Anda di halaman 1dari 38

BAB II Studi Pustaka

2.1 Zero Waste


2.1.1 Pengertian Zero Waste
Menurut pemaparan dari situs Zero Waste International Alliance (ZWIA)
mengenai definisi zero waste adalah sebuah metode perancangan dan pengelolaan
produk dan proses secara sistematis, yang bertujuan untuk menghindari dan
menghilangkan volume dan toksisitas limbah dan bahan, melestarikan dan
memulihkan semua sumber daya, dan tidak membakar atau menguburnya (Liss,
Gary, 2009, ZW Definition, http://zwia.org/standards/zw-definition/, diakses
tanggal 25 Maret 2018).

Berdasarkan pemahaman definisi dari zero waste dari sudut pandang yang umum
tersebut, penerapan konsep zero waste kini semakin merambah ke berbagai ranah
industri tak terkecuali dalam industri fesyen. Konsep zero waste merupakan
sebuah solusi dalam mengatasi permasalahan secara menyeluruh yang terjadi
dalam limbah yang dihasilkan dari produksi pakaian, seperti yang dikemukakan
oleh Timo Rissanen dan Holly Mcquilan (2016) dalam bukunya yang berjudul
“Zero Waste Fashion Design” mengenai dua jenis kategori limbah tekstil, yakni
limbah yang dihasilkan oleh industri dan limbah yang dihasilkan oleh konsumen.

Penerapan konsep zero waste dikenal dengan metode Zero Waste Hierarchy yang
menunjukkan tahapan dalam meminimalisir limbah yang dihasilkan dari awal
hingga akhir proses suatu produksi. Metode Zero Waste Hierarchy menunjukkan
bahwa tindakan pencegahan (refuse, reduce) merupakan cara terbaik dalam
meminimalisir timbulnya sampah yang dihasilkan dibandingkan dengan tindakan
me-recovery sampah yang telah dihasilkan. Dalam penerapan metode zero waste
secara lebih lanjut di kehidupan sehari-hari dikenal dengan prinsip 3R (reduce,
reuse, recycle).
Gambar 2.1 Zero Waste Hierarchy
Sumber: recycleannarbor.org

Penerapan konsep zero waste diharapkan bisa dijadikan solusi dan tahapan
menuju industri fesyen yang ramah lingkungan dan sustainable, hal ini sejalan
dengan pendapat Fletcher (2008) dalam Sustainable Fashion and Textiles tentang
visi zero waste dalam sektor fesyen dan tekstil, untuk dapat mengubah tujuan dan
aturan dari sistem industri besar dan menyelaraskannya dengan kelestarian.
Diperlukan serangkaian perubahan yang berani dan inovatif terhadap cara serat
dan kain dirancang, diproduksi, dikonsumsi dan dibuang.

2.1.2 Sejarah Zero Waste


Salah satu pelopor yang pertama kali mempopulerkan istilah zero waste diluar
ranah fesyen adalah Paul Palmer, pendiri Zero Waste Institute pada sekitar tahun
1970, sedangkan dalam konteks fesyen istilah ini baru mulai dikenal semenjak
Timo Rissanen mengembangkan studinya mengenai penerapan zero waste dalam
desain fesyen di tahun 2008, meskipun pada kenyataannya konsep zero waste
sudah diterapkan pada pakaian-pakaian tradisional zaman yunani kuno seperti
Himation, Chiton, dan Peplos.

Gambar 2.2 Pola Pakaian Yunani Kuno


Sumber: https://fashion-era.com
Gambar 2.3 Busana Yunani Kuno
Sumber: https://fashion-era.com

Penerapan zero waste sudah diterapkan di berbagai macam kultur yang berbeda
dalam sepanjang sejarah. Menurut Dorothy K. Burnham (dalam Rissanen,
2013:46) ada beberapa macam faktor pada zaman dahulu yang mempengaruhi
pertimbangan pada potongan kain diantaranya adalah bentuk tubuh, iklim,
wilayah geografis, status sosial dan kesopanan, namun faktor yang paling
mempengaruhi adalah pemilihan material yang digunakan untuk membuat busana,
baik dari bentuk dan lebar kulit binatang maupun dari bentuk tenunan kain.
Pakaian traditional Jepang yaitu kimono menggunakan teknik zero waste dengan
mengoptimalkan penggunaan satu lembar kain dikombinasikan dengan adanya
beberapa potongan tanpa menghasilkan kain yang terbuang pada saat proses
pemotongan.

Gambar 2.4 Kimono Zero Waste Pattern


Sumber: Rissanen 2013:46
Contoh penerapan zero waste lainnya terdapat pada bentuk celana tradisional
Turki yang mempunyai potongan pola yang saling menyambung mengikuti
ukuran keseluruhan lebar kain. Selain itu pada pola celana tradisional China
dengan menyambungkan bentuk persegi empat tanpa menggunakan potongan.

Gambar 2.5 Celana Tradisional Turki (kiri)


Celana Tradisional China (kanan)
Sumber: Rissanen 2013:47

Pada tahun 1919-20 seorang modiste asal Paris bernama Madeleine Vionnet
menciptakan sebuah gaun yang terdiri dari empat potong kain segi empat dengan
jahitan yang minimalis dikombinasikan dengan ikatan antar ujung kain pada
bagian bahu.

Gambar 2.6 Vionnet Dress


Sumber: Rissanen 2013:51

2.1.3 Proses Zero Waste


Timo Rissanen (2013) menjelaskan dalam penelitiannya mengenai berbagai
macam metode dalam penciptaan produk fesyen dilihat dari segi kemungkinan
limbah yang dihasilkan, dia menyederhanakan berbagai macam metode tersebut
ke dalam sebuah diagram.

SEAMLESS
KNITTING
FULLY FASHIONED No waste
Little or no waste

SOME
COMBINATIONS
Some waste N/A

N/A
CUT & SEW A-POC
15% wastage on Some or no waste;
avaerage amount determined
partly by how the
SOME consumer cuts out
ZERO WOVENS the garment
WASTE Some
No waste waste

Gambar 2.7 Diagram Metode Pembuatan Produk Fesyen dan Limbah yang
dihasilkan
Sumber: Rissanen 2013:29

Rissanen (2013) menjelaskan bahwa dua metode yang paling umum digunakan
dalam industri fesyen adalah Cut & Sew yaitu pembuatan busana melalui proses
pemotongan dan penjahitan kain, lalu Fully-fashioned yaitu pembuatan busana
yang umumnya melalui proses rekarakit benang dengan metode tenun dan rajut.
Berdasarkan diagram diatas menunjukkan bahwa metode Fully-fashioned
seringkali tidak menghasilkan limbah sama sekali, dibandingkan dengan metode
Cut & Sew yang rata-rata menghasilkan limbah sebanyak 15% dari total
keseluruhan kain. Berdasarkan diagram tersebut maka konsep zero waste
dijadikan solusi sebagai penggunaan metode Cut & Sew yang bisa meminimalisir
limbah yang dihasilkan. Cut & sew merupakan metode yang dipilih untuk
dieksplorasi lebih lanjut dalam penelitian ini.

Dalam penelitiannya, Risssanen (2013) lebih lanjut menjabarkan tentang berbagai


macam tahapan yang digunakan oleh para desainer fesyen dalam merancang suatu
busana. Berbagai macam tahapan yang berbeda tersebut merupakan sebuah
bentuk pengimplementasian dalam mengoptimalkan penggunaan bahan melalui
metode pattern making maupun draping. Berikut adalah beberapa jenis gambaran
umum mengenai tahapan produksi busana yang dipaparkan dalam penelitianTimo
Rissanen (2013) yang mencakup awal proses desain hingga tahap produksi busana
sampel.

1. Pola – Belacu – Alterasi desain/pola – Busana sampel


Pada proses produksi fesyen, ada beberapa desainer fesyen yang
melewatkan tahapan pembuatan sketsa desain awal busana dengan
langsung menempatkan pola pada selembar kain. Julian Roberts seorang
desainer asal Inggris memilih metode ini dalam perancangan produk
busananya dengan berfokus pada penggunaan selembar kain persegi
panjang. Pemanfaatan metode ini seringkali menghasilkan hasil akhir
busana dengan bentuk desain yang tak terduga, menjadikannya sebagai
salah satu metode yang dinamis dan eksperimentatif.
Gambar 2.8 Pola Busana Julian Roberts
Sumber: Rissanen 2013:39

2. Sketsa – Draping – Pola – Belacu – Alterasi desain/pola – Busana


sampel
Melalui teknik draping kain bisa dimanipulasikan sedemikian rupa pada
manekin untuk menghasilkan siluet yang diinginkan menurut sketsa desain
awal. Kemudian dikembangkan ke dalam bentuk polanya agar bisa
diproses lebih lanjut pada belacu. Namun penggunaan metode ini bisa
tidak menggunakan sketsa sama sekali melainkan hanya dengan draping
sebagai awal proses desain, memberikan gambaran desain busana secara
lebih mendetail dalam bentuk tiga dimensi. Madeleine Vionnet sudah
menggunakan metode ini pada awal abad 20 untuk mengembangkan ide
desainnya melalui teknik draping pada manekin skala 1:2. (Rissanen,
2013)

Gambar 2.9 Madeleine Vionnet Draping pada Boneka


Sumber: Rissanen 2013:41

3. Busana jadi – Sketsa – Pola – Belacu – Alterasi desain/pola – Busana


sampel
Metode ini cukup umum dipraktekkan oleh para deainer fesyen ready-to-
wear Australia (Rissanen, 2013:43) dengan menggunakan busana yang
sudah jadi sebagai patokan dalam membuat desain maupun pola,
kemudian dimodifikasi dan dikembangkan lebih lanjut untuk menciptakan
busana baru yang sesuai dengan desain yang diinginkan.

4. Motif kain pada kertas – Draping – Sketsa – Pola – Belacu – Alterasi


desain/pola – Busana sampel
Desainer tekstil dan fesyen kontemporer, Zandra Rhodes seringkali
membuat cetakan motif pada lembaran kain sebagai penentu dalam
pembuatan pola busananya (Rissanen, 2013). Dia menyambungkan
cetakan motif kain pada kertas ke tubuhnya di hadapan cermin untuk
menentukan efek visual yang dihasilkan oleh motif tersebut pada saat nanti
dikenakan. Metode ini bisa digunakan untuk memaksimalkan penggunaan
motif pada kain agar tidak ada bagian yang terbuang.

Dari beberapa contoh proses umum perancangan busana tersebut, Rissanen (2013)
lebih lanjut menjelaskan mengenai perbedaan dasar antara tahapan pembuatan
busana yang konvensional dengan busana zero-waste. Yang membedakannya
adalah adanya tahapan penyempurnaan bentuk siluet busana untuk memastikan
potongan pola busana akhir sebelum memutuskan desain akhir dan pemotongan
pola busana.

Conventional PATTERN CUTTING AND


SKETCHING Decision on
fashion design (DRAPING) “final” design CUTTING MAKING A
(DRAPING) TOILE
approaches

PATTERN PATTERN CUTTING


Zero-waste SKETCHING CUTTING Decision on CUTTING & AND
(DRAPING) SKETCHING “final” design MARKER MAKING A
fashion design (DRAPING) MAKING
TOILE

Gambar 2.10 Perbandingan Tahapan Proses Busana


Konvensional dan Zero-waste
Sumber: Rissanen 2013:92

2.1.4 Perkembangan Zero Waste


Penerapan konsep zero waste dalam industri fesyen hingga saat ini sudah
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Semakin banyak desainer fesyen
yang sudah mempertimbangkan berbagai aspek dalam merancang dan
memproduksi busana dari segi estetika hingga pengaruhnya terhadap lingkungan.
Hal ini serupa dengan pemaparan dalam buku yang disusun Timo Rissanen
bersama Holly Mcquillan pada tahun 2016 yang berjudul “Zero Waste Fashion
Design” tentang kriteria bagi produk fesyen zero waste.

Gambar 2.11 Kriteria Produk Fesyen Zero Waste


Sumber: Rissanen, Mcquillan 2016:66

Adapun beberapa desainer yang sudah menerapkan metode zero waste ke dalam
berbagai macam teknik pada produk busana mereka diantaranya adalah:
Gambar 2.12 Timo Rissanen (Pattern Making)
Sumber :https://timorissanen.com
Metode umum yang
kerap kali digunakan desainer dalam merancang busana dengan prinsip zero-
waste adalah dengan memanipulasi pembuatan pola dengan memaksimalkan
penggunaan kain, sehingga dapat meminimalisir kain yang terbuang. Dengan
manipulasi pattern making yang baik maka penggunaan kain dengan motif digital
print pun dapat digunakan secara lebih efektif.

Gambar 2.13 Holly Mc Quillan (Pattern Making & Printing)


Sumber : https://hollymcquillan.com

Sekitar tahun 1980-an seorang desainer asal jepang, Yoshiki Hishinuma


merancang koleksi busana yang tercipta dari potongan-potongan pola segitiga
sama sisi (Rissanen, 2013). Hishinuma memprioritaskan proses perancangan
berdasarkan penciptaan dan pemotongan pola busana, dibandingkan
menggunakan sketsa sebagai acuan desainnya.

Gambar 2.14 Yoshiki Hishinuma (Geometric Shape)


Sumber: Rissanen, Mcquillan 2016:66
Gambar 2.15 Yitzhak Abecassis
(Fabric Slits)
Sumber: http://www.arhinovosti.ru

Eksplorasi dalam teknik pembuatan zero-waste pun kini semakin beragam


dengan adanya salah satu contoh busana yang dirancang oleh Yitzhak Abecassis,
yang menciptakan keseluruhan koleksi busana hanya dengan menggunakan
potongan celah pada kain tanpa menggunakan jahitan (Rissanen 2013:57).

2.2 Busana
2.2.1 Pengertian Busana
Busana merupakan padu-padan dalam berpakaian dan sering dikaitkan dengan
fesyen, namun busana dan fesyen merupakan hal yang berbeda.Busana adalah
pakaian yang dipakai, sedangkan fesyen merupakan sebuah tren yang digunakan
oleh suatu komunitas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang menentukan gaya
berbusana. Perancangan sebuah busana yang dapat merefleksikan era kapan
busana tersebut dibuat merupakan pertimbangan yang penting dalam produksi
busana, agar dapat menyesuaikan dengan zaman serta kecenderungan gaya
berbusana masyarakat yang dinamis dan terus berubah, hal ini dipaparkan dalam
buku “Fashion Series Garment Design Textbook, Fundamentals of Garment
Design” karangan Bunka Fashion School (2009) yang memaparkan:

”Fashion changes as times change and clothing is something that


emerges out of the ordinary lives of ordinary human beings.
Understanding that gives birth to new ideas and energize people.
....fashion has to moving, because the freshest, tasteful design is
contemporary but also contains a consciousness of the past and is
connected to the future.” (Bunka, 2011:11)

Dalam penelitian ini pertimbangan akan struktur perancangan busana


merupakan hal yang utama. Menurut Marian L. Davis (1980), desain struktural
dapat menentukan struktur garis, dan siluet bentuk dari busana serta bagaimana
busana tersebut nyaman di tubuh. Hal tersebut bergantung pada bagaimana
elemen desain visual yang terdiri dari garis, ruang dan bentuk dimanipulasikan.
Perancangan busana yang baik merupakan desain yang memenuhi nilai
fungsional serta estetika, yang bisa diciptakan hanya dengan menggunakan
bentuk desain yang sederhana (Davis, 1980)

2.2.2 Klasifikasi Busana

2.2.2.1 Klasifikasi Busana Berdasarkan Jenis Artikel


Berikut adalah pengelompokkan busana berdasarkan jenis item dari apa yang
digunakan sabagai busana pokok dan pelengkap busana untuk menambah estetika
termasuk tipe, nama, kegunaan, detail pakaian dan aksesoris yang dapat
dikombinasikan dalam berbusana, adapun pengelompokannya mencakup:

Tabel 2.1 Klasifikasi Jenis Busana


Sumber: Buku Fundamentals of Fashion Garment (2009)
Berdasarkan pengklasifikasian menurut Bunka (2009) diatas, maka dapat
diperjelas bahwa kategori artikel busana diantaranya:
1. Busana Pokok
Busana pokok merupakan pakaian utama yang lebih
mengutamakan nilai fungsinya, seperti:
 Blouse, tunik, tank top, jas, blazer, dll yang berfungsi untuk
menutupi tubuh bagian atas.
 Celana, rok, pencil skirt, palazzo, dll yang berfungsi untuk
menutupi tubuh bagian bawah.
 Sweater, jacket, cardigan, cape, coat dll yang berfungsi
sebagai penghangat tubuh.
 Foundation Garment: Bra, pakaian dalam, camisolle berfungsi
untuk melindungi dan menutupi bagian dalam tubuh sebelum
menggunakan pakaian luar.

2. Milineris
Milineris merupakan bagian busana yang terdiri atas artikel/item
yang berfungsi sebagai pelengkap busana pokok serta memiliki
nilai fungsi dan estetika bagi pemakainya.
3. Aksesoris
Aksesoris merupakan salah satu pelengkap busana pokok yang
berfungsi sebagai penambah nilai keindahan serta prestige bagi
pemakainya. Aksesoris meliputi perhiasan, eyewear, headwear,
footwear, serta tas.

2.2.2.2 Klasifikasi Busana Berdasarkan Jenis Tujuan


Berikut adalah penjelasan klasifikasi busana berdasarkan situasi dan tujuan dalam
menggunakan busana menurut buku Fundamentals of Garment Design (2009).

Tabel 2.2 Klasifikasi Tujuan dan Pemakaian Busana


Sumber: Buku Fundamentals of Fashion Garment (2009)
Tabel 2.3 Klasifikasi Tujuan dan Pemakaian Busana
Sumber: Buku Fundamentals of Fashion Garment (2009)
Berdasarkan tabel tersebut dapat dipahami bahwa berpakaian dalam berbagai
situasi atau tujuan yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari memiliki kriteria
serta cara pemakaian yang berbeda pula. Pemilihan dalam berbusana disesuaikan
menurut tempat, jenis kegiatan, acara, hingga kebutuhan khusus; selain itu
pertimbangan akan pemilihan material serta pemakaian busana merupakan hal
penting yang perlu diperhatikan.

2.2.2.3 Klasifikasi Busana Berdasarkan Jenis Formalitas


Berikut adalah penjelasan klasifikasi busana berdasarkan tingkatan formalitas
dalam acara tertentu menurut buku Fundamentals of Garment Design (2009).

Tabel 2.4 Klasifikasi Formalitas Busana Siang-Sore Hari


Sumber: Buku Fundamentals of Fashion Garment (2009)
Tabel tersebut menjabarkan klasifikasi busana formal dan semi formal yang
dikenakan oleh pria dan wanita pada waktu siang hingga sore hari.
Pengklasifikasian tersebut dibedakan dari gaya berbusana, model busana,
pemilihan aksesoris hingga penerapannya di tiap jenis acara dan jenis tamu
undangan. Busana wanita dibedakan dari pemilihan jenis busana seperti gaun
untuk acara formal, atau stel pakaian untuk acara semi formal. Sedangkan busana
pria dibedakan dari model lapel pada jas hingga pemilihan warna dan motif

Tabel 2.5 Klasifikasi Formalitas Busana Malam Hari


Sumber: Buku Fundamentals of Fashion Garment (2009)

Tabel diatas menjabarkan klasifikasi busana formal dan semi formal yang
dikenakan oleh pria dan wanita pada waktu malam hari. Dari pengklasifikasian
tersebut terdapat pemilihan material serta aksesoris yang berbeda, untuk busana
malam formal wanita ditunjukkan dari unsur keterbukaan model busana yang
menunjukkan kulit. Sedangkan untuk busana formal pria dibedakan dari
pemilihan warna tuxedo.
Tabel 2.6 Klasifikasi Formalitas Busana Duka Cita
Sumber: Buku Fundamentals of Fashion Garment (2009)

Tabel diatas merupakan contoh pengklasifikasian pemakaian busana pada saat


duka cita yang umum diterapkan pada masyarakat Jepang (Bunka, 2009).
Pemilihan busana didominasi oleh warna hitam untuk busana formal, sedangkan
untuk busana semi formal pemilihan warna biru dan abu tua masih diperbolehkan.
Padu padan busana duka cita yang formal wanita dibedakan dari pemilihan
material serta model busana, begitu juga dengan busana pria.

Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa busana formal maupun


busana resmi merupakan pakaian yang dikenakan untuk acara perayaan maupun
upacara tertentu. Pakaian yang dikenakan dalam keadaan formal haruslah
menunjukkan kesopanan serta rasa hormat tergantung dari jenis acara, tempat,
waktu, maupun status sosial.
Gambar 2.16 Daywear Style (Semi and Formal Dress)
Sumber: Bunka 2009 : 29

Berdasarkan ilustrasi busana berikut bisa terlihat perbedaan mengenai model


busana yang dikenakan berdasarkan tingkat formalitasnya. Pada pakaian daywear
dan eveningwear perbedaan tingkatnya terlihat pada panjang busana rok dan
banyaknya material yang digunakan untuk busana wanita, sedangkan untuk
busana pria perbedaannya terlihat dari pemilihan warna, material serta model jas
dan lapel yang dikenakan.

Gambar 2.17 Eveningwear Style (Semi and Formal Dress)


Sumber: Bunka 2009 : 29
2.2.2.4 Klasifikasi Busana Berdasarkan Produksi
Teknik dalam memproduksi busana bisa dilakukan secara individu untuk orang
tertentu (made to order) ataupun secara jumlah besar bagi sejumlah masyarakat
dengan menggunakan sistem produksi massal (mass production). Berikut
merupakan pengklasifikasian busana berdasarkan jenis produksinya dalam
industri fesyen.

1. Busana Made-to-Order
 Haute Couture – Busana ini umumnya diproduksi secara made-to-
order, haute couture berasal dari bahasa Perancis yang berarti proses
pembuatan busana dengan teknik penjahitan serta keterampilan
tingkat tinggi. Busana ini menjunjung eksklusifitas bagi pemakainya
dikarenakan sistem produksinya yang disesuaikan secara individu,
mulai dari konsep desain, ukuran tubuh, pemilihan material hingga
aplikasi imbuhnya, sehingga dalam menghasilkan satu busana
dibutuhkan waktu yang cukup lama.

 Tailoring – Busana ini umumnya diproduksi dengan dua pilihan


metode: bespoke, yakni pembuatan busana menggunakan pola yang
dibuat dari tahap awal menurut ukuran tubuh klien. Kemudian metode
made-to-measure yaitu pembuatan busana menggunakan pola busana
dasar yang sudah jadi kemudian disesuaikan dengan ukuran tubuh
klien. Busana tailor umumnya diproduksi untuk busana stelan jas atau
blazer formal pria maupun wanita, dengan menggunakan material
yang relatif tebal dengan aplikasi kain pelapis serta padding.

Berikut adalah tahapan dalam proses produksi busana made-to-order menurut


penjabaran Bunka (2009) dalam Fundamentals of Fashion Garment.
Gambar 2.18 Proses Produksi Busana Made-to-Order
Sumber: Bunka 2009 : 30

2. Busana Mass Production (Ready-to-wear)


Berikut adalah tahapan dalam proses produksi busana mass production
menurut penjabaran Bunka (2009) dalam Fundamentals of Fashion
Garment.
Gambar 2.19 Proses Produksi Busana Ready-to-wear
Sumber: Bunka 2009:31
Berdasarkan penjabaran tahapan proses produksi busana ready-to-wear
tersebut menunjukkan bahwa busana tersebut diproduksi dalam jumlah
besar dengan menggunakan sistem pengukuran standar. Diadaptasi dari
istilah dalam bahasa Perancis prêt-à-porter, busana ready-to-wear mulai
dipopulerkan pada era tahun 1960-an sebagai produk komersil alternatif
untuk beberapa rumah couture ternama yang sedang redup dan
menjadikan koleksi ready-to-wear yang orisinil tersebut laku dan
diminati masyarakat karena harga yang ditawarkan lebiih murah
dibanding busana couture (Hopkins, 2012).

Selama bertahun-tahun, istilah ready-to-wear telah banyak digunakan


dan lebih umum karena sektor ritel fashion terus berkembang dan
beranekaragam ke berbagai label pribadi hingga merek grosir. Pakaian
rady-to-wear saat ini diproduksi massal ke dalam berbagai kategori
harga.

2.2.3 Perkembangan Busana


Pada mulanya busana berfungsi hanya untuk melindungi tubuh baik dari sinar
matahari maupun cuaca serta menutupi sesuatu bagian tubuh yang membuat malu
ketika terlihat seseorang. Namun seiring dengan perkembangan kehidupan
manusia maka fungsi dari busana itu sendiri mengalami perkembangan ke dalam
beberapa aspek antara lain aspek pembuatan, teknologi dan material. Berikut
adalah beberapa contoh perkembangan busana saat ini.

1. Perkembangan dari Segi Pembuatan


 Engineered Print – Di dalam koleksi F/W O7/08-nya, Hussein
Chalayan bereksperimen dengan memanipulasi dan meninjau
motif kain secara digital yang kemudian digunakan pada koleksi
ready-to-wear nya, dengan membuat efek ilusi optik yang
menggambarkan tekstur tenunan. Ketika tekstur dan pola dari
koleksi tersebut dikomputerisasi, kemudian dijadikan sebagai
lapisan transparan dan diletakkan ke dalam bentuk geometris
kepada potongan pola busana (Bowles & Isaac, 2012)

Gambar 2.20 Hussein Chalayan Dress


Sumber: Bowles & Isaac 2012:19

 Fabric Origami – Merujuk pada website resmi Issey


Miyake.”132 5. Standard”. Isseymiyake.com.
https://www.isseymiyake.com/1325/standard/ (diakses tanggal
6-April-2018), Issey Miyake dan tim Reality Lab memulai
proyek ini pada tahun 2007, dengan hasil metode produksi baru
diluncurkan sebagai koleksi baru yang disebut 132 5. ISSEY
MIYAKE pada tahun 2010. Nama koleksi ini mengacu pada
cara sepotong kain ("1D") mengambil bentuk tiga dimensi
("3D") dan kemudian dilipat ke permukaan datar ("2D") , dan
cara memakainya mengubahnya menjadi sebuah eksistensi yang
melampaui waktu dan dimensi ("5D"). Bekerja dengan para
ilmuwan komputer, berbagai bentuk 3D dilipat, kemudian
ditekan sehingga pemotongan terletak pada posisi yang berbeda.
Metode produksi baru ini telah digunakan untuk membuat kaos,
rok, gaun, celana, dan lainnya.

Gam
bar 2.21 Issey
Miyake 132 5 Dress
Sumber: https://www.isseymiyake.com

2. Perkembangan Busana dari Segi Teknologi


 Catalytic Clothing – Desainer Helen Storey telah berkolaborasi
dengan kimiawan Tony Ryan pada akhir 2010, mereka
menciptakan Herself, iterasi pertama dari gaun pemurni udara.
Pakaian Catalyc menerapkan teknologi fotokatalitik, yang saat
ini digunakan dalam produk industri seperti cat dan semen,
untuk tekstil yang ditujukan pada busana. Kennedy, Stoehrer,
Calderin (2013) menjelaskan bahwa nanopartikel dalam
fotokatalis dengan mudah saling mengikat pada kain saat dicuci.
Ketika terkena cahaya, fotokatalis menata ulang elektron dalam
kain, membuatnya lebih reaktif. Elektron kemudian berinteraksi
dengan air di udara, memecah menjadi radikal, yang pada
gilirannya berinteraksi dengan polutan udara, menguranginya
menjadi bahan kimia yang tidak berbahaya.
Gamba
r 2.22 Air Purifying Dress
Sumber: Kennedy, etc. 2013:208

 Emotive Fashion – Fesyen masa depan dapat digunakan untuk


menyampaikan keadaan emosional yang halus, berkat inovator
di Philips Design di Belanda. diperkenalkan pada tahun 2006
sebagai bagian dari proyek penelitian SKIN yang sedang
berlangsung yang dipimpin oleh "body architect" Lucy McRae,
gaun Bubelle mengeksplorasi teknologi emotif. Gelembung
gaun yang halus itu terdiri dari dua lapis kain. Sensor biometrik
pada lapisan dalam di sebelah kulit bereaksi terhadap fluktuasi
dalam suhu tubuh yang dipicu oleh keadaan emosional seperti
kasih sayang atau rasa takut, gairah atau ketenangan; LED
tertanam di lapisan luar kemudian menerjemahkan bacaan-
bacaan ini dalam warna-warna yang selalu berubah (Kennedy,
etc., 2013). Komunikasi adalah inti dari pakaian dinamis ini
yang responsnya unik bagi setiap pemakai.
Gambar 2.23 Bubelle Dress
Sumber: Kennedy, etc. 2013:212

3. Perkembangan Busana dari Segi Material


 Biocouture – Seorang peneliti senior serta desainer asal Central
Saint Martins, London bernama Suzanne Lee mempunyai
pemikiran bagaimana jika pakaian yang kita kenakan nanti bisa
kita “panen” sendiri menggunakan bantuan bakteria. Suzanne
Lee bekerja sama dengan peneliti Biologi pada tahun 2003
dengan memanfaatkan proses fermentasi Kombucha yang
menggunakan bibit ragi, dan menghasilkan lapisan hasil
kumpulan bakteri selulosa berupa lembaran yang menyerupai
kulit (Kennedy, etc., 2013). Melalui peneltian ini, Lee berhasil
memanfaatkan lapisan selulosa tersebut dengan mengolahnya
menjadi produk-produk fesyen seperti baju, rok, jaket, hingga
sepatu. Lapisan selulosa ini memiliki daya serap air yang sangat
tinggi sehingga proses pewarnaannya tidak membutuhkan
kapasitas pewarna dalam jumlah yang banyak, sehingga dapat
mengurangi pemakaian bahan-bahan kimia.

Gambar 2.25 Mycellium Leather


Sumber: https://www.mycoworks.com

Gambar 2.24 Biocouture


Sumber: https://www.goodnet.org

 Mycellium Leather – Perusahaan startup MycoWorks yang


berbasis di San Francisco menemukan sumber yang tak biasa
untuk membuat produk yang berkinerja seperti kulit: limbah
pabrik. Bahannya adalah campuran serat kayu dan miselium,
yaitu salah satu jenis jamur yang tumbuh di bawah tanah, yang
kini telah menjadi bahan alternatif yang populer karena sifatnya
yang organik dan tahan lama.
Bahan seperti-kulit MycoWorks ini tumbuh melalui proses
lingkaran tertutup dengan tingkat konversi energi rendah yang
menggunakan sedikit air. Bahan biodegradable ini dapat
tumbuh di hampir semua ukuran atau tekstur, tidak seperti kulit
konvensional yang bersumber dari kulit binatang (Ashaboglu,
Selin, 2016, Object of the Moment: Mycelium Leather by
MycoWorks,http://www.architectmagazine.com/technology/prod
ucts, diakses tanggal 6 April 2018).

2.3 Peluang Bisnis


Keberlanjutan dalam industri fesyen telah diakui sebagai isu penting karena
meningkatnya kesadaran masyarakat akan dampak negatif yang ditimbulkan
industri ini terhadap aspek lingkungan dan sosial. Diperlukan adanya perubahan
sistematis dalam perkembangan industri fesyen secara menyeluruh di mana
inisiatif harus bergerak di luar rantai pasokan ke area lain seperti inovasi bisnis,
konsumsi berkelanjutan, dan keterlibatan konsumen. Hal ini sesuai dengan
pemaparan Kate Fletcher (2008) dalam bukunya Sustainable Fashion and Textiles
yang menyatakan:

“Designing sustainable fashion and textiles requires that we know


about and support more sustainable systems of production. The issues
are complex and there is no silver bullet that resolves them and
provides a simple checklist of production choices for the perfect
garment.” (Fletcher, 2008:42)

Untuk menerjemahkan prinsip keberlanjutan, maka harus berfokus pada praktek


desain dengan tujuan untuk mengembangkan inovasi model bisnis yang didorong
keberlanjutan untuk mendorong konsumsi yang berkelanjutan. Inovasi muncul
dari desain yang baik, dan inovasi dapat mendorong keberlanjutan. Apa yang
dianggap sebagai "desain yang baik" tetap merupakan gagasan subyektif, tetapi
harus tetap dikaitkan dengan bagaimana menciptakan desain yang relevan dan
memiliki nilai bagi masyarakat, untuk merek fesyen, dan / atau kepada konsumen.
Nilai pada dasarnya dibuat melalui faktor-faktor sosial yang relevan seperti
sebagai kualitas, estetika, rasa, kebaruan, tren, budaya, gaya, etika, daya tahan
emosional, simbolisme, dan kinerja teknologi (Kozlowski, Searcy & Bardecki,
2016).

Dalam penelitian Kozlowski, Searcy, Bardecki (2016) memberikan kontribusi


analisis tentang bagaimana proses desain dapat mendukung pengembangan model
bisnis baru dan kompetitif untuk industri fesyen yang berkelanjutan, mereka
mengusulkan model berdasarkan pemikiran sistem kerangka yang teoritis untuk
memandu dalam praktik desain.

Product
Sustainability

Sustainable Design Consumer


Supply-chain Engagement
Management Practice

Tier Tier Tier Tier Consumer Use


4 3 2 1 Business
Acquisition
Inovation
Laundering Disposal

Less Less
Control Control

Apparel brands degree of control of the five elements

Gambar 2.26 Sustainable Business Model


Sumber: Kozlowski, Searcy, Bardecki 2016: 6

Model ini diatur oleh tingkat kontrol yang akan dimiliki oleh merek fesyen yang
terdiri atas berbagai elemen. Elemen seperti praktik desain, inovasi bisnis, dan
keberlanjutan produk secara langsung dikendalikan oleh merek pakaian.
Kozlowski, dkk. (2016) kemudian menjelaskan bahwa manfaat yang timbul dari
peningkatan keberlangsungan produk pakaian tunduk pada pembatasan oleh
sistem produksi, model bisnis yang digunakan, penjualan produk pakaian, dan
perilaku konsumen yang membeli produk pakaian ini. Oleh karena itu, semua
elemen dalam sistem pakaian membutuhkan transformasi yang mencapai
keseluruhan sistem.

Tantangan bagi para desainer adalah pendekatan desain dengan pandangan sistem
di mana hubungan antara produsen dan konsumen dipahami secara lebih baik.
Tidak hanya penting bagi perancang untuk mempertimbangkan perilaku dan pola
konsumen, tetapi juga mengeksplorasi opsi dalam melibatkan konsumen untuk
mengembangkan makna dan nilai yang lebih besar untuk sebuah produk dan
prosesnya, serta sebagai upaya dalam menciptakan sebuah peluang usaha yang
baru

2.3.1 Model Bisnis


Dalam tahap perencanaan output penelitian ini untuk menjadi sebuah peluang
bisnis fesyen yang baru, dibutuhkan model bisnis yang bisa dijadikan acuan dalam
pengelolaan produk dari hasil penelitian ini untuk menjadi sebuah usaha yang
berkelanjutan. Model bisnis merupakan sebuah media untuk mengkomunikasikan
visi dan misi suatu konsep organisasi atau perusahaan agar dapat dipahami oleh
semua orang. Menurut pemaparan Osterwalder dan Pigneur (2010) dalam buku
Business Model Generation menyatakan bahwa model bisnis berfungsi untuk
menggambarkan dasar pemikiran tentang bagaimana sebuah organisasi
menciptakan, memberikan, serta menangkap suatu nilai bagi pelanggan. Konsep
ini dapat menjadi bahasa bersama yang dapat dideskripsikan dan dimanipulasikan
dengan mudah untuk menciptakan strategi alternatif bisnis yang baru.

Model bisnis adalah seperti cetak biru untuk strategi yang akan diterapkan melalui
struktur organisasi, proses, dan sistem. Dalam bukunya Osterwalder dan Pigneur
lebih lanjut menjabarkan mengenai elemen bisnis model yang terdiri atas
sembilan dasar blok yang mencakup empat bidang utama bisnis: pelanggan,
layanan, infrastruktur, dan kelayakan finansial.

2.3.2 Elemen Model Bisnis

Gambar 2.27 The 9 Building Blocks


Sumber: Osterwalder, Pigneur 2010 : 16

1. Customer Segments (CS)

Blok Customer Segments menentukan kelompok orang atau organisasi


berbeda yang ingin ditujukan oleh perusahaan, dan melayani pelanggan
merupakan jantung dari setiap model bisnis. Tanpa pelanggan yang
sesuai dengan target maka tidak akan ada perusahaan yang dapat
bertahan lama. Untuk dapat memuaskan pelanggan dengan lebih baik,
sebuah perusahaan dapat mengelompokkan mereka ke dalam segmen
yang berbeda dengan kebutuhan umum, perilaku umum, atau atribut
lainnya. Organisasi harus membuat keputusan tentang segmen mana
yang ditujukan dan segmen mana yang harus diabaikan. Berikut adalah
beberapa contoh segmentasi pasar menurut Osterwalder dan Pigneur
(2010):

 Mass Market
Model bisnis yang berfokus pada pasar massal tidak membedakan
antara Segmen Pelanggan yang berbeda. Proposisi Nilai, Saluran
Distribusi, dan Hubungan Pelanggan semua fokus pada satu
kelompok besar pelanggan dengan kebutuhan dan masalah yang
relatif serupa. Jenis model bisnis ini sering ditemukan di sektor
konsumen elektronik maupun industri fast-fashion.

 Niche Market
Model bisnis yang menargetkan pasar khusus ditujukan untuk
Segmen Pelanggan khusus yang lebih spesifik. Proposisi Nilai,
Saluran Distribusi, dan Hubungan Pelanggan semuanya
disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dari ceruk pasar ini. Model
bisnis seperti biasanya digunakan dalam industri fesyen yang
ditujukan bagi pasar dengan bentuk tubuh tertentu, contohnya
seperti busana plus-size atau busana bagi wanita hamil.

 Segmented
Beberapa model bisnis membedakan antara segmen pasar dengan
kebutuhan dan masalah yang sedikit berbeda, umumnya dibedakan
berdasarkan jumlah penghasilan atau kelas sosial dari sekelompok
target market.

 Diversified
Sebuah organisasi dengan model bisnis pelanggan yang
terdiversifikasi melayani dua Segmen Pelanggan yang tidak terkait
satu sama lain dengan kebutuhan dan masalah yang sangat berbeda.

 Multi-sided
Beberapa organisasi melayani dua atau lebih Segmen Pelanggan
yang saling bergantung. Contohnya perusahaan yang menyediakan
koran gratis membutuhkan basis pembaca yang besar untuk
menarik pengiklan. Di sisi lain, dibutuhkan pengiklan untuk
membiayai produksi dan distribusi.

2. Value Propositions (VP)


Blok Value Propositions menggambarkan apa saja nilai tambah yang
akan ditawarkan dalam sebuah produk/jasa yang akan diberikan pada
pelanggan. Value Propositions adalah alasan mengapa pelanggan
beralih ke satu perusahaan daripada yang lain. Ini dapat memecahkan
masalah pelanggan atau memuaskan kebutuhan pelanggan. Setiap
proposisi nilai terdiri dari bundel produk dan / atau layanan tertentu
yang memenuhi persyaratan Segmen Pelanggan tertentu. Dalam
pengertian ini, Value Proposition adalah manfaat yang diberikan
perusahaan kepada pelanggan. Beberapa contoh nilai yang dapat
ditawarkan oleh suatu produk untuk konsumen diantaranya dari segi
kebaruan, performa, customization, desain serta harga.

3. Channels (CH)
Blok Channels menggambarkan bagaimana sebuah perusahaan
berkomunikasi dan mencapai Segmen Pelanggannya untuk
menyampaikan Proposisi Nilai, komunikasi, distribusi, dan saluran
penjualan terdiri dari antarmuka perusahaan dengan pelanggan.
Channels adalah titik kontak pelanggan yang memainkan peran penting
dalam pengalaman pelanggan. Channels memiliki lima fase berbeda.
Setiap channel dapat mencakup beberapa atau semua fase ini. Fase
tersebut dapat dibedakan antara channel langsung dan tidak langsung,
serta antara channel yang dimiliki dan channel mitra

Tabel 2.9 Channels Types & Phases


Sumber: Business Model Generation by Osterwalder & Pigneur (2010)
4. Customer Relationships (CR)
Blok Customer Rekationship mendeskripsikan jenis hubungan yang
dibuat perusahaan dengan Segmen Pelanggan tertentu. Perusahaan
harus memperjelas jenis hubungan yang ingin dibuat dengan setiap
Segmen Pelanggan. CR dapat bersifat personal antar penjual dan
pembeli, melalui proses otomatis, dalam sebuah komunitas, maupun
kolaboratif.

5. Revenue Streams (RS)


Blok Revenue Streams merepresentasikan jumlah pemasukan yang
dihasilkan oleh perusahaan yang diperoleh dari setiap segmen
pelanggan. Jika pelanggan merupakan jantung dari sebuah model
bisnis, maka aliran pendapatan adalah arterinya. Hal yang harus
dipertimbangkan dalam menetapkan sebuah nominal ditentukan dari
jenis nilai produk apa yang membuat setiap segmen pelanggan bersedia
untuk membayarnya. Setiap RS memiliki mekanisme penetapan harga
yang berbeda, seperti harga jual tetap, tawar-menawar, pelelangan,
hingga ketergantungan pasar.

6. Key Resources (KR)


Blok Key Resources menggambarkan aset paling penting yang
diperlukan untuk membuat suatu model bisnis bekerja. Setiap model
bisnis membutuhkan sumber daya utamam sumber daya ini
memungkinkan perusahaan untuk membuat dan menawarkan proposisi
nilai, menjangkau pasar, mempertahankan hubungan dengan segmen
pelanggan, dan memperoleh pendapatan. KR yang berbeda diperlukan
tergantung pada jenis model bisnis, sumber daya ini dapat berupa fisik,
keuangan, atau manusia. Sumber daya utama dapat dimiliki atau disewa
oleh perusahaan atau diperoleh dari mitra utama.
7. Key Activities (KA)
Blok Key Activities menjelaskan kegiatan utama yang harus dilakukan
perusahaan untuk membuat model bisnisnya bekerja. Setiap model
bisnis memiliki sejumlah kegiatan utama yang dibutuhkan untuk dapat
beroperasi dengan sukses. KA berbeda-beda tergantung oleh jenis
model bisnisnya, dalam industri fesyen maka kegiatan utamanya adalah
dimulai dari perancangan desain, produksi hingga pemasaran
produknya.

8. Key Partnership (KP)


Blok Key Partnership menjelaskan pemasok dan mitra yang membuat
model bisnis dapat bekerja. Perusahaan menjalin kemitraan karena
berbagai alasan, dan kemitraan menjadi landasan bagi banyak model
bisnis. Perusahaan menciptakan aliansi untuk mengoptimalkan model
bisnis mereka, mengurangi resiko, atau memperoleh sumber daya. Tipe
aliansi dapat dibedakan menjadi aliansi strategis antar non-pesaing,
kerjasama strategis antar kompetitor, usaha patungan untuk
mengembangkan bisnis baru, hubungan pembeli-pemasok untuk
menjamin suplai yang dapat diandalkan.

9. Cost Structure (CR)


Blok Cost Structure menggambarkan semua biaya yang dikeluarkan
untuk mengoperasikan model bisnis. Blok ini menjelaskan biaya yang
paling penting yang dibutuhkan ketika beroperasi di bawah model
bisnis tertentu. Menciptakan dan menghilangkan suatu nilai produk,
mempertahankan Hubungan Pelanggan, dan menghasilkan pendapatan,
semua membutuhkan biaya. Biaya tersebut dapat dihitung dengan
mudah setelah mendefinisikan sumber daya utama, kegiatan utama, dan
kemitraan kunci. Namun, beberapa model bisnis lebih digerakkan oleh
biaya daripada faktor lain.
Gambar 2.24 The Business Model Canvas
Sumber: Osterwalder, Pigneur 2010 : 44

Berdasarkan penjabaran ke-sembilan elemen dalam model bisnis yang sudah


disebutkan sebelumnya, maka pengaplikasiannya dipetakan ke dalam suatu
rangkaian blok yang saling berkaitan dimana Osterwalder dan Pigneur
menyebutnya sebagai Business Model Canvas.

Metode ini dipilih sebagai perencanaan model bisnis dalam penelitian ini karena
sifat penerapannya yang universal dan fleksibel, serta memiliki keseluruhan
elemen yang mencakup berbagai macam aspek penting dalam perencanaan bisnis,
sehingga diharapkan metode ini dapat menjadi acuan dalam mempersiapkan
fondasi untuk menjalankan sebuah bisnis fesyen.

Anda mungkin juga menyukai