempunyai hubungan langsung antara sel T inhibitor oleh Sel
Treg , T helper 3, sel Tr 1. Selanjutnya natural human CD4+CD25+ Treg mengekspresikan
integrin α4β7 mukosa, ketika bersama sel T CD4+ konvensional menginduksi sel T
sekresiTr 1 like IL 10 dengan aktifitas supresor kuat terhadap sel T efektor, dimana α4β1
Treg –positif lain memperlihatkan cara yang sama dengan cara menginduksi Thelper 3-like
TGF-β-secreting supressor T cells.
 Data dari studi terakhir mengindikasikan bahwa kesemua sel regulator yang berbeda
tipenya dan mekanismenya dapat diinduksi atau ditambah (expand) oleh adanya antigen
mukosa mengawali terjadinya toleransi perifer. (Sun et al). Sel T CD8+ γδ intraepitelial
mukosa respirasi dan usus juga dicurigai berperan dalam toleransi mukosa. Jadi,
mekanisme pertahanan mukosa dariautoagressive dan penyakit alergi melibatkan
berbagai tahap regulasi. Sedangkan aktivasi, survival dan ekspansi sel regulator ini
tampaknya dikontrol oleh jenis terspesialisasi APC, khususnya sel dendritik jaringan
spesifik meliputi sel dendritik di hati, plak payeri, mukosa intestinal dan paru.
(a) Bacteroides fragilis releases zwitterionic carbohydrates that enhance CD4+ T cell
development in the mammalian host. If the integrity of the intestinal mucosa is compromised
and B. fragilis invades submucosal tissues, abscess formation is induced by zwitterionic
carbohydrates. (b) Clostridium difficile, on the other hand, causes disease only when the
endogenous commensal flora is compromised, resulting in toxin-mediated damage (orange)
to epithelial cells. (c) Helicobacter pylori adheres to the surface of gastric epithelial cells,
inducing an inflammatory response that results in gastritis, peptic ulcers and, in some
circumstances, gastric cancer.
IMNITAS MUKOSA PADA MASING-MASING ORGAN
Folikel limfoid yang terisolir ditemukan tersebar di seluruh mukosa saluran napas, cerna, dan
urogenital.
 Sistem imunitas mukosa saluran napas Sistem imunitas mukosa saluran napas terdiri
dari nose-associated lymphoid tissue (NALT), larynx-associated lymphoid tissue (LALT),
and the bronchus-associated lymphoid tissue (BALT).1BALT terdiri dari folikel limfoid
dengan atau tanpa germinal center terletak pada dinding bronkus. Sistem limfoid ini
terdapat pada 100% kasus fetus dengan infeksi amnion dan jarang terdapat walaupun
dalam jumlah sedikit pada fetus yang tidak terinfeksi. Pembentukan jaringan limfoid
intrauterin ini merupakan fenomena reaktif dan tidak mempengaruhi prognosis.
 Respons imun diawali oleh sel M (microfold cells) yang berlokasi di epitel yang melapisi
folikel MALT. Folikel ini berisi sel B, sel T dan APC yang dibutuhkan dalam
pembentukan respons imun. Sel M bertugas untuk uptake dan transport antigen lumen
dan kemudian dapat mengaktifkan sel T. Sel APC dalam paru terdiri dari sel dendritik
submukosa dan interstitial dan makrofag alveolus. Makrofag alveolus merupakan 85%
sel dalam alveoli, dimana sel dendritik hanya 1%. Makrofag alveolus ini merupakan APC
yang lebih jelek dibandingkan sel dendritik. Karena makrofag alveolus paling banyak
terdapat pada alveolus, sel ini berperan melindungi saluran napas dari proses inflamasi
pada keadaan normal. Saat antigen masuk, makrofag alveolus akan mempengaruhi
derajat aktivitas atau maturasi sel dendritik dengan melepaskan sitokin. Sel dendritik
akan menangkap antigen, memindahkannya ke organ limfoid lokal dan setelah melalui
proses maturasi, akan memilih limfosit spesifik antigen yang dapat memulai proses imun
selanjutnya
 Setelah menjadi sel memori, sel B dan T akan bermigrasi dari MALT dan kelenjar
limfoid regional menuju darah perifer untuk dapat melakukan ekstravasasi ke efektor
mukosa. Proses ini diperantarai oleh molekul adesi vaskular dan kemokin lokal,
khususnya mucosal addressin cell adhesion molecule-1 (MAdCAM-1). Sel T spesifik
antigen adalah efektor penting dari fungsi imun melalui sel terinfeksi yang lisis atau
sekresi sitokin oleh Th1 atau Th2. Perbedaan rasio atau polarisasi sitokin ini akan
meningkatkan respons imun dan akan membantu sel B untuk berkembang menjadi sel
plasma IgA.
 Sistem imunitas mukosa saluran cernaLuas permukaan saluran cerna mencapai hampir
400m2 dan selalu terpajan dengan berbagai antigen mikroba dan makanan sehingga dapat
menerangkan mengapa sistem limfoid saluran cerna (gut associated lymphoid tissue
/GALT) memegang peranan pada hampir 2/3 seluruh sistem imun. Pertahanan mukosa
adalah struktur komplek yang terdiri dari komponen selular dan non selular. Pertahanan
yang paling kuat masuknya antigen ke jaringan limfoid mukosa adalah adanya enzim
yang terdapat mulai dari mulut sampai ke kolon. Enzim proteolitik di dalam lambung
(pepsin, papain) dan usus halus (tripsin, kimotripsin, protease pankreatik) berfungsi untuk
digesti. Pemecahan polipeptida menjadi dipeptida dan tripeptida bertujuan agar dapat
terjadi proses digesti dan absorpsi bahan makanan, dan membentuk protein imunogenik
yang bersifat nonimun(peptida dengan panjang asam amino <8-10 bersifat imunogenik
yang buruk). Efek protease berlipat ganda dengan adanya garam empedu yang memecah
karbohidrat dan akan didapatkan suatu sistem yang poten untuk meningkatkan paparan
antigen(Ag). Kadar pH yang sangat rendah di dalam lambung dan usus halus dan produk
bakteri di dalam kolon berfungsi sebagai respons imun terhadap antigen oral. Sebagian
besar respons imun ini berfungsi melindungi manusia dari bahann patogen. Perubahan
untuk merespons atau menekan respons imun berhubungan dengan cara antigen masuk ke
dalam tubuh. Patogen invasif (yang merusak pertahanan) memicu respons agresif,
sedangkan untuk kolonisasi luminal dibutuhkan yang lebih bersifat respons toleran.
 Komponen utama pertahanan tubuh adalah produk gen musin. Glikoprotein musin
melapisi permukaan epitel dari rongga hidung/orofaring sampai ke rektum. Sel goblet
yang menghasilkan mukus secara kontinu memberikan pertahanan yang kuat pada
persambungan epitel. Partikel, bakteri dan virus menjadi terperangkap dalam lapisan
mukus dan akan dikeluarkan dengan proses persitaltik. Pertahanan ini mencegah patogen
dan antigen masuk ke bagian bawah epitel, disebut proses eksklusi nonimun. Musin juga
berfungsi sebagai cadangan IgA. Antibodi ini berasal dari epitel dan dikeluarkan ke
dalam lumen.
 Antibodi sIgA terdapat dalam lapisan mukus berikatan dengan bakteri/virus dan
mencegah menempel pada epitel. Hubungan faktor-faktor, disebut sebagai faktor trefoil,
membantu memperkuat pertahanan dan memicu pemulihannya bila terdapat defek. Tidak
adanya produk gen musin atau faktor trefoil, manusia menjadi lebih rentan terhadap
inflamasi dan kurang mampu memperbaiki kerusakan barier. Apakah defek tersebut
berperan pada pasien dengan alergi makanan masih dalam penelitian.
 Lapisan barier berikutnya adalah sel epitel. Bersama-sama dengan persambungan bagian
apeks dan basal yang kuat, membran dan ruang antara sel membatasi masuknya
makromolekul yang besar. Namun demikian, persambungan yang kuat ini masih
mungkin dilalui oleh di- dan tripeptida serta oleh ion-ion tertentu. Pada keadaan
inflamasi, persambungan ini menjadi kurang kuat sehingga makromolekul dapat masuk
ke dalam lamina propria, contohnya respons terhadap antigen makanan atau masuknya
mikroorganisme lumen. Pada keadaan ini, antigen makanan akan menjadi antigen asing,
dimana pada individu yang memiliki bakat alergi akan menginduksi proses alergi
menjadi berlanjut.
 Sel epitel usus dapat memproses sebagian antigen lumen dan mempresentasikannya ke
sel T dalam lamina propria. Dalam keadaan normal, interaksi ini menyebabkan aktivasi
selektif sel T CD8+ regulator. Pada penyakit tertentu (contohnya inflammatory bowel
disease), aktivasi beberapa sel rusak sehingga menyebabkan inflamasi menetap. Pada
alergi makanan, alergen yang menembus epitel akan menempel pada sel mast mukosa .
 Sel T yang teraktivasi dalam Peyer’s patch setelah paparan dengan antigen disebut
sebagai Th3. Sel ini berfungsi mengeluarkan transforming growth factor-β, memicu sel B
untuk menghasilkan IgA dan berperan pada terjadinya toleransi oral (aktivasi antigen
spesifik non respons terhadap antigen yang masuk per oral).
 Sel T regulator yang paling baru dikenal adalah dengan fenotip CD4+ CD25+
CD45RA+. Sel ini awalnya dikenal pada gastritis autoimun dan berfungsi menghambat
kontak antar sel dan dapat menyebabkan kelainan autoimun pada neonatus yang
mengalami timektomi.

Imunoglobulin A sekretori pada saluran cerna


Antibodi IgA adalah antibodi yang tidak dapat berikatan dengan komplemen (yang dapat
memicu respons inflamasi) dan berfungsi utama sebagai inhibitor penempelan bakteri/virus
ke epitel. Antibodi IgA dapat menggumpalkan antigen, menjebaknya dalam lapisan mukus
dan membantu mengeluarkannya dari tubuh (Gambar 11-4). Antibodi IgA sekretorik
dilindungi oleh sel epitel dari protease lumen dengan diproduksinya komponen sekretori
yaitu glikoprotein. Molekul ini menutupi bagian Fc dari antibodi dimer dan melindunginya
dari proses proteolitik. Sistem IgA tidak akan matur sebelum usia 4 tahun sehingga pada
umur tersebut dapat terjadi peningkatan respons imun terhadap antigen makanan. IgA
sekretorik dari ASI dapat memberikan imunisasi pasif dalam menghadapi patogen dan
berperan menjadi barier bagi neonatus. IgE tidak ditemukan dalam saluran cerna karena
mudah dipecah oleh protease lambung dan usus halus. Pada alergi makanan harus terdapat
IgE dalam saluran cerna. Hal ini dapat terjadi karena adanya antigen yang melewati barier
mukosa dan mempresentasikannya ke sel mast.

Flora komensal pada saluran cerna


Komponen terakhir dari MALT adalah flora komensal yang berperan membentuk kumpulan
imunologi dari sistem imun mukosa usus. Flora komensal diperkirakan ada 1012-1014
bakteri per gram jaringan kolon. Flora ini menguntungkan manusia karena membantu digesti,
memicu pertumbuhan dan diferensiasi sel epitel, memproduksi vitamin, dll. Bila ada
penyakit, flora dapat terpengaruh dan terjadi pertumbuhan berlebihan dari strain yang kurang
dapat ditoleransi, contohnya pada kolitis pseudomembran akibat Clostridium difficile. Flora
komensal normalnya dapat menjaga keseimbangan spesies bakteri ini. Pada beberapa kasus,
flora normal dapat dikembalikan dengan pemberian probiotik.

 Sistem imunitas mukosa saluran genital Secara umum, sistem imun mukosa di saluran
genital sama dengan yang terjadi di saluran pernafasan ataupun gastro intestinal. Pada
mukosa genital wanita, terjadi keseimbangan yang baik antara imunotoleransi terhadap
antigen asing di dalam sperma/fetus dan kebutuhan imunitas lokal melawan patogen. Ada
perbedaan epitel vagina berupa epitel terstratifikasi yang lebih berespons terhadap
kemokin dan sitokin dan epitel endoserviks yang kolumnar yang berespons terhadap
sitokin serupa dengan pada saluran nafas dan pencernakan. Ini kemungkinan adanya
keperluan endoserviks harus relatif steril terhadap patogen.
 Berbagai macam patogen bisa melewati mukosa genital yang menyebabkan sakit. Disini
peran imunitas mukosa sangat penting. Seperti yang terlihat pada infeksi Human
papilomavirus (HPV) di genital. Dari penelitian terbukti bahwa eradikasi virus HPV
tersebut lebih oleh karena proses seluler dari pada proses humoral. Protein awal HPV
yang berfungsi untuk replikasi dan proliferasi dikenali oleh sel T antigen-spesifik.
Respons ini tergandung dari tingkat lesi dan kemungkinan onkogenik oleh infeksi HPV.
Infeksi alam HPV sangat lambat dan tidak imunogenik karena sedikit sekali
dipresentasikan ke sel dendritik profesional dan tidak menimbulkan reaksi inflamasi serta
mempunyai jalur yang berbeda pada respons imun terhadap virus. Sedangkan sekresi IgA
di mukosa vagina terlihat lemah, sehingga seakan-akan terjadi defisiensi imun relatif
terhadap HPV. Padahal HPV ini punya potensi untuk menjadikan kanker serviks. Untuk
itu khusus HPV perlu diklarifikasi mekanismenya sehingga bisa dibuat suatu vaksin
untuk HPV.
 Terhadap virus herpes simplek (HSV), mukosa vagina memberikan efek protektif respons
imun innate berupa; (i) sekresi protein, komplemen dan defensin, (ii) respons awal
terhadap virus oleh sel epitel dan sel dendritik khas ditandai dengan produksi interferon,
yang selanjutnya mengawali respons imun adaptif, (iii) rekruitmen sel efektor seperti
neutrofil, makrofag dan sel NK. Sekali partikel virus HSV2 mencoba menginfeksi
mukosa vagina, dihadapkan pada mekanisme pertahanan berupa; mukus, flora normal
bakteri, pH asam dan berbagai sekresi protein. Mukosa genital kaya akan substansi
seperti defensin, secretory leucocyte protease inhibitor (SLPI), laktoferin, surfaktan,
lisosim dan lainnya meskipun komplemen adalah yang paling sebagai innate protein.
RM : merup pintu masuk utama mo
* Jaringan RM : kategori barier anatomi & fisiologi => fs : Sistem pertahanan thd kuman
patogen a.l. :
- membran mukosa, jar limfoid rm,
- kel air liur/saliva, celah gusi/sulkus gv
* Barier : epitel, aliran air liur, anatomi gigi, pertahanan seluler, imunitas humoral (Ab dlm
saliva & cairan sulkus gv
* Penurunan fungsi faktor2 tsb => bakteri oportunis => bakteri patogen
KOMPONEN JARINGAN
1. Membran mukosa
* berlapis - lapis
* jar lunak RM => epitel skuamosa :
- btknya sbg barier mekanik
- mekanisme : tgt
" deskuamasi yg konstan => bakteri sulit melekat
" keratinisasi => efisien sbg barier
* dlm lamina propria dekat membran basal : tdp sel limfoid & Ab
2. Jar Limfoid RM
* tonsil palatal, lingual, faringeal : merup. massa limfoid
* mgd byk sel B & sel T : fs pengawasan resp. imun.
3. Kel. Air liur/ Saliva
* mgd sel plasma & limfosit, m‟prod IgA : dlm btk sIgA
4. Saliva
* disekresi o/ kel saliva (parotis, submandibula, submaksila, bbrp kel kecil) : 500mL/hari
* peningkatan/penurunan pH => mempengaruhi frek. karies, p‟kembangbiakan mo
* flow : pembersih, pelumas otot
* mgd : sIgA, laktoferin (dr sulkus : IgG, IgM, C3 leukosit – 1jt/mnt)
5. Celah Gusi/Sulkus Gv
* komponen seluler & humoral dr darah keluar melewati junctional ep. dlm btk cairan sulk.
gv
* flow : fisiologis or resp. infl => blm pasti
KOMPONEN SELULER dan HUMORAL SI-RM
Æ komponen seluler :
- PMN neutrofil, makrofag,
- sel T, sel B
Æ komponen humoral :
- sIgA (200mg/L/hari),
- IgG (1,4mg/dL),
- IgM (0,2mg/dL) , C
Fs sIgA :
 mencegah transfer Ag lewat perm mukosa
 mencegah p‟lekatan S.sanguis di perm.epitel
 mencegah p‟btkan plak gigi : m‟hambat p‟btkan glukan dr sukrosa o/ S.mutans
(m‟cegah karies)
Gingivitis, kel. periodontal : komp. imun humoral meningkat => proses fagositosis tjd dlm
sulkus gv

Anda mungkin juga menyukai