Tesis
Prof. Dr. Ir. Sri Harto Br., Dip.H. Ir. Joko Sujono, M.Eng., Ph.D.
Pembimbing Pendamping,
ii
PERSEMBAHAN :
MAMA, PAPA
NYAI, OMBAI
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya
Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya, juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali diacu dalam naskah
Penulis
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmad Nya maka penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ Ketelitian
Penulis menyadari bahwa selama penyusunan tesis ini telah banyak pihak
yang membantu, Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segenap hati dan
ketulusan penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sri Harto
Br., Dip.H. selaku Pembimbing Utama dan Bapak Dr. Ir. Rachmad Jayadi, M.Eng
dan pikiran dalam memberikan bimbingan penyusunan tesis ini dari awal sampai
akhir.
Selain itu pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih
1. Bapak Dr. Ir. Joko Sujono, M. Eng., Ph.D. selaku Anggota Dewan Penguji
2. Bapak Ir. H. Morisco, Ph.D., selaku Pengelola Program S-2 Teknik Sipil,
v
vi
5. Temen-temen m’erni, tuti, dan m”tri, thanks untuk supportnya. Untuk zainuri,
6. Bapak Ir. Surya Dewanto, Sp1, Pemimpin Proyek Pengendalian Banjir dan
Sumberdaya Air Sumatera Selatan yang telah membuka pintu hati penulis
Kami menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................. ii
PERNYATAAN.................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL............................................................................................... x
INTISARI............................................................................................................ xv
ABSTRACT........................................................................................................ xvi
D. Keaslian Penelitian............................................................................................ 4
A. Umum ......................................................................................................... 7
vii
viii
C. Analisis frekuensi............................................................................................ 37
Rancangan ....................................................................................................... 73
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 74
B. Saran ....................................................................................................... 75
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.7 Jaringan Stasiun Hujan DAS Progo (kondisi downstream) .................. 50
Tabel 5.8 Stasiun AWLR DAS Opak dan DAS Progo ......................................... 51
Tabel 6.5 Jumlah stasiun hujan Kagan DAS OPAK dengan tingkat kesalahan 5%
............................................................................................................. 64
Tabel 6.6 Jumlah stasiun hujan Kagan DAS Progo dengan tingkat kesalahan 5%
............................................................................................................. 64
x
xi
Tabel 6.9 Tingkat kerapatan stasiun hujan Kagan DAS Opak dengan besar
Tabel 6.10 Tingkat kerapatan stasiun hujan Kagan DAS Progo dengan besar
Tabel 6.12 Hasil analisa Kagan DAS Opak (kondisi downstream) ...................... 68
Tabel 6.14 Hasil analisa Kagan DAS Progo (kondisi upstream) .......................... 68
Tabel 6.15 Hasil analisa Kagan DAS Progo (kondisi downstream) ..................... 69
Tabel 6.16 Hasil analisa Kagan DAS Progo (kondisi downstream) ..................... 69
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.4 Ilustrasi prinsip linier system dan time invariant pada teori hidrograf
satuan ............................................................................................... 29
Gambar 5.2 Peta DAS Opak dengan pemisahan upstream dan downstream. Error!
Gambar 5.3 Peta DAS Progo dengan pemisahan upstream dan downstream Error!
Gambar 5.4 Peta polygon Thiessen DAS Opak eksisitingError! Bookmark not
defined.
Gambar 5.5 Peta polygon Thiessen DAS Progo eksistingError! Bookmark not
defined.
Gambar 5.6 Peta polygon Thiessen DAS Opak kondisi upstream dan downstream
Gambar 5.7 Peta polygon Thiessen DAS Progo kondisi upstream dan downstream
Gambar 6.1 Korelasi antar stasiun DAS Opak secara keseluruhan, DAS Opak
xii
xiii
Gambar 6.2 Korelasi antar stasiun DAS Progo secara keseluruhan, DAS Progo
Gambar 6.3 Hubungan antara jumlah stasiun dan kesalahan perataan dan
Gambar 6.4 Hubungan antara jumlah stasiun dan kesalahan perataan dan
Gambar 6.5 Pola penyebaran jaringan Kagan DAS OpakError! Bookmark not
defined.
Gambar 6.6 Pola penyebaran jaringan Kagan DAS Opak (kondisi upstream)
Gambar 6.7 Pola penyebaran jaringan Kagan DAS Opak (kondisi downstream)
Gambar 6.8 Pola penyebaran jaringan Kagan DAS ProgoError! Bookmark not
defined.
Gambar 6.9 Pola penyebaran jaringan Kagan DAS Progo (kondisi upstream)
Gambar 6.10 Pola penyebaran jaringan Kagan DAS Progo (kondisi downstream)
Halaman
xiv
KETELITIAN PERKIRAAN DEBIT BANJIR RANCANGAN DENGAN
PERBEDAAN KERAPATAN JARINGAN STASIUN HUJAN
INTISARI
Igel malen Puspa1) Sri Harto2) Rachmad Jayadi3)
1)
Mahasiswa Angkatan VII MPSA UGM
2)
Dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
3)
Dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
xv
KETELITIAN PERKIRAAN DEBIT BANJIR RANCANGAN DENGAN
PERBEDAAN KERAPATAN JARINGAN STASIUN HUJAN
ABSTRACT
1)
Student, Magister of Water Resources Management, Gadjah Mada University,
Yogyakarta
2)
Lecturer, faculty of Engineering Gadjah Mada University, Yogyakarta
3)
Lecturer, faculty of Engineering Gadjah Mada University, Yogyakarta
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara tropis yang mempunyai dua musim yang berbeda,
yaitu musim hujan atau musim basah dan musim kemarau atau musim kering.
Musim hujan sering terjadi hujan lebat sedangkan di musim kemarau terdapat
periode dua bulan yang sangat kering yang biasanya terjadi antara bulan Juli dan
September. Sungai sebagai salah satu sumberdaya air juga dipengaruhi oleh
kondisi iklim seperti tersebut di atas. Variasi debit air sungai sepanjang tahun
secara alamiah sering sangat merugikan, yaitu debit air sungai terlalu kecil saat
musim kemarau dan sebaliknya terjadi banjir pada waktu musim hujan.
diakibatkan oleh bencana banjir tersebut, salah satu diantaranya adalah kegiatan
tertentu. Namun penetapan debit banjir rancangan tidak selalu dapat dilakukan
dengan mudah, terutama pada lokasi dimana data aliran sangat minim atau bahkan
data pencatatan atau pemantauan aliran sungai tidak tersedia sama sekali. Dengan
hidrologi yang didasarkan pada hasil kajian terhadap data curah hujan dan
menjadi aliran.
1
2
yang terjadi di seluruh DAS diperlukan stasiun hujan dengan jumlah dan
data curah hujan yang akan dikumpulkan. Di wilayah yang telah berkembang
dengan tingkat kepadatan yang tinggi, jumlah alat penakar hujan yang diperlukan
juga seharusnya lebih banyak. Hal ini disebabkan karena tingkat perkembangan
curah hujan yang lebih akurat dibandingkan dengan wilayah kurang atau belum
yang strategis, misalnya proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA), maka
akurasi data hujan yang diperlukan juga tinggi karena kelangsungan operasi
hujan yang tepat baik lokasi, jumlah stasiun hujan, pola penyebarannya akan dapat
hujannya. Penyebaran dan kerapatan stasiun hujan dalam suatu DAS dapat
rancangan. Selama ini belum terdapat pedoman baku tentang jumlah stasiun hujan
3
yang dipandang cukup mewakili variabilitas curah hujan di suatu DAS, terkait
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah pengaruh
makin banyak jumlah stasiun hujan yang digunakan dalam perkiraan hujan, akan
diperoleh hasil perkiraan hujan yang lebih baik. Namun hal ini bukan satu-satunya
unsur yang berpengaruh, karena ketelitian yang dapat dicapai sangat ditentukan
oleh dua hal yaitu jumlah stasiun hujan dan pola penempatan stasiun. Dalam
penelitian ini akan dilakukan kajian pengaruh variasi kerapatan jaringan stasiun
hujan yang ditetapkan dengan cara acak (random network) dan cara Kagan. Dalam
hal ini sebagai acuan adalah debit banjir rancangan yang dihitung menggunakan
cara analisis frekuensi. Penelitian akan dilakukan pada DAS Progo dan DAS
Opak, Yogyakarta.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat ketelitian dari
penggunaan metode Kagan dan metode acak (random network) pada jaringan
dibandingkan dengan debit banjir rancangan dari data debit terukur (observed).
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi antara lain sebagai
berikut ini.
4
1. Jumlah stasiun curah hujan yang optimal pada DAS Progo dan DAS Opak
D. Keaslian Penelitian
menggunakan cara acak (random network) dan cara Kagan selama ini telah
optimum, pola penyebarannya di dalam suatu Daerah Aliran Sungai serta hujan
reratanya. Namun sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian untuk mengetahui
Sri Harto (1987) telah meneliti keadaan DAS Opak untuk melihat
pengaruh pola penempatan stasiun hujan terhadap ketelitian perkiraan hujan DAS
dan hasilnya menunjukkan perilaku yang berbeda untuk setiap pola penempatan
E. Batasan Penelitian
seberapa jauh cakupan penelitian mengenai jaringan stasiun hujan ini sehingga
dengan Kagan dan cara acak (random network) pada tingkat kerapatan
2. Evaluasi jaringan pengukuran hujan dengan cara Kagan dan cara acak
zona atas (upstream), zona bawah (down stream) dan DAS secara
3. Hujan DAS dari beberapa variasi kerapatan jaringan stasiun hujan akan
4. Data hujan yang digunakan untuk analisa jaringan adalah data hujan
5. Data debit aliran yang digunakan adalah data debit jam-jaman dan debit
LokasiPenelitian
TINJAUAN PUSTAKA
A. Umum
Air yang ada di daratan, baik yang ada di permukaan maupun yang berada
di bawah permukaan, pada dasarnya berasal dari air hujan. Oleh karena itu hujan
merupakan komponen masukan yang penting dalam proses hidrologi. Pada proses
hidrologi, air hujan yang diukur dalam bentuk kedalaman air (mm, inci) kemudian
badan/alur sungai maupun tidak langsung jatuh ke dalam alur sungai tetapi
melalui media lain sebelum masuk ke dalam sungai, dimana semua diukur dalam
data curah hujan sangat penting untuk perkiraan debit aliran yang terjadi pada
suatu rentang periode waktu tertentu. Informasi tersebut sangat berguna bagi
1986) mengatakan penggunaan data hujan oleh setiap pengguna (users) akan
a. Peramalan hidrologi.
b. Studi kasus kejadian hujan ekstrim yang menyebabkan banjir atau kerusakan
lain.
7
8
Mengingat besarnya curah hujan merupakan fungsi ruang dan waktu, yang di
suatu tempat dengan tempat yang lain selalu tidak sama, maka luasan daerah yang
diwakili oleh stasiun hujan tersebut akan lebih baik jika memiliki luasan yang
kecil. Untuk mendapatkan besaran hujan yang dapat dipakai sebagai masukan ke
dalam analisis debit dari wilayah sungai yang ditinjau diperlukan stasiun
pengukur curah hujan (rainfall networks) yang memenuhi persyaratan baik jumlah
maupun penyebarannya.
seorang hydrologist dihadapkan pada dua masalah pokok, yaitu; pertama, tentang
besar ketelitian yang dapat dicapai oleh suatu jaringan pengamatan dengan
dapat dinyatakan sebagai luasan DAS yang diwakili oleh satu stasiun hujan.
Tinggi kerapatan ini sangat menentukan ketelitian perkiraan hujan (Sri Harto,
1987). Tingkat ketelitian hasil pengukuran curah hujan dalam suatu sistem
9
Dalam hal ini dapat dimengerti, bahwa makin banyak stasiun hujan dalam
suatu daerah aliran sungai, akan makin menguntungkan ditinjau dari informasi
yang diperoleh, tetapi akan merugikan ditinjau dari segi operasional serta
pembiayaan (Sri Harto, 1994). Schilperoort (Van Der Made, 1986) mengatakan
yang dibangun tersebut dapat memberikan informasi yang cukup dengan cost
penentuan jumlah dan kedudukan alat-alat penakar hujan (Chay Asdak, 2001).
Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain, alat-alat penakar hujan
1973).
pemilihan lokasi yang terbaik perlu dipikirkan dengan matang. Pengaruh ini dapat
tempat tersebut sekecil mungkin akan tetapi jangan sampai jumlah hujan
terkurangi oleh penangkapan air hujan oleh benda lain (Sri Harto, 1994).
Kecepatan angin
% pengurangan
(km/jam)
0 0
10 8
20 21
30 32
40 41
60 47
80 50
seluruh DAS akan memberikan besar perkiraan hujan yang lebih baik, akan tetapi
dengan memberikan kerapatan yang yang makin tinggi pada bagian DAS yang
Sri Harto (1986) mendapatkan hubungan yang sangat jelas antara tinggi
kerapatan stasiun hujan dengan penyimpangan yang didapat dalam hitungan hujan
rata-rata DAS. Demikian pula masalah penyebaran stasiun hujan yang berbeda
besarnya. Pulau Jawa memiliki tingkat kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan
jaringan hidrometri telah diusulkan, namun semua teori itu tidak cukup
pertimbangan teoritik dan pengalaman praktis dari para ahli hidrologi belum tentu
penerapannya akan sama karena faktor kondisi lokal (local condition). Sehingga
akan muncul adalah : berapa banyak stasiun yang akan dioperasikan? dimana
mengikuti sistem standar (dengan peralatan pengukuran muka air, debit air
dan temperatur),
penelitian atau keperluan proyek tertentu, terdiri dari stasiun imbangan air,
dengan beberapa titik pengamatan lain seperti titik-titik yang digunakan untuk
dasar yang direncanakan dan dibangun untuk menyediakan data terutama untuk
(accurate estimates).
sungai yang berada di sungai utama (induk) dengan debit rata-rata yang besar dan
untuk sungai yang mengalir di lokasi dataran rendah maka stasiun diletakkan di
tempat inflow air, atau di bagian sungai yang bercabang. Untuk kondisi sungai
yang berada di wilayah pegunungan, maka diletakkan pada sungai yang berada
yang signifikan seperti pada sungai primer atau pada outflow dari danau atau
reservoir. Pada sungai besar, perlu direncanakan beberapa stasiun di zona transit
mengetahui besarnya kehilangan air pada saluran karena evaporasi, infiltrasi dan
kehilangan air efektif untuk irigasi dan kebutuhan air lainnya. Jarak antar stasiun
dasar akan berbeda antar 30-50 km sampai dengan ratusan kilometer tergantung
(topografi, tanah, iklim) dan kerapatan dari sungai sehingga hujan DAS benar-
satu stasiun rata-rata per 500-1000 km2 dan satu stasiun 300-500 km2 untuk
kebutuhan stasiun hidrologi untuk keperluan jaringan suatu negara, WMO pada
jumlah stasiun per unit area sehingga hasilnya akan berbeda bagi setiap negara.
Saat itu, pendekatan metoda ini cukup bermanfaat meskipun kondisi fisik wilayah
dianggap sama. Lalu metoda diganti dimana kriteria WMO dibangun atas dasar
dinyatakan dalam km2 per stasiun yang memiliki tingkat kerapatan minimum bagi
kerapatan minimum pengukur curah hujan yang bisa dilihat pada tabel 2.2.
14
Jangkauan kerapatan
Wilayah
minimum (km2/stasiun)
Zona Temperate, mediterranian dan zona tropic
tiap stasiun. Pada dasarnya makin tinggi kerapatan jaringan akan diperoleh
dapat dicapai. Hal ini berhubungan dengan “cost and benefit”, sehingga peran
beberapa unsur lain perlu diperhatikan antara lain (Sri Harto, 1987):
3. Cara Kagan
terdapat cara yang relatif sederhana dalam pemakaian, baik dalam pengertian data
yang dibutuhkan maupun prosedur hitungannya. Cara ini dikemukan oleh Kagan
(1967), selain dapat dipakai untuk mendapatkan jumlah stasiun yang dibutuhkan
dengan tingkat ketelitian tertentu, dapat juga dipergunakan untuk membuat pola
penempatan stasiun hujan dengan jelas. Metode pola jaringan Kagan juga
memberikan hasil yang baik dari hasil penelitian I Wayan Yasa (2001) di pulau
yang dilakukan Ery (1998) pada stasiun hujan yang ada di pulau Jawa dimana
kondisi yang ada masih sesuai dengan metode Kagan hanya saja dari penyebaran
digunakan adalah :
r( d ) = r( o ) e − d / d ( o ) (2.1)
z 1 = c ( v ) {1 − r( 0 ) + ( 0,23 A ) / d ( 0 ) n / n} (2.2)
z 2 = c ( v ) {1 − r( 0 ) / 3 + 0,52 r( 0 ) / d ( 0 ) A / n} (2.3)
16
A
l = 1,07 (2.4)
n
dengan :
r(d) = koefisien korelasi untuk jarak d,
r(o) = koefisien korelasi untuk jarak sangat dekat,
Cv = koefisien variasi,
d = jarak antar stasiun, dalam km,
d(o) = radius korelasi, yaitu jarak antar stasiun dimana korelasi berkurang
dengan faktor e,
A = luas DAS, dalam km2,
n = jumlah stasiun,
Z1 = kesalahan perataan, dalam %,
Z2 = kesalahan interpolasi, dalam %,
l = jarak antar stasiun.
1. Menghitung nilai koefisien variasi (Cv) dari jaringan stasiun hujan yang
2. Mencari hubungan antara jarak antar stasiun dan koefisien korelasi dari
jaringan stasiun hujan yang tersedia, baik untuk hujan bulanan maupun hujan
harian.
dari grafik ini akan diperoleh besaran d(o) dengan menggunakan nilai rata-rata
4. Dengan besaran tersebut maka persamaan 2.2 dan 2.3 dapat dihitung setelah
antara jumlah stasiun dengan ketelitian yang diperoleh, baik untuk hujan
jaring-jaring segitiga sama sisi. Gambar dibuat di atas kertas transparan, yang
C. Hujan DAS
hidrologi dalam suatu wilayah. Lima unsur yang terkait dengan hujan, yaitu
intensitas hujan, durasi hujan, tinggi hujan, frekuensi (dinyatakan dengan kala
ulang), dan luas geografis curah hujan (CD. Soemarto, 1987). Besarnya curah
hujan ini diukur dengan menggunakan alat penakar curah hujan yang umumnya
terdiri atas dua jenis yaitu alat penakar curah hujan manual (manual raingauge)
Shaw dan P. E. O’Connel (WMO, 1976) mengatakan untuk penentuan areal curah
masing pengukur hujan merupakan data hujan lokal (point rainfall) sedangkan
yang dibutuhkan dalam analisis adalah data hujan daerah (areal rainfall) yang
benar-benar mewakili hujan DAS. Kedalaman hujan (rainfall depth) pada suatu
titik tertentu dapat diperoleh dengan mudah, namun luasan berlakunya kedalaman
hujan itu (representativeness) tidak dapat diketahui secara pasti (Sri Harto, 1993).
18
Masukan hujan yang digunakan dalam analisis adalah besaran hujan DAS
(catchment rainfall) yang dianggap dapat mewakili seluruh hujan yang terjadi
dalam DAS. Besaran hujan ini dapat diperoleh dengan merata-ratakan hujan titik
dipergunakan standar luas daerah sebagai berikut (Suyono dan Takeda, 1977).
1. Daerah dengan luas 250 ha yang mempunyai variasi topografi yang kecil,
pengamatan yang tersebar cukup merata dan dimana curah hujannya tidak
terlalu dipengaruhi oleh kondisi topografi, dapat digunakan cara aljabar rata-
rata. Jika titik-titik pengamatan itu tidak tersebar merata maka digunakan cara
thiessen.
4. Untuk daerah yang lebih besar dari 500.000 ha, dapat digunakan cara isohiet.
thiessen, dan isohiet. Ketiganya banyak digunakan dalam analisis meskipun cara
poligon Thiessen sampai saat ini yang dianggap paling menguntungkan (Sri Harto,
1993).
1. Metode Thiessen
Metode ini dikenal juga sebagai metode rata-rata imbang (weighted mean).
Cara ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh pos penakar hujan untuk
dua pos penakar terdekat. Metode ini diasumsikan bahwa variasi hujan antara pos
yang satu dengan lainnya adalah linier dan bahwa sembarang pos dianggap dapat
mewakili kawasan terdekat. Cara poligon Thiessen ini digunakan karena dianggap
paling baik dan relatif lebih teliti diantara cara-cara yang ada saat ini. Urutan
beberapa segitiga.
3. Poligon thiessen adalah luasan yang dibatasi oleh masing-masing garis sumbu,
n
P = ∑ α i Pi
i =1
= α A PA + α B PB + α C PC
(2.5)
20
dengan :
N = jumlah stasiun,
Pi = kedalaman hujan di stasiun I,
αi = bobot stasiun I =Ai / Atotal,
Ai = luas daerah pengaruh sta. I,
Atotal = luas total.
D. Analisis Frekuensi
dengan kala ulang (return period) tertentu. Besaran ini merupakan besaran banjir
(atau hujan/design rainfall) yang rata-rata akan disamai atau dilampaui sekali
dalam T tahun. T (tahun) ini disebut sebagai kala ulang (return period). Analisis
frekuensi dapat dilakukan untuk seri data yang diperoleh dari rekaman data baik
data hujan/debit.
Analisis frekuensi didasarkan pada sifat statistik data yang tersedia untuk
jumlah kejadian yang mungkin dan kejadian yang tidak mungkin (berpeluang dan
yang tidak berpeluang atau yang occurance dan yang non occurance). Parameter
1 n
1. Nilai rata-rata, x = ∑ xi
n i =1
(2.6)
1
⎡ 1 n
( )2⎤ 2
2. Standard deviation, s = ⎢ ∑
⎣ n − 1 i =1
xi − x ⎥
⎦
(2.7)
21
s
3. Koefisien Variasi, Cv = (2.8)
x
( )
n
n∑ xi − x
3
4. Koefisien skewness, Cs = i =1
(2.9)
(n − 1)(n − 2)s 3
⎛ n ⎞ ⎛ n ⎞⎛ n ⎞ ⎛ n ⎞
n 2 ⎜ ∑ x3 ⎟ − 3n⎜ ∑ x ⎟⎜ ∑ x 2 ⎟ + 2⎜ ∑ x3 ⎟
5. Koefisien kurtosis : Ck = ⎝ i =1 ⎠ ⎝ i =1 ⎠⎝ i =1 ⎠ ⎝ i =1 ⎠ (2.10)
n(n − 1)(n − 2) s 3
dengan :
x = variat,
x = rerata,
S = simpangan baku,
Cs = koefisien asimetri,
Cv = koefisien variasi,
Ck = koefisien kurtosis, dan
n = jumlah data.
jenis distribusi yang sesuai dengan sifat statistik data. Pemilihan agihan yang tidak
hidrologi yaitu; agihan normal, agihan log-normal, agihan log-Pearson tipe III dan
1. Agihan Normal
P ' ( x) =
1
e
[
− (x − μ )
2
] (2.11)
σ 2η 2σ 2
dengan :
σ = varian,
22
μ = rata-rata.
Sifat khas lain adalah nilai asimetrisnya (skewness) hampir sama dengan nol dan
P( x - σ ) = 15.87%
P( x ) = 50%
P( x + σ ) = 84,14%
adalah 68,27%. Sejalan dengan itu maka yang berada antara ( x - 2 σ ) dan ( x +
2 σ ) adalah 95,44%.
2. Agihan log-normal
⎛ ⎛ − μ ⎞
2
⎞
eksp⎜ − 1 ⎜⎜ ⎟⎟ ⎟ (μ > 0)
1 ln x
P ' ( x) = n
(2.12)
xσ n 2η ⎜ 2
⎝ σ n ⎠ ⎟⎠
⎝
⎛ μ4 ⎞
dengan : μ n = 1 2 ln⎜⎜ 2 ⎟
2 ⎟
(2.13)
⎝ μ +σ ⎠
⎛σ 2 + μ ⎞
2
σ = ln⎜⎜
2 ⎟ (2.14)
⎟
⎝ μ
n 2
⎠
dengan :
ηv =
σ −σ
μ
(
e −1
0,5 2
n
) (2.16)
23
Kurtosis
Dengan persamaan (3.3), dapat didekati dengan nilai asimetri 3 dan selalu
bertanda positif. Atau nilai ‘skewness’ Cs kira –kira sama dengan tiga kali nilai
III yang digunakan dalam analisis hidrologi. Probability density function agihan
dengan parameter :
c = 4 β −1 (2.19)
( )( )
sedangkan β 1 = μ32c / μ 23c
4. Agihan Gumbel
dating dari persoalan banjir. Tujuan dari teori statistik harga-harga ekstrim adalah
eksponensial ganda:
⎡ ⎛ C − X ⎞A ⎤
P ( x) = e ⎢− ⎜ ⎟ ⎥ (2.22)
⎣⎢ ⎝ C − B ⎠ ⎦⎥
P(Y ) = e − y (2.23)
A = 1,281 / σ (2.24)
B = μ − 0,45σ (2.25)
Selanjutnya diperoleh nilai asimetri =1,1396 sedangkan kurtosis = 5,4002
Selanjutnya perlu diperhatikan bahwa agihan log normal dan log Pearson
III memberikan hasil yang baik mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh
Benson dan Beard (Sri Harto, 1993). Kemudian didukung dalam disertasinya Sri
Harto (1985) yang menemukan keadaan serupa, baik untuk data hujan maupun
data debit untuk 30 buah DAS di pulau Jawa. Analisis frekuensi hujan yang
mengikuti agihan log-Pearson tipe III, log normal dan normal masing-masing
30,3% dan 3,3%, sedangkan untuk analisis frekuensi data debit terhadap DAS-
DAS yang sama menunjukkan bahwa agihan log-Pearson III dan log normal
masing-masing 66,7% dan 33,3%, dan tidak ada yang mengikuti agihan normal
jam-jaman merupakan keharusan. Sampai saat ini belum ada hasil penelitian yang
Indonesia, meskipun dengan besaran persen yang berbeda. Hal yang penting
dalam pembuatan rancangan dan rencana adalah distribusi curah hujan. Distribusi
oleh lokasi DAS berdasarkan tinggi rendahnya elevasi dari muka air laut,
koordinat garis lintang dan garis bujur, serta jauh dekatnya dari pantai (Rachmad
Jayadi, 2004). Dalam hal ini cara yang digunakan untuk mendistribusikan hujan
harian (hujan rancangan) adalah sesuai dengan pola kejadian hujan di daerah yang
ditinjau. Untuk daerah dataran tinggi umumnya mempunyai intensitas rendah dan
berlangsung lama. Di daerah tidak jauh dari pantai atau sangat besar dipengaruhi
oleh angin laut dan merupakan dataran rendah maka kejadian hujan sangat singkat
Pola tipical distribusi hujan dapat ditentukan, misalnya dengan agihan Tadashi
Animoto (Joko Sujono, 2004). Apabila data otomatik tidak tersedia maka distrbusi
hujan dapat ditentukan dengan model distribusi hipotetik (Chow et all., 1988
dalam Joko Sujono, 2004) seperti uniform, segitiga, bell shape ataupun
alternating block method (ABM). Pola alternating block method berdasarkan data
26
1983).
30
25
20
%p
15
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8
waktu (jam )
Gambar 2.2 Agihan hujan Tadashi Animoto
Sherman (1905). Rumus Mononobe digunakan apabila data hujan jangka pendek
tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian, maka intensitas hujan dapat
⎛ R24 ⎞⎛ 24 ⎞
T n
I = ⎜⎜
t
T
⎟⎜ ⎟
⎟⎝ t ⎠ (2.26)
⎝ 24 ⎠
dengan :
I Tt : intensitas hujan pada durasi t dengan kala ulang T tahun (mm/jam),
T
R24 : intensitas hujan harian maksimum pada T yang ditinjau (mm/hari),
t : durasi hujan (jam),
n : konstanta.
27
Lama hujannya dapat didekati dengan waktu konsentrasi (tc), dalam hal ini
diasumsikan bahwa jika durasi hujan sama dengan waktu konsentrasi, maka setiap
bagian DAS secara serentak telah menyumbangkan aliran terhadap titik kontrol.
Salah satu metode untuk memperkirakan waktu konsentrasi adalah rumus yang
dikembangkan oleh Kirpich (1940) yang dapat ditulis sebagai berikut (Suripin,
2003).
0 , 385
⎛ 0,87 xL2 ⎞
tc = ⎜⎜ ⎟⎟ (2.27)
⎝ 1000 xS ⎠
dengan :
tc : waktu konsentrasi (jam),
L : panjang sungai utama (km),
S : landai sungai utama.
Selain rumus Kirpich, ada beberapa rumus waktu konsentrasi yang lain
F. Hidrograf Satuan
tertentu. Konsep hidrograf satuan dikemukakan pertama kali oleh Sherman (1932)
yang dipergunakan untuk prakiraan banjir yang terjadi akibat hujan dengan
kedalaman dan agihan (distribusi) tertentu (Sujono, 2004). Keunggulan metode ini
tidak hanya dapat memberikan besarnya debit banjir maksimum tetapi dapat juga
memberikan durasi hujan. Keunggulan lainnya adalah dari metode hidrograf ini
waduk karena dapat dilakukan analisis terhadap routing banjir sampai ke hilir
yang dihasilkan oleh hujan mangkus (efektif) yang terjadi merata di seluruh DAS
(spatialy evenly distributed) dengan intensitas tetap dalam satu satuan waktu yang
ditetapkan (constant intencity). Selain itu ada tiga buah postulat hidrograf-satuan
1. ordinat hidrograf satuan sebanding dengan volum hujan yang terjadi (linier
system),
2. tanggapan DAS tidak tergantung dari waktu terjadinya hujan (time invariant),
3. waktu yang dihitung dari berhentinya hujan sampai akhir hidrograf limpasan
langsung selalu tetap (waktu dari saat berakhirnya hujan sampai akhir
nQt Q2 t i 2
=
Q Qt i1
TB t t
(a) Waktu dasar sama (b) Prinsip proporsional antara
aliran/hujan efektif
i2
i3
i1
i
Gambar 2.4 Ilustrasi prinsip linier system dan time invariant pada teori hidrograf
satuan
satuan terukur ada dua yaitu persamaan polinomial dan dengan cara Collins. Oleh
Collins. Urutan cara polinomial adalah sebagai berikut. (Sri Harto, 2000).
30
a. Dipilih kasus hujan dan rekaman AWLR (hidrograf tinggi muka air tunggal).
yang berlaku.
langsung.
adalah q1, q2 … qn. Jumlah ordinat hidrograf satuan (n) = jumlah ordinat
superposisi.
Bila diketahui hujan selama 3 jam dengan agihan waktu masing-masing R1,
R2, dan R3, dan hidrograf satuan hipotetik dengan ordinat q1, q2, ……… qn, maka
1. Dipilih kasus hujan dan rekaman AWLR (hidrograf tinggi muka air tunggal).
yang berlaku.
limpasan langsung.
butir (4), maka hasilnya adalah hidrograf akibat hujan maksimum. Maka
perbedaan keduanya telah lebih kecil dari patokan yang ditetapkan, maka
hidrograf satuan ini dianggap sudah benar. Tetapi bila perbedaannya masih
32
lebih besar, prosedur pada butir (4) diulangi lagi menggunakan hidrograf
terahir yang tidak berbeda banyak (tidak melebihi patokan perbedaan yang
ditetapkan).
ditimbulkan baik langsung maupun tidak langsung oleh banjir tidak boleh terjadi
selama besaran banjir tidak terlampaui (Sri Harto, 1993). Rachmad Jayadi (2000)
dengan kala ulang tertentu. Kala ulang debit ditakrifkan sebagai suatu kurun
waktu berulang dimana debit yang terjadi menyamai atau melampaui besarnya
Didalam praktek memang tidak pernah dijumpai pedoman yang jelas yang
dapat digunakan sebagai pegangan dalam penetapan kala ulang. Faktor teknis
umumnya tidak bersifat paling menentukan dibanding faktor ekonomi, social dan
politik yang lebih memiliki peranan lebih penting (Sri Harto, 2000). Banjir
rancangan dapat berupa debit puncak, volume banjir, ataupun hidrograf banjir.
memerlukan informasi dasar dari DAS untuk memprediksi debit banjir (George
33
dan Halasi dalam David, 1973). Dalam praktek analisis hidrologi terdapat
beberapa cara yang ditempuh untuk menetapkan debit banjir rancangan. Cara
analisis dapat dikelompokkan menjadi tiga metode (Gupta, 1967 dalam Sri Harto
2000) yaitu cara empirik, cara statistik, dan analisis dengan model hidrologi.
Salah satu cara empirik adalah metode pendekatan dengan rumus rasional.
Cara ini dilakukan apabila tidak tersedia data debit yang cukup panjang. Terdapat
prinsip pendekatan rasional (Muhadi, 1987 dalam Rachmad Jayadi, 2000) yaitu :
Selain itu juga digunakan cara hidrograf satuan terukur dan cara hidrograf
satuan sintetik. Cara yang disebutkan terakhir yaitu cara hidrograf satuan sintetik
dilakukan jika tidak tersedia data debit aliran maupun data curah hujan, sehingga
karakteristik sungai seperti kemiringan dan panjang sungai, luas DAS dan
kondisinya, diamati dengan cermat, dan dituangkan dalam bentuk angka. Adapun
sintetik GAMA II, hidrograf satuan sintetik Snyder dan hidrograf satuan sintetik
suatu tiruan dari sistem hidrologi (sistem DAS yang kompleks), yakni hubungan
34
antara masukan (input), sistem DAS, dan keluaran (ouput) debit sungai yang
dinyatakan dalam debit banjir atau hidrograf banjir (Rachmad Jayadi, 2000).
Setiap model hujan aliran memiliki konsep dasar yang sama, yaitu perumusan
neraca air (water balance) pada zona hidrologi yang ditinjau dengan merinci
besarnya setiap unsur aliran. Beberapa model yang sering digunakan di Indonesia
LANDASAN TEORI
stasiun hujan baik untuk masukan (input) hujan harian maupun hujan bulanan,
dalam melakukan ini dihindarkan adanya “complete dry days”, jadi hanya untuk
(kesalahan perataan dan kesalahan interpolasi), dan kedua lokasi stasiun hujan
kerapatan jaringan yang diperoleh dengan cara Kagan nantinya akan diperoleh
jumlah stasiun yang optimum. Apabila jumlah stasiun hujan yang telah ada dalam
DAS ternyata lebih besar dari jumlah stasiun hujan yang diperoleh dari cara
Kagan, maka tidak semua stasiun dalam dalam DAS diperlukan dalam analisis
selanjutnya dan stasiun yang ada dapat dikurangi. Pemilihan dilakukan dengan
saja sebagai stasiun yang dianggap mewakili jaringan Kagan, dan yang
hujan yang tersedia dalam DAS ternyata lebih kecil dibandingkan dengan jumlah
yang didapat dari Kagan, maka perlu ditambah stasiun-stasiun baru di simpul-
35
36
simpul jaringan Kagan dan semua stasiun hujan yang ada harus digunakan dalam
analisis. Namun kesalahan dengan besaran tertentu akan terbawa ke dalam analisis
besarnya hujan rancangan dengan kala ulang tertentu didasarkan pada data yang
aliran debit banjir (flood hydrograh). Ketersediaan data hujan untuk menentukan
data dan kelengkapan data. Kualitas data terpilih sangat berpengaruh terhadap
hasil analisis, sehingga perlu hati-hati dalam menentukan data. Ketersediaan data
hujan yang cukup panjang tetapi banyak data yang rusak atau hilang sehingga
kehilangan tersebut harus diabaikan, namun jika kehilangan data tidak panjang
maka dilakukan koreksi data atau mengisi data tersebut. Satu seri data hujan
spesifikasi yang berbeda atau karena alat ukur dipindahkan. (Sri Harto, 2000) Dari
penelitian yang dilakukan untuk kurang lebih 600 stasiun hujan di pulau Jawa,
ternyata 15% data hujannya tidak panggah. Cara koreksi yang paling mudah dan
telah lama digunakan adalah cara grafis, dengan analisis kurva ganda (double
mass analysis).
yang dapat berfungsi sebagai jaringan pengamatan yang utuh, tingkat variabilitas
ini akan menurun. Fungsi jaringan dalam pengamatan besaran variable adalah
standard error”.
C. Analisis frekuensi
statistik dianggap paling baik, karena didasarkan pada data terukur di sungai, yaitu
catatan debit banjir yang pernah terjadi. Sehingga bisa dipahami bahwa analisis
dilakukan secara lansung pada data debit, tidak melalui hubungan empiris antar
beberapa parameter DAS dan hujan seperti halnya dengan cara empirik. Oleh
karena itu sampai saat ini masih dianggap cukup diandalkan. Walaupun ketelitian
hasil juga akan sangat dipengaruhi oleh data yang tersedia, baik tentang kuantitas
Analisis frekuensi dilakukan dengan mengambil satu seri data debit banjir
teoritik dapat diterapkan dan memberi hasil yang teliti apabila data yang tersedia
relative panjang. Batasan umum adalah 20 tahun, akan tetapi apabila ketersediaan
data kurang, maka dapat ditempuh dengan cara menetapkan nilai debit banjir
ambang (treshold). Hal ini dikarenakan besaran maksimum kedua dalam suatu
tahun mungkin lebih besar dari maksimum data tahun yang lain, sehingga dipakai
38
cara “partial series”. Partial series (peak over threshold) dengan menetapkan
penerapan cara ini data debit banjir akan bertambah, karena kemungkinan dalam
satu tahun akan terdapat lebih dari satu data debit banjir yang lebih besar dari nilai
debit banjir ambang. Hubungan antara kala ulang hasil analisis frekuensi dengan
data “annual series” dan dengan data “partial series” tersaji dalam rumus di
bawah ini.
1
Tp = (3.1)
[ln Ta − ln(Ta − 1)]
dengan :
Tp = kala ulang untuk data “partial series”,
Ta = kala ulang untuk data “annual series”.
dalam hidrologi. Inputnya berupa hujan merata yaitu hujan dengan intensitas
konstan sebesar i dan durasi tertentu T yang terbagi rata di atas DAS. DAS
penurunan cara polinomial atau cara collins menghasilkan keluaran analisis dalam
bentuk hidrograf banjir sehingga dapat diketahui debit banjir puncaknya sebagai
debit banjir rancangan yang ditentukan dengan penggunaan pola distribusi hujan.
hidrograf satuan sampai saat ini masih dipandang cukup baik. Namun dalam
pemakaian cara ini harus sangat diperhatikan dan hendaknya masih perlu
39
dengan teliti. Ketidaktersediaan data (data hujan dan data debit) yang memadai
banyak rumus empiris seperti: cara snyder, rumus SCS, dan Hidrograf Satuan
Sintetik Gama I (Sri Harto 1985). Cara ini dilakukan dengan harapan dapat
bersangkutan.
paling tidak harus didasarkan pada hasil analisis ekonomi (benefit cost analysis)
sebagai salah satu pertimbangan non teknis. Meski tidak terdapat kriteria dan
pedoman yang definitif dalam pemilihan besarnya kala ulang banjir rancangan
2. ketersediaan data,
40
6. kebijaksanaan politik.
anggapan kala ulang hujan sama dengan kala ulang debit banjir yang terjadi akibat
adanya hujan yang besarnya sama dengan hujan rancangan yang ditetapkan.
Meski tidak selalu benar, namun dalam praktek cara ini masih digunakan. Analisis
ini menjadi salah satu sumber kesalahan yang dapat membawa pada besaran
rancangan yang tidak benar. Masalah yang akan dihadapi nantinya apabila biaya
konstruksi yang dikehendaki relatif kecil dan dengan besaran yang lebih kecil
ditetapkan sebagai patokan rancangan maka akan membawa resiko yang lebih
besar karena kemungkinan besaran akan terlampaui sebelum jangka waktu yang
besar, resiko menjadi kecil karena perancangan aman, namun biaya konstruksi
R = 1 – (1-1/T0L (3.2)
dengan :
R = resiko kegagalan,
T = kala ulang (tahun),
L = umur bangunan/proyek (tahun).
BAB IV
HIPOTESIS
penempatan stasiun hujan baik dengan cara Kagan maupun dengan cara acak
(random) terkait dengan zonifikasi wilayah DAS hulu dan hilir serta DAS
secara keseluruhan akan memberikan hasil dengan jumlah stasiun dan pola
kerapatan yang berbeda. Sehingga jaringan stasiun hujan pada DAS yang
perhitungan yaitu jumlah stasiun hujan dan pola kerapatan yang optimal.
Demikian juga dengan hasil ketelitiannya akan berbeda terhadap analisis debit
banjir rancangan.
41
BAB V
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tahapan Penelitian
Dalam penelitian ini, secara garis besar urutan tahap atau alur kegiatan
1. Melakukan persiapan,
5. Analisis hujan DAS dari setiap cara Kagan dan random pada kondisi
upstream, downstream dan DAS secara keseluruhan,
8. Perhitungan debit banjir rancangan dari data debit terukur dengan analisis
frekuensi,
9. Membuat laporan.
42
43
Mulai
Stasiun hujan
Existing
Setting error
Data Hujan
Jaringan /Hujan titik Analisis
existing frekuensi
Kagan network
terpakai Hujan DAS
Analisis Frekuensi
Data Hujan
/Hujan titik
Hujan
Rancangan Debit banjir
Hujan DAS Rancangan
Distribusi Hujan
Analisis Frekuensi jam-jaman
Hujan
Rancangan
Distribusi Hujan
jam-jaman
Debit Banjir
Rancangan
Ei
Ei min
Selesai
penelitian pada dua DAS yaitu DAS Opak dan DAS Progo, yang letaknya berada
Tengah.
Sedangkan di Provinsi DIY secara administratif yang termasuk dalam DAS Progo
adalah Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul dan
luasannya relatif kecil. Luas DAS Progo ± 2.535,25 km2 dengan panjang sungai
utama ± 138 km. Sungai ini berhulu di empat gunung, yaitu Gunung Sumbing (±
3.240 m), Gunung Sindoro (± 3.136 m), Gunung Merbabu (± 3.142 m) dan
Gunung Merapi (± 2.986 m). Sungai ini bermuara di sungai utama (Sungai Progo)
yang memanjang dari utara ke selatan. Debit sungai progo tercatat dibeberapa
Luas DAS Opak ± 643.15 km2, dengan panjang sungai utama ± 65 km.
Secara administratif wilayah-wilayah yang termasuk dalam DAS Opak ini yaitu
Merapi. Sungai Opak memiliki anak sungai yang besar yaitu Sungai Oyo, dimana
Sungai Opak memiliki beberapa anak sungai utama di Provinsi DIY, yaitu Kali
Gajahwong, Kali Code, Kali Winongo, Kali Kuning, Kali Gendol dan Kali Ngijo.
3. Topografi
Secara umum kondisi topografi wilayah di DAS Progo dan DAS Opak
rendah baik yang berada di Provinsi Jawa Tengah maupun yang berada di
Provinsi DIY. DAS Progo yang berada di Provinsi Jawa Tengah sebagian besar
atau dua pertiganya merupakan wilayah dengan topografi sedang sampai sangat
C. Pengumpulan Data
sumber antara lain Balai Sumber Daya Air Progo–Opak–Oyo, Dinas Pengairan,
1. Peta lokasi stasiun hujan diperlukan dalam menentukan lokasi dan identifikasi
2. Peta topografi DAS, untuk mengetahui luasan DAS, batas DAS (kondisi
2. Data hujan jam-jaman, digunakan untuk menentukan lama hujan dan pola
distribusi hujannya.
hidrograf satuan.
D. Pemilihan Data
dengan lengkap dan memenuhi syarat untuk digunakan didalam analisis, baik data
stasiun hujan, data hujan dan data aliran (debit). Sehingga ada beberapa data yang
dipilih untuk digunakan dalam analisis meliputi 24 buah stasiun curah hujan DAS
Opak dan 50 buah stasiun curah hujan DAS Progo. Panjang data rata-rata berkisar
lebih dari 10 tahun. Dari data hujan terpilih ini ternyata data hujannya juga ada
yang kosong untuk data hariannya sehingga berpengaruh terhadap data bulanan.
Stasiun hujan yang dipergunakan dalam penelitian di DAS Opak dan DAS
Progo antara lain bisa dilihat pada tabel 5.2 di bawah ini.
No. Nama stasiun Hujan Luas DAS Luas Pengaruh (KM2) Bobot
1 Jumo 50.78053 0.020030
2 Ngadirejo 24.99023 0.009857
3 Jumprit 48.22171 0.019020
4 Parakan 72.98417 0.028788
5 Kebraman 96.47917 0.038055
6 Kandangan 131.13328 0.051724
7 Pleret 76.39213 0.030132
8 Pakisdadu 119.56306 0.047160
9 Kaliloro 50.43674 0.019894
10 Salaman 62.10177 0.024495
11 Magelang 44.18984 0.017430
12 Borobudur 66.79518 0.026347
13 Muntilan 58.14608 0.022935
14 Kaliangkrik 88.10236 0.034751
15 Grabag 76.71742 0.030260
16 Ngablak 40.21140 0.015861
17 Kintelan 85.18007 0.033598
18 Salam 22.51073 0.008879
19 Dukun 35.80441 0.014123
20 Mendut 42.85115 0.016902
21 Badran 98.29364 0.038771
22 Kalijoho 67.00920 0.026431
23 Sapon 60.48707 0.023858
24 Gembongan 73.52300 0.029000
25 Kalibawang 36.73167 0.014488
2535.25
26 Brosot 55.24128 0.021789
27 Seneng 65.43312 0.025809
28 Kalegen 67.69636 0.026702
29 Sawangan 71.41662 0.028169
30 Srumbung 42.70723 0.016845
31 Babadan 65.29404 0.025754
32 Sayegan 20.76259 0.008190
33 Tempel 18.27746 0.007209
34 Ledok nongko 19.13405 0.007547
35 Angin-angin 15.82303 0.006241
36 Dadapan 30.30735 0.011954
37 Jetis Medari 18.29286 0.007215
38 Cebongan 11.83874 0.004670
39 Ngepos 15.90127 0.006272
40 Beran 12.19105 0.004809
41 Jambon Demakijo 16.81347 0.006632
42 Patukan 62.55215 0.024673
43 Godean 37.09116 0.014630
44 Sendangpitu 24.06055 0.009490
45 Minggir 40.93427 0.016146
46 Sanden Pandak 33.78294 0.013325
47 Singkung 53.98296 0.021293
48 Kenteng 27.65340 0.010908
49 Tegal 29.94948 0.011813
50 Tempuran 48.48054 0.019123
49
Dengan melihat hasil peta topografi dan data kemiringan DAS selanjutnya
DAS Opak dan DAS Progo, baru kemudian dilakukan analisa jaringan stasiun
hujan untuk cara Kagan dan cara random. Berikut disajikan tabel stasiun hujan
Nama stasiun
No. Hujan Luas DAS Luas Pengaruh (Km2) Bobot
1 Ngipiksari 36.01291 0.320086
2 Pakem 23.39332 0.207922
3 Banjarharjo 112.51 22.30162 0.198219
4 Bronggang 24.01267 0.213427
5 Kemput 6.78723 0.060326
No. Nama stasiun Hujan Luas DAS Luas Pengaruh (Km2) Bobot
1 Gandok 26.19996 0.049371
2 Jangkang 22.06656 0.041582
3 Gondangan 11.76598 0.022172
4 Prumpung 5.55248 0.010463
5 Dolo 12.48086 0.023519
6 Barongan 79.02763 0.148918
7 Tanjung Tirto 11.32224 0.021335
8 Santan 27.06193 0.050995
9 Krikilan / Berbah 530.68 13.65430 0.025730
10 Juwangen 8.65330 0.016306
11 Sambiroto 5.74152 0.010819
12 Krajan / Kalasan 13.36054 0.025176
13 Klombo / Depok 24.87271 0.046870
14 Pundong 88.57972 0.166917
15 Prambanan 26.88507 0.050662
16 Trukan Sorogedug 53.01639 0.099903
17 Karang Ploso 44.83351 0.084483
18 Mrican 30.10593 0.056731
19 Nyemengan 25.50177 0.048055
50
buah stasiun AWLR di DAS Opak dan 11 buah stasiun AWLR di DAS Progo.
Namun hanya 4 buah stasiun AWLR yang akan digunakan didalam penelitian ini
yaitu stasiun AWLR yang berada di titik outlet DAS Opak dan DAS Progo pada
downstream. Data debit yang tersedia dari tahun 1993 sampai tahun 2004.
Metode Kagan dilakukan pada DAS yang ditinjau yaitu DAS Opak dan
DAS Progo, yang evaluasinya terdiri dari DAS hulu (step slope), DAS hilir (mild
slope) dan seluruh DAS itu sendiri. Cara kagan dimulai dengan memilih data
curah hujan bulanan yang benar-benar terjadi hujan, yaitu dengan menghilangkan
bulan kering april sampai dengan bulan september untuk setiap tahun yang
tersedia data. Data hujan bulanan juga dihilangkan jika kedua/salah satu stasiun
hujan tidak ada datanya atau besar data sama dengan nol. Cara Kagan telah
dan (2.4).
Koefisien korelasi ditetapkan dari data hujan bulanan satu stasiun hujan
dengan satu stasiun hujan lainnya (antar stasiun). Dengan persamaan (2.1) dapat
diketahui nilai r(o) dan do tiap DAS. Besaran koefisien variasi Cv diperoleh dari
rekaman data hujan bulanan. Koefisien variasi dihitung dari rata-rata hujan
bulanan tiap tahun dari hasil kali bobot tiap stasiun dengan data hujan bulanan
yang ada, Cv didapat setelah rata-rata dan standar deviasi diketahui. Untuk r(d)
dihitung dari r(d) rata-rata tiap jarak dan korelasi antar stasiun, dengan
dengan koefisien korelasi antar stasiun hujan. Untuk r(0) diambil jarak minimum
antar stasiun yaitu nol km. Persamaan (2.2) dan (2.3) dengan coba ulang dapat
hujan dengan besar kesalahan perataan pada masing-masing DAS tiap-tiap zona.
53
Jaringan stasiun cara Kagan tersebut dapat digambarkan dengan besar kesalahan
diketahui jumlah stasiun Kagan tiap zona pada masing-masing DAS. Jarak antar
stasiun dihitung memakai persamaan (2.4), lalu jaring segitiga sama sisi
digambarkan di atas peta DAS dengan jumlah simpul yang menjadi lokasi stasiun
dengan memisahkan catchment area menjadi tiga zona yaitu untuk zona upstream,
zona downstream dan zona DAS itu sendiri. Hal ini mengingat tingkat variabilitas
jaringan hujannya dengan cara acak. Cara acak ini dibuat dengan menghilangkan
satu persatu jaringan stasiun hujan untuk setiap zona, yang setiap pengurangan
stasiun.
hujan yang terbagi rata dengan pola tertentu akan menghasilkan perkiraan hujan
yang lebih baik dibandingkan dengan penempatan stasiun hujan secara acak, dan
atau pendapat yang mengatakan wilayah dengan vasiasi hujan tinggi memerlukan
kerapatan yang lebih tinggi dibanding dengan wilayah dengan variasi hujan
rendah, namun masih perlu dikaji lebih lanjut pendapat tersebut untuk wilayah
Untuk metode jaringan hujan Kagan, hujan DAS dihitung dari stasiun
hujan terpilih sesuai dengan perhitungan jaringan Kagan yang terpakai dengan
pembagian tiga zona yaitu zona upstream, zona downstream dan zona DAS itu
sendiri, sedangkan untuk jaringan pengukuran hujan acak juga terpisah menjadi
tiga zona yaitu zona upstream, zona downstream dan zona DAS itu sendiri, hujan
DAS diambil dari data hujan eksisting dengan variasi jaringan acak setiap zona.
tahunan (maximum annual series). Data hujan maksimum tahunan dimulai dengan
mengambil satu data hujan maksimum tahunan di salah satu stasiun hujan,
kemudian besar curah hujan maksimum diambil juga untuk stasiun hujan yang
lain pada tanggal, bulan dan tahun yang sama. Lalu hujan DAS dihitung dengan
memakai cara poligon Thiessen. Cara yang sama diulangi untuk stasiun hujan
yang lain. Sehingga nanti akan diperoleh n buah hujan maksimum harian rata-rata
tiap tahunnya, yang jumlahnya sesuai dengan jumlah stasiun hujan yang dihitung.
Dari hitungan hujan DAS yang diperoleh tiap tanggal, bulan dan tahun yang sama
tersebut akan dipilih yang terbesar sebagai hujan maksimum harian rata-rata pada
tahun tersebut.
Hujan DAS setiap stasiun hujan diberikan bobot tertentu dan dianggap
mewakili hujan dalam suatu daerah dengan luas tertentu, dan luasnya merupakan
faktor koreksi (weighing factor). Dan dengan seri data hujan maksimum tersebut,
hujan rancangan dengan kala ulang yang diinginkan dapat ditetapkan dengan
55
analisis frekuensi. Data hujan yang digunakan dalam analisis frekuensi untuk
menggunakan kala ulang 25 dan kala ulang 50 tahun. Ketersediaan data debit
dalam jangka waktu yang cukup panjang kurang lebih 20 tahun. Dari satu
rangkaian data (data series) debit yang tersedia, akan dipilih satu angka debit
maksimum setiap tahun, sehingga akan diperoleh satu seri data yang baru. Data
debit yang tidak tersedia akan dilakukan pengumpulan data tinggi muka air dari
recording), data debit akan diperoleh dengan persamaan liku kalibrasi (rating
curve).
variation coefficient, skewness, dan kurtosis. Urutan yang lazim dilakukan dalam
analisis frekuensi.
a. nilai rata-rata,
b. standard deviation,
c. koefisien Variasi,
d. koefisien skewness,
56
e. koefisien kurtosis,
X T = X + KS (4.1)
dengan :
XT : variat dengan kala ulang T,
X : rata-rata sampel,
K : faktor frekuensi (frequensi factor),
S : standard deviation.
4. Apabila syarat ujinya terpenuhi, ditentukan besar rancangan yang dicari untuk
5. Jika syarat uji tidak terpenuhi, dipilih distribusi yang lain dan analisis dapat
dengan pengujian chi quadrat dan smirnov kolmogorov. Jika kedua syarat uji
distribusi terpenuhi, maka dapat ditentukan besarnya debit banjir untuk beberapa
dan atau dengan. Pada penelitian ini yang digunakan adalah dengan persamaan
cara Collins karena memberikan hasil yang lebih baik. Hidrograf yang benar
dari beberapa kasus banjir. Perataan dilakukan dengan merata-ratakan baik debit
puncak maupun waktu-capai puncak. Sisi resesi dilakukan dengan menarik liku
resesi rata-rata dengan memperhatikan agar volume hidrograf satuan sama dengan
satuan volume yang ditetapkan. Nantinya didapat hidrograf satuan khas untuk
Debit puncak yang diperoleh dari hasil metode hidrograf satuan cara
Collins dengan masing-masing kala ulang yang ditetapkan dan jumlah setiap
stasiun hujan tertentu dibandingkan hasilnya dengan debit puncak hasil analisis
frekuensi data debit terukur dengan masing-masing kala ulang yang ditetapkan
dan jumlah setiap stasiun hujan tertentu pula. Sehingga diketahui penyimpangan
minimum dari masing – masing debit banjir rancangan. Dari kesalahan terkecil itu
didapatkan jumlah jaringan pengukuran hujan yang optimal untuk DAS Progo dan
Opak.
58
Gambar 5.2 Peta Ketinggian DAS Opak dan DAS Progo dengan kondisi upstream
dan kondisi downstream
59
Gambar 5.3 Peta stasiun curah hujan dan stasiun AWLR DAS Opak dan DAS
Progo dengan kondisi upstream dan kondisi downstream
BAB VI
Setelah melakukan analisis data curah hujan bulanan pada DAS Opak dan
penelitian yang telah disebutkan pada bab V diperoleh hasil penelitian berikut ini.
1. Besaran koefisien variasi hujan bulanan untuk DAS Opak dan DAS Progo
yang dihitung dari data yang tersedia disajikan dalam table 6.1 berikut ini.
DAS Cv
Opak 0.5179
Opak (Kondisi upstream) 0.5028
Opak (Kondisi downstream) 0.5623
DAS Cv
Progo 0.5815
Progo (Kondisi upstream) 0.6751
Progo (Kondisi downstream) 0.5650
2. Korelasi antar stasiun DAS Opak, DAS Opak (kondisi upstream), DAS
60
61
1.00 0.90
Grafik Korelasi - Jarak Antar Stasiun DAS OPAK Grafik Korelasi - Jarak Antar Stasiun DAS OPAK ( Upstream )
0.90
0.85
0.80
0.80
0.70
0.75
0.60
0.70
0.50 r(d) = 0.8014e-0.0257d
0.65
0.40
0.60
0.30
0.80
koefisien korelasi (r)
0.60
0.40
0.20
r(d) = 0.6459e-0.0103d
0.00
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
jarak (km)
Gambar 6.1 Korelasi antar stasiun DAS Opak secara keseluruhan, DAS Opak
(kondisi upstream), dan DAS Opak (kondisi downstream)
1.00 1.00
0.90 Grafik Jarak - korelasi antar stasiun Grafik Jarak - korelasi antar stasiun DAS Progo
0.90
koefisien ko relasi (r)
0.80 0.80
-0.0071d
0.70 r(d)= 0.4757e 0.70
0.60 0.60
0.50 0.50
0.40 0.40
0.30 0.30
0.20 0.20
0.10 0.10 -0.0067d
r(d) = 0.4617e
0.00 0.00
0 20 40 60 80 0 10 20 30 40 50 60 70
jarak (km) jarak (km)
Gambar 6.2 Korelasi antar stasiun DAS Progo secara keseluruhan, DAS Progo
(kondisi upstream), dan DAS Progo (kondisi downstream)
62
1.00
Grafik Jarak - korelasi antar stasiun
0.90
DAS Progo (Kondisi downstream)
0.80
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
-0.0157d
0.10
r(d)= 0.5972e
0.00
0 5 10 15 20 25 30 35 40
jarak (km)
24 24
Grafik Hubungan Jumlah Stasiun dan Kesalahan Rata-
22 Grafik Hubungan Jumlah Stasiun dan Kesalahan Rata-rata 22 rata DAS OPAK
20 DAS OPAK (Upstream) 20
18 18
-0.0619
16 Z2 = 18.566N 16 -0.036
Z2 = 21.312N
Z(%)
14 14
12 12
10 10
Z (% )
8 8
6 6 -0.5092
-0.5148 Z1 = 31.754N
Z1 = 24.341N
4 4
2 2
0 0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150
Jumlah Stasiun (N)
Jumlah Stasiun (N)
27
Grafik Hubungan Jumlah Stasiun dan Kesalahan Rata-
24 rata DAS OPAK - Downstream
21
18 -0.025
Z2 = 22.321N
15
Z(%)
12
-0.5063
6 Z1 = 34.679N
3
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200
Gambar 6.3 Hubungan antara jumlah stasiun dan kesalahan perataan dan
kesalahan interpolasi DAS Opak secara keseluruhan, DAS Opak (kondisi
upstream), dan DAS Opak (kondisi downstream)
63
35 45
Grafik Hubungan Jumlah Stasiun dan Grafik Hubungan Jumlah Stasiun dan Kesalahan Rata-
40
30 Kesalahan Rata-rata DAS PROGO
35
rata DAS PROGO (Kondisi Upstream)
Z (% )
25
30
-0.0215
20 Z2 = 27.513N
25
-0.0168
Z2 = 31.492N
Z(%)
15 20
15
10
-0.5072
Z1 = 43.859N 10 -0.5057
Z1 = 51.156N
5
5
0 0
0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 0 25 50 75 100 125 150 175 200 225
Jumlah Stasiun (N)
Jumlah Stasiun (N)
35
Grafik Hubungan Jumlah Stasiun dan Kesalahan Rata-rata DAS
30 PROGO (Kondisi downstream)
Z (% )
25
20
-0.038
Z2 = 25.851N
15
10
-0.5109
Z1 = 38.151N
5
0
0 25 50 75 100 125 150 175 200 225
Jumlah Stasiun (N)
Gambar 6.4 Hubungan antara jumlah stasiun dan kesalahan perataan dan
kesalahan interpolasi DAS Progo secara keseluruhan, DAS Progo (kondisi
upstream), dan DAS Progo (kondisi downstream)
dari persamaan kesalahan perataan (Z1). Di bawah ini tabel jumlah stasiun
Tabel 6.5 Jumlah stasiun hujan Kagan DAS OPAK dengan tingkat kesalahan 5%
Tabel 6.6 Jumlah stasiun hujan Kagan DAS Progo dengan tingkat kesalahan 5%
Tabel 6.9 Tingkat kerapatan stasiun hujan Kagan DAS Opak dengan besar
kesalahan perataan 5%
Tabel 6.10 Tingkat kerapatan stasiun hujan Kagan DAS Progo dengan besar
kesalahan perataan 5%
eksisiting tabel 6.3 dan tabel 6.4 dengan perhitungan jaringan stasiun hujan Kagan
pada tabel 6.5 dan tabel 6.6 menampakkan perbedaan jumlah stasiun hujan yang
berbeda dan dengan pola kerapatan yang berbeda. Jumlah stasiun hujan yang
tersedia saat ini belum cukup memenuhi persyaratan hasil perhitungan jaringan
stasiun hujan Kagan. Jumlah stasiun yang diperlukan lebih banyak dari stasiun
hujan yang tersedia sehingga perlu adanya penambahan jumlah stasiun pada DAS
baik untuk kondisi upstream, kondisi downstream dan DAS itu sendiri. Terutama
stasiun hujan untuk kondisi upstream perlu ditambah mengingat jumlah stasiun
hujan yang tersedia pada DAS Opak dan DAS Progo untuk kondisi upstream
Dengan melihat hasil perhitungan Kagan DAS Opak terlihat bahwa jumlah
stasiun hujan dengan luas DAS yang lebih besar tidak memberikan hasil jumlah
stasiun hujan yang lebih besar juga. Kondisi downstream DAS Opak dengan luas
DAS yang lebih kecil dibanding DAS opak itu sendiri memerlukan stasiun hujan
dengan jumlah yang lebih banyak. Begitu juga untuk kondisi DAS Progo, dimana
dengan luas DAS Progo yang lebih besar dari kondisi upstreamnya belum tentu
Tingkat kerapatan stasiun hujan (tabel 6.7 s/d tabel 6.10) menunjukkan
stasiun hujan dengan cara Kagan dibanding dengan kondisi stasiun hujan yang
tersedia. Walaupun tingkat kerapatan eksisting baik untuk wilayah dataran rendah
dan wilayah pegunungan sudah memenuhi kriteria WMO untuk daerah tropis
67
kerapatan stasiun hujan yang lebih tinggi dibanding dengan stasiun hujan yang
tersedia.
Kagan pada DAS Opak dan DAS Progo dengan kondisi upstream, kondisi
downstream dan DAS secara keseluruhan yang ada pada gambar 6.5 sampai
gambar 6.10 dengan jarak stasiun yang telah di plot ke dalam peta, diperoleh
bahwa pola penyebaran stasiun hujan saat ini belum memenuhi jumlah dan pola
penyebaran stasiun hujan yang sesuai dengan perhitungan Kagan. Dilihat dari pola
penyebaran Kagan tidak semua stasiun hujan dipakai didalam analisis selanjutnya,
hanya beberapa stasiun hujan saja yang digunakan yaitu yang berada di titik
simpul atau yang mendekati titik simpul, sehingga dalam analisis selanjutnya ada
Di bawah ini adalah tabel stasiun hujan yang akan digunakan untuk
analisis selanjutnya, baik untuk kondisi upstream, kondisi downstream dan DAS
secara keseluruhan.
No. Nama stasiun Hujan Luas DAS Luas Pengaruh (KM2) Bobot
1 Pakem 24.66061 0.219186
2 Bronggang 112.51 52.98570 0.470942
3 Kemput 34.86145 0.309852
68
No. Nama stasiun Hujan Luas DAS Luas Pengaruh (KM2) Bobot
1 Gandok 85.50957 0.161132
2 Jangkang 42.15550 0.079437
3 Gondangan 41.84394 0.078850
4 Krikilan / Berbah 530.68 99.12744 0.186793
5 Juwangen 63.34113 0.119358
6 Pundong 130.27278 0.245483
7 Mrican 68.43202 0.128952
No. Nama stasiun Hujan Luas DAS Luas Pengaruh (KM2) Bobot
1 Ngipiksari 39.83625 0.061935
2 Banjarharjo 63.86851 0.099300
3 Gondangan 55.93640 0.086967
4 Dolo 38.74936 0.060246
643.19
5 Barongan 239.81166 0.372847
6 Kemput 18.54874 0.028839
7 Tanjung Tirto 141.28238 0.219659
8 Krajan 45.15685 0.070208
Luas
No. Nama stasiun Hujan DAS Luas Pengaruh (Km2) Bobot
1 Jumo 102.18251 0.447082
2 Ngadirejo 24.99023 0.109340
3 Jumprit 48.22171 0.210986
4 Parakan 178.81650 0.782381
5 Pakisdadu 277.39854 1.213710
6 Kaliloro 121.67798 0.532381
1810.37
7 Borobudur 105.05241 0.459639
8 Muntilan 119.18035 0.521453
9 Grabag 217.64732 0.952279
10 Seneng 154.45277 0.675782
11 Kalegen 191.03548 0.835843
12 Srumbung 269.71651 1.180099
69
Luas
No. Nama stasiun Hujan DAS Luas Pengaruh (Km2) Bobot
1 Kalijoho 143.40710 0.056565
2 Gembongan 81.65450 0.032208
3 Kalibawang 65.39804 0.025795
4 Brosot 724.88 132.94927 0.052440
5 Sayegan 117.86307 0.046490
6 Sendangpitu 41.73575 0.016462
7 Minggir 141.87396 0.055961
Luas
No. Nama stasiun Hujan DAS Luas Pengaruh (Km2) Bobot
1 Ngadirejo 228.55422 0.090151
2 Kandangan 234.84645 0.092632
3 Pleret 223.87042 0.088303
4 Kaliloro 157.42110 0.062093
5 Grabag 249.22682 0.098305
6 Salam 82.17632 0.032413
7 Kalijoho 150.91170 0.059525
8 Sapon 168.08455 0.066299
9 Kalibawang 2535.25 147.62355 0.058228
10 Seneng 124.45546 0.049090
11 Sawangan 239.84519 0.094604
12 Ledok nongko 86.21198 0.034005
13 Cebongan 45.41487 0.017913
14 Ngepos 42.89195 0.016918
15 Patukan 83.65429 0.032996
16 Sendangpitu 125.88288 0.049653
17 tempuran 144.18221 0.056871
70
ulang yang telah ditetapkan yaitu 20 tahun dan 50 tahun. Data debit yang
DAS Progo
No. Tahun Q (m3/dt)
1 1997 1377.60
2 1994 1122.60
3 2004 1115.00
4 2003 940.00
5 1998 752.56
6 2002 648.00
7 1997 580.45
8 1995 559.90
9 2003 504.00
10 1997 497.80
11 2002 492.00
12 2000 488.70
13 1996 435.00
14 1998 412.12
15 1999 411.44
16 2001 384.00
17 2000 317.00
18 1995 312.50
19 2001 280.00
20 2004 275.00
21 1996 274.40
22 1999 261.60
23 1994 170.30
24 1994 152.70
25 1993 128.50
26 2001 103.00
27 2004 94.80
28 2002 79.40
29 2003 64.70
30 2004 32.90
31 2003 18.00
73
Banjir Rancangan
Besaran debit puncak hasil penerapan jumlah dan pola stasiun hujan yang
debit terukur dengan hasil analisis pola dan jumlah stasiun yang berbeda yang
A. Kesimpulan
dengan jumlah dan pola stasiun hujan yang berbeda dan memperhatikan
pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka penulis mengambil
kondisi topografi
74
75
B. Saran
mendapatkan jumlah dan pola stasiun yang optimal pada tiap DAS mengingat
2. Perlu perhatian dan kehati-hatian dalam penetapan jumlah dan pola stasiun
hujan kondisi upstream atau yang memiliki tingkat variabilitas yang tinggi
air agar pertimbangan dalam penetapan jaringan stasiun hujan ke depan dapat
diperbaiki.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Kuncoro Hari, 2003, Pengaruh Jumlah Stasiun Hujan Terhadap Unjuk
Kerja Metode Storage Function dalam Penentuan Debit Rancangan,
Tesis, Program Studi Teknik Sipil Jurusan Ilmu-Ilmu Teknik, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ery Setiawan, 1988, Analisis Kerapatan Jaringan Pengukur Curah Hujan, Tugas
Akhir, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
I Wayan Yasa, 2001, Beberapa Metode Pola Jaringan Stasiun Hujan dan
Implikasinya pada Ketelitian Analisis, Tesis, Program Studi Teknik Sipil
Jurusan Ilmu-Ilmu Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Joko Sujono, 2004, Bahan Kuliah Ketersediaan Air - MPSA, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Kagan, R.L., 1972a, Precipitation Statistical Principles, WMO Bulletin, N0. 324.
III.1.2-1-8.
Linsley, Kohler, dan Paulhus, 1996, Hidrologi Untuk Insinyur, Edisi ketiga,
Erlangga, Bandung
77
78
Sri Harto, 1987, Optimasi Kerapatan Jaringan Stasiun Hidrologi, PAU Ilmu
Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sri Harto, 1993, Analisis Hidrologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sri Harto, 1994, Hidrologi Terapan, Biro Penerbit Keluarga Mahasiswa Teknik
Sipil Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sri Harto dan Joko Sujono, 1987, Karakteristik Hidrograf Satuan dengan
Beberapa Cara Pendekatan, Jurnal Teknik Hidraulik No. 2 TH II 1987
Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.