Anda di halaman 1dari 87

2.1.

3 Nyeri

1. Pengertian Nyeri

Nyeri merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan baik sensori

maupun emosional yang berhubungan dengan risiko atau aktualnya

kerusakan jaringan tubuh (Judha dkk, 2012). Nyeri adalah suatu mekanisme
4
3

proteksi bagi tubuh yang timbul ketika jaringan sedang rusak dan

menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri

(Prasetyo, 2010).

2. Klasifikasi

Menurut lama gejalanya nyeri diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan

kronis. Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit

atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas

yang bervariasi dan berlangsung untuk singkat. Nyeri akut akan berhenti

sendirinya dan akhirnya menghilang tanpa pengobatan setelah keadaan

pulih. Nyeri akut berdurasi kurang dari 6 bulan. Kebanyakan orang

mengalami nyeri seperti sakit kepala, sakit gigi, terbakar, tertusuk duri,

pasca persalinan. Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi sepanjang waktu dan

berlangsung dalam waktu lama (Andarmoyo, 2013).

3. Penanganan Nyeri a.

Terapi Farmakologi

Obat analgetik untuk nyeri dikelompokkan menjadi tiga yaitu non-

narkotik dan obat anti inflamasi non-steroid (NSAID), analgetik narkotik

atau apoid dan obat tambahan (adjuvan) atau analgesic (Meliala &

Suryamiharja, 2017). Obat NSAID umumnya digunakan untuk

mengurangi nyeri ringan dan sedang, analgesik narkotik umumnya untuk

nyeri sedang dan berat (Potter & Perry, 2012).


44

b. Terapi Non Farmakologi

Terapi non farmakologi atau disebut terapi komplementer telah

terbukti dapat menurunkn nyeri. Ada dua jenis terapi komplementer yang

dapat digunakan untuk mengurangi nyeri yaitu: behavioral treatment

seperti latihan relaksasi, distraksi, hipoterapi, latihan biofeedback dan

terapi fisik seperti akupuntur, transcutaneous elecric nerve stmulation

(TENS) (Machfoedz & Suharjanti, 2010). Macam-macam strategi untuk

meredakan nyeri menggunakan pendekatan nonfarmakologi menurut

Smeltzer & Bare (2012) yaitu : masase dan stimulasi kutaneus, efflurage

massage, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), distraksi,

terapi musik, hidroterapi rendam kaki, teknik relaksasi nafas dalam,

guided imagery, aromaterapi, kompres dingin dan kompres hangat,

relaksasi otot progresif.

4. Alat Pengukur Nyeri

Persepsi nyeri dapat diukur dengan menggunakan alat ukur intensitas

nyeri. Alat yang digunakan untuk mengukur intensitas nyeri adalah dengan

memakai skala intensitas nyeri. Adapun skala intensitas nyeri yang

dikemukan Perry dan Potter (2000) dalam Solehatin dan Kosasih (2015)

adalah :

1) Skala Analog Visual

Skala ini berbentuk garis horizontal sepanjang 10 cm. Ujung kiri skala

mengidentifikasi tidak ada nyeri dan ujung kanan menandakan nyeri


45

yang berat. Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang

garis dan jarak yang dibuat klien pada garis tidak ada nyeri, kemudian

diukur dan ditulis dalam ukuran centimeter. Pada skala ini, garis dibuat

memanjang tanpa ada suatu tanda angka, kecuali angka 0 dan angka 10.

Skala ini dapat dipersepsikan sebagai berikut :

0 = tidak ada nyeri

1-2 = nyeri ringan

3-4 = nyeri sedang

5-6 = nyeri berat

7-8 = nyeri sangat berat

9-10 = nyeri buruk sampai tidak tertahankan

Gambar 2. 1 Skala Analog Visual (VAS)

Sumber : Elkin, et al., (2000) dalam Solehati dan Kosasih (2015)

2) Skala Numerik

Skala ini berbentuk garis horizontal yang menunjukkan angka-angka

dari 0 – 10, yaitu angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka 10

menunjukkan nyeri yang paling hebat. Skala ini merupakan garis panjang

berukuran 10 cm, yaitu setiap panjangnya 1 cm diberi tanda. Skala ini


46

dapat dipakai pada klien dengan nyeri yang hebat atau klien yang baru

mengalami operasi. Tingkat angka yang ditunjukkan oleh klien dapat

digunakan untuk mengkaji efektivitas dari intervensi pereda rasa nyeri.

Menurut Wong (1995) dalam Solehati dan Kosasih (2015), skala ini dapat

dipersepsikan sebagai berikut :

0 = tidak ada nyeri

1-3 = sedikit nyeri

3-7 = nyeri sedang

7-9 = nyeri berat

10 = nyeri yang paling hebat

Gambar 2.2 Skala Numerik

Sumber : Elkin, et al., (2000) dalam Solehati dan Kosasih (2015)

3) Skala Face Pain Rating Scale (FPRS)

FPRS merupakan skala nyeri dengan model gambar kartun dengan enam

tingkatan nyeri dan dilengkapi dengan angka dari 0 sampai dengan 5.

Skala ini biasanya digunakan untuk mengukur skala nyeri pada anak.

Adapun pendeskripsian skala tersebut adalah sebagai

berikut : 0 = tidak menyakitkan

1 = sedikit sakit
47

2 = lebih menyakitkan

3 = lebih menyakitkan lagi

4 = jauh lebih menyakitkan lagi

5 = benar – benar menyakitkan

Gambar 2.3 Skala Face Pain Rating Scale

Sumber : Elkin, et al., (2000) dalam Solehati dan Kosasih (2015).

2.1.4 Relaksasi Otot Progresif

1. Pengertian Relaksasi Otot Progresif

Relaksasi otot progresif merupakan teknik relaksasi yang

memusatkan perhatian pada suatu aktifitas otot, dengan mengidentifikasi

otot yang tegang kemudian menurunkan ketegangan dengan melakukan

teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan relaks (Gagliese, 2005).

Latihan relaksasi otot progresif adalah kombinasi antara latihan

pernafasan dan rangkaian kontraksi serta relaksasi kelompok otot

(Indrawati dan Andriyati, 2018). Teknik otot progresif memusatkan

perhatian pada suatu aktivitas otot yang tegang kemudian menurunkan

ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi untuk mendapatkan

perasaan relaks (Herodes, 2010).


48

2. Tujuan Relaksasi Otot Progresif

Tujuan relaksasi otot progresif menurut Potter dan Perry (2005)

dalam Solehati dan Kosasih (2015) adalah sebagai berikut:

1) Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri leher dan punggung,

tekanan darah tinggi, frekuensi jantung, dan laju metabolik.

2) Mengurangi disritmia jantung.

3) Mengurangi kebutuhan oksigen.

4) Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika pasien sadar

dan tidak memfokuskan perhatian secara rileks.

5) Meningkatkan rasa kebugaran dan konsentrasi.

6) Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stress.

7) Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan, iritabilitas, spasme otot,

fobia ringan, gagap ringan.

8) Membangun emosi positif dan emosi negative.

3. Prosedur

A. Persiapan Alat

1) Alas duduk

2) Bantal

B. Tahap Prainteraksi

1) Beritahu klien bahwa tindakan akan segera dimulai.

2) Siapkan alat-alat
49

C. Tahap Orientasi

1) Memberi salam.

2) Memperkenalkan diri

3) Jelaskan prosedur dan tujuan tindakan pada klien atau keluarga.

D. Tahap Kerja

1. Gerakan 1 : Ditujukan untuk melatih otot tangan.

a. Genggam tangan kiri sambil membuat kepalan.

b. Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi

ketegangan yang terjadi.

c. Pada saat kepalan dilepaskan, rasakan relaksasi selama 10

detik.

d. Gerakkan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga

dapat membedekan perbedaan antara ketegangan otot dan

keadaan relaks yang dialami.

e. Lakukan gerakan yang sama pada tangan kanan.

Gambar 2.4 Melatih Otot Tangan Bagian Dalam.


50

2. Gerakan 2: Ditunjukan untuk melatih otot tangan bagian luar.

a. Tekuk kedua lengan ke belakang pada pergelangan tangan

sehingga otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah

menegang.

b. Tahan selama 10 detik kemudian lepaskan untuk merasakan

sensasi rileks.

c. Ulangi kembali gerakan tersebut.

Gambar 2.5 Melatih Otot Tangan Bagian Luar.

3. Gerakan 3 : Ditunjukan untuk melatih otot biseps (otot besar

pada bagian atas pangkal lengan).

a. Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.

b. Kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga

otot biseps akan menjadi tegang.

c. Tahan selama 10 detik, kemudian lepaskan secara perlahan-

lahan.
51

d. Ulangi kembali gerakan tersebut.

Gambar 2.6 Melatih Otot Biseps.

4. Gerakan 4 : Ditunjukan untuk melatih otot bahu supaya

mengendur.

a. Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan hingga

menyentuh kedua telinga.

b. Tahan selama 10 detik kemudian lepasakan secara perlahan.

c. Ulangi kembali gerakan tersebut.

Gambar 2.7 Melatih Otot Bahu

5. Gerakan 5 dan 6: Ditunjukan untuk melemaskan otot-otot

wajah (seperti dahi, mata, rahang, mulut).


52

a. Gerakan otot dahi dengan cara mengerutkan dahi dan alis

sampai otot terasa kulitnya keriput.

b. Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan

disekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan gerakan

mata.

c. Tahan selama 10 detik kemudian lepaskan secara perlahan.

d. Ulangi sekali lagi gerakan tersebut.

Gambar 2.8 Melemaskan Otot-Otot Wajah

Gambar 2.8 Melemaskan Otot-Otot Wajah

6. Gerakan 7 : Ditunjukan untuk mengendurkan ketegangan yang

dialami oleh otot rahang. Katupkan rahang, diikuti dengan

menggigit gigi sehingga terjadi ketegangan disekitar otot

rahang. Tahan selama 10 detik kemudian lepaskan secara

perlahan dan rasakan sensasi rileks. Ulangi sekali lagi gerakan

tersebut.
53

Gambar 2.9 Mengendurkan Ketegangan Otot Rahang

7. Gerakan 8 : Ditunjukkan untuk mengendurkan otot-otot

disekitar mulut. Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga

akan dirasakan ketegangan disekitar mulut. Tahan selama 10

detik kemudian lepaskan dan rasakan sensasi rileks. Ulangi

sekali lagi gerakan tersebut.

Gambar 2.10 Mengendurkan Otot Sekitar Mulut.

8. Gerakan 9 : Ditunjukan untuk merilekskan otot leher bagian

depan maupun bagian belakang.

a. Gerakan diawali dengan otot leher bagian depan depan.


54

b. Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat.

c. Tekan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian

rupa sehingga dapat merasakan ketegangan dibagian

belakang leher dan punggung atas.

d. Tahan selama 10 detik kemudian rasakan sensasi rileks.

e. Ulangi sekali lagi gerakan tersebut.

Gambar 2.11 Merilekskan Otot Leher Bagian Depan dan

Belakang.

9. Gerakan 10 : Ditunjukan untuk melatih otot leher bagian depan.

a. Gerakan kepala menunduk sampai dagu menyentuh dada.

b. Rasakan ketegangan didaerah leher bagian depan.

c. Tahan selama 10 detik kemudian lepasakan secara perlahan-

lahan.
55

d. Ulangi lagi gerakan tersebut.

Gambar 2.12 Melatih Otot Otot Leher Bagian Depan.

10.Gerakan 11: Ditunjukan untuk melatih otot punggung.

a. Punggung dilengkungkan

b. Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik,

kemudian relaks.

c. Saat relaks, letakkan tubuh kembali le posisi semula.

d. Ulangi kembali gerakan tersebut.

Gambar 2.13 Melatih Otot Punggung.


56

11.Gerakan 12: Ditunjukan untuk melemaskan otot dada.

a. Tarik nafas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara

sebanyak-banyaknya.

b. Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan

dibagian dada sampai turun ke perut, kemudian dilepas.

c. Saat tegang dilepas, lakukan napas normal dengan lega.

d. Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antar

kondisi tegang dan relaks.

Gambar 2.14 Melemaskan Otot Dada.

12.Gerakan 13 : Bertujuan untuk melatih otot-otot perut.

a. Kempiskan perut dengan kuat sampai kencang.

b. Tahan sampai menjadi kencang dan keras selama 10 detik,

lalu dilepaskan.

c. Ulangi kembali seperti gerakan awal untuk perut.


57

Gambar 2.15 Melatih Otot-Otot Perut

13. Gerakan 14 : Ditunjukan untuk melatih otot-otot kaki (otot

paha dan betis).

a. Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha terasa

tegang.

b. Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa sehingga

ketegangan pindah ke otot betis.

c. Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu dilepas.

d. Ulangi setiap gerakan masing-masing dua kali.

Gambar 2.16 Melatih Otot-Otot Kaki


58

14. Gerakan 15 :

a. Tumit ditekan pada lantai.

b. Kemudian jari-jari kaki dibuka lebar-lebar dan ditarik keatas.

c. Otot-otot paha ditegangkan.

d. Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu dilepas.

e. Ulangi sekali lagi gerakan serupa.

Gambar 2.17 Melatih Otot Kaki.

D. Tahap Terminasi

A. Evaluasi respons klien

B. Berikan reinforcement positif

C. Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya

D. Mengakhiri kegiatan dengan baik

E. Dokumentasi

1) Catat tindakan yang telah dilakukan, tanggal, dan jam pelaksanaan.

2) Catat hasil tindakan

(Mashudi, 2011; Edmud, 2015; Maulida, A.P. ,2014)


59

2.2 Kerangka Teori


Trauma, Kehamilan, Genetik, Dan Virus.

Meningioma

Gangguan Fokal
Peningkatan Tekanan Intrakranial
Penekanan pada jaringan otak , infiltrasi atau invasi
langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan
Bertambahnya Perubahan Terbentuknya
neuron.
massa dalam Sirkulasi Edema
tengkorak Cairan Sekitar
Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan
tumor yang bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan Obstruksi
otak.
Mekanisme kompensasi sirkulasi
dari peningkatan tekanan cairan
Kehilangan fungsi secara akut sesuai area yang intrakranial serebrospinal
terkena

Herniasi unkus atau Hidrosefalus


Tumor Lobus Frontal serebellum
Tekanan
lintasan motorik di
Lobulus Parasentralis dekat tumor
Herniasi menekan Kompresi medulla
Kelemahan pada kaki mesensefalon oblongata
dan ekstermitas Hemiparase

Hilang kesadaran dan Hilangnya pernapasan,


Lobus Parietalis Ujung bawah menekan saraf otak nausea, muntah proyektil
Hilangnya fungsi korteks prasentralis
sensorik kortikalis, Pola nafas tidak efentif
gangguan lokalisasi, Kelemahan pada Resiko tinggi trauma Nutrisi kurang dari
Defisit perawatan kebutuhan tubuh
sensorik, diskriminasi wajah, lidah, dan
diri
dua titik, grafestesia, ibu jari
kesan posisi, dan Lobus Oksipitalis Traksi dan pengeseran struktur
sterognosis peka nyeri dalam rongga
Serangan Kejang intrakranial
Sumber :
Resiko Tinggi Trauma Nyeri Kronis Muttaqin,
(2011)
Gambar 2.18 Patofisiologi Meningioma
60

2.3 Kerangka Konsep

Pemenuhan Kebutuhan Terapi Relaksasi Otot


Aman dan Nyaman Progresif
BAB III

METODOLOGI STUDI KASUS

3.1 Rancangan Studi Kasus

Studi kasus adalah suatu metode untuk memahami individu yang

dilakukan secera integrative dan komprehensif agar diperoleh pemahaman yang

mendalam tentang individu tersebut beserta masalah yang dihadapinya dengan

tujuan masalahnya dapat terselesaikan dan memperoleh perkembangan diri yang

baik (Rahardjo, Susilo, & Gudnanto, 2011). Studi kasus ini adalah

mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan pada pasien meningioma dalam

pemenuhan kebutuhan aman dan nyaman.

3.2 Subjek Studi Kasus

Subjek penelitian menurut Suharsimi Arikonto (2016) memberi batasan

subjek penelitian sebagai benda, hal atau orang sebagai tempat data untuk

variable penelitian melekat, dan yang dipermasalahkan. Dalam sebuah penelitian,

subjek penelitian mempunyai peran yang sangat strategis karena pada subjek

peneliti itulah data tentang variable yang peneliti amati. Subjek yang digunakan

pada studi kasus ini adalah satu orang pasien dengan diagnosa medis

meningioma pada regio parietal yang memiliki keluhan nyeri kepala.

61
62

3.3 Fokus Studi Kasus

Fokus studi identik dengan variable penelitian yaitu perilaku atau

karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (Nursalam, 2011).

Fokus studi kasus ini adalah untuk mengetahui gambaran intensitas nyeri

sebelum dan sesudah pemberian relaksasi otot progresif untuk menurunkan

intensitas nyeri kepala pasien meningioma.

3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional menurut Sugiyono (2015) adalah suatu atribut atau

sifat atau nilai dari obyek atau kegiatan yang memiliki variasi tertentu yang telah

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

1. Nyeri kepala

Nyeri merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan baik sensori

maupun emosional yang berhubungan dengan risiko atau aktualnya kerusakan

jaringan tubuh (Judha dkk, 2012). Nyeri kepala merupakan gejala umum yang

paling sering dijumpai pada klien meningioma. Nyeri bersifat dalam, terus-

menerus, tumpul, kadang-kadang hebat sekali. Nyeri ini paling hebat pada

pagi hari dan menjadi lebih hebat lagi pada aktivitas yang meningkatkan

tekanan meningen seperti membungkuk, batuk, atau mengejan pada BAB.

Nyeri kepala sedikit berkurang jika diberi aspirin dan kompres dingin pada

tempat yang sakit. Nyeri kepala yang dihubungkan dengan


6
3

meningioma disebabkan oleh traksi dan pergesaran struktur peka-nyeri dalam

rongga otak.

2. Meningioma

Meningioma adalah tumor otak jinak yang sering ditemui yang

melibatkan semua lapisan meningen. Namun tumor otak ini berasal dari sel-

sel arakhnoid. Kebanyakan meningioma bersifat jinak, tetapi beberapa tumor

dapat menjadi ganas. Meningioma dapat ditemukan di dalam otak atau saraf

tulang belakang. Tumor ini tumbuh dengan lambat dan terjadi pada usia

berapa saja, paling sering pada usia pertengahan dan pada wanita.

3. Relaksasi Otot Progresif

Relaksasi otot progresif merupakan teknik relaksasi yang memusatkan

perhatian pada suatu aktifitas otot, dengan mengidentifikasi otot yang tegang

kemudian menurunkan ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi untuk

mendapatkan perasaan relaks (Gagliese,2005). Latihan relaksasi otot progresif

adalah kombinasi antara latihan pernafasan dan rangkaian kontraksi serta

relaksasi kelompok otot (Indrawati dan Andriyati, 2018). Teknik otot

progresif memusatkan perhatian pada suatu aktivitas otot yang tegang

kemudian menurunkan ketegangan dengan melakukan teknik relaksasi untuk

mendapatkan perasaan relaks (Herodes, 2010).


6
4

3.5 Tempat dan Waktu Pengambilan Studi Kasus

1. Lokasi

Lokasi adalah tempat yang dilakukan oleh penelitian dalam melaksanakan

kegiatan penelitian (Hidayat, 2011). Lokasi pengambilan studi kasus

dilakukan di ruang Flamboyan 10 Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.

2. Waktu

Waktu adalah rencana tentang jadwal yang dilakukan oleh penelitian

dalam melaksanakan kegiatan penelitian (Hidayat, 2011). Waktu penelitian

studi kasus 17 Februari – 22 Februari 2019. Pemberian relaksasi otot progresif

dilakukan selama 3 hari dimulai tanggal 21-23 Februari 2020 pada pasien

meningioma.

3.6 Pengumpulan Data

1. Wawancara

Wawancara adalah tanya jawab antara dua pihak, pewawancara dan

narasumber untuk memperoleh data tentang suatu hal. Wawancara bebas

terpimpin merupakan kombinasi dari wawancara terpimpin dan wawancara

tidak terpimpin. Meskipun terdapat unsur kebebasan, tetapi ada pengaruh

pembicaraan secara tegas dan jelas. Jadi, wawancara ini mempunyai ciri

fleksibelitas dan arah yang jelas (Notoatmodjo, 2010).

Metode pengumpulan data dalam studi kasus ini menggunakan metode

wawancara bebas terpimpin. Penggunaaan metode ini bertujuan agar subyek


6
5

penelitian mampu memberikan pendapat serta pengalaman responden secara

keseluruhan. Wawancara bebas terpimpin untuk memperoleh data yang

diambil dari subjek, kemudian berpedoman pada lembar wawancara,

menggunakan lembar pengukuran tingkat nyeri untuk menggali karakteristik

nyeri pada pasien dengan numeric rating scale (NRS) yang telah dibuat oleh

peneliti. Pengukuran dilakukan selama 3 hari perawatan sebelum dan sesudah

diberikan relaksasi otot progresif apakah dapat menurunkan nyeri kepala pada

pasien meningioma.

2. Observasi

Observasi merupakan suatu metode untuk mengumpulkan data

penelitian dengan sifat dasar naturalistik yang berlangsung dalam konteks

natural (Supriyati, 2011).

Observasi adalah suatu proses pengamatan dan pencatatan secara

sistematis, logis, objektif dan rasional, baik dalam situasi yang sebenarnya

maupun dalam situasi buatan untuk mencapai tujuan (Arifin, 2011).

Penelitian ini menggunakan observasi dengan daftar check list numeric

rating scale (NRS) skala nyeri angka sebelum dan sesudah dilakukan tindakan

relaksasi otot progresif sehingga dapat mengatasi nyeri kepala pada pasien

meningioma.

3. Studi Dokumentasi

Menurut Sugiyono (2015) adalah suatu cara yang digunakan untuk

memperoleh data dan informasi bentuk buku, arsip, dokumen, tulisan angka
66

dan gambar yang berupa laporan serta keterangan yang dapat mendukung

penelitian. Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data mendukung

penilitian. Dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data kemudian

ditelaah. Dokumentasi yang dibuat peniliti adalah dokumentasi asuhan

keperawatan pada meningioma dalam pemenuhan kebutuhan aman dan

nyaman serta dokumentasi pendukung lainnya untuk menyusun asuhan

keperawatan dalam penelitian ini adalah rekam medis pasien di rumah sakit.

3.7 Penyajian Data

Penyajian data penelitian merupakan cara penyajian dan penelitian

dilakukan melalui berbagai bentuk (Notoatmodjo, 2010). Dari data yang sudah

terkumpul dan telah diolah akan disajikan dan dibahas dalam bentuk tabel,

gambar, bagan atau diagram maupun teks naratif.

3.8 Etika Studi Kasus

Etika studi kasus adalah suatu ukuran dari tingkah laku dan perbuatan

yang harus dilakukan atau diikuti oleh seseorang peneliti dalam memperoleh

data-data penelitiannya yang disesuaikan dengan adat istiadat serta kebiasaan

masyarakat ditempat ia meneliti (Setiawan, 2011).

1. Informed consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan repsonden peneliti dengan memberikan lembar persetujuan. Informed


6
7

consent tersebut diberikan sebelum penelitian dengan memberikan lembar

persetujuan untuk menjadi responden. Jika responden tidak bersedia, maka

peneliti harus menghormati hak pasien, beberapa informasi yang harus ada

dalam informed consent tersebut antara lain: partisipasi pasien, tujuan

dilakukannya tindakan, jenis data yang dibutuhkan, komitmen, prosedur

pelaksanaan, potensial masalah yang akan terjadi, manfaat, kerahasiaan,

informasi yang mudah dihubungi, dan lain-lain (Hidayat, 2011).

2. Anonymity

Masalah etika keperawatan adalah masalah yang memberikan jaminan

dalam penggunakan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantukmkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode atau inisial nama pada lembar pengumpulan data atau hasil

penelitian yang akan disajikan (Hidayat, 2011).

3. Confidentiality

Masalah ini merupakan etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan

hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua

informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiannya oleh peneliti, hanya

kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset (Hidayat, 2011).
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Studi Kasus

Hasil studi kasus ini menguraikan asuhan keperawatan pasien

meningioma dalam pemenuhan kebutuhan aman dan nyaman pada tanggal 17-22

Februari 2020, di Ruang Flamboyan 10 RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

4.1.1 Gambaran Lokasi Pengambilan Data

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta adalah rumah sakit

yang memberikan pelayanan kesehatan dengan mutu yang setinggi-tingginya

dan melaksanakan fungsi pendidikan kesehatan di rumah sakit dengan sebaik-

baiknya untuk peningkatakan derajat kesehatan masyarakat. Rumah Sakit Dr.

Moewardi Surakarta merupakan tipe “A” dengan rumah sakit rujukan di Jawa

Tengah bertempat di Jl. Kolonel Sutarto No. 132, Jebres, Surakarta, Jawa

Tengah 57126, Indonesia.

Fasilitas yang tersedia di RSUD Dr. Moewardi Surakarta ini antara lain

IGD 24 jam, Poliklinik, Radiologi, Instalasi Farmasi, Laboratorium 24 jam,

Instalasi Gizi, Rawat Inap, Rawat Jalan, ICU, ICVCU, HCU, NICU, PICU,

Ponek, Hemodialisa, Bedah Sentral, Kedokteran Forensik dan Medikolegal,

Kedokteran Fisik & Rehabilitasi Medik, Instalasi Penunjang di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta antara lain Instalasi Rekam Medik, Laboratorium Patologi

Klinik, Patologi Anatomi, Radioterapi, Sanitasi, CSSD & Laundry, IPS, PDE,

68
69

& Asset. Beberapa pelayanan kesehatan salah satunya adalah rawat jalan unit

penyakit dalam yang berada di ruang flamboyan 10, yang dibagi menjadi 2

ruang yaitu infeksius dan non infeksius. Ruang Flamboyan 10 terdiri dari 2 sisi,

sisi kanan terdiri dari ruang infeksius didalamnya terdapat penyakit menular

seperti hepatitis, HIV/AIDS, pneumonia, dan gangguan hepar, sedangkan ruang

flamboyan sisi kiri terdiri dari ruang non infeksius didalamnya terdapat

penyakit tidak menular seperti pasien tumor dan kanker, pasien luka post

operasi atau pembedahan, luka diabetes mellitus, luka dekubitus.

4.1.2 Gambaran Subjek Studi

Studi kasus dipilih 1 orang sebagai subjek studi kasus yaitu sesuai

dengan kriteria yang ditetapkan. Subjek bernama Ny. S berusia 48 tahun,

beragam islam, pendidikan terakhir sekolah dasar (SD), pekerjaan wirausaha,

dan bertempat tinggal di Sine, Kota Ngawi, Jawa Timur. Diagnosa medis

Meningioma pada Regio Parietal dan nomor registrasi 01485xxx.

4.1.3 Pemaparan Hasil Fokus Studi Kasus

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian adalah langkah pertama yang dilakukan pada tahapan

proses asuhan keperawatan pada pasien meningioma. Pengkajian dilakukan

tanggal 20 Februari 2020 jam 13.00 WIB untuk mengetahui keluahan utama,

pasien mengatakan nyeri di bagian kepala belakang sebelah kanan sejak 12

bulan yang lalu. Riwayat penyakit sekarang pasien mengatakatan mengeluh

nyeri kepala yang dialami tidak kunjung sembuh, sudah berobat ke dokter
7
0

dan mendapatkan obat nyeri, tetapi nyeri mucul kembali. Nyeri muncul terus

menerus dan kadang-kadang hebat sekali. Pasien tampak memegangi kepala

belakang sebelah kanan dan berusaha melindungi kepala bagian belakang.

Pasien meringis kesakitan menahan nyeri kepala, pasien tampak gelisah

karena munculnya nyeri kepala, tampak berfokus pada diri sendiri untuk

mengurangi nyeri kepala. Pasien mengeluh adanya gangguan pendengaran

dan penglihatan disertai nyeri kepala, tetapi tidak memeriksakan kondisinya

ke dokter.

Riwayat penyakit dahulu yang dialami pasien mengatakan sebelumnya

1 bulan yang lalu pernah kejang, kejang yang dialami pasien berulang, oleh

keluarga pasien di bawa ke RS Dr Soeroto Ngawi untuk menjalani

perawatan. Dokter merujuk pasien ke RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen

untuk menjalani pemeriksaan CT Scan, kemudian hasilnya adalah adanya

tumor pada bagian meningen otak sebelah kanan. Dokter RSUD Dr Soehadi

Prijonegoro Sragen memberikan rujukan ke RSUD Dr Moewardi Surakarta

untuk dilakukan pemeriksaan MRI sebagai data pendukung, tetapi sebelum

pemeriksaan MRI pasien mengalami kejang berulang, kemudian keluarga

membawa pasien ke IGD RS Dr Moewardi Surakarta tanggal 19 Februari

2020 pada Pukul 04.37 WIB, setelah itu pasien pindah ke ruang ICU selama

1 malam dan kondisi pasien membaik, dipindahkan ke ruang perawatan

bangsal flamboyan 10.


7
1

Pengkajian pola Gordon salah satunya pada aspek pola kognitif dan

perseptual yang mengambarkan keluhan nyeri dengan menggunakan

pengkajian PQRST sebagi berikut, P (provokatif/paliatif) = penyebab nyeri

kepala muncul ketika pasien bekerja terlalu berat, Q (qualitas/quantitas) =

kualitas nyeri yang dirasakan seperti pukulan benda tumpul, R

(region/lokasi) = lokasi nyeri kepala dirasakan di kepala belakang sebelah

kanan, S (severety/skala) = skala nyeri 6 (sedang), T (timing/waktu) = nyeri

hilang timbul, durasi munculnya nyeri selama 30 menit, nyeri yang dialami

sejak 12 bulan terakhir. Keluhan nyeri kepala berpengaruh pada pola tidur,

pasien mengatakan sebelum sakit biasanya tidur 7 jam, selama sakit tidur

siang hanya 1 jam dan pada malam hari sekitar 4 jam kadang terbangun tiba-

tiba kemudian tidak bisa tidur kembali.

Selanjutnya untuk memperjelas kualitas nyeri subjek diobservasi

sebelum intervensi keperawatan dijelaskan pada gambar

Gambar 4.1 Skala Numerik

Sumber : Elkin, et al., (2000) dalam Solehati dan Kosasih (2015)

Keterangan Gambar 4.1


0 = tidak ada nyeri
1-3 = nyeri ringan
3-7 = nyeri sedang
7-9 = nyeri berat
72

10 = nyeri yang paling hebat


Pemerikasaan fisik yang dilakukan diantaranya pemeriksaan kesadaran

kuantitatif dengan Glasgow Coma Scale (GCS) mendapatkan skor 15

sedangkan dengan pemeriksaan kesadaran kualitatif hasilnya adalah

composmentis (sadar), tanda-tanda vital pasien tekanan darah = 120/70

mmHg, nadi = 88 x/menit, suhu = 36,6 C, respirasi = 20 x/menit.

Pemeriksaan fisik pasien didapatkan hasil bagian kepala tidak ada benjolan,

pada bagian mata pasien menggunakan kacamata minus, pada mulut terdapat

luka dibagian lidah kanan akibat tergigit saat kejang, bibir mencong kearah

kanan, dan pada telinga bagian kanan pasien merasakan adanya gangguang

pendengaran. Pemeriksaan 12 saraf kranial ditemukan masalah pada saraf ke

II optikus dan saraf ke VIII auditorius.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa

pasien adalah CT Scan dan MRI. Pemeriksaan CT Scan dilakukan pada 14

Februari 2020 di RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen hasilnya adalah

kesan umum cenderung meningioma pada regio parietal. Kemudian hasil

pemeriksaan MRI Bran Kontras pada tanggal 25 Februari 2020 di RSUD Dr

Moewardi Surakarta kesimpulan adalah lesi esktraaksial supratentorial batas

tegas bentuk membulat dengan broad base dari prafalcine region parietalis

dekstra diserta gambaran dura tail (+) yang pada post contrast tampak

homogenous strong contrast enhancement disertai peningkatan ch/cr


7
3

terhadap ch/NAA ratio dan mendapatkan feedingarteri dari arteri meningea

media dekstra menyokong gambaran meningioma.

Terapi medis yang diberikan kepada Ny. S selama pengelolaan asuhan

keperawatan yaitu jenis terapi medis obat parenteral yang didapat selama

perawatan adalah metamezole 1 gr/8 jam golongan obat antiinflamasi non

steroid yang berfungsi sebagai pereda nyeri inflamasi tumor.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah langkah kedua dari proses keperawatan

yang menggambarkan penilaian klinis tentang respon individu, keluarga,

kelompok maupun masyarakat terhadap permasalahan kesehatan baik aktual

maupun potensial, dimana perawat mempunyai lisensi dan kompetensi untuk

mengatasinya (Sumijatun, 2010). Diagnosa keperawatan adalah pernyataan

yang jelas, singkat dan pasti tentang masalah pasien yang nyata serta

penyebabnya dapat dipecahkan atau diubah melalui tindakan keperawatan

(Gordon, 1982 dalam Dermawan, 2012).

Analisa data pasien yang didapatkan dari hasil pengkajian yang sudah

dikumpulkan berupa data subjektif yaitu, Ny. S mengeluh nyeri di bagian

kepala belakang sebelah kanan, P = penyebab nyeri kepala muncul ketika

pasien bekerja terlalu berat, Q = kualitas nyeri yang dirasakan seperti

pukulan benda tumpul, R = lokasi nyeri kepala dirasakan di kepala belakang

sebelah kanan, S = skala nyeri 6 (sedang), T = nyeri hilang timbul, durasi

munculnya nyeri selama 30 menit, nyeri yang dialami sejak 12 bulan


7
4

terakhir. Berdasarkan Standar Diagnos Keperawatan Indonesia (2018) gejala

dan tanda mayor nyeri kronis data subjektif adalah mengeluh nyeri dan

merasa depresi (tertekan). Gejala dan tanda minor nyeri kronis data subjektif

adalah merasa takut mengalami cedera berulang. Kesesuaian dengan batasan

karakteristik dari rumusan masalah keperawatan nyeri kronis behubungan

dengan infiltrasi tumor dibuktikan pasien mengeluh nyeri, tetapi tidak

merasa depresi dan takut mengalami cedera berulang pada pasien kelolaan

asuhan keperawatan.

Data obyektif pasien tampak meringis kesakitan, keadaan umum

pasien composmentis, Ny.S tampak memegangi kepala belakang sebelah

kanan dan berusaha melindungi kepala bagian belakang, meringis kesakitan

menahan nyeri kepala, tampak gelisah karena munculnya nyeri kepala,

berfokus pada diri sendiri untuk mengurangi nyeri kepala, pola tidur sebelum

sakit 7 jam sedangkan selama sakit mengalami penurunan kebutuhan tidur

menjadi 4 jam, hasil pemeriksaan CT Scan yaitu kesan umum cenderung

meningioma pada region parietal dan hasil pemeriksaan MRI yaitu

menyokong gambaran meningioma. Berdasarkan Standar Diagnosa

Keperawatan Indonesia (2018) gejala dan tanda mayor nyeri kronis data

objektif adalah tampak meringis, gelisah, dan tidak mampu menuntaskan

aktivitas. Gejala dan tanda minor nyeri kronis bersikap protektif, waspada,

pola tidur berubah, anoreksia, berfokus pada diri sendiri. Rumusan masalah
75

nyeri kronis berhubungan dengan infiltrasi tumor yang ditujukan pada pasien

yaitu tampak meringis, gelisah, bersikap protektif, waspada, pola tidur

berubah, berfokus pada diri sendiri, tetapi pengkajian yang dilakukan tidak

menunjukan pasien mampu menuntaskan aktivitas, tidak adanya anoreksia,

dan fokus menyempit. Analisa data secara subjektif dan objektif dapat

ditarik hasil adalah nyeri kronis (D.0078)

Kesimpulan dari keluhan pasien kemudian dianalisa diperoleh

diagnosa keperawatan utama adalah nyeri kronis (D.0078) berhubungan

dengan (b.d) infiltrasi tumor dibuktikan dengan (d.d) pasien mengeluh nyeri,

pasien tampak memegangi kepala, pasien meringis kesakitan, pasien tampak

gelisah, pasien tampak berfokus pada diri sendiri, pola tidur sebelum sakit 7

jam sedangkan selama sakit mengalami penurunan kebutuhan tidur menjadi

4 jam, berdasarkan pemeriksaan CT Scan dan MRI menyokong gambaran

meningioma. Diagnosa keperawatan kedua yaitu defisit perawatan diri

mandi (D.0109) b.d gangguan neuromuskular d.d pasien kejang tiba-tiba,

tampak lusuh, baju kotor, bau tidak sedap, kekuatan otot ekstermitas kiri

adalah 4. Ketiga gangguan persepsi sensori (D.0085) b.d sejak 12 bulan yang

lalu gangguan pendengaran dan penglihatan sudah dirasakan pasien d.d

pasien menggunakan kacamata -1,5 gangguan pada saraf II dana VIII.

Terakhir yang keempat resiko cedera (D.0136) d.d hipoksia jaringan.


7
6

3. Intervensi Keperawatan

Berdasarkan fokus diagnosa keperawatan yang akan dibahas yaitu

nyeri kronis berhubungan dengan infiltrasi tumor, maka penulis menyusun

rencana keperawatan dengan tujuan perencanaan keperawatan yaitu setelah

dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam, masalah nyeri kronis

dapat teratasi. Kriteria hasil keluhan nyeri kronis menurun dari nyeri sedang

menjadi nyeri ringan, meringis, sikap protektif, gelisah, berfokus pada diri

sendiri menurun, pola tidur dan tekanan darah membaik.

Intervensi yang dibuat penulis berdasarkan diagnosa keperawatan

nyeri kronis berhubungan dengan infiltrasi tumor dapat mengalami

penurunan nyeri. Perencanaan yang pertama yaitu manajemen nyeri (I.

08238) dan perencanaan yang kedua pemberian analgesik (I. 08243).

Perencanaan keperawatan yang pertama manajemen nyeri (I. 08238)

meliputi, obeservasi adalah identifikasi lokasi, karakteristik, durasi

frekuensi, kuantitas, intensitas, skala nyeri. Terapeutik adalah berikan terapi

non farmakologik dengan relaksasi otot progresif untuk mengurangi nyeri.

Edukasi adalah jelaskan strategi meredakan nyeri dan ajarkan teknik non

farmakologik terapi relaksasi otot progresif, dan anjurkan memonitor nyeri

secara mandiri. Perencanaan keperawatan yang kedua pemberian analgesik

(I. 08243) meliputi, observasi adalah identifikasi riwayat alergi, monitor

tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik. Terapeutik

adalah dokumentasikan respons terhadap efek analgetik. Edukasi adalah


7
7

jelaskan efek terapi dan efek samping obat. Kolaborasi adalah kolaborasi

pemberian dosis obat analgetik untuk meredakan nyeri.

4. Implementasi Keperawatan

Tindakan keperawatan dilaksanakan untuk mengatasi masalah

keperawatan berdasarkan rencana tindakan tersebut dilakukan tindakan

keperawatan. Implementasi yang dilakukan pada hari pertama Kamis, 20

Februari 2020 jam 13.00 WIB: mengidentifikasi nyeri pada pasien

(P,Q,R,S,T), diperoleh respons subjektif pasien: pasien mengeluh nyeri di

bagian kepala belakang sebelah kanan, P= penyebab nyeri kepala muncul

ketika pasien bekerja terlalu berat, Q= kualitas nyeri yang dirasakan seperti

pukulan benda tumpul, R= lokasi nyeri kepala dirasakan di kepala belakang

sebelah kanan, S= skala nyeri 6 (sedang), T= nyeri hilang timbul, durasi

munculnya nyeri selama 30 menit, nyeri yang dialami sejak 12 bulan

terakhir. Respons objektif pasien: pasien tampak memegangi kepala

belakang sebelah kanan dan berusaha melindungi kepala bagian belakang,

pasien meringis kesakitan menahan nyeri kepala, pasien tampak gelisah

karena munculnya nyeri kepala, pasien tampak berfokus pada diri sendiri

untuk mengurangi nyeri kepala, pola tidur sebelum sakit 7 jam sedangkan

selama sakit mengalami penurunan kebutuhan tidur siang 1 jam dan malam 4

jam. Pukul 13.20 WIB menjelaskan strategi meredakan nyeri dengan terapi

relaksasi otot progresif, diperoleh respons subjektif : pasien mengatakan

paham penjelasan yang disampaikan perawatan tentang teknik relaksasi otot


7
8

progresif, respons objektif : pasien tampak memahami bagaimana strategi

meredakan nyeri kepala. Pukul 13.30 WIB mengajarkan teknik non

farmakologis dengan pemberian terapi relakasasi otot progresif, diperoleh

respons subjektif pasien : pasien mengatakan paham bagaimana teknik

relaksasi otot progresif yang diajarkan perawat, respons objektif pasien :

pasien tampak memahami bagiamana cara meredakan nyeri dengan teknik

nonfarmakologi. Pukul 13.40 WIB memonitor tanda tanda vital (TTV),

diperoleh respons subjektif : pasien mengatakan nyeri kepala membuat

tekanan darah meningkat, tekanan darah pasien sebelum sakit berkisar

120/80 mmHg, respons objektif : tekanan darah (TD) = 130/80mmHg,

nadi(HR) = 90x/menit, respirasi(RR) = 20 x/menit, suhu (T) = 37C.

Implementasi yang dilakukan pada hari kedua, Jum’at, 21 Februari

2020 jam 07.00 WIB : mengidentifikasi nyeri pada pasien (P,Q,R,S,T),

diperoleh respons subjektif : P= nyeri dirasakan ketika pasien berkerja

terlalu berat, Q= nyeri dirasakan seperti pukulan benda tumpul, R: nyeri

dirasakan pada bagian kepala belakang sebelah kanan, S= skala nyeri 6, T=

nyeri dirasakan hilang timbul selama 30 menit pada pagi hari, respons

objektif : pasien tampak memegangi kepala belakang sebelah kanan dan

berusaha melindungi kepala bagian belakang, pasien meringis kesakitan

menahan nyeri kepala, pasien tampak gelisah karena munculnya nyeri

kepala, pasien tampak berfokus pada diri sendiri untuk mengurangi nyeri
79

kepala, pola tidur malam hanya 4 jam. Pukul 07.15 WIB memberikan terapi

relaksasi otot progresif, respons subjektif : pasien mengatakan nyeri

berkurang dari skala 6 menjadi 5, respons objektif : pasien tampak lebih

relaks, nyaman, dan aman, meringis, sikap protektif, gelisah, fokus pada diri

sendiri mulai sedikit menurun. Pukul 07. 45 WIB menganjurkan memonitor

nyeri secara mandiri, respons subjektif : pasien mengatakan jika nyeri

muncul akan menerapkan relaksasi otot progresif yang sudah diajarkan,

respons objektif : pasien tampak menerima anjuran perawat dengan baik.

Pukul 07. 50 WIB monitor tanda-tanda vital sebelum pemberian analgesik,

respons subjektif : pasien mengatakan nyeri kepala sudah mulai menurun,

respons objektif : TD = 130/90 mmHg, HR = 88x/menit, RR = 20x/menit, T

= 36,7C. Pukul 08.10 WIB mengidentifikasi riwayat alergi obat, respons

subjektif : pasien mengatakan tidak ada riwayat alergi, respons objektif: hasil

pemeriksaan alergi dengan scin test pasien tidak ada alergi obat. Pukul 08.15

WIB menjelaskan efek terapi, respons subjektif : pasien mengatakan

bersedia diberikan obat anti nyeri, respons objektif : pasien tampak paham

efek samping terapi yang diberikan. Pukul 08.20 WIB berkolaborasi

pemberian obat anti nyeri, respons subjektif : pasien mengeluh nyeri pada

saat diberikan obat, respons objektif : pasien tampak meringis sakit saat

diberikan obat melalui selang IV, pasien mendapatakn terapi obat

metamezole 1gr/2ml. Pukul 11.30 WIB dokumentasikan respons terhadap


80

efek analgesik dan efek yang tidak diinginkan, respons subjektif : keluhan

nyeri pasien menurun, respons objektif : meringis, sikap protektif, gelisah,

fokus pada diri sendiri menurun. Pukul 11.45 WIB monitor tanda-tanda vital

setelah pemberian analgesik, respons subjektif : pasien mengatakan nyeri

kepala membuat tekanan darah meningkat, tekanan darah pasien sebelum

sakit berkisar 120/80 mmHg, respons objektif : TD = 140/100 mmHg, HR =

90x/menit, RR = 20x/menit, T = 37,1C

Implementasi yang dilakukan pada hari ketiga, Sabtu, 22 Februari

2020, jam 07.00 WIB mengidentifikasi nyeri pasien, respons subjektif : P =

nyeri dirasakan ketika pasien berkerja terlalu berat, Q = nyeri dirasakan

seperti pukulan benda tumpul, R = nyeri dirasakan pada bagian kepala

belakang sebelah kanan, S = skala nyeri 5, T = nyeri dirasakan hilang timbul

selama 30 menit pada pagi hari, respons objektif : pasien tampak memegangi

kepala belakang sebelah kanan dan berusaha melindungi kepala bagian

belakang, pasien meringis kesakitan menahan nyeri kepala, pasien tampak

gelisah karena munculnya nyeri kepala, pasien tampak berfokus pada diri

sendiri untuk mengurangi nyeri kepala, pola tidur malam hanya 5 jam. Pukul

07.20 WIB memberikan terapi non farmakologi dengan relaksasi otot

progresif, respons subjektif : pasien mengatakan nyeri berkurang dari skala 5

menjadi 4, respos objektif : pasien tampak lebih relaks, nyaman, dan aman,

meringis, sikap protektif, gelisah, fokus pada diri sendiri mulai sedikit
8
1

menurun. Pukul 07.55 WIB menganjurkan memonitor nyeri secara mandiri,

respons subjektif : pasien mengatakan jika nyeri muncul akan menerapkan

relaksasi otot progresif yang sudah diajarkan, respons objektif : pasien

tampak menerima anjuran perawat dengan baik. Pukul 08.00 WIB monitor

tanda-tanda vital sebelum pemberian analgesik, respons subjektif : pasien

mengatakan nyeri kepala sudah menurun, respons objektif : TD = 140/110

mmHg, HR = 95x/menit, RR = 20x/menit, T = 36,5 C. Pukul 08.15 WIB

mengidentifikasi riwayat alergi obat, respons subjektif : pasien mengatakan

tidak ada riwayat alergi, respons objektif : hasil pemeriksaan alergi dengan

scin test pasien tidak ada alergi obat. Pukul 08.20 WIB menjelaskan efek

terapi, respons subjektif : pasien mengatakan bersedia diberikan obat anti

nyeri, respons objektif : pasien tampak paham efek samping terapi yang

diberikan. Pukul 08.25 WIB berkolaborasi pemberian obat anti nyeri,

respons subjektif : pasien mengeluh nyeri pada saat diberikan obat, respons

objektif : pasien tampak meringis sakit saat diberikan obat melalui selang

IV, pasien mendapatakn terapi obat metamezole 1gr/2ml. Pukul 12.00 WIB

dokumentasikan respons terhadap efek analgesik dan efek yang tidak

diinginkan, respons subjektif : keluhan nyeri pasien menurun, respons

objektif : meringis, sikap protektif, gelisah, fokus pada diri sendiri menurun.

Pukul 12.20 WIB monitor tanda-tanda vital setelah pemberian analgesik,

respons subjektif : pasien mengatakan nyeri kepala membuat tekanan darah


82

meningkat, tekanan darah pasien sebelum sakit berkisar 120/80 mmHg,

respons objektif : TD = 130/100 mmHg, HR = 90x/menit, RR = 20x/menit,

T = 36,5 C.

Implementasi yang dilakukan pada hari keempat, Minggu, 23

Februari 2020, jam 07.00 WIB mengidentifikasi nyeri pasien, respons

subjektif : P = nyeri dirasakan ketika pasien berkerja terlalu berat, Q = nyeri

dirasakan seperti pukulan benda tumpul, R = nyeri dirasakan pada bagian

kepala belakang sebelah kanan, S = skala nyeri 5, T = nyeri dirasakan hilang

timbul selama 30 menit pada pagi hari, respons objektif : pasien tampak

memegangi kepala belakang sebelah kanan dan berusaha melindungi kepala

bagian belakang, pasien meringis kesakitan menahan nyeri kepala, pasien

tampak gelisah karena munculnya nyeri kepala, pasien tampak berfokus

pada diri sendiri untuk mengurangi nyeri kepala, pola tidur malam 6 jam.

Pukul 07.15 WIB memberikan terapi non farmakologi dengan relaksasi otot

progresif, respons subjektif : pasien mengatakan nyeri berkurang dari skala 5

menjadi 3, respons objektif : pasien tampak lebih relaks, nyaman, dan aman,

meringis, sikap protektif, gelisah, fokus pada diri sendiri mulai sedikit

menurun. Pukul 07.45 WIB menganjurkan memonitor nyeri secara mandiri,

respons subjektif : pasien mengatakan jika nyeri muncul akan menerapkan

relaksasi otot progresif yang sudah diajarkan, respons objektif : pasien

tampak menerima anjuran perawat dengan baik. Pukul 08.00 WIB monitor
8
3

tanda-tanda vital sebelum pemberian analgesik, respons subjektif : pasien

mengatakan nyeri kepala sudah menurun, respons objektif : TD = 140/110

mmHg, HR = 88x/menit, RR = 20x/menit, T = 36,5C. Pukul 08.10 WIB

mengidentifikasi riwayat alergi obat, respons subjektif : pasien mengatakan

tidak ada riwayat alergi, respons objektif : hasil pemeriksaan alergi dengan

scin test pasien tidak ada alergi obat. Pukul 08.10 WIB menjelaskan efek

terapi, respons subjektif : pasien mengatakan bersedia diberikan obat anti

nyeri, respons objektif : pasien tampak paham efek samping terapi yang

diberikan. Pukul 08.20 WIB berkolaborasi pemberian obat anti nyeri,

respons subjektif : pasien mengeluh nyeri pada saat diberikan obat, respons

objektif : pasien tampak meringis sakit saat diberikan obat melalui selang

IV, pasien mendapatakn terapi obat metamezole 1gr/2ml. Pukul 12.40 WIB

dokumentasikan respons terhadap efek analgesik dan efek yang tidak

diinginkan, respons subjektif : keluhan nyeri pasien menurun, respons

objektif : meringis, sikap protektif, gelisah, fokus pada diri sendiri menurun.

Pukul 13.00 WIB monitor tanda-tanda vital setelah pemberian analgesik,

respons subjektif : pasien mengatakan nyeri kepala menurun, respons

objektif : TD = 120/100 mmHg, HR = 90x/menit, RR = 20x/menit, T =

36,9C.
84

5. Evaluasi Keperawatan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 hari dapat

diperoleh evaluasi atau catatan perkembangan keperawatan. Evaluasi yang

diperoleh dihari pertama Kamis, 20 Februari 2020 jam 15.00 WIB yaitu

Subjektif: pasien mengatakan keluhan nyeri berkurang, nyeri masih

dirasakan pasien ketika bergerak terlalu hebat, nyeri seperti pukulan benda

tumpul, nyeri dibagian kepala belakang sebelah kanan, skala nyeri 5, nyeri

hilang timbul, pasien mengatakan paham bagaimana teknik relaksasi otot

progresif yang diajarkan perawat dapat menurunkan nyeri, pasien

mengatakan nyeri kepala menyebabkan tekanan darahnya meningkat.

Objektif : pasien tampak memahami bagaimana strategi meredakan nyeri

kepala dengan teknik nonfarmakologi, pasien tampak melindungi kepala

bagian belakang, meringis pasien sudah berkurang, gelisah mulai menurun,

fokus pasien sudah mulai membaik, pola tidur pada malam hari 4 jam, tanda-

tanda vital TD = 130/80mmHg, RR = 90x/menit, HR = 20x/menit, T = 37

C. Assesment : masalah nyeri kronis pada pasien belum teratasi, keluhan

nyeri, meringis, sikap protektif, gelisah, pola tidur, berfokus pada diri cukup

meningkat, pola tidur dan tekanan darah cukup membaik. Planing : lanjutkan

intervensi keperawatan, identifikasi nyeri pada pasien (P,Q,R,S,T), berikan

terapi relaksasi otot progresif, anjurkan memonitor nyeri secara mandiri,

identifikasi riwayat alergi obat, monitor tanda-tanda vital sebelum dan


85

sesudah pemberian analgesik, dokumentasikan respons terhadap efek

analgesik dan efek yang tidak diinginkan, jelaskan efek terapi, kolaborasi

dalam pemberian obat anti nyeri (analgesik).

Evaluasi yang diperoleh di hari kedua, Jum’at 21 Februari 2020 jam

14.00 WIB yaitu Subjektif : keluhan nyeri pasien menurun, pasien

mengatakan nyeri berkurang dari skala 6 menjadi 5. Objektif : meringis,

sikap protektif, gelisah, fokus pada diri sendiri mulai menurun, pasien

tampak lebih relaks, nyaman, dan aman, pola tidur pada malam hari 4 jam.

Tanda-tanda vital tekanan darah: 140/100 mmHg, nadi: 90x/menit,

pernafasan: 20x/menit, suhu: 37,1C. Assessment : masalah nyeri kronis

pada pasien belum teratasi, masalah nyeri pada pasien belum teratasi,

keluhan nyeri, meringis, sikap protektif, gelisah, kesulitan tidur, berfokus

pada diri sendiri menurun. Planing : lanjutkan intervensi keperawatan,

identifikasi nyeri pada pasien (P,Q,R,S,T), berikan terapi relaksasi otot

progresif, anjurkan memonitor nyeri secara mandiri, identifikasi riwayat

alergi obat, monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian

analgesik, dokumentasikan respons terhadap efek analgesik dan efek yang

tidak diinginkan, jelaskan efek terapi, kolaborasi dalam pemberian obat anti

nyeri (analgesik).

Evaluasi yang diperoleh di hari ketiga, Sabtu, 22 Februari 2020 jam

14.00 WIB yaitu, Subjektif : keluhan nyeri pasien menurun, pasien


8
6

mengatakan nyeri berkurang dari skala 5 menjadi 4. Objektif : meringis,

sikap protektif, gelisah, fokus pada diri sendiri mulai menurun, pasien

tampak lebih relaks, nyaman, dan aman, pola tidur pada malam hari 5 jam.

Tanda-tanda vital tekanan darah: 140/100 mmHg, nadi: 90x/menit,

nadi:20x/menit, suhu: 36,5 C. Assesment : masalah nyeri pada pasien

belum teratasi, keluhan nyeri, meringis, sikap protektif, gelisah, kesulitan

tidur, berfokus pada diri sendiri menurun. Planing : lanjutkan intervensi

keperawatan sesuai dengan hari kedua.

Evaluasi yang diperoleh di hari kempat, Minggu 23 Februari 2020

jam 14.00 WIB yaitu, Subjektif : keluhan nyeri pasien menurun, pasien

mengatakan nyeri berkurang dari skala 5 menjadi 3. Objektif : meringis,

sikap protektif, gelisah, fokus pada diri sendiri mulai menurun, pasien

tampak lebih relaks, nyaman, dan aman, pola tidur pada malam hari 6 jam.

Tanda-tanda vital tekanan darah: 120/100 mmHg, nadi: 90x/menit,

pernafasan:20x/menit, suhu: 36,9C. Assesment : masalah nyeri pada pasien

belum teratasi, keluhan nyeri, meringis, sikap protektif, gelisah, kesulitan

tidur, berfokus pada diri sendiri menurun. Planing: lanjutkan intervensi

keperawatan sesuai dengan hari kedua.


87

Selanjutnya untuk memperoleh hasil perbandingan skala nyeri sebelum dan sesudah

tindakan dapat dilihat pada gambar 4.2

S 10
K Pre- Tindakan
9 Post-Tindakan
A
8
L
7
A
6
5
N
4
Y
3
E
2
R
1
I
0
Hari Hari Hari Hari
Perawatan 1 Perawatan 2 Perawatan 3 Perawatan 4

Gambar 4.2 Hasil evaluasi skala nyeri sebelum dan setelah pemberian
relaksasi otot progresif

Setelah mendapatkan terapi relaksasi otot progresif pasien mengalami

penurunan nyeri. Pengkajian awal nyeri didapatkan skala nyeri 6 (sedang) setelah

mendapatkan terapi relaksasi otot progresif selama 3 hari mengalami penurunan

skala nyeri 3 (ringan).

4.2 Pembahasan

Pada bab ini penulis akan membahas tentang pemberian terapi relaksasi

otot progresif pada pasien Ny. S yang menderita meningioma di ruang


88

Flamboyan 10 RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan masalah keperawatan

yang muncul yaitu nyeri kronis berhubungan dengan infiltrasi tumor.

Prinsip dari pembahasan ini adalah dengan memperhatikan aspek tahapan

keperawatan antara lain pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan,

intervensi keperawatan, tindakan keperawatan, dan evaluasi keperawatan.

4.2.1 Pengkajian Keperawatan

Menurut Lyer et al (1996) dalam Setiadi (2012) pengkajian adalah tahap

awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang sistematis dalam

pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan

mengidentifikasi status kesehatan pasien. Pengkajian individu terdiri atas

riwayat kesehatan (data subjektif) dan pemeriksaan fisik (data objektif).

Pengkajian keperawatan meningioma meliputi anamnesis riwayat penyakit,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial

(Muttaqin, 2011).

Hasil pengkajian dilakukan pada Ny. S tanggal 20 Februari 2020 jam

13:00 WIB dengan pasien meningioma pra-operatif, didapatkan data subjektif

yaitu Ny. S keluahan utama pasien mengatakan nyeri di bagian kepala belakang

sebelah kanan sejak 12 bulan yang lalu, kesesuaian dengan teori yang

disampaikan oleh Suwondo (2011) gejala-gejala yang sering ditemukan pada

pasien meningioma adalah nyeri kepala, diperkirakan 30% gejala awal tumor

otak adalah nyeri kepala. Nyeri kepala menjadi salah satu tanda dan gejala

umum adanya tumor pada selaput meningen otak.


89

Riwayat penyakit sekarang yang dialami pasien mengatakatan nyeri

kepala yang dialami tidak kunjung sembuh, nyeri muncul terus menerus, dan

kadang-kadang hebat sekali. Kesesuaian dengan teori yang disampaikan

Muttaqin (2011) karakteristik nyeri bersifat dalam, terus-menerus, tumpul,

kadang-kadang hebat sekali. Pasien tampak memegangi kepala belakang

sebelah kanan dan berusaha melindungi kepala bagian belakang, meringis

kesakitan menahan nyeri kepala, tampak gelisah karena munculnya nyeri

kepala, tampak berfokus pada diri sendiri untuk mengurangi nyeri kepala,

berdasarkan teori yang disampaikan Potter & Perry (2016) respons perilaku

pada nyeri adalah gerakan melindungi bagian tubuh tertentu, respons ekspresi

wajah meringis, menunjukan gerakan tubuh ke gelisahan, interaksi sosial fokus

hanya pada aktivitas untuk menghilangkan nyeri, dan mengurangi waktu

perhatian. Respons perilaku yang ditunjukkan pada pasien dengan nyeri kepala

seperti gerakan tubuh melindungi lokasi nyeri, ekpresi wajah kesakitan, dan

terganggu interaksi sosial memberikan gambaran tentang ungkapan perilaku

untuk mengurangi perasaan nyeri kepala yang dialami pada pasien dengan

meningioma. Keluhan nyeri kepala berpengaruh pada pola tidur pasien sebelum

sakit 7 jam, sedangkan selama sakit mengalami penurunan kebutuhan tidur

menjadi 4 jam. Gangguan pola tidur pasien terjadi karena nyeri kepala yang

mengganggu aktivitas tidur setiap harinya.

Riwayat penyakit dahulu yang dialami pasien mengatakan sebelumnya 1

bulan yang lalu pernah kejang. Berdasarkan buku tentang sistem persyarafan
9
0

yang disampaikan oleh Muttaqin (2011) serangan kejang sebagai manifestasi

perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan

perubahan suplai darah ke jaringan otak. Pasien mengeluh adanya gangguan

pendengaran dan penglihatan disertai nyeri kepala, tetapi pasien tidak

memeriksakan kondisinya ke dokter. Menurut Hatoum (2010); Joung H Lee

(2015) gejala klinis yang sering dikeluhkan pada pasien meningioma antara lain

perubahan mental, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, mual-

muntah, sindrom lobus frontalis, gangguan kepribadian, hemiparesis

kontralateral, kelemahan pada lengan dan kaki, serta kehilngan sensasi.

Serangan kejang yang dialami pasien sebagai manifestasi perubahan kepekaan

dimana karena adanya massa yang tubuh di selaput otak sehingga mendesak

dan menggeser jaringan yang ada disekitarnya.

Setalah serangan kejang muncul kembali, keluarga pasien membawa ke

RS Dr Soeroto Ngawi untuk perawatan. Dokter merujuk pasien ke RSUD Dr

Soehadi Prijonegoro Sragen untuk menjalani pemeriksaan CT Scan, kemudian

hasilnya adalah adanya tumor pada bagian meningen otak sebelah kanan.

Dokter RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen memberikan rujukan ke RSUD

Dr Moewardi Surakarta untuk dilakukan pemeriksaan MRI sebagai data

pendukung, tetapi sebelum pemeriksaan MRI pasien mengalami kejang

berulang, kemudian keluarga membawa pasien ke IGD RS Dr Moewardi

Surakarta tanggal 19 Februari 2020 pada Pukul 04.37 WIB, kemudian pasien
9
1

dipindahkan ke ruang ICU selama 1 malam setelah kondisi pasien membaik,

dipindahkan ke ruang perawatan bangsal flamboyan 10.

Pengkajian pola Gordon salah satunya pada aspek pola kognitif dan

perseptual yang mengambarkan keluhan nyeri dengan menggunakan pengkajian

PQRST sebagi berikut: P (provokatif/paliatif), Q (qualitas/quantitas), R

(region/lokasi), S (severety/skala), T (timing/waktu) didapatkan hasil P=

penyebab nyeri kepala muncul ketika pasien bekerja terlalu berat, Q= kualitas

nyeri yang dirasakan seperti pukulan benda tumpul, menurut Muttaqin (2011)

nyeri dirasakan pasien dengan meningioma terjadi ketika melakukan aktivitas

berat yang dapat meningkatkan tekanan meningen dan bersifat tumpul, R=

lokasi nyeri kepala dirasakan di kepala belakang sebelah kanan, S= skala nyeri

6 (sedang) menurut Suwondo (2011) sifat dari nyeri kepala bervariasi, mulai

dari ringan, sedang, episodik sampai keras dan berdenyut, T= nyeri hilang

timbul, durasi munculnya nyeri selama 30 menit, nyeri yang dialami sejak 12

bulan terakhir, kesesuaian dengan teori yang disampaikan Tarwoto (2013) nyeri

kepala ini biasanya hilang timbul dan durasinya makin meningkat, nyeri kepala

terhebat pada pagi hari kemudian berangsur-angur menurun. Respons subjektif

yang muncul pada pasien dengan meningioma adalah nyeri kepala yang

berlangsung lama lebih dari 6 bulan. Berdasarkan pengkajian nyeri yang telah

dilakukan, untuk mengukur intensitas nyeri menggunakan numerik rating scale

atau skala angka. Adapun alat ukur skala intensitas nyeri yang dikemukan Perry

dan Potter (2000) dalam Solehatin dan Kosasih (2015) adalah skala numerik.
9
2

Skala ini berbentuk garis horizontal yang menunjukkan angka – angka dari 0 –

10, tingkat angka yang ditunjukkan oleh klien dapat digunakan untuk mengkaji

efektivitas dari intervensi pereda rasa nyeri. Berdasarkan hasil pengkajian skala

nyeri pasien adalah 6 (sedang), seperti yang dijelaskan pada gambar skala

numerik dibawah ini.

Gambar 4.1 Skala Numerik

Elkin, et al., (2000) dalam Solehati dan Kosasih (2015)

Keterangan
Gambar 4.1
0 = tidak ada nyeri
1-3 = nyeri ringan
3-7 = nyeri sedang
7-9 = nyeri berat
10 = nyeri yang paling hebat
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menengakkan diagnosa

pasien adalah CT Scan dan MRI. Pemeriksaan CT Scan dilakukan pada 14

Februari 2020 di RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen hasilnya adalah kesan

umum cenderung meningioma pada region parietal. Menurut Muttaqin (2011)

dalam bukunya pemeriksaan penunjang pada pasien meningioma dapat

dilakukan dengan pemeriksaan CT Scan yang digunakan untuk skrening awal,

CT Scan lebih baik dalam menggambarkan jenis meningioma. CT Scan


93

menjadi salah satu pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa

meningioma kemudian dokter melakukan pemeriksaan MRI Bran Krontas pada

tanggal 25 Februari 2020 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta,pemeriksaan MRI

digunakan untuk memberikan gambaran multiplanar dengan berbagai sekuen,

resolusi jaringan yang tinggi, pemeriksaan ini dibutuhkan pada kasus

meningioma yang kompleks (Muttaqin, 2011). Hasil MRI Tampak lesi

ekstraaksial supratentorial batas tegas bentuk membulat dengan broad base di

parafal line region parietalis dekstra disertai gambaran dura tail (+) dengan

ukuran 2,75x2,6x2,4 cm yang pada T1W1 tampak hipoisointes, T2W1 sulay

dan gyri di luar lesi tampak baik. MRI memperlihatkan lesi berupa massa,

dengan gejala tergantung pada lokasi tumor berada. Pada MRI dengan T1W1

umumnya memberikan gambaran isointense sedangkan beberapa lainnya

memberikan gambaran hypointense dibandingkan dengan graymatter. Pada

T2W1, meningioma juga umumnya menunjukkan gambaran isointense dengan

beberapa yang hyperintense karena kandungan airnya yang tinggi terutama

pada jenis meningothelial, hipervaskular, dan yang agresif (Osborn, 2004;

Mary, 2013). Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien yang

dicurigai adanya meningioma bisanya dokter menganjurkan untuk dilakukan

CT Scan yang mana memberikan gambaran umum adanya sel-sel yang tubuh

secara abrnormal didalam selaput meningen pembungkus otak sedangan untuk

melihat lebih detail ukuran tumor pada meningen dianjurkan MRI karena,

memberikan gambaran tentang ukuran dan letak tumor tersebut.


94

Terapi medis yang diberikan kepada Ny. S selama pengelolaan asuhan

keperawatan yaitu jenis terapi medis obat parenteral yang didapat selama

perawatan adalah metamezole 1 gr/8 jam golongan obat antiinflamasi non

steroid yang berfungsi sebagai pereda nyeri inflamasi tumor.

4.2.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah langkah kedua dari proses keperawatan

yang menggambarkan penilaian klinis tentang respon individu, keluarga,

kelompok maupun masyarakat terhadap permasalahan kesehatan baik aktual

maupun potensial. Dimana perawat mempunyai lisensi dan kompetensi untuk

mengatasinya (Sumijatun, 2010). Diagnosa keperawatan adalah pernyataan

yang jelas, singkat dan pasti tentang masalah pasien yang nyata serta

penyebabnya dapat dipecahkan atau diubah melalui tindakan keperawatan.

(Gordon, 1982 dalam Dermawan, 2012).

Analisa data pasien yang didapatkan dari hasil pengkajian yang sudah

dikumpulkan berupa data subjektif dan data objektif dapat menunjang

ditentukannya diagnosa keperawatan nyeri kronis. Data subjektif yaitu Ny. S

mengeluh nyeri di bagian kepala belakang sebelah kanan, P= penyebab nyeri

kepala muncul ketika pasien bekerja terlalu berat, Q= kualitas nyeri yang

dirasakan seperti pukulan benda tumpul, R= lokasi nyeri kepala dirasakan di

kepala belakang sebelah kanan, S= skala nyeri 6 (sedang), T= nyeri hilang

timbul, durasi munculnya nyeri selama 30 menit, nyeri yang dialami sejak 12

bulan terakhir. Berdasarkan Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2018)


9
5

nyeri kronis adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat

dan berinteraksi ringan hingga berat dan konstan, yang berlangsung lebih dari 3

bulan. Gejala dan tanda mayor nyeri kronis data subjektif adalah mengeluh

nyeri dan merasa depresi (tertekan). Gejala dan tanda minor nyeri kronis data

subjektif adalah merasa takut mengalami cedera berulang. Kesesuaian dengan

batasan karakteristik dari rumusan masalah keperawatan nyeri kronis

behubungan dengan infiltrasi tumor dibuktikan pasien mengeluh nyeri, masuk

dalam kategori nyeri kronis karena dilihat dari lamanya waktu terjadinya nyeri

kepala yang dirasakan pasien sejak 12 bulan terakhir, pasien mengeluh nyeri

kepala, tetapi tidak merasa depresi dan takut mengalami cedera berulang.

Data obyektif pasien tampak meringis kesakitan, keadaan umum pasien

composmentis, Ny.S tampak memegangi kepala belakang sebelah kanan dan

berusaha melindungi kepala bagian belakang, meringis kesakitan menahan

nyeri kepala, tampak gelisah karena munculnya nyeri kepala, berfokus pada diri

sendiri untuk mengurangi nyeri kepala, pola tidur sebelum sakit 7 jam

sedangkan selama sakit mengalami penurunan kebutuhan tidur menjadi 4 jam,

hasil pemeriksaan CT Scan yaitu kesan umum cenderung meningioma pada

region parietal dan hasil pemeriksaan MRI yaitu menyokong gambaran

meningioma. Berdasarkan Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2018)

gejala dan tanda mayor nyeri kronis data objektif adalah tampak meringis,
9
6

gelisah, dan tidak mampu menuntaskan aktivitas. Gejala dan tanda minor nyeri

kronis bersikap protektif, waspada, pola tidur berubah, anoreksia, fokus

menyempit, berfokus pada diri sendiri. Rumusan masalah nyeri kronis

berhubungan dengan infiltrasi tumor yang ditunjukan pada pasien yaitu tampak

meringis, gelisah, bersikap protektif, waspada, pola tidur berubah, berfokus

pada diri sendiri tetapi pengkajian yang dilakukan tidak menunjukan pasien

mampu menuntaskan aktivitas, tidak adanya anoreksia dan fokus menyempit,

hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan adanya infiltrasi tumor pada selaput

meningen otak, adanya pertumbuhan jaringan baru pada selaput otak mendesak

ruang disekitarnya menimbulkan nyeri kepala, sehingga pasien menujukkan

respons perilaku untuk mengurangi nyeri kepala yang dirasakan, dari analisa

data secara subjektif dan objektif dapat ditarik diagnosa keperawatan utama

yang muncul adalah nyeri kronis (D.0078) berhubungan dengan (b.d) infiltrasi

tumor dibuktikan dengan (d.d) pasien mengeluh nyeri, pasien tampak

memegangi kepala, pasien meringis kesakitan, pasien tampak gelisah, pasien

tampak berfokus pada diri sendiri, pola tidur sebelum sakit 7 jam sedangkan

selama sakit mengalami penurunan kebutuhan tidur menjadi 4 jam , berdasarkan

pemeriksaan CT Scan dan MRI menyokong gambaran meningioma.

Berdasarkan hierarki kebutuhan Maslow ada lima tingkat kebutuhan dasar yaitu

: kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman dan nyaman, kebutuhan rasa

memiliki dan kasih sayang, kebutuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi.


97

Ditemukan adanya masalah karena pasien mengeluhkan nyeri kepala sehingga

dari 5 kebutuhan dasar Maslow yang sudah disebutkan terdapat gangguan pada

kebutuhan aman dan nyaman pasien, dapat ditarik kesimpulan bahwa nyeri

kronis sebagai diagnosa utama yang akan diselesaikan terlebih dahulu.

Diagnosa keperawatan kedua yaitu defisit perawatan diri mandi (D.0109)

b.d gangguan neuromuskular d.d pasien kejang tiba-tiba, pasien tampak lusuh,

baju kotor, bau tidak sedap, kekuatan otot ekstermitas kiri adalah 4, ketiga

gangguan persepsi sensori (D.0085) b.d sejak 12 bulan yang lalu gangguan

pendengaran dan penglihatan sudah dirasakan pasien d.d pasien menggunakan

kacamata -1,5 gangguan pada saraf II dana VIII, dan yang keempat resiko

cedera (D.0136) d.d hipoksia jaringan.

4.2.3 Intervensi Keperawatan

Perencanaan keperawatan adalah rencana tindakan keperawatan tertulis

yang menggambarkan masalah kesehatan pasien, hasil yang akan diharapkan,

tindakan-tindakan keperawatan dan kemajuan pasien secara spesifik

(Manurung, 2011). Perencanaan keperawatan adalah bagian dari fase

pengorganisasian dalam proses keperawatan sebagai pedoman untuk

mengarahkan tindakan keperawatan dalam usaha membantu, meringankan,

memecahkan masalah atau untuk memenuhi kebutuhan pasien (Setiadi, 2012).

Berdasarkan Standar Luaran Keperawatan Indonesia (2018) tujuan dan

kriteria hasil setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

diagnosa keperawatan nyeri kronis berhubungan dengan infiltrasi tumor


98

dibuktikan dengan pasien mengeluh nyeri, masalah nyeri kronis dapat teratasi.

Kriteria hasil keluhan nyeri kronis menurun dari nyeri sedang menjadi nyeri

ringan, meringis, sikap protektif, gelisah, berfokus pada diri sendiri menurun,

pola tidur dan tekanan darah membaik. Intervensi yang dibuat penulis

berdasarkan diagnosa keperawatan nyeri kronis berhubungan dengan infiltrasi

tumor dapat mengalami penurunan nyeri. Perencanaan yang pertama yaitu

manajemen nyeri (I. 08238) dan perencanaan yang kedua pemberian analgesik

(I. 08243).

Perencanaan keperawatan yang pertama manajemen nyeri (I. 08238).

Manajemen nyeri atau pain management adalah satu bagian dari disiplin ilmu

medis yang berkaitan dengan upaya-upaya menghilangkan nyeri atau pain

relief (Potter & Perry cit Syamsiah & Endang, 2015). Manajemen nyeri

meliputi, observasi adalah identifikasi lokasi, karakteristik, durasi frekuensi,

kuantitas, intensitas, skala nyeri. Observasi nyeri dilakukan pada hari ke-1

untuk menggali karakteristik nyeri pada pasien, setelah itu dilakukan setiap hari

selama 3 hari perawatan sebelum dan setelah pemberian terapi relaksasi otot

progresif, tujuannya untuk mengetahui gambaran nyeri yang dialami pasien.

Menurut Tamsuri (2007) dalam Wiarto (2017) observasi nyeri merupakan

suatu gambaran untuk mendeskripsikan seberapa parah nyeri yang dirasakan

oleh klien, pengukuran nyeri sangat subyektif dan bersifat individual sehingga

intensitas nyeri yang dirasakan akan berbeda dengan invidu lainnnya.

Observasi nyeri yang dilakukan ke pasien memberikan gambaran tentang


99

karakteristik nyeri yang dialami pasien saat ini, apakah pasien masuk kedalam

nyeri kronis atau nyeri akut, sehingga dengan mengobservasi nyeri dapat

mempermudah dalam penegakan masalah keperawatan yang akan dirumuskan.

Observasi dilakukan untuk mengkaji nyeri dengan pendekatan faktor pencetus

(Proving incident), kualitas (Quality), lokasi (Region), skala (Scale of Pain),

waktu (Time) dapat membantu perawat dalam menentukan rencana intervensi

yang sesuai (Muttaqin, 2011). Pengkajian yang digunakan untuk mengukur

karakteristik, durasi frekuensi, kuantitas, intensitas, skala nyeri adalah

menggunakan pengkajian nyeri P,Q,R,S,T. Alat yang digunakan untuk

mengukur intensitas nyeri adalah dengan memakai skala intensitas nyeri.

Adapun skala intensitas nyeri yang dikemukan Perry dan Potter (2000) dalam

Solehatin dan Kosasih (2015) skala analog visual, skala face pain rating scale

(FPRS), skala numerik. Skala numerical rating scale (NRS) digunakan sebagai

pengganti alat pendeskripsian kata. Skala ini berbentuk garis horizontal yang

menunjukkan angka-angka dari 0-10, yaitu angka 0 menunjukkan tidak ada

nyeri dan angka 10 menunjukkan nyeri yang paling hebat. Pengukuran

intensitas nyeri pada penelitian ini adalah menggunakan skala numerik

alasannya, skala numerik paling efektif di pakai pasien dewasa saat pengkajian

intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi atau perencanaan keperawatan

diberikan.

Terapeutik adalah berikan terapi non-farmakologi. Pendekatan non-

farmakologi atau intervensi keperawatan mandiri merupakan tindakan yang


100

dilakukan perawat secara mandiri untuk meredakan nyeri tanpa bergantung

pada petugas medis lain, dimana dalam pelaksanannya perawat

mempertimbangkan keputusan dalam melakukan tindakan (Bangun &

Nur’aeni, 2013). Perencanaan keperawatan yang akan dilakukan secara mandiri

oleh perawat adalah pemberian relaksasi otot progresif. Relaksasi otot progresif

merupakan salah satu terapi komplementer dalam proses pemberian asuhan

keperawatan yang diberikan kepada pasien nyeri kepala, gangguan tidur, stress,

kecemasan, nyeri otot leher maupun punggung bagian atas dan bawah, dan

depresi sehingga dapat memberikan efek rileks untuk memperlancar aliran

darah, menurunkan ketegangan otot (Setyoadi & Kushariyadi, 2011). Hasil

penelitian yang dilakukan oleh (Budiono, Sumirah, & Mustaya, 2018) yang

membandingkan pemberian dengan jumlah responden 60 orang, 24 orang

dengan nyeri kepala ringan, 17 orang dengan nyeri kepala sedang, 3 orang

dengan nyeri kepala berat sebelum mendapatkan relaksasi otot progresif

(ROP). Setelah dilakukan relaksasi otot progresif (ROP)  15 menit 1 kali per

hari selama 3 hari terjadi penurunan nyeri dimana pasien mengalami penurunan

nyeri dengan jumlah responden 18 orang dengan nyeri kepala, 17 orang nyeri

sedang, dan 1 orang dengan nyeri berat. Perencanaan terapeutik berikan

relaksasi otot progresif dilakukan pada pagi hari selama 3 hari berturut-turut

dapat menurunkan nyeri kepala.


101

Edukasi adalah intervensi keperawatan dilakukan selama 4 hari

melibatkan keluarga dan pasien sebagai penerima informasi, yang mana pada

hari pertama jelaskan strategi meredakan nyeri dan ajarkan teknik

nonfarmakologi, dan pada hari kedua sampai empat anjurkan monitor nyeri

secara mandiri. Edukasi adalah jelaskan strategi meredakan nyeri, ajarkan

teknik non farmakologik terapi relaksasi otot progresif, dan anjurkan

memonitor nyeri secara mandiri. Perawat sebagai komponen tim kesehatan

yang berperan penting untuk mengatasi nyeri pasien, perawat menjadi

pendengar dengan penuh perhatian, mengkaji intensitas nyeri dan distress,

merencanakan perawatan, memberikan edukasi tentang nyeri, meningkatkan

penggunaan teknik non farmakologi dan mengevaluasi hasil yang dicapai

adalah tanggung jawab perawat (Smeltzet et al, 2015).

Jelaskan strategi meredakan nyeri menurut Sholehati & Rustina (2015)

memberikan edukasi pasien dengan menjelaskan strategi meredakan nyeri

menggunakan teknik non farmakologi bertujuan untuk mengurangi kecemasan,

menurunkan ketegangan otot dan secara tidak langsung akan menghilangkan

nyeri. Berdasarkan penelitian Ardat, 2016 terbukti relaksasi autogenik lebih

memfokuskan pada konsentrasi latihan nafas dalam dan mantra yang dapat

mengurangi persepsi nyeri individu yang akan menghasilkan respons fisiologis,

sedangkan pada relaksasi otot progresif dapat mengurangi persepsi nyeri

individu yang akan menghasilkan respons fisiologis dan respons perilaku,

maka dari itu untuk mengurangi persepsi nyeri individu yang akan
1
02

menghasilkan respon fisiologis sekaligus respon perilku terhadap nyeri

menggunakan teknik relaksasi otot progresif. Sehingga dari beberapa teknik

nonfarmakologi untuk meredakan nyeri salah satunya teknik relaksasi otot

progresif direkomendasikan untuk mengurangi nyeri. Relaksasi otot progresif

merupakan teknik relaksasi yang memusatkan perhatian pada suatu aktifitas

otot, dengan mengidentifikasi otot yang tegang kemudian menurunkan

ketegangan untuk mendapatkan perasaan relaks (Gagliese, 2005). Memberikan

edukasi pasien cara meredakan nyeri dengan terapi non farmakologi relaksasi

otot progresif merupakan tindakan mandiri yang bisa dilakukan pasien, karena

pasien mampu mengontrol nyeri secara mandiri, selain itu lebih mudah di

pahami, lebih ekonomis dan ramah dikantong, bisa dilakukan kapanpun saat

pasien merasakan nyeri itu muncul.

Ajarkan teknik non farmakologi terapi relaksasi otot progresif, diberikan

pada pengkajian awal saat pasien mengeluh adanya nyeri kepala, alasannya

diberikan tindakan tersebut karena beberapa penelitian sebelumnya

membuktikan efektifitas terapi relaksasi otot progresif menurunkan nyeri

kepala. Setelah pasien tahu relaksasi otot progresif mampu menurunkan nyeri

kepala kemudian pasien akan diajarkan teknik relaksasi otot progresif. Menurut

Davis (2014) pada latihan relaksasi ini perhatian individu diarahkan untuk

membedakan perasaan yang dialami saat kelompok otot dilemaskan dan

dibandingkan ketika otot-otot dalam kondisi tegang. Latihan dengan metode

latihan relaksasi otot progresif menurut Setyobroto dalam Komarudin (2015)


1
03

adalah latihan yang dilakukan dengan cara menegangkan otot-otot pada seluruh

sebelum membuat otot-otot tersebut rileks. Latihan relaksasi otot progresif

adalah kombinasi antara latihan pernafasan dan rangkaian kontraksi serta

relaksasi kelompok otot (Indrawati dan Andriyati, 2018). Teknik terapi

relaksasi otot progresif menurut Setyoadi dan Kushariyadi (2011) persiapan

untuk melakukan teknik yaitu persiapan lingkungan seperti kursi, bantal, serta

lingkungan yang tenang dan sunyi, posisikan tubuh secara nyaman yakni

berbaring dengan mata tertutup menggunakan bantal di bawah kepala dan lutut

atau duduk di kursi dengan kepala di topang, hindari posisi berdiri, lepaskan

asesoris yang digunakan seperti kacamata, jam, dan sepatu, longgarkan ikat

dasi, ikat pinggang atau hal lain sifatnya mengikat, prosedur relaksasi otot

progresif ada 15 gerakan sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Mashudi,

(2011); Edmud, (2015); Maulida, A.P, (2014) prosedur tindakan terdiri dari 15

tahapan gerakan relaksasi otot progresif antara lain: gerakan pertama ditujukan

untuk melatih otot tangan, kedua ditunjukan untuk melatih otot tangan bagian,

ketiga ditunjukan untuk melatih otot biseps (otot besar pada bagian atas pangkal

lengan), keempat ditunjukan untuk melatih otot bahu supaya mengendur,

kelima dan enam ditunjukan untuk melemaskan otot-otot wajah (seperti dahi,

mata, rahang, mulut), ketujuh ditunjukan untuk mengendurkan ketegangan yang

dialami oleh otot rahang, kedelapan ditunjukkan untuk mengendurkan otot-otot

disekitar mulut, kesembilan ditunjukan untuk merilekskan otot leher bagian

depan maupun bagian belakang, kesepuluh ditunjukan untuk melatih otot leher
104

bagian depan, kesebelas ditunjukan untuk melatih otot punggung, kedua belas

ditunjukan untuk melemaskan otot dada, ketiga belas bertujuan untuk melatih

otot-otot perut, keempat belas ditunjukan untuk melatih otot-otot kaki (otot

paha dan betis), kelima belas untuk melatih otot kaki. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Ikrima Rahmansari (2015) teknik nonfarmakologi salah satunya

relaksasi otot progresif dapat menurunkan nyeri kepala di RSUD Dr. Moewardi

Surakata, setiap relaksasi otot progresif dilakukan selama  10 menit 1 kali per

hari selama 3 hari akan mengalami penurunan nyeri, waktu pelaksanaan

relaksasi otot progresif berdasarkan jurnal selama  10 menit tergantung dari

manajemen waktu yang dibutuhkan untuk mengajarkan relaksasi otot progresif

tersebut. Tindakan relaksasi otot progresif berjumlah 15 gerakan yang mana

setiap gerakannya memadukan gerakan otot-otot seluruh tubuh dan relaksasi

nafas dalam sehingga dapat melatih relaks pada pasien, berdasarkan penelitian

yang dilakukan sebelumnya relaksasi otot progresif diberikan dalam waktu  10

menit 1 kali per hari selama 3 hari pada pasien nyeri kepala.

Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri, setelah pemberian relaksasi

otot progresif selama selalu memberikan edukasi memonitor nyeri secara

mandiri, karena munculnya nyeri kepala yang dialami pasien hanya bisa di

monitor oleh pasien itu sendiri, pilihan yang dapat dilakukan pasien untuk

menurunkan nyeri adalah latihan relaksasi otot progresif, yang mana latihan ini

merupakan kombinasi antara latihan pernafasan dan rangkaian kontraksi serta


105

relaksasi kelompok otot (Indrawati dan Andriyati, 2018). Penatalaksanaan

nonfarmakologis dengan cara ini sangat dianjurkan, karena tidak menimbulkan

efek samping dan memandirikan pasien yang mengalami nyeri untuk menjaga

kesehatannya (Supetran I, 2016). Monitor nyeri secara mandiri bisa dilakukan

pasien kapanpun ketika nyeri muncul, harapannya setelah pemberian edukasi

monitor nyeri secara mandiri pasien dapat menerapkan cara mengontrol nyeri

secara mandiri dengan teknik nonfarmakologis yang sudah diajarkan.

Perencanaan keperawatan yang kedua pemberian analgesik (I. 08243)

meliputi, observasi adalah identifikasi riwayat alergi, monitor tanda-tanda vital

sebelum dan sesudah pemberian analgesik. Identifikasi riwayat alergi sebelum

pemberian obat perhatikan prinsip 6 benar obat yaitu benar pasien, obat, dosis,

waktu pemberian, cara pemberian, dan dokumentasi sehingga dapat

disimpulkan benar identifikasi pasien, ada beberapa tindakan atau prosedur

yang membutuhkan identifikasi pasien yaitu pemberian obat-obatan, prosedur

pemeriksaan radiologi, intervensi pembedahan dan prosedur invasif (Dale &

Renner, 1997). Alergi obat adalah reaksi simpang obat yang melibatkan

mekanisme imunologis terjadi melalui reaksi imun IgE atau reaksi

hipersensitivitas cepat dengan berbagai mekanisme dan presentasi klinis (Khan

DA, 2010). Melakukan identifikasi riwayat alergi sebelum pemberian obat

akan memberikan gambaran apakah pasien mengalami alergi obat sebelumnya.

Terapeutik adalah dokumentasikan respons terhadap efek analgetik.

Dokumentasikan semua tindakan yang telah dilaksanakan berserta respon klien


106

(Keliat, 2011). Analgetik adalah bahan atau obat yang digunakan untuk

menekan atau mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa menyebabkan hilangnya

kesadaran (Sumardjo, 2009). Mula kerja obat setelah pemberian secara intrvena

adalah 30 menit dengan durasi dalam obat didalam tubuh selama 4 jam

(Misiolek, 2014). Dokumentasi dari hasil pemberian obat dilakukan ketika

waktu paruh obat berkerja secara maksimal sehingga perawat melakukan

pendokumentasian setelah 4 jam obat masuk ke dalam tubuh melalui intravena.

Dokumentasi respons terhadap efek analgetik, menuliskan keluhan yang

dirasakan pasien ketika diberikan analgetik apakah berkurangnya rasa nyeri

setelah diberikan analgesik, tetapi butuh waktu paruh untuk menilai respons

pasien, setelah itu baru bisa mendokumentasikan efek dari terapi analgesik yang

diberikan.

Edukasi adalah jelaskan efek terapi dan efek samping obat. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Sarampang et.al (2014) menyatakan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan pasien tentang obat

antihipertensi dengan kepatuhan pasien dalam pelaksanaan terapi hipertensi.

Edukasi ke pasien tentang terapi dan efek samping obat sebelum pemberian

obat memiliki tujuan untuk memberikan kemudahan bagi pasien menjalankan

terapi pengobatan dan memahami manfaat dari obat yang telah diresepkan.

Kolaborasi adalah berkolaborasi pemberian dosis obat analgetik untuk

meredakan nyeri. Penanganan nyeri bisa dilakukan secara farmakologi yaitu

dengan pemberian analgesik dan penenang, sedangkan secara non farmakologi


107

melalui distraksi, relaksasi nafas dalam, relaksasi otot progresif, kompres

hangat atau dingin, aromaterapi, hypnotis, dll (Rezkiyah cit Yusrizal et al

2012). Pengkombinasian antara teknik non farmakologi dan teknik farmakologi

adalah cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri terutama nyeri yang sangat

hebat yang berlangsung berjam-jam atau bahkan berhari-hari (Smeltzer dan

Bare cit Yusrizal, 2012). Menurunkan nyeri kepala dengan terapi non

farmakologi dan farmakologi diberikan secara kombinasi, antara pemberian

obat penurun nyeri saat nyeri hebat muncul dan relaksasi otot progresif ketika

nyeri dapat dikontrol, sehingga hasilnya efektif untuk menurunkan nyeri

kepala. Menurut Sulistyo (2013) manajemen nyeri dengan kolaborasi dapat

dilakukan pendekatan farmakologis menggunakan analgetik sedangkan

menurut Muchtar (2000) menyebutkan analgetik adalah senyawa yang dalam

dosis terapeutik meringankan atau menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja

anastesi umum. Analgetik terbagi menjadi 2 kelompok utama yaitu analgetik

opiod dan analgetik non-opiod. Analgetik opiod merupakan kelompok obat

yang selain memiliki efek analgetik, juga memiliki efek seperti opium

(Gunawam, 2013). Analgetik opiod digunakan untuk penatalaksanaan nyeri

sedang-berat. Perencanaan keperawatan dengan kolaborasi bersama tim

kesehatan lain (dokter dan apoteker) untuk meredakan nyeri kronis karena

inflamasi tumor yakni pemberian analgetik metamezole 1 gr/8 jam merupakan

golongan obat antiinflamasi non steroid yang berfungsi sebagai pereda nyeri

inflamasi tumor.
10
8

4.2.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana

keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012).

Menurut Muttaqin (2011) nyeri kepala yang dihubungkan dengan meningioma

disebabkan oleh traksi dan pergesaran struktur peka nyeri dalam rongga otak.

Implementasi keperawatan yang dilakukan oleh peneliti setiap shift (dinas)

sekitar 8 jam pemberian asuhan keperawatan dan berlangsung selama 4 hari

mulai Jum’at-Minggu tanggal 20-23 Februari 2002 diperoleh respons pasien

yang beragam setiap tindakan keperawatan. Pemberian asuhan keperawatan

pasien meningioma dalam pemenuhan kebetuhan aman dan nyaman nyeri

dengan pemberian relaksasi otot progrsif dilakukan selama 3 hari, tetapi

sebelum pemberian relaksasi otot progresif peneliti memberikan implementasi

keperawatan lainnya, alasannya karena pengkajian pasien dilakukan siang hari,

sehingga tidak efektif diberikan relaksasi otot progresif, berdasarkan jurnal

penelitian sebagai acuan pemberian relaksasi otot progresif yakni, ketika pasien

mengeluh nyeri yang mana tindakan tersebut diberikan 1 kali sehari dilakukan

selama 3 hari berturut-turut dapat menurunkan nyeri pada pasien dengan

keluhan nyeri kepala.

Tindakan keperawatan hari pertama Kamis, 20 Februari 2020 pukul

13.00 dan Jum’at-Sabtu 21-23 Februari 2020 pukul 07.00 mengidentifikasi

nyeri pada pasien (P,Q,R,S,T) berdasarkan teori yang disampikan oleh Tamsuri
1
09

(2007) dalam Wiarto (2017) observasi nyeri merupakan suatu gambaran untuk

mendeskripsikan seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh klien, pengukuran

nyeri sangat subyektif dan bersifat individual sehingga intensitas nyeri yang

dirasakan akan berbeda dengan invidu lainnnya. Observasi nyeri dilakukan

selama empat hari perawatan dengan mengkaji nyeri menggunakan PQRST dan

menggunakan skala numerik tujuannya untuk memberikan gambaran nyeri

yang dialami pasien sebelum menentukan asuhan keperawatan yang tepat pada

pasien. Hasil identifikasi nyeri pada pasien yakni respons pasien mengeluh

nyeri di bagian kepala belakang sebelah kanan, penyebab nyeri kepala muncul

ketika pasien bekerja terlalu berat, kualitas nyeri yang dirasakan seperti pukulan

benda tumpul, lokasi nyeri kepala dirasakan di kepala belakang sebelah kanan,

skala nyeri hari pertama dan kedua 6, hari ketiga skala 5, dan pada hari ke

empat skala 5, nyeri hilang timbul, durasi munculnya nyeri selama 30 menit

setiap pagi hari, nyeri yang dialami sejak 12 bulan terakhir. Intensitas nyeri

adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu.

Pengukuran intensitas nyeri bersifat sangat subjektif dan nyeri dalam intensitas

yang sama dirasakan berbeda oleh setiap orang (Andarmoyo, 2013). Observasi

nyeri pada pasien memberikan gambaran respons subjektif yang ditunjukan

pasien tentang karakteristik nyeri yang dialami pasien. Respons objektif yang

ditunjukan pasien tampak memegangi kepala belakang sebelah kanan dan

berusaha melindungi kepala bagian belakang, pasien meringis kesakitan

menahan nyeri kepala, pasien tampak gelisah karena munculnya nyeri kepala,
110

pasien tampak berfokus pada diri sendiri untuk mengurangi nyeri kepala, pola

tidur sebelum sakit 7 jam sedangkan selama sakit mengalami penurunan

kebutuhan tidur pada hari pertama dan kedua perawatan menjadi 4 jam, hari

ketiga 5 jam, dan ke empat 6 jam. Pengukuran nyeri dengan pendekatan

objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologi tubuh

terhadap nyeri itu sendiri, namun pengukuran dengan pendekatan objektif juga

tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri,

2007 dalam Andarmoyo, 2013). Nyeri adalah pengalaman sensori dan

emosional yang tidak menyenangkan kerusakan jaringan yang aktual dan

potensial. Secara umum tanda dam gejala yang sering terjadi pada pasien yang

mengalami nyeri dapat tercermin dari perilaku pasien misalnya suara

(menangis, merintih, menghembuskan nafas), ekspresi wajah (meringis,

menggigit bibir), pergerakan tubuh (gelisah, otot tegang, mondar-mandir),

interaksi sosial (menghindari percakapan, disoreintasi waktu) (Judha, 2012).

Respons objektif yang ditunjukan setiap pasien berbeda-beda, seperti pada

pasien kelolaan ini menunjukkan respons memegangi kepala belakang,

meringis, gelisah, berfokus pada diri sendiri, pola tidur berubah. Respons

objektif merupakan sikap yang ditunjukksan sebagai upaya untuk mengurangi

perasaan nyeri pasien dan memberikan gambaran nyeri yang dialami pasien.

Menjelaskan strategi meredakan nyeri dengan terapi relaksasi otot

progresif, ikut sertakan keluarga sebagai penerima informasi yang diberikan

perawat karena kelaurga sebagai pendamping pasien selama perawatan, pasien


1
11

mengatakan paham penjelasan yang disampaikan perawatan tentang teknik

relaksasi otot dan tampak memahami bagaimana strategi meredakan nyeri

kepala. Memberikan edukasi dengan menjelaskan strategi meredakan nyeri

menggunakan teknik non farmakologi bertujuan untuk mengurangi kecemasan,

menurunkan ketegangan otot dan secara tidak langsung akan menghilangkan

nyeri (Menurut Sholehati & Rustina, 2015). Edukasi yang diberikan ke pasien

adalah teknik nonfarmakologi dapat menurunkan nyeri kepala salah satunya

yaitu relaksasi otot progresif.

Mengajarkan teknik non farmakologis dengan pemberian terapi

relakasasi otot progresif, ikut sertakan keluarga sebagai penerima informasi

yang diberikan perawat karena sebagai pendamping pasien selama perawatan,

pasien mengatakan paham bagaimana teknik relaksasi otot progresif yang

diajarkan perawat dan tampak memahami bagiamana cara meredakan nyeri

dengan teknik nonfarmakologi. Adapun langkah-langkah terapi relaksasi otot

progresif menurut Mashudi, (2011); Edmud, (2015); Maulida, A.P, (2014) ada

15 gerakan relaksasi otot progresif yang diajarkan ke pasien. Teknik relaksasi

otot progresif adalah teknik relaksasi otot dalam yang tidak memerlukan

imajinasi, ketekunan, atau sugesti yang juga memiliki tujuan merelakskan dan

menghilangkan ketegangan. Progressive muscle relaxation (Relaksasi Otot

Progresif), teknik ini melibatkan ketegangan yang lambat dan kemudian

memisahkan setiap kelompok otot, dimulai dari otot jari kaki dan berakhir

dikepala (Renny, 2014). Setiap latihan gerakan relaksasi otot progresif perawat
112

membantu mengajarkan setiap gerakan, harapannya setelah diajarkan pasien

dapat mengingat dan mengulang-ulang secara mandiri.

Memberikan terapi relaksasi otot progresif, gerakan relaksasi otot

progresif yang diberikan ke pasien terdiri dari 15 tahapan, dilakukan  30 menit

1 kali per hari selama 3 hari. Persiapannya yang dibutuhkan pasien kooperatif,

lingkungan tenang dan sunyi, dan tempat duduk yang nyaman. Kondisi pasien

pada penelitian ini berada diatas tempat tidur dan bed pasien dalam posisi

fowler sehingga menopang kepala, alasan diberikan diatas tempat tidur karena

meminimalkan resiko cidera. Pemberian ini tidak disarankan posisi berdiri

karena semua gerakan relaksasi otot progresif dilakukan pada posisi setengah

duduk dan berbaring. Menurut Sherwood (2011) mengatakan bahwa tujuan

latihan relaksasi adalah untuk menghasilkan respons yang dapat mengurangi

stress. Dengan demikian, saat melakukan relaksasi otot progresif dengan

tenang, rileks, dan penuh konsentrasi (relaksasi dalam). Relaksasi otot progresif

yang dilatih selama 30 menit maka sekresi CRH (cotricotropin releasing

hormone) dan ACTH (adrenocorticotropic hormone) di hipotalamus menurun.

Penurunan kedua sekresi hormon ini menyebabkan aktivitas syaraf simpatis

menurun sehingga penggeluaran adrenalin dan noradrenalin berkurang,

akibatnya terjadi penurunan denyut jantung, pembuluh darah melebar, tahanan

pembuluh darah berkurang, dan penurunan pompa jantung sehingga tekanan

darah arterial jantung menurun. Berdasarkan beberapa jurnal penelitian yang


113

dituliskan pada perencanaan keperawatan berikan relaksasi otot pregresif

selama  10-15 menit, tetapi pada penelitian ini dilakukan selama 30 menit

alasanya karena setiap peneliti membutuhkan waktu yang berbeda beda dalam

setiap tindakan, pada penilitain ini butuh 2 menit setiap gerakan dan total

seluruh gerakan ada 15 sehingga waktu yang efektif dibutuhkan selama 30

menit, selain itu karena sekresi CRH (cotricotropin releasing hormone) dan

ACTH (adrenocorticotropic hormone) di hipotalamus menurun menyebabkan

aktivitas syaraf simpatis menurun sehingga penggeluaran adrenalin dan

noradrenalin berkurang.

Respons subjektif setelah mendapatkan relaksasi otot progresif pasien

mengatakan nyeri berkurang pada hari kedua dari skala 6 menjadi 5, pada hari

ketiga dari skala 5 menjadi 4, dan pada hari ke empat dari skala 5 menjadi 3.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ikrima Rahmansari (2015) relaksasi otot

progresif dapat menurunkan nyeri kepala di RSUD Dr. Moewardi Surakata,

penurunan intensitas nyeri kepala tension type sebelum dan sesudah dilakukan

relaksasi otot progresif menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan

mengalami penurunan intensitas nyeri skor 4, sedangkan pada kelompok

kontrol mengalami penruunan intensitas nyeri skor 3. Respons objektif: pada

hari kedua dan ketiga pasien tampak lebih relaks, nyaman, dan aman, menurut

Lestari (2014), rasa nyaman yang dirasakan responden dikarenakan oleh

produksi dari hormon endorphin dalam darah yang meningkat, dimana akan
114

menghambat dari ujung-ujung saraf nyeri yang ada di kepala dan tulang

belakang sehingga mencegah stimulasi nyeri untuk masuk ke medulla spinalis

hingga akhirnya sampai ke kortek serebri dan meninterpretasikan kualitas nyeri,

sedangkan menurut Fitriani dan Achmad (2017) dalam penelitiannya

menjelaskan bahwa teknik relaksasi otot progresif mampu merangsang tubuh

melepaskan opiot endogen yaitu endorphin. Endorphin adalah substansi seperti

morfin yang diproduksi dalam tubuh yang berfungsi sebagai inhibitor terhadap

transmisi nyeri, sehingga apabila tubuh mengeluarkan substansi-substansi ini,

satu efeknya adalah pereda nyeri. Latihan relaksasi yang dilakukan selama 30

menit memberikan perasaan relaksasi pada pasien, karena latihan ini memiliki

kombinasi latihan otot dan latihan pernafasan sehingga dapat merelakskan otot

otot yang tegang akibat nyeri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

Rahmasari (2014), yang berjudul “Relaksasi Otot Progresif Dapat Menurunkan

Nyeri Kepala” juga memaparkan bahwa setelah diberikan teknik relaksasi otot

progresif, menunjukkan adanya penurunan skor nyeri pada kelompok intervensi

dan kontrol sedangkan yang dijelaskan oleh Supetran (2015) dalam

penelitiannya yang berjudul “Efektifitas Penggunaan Teknik Relaksasi Otot

Progresif Dalam Menurunkan Tingkat Nyeri Pasien Gastritis”. Hasil penelitian

menunjuk setelah diberikan relaksasi otot progresif sebagian besar pasien

merasakan nyerinya berkurang karena gerakan-gerakan yang telah diberikan

secara perlahan membantu merilekskan sinap-sinap saraf, baik saraf simpatis


115

maupun saraf parasimpatis. Saraf yang rileks menurunkan rasa nyeri secara

perlahan.

Keluhan meringis, sikap protektif, gelisah, fokus pada diri sendiri mulai

sedikit menurun, sedangkan pada hari keempat mengalami penurunan.

Penelitian yang dilakukan oleh Edmund Jacobs menjelaskan bahwa pada saat

tubuh dan pikiran rileks secara otomatis ketegangan yang sering kali membuat

otot-otot mengencang akan diabaikan (Zalaquet, 2009). Periode relaksai yang

teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan ketegangan otot yang

terjadi dengan nyeri kronis yang meningkatkan nyeri. Pendapat Melzack dan

Wall (1965), teori gate control adalah mengusulkan bahwa implus nyeri dapat

diatur atau di hambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf

pusat. Teori ini mengatakan bahwa implus nyeri dihantarkan saat sebuah

pertahanan dibuka dan implus dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya

menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Menganjurkan memonitor nyeri secara mandiri, setelah pemberian

terapi relaksasi otot progresif kemudian memberikan edukasi memonitor nyeri

secara mandiri serta libatkan keluarga sebagai pendamping pasien selama

perawatan, respons pasien pada hari kedua sampai hari keempat sama,

mengatakan jika nyeri muncul akan menerapkan relaksasi otot progresif yang

sudah diajarkan, dan pasien tampak menerima anjuran perawat dengan baik

Teori yang disampaikan oleh Supetran I (2016) penatalaksanaan

nonfarmakologis dengan cara ini sangat dianjurkan, karena tidak menimbulkan


1
16

efek samping dan memandirikan pasien yang mengalami nyeri untuk menjaga

kesehatannya. Monitor nyeri bisa dilakukan kapan saja saat nyeri kambuh,

setelah pasien tahu bagaimana cara memonitor nyeri menggunakan teknik yang

sudah diajarkan harapannya setelah itu tidak khawatir bagaimana cara

menurunkan nyeri.

Monitor tanda-tanda vital sebelum pemberian analgesik, respons

subjektif: pasien mengatakan nyeri kepala sudah mulai menurun pada hari

kedua, kemudian pada hari ketiga dan keempat nyeri kepala sudah menurun,

pemeriksaan tanda-tanda vital hari ke dua TD: 130/90 mmHg, RR: 88x/menit,

HR:20x/menit, T: 36,7C, pemeriksaan tanda-tanda vital hari ke tiga TD:

140/110 mmHg, RR: 95x/menit, HR:20x/menit, T: 36,5 C, pemeriksaan tanda-

tanda vital hari ke empat TD: 140/110 mmHg, RR: 88x/menit, HR:20x/menit,

T: 36,5C. Pemeriksaan tanda tanda vital sebelum pemberian obat tidak

dilakukan pada hari pertama dengan alasan karena pada hari pertama pasien

baru masuk ke ruang flamboyan 10 sebelumnya dirawat di ICU, saat di ruang

ICU pasien sudah diukur tanda-tanda vital oleh perawat sebelum pemberian

obat, sehingga penelitian melakukan tindakan tersebut pada hari kedua.

Respons dari relaksasi akan mengambalikan tubuh pada keadaan yang

seimbang. Pupil, pendengaran, tekanan darah, denyut jantung, pernapasan dan

sirkulasi akan kembali normal serta otot-otot menjadi relaks. Relaksasi yang

biasa dilakukan untuk menurunkan tekanan darah diantaranya relaksasi otot


117

progresif (Sofia Dewi, 2010). Mengukur tanda-tanda vital dilakukan secara

rutin untuk melihat gambaran apakah ada penuruna salah satu tanda-tanda vital

seperti pada tekanan darah, selain itu untuk memantau tanda-tanda vital

sebelum pemberian analgesik, karena pengukura tanda-tanda vital dilakukan

beberapa saat setelah pemberian relaksasi otot progresif, sehingga dapat

mengukur apakah relaksasi mempengaruhi tanda-tanda vital pasien.

Mengidentifikasi riwayat alergi obat, respons pasien pada hari kedua,

ketiga, dan keempat mengatakan tidak ada riwayat alergi dan hasil pemeriksaan

alergi dengan scin test pasien tidak ada alergi obat. Skin test adalah prosedur

pemeriksaan pada kulit pasien yang dilakukan untuk mengidentifikasi reaksi

hipersensitivitas terhadap alergen tertentu dan faktor pencetus pada penyakit

yang berhubungan dengan alergi. Secara umum, skin test dilakukan dengan 3

cara utama, yaitu uji intradermal, uji tempel, dan uji tusuk. Pada pasien kelolan

dilakukan dengan uji intradermal, prosedur pemeriksaan yang berguna untuk

mengetahui reaksi hipersensitivitas yang diperantarai oleh imunoglobulin E

(IgE) terhadap bahan yang diujikan. Uji ini biasanya dilakukan untuk

mengetahui reaksi hipersensitivitas terhadap obat injeksi.

Menjelaskan efek terapi, respons pasien pada hari kedua, ketiga, dan

keempat mengatakan bersedia diberikan obat anti nyeri dan pasien tampak

paham efek samping terapi yang diberikan. Jelaskan efek terapi obat sebelum

pemberian obat, menurut Sarampang et.al (2014) menyatakan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna antara pengetahuan pasien tentang obat antihipertensi


1
18

dengan kepatuhan pasien dalam pelaksanaan terapi hipertensi. Memberikan

edukasi ke pasien dapat menambah informasi tentang efek dari obat yang telah

diresepkan.

Berkolaborasi pemberian obat anti nyeri, respons pasien pada hari

kedua, ketiga, dan keempat mengatakan mengeluh nyeri pada saat diberikan

obat, respons objektif: pasien tampak meringis sakit saat diberikan obat melalui

selang IV, pasien mendapatakn terapi obatmetamezole 1gr/2ml. Intervensi

keperawatan pemberian analgetik juga merupakan salah satu tindakan yang

direkomendasikan dalam mengurangi nyeri dimana rangsangan nyeri dapat

memicu tekanan TIK dan harus ditangani, pada pasien tumor otak akan terjadi

peningkatan prostaglandin dimana prostaglandin berperan dalam proses rasa

nyeri. Non steroidal anti inflammatory drugs (NSAIDs) seperti keterolac,

metamizol dan ketoprofen bermanfaat mengurangi nyeri dengan menghambat

sintesa prostaglandin melaui blockade enzim Cyslooxigenase (COX) (Bajamal

et al, 2014). Metamezole merupakan obat yang bekerja sebagai analgesik dan

antipiretik dari kelompok turunan pirazolin. Obat ini diberikan sebagai prodrug

secara oral, rectal, instramuskular, atau intravena (Misiolek, 2014). Dalam

penelitian ini obat yang digunakan pasien adalah obat metamezole dalam sedian

ampul dan diberikan secara intravena

Dokumentasikan respons terhadap efek analgesik dan efek yang tidak

diinginkan, respons pasien pada hari kedua, ketiga, dan keempat keluhan nyeri

pasien menurun, dan ekspresi meringis, sikap protektif, gelisah, fokus pada diri
1
19

sendiri menurun. Metamezole merupakan obat yang bekerja sebagai analgesik

dan antipiretik dari kelompok turunan pirazolin. Mula kerja obat setelah

pemberian secara intrvena adalah 30 menit dengan durasi dalam obat didalam

tubuh selama 4 jam (Misiolek, 2014). Dokumentasi dari hasil pemberian obat

dilakukan ketika waktu paruh obat berkerja secara maksimal sehingga perawat

melakukan pendokumentasian setelah 4 jam obat masuk ke dalam tubuh

melalui intravena

Memonitor tanda-tanda vital setelah pemberian analgesik, respons pasien

pada hari kedua, ketiga, dan keempat pasien mengatakan nyeri kepala membuat

tekanan darah meningkat, tekanan darah pasien sebelum sakit berkisar 120/80

mmHg, pemeriksaan tanda-tanda vital pada hari ke pertama TD =

130/80 mmHg, HR = 90x/menit, RR = 20 x/menit, T= 37C. Hari kedua TD =

140/100 mmHg, HR = 90x/menit, RR = 20x/menit, T = 37,1C. Hari ketiga TD

= 130/100 mmHg, HR = 90x/menit, RR = 20x/menit, T = 36,5 C. Hari

keempat TD: 120/100 mmHg, HR = 90x/menit, RR= 20x/menit, T = 36,9C.

4.2.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah perbandingan yang sistemis dan terencana tentang

kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara

bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan

lainnya dengan format sumatif yaitu SOAP (subjektif, obyektif, analisa, dan

perencanaan) (Setiadi, 2012).


1
20

Hasil evaluasi setelah dilakukan tindakan relaksasi otot progresif pada

pasien meningioma dengan diagnosa keperawatan nyeri kronis b.d infiltrasi

tumor (D.0078) yang sudah dilakukan selama 4 hari terdapat penurunan tingkat

nyeri pada pasien. Penurunan tingkat nyeri pada pasien diketahui dengan

pengukuran skala nyeri dengan menggunakan skala numerik.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4 hari dapat diperoleh

evaluasi atau catatan perkembangan keperawatan. Pada hari pertama perawatan

Kamis, 20 Februari 2020 diperoleh hasil evaluasi subjektif : pasien mengatakan

keluhan nyeri berkurang, nyeri masih dirasakan pasien ketika bergerak terlalu

hebat, nyeri seperti pukulan benda tumpul, nyeri dibagian kepala belakang

sebelah kanan, skala nyeri 5, nyeri hilang timbul, pasien mengatakan paham

bagaimana teknik relaksasi otot progresif yang diajarkan perawat dapat

menurunkan nyeri, pasien mengatakan nyeri kepala menyebabkan tekanan

darahnya meningkat.

Objektif : pasien tampak memahami bagaimana strategi meredakan nyeri

kepala dengan teknik nonfarmakologi, pasien tampak melindungi kepala bagian

belakang, meringis pasien sudah berkurang, gelisah mulai menurun, fokus

pasien sudah mulai membaik, pola tidur pada malam hari 4 jam, tanda-tanda

vital tekanan darah: 130/80 mmHg, pernafasan: 90x/menit, nadi:20x/menit,

suhu: 37 C.
121

Assesment : masalah nyeri kronis pada pasien belum teratasi, keluhan

nyeri, meringis, sikap protektif, gelisah, berfokus pada diri cukup meningkat,

pola tidur dan tekanan darah cukup membaik.

Planing : lanjutkan intervensi keperawatan, identifikasi nyeri pada pasien

(P,Q,R,S,T), berikan terapi relaksasi otot progresif, anjurkan memonitor nyeri

secara mandiri, identifikasi riwayat alergi obat, monitor tanda-tanda vital

sebelum dan sesudah pemberian analgesik, dokumentasikan respons terhadap

efek analgesik dan efek yang tidak diinginkan, jelaskan efek terapi, kolaborasi

dalam pemberian obat anti nyeri (analgesik).

Kemudian dilakukan tindakan keperawatan selama 3 hari secara kontinyu

pada hari Jum’at-Minggu, 21-23 Februari 2020 diperoleh evaluasi atau catatan

perkembangan keperawatan, yaitu Subjektif : keluhan nyeri pasien menurun

perharinya sebagi berikut: keluhan nyeri hari kedua dari skala 6 menjadi 5,

keluhan nyeri hari ke tiga dari skala 5 menjadi 4, keluhan nyeri hari ke empat

dari skala 5 menjadi 3.

Objektif: Pada hari ke dua dan tiga pasien tampak meringis, sikap

protektif, gelisah, fokus pada diri sendiri mulai menurun tetapi pada hari ke

empat mengalami penurunan. Pasien tampak lebih relaks, nyaman, dan aman

pada hari ke dua sampai ke empat, ke pola tidur pada malam hari pertama 4

jam, kedua 4 jam, ke tiga 5 jam, dan ke empat 6 jam. Pemeriksaan tanda-tanda

vital pada hari ke pertama TD = 130/80 mmHg, HR = 90x/menit, RR = 20


1
22

x/menit, T= 37C. Hari kedua TD = 140/100 mmHg, HR = 90x/menit, RR =

20x/menit, T = 37,1C. Hari ketiga TD = 130/100 mmHg, HR = 90x/menit, RR

= 20x/menit, T = 36,5 C. Hari keempat TD: 120/100 mmHg, HR = 90x/menit,

RR= 20x/menit, T = 36,9C.

Assessment: selama 3 hari pemberian terapi non farmakologi dan

farmakalogi masalah nyeri kronis pada pasien belum teratasi, keluhan nyeri,

meringis, sikap protektif, gelisah, pola tidur, berfokus pada diri menurun,

pendapat Smeltzer dan Bare (2008) relaksasi otot progresif dipercaya dapat

menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri,

hampir semua orang dengan nyeri kronis mendapatkan manfaat dari metode

relaksasi, periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan

keletihan dan ketegangan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang

meningkatkan nyeri. Masalah nyeri kronis pada pasien belum teratasi karena

pemberian relaksasi otot progresif bukan menghilangkan keluhan nyeri kepala,

tetapi teknik ini untuk menurunkan nyeri kepala pada pasien. Nyeri kepala pada

pasien meningioma disebabkan oleh traksi dan pergesaran struktur peka-nyeri

dalam rongga otak akibat pertubuhan tumor yang berlangsung lambat, sehingga

membutuhkan tindakan medis untuk menghilangkan tumor atau massa yang

mendesak selaput sehingga merangsang nyeri kepala.

Pola tidur pasien membaik, latihan relaksasi otot progresif cukup efektif

untuk memperpendek latensi tidur, memperlama durasi tidur, meningkatkan


1
23

efisiensi tidur, mengurangi gangguan tidur dan mengurangi gangguan aktifitas

pada siang hari sehingga meningkatkan respons puas terhadap kualitas tidurnya.

Hasilnya serupa didapatkan pada penelitian Saeedi et al. (2012), bahwa

relaksasi otot progresif mampu mereduksi penyebab gangguan tidur sehingga

kualitas tidur meningkat. Efek relaksasi otot progresif dalam pemenuhan

kebutuhan tidur dikemukaan oleh Conrad & Roth (2007) bahwa teknik

relaksasi mampu mengontrol aktivitas sistem syaraf otonom dan aktivitas

suprasciasmatic nucleus sehingga memudahkan untuk memulai dan

mempertahankan tidur yang dalam. Adanya peningkatan jam tidur setelah

diberikan terapi relaksasi otot progresif.

Tekanan darah membaik, relaksasi otot progresif adalah terapi relaksasi

dengan gerakan mengencangkan dan melemaskan otot-otot pada satu waktu

untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik. Gerakan mengencangkan

dan melemaskan secara progresif kelompok otot ini dilakukan secara berturut-

turut (Synder & Lindquist, 2002). Jacobson (1938) dalam Synder & Lindquist

(2002) menyatakan bahwa tujuan dari relaksasi otot progresif adalah untuk

mengurangi konsumsi oksigen tubuh, laju metabolisme tubuh, laju pernafasan

dan ketegangan otot, kontraksi ventikuler premature, dan tekanan darah sistolik

dan diastolik serta gelombang alpha. Terdapat pengaruh tanda-tanda vital

setelah diberikan relaksasi otot progresif pada pasien.

Planing: lanjutkan intervensi keperawatan setiap harinya, identifikasi

nyeri pada pasien (P,Q,R,S,T), berikan terapi relaksasi otot progresif, anjurkan
1
24

memonitor nyeri secara mandiri, identifikasi riwayat alergi obat, monitor tanda-

tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesik, dokumentasikan respons

terhadap efek analgesik dan efek yang tidak diinginkan, jelaskan efek terapi,

kolaborasi dalam pemberian obat anti nyeri (analgesik).

Penurunan skala nyeri yang didapat selama tiga hari evaluasi

menunjukkan penurunan berarti pasien mengalami penurunan tingkat nyeri dari

mulai pengkajian nyeri didapatkan skala nyeri 6 sedang dan pada akhir evaluasi

dilakukan pengakajian nyeri kembali didapatkan skala nyeri 3 ringan. Studi

kasus ini membuktikan bahwa pemberian relaksasi otot progresif dapat

menurunkan nyeri pada pasien meningioma, karena memberikan peregangan

pada otot-otot pasien, sehingga pasien lebih nyaman, rileks, fikiran tenang,

mampu meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi ketika pasien sadar dan

tidak memfokuskan perhatian secara rileks, meningkatkan rasa kebugaran dan

konsentrasi dan dapat membangun emosi positif dan emosi negatif. Terapi

relaksasi otot progresif efektif pasien meningioma dapat dilakukan rutin secara

mandiri oleh pasien.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dalam bab ini penulis akan menyimpulkan proses keperawatan dari

pengkajian, penentuan diagnosa, perencanan, implementasi, dan evaluasi tentang

asuhan keperawatan pada Ny. S dengan Meningioma di ruang Flamboyan 10

RSUD Dr. Moewardi Surakarta dengan mengaplikasikan hasil studi kasus

pemberian relaksasi otot progresif sebagai upaya dalam menurunkan instensitas

nyeri pada pasien.

5.1.1 Pengkajian Keperawatan

Hasil pengkajian didapatkan data yaitu Ny.S pada tanggal 20 Februari

2020 diperoleh data subjektif Ny. S mengatakan nyeri di bagian kepala

belakang sebelah kanan sejak 12 bulan yang lalu. Pengkajian PQRST

didapatkan hasil P= penyebab nyeri kepala muncul ketika pasien bekerja terlalu

berat, Q= kualitas nyeri yang dirasakan seperti pukulan benda tumpul, R=

lokasi nyeri kepala dirasakan di kepala belakang sebelah kanan, S= skala nyeri

6 (sedang), T= nyeri hilang timbul, durasi munculnya nyeri selama 30 menit,

nyeri yang dialami sejak 12 bulan terakhir. Data objektif Ny. S tampak

memegangi kepala belakang sebelah kanan dan berusaha melindungi kepala

bagian belakang, meringis kesakitan menahan nyeri kepala, tampak gelisah

karena munculnya nyeri kepala, tampak berfokus pada diri sendiri untuk

125
126

mengurangi nyeri kepala, pola tidur sebelum sakit 7 jam sedangkan selama

sakit mengalami penurunan kebutuhan tidur menjadi 4 jam.

5.1.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang diambil pada kasus Ny.S yaitu nyeri kronis

(D.0078) berbubungan dengan infiltrasi tumor dibuktikan dengan pasien

mengeluh nyeri, pasien tampak memegangi kepala, pasien meringis kesakitan,

pasien tampak gelisah, pasien tampak berfokus pada diri sendiri, pola tidur

sebelum sakit 7 jam sedangkan selama sakit mengalami penurunan kebutuhan

tidur menjadi 4 jam.

5.1.3 Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan yang dilakukan pada pasien yaitu untuk

menyelesaikan masalah nyeri kronis berhubungan dengan infiltrasi tumor antar

lain: Perencanaan yang pertama yaitu manajemen nyeri (I. 08238) dan

perencanaan yang kedua pemberian analgesik (I. 08243). Perencanaan

keperawatan yang pertama manajemen nyeri (I. 08238) meliputi obeservasi

adalah identifikasi lokasi, karakteristik, durasi frekuensi, kuantitas, intensitas,

skala nyeri. Terapeutik adalah berikan terapi non farmakologik dengan terapi

relaksasi otot progresif untuk mengurangi nyeri. Edukasi adalah jelaskan

strategi meredakan nyeri dan ajarkan teknik non farmakologik terapi relaksasi

otot progresif, dan anjurkan memonitor nyeri secara mandiri. Perencanaan

keperawatan yang kedua pemberian analgesik (I. 08243) meliputi, observasi

adalah identifikasi riwayat alergi, monitor tanda-tanda vital sebelum dan


127

sesudah pemberian analgesik. Terapeutik adalah dokumentasikan respons

terhadap efek analgetik. Edukasi adalah jelaskan efek terapi dan efek samping

obat. Kolaborasi adalah kolaborasi pemberian dosis obat analgetik untuk

meredakan nyeri.

5.1.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan yang dilakukan selama empat hari

pengelolaan sesuai dengan intervensi keperawatan yang disusun penulis.

5.1.4 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi yang diperoleh di hari keempat pada Minggu 22 Februari 2020

jam 14.00 WIB yaitu, Subjektif : keluhan nyeri pasien menurun, pasien

mengatakan nyeri berkurang dari skala 5 menjadi 3. Objektif : meringis, sikap

protektif, gelisah, fokus pada diri sendiri mulai menurun, pasien tampak lebih

relaks, nyaman, dan aman, pola tidur pada malam hari 6 jam. Tanda-tanda vital

tekanan darah: 120/100 mmHg, nadi: 90x/menit, pernafasan:20x/menit, suhu:

36,9 C. Assesment : masalah nyeri pada pasien belum teratasi, keluhan nyeri,

meringis, sikap protektif, gelisah, kesulitan tidur, berfokus pada diri sendiri

menurun. Planing: lanjutkan intervensi keperawatan sesuai dengan hari kedua.


128

5.2 Saran

5.2.1 Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan (Rumah Sakit)

Diharapkan menjadi masukan dalam meningkatkan pemberian pelayanan

kesehatan pada pasien dengan meningioma dalam pemberian terapi

nonfarmakologi yaitu relaksasi otot progresif untuk penurunan nyeri kronis

pada pasien.

5.2.2 Bagi Intitusi Pendidikan

Diharapkan hasil karya tulis ilmiah ini dapat menambah daftar

kepustakaan di bidang kesehatan, sebagai sumber informasi untuk penelitian

selanjutnya khususnya dalam asuhan keperawatan pada pasien meningioma

dalam pemenuhan kebutuhan aman nyaman (nyeri) dengan menggunakan terapi

relaksasi otot progresif dapat menurunkan nyeri subyek studi.

5.2.3 Bagi Pasien

Diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan pasien meningioma

dengan keluhan nyeri kepala tentang bagaimana cara mengontrol nyeri dan

mengaplikasikan terapi nonfarmakologi yaitu relaksasi otot progresif

menurunkan nyeri secara mandiri.

5.2.4 Bagi Penulis Selanjutnya

Diharapkan dapat melakukan penelitian terkait pengaplikasin relaksasi otot progresif dengan
menggunakan dua subyek studi kasus yang mana kriteria subyek homogen untuk dilakukan
penelitian selanjutnya

Anda mungkin juga menyukai