Bab Ii
Bab Ii
Berdasarkan pemahaman definisi dari zero waste dari sudut pandang yang umum
tersebut, penerapan konsep zero waste kini semakin merambah ke berbagai ranah
industri tak terkecuali dalam industri fesyen. Konsep zero waste merupakan
sebuah solusi dalam mengatasi permasalahan secara menyeluruh yang terjadi
dalam limbah yang dihasilkan dari produksi pakaian, seperti yang dikemukakan
oleh Timo Rissanen dan Holly Mcquilan (2016) dalam bukunya yang berjudul
“Zero Waste Fashion Design” mengenai dua jenis kategori limbah tekstil, yakni
limbah yang dihasilkan oleh industri dan limbah yang dihasilkan oleh konsumen.
Penerapan konsep zero waste dikenal dengan metode Zero Waste Hierarchy yang
menunjukkan tahapan dalam meminimalisir limbah yang dihasilkan dari awal
hingga akhir proses suatu produksi. Metode Zero Waste Hierarchy menunjukkan
bahwa tindakan pencegahan (refuse, reduce) merupakan cara terbaik dalam
meminimalisir timbulnya sampah yang dihasilkan dibandingkan dengan tindakan
me-recovery sampah yang telah dihasilkan. Dalam penerapan metode zero waste
secara lebih lanjut di kehidupan sehari-hari dikenal dengan prinsip 3R (reduce,
reuse, recycle).
Gambar 2.1 Zero Waste Hierarchy
Sumber: recycleannarbor.org
Penerapan konsep zero waste diharapkan bisa dijadikan solusi dan tahapan
menuju industri fesyen yang ramah lingkungan dan sustainable, hal ini sejalan
dengan pendapat Fletcher (2008) dalam Sustainable Fashion and Textiles tentang
visi zero waste dalam sektor fesyen dan tekstil, untuk dapat mengubah tujuan dan
aturan dari sistem industri besar dan menyelaraskannya dengan kelestarian.
Diperlukan serangkaian perubahan yang berani dan inovatif terhadap cara serat
dan kain dirancang, diproduksi, dikonsumsi dan dibuang.
Penerapan zero waste sudah diterapkan di berbagai macam kultur yang berbeda
dalam sepanjang sejarah. Menurut Dorothy K. Burnham (dalam Rissanen,
2013:46) ada beberapa macam faktor pada zaman dahulu yang mempengaruhi
pertimbangan pada potongan kain diantaranya adalah bentuk tubuh, iklim,
wilayah geografis, status sosial dan kesopanan, namun faktor yang paling
mempengaruhi adalah pemilihan material yang digunakan untuk membuat busana,
baik dari bentuk dan lebar kulit binatang maupun dari bentuk tenunan kain.
Pakaian traditional Jepang yaitu kimono menggunakan teknik zero waste dengan
mengoptimalkan penggunaan satu lembar kain dikombinasikan dengan adanya
beberapa potongan tanpa menghasilkan kain yang terbuang pada saat proses
pemotongan.
Pada tahun 1919-20 seorang modiste asal Paris bernama Madeleine Vionnet
menciptakan sebuah gaun yang terdiri dari empat potong kain segi empat dengan
jahitan yang minimalis dikombinasikan dengan ikatan antar ujung kain pada
bagian bahu.
SEAMLESS
KNITTING
FULLY FASHIONED No waste
Little or no waste
SOME
COMBINATIONS
Some waste N/A
N/A
CUT & SEW A-POC
15% wastage on Some or no waste;
avaerage amount determined
partly by how the
SOME consumer cuts out
ZERO WOVENS the garment
WASTE Some
No waste waste
Gambar 2.7 Diagram Metode Pembuatan Produk Fesyen dan Limbah yang
dihasilkan
Sumber: Rissanen 2013:29
Rissanen (2013) menjelaskan bahwa dua metode yang paling umum digunakan
dalam industri fesyen adalah Cut & Sew yaitu pembuatan busana melalui proses
pemotongan dan penjahitan kain, lalu Fully-fashioned yaitu pembuatan busana
yang umumnya melalui proses rekarakit benang dengan metode tenun dan rajut.
Berdasarkan diagram diatas menunjukkan bahwa metode Fully-fashioned
seringkali tidak menghasilkan limbah sama sekali, dibandingkan dengan metode
Cut & Sew yang rata-rata menghasilkan limbah sebanyak 15% dari total
keseluruhan kain. Berdasarkan diagram tersebut maka konsep zero waste
dijadikan solusi sebagai penggunaan metode Cut & Sew yang bisa meminimalisir
limbah yang dihasilkan. Cut & sew merupakan metode yang dipilih untuk
dieksplorasi lebih lanjut dalam penelitian ini.
Dari beberapa contoh proses umum perancangan busana tersebut, Rissanen (2013)
lebih lanjut menjelaskan mengenai perbedaan dasar antara tahapan pembuatan
busana yang konvensional dengan busana zero-waste. Yang membedakannya
adalah adanya tahapan penyempurnaan bentuk siluet busana untuk memastikan
potongan pola busana akhir sebelum memutuskan desain akhir dan pemotongan
pola busana.
Adapun beberapa desainer yang sudah menerapkan metode zero waste ke dalam
berbagai macam teknik pada produk busana mereka diantaranya adalah:
Gambar 2.12 Timo Rissanen (Pattern Making)
Sumber :https://timorissanen.com
Metode umum yang
kerap kali digunakan desainer dalam merancang busana dengan prinsip zero-
waste adalah dengan memanipulasi pembuatan pola dengan memaksimalkan
penggunaan kain, sehingga dapat meminimalisir kain yang terbuang. Dengan
manipulasi pattern making yang baik maka penggunaan kain dengan motif digital
print pun dapat digunakan secara lebih efektif.
2.2 Busana
2.2.1 Pengertian Busana
Busana merupakan padu-padan dalam berpakaian dan sering dikaitkan dengan
fesyen, namun busana dan fesyen merupakan hal yang berbeda.Busana adalah
pakaian yang dipakai, sedangkan fesyen merupakan sebuah tren yang digunakan
oleh suatu komunitas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang menentukan gaya
berbusana. Perancangan sebuah busana yang dapat merefleksikan era kapan
busana tersebut dibuat merupakan pertimbangan yang penting dalam produksi
busana, agar dapat menyesuaikan dengan zaman serta kecenderungan gaya
berbusana masyarakat yang dinamis dan terus berubah, hal ini dipaparkan dalam
buku “Fashion Series Garment Design Textbook, Fundamentals of Garment
Design” karangan Bunka Fashion School (2009) yang memaparkan:
2. Milineris
Milineris merupakan bagian busana yang terdiri atas artikel/item
yang berfungsi sebagai pelengkap busana pokok serta memiliki
nilai fungsi dan estetika bagi pemakainya.
3. Aksesoris
Aksesoris merupakan salah satu pelengkap busana pokok yang
berfungsi sebagai penambah nilai keindahan serta prestige bagi
pemakainya. Aksesoris meliputi perhiasan, eyewear, headwear,
footwear, serta tas.
Tabel diatas menjabarkan klasifikasi busana formal dan semi formal yang
dikenakan oleh pria dan wanita pada waktu malam hari. Dari pengklasifikasian
tersebut terdapat pemilihan material serta aksesoris yang berbeda, untuk busana
malam formal wanita ditunjukkan dari unsur keterbukaan model busana yang
menunjukkan kulit. Sedangkan untuk busana formal pria dibedakan dari
pemilihan warna tuxedo.
Tabel 2.6 Klasifikasi Formalitas Busana Duka Cita
Sumber: Buku Fundamentals of Fashion Garment (2009)
1. Busana Made-to-Order
Haute Couture – Busana ini umumnya diproduksi secara made-to-
order, haute couture berasal dari bahasa Perancis yang berarti proses
pembuatan busana dengan teknik penjahitan serta keterampilan
tingkat tinggi. Busana ini menjunjung eksklusifitas bagi pemakainya
dikarenakan sistem produksinya yang disesuaikan secara individu,
mulai dari konsep desain, ukuran tubuh, pemilihan material hingga
aplikasi imbuhnya, sehingga dalam menghasilkan satu busana
dibutuhkan waktu yang cukup lama.
Gam
bar 2.21 Issey
Miyake 132 5 Dress
Sumber: https://www.isseymiyake.com
Product
Sustainability
Less Less
Control Control
Model ini diatur oleh tingkat kontrol yang akan dimiliki oleh merek fesyen yang
terdiri atas berbagai elemen. Elemen seperti praktik desain, inovasi bisnis, dan
keberlanjutan produk secara langsung dikendalikan oleh merek pakaian.
Kozlowski, dkk. (2016) kemudian menjelaskan bahwa manfaat yang timbul dari
peningkatan keberlangsungan produk pakaian tunduk pada pembatasan oleh
sistem produksi, model bisnis yang digunakan, penjualan produk pakaian, dan
perilaku konsumen yang membeli produk pakaian ini. Oleh karena itu, semua
elemen dalam sistem pakaian membutuhkan transformasi yang mencapai
keseluruhan sistem.
Tantangan bagi para desainer adalah pendekatan desain dengan pandangan sistem
di mana hubungan antara produsen dan konsumen dipahami secara lebih baik.
Tidak hanya penting bagi perancang untuk mempertimbangkan perilaku dan pola
konsumen, tetapi juga mengeksplorasi opsi dalam melibatkan konsumen untuk
mengembangkan makna dan nilai yang lebih besar untuk sebuah produk dan
prosesnya, serta sebagai upaya dalam menciptakan sebuah peluang usaha yang
baru
Model bisnis adalah seperti cetak biru untuk strategi yang akan diterapkan melalui
struktur organisasi, proses, dan sistem. Dalam bukunya Osterwalder dan Pigneur
lebih lanjut menjabarkan mengenai elemen bisnis model yang terdiri atas
sembilan dasar blok yang mencakup empat bidang utama bisnis: pelanggan,
layanan, infrastruktur, dan kelayakan finansial.
Mass Market
Model bisnis yang berfokus pada pasar massal tidak membedakan
antara Segmen Pelanggan yang berbeda. Proposisi Nilai, Saluran
Distribusi, dan Hubungan Pelanggan semua fokus pada satu
kelompok besar pelanggan dengan kebutuhan dan masalah yang
relatif serupa. Jenis model bisnis ini sering ditemukan di sektor
konsumen elektronik maupun industri fast-fashion.
Niche Market
Model bisnis yang menargetkan pasar khusus ditujukan untuk
Segmen Pelanggan khusus yang lebih spesifik. Proposisi Nilai,
Saluran Distribusi, dan Hubungan Pelanggan semuanya
disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dari ceruk pasar ini. Model
bisnis seperti biasanya digunakan dalam industri fesyen yang
ditujukan bagi pasar dengan bentuk tubuh tertentu, contohnya
seperti busana plus-size atau busana bagi wanita hamil.
Segmented
Beberapa model bisnis membedakan antara segmen pasar dengan
kebutuhan dan masalah yang sedikit berbeda, umumnya dibedakan
berdasarkan jumlah penghasilan atau kelas sosial dari sekelompok
target market.
Diversified
Sebuah organisasi dengan model bisnis pelanggan yang
terdiversifikasi melayani dua Segmen Pelanggan yang tidak terkait
satu sama lain dengan kebutuhan dan masalah yang sangat berbeda.
Multi-sided
Beberapa organisasi melayani dua atau lebih Segmen Pelanggan
yang saling bergantung. Contohnya perusahaan yang menyediakan
koran gratis membutuhkan basis pembaca yang besar untuk
menarik pengiklan. Di sisi lain, dibutuhkan pengiklan untuk
membiayai produksi dan distribusi.
3. Channels (CH)
Blok Channels menggambarkan bagaimana sebuah perusahaan
berkomunikasi dan mencapai Segmen Pelanggannya untuk
menyampaikan Proposisi Nilai, komunikasi, distribusi, dan saluran
penjualan terdiri dari antarmuka perusahaan dengan pelanggan.
Channels adalah titik kontak pelanggan yang memainkan peran penting
dalam pengalaman pelanggan. Channels memiliki lima fase berbeda.
Setiap channel dapat mencakup beberapa atau semua fase ini. Fase
tersebut dapat dibedakan antara channel langsung dan tidak langsung,
serta antara channel yang dimiliki dan channel mitra
Metode ini dipilih sebagai perencanaan model bisnis dalam penelitian ini karena
sifat penerapannya yang universal dan fleksibel, serta memiliki keseluruhan
elemen yang mencakup berbagai macam aspek penting dalam perencanaan bisnis,
sehingga diharapkan metode ini dapat menjadi acuan dalam mempersiapkan
fondasi untuk menjalankan sebuah bisnis fesyen.