Anda di halaman 1dari 48

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Sectio Caesarea

2.1.1 Pengertian

Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan dengan membuat

sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut. (amru

sofian,2012). Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin

dengan membuat sayatann pada dinding uterus melalui dinding depan

perut atau vagina (Mochtar, 1998 dalam Siti, dkk 2013)

2.1.2 Etiologi

1. Etiologi yang berasal dari ibu

Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, primi para tua

disertai kelainan letak ada, disproporsi sefalo pelvik (disproporsi

janin / panggul ), ada sejarah kehamilan dan persalinan yang

buruk, terdapat kesempitan panggul, Plasenta previa terutama pada

primigravida, solutsio plasenta tingkat I – II, komplikasi

kehamilan yang disertai penyakit ( jantung, DM ). Gangguan

perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri, dan

sebagainya).

2. Etiologi yang berasal dari janin

fetal distress / gawat janin, mal presentasi dan mal posisi

kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil,

8
9

kegagalan persalinan vakum atau forceps ekstraksi. (Nurarif &

Hardhi, 2015).

2.1.3 Patofisiologi

Terjadi kelainan pada ibu dan kelainan pada janin menyebabkan

persalinan normal tidak memungkinkan dan akhirnya harus

diilakukan tindakan Sectiocaesarea, bahkan sekarang Sectiocaesarea

menjadi salah satu pilihan persalinan (Sugeng, 2010).

Adanya beberapa hambatan ada proses persalinan yyang

menyebabkan bayi tidak dapat dilahirkan secara normal, misalnya

plasenta previa, rupture sentralis dan lateralis, pannggul sempit, partus

tidak maju (partus lama), pre-eklamsi, distokksia service dan mall

presentasi janin, kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu

tindakan pembedahan yaitu Sectiocaesarea (SC). Dalam proses

operasinya dilakukan tindakan yang akan menyebabkan pasien

mengalami mobilisasii sehingga akan menimbulkan masalah

intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan

fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan aktifitas

perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah deficit

perawatan diri. Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan,

penyembuhan dan perawatan post operasi akan menimbulkan masalah

ansietas pada pasien. Selain itu dalam proses pembedahan juga akan

dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga

menyebabkan inkontinuitas jaringan, pembuluh darah dan saraf-saraf

di daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan


10

prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri. Setelah semua

proses pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan

menimbulkan luka post operasii, yang bila tidak dirawat dengan baik

akan menimbulkan masalah resiko infeksi

2.1.4 Resiko kelahiran Sectio Caesarea

Melahirkan dengan cara Sectiocaesarea sudah populer. Namun

demikian, demikian, secara obyektif kita perlu menimbang untung dan

ruginya adapun resiko Sectiocaesarea adalah :

1. Resiko jangka pendek

a. Terjadi infeksi

Infeksi luka akibat persalinan Sectiocaesarea beda dengan luka

persalinan normal . luka persalinan normal sedikit dan mudah

terlihat, sedangkan luka Cesar lebih besar dan berlapis-lapis.

Ada sekitar 7 lapisan mulai dari kulit perut sampai dinding

Rahim, yang setelah operasi selesai, masing-masing lapisan

dijahit tersendiri. Jadi bisa ada 3 sampai 5 lapis jahitan. Apabila

penyembuhan tidak sempurna, kuman akan lebih mudah

menginfeksi sehingga luka menjadi lebih parah. Bukan tidak

mungkin dilakukan penjahitan ulang.

Kesterilan yang tidak terjaga akan mengundang bakteri

penyebab infeksi. Apabila infeksi ini tak tertangani, besar

kemungkinan akan menjalar ke organ tubuh lain, bahkan organ-

organ penting seperti otak, hati dan sebagainya bisa terkena


11

infeksi yang berakibat kematian. Disamping itu infeksi juga

dapat terjadi pada Rahim. Infeksi Rahim terjadijika ibu sudah

kena infeksi sebelumnya, misalnya mengalami pecah ketuban.

Ketika dilakukan operasi, Rahim pun terinfeksi. Apa lagi juka

antibiotiik yang digunakan dalam operasi tidak cukup kuat.

Infeksi bisa dihindari dengan selalu memberikan informasi

yang akurat kepada dookter sebelum keputusan tindakan cesar

diambil.

b. Kemungkinan terjadi keloid

Keloid atau jaringan parut muncul pada organ tertentu karena

pertumbuhan berlebihan. Sel-sel pembentuk organ tersebut.

Ukuran sel meningkat dan terjadilah tonjolan jaringan parut.

Perempuan yang punya kecenderungan keloid tiap mengalami

luka niscaya mengalami keloid pada sayatan bekas operasinya.

Keloid hanya terjadi pada wanita yang memiliki jenis penyakit

tertentu. Cara mengatasinya adalah dengan memberikan

informasi tentang segala penyakit yang iibu derita sebelum

kepastian tindakan Sectiocaesarea dilakukan. Jika memang

harus menjalani Sectiocaesarea padahal ibu punya potensi

penyakit demikian tentu dokter akan memiliki jalan keluar,

misalnya diberikan obat-obatan tertentu melalui infus atau

langsung diminum sebelum atau sesudah Sectiocaesarea.


12

c. Perdarahan berlebihan

Resiko lainnya adalah perdarahan. Memang perdarahan tak bisa

dihindari dalam proses persalinan. Misalnya plasenta lengket

tak mau lepas. Bukan tak mungkin setelah plasenta terlepas

akan menyebabkan perdarahan. Darah yang hilang lewat

Sectiocaesarea sebih sedikit dibandingkan lewat persalinan

normal. Namun dengan tekhnik pembedahan dewasa ini

perdarahan bisa ditekan sedemikian rupa sehingga sangat

minim sekali. Darah yang keluar saat Sectiocaesarea adalah

darah yang memang semestinya keluar dalam persalinan

normal. Keracunan darah pada Sectiocaesarea dapat terjadi

karena sebelumnya ibu sudah mengalami infeksi.. ibu yang di

awal kahamilan mengalami infeksi Rahim bagian bawah,

berarti air ketubannya sudah mengandung kuman. Apabila

ketuban pecah dan didiamkan, kuman akan aktif sehingga

vagina berbau busuk karena bernanah. Selanjutnya, kuman

masuk ke pembuluh darah sehingga operasi berlangsung, dan

menyebar ke seluruh tubuh.

2. Resiko jangka panjang

Resiko jangka panjang dari Setiocaesarea adalah pembatasan

kehamilan. Dulu, perempuan yang pernah menjalani Setiocaesarea

hanya boleh melahirkan 3 kali. Kini, dengan tekhnik operasi yang

lebih baik, ibu memang boleh melahirkan lebih dari itu, bahkan

smapai 4 kali. Akan tetapi tentu bagi keluarga zaman sekarang


13

pembatasan itu tidak terlalu bermasalah karena setiap keluarga

memang dituntut membatasi jumlah kelahiran sesuai progam KB

nasional. (Indiarti dan Wahyudi, 2014).

2.1.5 Jenis operasi Setio Caesarea

1. Jenis operasi Setiocaesarea :

Setio caesarea abdomen

Setio caesarea transperitonealis

2. Setio caesarea vaginalis :

Menurut arah sayatan pada Rahim, Setiocaesarea dapat dilakukan

sebagai berikut :

a. Sayatan memanjang (longitudinal) menurut kronig

b. Sayatan melintanng (transversal) menurut kerr

c. Sayatan huruf T (T-Incision)

3. Setiocaesarea klasik (Corporal)

Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada

segmen bawah Rahim (low cervical transfersal) kira-kira sepanjang

10 cm tetapi saat ini tekhnik ini jarang dilakukan karena memiliki

bannyak kekurangan namun pada kasus seperti operasi berullang

yang memiliki banyak perlenketan organ cara ini dapat

dipertimbangkan.

4. Setiocaesarea ismika (profunda )

dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen

bawah Rahim (low servical transfersal) kira-kira sepanjang 10 cm.


14

2.1.6 Klasifikasi Setio Caesarea

Klasifikasi Sectio Caesarea menurut (Hary Oxorn dan Wiilliam R.

Forte, 2010).

1. Segmen bawah : Insisi melintang

Karena cara ini memungkinkan kelahiran per abdominam yang

aman sekalipun dikerjakan kemudian pada saat persalinan dan

sekalipun dikerjakan kemudian pada saat persalinan dan sekalipun

rongga Rahim terinfeksi, maka insisi melintang segmenn bawah

uterus telah menimbulkan revolusi dalam pelaksanaan obstetric.

2. Segmen bawah : Insisi membujur

Cara membuka abdomen dan menyingkapkan uterus sama seperti

insisi melintang, insisi membujur dibuat dengan scalpel dan

dilebarkan dengan gunting tumpul untuk menghindari cedera pada

bayi.

3. Sectio Caesarea klasik

Insisi longitudinal digaris tengah dibuat dengan scalpel kedalam

dinding anterior uterus dan dilebarkan keatas serta kebawah dengan

gunting yang berujung tumpul. Diperlukan luka insisi yang lebar

karena bayi sering dilahirkan dengan bokong dahulu. Janin serta

plasenta dikeluarkan dan uterus ditutup dengan jahitan tiga lapis.

Pada masa modern ini hamper sudah tidak dipertimbangkan lagi

untuk mengerjakan Sectio Caesarea klasik. Satu-satunya indikasi

untuk prosedur segmen atas adalah kesulitan teknis dalam

menyingkapkan segmenn bawah.


15

4. Sectio Caesarea Extraperitoneal

pembedahan Extraperitoneal dikerjakan untuk mennghindari

perlunya histerektomi pada kasus-kasus yang menngalami infeksi

luas dengan mencegahh peritonitis generalisata yang sering bersifat

fatal. Ada beberapa metode Sectio Caesarea Extraperitoneal,

seperti metode Waters, Latzko, dan Norton, T. tekhnik pada

prosedur ini relative lebih sulit, sering tanpa sengaja masuk

kedalam vacuum peritoneal dan isidensi cedera vesica urinaria

meningkat. Metode ini tidak boleh dibuang tetapi tetap disimpan

sebagai cadangan kasus-kasus tertentu.

5. Histerektomi Caesarea

Pembedahan ini merupakan Sectio Caesarea yang dilanjutkan

denngan pengeluaran uterus. Jika mmuungkin histerektomi harus

dikerjakan lengkap (histerektomi total). Akan tetapi, karena

pembedahan subtoral lebih mmudah dan dapatt dikerjakan lebih

cepat, maka pemmbedahan subtoral menjadi prosedur pilihan jika

terdapat perdarahan hebat dan pasien terjadi syok, atau jika pasien

dalam keadaan jelek akibat sebab-sebab lain. Pada kasus-kasus

semacam ini lanjutan pembedahan adalah menyelesaikannya

secepat mungkin.
16

2.1.7 Indikasi Sectio Caesarea

1. Indikasi yang berasal dari ibu

Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, pramiparatua

disertai ada kelainan letak, disproporsi sefalo pelvik (disproporsi

janin/panggul), sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk,

terdapat kesempitan pannggul, plasenta previa terutama pada

primigravida, solusio plasenta tingkat I-II, komplikasi kehamilan

yaitu preeklamsia-eklamsia, atas permintaan, kehhamilan yang

disertai penyakit (jantung-DM), gangguan perjalanan persalinan

(kista ovarium, mioma uteri dan sebagainya).

2. Indikasi yang berasal dari janin

Fetal distress/gawat janin, mal presentasi dan mal posisi

kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil,

kegagalan persalinan vakum atau forceps ekstraksi (Jitowiyono,

2010).

2.1.8 Kontraindikasi Sectio Sesarea

Sectio sesarea tidak boleh dikerjakan kalau ada keadaan berikut ini :

1. Kalau janin sudah mati atau berada dalam keadaan jelek sehingga

kemungkinan hidup kecil. Dalam keadaan ini tidak ada alas an

untuk melakukan operasi berbahaya yang tidakdiperlukan.

2. Kalau jalan lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan fasilitas

untuk caesarea extraperitoneal tidak tersedia.


17

3. Kalau dokter bedahnya tidak berpengalaman. Kalau keadaannya

tidak menguntungkan bagi pembedahan, atau kalau tidak tersedia

tenaga asisten yang memadai

2.1.9 Risiko bedah Sectio Caesarea

Resiko atau efek samping melahirkan Sectio Caesarea mencangkup :

1. Masalah yang muncul akibat bius yang digunakan dalam

pembedahan dan obat-obatan penghilang nyeri sesudah bedah

Setiocaesarea.

2. Peningkatan insidensi infeksi dan kebutuhan akan antibiotic.

3. Perdarahan yang lebih berat dan peningkatan resiko perdarahan

yang dapat menimbulkan anemia atau mmemerlukan tranfusi

darah.

4. Rawat inap yang lebih lama, yang meningkatkan biaya persalinan.

5. Nyeri pascabedah yang berlangsung berminggu-minggu atau

berbulan-bulan dan membuat sulit merawat diri sendiri, merawat

bayi, ataupun kakak-kakaknya.

6. Resiko timbulnya masalah dari jaringan parut atau perlekatan

diidalam perut.

7. Kemungkinan cederanya organ-organ lain (usus besar atau

kandung kemih) dan resiko pembentukan bekuan darah dikaki

dan daerah panggul.

8. Peningkatan resiko masalah pernapasan dan temperatur untuk

bayi baru lahir.


18

9. Tingkat kemandulan yang lebih tinggi disbanding pada wanita

dengan melahirkan lewat vagina.

10. Peningkatan resiko plasenta previa atau plasenta yang tertahan

pada kehamilan berikutnya.

11. Peningkatan kemungkinan harus dilakukannya bedahh Caesar

pada kehamilan berikut. (Penny, dkk 2008).

2.1.10 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin muncul dari tindakan Sectio Caesarea

adalah komplikasi pembiusan, perdarahan pasca operasi Sectio

Caesarea, syok perdarahan, obstruksi usus, gangguan pembekuan

darah, dan cedera organ abdomen seperti usus, ureter, kandung kemih,

pembuluh darah. Pada Sectio Caesarea juga bisa terjadi infeksi

sampai sepsis apalagi pada kasus dengan ketuban pecah dini. Dapat

juga terjadi komplikasi pada bekas luka operasii (Anggi, 2011).

Hal yang sangat mempengaruhi atau komplikasi pasca operasi yaitu

infeksi jahitan pasca Sectio Caesarea, infeksi ini terjadi karena banyak

factor, seperti infeksi intrauteri, adanya penyakit penyerta yang

berhubungan dengan infeksi misalnya, abses tuboofaria, apendiksitis

akut/perforasi. Diabetes mellitus, gula darah tidak terkontrol, kondisi

imunokompromised misalnya, infeksi HIV, Tuberkulosis atau sedang

mengkonsumsi kortikosteroid jangka panjang, gisi buruk, termasuk

anemia berat, sterilitas kamar operasi dan atau alat tidak terjaga, alergi

pada materi benang yang digunakan daan kuman resisten terhadap


19

antibiotic. Akibat infeksi ini luka bekas Sectio Caesarea akan terbuka

dalam minggu pertama pasca operasi. Terbukanya luka bisa hanya

kulit dan subkulit saja, bisa juga sampai fascia yang disebut dengan

bust abdomen. Umumnya, luka akan bernanah atau ada eksudat dan

berbahaya jika dibiarkan karena kuman tersebut dapat menyebar

melalui aliran darah. Luka yang terbuka akibat infeksi itu harus

dirawat, dibersihkan dan dilakukan kultur dari caiiran luka tersebut.

(Valleria, 2012).

2.1.11 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemantauan janin terhadap kesehatan janin

2. Pemantauan EKG

3. JDL dengan diferensial

4. Elektrolit

5. Hemoglobin/Hematokrit

6. Golongan Darah

7. Urinalis

8. Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi

9. Pemeriksaan sinar X sesuai indikasi.

10. Ultrasound sesuai pesanan. (Tucker,Susan martin,1998. Dalam

buku Aplikasi Nanda 2015).


20

2.1.12 Perawatan Post op Sectio Caesarea

Ibu yang mengalami komplikasi obstetric atau medis memerlukan

observasi ketat setelah resiko Setiocaesarea. Bangsal persalinan

adalah tempat untuk memulihkan dan perawatan. Fasilitas perawatan

intensif atau ketergantungan tinggi harus siap tersedia dirumah sakit

yang sama. Perawatan umum untuk semua ibu meliputi :

1. Kaji tanda-tanda vital dengan interval diats (15 menit). Pastikan

kondisinya stabil.

2. Lihat tinggi fundus uteri (TFU), adanya perdarahan dari luka dan

jumlah lokea.

3. Pertahankan keseimbangan cairan.

4. Pastikan analgesa yang adekuat.

5. Penggunaan analgesa epidural secara kontinu sangat berguna

6. Tangani kebutuhan khusus dengan indikasi langsung untuk Sectio

Caesarea, misalnya kondisi medis deperti diabetes.

7. Anjurkan fisioterapi dada dan ambulasi dini jika tidak ada

koontraindikasi.

8. Sebelum pemulangan harus diberikan kesempatan yang sesuai

dengan keadaan dan jawab pertanyaan-pertanyaan pasien.

9. Jadwalkan kesempatan untuk melakukan pengkajian ulang pasca

melahirkan guna memastikan penyembuhn total, mendiskusikan

kehamilan berikutnya dan memastikan tindak lanjut perawatan

untuk kondisi medisnya. (Fraser, 2012)


21

2.1.13 Pathway

Plasenta previa, rupture Section caesarea


sentralis dan lateralis, panggul
sempit, pre-eklamsia, partus
lama

Post anestesi Luka post operasi

Penurunan medulla Penurunan kerja pons Jaringan terputus Jaringan terbuka


oblongata

Merangsang area Proteksi kurang


Penurunan refleksi Penurunan kerja otot sensorik
batuk eliminasi

Gangguan rasa Invasi bakteri


Akumulasi sekret Penurunan peristaltik nyaman
usus

Bersihan jalan Konstipasi Nyeri Resiko infeksi


nafas tidak efektif

Gambar 2.1 Pathway Sectio Caesarea


22

2.2 Konsep nyeri

2.2.1 Pengertian

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan yang muncul terkait akibat adanya kerusakan jaringan

actual maupun potensial, atau digambarkan kondisi terjadinya

kerusakan sedemikian rupa (International Association Study of Pain):

Awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat

dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi (Nanda, 2013).

International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan

nyeri sebagai suatu sensori subyektif dan pengalaman emosional yang

tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau

potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi

kerusakan (Potter & Perry, 2005 Dalam Mohamad, 2012).

2.2.2 Penyebab Nyeri

Menurut (Asmadi, 2009) penyebab nyeri dapat diklasifikasikan ke

dalam dua penyebab yaitu :

1. Penyebab fisik

a. Trauma (mekanik, termis, kimiawi, elektrik)

Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung saraf

mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan atau luka.

Trauma termis menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor

mendapat rangsangan akibat panas, dingin. Trauma kimiawi

terjadi karena tersentuh zat asam atau basa. Trauma elektrik


23

menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat

mengenai reseptor rasa nyeri.

b. Neoplasma menyebabkann nyeri karena terjadi tekanan atau

kerusakan jaringan yang mengandung reseptor nyeri.

c. Peradangan menimbulkan nyeri karena kerusakan ujung-ujung

saraf reseptor akibat adanya peradangan atau terjjepit oleh

pembengkakan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nyeri yang

disebabkan oleh faktor fisik berkaitan dengan terganggunya

serabut saraf reseptor nyeri.

2. Penyebab psikologis

Nyeri disebabkan karena faktor psikologis merupakan nyeri yang

dirasakan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap

fisik. Nyeri karena faktor ini disebut psychogenic pain.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

Menurut prasetyo (2010), factor-faktor yang dapat mempengaruhi

persepsi dan reaksi nyeri antara lain :

1. Usia

Usia merupakan variable yang penting dalam mempengaruhi nyeri

pada individu. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam

memahami nyeri dan prosedur pengobatan yang dapat

mmenyebabkan nyeri. Anak-anak keciil yang belum dapat


24

mengucapkan kata-kata juga mengalami kesulitan dalam

mengucappkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada

orang tuanya ataupun kepada perawat. Sebagian anak terkadang

tidak mau untuk mengungkapkan keberadan nyeri yang dia

alammi, merekka takut akan tiindakan perawat yang harus mereka

terima nantinya.

Pada pasien lansia seorang perawat melakukan pengkajian rinci

ketika seorang lansia melaporkan adanya nyeri. Seringkali lansia

memiliki sumber nyeri lebih dari satu. Terkadang penyakit yang

berbeda-beda yang dideriita lansia menimbulkan gejala yang

sama, sebagai contoh nyeri dada tidak selalu mengindikasikan

serangan jantung, nyeri dada dapat timbul karrena gejala arthritis

pada spinal dan gejala gangguan abdomen.

2. Jenis kelamin

Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan

dalam beresppon terhadap nyeri. Hanya berbeda budaya yang

menganggap bahwa seorang laki-laki harus lebih berani dantidak

boleh menangis dibandingkan anak perempuan dalam situasi yang

sama ketika merasakan nyeri.

3. Kebudayaan

Perawat seringkali beramsumsi bahwa cara berespon pada setiap

individu dalam masalah nyeri adalah sama, sehiingga mereka

mencoba menngira bagaimana pasien berespon terhadap nyeri .

suatu ketidakmampuan dalam mengontrol nyeri, akibatnyya


25

pemberian terapi bisa jadi tidak cocok untuk klien berkebangsaan

meksiko-amerika. Seorang klien berkebangsaan meksiko-amerika

yang menangis keras tidak selalu mempersepsikan penngalaman

nyeri sebagai suatu yang berat dan mengharapkan perawat

melakukan intervensi

4. Lokasi dan tingkat keparahan nyeri

Nyeri yang dirasakan bervariasi daalam intensitas dan tingkat

keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang dirasakan

mungkin terasa ringan, sedang atau bisa jadi merupakan nyeri

yang hebat. Dalam kaitannya denngan kualitas nyeri, masing-

masing individu juga bervariasi, ada yang melaporkan nyeri

sebagai tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut, terbakar, dan lain-lain,

sebagai contoh individu yang tertusuk jarum akan melaporkan

nyeri yang berbeda dengan individu yang terkena luka bakar.

5. Perhatian

Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi

persepsi nyeri sedangkan upaya pengalihan (distraksi)

dihubungkan dengan penurunaan resppon nyeri. Konsep inilah

yang mendasari berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri,

seperti relaksasi, tehnik imajinasi terbimbing (guide imagery), dan

masase.
26

6. Ansietas (kecemasan)

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas

yang dirasakan seseorang seringkkali meningkkatkan persepsi

nyerinya.

7. Dukungan keluarga dan social

Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan

dukungan, bantuan, perlindungan dari anggota keluarga lain, atau

teman terdekat. Walaupun nyeri masih dirasakn oleh klien,

kehadiran orang terdekat akan meminimalkan kesepian dan

ketakutan.

2.2.4 Klasifikasi nyeri

Klasifikasi nyeri umumnya dibagi 2, yaitu nyeri akut dan nyeri kronis:

1. Nyeri akut

merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat

menghilang, tidak melebihi 6 bulan, dan ditandai adanya

peningkatan tegangan otot.

2. Nyeri kronis

Merupakan nyeri yang tiimbul secara perlahan-lahan biasanya

berlangsung dalam waktu yang cukup lama, yaitu lebih dari 6

bulan. Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri

terminal, sindrom nyeri kronis dan psikomatik.

Perbedaan nyeri akut dan kronis :


27

a. Nyeri akut

1) Pengalaman : suatu kejadian

2) Sumber : sebab eksternal atau penyakit dari dalam

3) Serangan : mendadak

4) Waktu sampai 6 bulan

5) Pernyataan nyeri : daerah nyeri tidak diketahui dengan

pasti

6) Gejala-gejala klinis : pola respon yang khas dengan gejala

yang lebih jelas

7) Pola : terbatas

8) Perjalanan : biasanya berkurang setelah beberapa saat

b. Nyeri kronis

1) Pengalaman : suatu situasi, status eksistensi

2) Sumber : tidak diketahui atau pengobatan yang terlalu

lama

3) Serangan : bisa mendadak, berkembang dan terselubung

4) Waktu lebih dari 6 bulan sampai bertahun-tahun

5) Pernyataan nyeri : daerah nyeri sulit dibedakan sehingga

sulit dievaluasi

6) Gejala-gejala klinis : pola respons yang bervariasi sedikit

gejala-gejala (adaptasi)

7) Pola : berlangsung terus dapat bervariasi

8) Perjalanan : penderitaan meningkat setelah beberapa saat


28

Selain klasifikasi nyeri diatas, terdapat jenis nyeri yang

sepesifik, diantaranya nyeri somatis, nyeri verisal, nyeri

menjalar,(referensi pain), nyeri psikogenik, nyeri phantom dari

ekstermitas, nyeri neurologis, dan lain-lain.

Nyeri somatik dan nyeri verisal ini umumnya bersumber dari

kulit dan jaringan bawah kulit (supervisial) pada otot dan

tulang.

2.2.5 Respon Terhadap nyeri

Respon tubuh terhadap nyeri adalah sebuah proses komplek dan

bukan sebuah kerja spesifik. Respon tubuh terhadap nyeri memiliki

aspek fisiologis dan psikososial. Pada awalnya, sistem saraf simpatik

berespon, menyebabkan respon melawan atau menghindar. Apabila

nyeri terus berlanjut, tubuh beradaptasi ketika system saraf

parasimpatik mengambil alih, membalik banyak respons fisiologis

awal. Adaptasi terhadap nyeri ini terjadi setelah beberapa jam atau

beberapa hari mengalami nyeri.

Reseptor nyeri actual sangat sedikit beradaptasi dan terus

mentransmisikan pesan nyeri. Seseorang dapat belajar tentang nyeri

melalui aktifitas kognitif dan perilaku, seperti pengalihan, imajinasi,

dan banyak tidur. Individu dapat berespon terhadap nyeri dengan

mencari intervensi fisik untuk mengatasi nyeri seperti, analgetic, pijat

dan olahraga.
29

Sebuah reflek proprioseptif juga terjadi dengan stimulus reseptor

nyeri. Impuls berjalan menelusuri serabut nyeri sensori ke medula

spinalis. Di medula spinalis impuls bersinapsis dengan neuron motoric

dan impuls berjalan kembali melalui keserabut motoric otot didekat

tempat nyeri. Kemudian otot berkontraksi dalam upaya protektif,

misalnya aat seseorang menyentuh kompor panas, secara reflex tangan

ditarik dari kompor panas bukan sebelumnya orang tersebut

menyadari adanya nyeri.

2.2.6 Karakteristik nyeri

Karakteristik nyeri dapat dilihat atau diukur berdasarkan lokasi nyeri,

durasi nyeri (menit, jam, hari atau bulan), irama/periodenya (terus

menerus, hilang timbul, periode bertambah atau berkurangnya

intensitas) dan kualitas (nyeri seoerti ditusuk, terbakar, sakit nyeri

dalam atau supervisial, atau bahkan seperti digencet).

Karakteristik dapat juga dilihat nyeri berdasarkan metode PQRST, P

Provocate, Q Quality, R Region, S Scale, T Time.

1. P Provocate, tenaga kesehatan harus mengkaji tentang penyebab

terjadinya nyeri pada penderita, dalam hal ini perlu

dipertimbangkan bagian-bagian tubuh mana yang mengalami

cidera termasuk menghubungkan antara nyeri yang diderita

dengan factor psikologisnya, karena bisa terjadi terjadinya nyeri

hebat karena dari factor psikologis bukan dari lukanya.


30

2. Q Quality, kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subyektif yang

diungkapkan oleh klien, seringkali klien mendiskripsikan nyeri

dengan kalimat nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit nyeri dalam

atau superfisial, atau bahkan seperti di gencet.

3. R Region, untuk mengkaji lokasi, tenaga kesehatan meminta

penderita untuk menunjukkan semua bagian/daerahh yang

dirasakan tidak nyaman. Untuk melokalisasi lebih spesifik maka

sebaiknya tenaga kesehatan meminta penderita untuk

menunjukkan daerah yang nyerinya minimal sampai kearah nyeri

yang sangat. Nammun hal ini akan sulit dilakukan apabila nyeri

yang dirasakan bersifat menyebar atau difuse.

4. S Scale, tingkat keparahhan merupakan hal yang paling subyektif

yang dirasakan oleh penderita, karena akan diminta bagaimana

kualitas nyeri, kualitas nyeri harus bisa digambarkan menggukan

skala nyeri yang sifatnya kuantitas.

5. T Time, tenaga kesehatan mengkaji tentang awitan, durasi dan

rangkaian nyeri. Perlu ditanyakan kapan mulai muncul adanya

nyeri, berapa lama menderita, seberapa sering untuk kambuh, dan

lain-lain.

2.2.7 Pengukuran Nyeri

1. Visual Analog Scale (VAS)

Visual Analog Scale (VAS) adalah cara yang paling banyak

digunakan untuk menilai nyeri. Skala liner ini menggambarkan


31

secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang

pasien. Rentang nyeri sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau

tanpa tanda pada tiap sentimeter.

Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau

pertannyaan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri,

sedangkann ujung lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin

terjadi. Skala bisa dibuat vertical atau horizontal. VAS juga dapat

diadaptasi menjadi skala hilangnya/reda rasa nyeri. Digunakan

pada pasien anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat utamaVAS

adalah penggunaannya sangat mudah dan sederhana. Namun,

untuk periode pasca bedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena

VAS memerlukan koordinasi visual dan motoric serta kemampuan

konsentrasi.

Gambar 2.2 Skala Nyeri Visual Analog Scale (VAS)

2. Verbal Rating Scale (VRS)

Ujung ekstrim juga digunakan pada skala ini. Sama seperti VAS

atau skala reda nyeri. Skala numeric verbal ini lebih bermanfaat

pada periode pasca bedah, karena secara alami verbal/kata-kata

tidak terlalu mengandalkan koordinasi visual dan motorik. Skala


32

verbal menggunakan kata-kata dan bukan garis atau angka uuntuk

menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat berupa

tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya nyeri dapat

dinyatakan sebagai sama skali tidak hilang, sedikit berkurang,

cukup berkurang, baik/nyeri hilang sama sekali. Karena skala ini

membatasi pilihan kata pasien, skala ini tidak dapat membedakan

berbagai tipe nyeri.

Verbal Rating Scale

0 = NO PAIN 0 = NO PAIN

10 Worst Possible Pain 100 = Worst Possible Pain

Gambar 2.3 Skala Nyeri Verbal Rating Scale

3. Numeric Rating Scale (NRS)

Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitive terhadap

dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik daripada

VAS terutama untuk menilai nyeri akut. Namun,

kekuranngannnya adalah keterbatasan pilihan kata untuk

menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk

membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap terapat

jarak yang sama antar kata yang menggambarkan efek analgesic.

Gambar 2.4 Skala Nyeri Numeric Rating Scale (NRS)


33

4. Wong Baker Pain Rating Scale

Digunakan pada pasien dewassa dan anak >3 tahun yang tidak

dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka

Gambar 2.5 Skala Nyeri Wong Baker Pain Rating Scale

2.2.8 Klasifikasi pengalaman nyeri

Fase nyeri pasien adalah antisipatori, sensasi, atau akibat (aftermath).

Dengan mengetahui fase nyeri dapat memahami gejala yang pasien

alami dan jenis terapi yang memiliki kemungkinan paling besar untuk

mengatasi nyeri.

1. Fase Antisepatori (terjadi sebelum nyeri diterima)

Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan

upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dapat

memberikan informasi pada pasien.

2. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Pasien bereaksi terhadap nyeri dengan cara yang berbeda-beda.

Toleransi terhadap nyeri merupakan titik yaitu terdapat suatu

ketidakinginan untuk menerima nyeri denngan tingkat keparahan

yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama. Toleransi

bergantuunng pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini


34

seseorang. Pasien dengan tingkat toleransu tinggi terhadap nyeri

mammpu mennahan nyeri tanpa bantuan (potter dan perry, 2012).

3. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang dan berhenti)

Pada fase ini pasien masih membutuhkan kontrool dari perawat,

karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan pasien

mengalami gejala sisa. Perawat berperan dalam membantu

memperoleh control diri untuk meminimalkan rasa takut akan

kemungkinan nyeri berulang (Potter dan Perry, 2012).

2.2.9 Teori nyeri persalinan

Menurut (Maryunani, 2010) terdapat beberapa teori yang menjelaskan

tentang nyeri. Beberapa pakar kebidanan telah menggunakan beberapa

teori nyeri berikut ini untuk menjelaskan teori nyeri dalam persalinan.

Teori tersebut antara lain :

1. Specificity theory

Teori ini menyatakan bahwa reseptor nyeri tertentu distimulasi

oleh tipe stimulus sensori specific yang mengiriimkan impuls ke

otak. Teori ini menguraikan dasar fisiologis adanya nyeri tetapi

tidak menjelaskan komponen-komponen fisiologis dari nyeri

maupun derajat toleransi nyeri.

2. Pattern Theory

Teori ini berusaha untuk memasukkan factor-faktor yang tidak

dijelaskan oleh Specificity theory. Teori ini menyatakan bahwa

nyeri berasal dari tanduk dorsal spinal cord. Pola impuls saraf
35

tertentu diproduksi dan menghasilkan stimulus reseptor kuat yang

dikodekan dalam system saraf pusat (SSP) dan menandakan nyeri.

Seperti Specificity theory, pattern theory tidak mejelaskan faktor-

faktor psikologis nyeri.

3. Gate Control Theory

Salah satu teori nyeri yang paling dapat diterima dan dipercaya

adalah gote control theory yang diajukan oleh melzakda wall pada

tahun 1965. Para pakar dibidang kebidanan juga menganut gote

control theory ini untuk menjelaskan nyeri dalam persalinan.

Dasar pemikiran pertama gote control theory adalah bahwa

keberadaan dan intensitas pengalaman nyeri tergantung pada

transmisi tetentu pada impuls-impuls saraf. Kedua, mekanisme

gate/pintu sepanjang system saraff mengontrol/mengendalikan

transmisi nyeri. Akhirnya, jika gate terbuka, impuls yang

menyebabkan sensasi nyeri dapat mencapai tiingkat kesadaran.

Jika gate tertutup, impuls tidak mencapai tingkat kesadaran dan

sensasi nyeri tidak dialami.

Terdapat tiga tipe utama keterlibatkan neurologis yang

mempengaruhi apakah gate terbuka atau tertutup yaitu :

a. Tipe pertama menyangkut aktifitas daam serat-serat (fibers)

saraf besar dan kecil yang mempengaruhi sensasi nyeri.

Impuls nyeri melalui serat – serat yang berdiameter menutup

gate pada impuls yang melalui serat-serat kecil. Tekhnik yang

menggunakan stimulasi kutaneous pada kulit, yang


36

mempunyai banyak serat berdiameter besar, bisa membantu

menutup gate pada tranmisi impuls yang menimbulkan nyeri,

dengan cara demikian meringankan/menghilangkan sensari

nyeri. Intervensi/tindakan yang menerapkan teori ini meliputi

massage/pijat, kompres panas dan dingin, sentuhan,

akupresur/acupressure, dan transcutaneous electric nerve

stimulation (TENS).

b. Bentuk keterlibatan neurologis kedua adalah impuls-impuls

berasal dari brainstem yang mempengaruhi sensasi nyeri.

Monitor formasi retikuler dalam brainstem mengatur input

sensori. Jika seseorang menerima jumlah stimulasi yang

adekuat atau berlebihan, brainstem tidak menghambat impuls

nyeri, gate terbuka, dan impuls nyeri ditransmisikan.

Intervensi/tindakan-tindakan yang menerapkan bagian gate

control theory ini adalah yang berhubungan beberapa cara

input sensori ini, seperti tekhnik distraksi, guided imagery,

dan visualisasi.

c. Tipe keterlibatan neurologis ketiga adalah aktivitas atau

impuls neurologis dalam korteks serebri atauu thalamus,

pikiran, emosi, dan ingatan seorang bisa mengakktifkan

impuls-impuls tertentu dalam korteks serebri yang

mencetuskan impuls nyeri, yang ditransmisikan ke tingkat

kesadaran. Pengalaman masa lalu yang berhubungan dengann

nyeri mempengaruhi bagaimana klien berespon terhadap


37

nyeri saat ini. Untuk alasan inilah sangat penting untuk

menyelidiki pengalaman klien sebelumnya dan mengajarkan

pada klien apa yang diharapkan dari situasi saat ini.

Intervensi/tindakan yang menerapkan bagian gate control

theory ini meliputi menggunakan dan mengajarkan berbagai

macam tekhnik relaksasi, mengajarkan klien tentang harapan-

harapan apa tentang nyeri yang berhubungan dengan penyakit

tertentu, mengupayakan klien untuk merasakan ia

mempunyai beberapa pengontrolan pada minum obat-obatan

untuk pereda nyeri dan memberikan obat-obatan dengan tepat

misalnya sebagai pencegahan, sebelum nyeri timbul begitu

hebat dimana klienn takut bahwa ia tidak akan mendapat

pereda nyeri.

d. Endogenoun oplate theory

Suatu teori pereda nyeri yang relative baru dikembangkan

oleh Avron Goldstein, dimana ia menemukan bahwa terdapat

substansi seperti opiate yang terjadi secara alami diidalam

tubuh. Substansi inni disebut Endorphine, yang berasal dari

kata endogenous dan morphine, Goldstein menncari reseptor

morphine dan heroin. Menemukan bahwa reseptor dalam

otak cocok dengan hanya molekul-molekul seperti morphine

dan heroin. Ia bertanya pada dirinya sendiri mengapa

reseptor-reseptor ini terletak di otak, pada saat opiate tidak

ditemukan secara alami di area ini. Setelah melalui


38

penelitian yang seksama, jawabannya adalah bahwa otak

menghasilkan opiate otak alami. Suatu ulasan tentang cara-

cara endorphine mempengaruhi nyeri yang dirasakan pada

saat persalinnan dan kelahiran adalah sebagai berikut :

Endorphine mempenngaruhi transmisi impuls yang

diinterpretasikan sebagai nyeri. Endorphine kemungkinan

bertindak sebagai neurotransmitter maupun neuromodulator

yang menghambat tranmisi dari pesan nyeri. Jadi, adanya

endorphine pada sinaps sel-sel saraf menyebabkan status

penurunan dalam sensasi nyeri. Kegagalan melepaskan

endorphine memunngkinkan nyeri terjadi. Opiate, seperti

morphine atau endorphine (kadang-kadang disebut

encephalin), kemungkinan menghambat tranmisi pesan nyeri

dengan mmengaitkan tempat reseptor opiate pada saraf-saraf

otak dan tulang belakang.

Kadar endorphhine berbeda dari satu individu ke individu

lain, hal ini menjelaskan mengapa beberapa orang lebih

merasa nyeri daripada yang laiinnya. Oorang-orang dengan

kadar endorphine tinggi sudah jelas akan merasa kurang

nyeri. Juga, telah ditemukan, misalnya orang-orang dengan

kadar endorphine rendah sebelum pembedahan /operasi

memerlukan lebih banyak analgesia setelah operasi daripada

orang-orang dengan kadar endorphine yang lebih tinggi.

Perbedaan-perbedaan dalam kadar endorphine bisa diwarisi


39

dan dengan demikian bisa menjelaskan perbedaan-perbedaan

kultural dalam sensivitas nyeri.

Situasi-situasi tertentu seperti stress dan kehamilan

menyebabkan status peningkatan dalam kadar endorphine.

Oleh karena itu, kadar endorphine bervariasi pada individu

dari satu situasi ke situasi lainnya. Selama kehamilan dan

persalinan, baik ibu maupun janinnya bisa mengalami

penurunan sensivitas terhadap nyeri karena adanya

peningkatan kadar endorphine. Pada saat nyeri persalinan

dirasakan, terdapat reseptor opiate pada otak dan tulang

belakang dan menentukan bahwa susunan saraf pusat (SSP)

melepaskan zat seperti morfin (endorphine dan encephalin).

Endogenous opiate menjepit untuk receptor opiate dan

menngganggu persepsi nyeri.

Berbagai macam tindakan pengurangan rasa nyeri

menggunakan teori sistem endorphine ini. Misalnya,

akupresur dan akupunktur yang merangsang pengeluaran

endogenous opiates, berbagai macam pendidikan kesehatan

klien atau stimulus kulit, ssperti masaje/masase/pijat, dapat

menyebabkan peningkatan endorphine, yang pada gilirannya

dapat meredakan nyeri.


40

2.3 Konsep asuhan keperawatan

2.3.1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawattan dan

merupakan suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari

berbagai sumber untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status

kesehatan klien. (Nursalam, 2009). Pengkajian merupakan proses

yang kontinu dilakukan setiap tahap proses keperawatan. Semua tahap

proses keperawatan tergantung pada pengumpulan data (informasi)

yang lengkap dan akurat. (Padila, 2015).

1. Identitas umum

Identitas umum meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa,

alamat, tanggal dan jam masuk rumah sakit, sumber informasi,

diterima dari, dan cara dating.

2. Riwayat perawatan

a. Keluhan utama

Keluhan utama yang biasa dirasakan klien postpartum adalah

nyeri seprti ditusuk-tusuk, panas, perih, mules, dan sakit pada

jahitan perineum (Mohamed & Saied, 2012).

b. Riwayat penyakit sekarang

Kapan timbul masalah, riwayat trauma, ppenyebab, gejala

timbul tiba-tiiba/perlahan, lokasi, obat yang diiminum, dan

cara penanggulangan. (Suratun, 2008).

c. Riwayat penyakit keluarga


41

Meliputi penyakit yang pernah diderita keluarga baik

penyakit kronis, keturunan, maupun menular. (Potter &

Perry, 2009).

d. Riwayat seksualitas/reproduksi

Kebanyakan klien enggann diajak untuk berhubungan dengan

pasangan. Frekuensi untuk melakukan hubungan juga

berkurang, karena pasien masih merasakan sakit pda area

bekas operasi.

1) Usia menarche, siklus haid, lama haid, haid terakhir.

2) Masalah dalam mentruasi, apakah ibu pernah pap smear.

3) Penggunan kontrasepsi sebelumnya (IUD, suntik,

implant, oral)

4) Riwayat reproduksi

3. Pengkajian psikososial

Pengkajian factor emosional, perilaku, dan social pada masa

pascapartum memungkinkan perawat mengidentifikasi kebutuhan

ibu dan keluarga terhadap dukungan, penyuluhan, dan bimbingan

antisipasi, respons mereka terhadap pengalaman kehamilan dan

persalinan dan perawattan pascapartum dan faktor-faktor yang

memengaruhi pengembanan tanggung jawabb menjadi orang tua

baru. Perawat juga mengkaji pengetaahuan dan kemampuan ibu

yang terkait dengan perawatan diri, perawatan bayi baru lahir, dan

pemeliharaan kesehatan serta perasaan tentang diri dan gambaran

dirinya.
42

4. Pemeriksaan fisik

a. Tanda-tannda vital

Suhu tubuh diukur setiap 4 sampai 8 jam selama beberapa hari

pasca partum karena demam biasanya merupakan gejala awal

infeksi. Suhu tubuh 38ºC mungkin disebabkan oleh dehidrasi atau

karena awitan laktasi dalam 2 sampaii 4 hari. Demam yang

menetap atau berulang diatas angka ini pada 24 jam pertama dapat

menandakann adanya infeksi.

Brakikardi merupakan perubahan fisiologis normal selama 6

sampai 10 hari pascapartum dengan frekuensi nadi 40 sampai 70

kali/ menit. Frekuensi diatas 100 kali/menit (takikardi) dapat

menunjukkan adannya infeksi, hemoragi, nyeri, arau kecemasan.

Nadi yang cepat dan dangkal yang dihubungkan dengan hipotensi

menunjukkan hemoragi, syok, atau emboli.

Tekanan darah umumnya tetap dalam batasan normal selama

kehamilam. Wanita pascapartum dapat mengalami hipotensi

ortostik karena diuresis dan diaphoresis, yang menyebabkan

pergeseran volume cairan kardiovaskuler. Hipotensi menetap atau

berat dapat merupakan tanda syok atau emboli. Peningkatan

tekanan darah menunjukkan hipertensii akibat kehamilan, yang

dapat muncul pertama kali pada masa pascapartum. Kejanng

eklamsia dilaporkan terjadi sampai lebih dari 10 hari pascaparum

(Cuningham, et al , 1993 dalam Sharon J, dkk 2011). Nadi dan


43

tekanan darah diukur setiap 4 sampai 8 jam, kecuali jika ada

penyimpangan dari nilai normal sehingga perlu diukur lebih sering

b. Pernafasan

Menurut sholikah (2011) klien post operasi Secticaesarea

terjadi peningkatan pernafasan, lihat adannya tarikan dinding

dada, frekuensi pernapasan, irama nafas serta kedalaman

bernapas.

c. Kepala dan muka

Amati kesimetrisan muka, amati ada atau tidaknya

hiperpigmentasi pada wajah ibu (cloasmagravidanum), amati

warna dari keadaan rambut, kaji kerontokan dan kebersiihan

rambut, kaji pembengkakan pada muka.

d. Mata

Amati ada atau tidaknya peradangan pada kelopak mata,

kesimetrisan kanan dan kiri, amati keadaan konjungtiva

(konjungtivitis atau anemis), sclera (ikterik atau indikasi

hiperbilirubin atau gangguan pada hepar), pupil (isokor kanan

dan kiri (normal), reflek pupil terhadap cahaya miosis atau

mengecil, ada atau tidaknya nyeri tekan atau peningkatan

tekanan intraokuler pada kedua bola mata.

e. Hidung

Amati keadaan septum apakah tepat di tengah, kaji adanya

masa abnormal dalam hidung dan adanya skret, kaji adanya

nyeri tekan pada hidung.


44

f. Telinga

Amati kesimetrisan, warna dengan daerah sekitar, ada atau

tidaknya luka, kebersihan telinga amati ada tidaknya serumen

dan otitis media

g. Mulut

Amati bibir apa ada kelainan kogenital (bibir sumbing),

warna, kesimetrisan, sianosis atauu tidak, pembengkakan,

lesi, amati adanya stomatitis pada mulut, amati jumlah dan

bentuk gigi, warna dan kebersihan gigi.

h. Leher

Amati adanya luka, kesimetrisan dan masa abnormal, kaji

adanya distensi vena jugularis, dan adanya pembesaran

kelenjar tiroid.

i. Paru-paru

Kesimetrisan bentuk/postur dada, gerakann nafas (frekuensi

irama, kedalaman, dan upaya pernafasan/pengggunaan otot-

otot bantu pernafasan), warna kulit, lesi, edema,

pembengkakan/penonjolan, kaji pergerrakan dada, massa dan

lesi, nyeri, tractile fremitus apakah normal kanan dan kiri,

perkusi (normalnya berbunyi sonor), kaji bunyi (normalnya

kanan dan kiri terdengar vesiikuler).

j. Cardiovaskuler

Terjadi peningkatan frekuensi nadi, irama tidak teratur, serta

peningkatan tekanan darah.


45

k. Payudara

Pengkajian payudara selama masa pascapartum meliputu

inspeksi ukuran, bentuk, warna, dan kesimetrisan serta

palpasi konsistensi apakah ada nyeri tekan guna menentukan

status laktasi. Pada 1 sampai 2 hari pertama pascapartum,

payudara tidak banyak berubah kecil kecuali skresi kolostrum

yang banyak. Pada ibu menyusui, saat ASI mulai diproduksi,

payudara menjadi lebih besar, keras, dan hangat dan mungkin

terasa berbenjol-benjol atau bernodul. Wanita sering

mengalami ketidaknyamanandengan awitan awal laktasi.

Pada wanita yang tidak menyusui, perubahan ini kurang

menonjol dan menghilang dalam beberapa hari. Banyak

wanita mengalami pembengkakan nyata seiring dengan

awitan menyusui. Payudara menjadi lebih besar dan teraba

keras dan tegang, dengan kulit tegang dan mengkilap serta

terlihatnya pembesaran vena berwarna biru. Payudara dapat

terasa sangat nyeri dan teraba panas saat disentuh.

l. Abdomen

Apakah kembung, asites, terdapat nyeri tekan, lokasi massa,

lingkar abdomen, bising usus, tampak linea nigra attau alba,

striae livida atau albican, terdapat bekas luka operasi

Sectiocaesarea. (Anggraini, 2010) mengkaji luka jahitan post

Sectiocaesarea yang meliputi kondisi luka (melintang atau

membujur, kering atau basah, adanya nanah atau tidak), dan


46

mengkaji kondisi jahitan (jahitan menutup atau tidak,

terdapat tanda-tanda infeksi serta warna kemerahan pada

sekitar area jahitan luka post Sectiocaesarea atau tidak).

m. Ekstermitas bawah

Pengkajian pascapartum pada ekstermitas bawah meliputi

inspeksi ukuran, bentuk, kesimetrisan, warna, edema, dan

varises. Suhu dan pembengkakan dirasakan dengan palpasi.

Tanda-tanda tromboflebitis adalah bengkak unilateral,

kemerahan, panas, dan nyeri tekan, biasanya terjadi pada

betis. Trombosis pada vena femoralis menyebabkan nyeri dan

nyeri tekan pada bagiian distal pahha dan daerah popliteal.

Tanda homan, muncunya nyeri betis saat gerakan dorsofleksi

n. Genetalia

Melihat kebersihan dari genetalia pasien, adanya lesi atau

nodul dan mengkaji keadaan lochea. Lochea yang berbau

menunjukkan tanda-tanda resiiko infeksi. (Handayani, 2011)

5. Nutrisi

Ibu yang menyusui harus mengkonsumsi tambahan 500 kalori tiap

hari , pil zat besi harus diminum untuk menambah zat gizi

setidaknya 40 hari pasca bersalin, makan dengan diet berimbang

untuk mendapatkan protein, mineral dan vitamin yang cukup ,

mengonsumsi kapsul vitamin A 9200.000) unit, agar bisa

memberikan vitamin A kepada bayinya melalui asinya (Saifuddin,

2001 dalam Siti, dkk 2013). Makanan bergizii terdapat pada sayur
47

hijau, lauk pauk dan buahh. Konsumsi sayur hijau seperti bayam,

sawi, kol dan sayur hijau lainnya menjadi sumber makanan

bergizi. Untuk lauk pauk dapat memilih daging ayamm, ikan,

telur, dan sejenisnya.

Ibu post Sectio Caesarea harus menghindari makanan dan

minuman yang mengandung bahan kimia, pedas dan menimbulkan

gas karena gas perut kaddanng-kadang menimbulkan masalah

sesudah Sectio Caesarea. Jika ada gas dalam perut, ibu akan

merasakan nyeri yang menusuk. Gerak fisik dan bangun dari

tempat tidur, pernapasan salam, dan bergoyanng dikursi dapat

membantu mencegah dan menghilanngkan gas. (Simkin dkk, 2007

dalam Siti dkk, 2013).

6. Eliminasi

Menggambarkan pola fungsi sekresi yaitu kebiasaan BAB dan

BAK meliputi frekuensi, jumlah, konsistensi, bau serta masalah

eliminasi (Anggraini, 2010). Pada klien post SC biasanya 2-3 hari

mengalami kesulitan buang air besar (konstipasi) hal ini

dikarenakan ketakutan akan rasa sakit pada daerah sekitar post

operasi, takut jahitan terbuka karena menngejan. (handayani,

2011).

7. Pemeriksaan laboratorium

Untuk mengkaji apakah ada anemia, pemeriksaan hitung darahh

engkap, hematokrit atau haemoglobin dilakukan dalam 2 sampai

48 jam setelah persalinan. Karena banyaknya adaptasi fisiologis


48

saat wanita kembali ke keadaan sebelum hamil, nilai darah

berubah setelah melahirkan. Dengan rata-rata kehilangan darah

400-500 ml, penurunan 1g kadar haemoglobin atau 30% nilai

hemmatokrit masih dalam kisaran yang diharapkan. Penurunan

nilai yang lebih besar disebabkan oleh perdarahan hebat saat

melahirkan, hemoragi, atau anemia prenatal.

Selama 10 hari pertama pascapartum, jumlah sel darah putih dapat

meningkat sampai 20.000/mm3 sebelum akhirnya kembali ke nilai

normal (Bond, 1993 dalam Sharon J dkk, 2011). Karena

komponen selular lekosit iini mirip denngan komponen selular

selama infeksi, peningkatan ini dapat menutupi proses infeksi

kecuali jika jumlah sel darahh putih lebih tinggi dari jumlah

fisiologis.

2.3.2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan digunakan sebagai landasan untuk pemiliihan

intervensi guna mencapai hasil yang menjadi tanggung jawab perawat.

Diagnosa keperawatan perlu dirumuskan setelah melakukan analisa

data dari hasil pengkajian untuk mengidentifikasi masalah kesehatan

yang melibatkan klien beserta keluarganya. Dengan demikian asuhan

keperawatan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan yakni

memenuhi kebutuhan fisik, emosi atau psikologis, tumbuh kembang,

pengetahuan atau intelekual, social dan spiritual yang didapatkan Dari

pengkajian. (Wilkins & Williams, 2015).


49

masalah keperawatan yang actual/potensial sering muncul pada ibu

post partum setelah kelahiran sesar berdasarkan definisi dan

klasifikasi (Nurarif & Hardhi, 2015) diantarannya adalah sebagai

berikut :

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik pembedahan.

2. Ketidakefektifan bersihan jalann nafas berhubungan dengan

obstruksi jalan nafas (mokus dalam jumlah berlebihan), jalan

nafas alergik (respon obat anestesi)

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dari kurangnya pengetahuan tentang kebutuhan

nutrisi postpartum

4. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan kurang

pengetahuan ibu, terhentinya proses menyusui

5. Gangguan eliminasi urine

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kelemahan

7. Resiko infeksi berhubungan dengan factor resiko episiotomy,

laserasi jalan lahir, bantuan pertolongan persalinan

8. Deficit perawatan diri : mandi/kebersihan diri, makan, toileting

berhubungan dengann kelelahan postpartum

9. Konstipasi berhubungan dengan efek anestesi

10. Resiko syok (hipofolemik) berhubungan dengan kekurangan

cairan dan elektrolit

11. Defisiensi pengetahuan : perawatan post partum berhubungan

kurangnya informasi tentang pennanganan post partum


50

2.3.3 Perencanaan

Menurut nursalam (2009) renncana keperawatan dapat diartikan

ssebagai suatu dokumen tulisan tangan dalam menyelesaikan masalah,

tujuan, dan intervensi keperawatan. Rencana keperawatan meliputi

pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi, atau

mengoreksi masalah-masalah yang telah diidentifikasikan pada

diagnosis keperawatan. Intervensi yang mungkin muncul berkaitan

dengan pemenuhan kenyamanan bebas dari rasa nyaman nyeri pada

ibu postpartum dengan tindakan Sectio Caesarea menurut (Bulechek,

Gloria M, dkk 2013) :

Tabel 2.1 Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi


keperawatan hasil
1. nyeri Pain lever a. Lakukan
berhubungan Pain control pengkajian
dengan agen Comfort level nyeri secara
injuri fisik a. Mampu komperhensif
pembedahan. mengontrol termasul lokasi,
Definisi : nyeri (tahu karakteristik,
Pengalaman penyebab nyeri, durasi,
sensori dan mampu frekuensi,
emosional yang menggunakan kualitas, dan
tidak tekhnik faktor
menyenangkan nonfarmakologi presipitasi
yang muncul untuk b. Observasi
akibat kerusakan mengurangi adanya petunjuk
jaringan actual nyeri, mencari nonverbal
atau potensial bantuan) mengenai
yang b. Melaporkan ketidaknyamana
digambarkan bahwa nyei n terutama pada
sebagai kerusakan berkurang mereka yyang
(international dengan tidak dapat
Association For menggunakan berkomunikasi
the Study of manajemen secara efektif.
Paint), nyeri c. Gunakan
Awitan yang tiba- c. Menyatakan strategi
tiba atau lambat rasa nyaman komunikasi
51

dari intensitas setelah nyeri terapeutik untuk


ringan hingga berkurang menngetahui
berat dengan pengalaman
akhir yang dapat nyeri pasien.
di antisipasi atau d. Tenntukan
diprediksi. akibat dari
Faktor yang pengalaman
berhubungan : nyeri terhadap
a. Agen kualitas hidup
cidera pasien (tidur,
biologis nafsu makan,
(infeksi, penertian,
iskemia, perasaan,
neoplasma hubungan,
) perfoma kerja
b. Agen dan tanggung
cidera jawab peran)
fisik e. Berikan
(abses, informasi
amputasi, mengenai nyeri,
luka seperti
bakar, penyebab,
terpotong, berapa lama
mengangk nyeri akan
at berat, dirasakan dan
prosedur antisipasi dari
bedah, ketidaknyamana
trauma, n akibat
olahraga prosedur.
berlebiiha f. Kurangi atau
n) eliminasi faktor-
c. Agens faktor yang
cidera dapat
kimiawi mencetuskan
(luka atau
bakar, meningkatkan
kapsaisin, nyeri
metilen, (ketakutan,
klorida, kelelahan,
agens keadaan
mustard) monoton dan
kurang
pengetahuan)
g. Gali
pennggunaan
metode yang
dipakai saait ini
untuk
52

menurunkan
nyeri
h. Dorong pasien
untuk
memonitor
nyeri dan
mennangani
nyerinya dengan
cepat
i. Ajarkan metode
nonfarmakologi
untuk
menurunkann
nyeri
j. Pilih untuk
implementasika
n tindakan yang
beragam
(farmakologi,
nonfarmakologi,
interpersonal)
untuk
memfasilitasi
peurunan nyeri
k. Kendalikann
faktor
lingkungan
yang dapat
mempengaruhi
respon pasien
terhadap
ketidaknyamana
n (suhu
ruangan,
pencahayaan,
suara bising)
l. Berikan
individu
penurunan
nyeri yang
optimal dengan
peresepan
analgesic
m. Dukung
istirahat/tidur
yang adekuat
untuk mrmbantu
penurunan nyeri
53

n. Libatkan
kkeluarga dalam
modalitas
penurunan
nyeri, jika
memungkinkan
o. Monitor
kepuasan pasien
terhadap
manajemen
nyeri dalam
interval yang
sspesifik

2.3.4 Pelaksanaan

Pelaksanaan atau implementasi adalah pelaksanaan dari rencanna

intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik (Iyer et al., 1996

dalamm buku Nursalam 2008). Implementasi dapat dilakukan

seluruhnya oleh perawat, ibu sendiri, keluarga atau tenaga kesehatan

yang lain (Saleha, 2009). Menurut asmadi (2008), implementasi

tindakan keperawatan dibedakan menjadi 3 kategori :

1. Independent, yaitu suatu kegiatan yang memerlukan kerja sama

tanpa petunjuk dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya.

2. Interdependent, yaitu suatu kegiatan yang memerlukan kerja

sama dari tenaga kesehatan lainnya.

3. Dependent, berhubungan dengan pelaksanaan rencanna tindakan

medis/instruksi dari tenaga medis.


54

2.3.5 Evaluasi

Evaluasi dapat dilakukan pada waktu kegiatan sedang dilakukan,

intermitten dan terminal. Evaluasi yang dilakukan pada saat kegiatan

berjalan atau segera setelah implementasi meningkatkan kemampuan

perawat dan memodifikasi intervensi. Evaluasi intermitten dilakukan

dilakukan pada interval khusus misalnya seminggu sekali, dilakukan

untuk mengetahui kemajuan terhadap pencapaian tujuan dan

meningkatkan kemampuan perawat untuk memperbaiki setiap

kekurangan dan memodifikasi rencana keperawatan agar sesuai

dengan kebutuhan. Evaluasi terminal, menunjukkan keadaan pasien

pada waktu pulang. Hal tersebut mencakup status pencapaian tujuan

dan evaluasi terhadap kemampuan klien untuk perawatan diri sendiri

sehubungan dengan perawatan lanjutan. (Wilkins & Williams, 2015).

Perumusan evaluasi formatif meliputi 4 komponen yang diikenal

istilah SOAP, yaitu :

S : Subjektif (data berupa keluhan informan)

O : Objektif (data hasil pemeriksaan)

A : Analisis data (pembanding data dengan teori)

P : Perencanaan

Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan pasienn dalam

mencapai tujuan.
55

2.3.6 Hubungan Antar Konsep

Primigravida, primiparatua, sefalo

pelvik (disproporsi janin/panggul), Tindakan operasi

panggul sempit, Plasenta previa, fetal Sectio Caesarea

distress/ gawat janin.

Trauma jaringan

Nyeri

farmakologi Non farmakologi

analgesik Lakukan pengkajian nyeri secara


komperhensif

Gunakan tekhnik komunikasi


terapeutik

Kaji kultur yang mempengaruhi


respon nyeri

Evaluasi pengalaman nyeri masa


lampau

Gambar 2.6 Hubungan antar konsep Anjurkan klien meningkatkan


istirahat

Anda mungkin juga menyukai