4.1 PENGANTAR
Larutan merupakan suatu bagian terpenting dari ilmu kimia. Banyak reaksi kimia berlangsung
dalam larutan. Dalam ilmu kimia pengertian larutan tidak terbatas hanya pada materi yang berupa cairan.
Oleh karena itu harus dapat dikenal dengan pasti, apakah suatu cuplikan materi itu larutan atau bukan.
Dalam modul ini akan dipelajari beberapa sifat larutan yang dipengaruhi oleh konsentrasi zat
terlarut. Oleh karena itu akan dibahas cara-cara menyatakan konsentrasi. Dengan singkat proses pelarutan
dibahas dengan perubahan energi yang terjadi. Dalam membahas sifat larutan diperkenalkan hukum
Raoult sebagai pengantar sifat-sifat koligatif, dan untuk mempelajari elektrolit diperkenalkan pengertian
daya hantar larutan.
B. Konsentrasi
Konsentrasi suatu larutan adalah jumlah zat terlarut dalam sejumlah tertentu larutan atau sejumlah
tertentu pelarut. Ada beberapa sistem kuantitatif untuk menyatakan konsentrasi antara lain:
Persen berat larutan (% berat)
Persen berat larutan adalah jumlah bagian berat zat terlarut yang terdapat dalam 100 bagian berat
larutan.
% berat larutan = x 100
Persen volume (% volume)
Persen volume larutan adalah jumlah bagian volume zat terlarut yang terdapat dalam 100 bagian
volume larutan.
% volume larutan = x 100
Fraksi Mol Larutan, x
Fraksi mol (x) suatu komponen dari larutan adalah jumlah mol komponen itu dibagi jumlah mol
semua komponen dalam larutan
Fraksi mol A = xA =
Jumlah fraksi mol semua komponen sama dengan satu
Kemolaran (M)
Konsentrasi molar adalah jumlah mol zat terlarut dalam satu liter larutan.
Kemolaran = M =
Kemolaran = M =
Kemolalan (m)
Kemolalan suatu larutan adalah jumlah mol zat terlarut dalam 1000 g pelarut
Kemolalan = m =
Kenormalan (N)
Kenormalan (N) =
=
Bagin per sejuta (ppm)
Konsentrasi larutan yang sangat encer biasanya dinyatakan dengan “parts per million” atau ppm
(bagian per sejuta).
ppm = x 106
Bila pelarutnya air dan jumlah zat terlarut sangat sedikit sehingga kerapatan larutan dapat
dianggap 1,00 g/mL, maka
ppm = =
Kadang-kadang dijumpai konsentrasi yang dinyatakan dengan cara lain yang tersebut di atas yaitu
secara empirik yaitu: gram zat terlarut per milliliter larutan, gram zat terlarut per 100 mL larutan, gram
zat terlarut per liter larutan , gram zat terlarut 100 gram air dan lain-lain.
C. Hukum Raoult dan Sifat Koligatif Larutan Non Elektrolit
C.1 Hukum Raoult
Larutan Ideal
Suatu larutan yang terdiri dari dua komponen A dan B adalah larutan ideal jika tidak terjadi
penyerapan atau pembebasan energi jika kedua komponen itu dicampurkan. Kecenderungan untuk
molekul-molekul meninggalkan cairan atau larutan dan masuk ke fasa uap ditentukan oleh tekanan uap di
atas cairan atau larutan. Menurut hukum Raoult tekanan uap yang disebabkan oleh pelarut berbanding
lurus dengan fraksi mol pelarut.
p = P0 x1, di mana p = tekanan uap larutan, P0 = tekanan uap pelarut dan x1 =
fraksi mol pelarut. Hukum Raoult ini berlaku untuk larutan ideal.
Jika dua cairan yang dapat menguap bercampur dan terbentuk larutan ideal maka larutan ini akan
mengikuti juga hukum Raoult. Untuk komponen 1, berlaku:
P1 = x1 , di mana P1 = tekanan uap parsial komponen 1, x1 = fraksi mol komponen 1 dan =
tekanan uap komponen 1 murni. Untuk komponen 2, berlaku: P2 = x2 , di mana P2 = tekanan uap
parsial komponen 2, x2 = fraksi mol komponen 2 dan = tekanan uap komponen 2 murni.
Tekanan uap total dari larutan adalah: PT = P1 + P2
Seperti terlihat pada Gambar 4.1 campuran benzene dan toluene mengikuti hukum Raoult.
Aluran masing-masing tekanan uap (benzene, toluene dan total) terhadap fraksi mol merupakan garis
lurus.
Komposisi campuran cairan tidak sama dengan komposisi uapnya dalam keadaan
kesetimbangan. Misalnya campuran yang fraksi mol benzene, x1, 0,30, dan fraksi mol toluene , x2, adalah
0,70. Dari grafik terbaca bahwa pada 20 0C dan x1 = 1, tekanan uapnya 75 mmHg sedangkan x2 = 1,
tekanan uapnya 22 mmHg.
Dengan demikian, = 75 mmHg dan = 22 mmHg
Sehingga
P1 = x1 = 0,30 x 75 mmHg = 22,50 mmHg
P2 = x2 = 0,70 x 22 mmHg = 15,40 mmHg
PT = P1 + P2 = 37,90 mmHg
x fraksi mol
Gambar 4.1 Tekanan uap sebagai fungsi fraksi mol benzene–toluene.
Fraksi mol benzene dan toluene dalam uap
x1 = = = 0,60
x2 = = = 0,40
Dari perhitungan di atas terlihat bahwa uap lebih banyak mengandung benzene, dan lebih sedikit
mengandung toluene dari pada dalam cairan. Pada umumnya, jika suatu larutan ideal berada dalam
keadaan kesetimbangan uapnya, maka uapnya selalu mengandung lebih banyak komponen yang lebih
mudah menguap dari pada dalam cairan. Fakta ini dapat digunakan untuk memisahkan komponen-
komponen dalam suatu campuran.
Suatu campuran yang mula-mula mengandung 30% benzene dan 70% toluene, maka uapnya mengandung
60% benzene dan 40% toluene. Andaikan campuran uap ini diembunkan menjadi cairan kemudian
diuapkan sehingga berada dalam keadaan kesetimbangan dengan uapnya, maka komposisi uap yang
kedua ini ialah
x1 = 83,6 % dan x2 = 16,4%
Uap yang kedua mengandung lebih banyak benzene, dan jika terus diulangi cara ini akhirnya dapat
diperoleh benzene yang murni. Cara ini merupakan prinsip dari penyulingan bertingkat.
Larutan Non Ideal
Jika pada pencampuran dua cairan timbul kalor atau kalor diserap, maka larutan ini tidak
mengikuti hukum Raoult dan disebut larutan non ideal. Jika klorofrom, CHCl3 dan aseton, CH3COCH3
dicampurkan akan timbul kalor. Pada campuran ini tarik menarik antara kedua molekul yang berbeda
lebih besar dari pada tarik menarik antara molekul yang sama, di mana terjadi tarik menarik antara
molekul klorofrom dan aseton karena terbentuk ikatan hidrogen.
Pembentukan ikatan hidrogen menyebabkan tekanan uap dari setiap komponen lebih rendah dari
pada tekanan uap yang dihitung dari Hukum Raoult. Dalam hal semacam ini terjadi penyimpangan
negatif Hukum Raoult.
Gambar. 4.2 Deviasi negatif hukum Raoult
Jika dalam larutan molekul-molekul lebih cenderung untuk menguap, sehingga tekanan uapnya
lebih besar dari pada tekanan uap yang dihitung dengan hukumRaoult, maka dalam hal ini terjadi
penyimpangan positif dari hukum Raoult. Penyimpangan positif biasanya diperoleh jika dicampurkan
suatu cairan yang molekulnya mempunyai momen dipol besar dengan cairan yang mempunyai momen
dipol kecil atau nol.
Ketika kedua cairan dicampurkan maka tarikan yang kuat antara molekul polar diganti dengan
tarikan yang lemah antara molekul polar dan molekul non polar. Suatu contoh dari sistem ini adalah
campuran antara aseton dan karbon disulfida CS2.
=
Jika beberapa zat terlarut dilarutkan dalam satu pelarut maka penurunan tekanan uap:
∆ p = P (x1 + x3 + x4 + … )
Dari data penurunan tekanan uap, dapat ditentukan massa molekul relatif suatu zat. Jika n1 =
jumlah mol zat pelarut, n2 = jumlah mol zat terlarut, m1 berat pelarut, m2 berat zat terlarut, M1 massa
molekul relatif pelarut, M2 massa molekul zat terlarut, dan untuk larutan yang sangat encer x2 sangat kecil
dari x1, maka
X2 =
∆p = P = x P
M2 = x
Kenaikan titik didih dan penurunan titik beku
Akibat langsung dari penurunan tekanan uap ialah kenaikan titik didih dan penurunan titik beku.
Suatu larutan zat terlarut yang tidak menguap mendidih pada suhu yang lebih tinggi dan membeku pada
suhu yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pelarut murni. Misalnya suatu larutan 18,0 g glukosa,
C6H12O6 dalam 100 g air pada 1 atm mendidih pada 100,520 dan membeku pada -1,860C. Untuk
mempelajari hal ini digunakan pengertian kenaikan titik didih, ∆Tb, dan penurunan titik beku, ∆Tf.
∆Tb = titik didih larutan - titik didih pelarut murni
∆Tf = titik beku pelarut murni – titik beku larutan.
Untuk larutan glukosa di atas
∆Tb = 100,520C - 100,000C = 0,520C
∆Tf = 0,000C - (-1,860C) = 1,860C
Telah ditemukan bahwa pada tekanan tetap, kenaikan titik didih dan penurunan titik beku suatu larutan
encer berbanding lurus dengan konsentrasi. Untuk semua larutan encer dari zat terlarut yang tidak
mengion dengan konsentrasi yang sama mempunyai titik didih atau titik beku yang sama pada tekanan
yang sama. Hubungannya dengan konsentrasi dapat dinyatakan dengan:
∆Tb = Kb m
∆Tf = Kf m
Kb = tetapan kenaikan titik molal atau tetapan ebulioskopik, Kf = tetapan penurunan titik beku molal atau
tetapan krioskopik. Kb dan Kf dapat diperoleh dari penurunan data termodinamika dan eksperimen. Dari
data kenaikkan titik didih dan penurunan titik beku dapat ditentukan massa molekul relatif suatu senyawa.
∆Tb = Kb m
m =
Jika m1 = massa pelarut dalam gram, m2 = massa zat terlarut dalam gram, M1 = massa molekul relatif
pelarut dan M2 = massa molekul relatif zat terlarut, maka:
Mol =
M = x
∆Tb = Kb x x
Jadi, atau
Tekanan Osmotik
Penerobosan pelarut melalui suatu membran dan masuk ke dalam larutan disebut osmosis. Pada
suatu saat tercapai suatu tekanan yang tepat yang menghentikan penerobosan pelarut itu. Tekanan ini
disebut tekanan osmotik, . Seperti halnya dengan penurunan tekanan uap, kenaikan titik didih dan
penurunan titik beku, tekanan osmotik adalah sifat koligatif. Pfeffer telah melakukan percobaan dan telah
menemukan pengaruh konsentrasi dan pengaruh suhu terhadap tekanan osmotik. Pada suhu konstan,
tekanan osmotik suatu larutan encer berbanding lurus dengan konsentrasi. ≈ C. Untuk zat terlarut
dengan massa tertentu, konsentrasi berbanding terbalik dengan volume, V, larutan. Hal ini mirip dengan
hukum Boyle tentang gas ideal
≈ V = tetap (T tetap)
Selanjutnya untuk larutan tertentu, tekanan osmotik berbanding lurus dengan suhu absolut, ≈ T. Hal ini
mirip dengan hukum Charles tentang gas ideal. Jika kedua hasil ini digabungkan akan diperoleh
V =kT
( k adalah tetap untuk zat terlarut dengan massa tertentu).
Pada tahun 1885 van’t Hoff menyimpulkan bahwa ada hubungan antara sifat larutan dan sifat gas. Seperti
halnya pada hukum gas PV = nRT, maka dapat digunakan
V = n2RT
Oleh karena C = n2/V, maka dapat dituliskan
=CRT
R adalah sama dengan tekanan gas.
Analogi dengan sifat, dapat disimpulkan bahwa, suatu larutan sebanyak 22,4 L yang mengandung satu
mol zat terlarut, pada suhu 0 0C mempunyai tekanan osmotik 1 atm. Kadang-kadang pada perhitungan
tekanan osmotik lebih praktis untuk menggunakan rumus
=
1, C1, T1, adalah tekanan osmotik, konsentrasi dan suhu pada suatu keadaan (misalnya keadaan awal)
dan 2, C2, T2, adalah tekanan osmotik, konsentrasi dan suhu pada suatu keadaan lain (misalnya keadaan
akhir)
E1
MX(s) M+ (aq) + X- (aq)
E2 E3
M+(g) + X-(g)
Dalam hal ini:
E1 = E2 + E3
Hlar = Ek + Hsolv
Suatu sistem yang menuju ke suatu keadaan yang stabil harus melepaskan energi. Oleh karena itu
makin negatif harga Hsolv, makin mudah melarut senyawa ion itu. Oleh karena diperlukan energi untuk
penguraian kristal menjadi ion berupa gas harga Ek selalu positif, maka energi hidrasi harus cukup negatif
agar proses pelarutan dapat terjadi.
Energi kristal tidak bergantung pada tetapan dielektrik. Akan tetapi , energi solvasi menjadi lebih
negatif jika kepolaran dan dengan demikain tetapan dielektrik pelarut bertambah. Hal ini dapat dilihat dari
persamaan Born, yaitu
Hsolv = - (1 - )
Dimana Zk dan Za adalah muatan kation dan anion, e adalah muatan elektron, r adalah jarak antara ion,
dan adalah tetapan dielektrik dari medium. Oleh karena Za = -Zk, Hsolv adalah suatu besaran negatif dan
jika bertambah Hsolv menjadi lebih negatif. Oleh karena itu senyawa ion lebih mudah melarut dalam
pelarut dengan tetapan dielektrik besar.
Hasil penelitian pada awal abad ke-19 menunjukkan bahwa larutan dalam air dari beberapa zat
padat menghantar listrik. Zat-zat yang dalam larutan atau leburannya dapat menghantar lisrtik disebut
elektrolit. Tidak semua zat dalam larutan dapat menghantar listrik. Zat-zat semacam ini disebut non
elektrolit. Partikel-partikel dalam larutan yang menghantar listrik disebut ion. Ion-ion inilah yang
menentukan sifat hantaran listrik serta sifat kimia dan fisika suatu elektrolit.
Ion-ion dalam larutan elektrolit dapat dihasilkan dengan dua cara :
1. Zat terlarut adalah senyawa ion seperti NaCl
NaCl(s) + air Na+(aq) + Cl-(aq)
2. Zat terlarut bukan senyawa ion tetapi jika dilarutkan dalam air, zat itu menghasilkan ion. Dalam hal
ini air dapat menguraikan molekul kovalen polar seperti HCl menjadi ion
HCl (g) + air H+ (aq) + Cl- (aq)
Ada dua macam elektrolit yaitu elektrolit kuat dan elektrolit lemah. Elektrolit kuat terurai
sempurna menjadi ion dalam larutan air atau dalam keadaan lebur. Yang termasuk elektrolit kuat yaitu
a) Senyawa ion, yang dalam keadaan padat berupa ion
b) Senyawa kovalen yang bereaksi sempurna dengan air membentuk ion, misalnya HCl
Derajat disosiasi, , yaitu fraksi dari molekul terurai adalah satu, 100% terurai. Zat-zat yang
termasuk elektrolit kuat ialah asam mineral (asam klorida, asam sulfat, asam nitrat), basa dan leburan atau
larutan dalam air. Elektrolit lemah, hanya sedikit sekali terurai menjadi ion dalam larutan dalam air.
Elektrolit ini terutama senyawa kovalen yang sedikit sekali bereaksi dengan air membentuk ion. Oleh
karena itu elektrolit lemah adalah penghantar lisrtik yang buruk dan mempunyai derajat disosiasi kecil.
R=ρ
Dimana ρ = tahanan jenis, yaitu tahanan konduktor yang panjangnya 1 cm dan luas penampang 1 cm2, 1 =
panjang konduktor (cm), a = luas penampang konduktor (cm2).
Dalam larutan digunakan istilah daya hantar dan daya hantar jenis. Jika R adalah tahanan listrik
dinyatakan dalam Ohm, disebut hantaran dinyatakan dalam ohm-1 atau mho atau Siemen (S). Jika ρ
adalah tahanan jenis, maka 1/ρ adalah daya hantar jenis atau singkatnya daya hantar yang dinyatakan
dalam ohm-1 cm-1 atau mho cm-1 atau Siemen cm-1. Daya hantar suatu larutan elektrolit dapat dihitung
dari pengukuran tahanan dalam suatu sel, yang mempunyai suatu tetapan sel.
R=
I = = =
Dimana ( Tb)0, ( Tf)0 dan ( ) 0 adalah kenaikan titik didih, penurunan titik beku, dan tekanan osmotik
untuk larutan non elektrolit dengan konsentrasi yang sama.
Andaikan suatu zat terlarut A dalam larutan air mengion menghasilkann ion untuk setiap molekul
dan adalah derajat ionisasi. Setelah mencapai kesetimbangan terdapat (1- + n ) partikel yang akan
mempengaruhi sifat koligatif. Oleh karena itu
=
= = =
Hubungan antara derajat ionisasi dapat diturunkan sebagai berikut:
i =
i = 1 - +n
I - 1 = n - = (n - 1 )
=
= derajat ionisasi, i = faktor van’t Hoff, dan n = jumlah ion yang dapat terbentuk dari ionisasi
Contoh Soal
1. Hitung kenormalan larutan yang mengandung 36,75 g H2SO4 dalam 1,5 liter larutan. Massa molekul
relatif H2SO4 = 98.
Jawab:
Massa ekivalen = x 98 = 49
Kenormalan = = 0,50 N
2. Hitung kemolaran ion Na+ yang terdapat dalam larutan NaCl 30 ppm.
Jawab:
30 ppm NaCl = 30 mg NaCl/L
Na+ = = 5,13 x 10-4 M