Anda di halaman 1dari 18

ABSTRAK

I NYOMAN SUDARMADA, Perkembangan Kemampuan Loncat Tegak pada Anak Usia 6-12
Tahun Ditinjau Ketinggian Wilayah Tempat Tinggal di Bali.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) perkembangan kemampuan


loncat tegak pada anak usia 6-12 yang tinggal di dataran tinggi dan dataran rendah di Bali, 2)
perbedaan kemampuan loncat tegak anak usia 6-12 tahun yang tinggal di dataran tinggi dan
dataran rendah di Bali.
Penelitian ini merupakan penelitian perkembangan dengan menggunakan metode cross
sectional. Populasi yang digunakan untuk dataran tinggi adalah kecamatan Kintamani dan untuk
dataran rendah adalah kecamatan Kubu. Jumlah sampel untuk daerah dataran tinggi 507 orang
(267 laki-laki dan 240 perempuan) untuk dataran rendah jumlah sampel 572 orang (285 laki-laki
dan 287 perempuan). Data kemampuan loncat tegak diukur dengan tes kemampuan loncat
tegak. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji t pada taraf
signifikansi α = 0.05.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) terdapat perkembangan kemampuan loncat
tegak pada anak usia 6-12 tahun yang tinggal di dataran tinggi dan tinggal di dataran rendah.
Anak yang tinggal di dataran tinggi meningkat 12.4 cm sedangkan anak di dataran rendah
meningkat 11.4 cm; 2) Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan loncat
tegak anak usia 6-12 tahun yang tinggal di dataran tinggi dan tinggal di dataran rendah.

Kata-kata kunci : Kemampuan Loncat Tegak, Ketinggian Wilayah Tempat Tinggal.

ABSTRACT

I NYOMAN SUDARMADA, The Progress Vertical Jump Capability in the 6-12 Years Old
Children Viewed from Residential Altitude in Bali.

The objectives of this research are to find out: 1) the progress of vertical jump
capability in the 6-12 years old highlander and lowlander childrens in Bali; 2) the difference of
vertical jump capability in 6-12 years old highlander and lowlander children in Bali
This study belonged to developmental research with cross-sectional method. The
population of this research was highlander of Kintamani subdistrict and lowlander of Kubu
subdistrict. As the sample of this research was 507 highlander children (267 boys and 240 girls)
and 572 lowlander children (285 boys and 287 girl). Vertical jump capability measured by
vertical jump test. The technique of data analyzing employed in this research was t-test with
significance level α = 0.05.
The result shows that: 1) there is a progress of vertical jump capability in 6-12 years old
highlander and lowlander childrens in Bali; 2) there is no significant difference of vertical jump
capability between high- and low-lander 6-12 year old children in Bali.

Keyword : vertical jump capability, residential altitude.


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan prestasi olahraga Indonesia di berbagai even yang diikuti dalam
beberapa tahun terakhir cenderung stagnan tanpa ada peningkatan prestasi yang berarti. Dalam
berbagai ajang multi even seperti SEA Games, ASIAN Games dan Olimpiade, atlet-atlet
Indonesia masih cukup sulit untuk dapat bersaing dengan atlet Negara lain. Kurang
berkembangnya prestasi atlet Indonesia tidak terlepas dari pola pembinaan atlet yang belum
sesuai dengan kebutuhan atlet untuk dapat bersaing di level internasional.
Prestasi olahraga tidak dapat dibentuk secara instan. Pembentukan atlet berprestasi
tinggi memerlukan perencanaan yang sistematis dan dilaksanakan secara bertahap dan
berkesinambungan dimulai dari pemasalan, pembibitan dan pembinaan hingga mencapai
puncak prestasi. Pembinaan harus dimulai sejak usia dini, dengan melakukan pemantauan bakat
(talent identification) sehingga potensi olahraga yang dikembangkan sesuai dengan potensi
yang dimiliki.
Anwar Pasau (dalam Sajoto, 1995: 2-5; Depdiknas, 2002: 10) menyatakan peningkatan
prestasi olahraga tidak terlepas dari faktor-faktor penentu peningkatan prestasi yaitu: 1) aspek
biologis seperti potensi/ kemampuan dasar tubuh, fungsi organ-organ tubuh, struktur dan postur
tubuh serta gizi, 2) aspek psikologis seperti intelektual, motivasi, kepribadian, koordinasi kerja
otot dan saraf, 3) aspek lingkungan seperti lingkungan sosial, sarana dan prasarana, cuaca, dan
keluarga, 4) aspek penunjang seperti pelatih, program pelatihan yang sistematis, dana dan
penghargaan.
Perbedaan karakteristik dan kemampuan fisik ini menjadi penting untuk diketahui
dalam upaya pengembangan prestasi olahraga, khususnya dalam tahap pembinaan awal.
Karakteristik kemampuan fisik yang ditampilkan pada masa muda merupakan modal dasar yang
nantinya dapat dikembangkan dalam upaya pencapaian prestasi dalam cabang olahraga yang
sesuai. Program pemantauan bakat sebagai langkah awal dalam pembinaan olahraga prestasi
dapat didasarkan pada karakteristik serta kemampuan fisik yang dimiliki.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan kemampuan fisik, faktor lingkungan menjadi
sangat penting. Peningkatan ketinggian tempat juga memiliki korelasi dengan suhu udara.
Semakin tinggi tempat maka suhu udara akan semakin dingin. Pola adaptasi yang terjadi pada
tubuh dilakukan dengan peningkatan pembakaran lemak untuk menjaga suhu tubuh tetap
hangat.
Pertumbuhan fisik yang baik pada masa anak-anak menjadi faktor essensial untuk
tercapainya kematangan fisik pada usia dewasa. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan
fisik pada masa anak-anak memberi efek tidak optimalnya potensi fisik pada usia dewasa.
Malina, Bouchard dan Bar-Or (2004: 83) menjelaskan hubungan antara struktur fisik dengan
performa dalam olahraga secara umum hampir sama antara anak-anak dan orang dewasa . Hal
ini menunjukan bahwa struktur fisik yang akan tampak pada usia dewasa dapat diprediksi
dengan melihat struktur fisik yang muncul pada periode anak-anak.
Kemampuan fungsional tubuh sudah dapat dilihat pada masa anak-anak, khususnya
pada masa anak besar yaitu pada rentangan umur 6-12 tahun. Pada periode ini kecenderungan
anak untuk tumbuh ke tipe tubuh tertentu mulai terlihat. Setiap tipe tubuh memiliki karakteristik
tertentu yang ada hubungannya dengan kemungkinan kesesuaian menekuni cabang olahraga
tertentu (Sugiyanto, 1998: 149). Kemampuan fisik tumbuh cukup pesat terutama kekuatan,
fleksibilitas, keseimbangan, dan koordinasi. Perbedaan proporsi tubuh antara anak laki-laki dan
perempuan mulai tampak pada periode ini. Melihat pola pertumbuhan dan perkembangan anak
besar ini, identifikasi bakat olahraga (talent identification) sepertinya mulai dapat dilakukan
pada periode ini.
Kemampuan loncat tegak merupakan kemampuan fisik yang mutlak diperlukan untuk
berbagai cabang olahraga. Kemampuan meloncat merupakan modal dasar untuk berbagai
gerakan dalam berbagai cabang olahraga, oleh karena itu kemampuan loncat tegak yang tinggi
menjadi salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang atlet.
Dari latar belakang di atas maka peneliti melakukan penelitian tentang perkembangan
kemampuan loncat tegak pada anak usia 6-12 tahun ditinjau dari ketinggian wilayah tempat
tinggal di provinsi Bali.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah perkembangan kemampuan loncat tegak anak usia 6-12 tahun yang tinggal
di dataran tinggi dan dataran rendah di Bali?
2. Adakah perbedaan kemampuan loncat tegak anak usia 6-12 tahun yang tinggal di dataran
tinggi dan dataran rendah di Bali?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan kemampuan loncat tegak anak usia 6-12 tahun yang
tinggal di dataran tinggi dan dataran rendah di Bali.
2. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kemampuan loncat tegak anak usia 6-12
tahun yang tinggal di dataran tinggi dan dataran rendah di Bali.
D. Manfaat
Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi ilmiah tentang
perkembangan ukuran antropometri dan kemampuan loncat tegak pada anak usia 6-12 tahun
yang tinggal di daerah dataran tinggi dan tinggal di daerah dataran rendah. Secara praktis hasil
penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam pemantauan bakat olahraga yang sesuai untuk
karakteristik olahraga yang sesuai khususnya kecabangan olahraga yang berkaitan profil ukuran
antropometri dan power otot tungkai.

KAJIAN TEORI

A. Perspektif Perkembangan Individu


Perkembangan merupakan proses perubahan kapasitas fungsional atau kemampuan
kerja organ-organ tubuh kearah keadaan yang makin terorganisir dan terspesialisasi.
Perkembangan dapat berupa perubahan kuantitatif, kualitatif atau kedua-duanya secara
serempak (Haywood, 1986: 7; Sugiyanto, 1998: 15). Perkembangan merupakan suatu proses
yang berlangsung secara berkelanjutan (kontinyu) sejak awal terjadinya dan hanya akan
berakhir pada saat individu meninggal. Perkembangan meliputi semua aspek dari prilaku
manusia dan hasilnya mungkin hanya dapat dipisahkan secara artifisial menjadi beberapa
domain, fase, dan periode umur (Gallahue dan Ozmun, 1998: 5).
Perkembangan sebagai suatu bentuk perubahan menuju ke kualitas yang lebih baik
tidak dapat dipisahkan dari proses pertumbuhan sebagai pendukungnya. Fisik, gerak, pikir,
emosi dan sosial tumbuh dan berkembang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan
fungsi-fungsi organ tubuh sebagai faktor pendukung aktivitas (Sugiyanto, 1998: 4).
Perkembangan individu mencakup seluruh aspek atau domain yang dimiliki oleh individu
meliputi domain kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam perkembangannya, seluruh aspek
dalam diri individu berkembang secara simultan dan saling mempengaruhi satu dengan yang
lainnya. Keserasian antar masing-masing aspek perkembangan memberikan kualitas
perkembangan individu yang optimal.

B. Perkembangan Kemampuan Loncat Tegak


Kemampuan meloncat secara umum dapat digunakan sebagai indikator untuk
memprediksi kemampuan koordinasi muskular dan power, khususnya power otot tungkai.
Kemampuan meloncat terkait erat dengan perkembangan peningkatan kekuatan otot dan
koordinasi tubuh. Perkembangan kekuatan otot dan koordinasi tubuh yang baik akan
menghasilkan perkembangan kemampuan meloncat yang baik (Sugiyanto, 1998: 155).
Perkembangan kemampuan meloncat dapat berupa peningkatan kuantitas loncatan
(semakin tinggi atau semakin jauh) dan peningkatan kualitas pola gerakan. Kemampuan loncat
tegak merupakan kemampuan meloncat yang melibatkan proyeksi tubuh secara vertikal ke
udara dengan tumpuan pada satu atau kedua kaki dan mendarat dengan kedua kaki.
Kemampuan loncat tegak berkembang seiring dengan pertambahan usia. Kualitas gerak loncat
tegak berkembang sesuai fase-fase perkembangan gerak, mulai dari inisiasi gerak, gerak dasar
dan sampai pada kematangan gerak.

Gambar 1. Tahap-Tahap Perkembangan Pola Gerak Loncat Tegak (Gallahue dan


Ozmun, 1998: 237)

Tahap awal (initial stage) dalam perkembangan gerak loncat tegak ditandai dengan
inkonsistensi pada saat awal membungkukkan badan, kesulitan menumpu dengan dua kaki,
lemahnya ekstensi tubuh pada saat menumpu, sedikit atau tanpa angkatan kepala, tangan tidak
terkoordinasi dengan togok dan tungkai, dan tinggi loncatan relatif rendah.
Pada tahap dasar (elementary stage) ditandai dengan tekukan lutut yang melebihi sudut
900 pada saat persiapan membungkukan badan, badan condong terdorong kedepan pada saat
membungkuk, menumpu dengan dua kaki, tidak seluruh tubuh lurus pada saat berada di udara,
pada saat di udara lengan berupaya menjaga keseimbangan dan terjadi pergeseran pada jarak
horisontal pendaratan. Pada tahap kematangan gerak (mature stage) persiapan membungkukkan
badan disertai dengan tekukan lutut antara 60 0 sampai dengan 900, ekstensi yang kuat pada
pinggul, lutut dan pergelangan kaki, koordinasi yang simultan pada gerakan mengangkat
lengan, kepala miring ke arah atas dengan mata fokus ke target, dan pendaratan terkontrol
hampir tepat pada tempat menumpu (Gallahue dan Ozmun, 1998: 236).

Laki-laki
Perempuan - - - - -
Gambar 2. Perkembangan Kemampuan Loncat Tegak (Malina, Bouchard dan Bar-Or,
2004: 221)

Dari grafik di atas tampak perkembangan kemampuan loncat tegak meningkat secara
linier dengan pertambahan usia pada kedua jenis kelamin. Perbedaan perkembangan antara anak
laki-laki dan perempuan hanya sedikit namun konstan, khususnya pada masa anak besar dan
selanjutnya perbedaan ini menjadi tampak jelas pada masa adolesensi. Kemampuan loncat tegak
dipengaruhi oleh kekuatan otot-otot yang membangun struktur otot tungkai. Semakin kuat otot-
otot yang membangun struktur tungkai, semakin kuat kontraksi yang dihasilkan sehingga
loncatan pun semakin tinggi. Kemampuan meloncat baik secara vertikal maupun horizontal
identik dengan power otot tungkai. Orang yang memiliki power yang bagus cenderung memiliki
kemampuan meloncat yang tinggi.

C. Anak Usia 6-12 Tahun


1. Pertumbuhan Anak Usia 6-12 Tahun
Karakteristik pertumbuhan fisik anak usia 6-12 tahun berlangsung lamban, terutama
mulai usia 8 tahun hingga akhir periode ini. Perkembangan sesuai dengan prinsip
cephalocaudal dan proximodistal, dimana otot-otot besar lebih berkembang dibanding otot-otot
kecil (Tim Penyusun Kemenegpora, - : 37). Perkembangan fisiologis anak perempuan biasanya
lebih cepat dari pada anak laki-laki pada periode ini.
Periode anak-anak usia 6-10 tahun ditandai dengan pertumbuhan yang lambat namun
konstan dalam hal tinggi dan berat serta perkembangan kemampuan sistem sensori dan motor
(Gallahue dan Ozmun, 1998: 196). Perubahan dalam pertumbuhan fisik sangat minimal pada
masa ini. Meskipun periode ini ditandai dengan pertumbuhan fisik yang bertahap, anak
mengalami perkembangan yang cepat dalam belajar dan berfungsi dalam tingkat kematangan
yang lebih baik dalam performa dan permainan olahraga.
Pertumbuhan fisik erat kaitannya dengan terjadinya proses peningkatan kematangan
fisiologis pada diri tiap individu. Proses peningkatan kematangan akan berlangsung sejalan
dengan bertambahnya usia kronologis. Pertumbuhan dan tingkat kematangan fisik dan fisiologis
membawa dampak pada perkembangan kemampuan fisik terutama dalam hal kekuatan,
fleksibilitas, keseimbangan, dan koordinasi. Pertumbuhan yang pesat pada kaki dan tangan
terjadi pada masa usia anak-anak terutama pada anak besar yaitu usia 6 sampai dengan 12
tahun. Sedangkan pertumbuhan yang pesat pada togok terjadi pada masa usia adolesensi yaitu
antara usia 12 sampai dengan 18 atau 20 tahun (Sugiyanto, 1993: 24).

2. Perkembangan Kemampuan Fisik


Sejalan dengan pertumbuhan fisik dimana anak semakin tinggi dan makin besar maka
kemampuan fisiknya pun semakin meningkat. Beberapa macam kemampuan fisik yang cukup
nyata perkembangannya pada masa anak besar adalah kekuatan, fleksibilitas, keseimbangan dan
koordinasi (Sugiyanto, 1998: 145).
Kekuatan berkembang sejalan dengan pertumbuhan jaringan otot. Kekuatan dihasilkan
dari kontraksi otot yang melibatkan filamen-filamen intraseluler di dalam otot itu sendiri.
Besarnya kekuatan yang dapat dihasilkan jaringan otot selama berkontraksi sejalan dengan
ukuran dari otot itu sendiri. Semakin besar penampang lintang otot, akan semakin besar pula
kekuatan yang dihasilkan dari kerja otot tersebut.
Perkembangan kekuatan pada anak besar mengalami peningkatan pesat pada akhir
periode sejalan dengan kecepatan pertumbuhan ototnya. Pada anak perempuan peningkatan
kekuatan tercepatnya terjadi pada usia antara 9 tahun sampai 10 tahun, sedangkan anak laki-laki
peningkatan tercepatnya terjadi pada usia antara 11 sampai 12 tahun (Sugiyanto, 1998: 145).
Perbedaan kecepatan perkembangan kemampuan otot antara anak perempuan dan anak laki-laki
dimana anak perempuan cenderung lebih awal sejalan dengan kecenderungan umum anak
perempuan mencapai kematangan fisik dan fisiologis kurang lebih 2 tahun lebih awal.
Perkembangan kekuatan anak dapat diprediksi dengan mengukur kekuatan otot bagian-
bagian tubuh. Kekuatan otot abdomen anak laki-laki meningkat secara linier dengan
pertambahan umur pada usia 6 sampai 13 tahun, kemudian menunjukan akselerasi
perkembangan. Peningkatan pada anak perempuan terjadi sampai dengan usia 14 tahun.
Kekuatan genggaman dapat dijadikan indikator untuk memprediksi kekuatan tubuh
secara umum. Perkembangan kekuatan sejalan dengan perkembangan otot-otot lengan.
Kekuatan genggaman dapat diukur dengan handgrip dynamometer. Fleksibilitas pada anak usia
6-12 tahun menunjukan perbedaan yang besar antara anak perempuan dan anak laki-laki. Hasil
pengukuran fleksibilitas metode tes sit and reach secara umum menunjukan anak perempuan
memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dibanding anak laki-laki. Pada anak perempuan
fleksibilitas stabil pada usia 5 sampai 11 tahun kemudian dilanjutkan dengan peningkatan
sampai usia 15 tahun. Pola perkembangan fleksibilitas anak laki-laki ditandai dengan penurunan
fleksibilitas dari usia 5 tahun, mencapai mencapai titik terendah pada usia 12 tahun dan
kemudian mengalami peningkatan sampai usia 18 tahun.

3. Perkembangan Kemampuan Gerak


Kemampuan gerak berkembang seiring dengan proses kematangan pertumbuhan fisik.
Sejalan dengan meningkatnya ukuran tubuh dan kemampuan fisik, keterampilan gerak juga
meningkat. Anak-anak mengembangkan keterampilan gerak dasarnya dengan meningkatkan
efisiensi mekanis dari pola gerak tersebut (Haywood, 1986: 96). Peningkatan pola gerak dapat
dilihat dari efisiensi mekanis gerakan, kontrol gerak, variasi gerakan dan kekuatan dari gerakan
tersebut.
Gerakan yang telah dikuasai pada masa anak kecil mengalami peningkatan kualitas
pada masa anak besar dan pada akhir periode ini gerakan-gerakan yang dapat dilakukan telah
menyerupai gerakan orang dewasa. Perkembangan penguasaan gerak terkait erat dengan
kemampuan koordinasi sistem koordinasi. Koordinasi yang baik akan memeberikan tampilan
kualitas gerak yang tinggi.
Pada anak usia 6-12 tahun perkembangan kemampuan gerak cenderung meningkat.
Kemampuan berlari, meloncat dan melempar mengalami peningkatan seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan fisik. Secara umum kemampuan gerak anak laki-laki dan
perempuan mulai memperlihatkan perbedaan. Anak laki-laki cenderung lebih baik dalam
aktivitas yang melibatkan otot-otot besar (gross motor skill) sedangkan anak perempuan lebih
baik dalam koordinasi gerak yang melibatkan otot-otot halus (fine motor skill).

D. Ketinggian Wilayah Tempat Tinggal


Faktor geografis ketinggian tempat tinggal merupakan salah satu sifat iklim yang dapat
mempengaruhi bentuk tubuh. Ketingian tempat tinggal berkorelasi dengan suhu udara dan
tekanan barometer udara serta tekanan parsial oksigen di udara. Suhu udara yang dingin akan
mengakibatkan terjadinya aklimatisasi pada penduduk dataran tinggi dengan memepertebal
jaringan lemak untuk menjaga suhu tubuh tetap dalam keadaan hangat. Pada daerah dengan
tekanan barometer udara rendah dan tekanan parsial oksigen rendah tubuh akan beradaptasi
terutama pada sistem respirasi dan jaringan-jaringan yang terkait dengan penyediaan oksigen
untuk aktivitas seluler.

1. Klasifikasi Ketinggian Wilayah


Secara umum ketinggian wilayah dapat diklasifikasikan sebagai dataran tinggi dan
dataran rendah. Dataran rendah adalah daerah dengan ketinggian kurang dari 250 meter di atas
permukaan laut sedangkan dataran tinggi adalah daerah dengan ketinggian lebih dari 250 meter
di atas permukaan laut (Airlangga Cahya Pradipta. 2009). Daerah dataran rendah biasanya
berada di sepanjang garis pantai dengan suhu yang tinggi dan tingkat kelembaban udara akibat
penguapan air laut juga tinggi. Daerah dataran tinggi, khususnya dengan ketinggian yang cukup
ekstrem suhu udara rendah dengan tingkat kelembaban yang relatif rendah pula.

2. Ketinggian Wilayah dan Suhu Udara


Apabila seseorang tinggal di daerah pantai mengadakan perjalanan ke daerah
pegunungan akan merasakan perubahan suhu udara. Semakin menuju ke puncak pegunungan
maka suhu udara akan semakin dingin. Perbedaan suhu udara di daerah dataran tinggi dan
dataran rendah terjadi karena adanya perbedaan kecepatan rambatan gelombang cahaya
matahari yang merupakan sumber panas bagi bumi dan atmosfer.
Sinar matahari merupakan sumber panas bagi bumi dan atmosfer. Jika demikian maka
seharusnya daerah yang paling dekat dengan matahari akan memiliki suhu yang lebih hangat.
Namun kenyataannya, atmosfer di daerah pegunungan memiliki suhu yang lebih dingin
dibandingkan dengan daerah pantai. Hal ini disebabkan karena atmosfer tidak langsung
dipanaskan oleh cahaya matahari.
Sebagian besar energi panas matahari sampai ke bumi dalam bentuk energi cahaya yang
merupakan energi dengan gelombang pendek (short wave energy). Atmosfer bumi bersifat
transfaran terhadap gelombang tersebut sehingga secara keseluruhan gelombang pendek
tersebut sampai ke permukaan bumi. Energi tersebut menghangatkan bumi dan pada akhirnya
dipantulkan ke atmosfer dalam bentuk energi dengan gelombang panjang (long wave energy).
Atmosfer bumi tidak transparan terhadap gelombang panjang ini dan menyerap panas dari
permukaan bumi. Hal inilah yang menyebabkan suhu di daerah dataran rendah lebih tinggi dari
pada suhu di dataran tinggi (Bechtold. 2009).
Variasi suhu di kepulauan Indonesia tergantung pada ketinggian tempat
(altitude/elevasi), suhu udara akan semakin rendah seiring dengan semakin tingginya ketinggian
tempat dari permukaan laut. Suhu menurun sekitar 0.6 oC setiap 100 meter kenaikan ketinggian
tempat.
Perbedaan suhu udara pada daerah dataran tinggi dan dataran rendah merupakan salah
satu faktor yang menyebabakan terjadinya aklimatisasi dalam bentuk fisik dan pola
pertumbuhan individu.

3. Adaptasi Terhadap Perbedaan Suhu


Dalam pertumbuhan dan perkembangan individu, karakteristik fisik lingkungan tempat
tinggal merupakan salah satu faktor eksternal yang memiliki pengaruh besar terhadap pola
pertumbuhan dan perkembangan individu. Di daerah yang yang mengalami musim panas dan
musim dingin, pertumbuhan rata-rata tertinggi terjadi pada pertengahan musim dingin dan
pertumbuhan rata-rata terendah terjadi pada pertengahan musim panas. Iklim memberikan
pengaruh jangka panjang terhadap pertumbuhan bentuk tubuh, pada daerah beriklim panas
bentuk tubuh cenderung tinggi kurus jika dibandingkan dengan daerah beriklim dingin yang
cenderung lebih pendek dan gemuk dengan jaringan lemak yang lebih tebal (Sugiyanto, 1998:
38; Haywood, 1986: 68).
Bentuk dan ukuran tubuh merupakan faktor yang sangat signifikan dalam menentukan
efisiensi individu dalam respon fisiologis terhadap temperatur udara panas dan dingin. Ukuran
tubuh memiliki hubungan dengan penghasilan panas tubuh. Ukuran tubuh yang lebih besar
dengan jumlah sel yang lebih banyak menghasilkan jumlah panas yang lebih besar hasil dari
metabolisme basal tubuh. Selain itu individu yang memiliki ukuran tubuh lebih besar biasanya
memiliki ukuran permukaan tubuh relatif terhadap masa tubuh lebih sempit dibandingkan
individu dengan ukuran tubuh lebih kecil. Hal ini menyebabkan lebih kecilnya proses
kehilangan panas tubuh.
Joel Allen ahli biologi dari Amerika juga meneliti ukuran panjang tungkai dan lengan
terkait dengan pengaruhnya terhadap jumlah panas yang dikeluarkan ke lingkungan sekitar.
Hasil penelitiannya menunjukan bahwa populasi spesies yang tinggal di daerah beriklim panas
yang terletak dekat katulistiwa cenderung memiliki panjang tungkai dan lengan yang lebih
panjang dibandingkan dengan populasi spesies yang sama yang tinggal jauh dari katulistiwa
dengan iklim dingin. Hal ini terkait dengan luas bidang permukaan tubuh sebagai medium untuk
pertukaran panas tubuh. Semakin luas permukaan tubuh, semakin cepat panas tubuh dikeluarkan
ke lingkungan. Contoh nyatanya adalah suku Masai di Afrika Timur yang cenderung berbadan
tinggi kurus dengan tungkai dan lengan panjang untuk meningkatkan bidang pengeluaran panas
sebagai adaptasi terhadap lingkungan sekitar yang cenderung sangat panas. Bentuk tubuh
seperti itu sangat tidak menguntungkan apabila berada di daerah subartik dengan suhu yang
dingin. Pada daerah dengan iklim dingin, bentuk tubuh yang pendek dengan panjang tungkai
dan lengan relatif pendek akan lebih menguntungkan karena menghindari pengeluaran panas
terlalu besar sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi lingkungan (O’Neill. 2009).

E. Profil Wilayah Provinsi Bali


Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8°3'40" - 8°50'48" Lintang Selatan dan
114°25'53" - 115°42'40" Bujur Timur. Relief dan topografi Pulau Bali di tengah-tengah
terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke timur. Provinsi Bali terletak di antara
Pulau Jawa dan Pulau Lombok.
Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten
Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota
Denpasar yang juga merupakan ibukota provinsi. Selain pulau Bali, provinsi Bali juga terdiri
dari pulau-pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan
di wilayah Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah Kota Denpasar, dan Pulau
Menjangan di Kabupaten Buleleng. Luas total wilayah Provinsi Bali adalah 5.634,40 ha dengan
panjang pantai mencapai 529 km.
Morfologi wilayah Provinsi Bali terdiri dari daerah dataran rendah pantai, sungai, rawa,
danau, dataran vulkanik, serta dataran sendimen yang berbentuk landai dengan kemiringan 0 - 5
% dan ketinggian berkisar 0 - 25 m di atas permukaan laut. Kondisi morfologi ini mempunyai
tingkat erosi permukaan yang kecil, dan beberapa tempat merupakan daerah abrasi serta proses
pengendapan aktif, terutama di daerah Teluk Benoa, Singaraja, dan Gilimanuk. Dataran
Alivium Danau yang berketinggian antara 1.000 - 1.230 meter di atas permukaan laut
merupakan daerah rawan untuk pergerakan tanah seperti longsor atau runtuhan tanah dan batuan
dari tebing di sekitarnya. Dataran Aluvium Danau Batur memiliki kemungkinan jatuhnya
batuan berukuran boulder hingga pasir, lapili dan abu bila terjadi suatu aktifitas pada gunung api
tersebut (Pemprov Bali. 2009).
Wilayah Bali secara umum beriklim laut tropis, yang dipengaruhi oleh angin musiman.
Terdapat musim kemarau dan musim hujan yang diselingi oleh musim pancaroba. Selama tahun
2006, suhu/temperatur tertinggi terjadi di Kota Denpasar dengan suhu 27.4 0C dan suhu
terendah terjadi di Kabupaten Bangli dengan suhu 23.9 0C. Dilihat dari curah hujan di masing-
masing kota Kabupaten se-Bali, Kabupaten Bangli memiliki curah hujan tertinggi bila
dibandingkan dengan kota-kota kabupaten lainnya di wilayah Provinsi Bali.
Berdasarkan pemaparan tentang letak geografis, morfologis, dan iklim di wilayah Bali,
terkait dengan pola adaptasi individu akan tampak pada daerah dataran tinggi yang memiliki
ketinggian lebih dari 1100 meter dpl yaitu di kabupaten Bangli dengan daerah-daerah pantai
dengan ketinggian 0-200 meter dpl yang ada di seluruh kabupaten lainnya.

Kabupaten Bangli terletak diantara 115' 13' 48" sampai 115' 27' 24" Bujur Timur dan 8'
8' sampai 8' 31' 87" Lintang Selatan. Posisinya berada ditengah-tengah Pulau Bali sehingga
merupakan satu-satunya Kabupaten yang tidak memiliki pantai/laut. Luas Kabupaten Bangli
sebesar 520,81 Km atau 9,25% dari luas Propinsi Bali, ketinggian dari permukaan laut antar 100
– 2152 meter sehingga tanaman apa saja bisa tumbuh di daerah ini. Secara fisik dibagian
Selatan merupakan daerah dataran rendah dan bagian utara merupakan pegunungan. Puncak
tertinggi adalah Puncak Penulisan, terdapat Gunung Batur dengan kepundannya Danau Batur
yang memiliki luas 1.067,50 Ha.
Kabupaten Bangli sebagian besar daerahnya merupakan dataran tinggi, hal ini
berpengaruh terhadap keadaan iklim di wilayah ini. Keadaan iklim dan perputaran atau
pertemuan arus udara yang disebabkan karena adanya pegunungan di daerah ini yang
menyebabkan curah hujan di daerah ini relatif tinggi. Selain itu pada daerah dataran alivium
danau yang berketinggian antara 1.000 - 1.230 yang terdapat di daerah sekitar danau Batur
memiliki suhu yang dingin dan berkabut (Pemda Bangli. 2009).

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian perkembangan (developmental research).
B. Variabel Penelitian
a. variabel bebas : ketinggian wilayah tempat tinggal
b. variabel terikat : perkembangan kemampuan loncat tegak anak usia 6-12 tahun
C. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia 6-12 tahun yang ada di wilayah provinsi
Bali. Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive random
sampling. Terkait dengan variabel penelitian, sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 6-12
tahun yang tinggal di wilayah dataran tinggi dan dataran rendah di provinsi Bali. Pengambilan
sampel dilakukan secara acak pada kedua wilayah tersebut. Anak usia 6-12 tahun dilihat dari
jenjang pendidikan di Indonesia berada pada tingkatan sekolah dasar. Dengan pertimbangan
tersebut, sampel penelitian diambil pada sekolah dasar yang ada di masing-masing wilayah
tempat penelitian. Penentuan sekolah dasar yang dijadikan tempat pelaksanaan penelitian
dilakukan secara acak. Karena keterbatasan waktu dan biaya penelitian, pengambilan data
penelitian hanya dilakukan pada 3 sekolah dasar di masing-masing wilayah penelitian.

D. Teknik Pengumpulan Data


Data umur sampel penelitian yang diperoleh berdasarkan data sekunder yang terdapat di
masing-masing sekolah tempat sampel tersebut bersekolah. Data-data kemampuan loncat tegak
dikumpulkan dengan instrumen tes loncat tegak (Nurhasan, 2001: 144).

E. Teknik Analisis Data


Data yang diperoleh dari hasil pengukuran diuji dengan statistik t-tes pada taraf
signifikansi 5% dengan uji prasyarat normalitas dan homogenitas data. Uji normalitas
menggunakan metode Anderson-Darling (pendekatan grafis) dengan bantuan program komputer
Minitab for windows release 13. Homogenitas data diuji dengan uji Bartlett dengan bantuan
program komputer Minitab for windows release 13 (Siswandari, 2009: 210-212).

HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Kemampuan Loncat Tegak
Table 1. Deskripsi data kemampuan loncat tegak
Usia (tahun)
Wilayah Statistik
6 7 8 9 10 11 12
Jumlah 1282 1437 1852 2429 1867 2047 2076
Dataran tinggi Rata-rata 20.0 20.2 23.4 26.1 28.3 29.7 32.4
SD 3.9 5.8 5.50 5.4 6.4 4.21 5.2
Jumlah 1497 1457 2191 2358 2812 2966 2420
Dataran rendah Rata-rata 22.7 22.1 24.3 26.2 26.1 32.2 34.1
SD 3.0 4.6 7.53 5.88 5.57 5.86 6.24

B. Uji prasarat analisis


1. Uji Normalitas
Hasil uji normalitas kemampuan loncat tegak anak usia 6-12 tahun untuk masing-
masing kelompok data dapat dilihat pada table berikut.

Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Data Kemampuan Loncat Tegak


Keterangan
Wilayah Anderson Darling Normality Test  
Rata-rata Sd N A-squared P-Value
Dataran tinggi 25.73 4.76 7 0.221 0.730  Normal
Dataran rendah 26.81 4.63 7 0.427 0.217  Normal

Dari tabel di atas terlihat nilai P-Value untuk semua kelompok data kemampuan loncat
tegak lebih besar dari 0.05 sehingga H0 diterima yang berarti data berdistribusi normal.

2. Uji Homogenitas Data


Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas Data Kemampuan Loncat Tegak Anak Usia 6-12 Tahun

Uji Bartlett
Kemampuan loncat tegak Keterangan
Statistik P-Value
Anak usia 6-12 tahun yang tinggal
di dataran tinggi dan dataran 1.057 0.948 Homogen
rendah

Dari tabel terlihat bahwa nilai P-Value untuk seluruh kelompok data yang diuji lebih
besar dari 0.05 dengan demikian varian data berasal dari populasi yang homogen.

C. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis


Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan uji t-tes.
Statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan perkembangan variabel-variabel
penelitian, sedangkan statistik t-tes digunakan untuk menguji hipotesis penelitian.

1. Deskripsi Perkembangan Kemampuan Loncat Tegak Anak Usia 6-12 Tahun yang Tinggal
di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah
Rangkuman rata-rata kemampuan loncat tegak anak anak usia 6-12 tahun yang
tinggal di dataran tinggi dan dataran rendah dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Rata-Rata Kemampuan Loncat Tegak Anak Usia 6-12 Tahun yang Tinggal di
Dataran Tinggi dan Dataran Rendah

Usia (tahun)
Wilayah
6 th 7 th 8 th 9 th 10 th 11 th 12 th
Dataran tinggi 20 20.2 23.4 26.1 28.3 29.7 32.4
Dataran rendah 22.7 22.1 24.3 26.2 26.1 32.2 34.1
Selisih 2.7 1.9 0.9 0.1 2.2 2.5 1.7
Dalam bentuk grafik, perkembangan kemampuan loncat tegak anak usia 6-12
tahun yang tinggal di dataran tinggi dan dataran rendah dapat dilihat pada gambar
berikut.

40
Kemampuan loncat tegak (cm)

35
30
25
20
15 Dataran tinggi
Dataran rendah
10
5
0
6 th 7 th 8 th 9 th 10 th 11 th 12 th
Umur

Gambar 3. Perkembangan Kemampuan Loncat Tegak Anak Usia 6-12 Tahun yang
Tinggal di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah

Dari grafik di atas terlihat kemampuan loncat tegak anak yang tinggal di
dataran rendah lebih besar dari pada anak yang tinggal di dataran tinggi, kecuali pada
usia 10 tahun anak di dataran tinggi memiliki kemampuan yang lebih besar. Perbedaan
terbesar terjadi pada usia 6 tahun sebesar 2.7 cm, sedangkan perbedaan terkecil 0.1 cm
pada usia 10 tahun.
Secara total anak yang tinggal di dataran tinggi mengalami peningkatan 12.4
cm dari 20 cm pada usia 6 tahun menjadi 32.4 pada usia 12 tahun sedangkan pada di
dataran rendah terjadi peningkatan 11.4 cm dari 22.7 cm menjadi 34.1 cm.

2. Uji Hipotesis Perbedaan Kemampuan Loncat Tegak Anak Usia 6-12 Tahun yang Tinggal di
Dataran Tinggi dan Dataran Rendah

Hipotesis penelitian diuji dengan uji t menggunakan program komputer Minitab for
windows release 13 untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan yang signifikan diantara
kelompok sampel yang dibandingkan. Hasil uji t data kemampuan loncat tegak anak usia 6-12
tahun yang tinggal di dataran tinggi dan dataran rendah menunjukan nilai t hitung sebesar 0.43
dengan P-Value 0.673. Nilai t tabel pada taraf signifikansi 5% sebesar 2.447. Nilai t hitung lebih
kecil dari t tabel sehingga H0 diterima yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kemampuan loncat tegak anak usia 6-12 tahun yang tinggal di dataran tinggi dan tinggal di
dataran rendah.
D. Pembahasan Hasil Penelitian
Dari hasil pengujian hipotesis terkait dengan perbedaan variabel penelitian pada daerah
dataran tinggi dan dataran rendah menunjukan tidak adanya perbedaan untuk semua variabel
penelitian. Persentase lemak tubuh, ukuran anthropometri, dan kemampuan loncat tegak anak
yang tinggal di wilayah dataran tinggi dan tinggal di wilayah dataran rendah tidak menunjukan
adanya perbedaan.
Persentase lemak tubuh dan ukuran anthropometri adalah komponen fisik yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Demikian pula kemampuan
loncat tegak sebagai salah satu kemampuan fisik yang dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal individu.
Ketinggian wilayah dengan atribut yang terdapat di dalamnya seperti suhu, kelembaban,
curah hujan, dan kondisi geografis tanah merupakan salah satu faktor eksternal yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fisik serta kemampuan fisik individu. Selain
faktor letak geografis tersebut, banyak faktor lain yang memperngaruhi pertumbuhan dan
perkembangan fisik. Secara umum perkembangan fisik individu dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Tanner, 1978 (dalam Sugiyanto, 1998: 36) menjelaskan 9 faktor yang mempengaruhi
perkembangan fisik yaitu: keturunan, pengaruh gizi, Pengaruh perbedaan suku, Pengaruh
musim dan iklim, Pengaruh penyakit, Pengaruh himpitan psikososial, Pengaruh urbanisasi,
Pengaruh jumlah keluarga dan status sosial ekonomi, Kecenderungan sekuler. Selain 9 faktor
tersebut faktor hormonal dan aktifitas fisik merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi
perkembangan fisik individu.
Hasil penelitian yang menunjukan tidak adanya perbedaan variabel yang diteliti antara
dataran tinggi dan dataran rendah mungkin disebabkan kombinasi pengaruh dari berbagai faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan seperti yang telah disebutkan di atas. Selain itu, wilayah
penelitian tempat pengambilan dataran tinggi dan dataran rendah masih berada pada satu
wilayah provinsi Bali sehingga keadaan geografis masih relatif memiliki kesamaan. Ekstrimitas
perbedaan ketinggian wilayah tempat penelitian juga tidak terlalu besar karena terletak pada
regional yang sama. Hal ini yang menyebabkan tidak terjadi perbedaan yang signifikan pada
karakteristik fisik dan kemampuan fisik anak yang tinggal di dataran tinggi dan dataran rendah
di provinsi Bali.

KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Berdasarkan data hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, dapat
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1) Terdapat perkembangan kemampuan loncat tegak pada anak usia 6-12 tahun yang tinggal di
dataran tinggi dan tinggal di dataran rendah. Anak yang tinggal di dataran tinggi meningkat
12.4 cm sedangkan anak di dataran rendah meningkat 11.4 cm.
2) Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan loncat tegak anak usia 6-12
tahun yang tinggal di dataran tinggi dan tinggal di dataran rendah.

B. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah didapat dari hasil analisis data di atas, maka peneliti
mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1. Terkait dengan perbedaan kecepatan perkembangan fisik anak pada rentang usia 6-12 tahun,
dalam pengembangan program pendidikan jasmani di sekolah dasar, guru pendidikan
jasmani harus memperhatikan perbedaan kemampuan fisik yang ada pada seluruh siswa.
Proses pembelajaran harus dirancang dengan baik agar seluruh siswa memiliki kesempatan
yang sama dalam aktivitas olahraga sehingga dapat menumbuhkan minat seluruh siswa
untuk ikut dalam kegiatan olahraga.
2. Hasil penelitian yang menunjukan tidak terbuktinya kebenaran hipotesis penelitian perlu
dikaji lebih lanjut dengan mengadakan penelitian menggunakan sampel yang berbeda,
dengan pengendalian yang lebih optimal terhadap faktor-faktor lain di luar variabel
penelitian yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Airlangga Cahya Pradipta. 2009. Paper Praktikum Geologi Dasar: Geomorfologi. http://angga-
on-blog.blogspot.com [21 Mei 2009].

Bechtold, Wendell. 2009. Temperature Changes and Altitude. http:// www.


newton.dep.anl.gov/askasci/env99/env029.htm [21 Mei 2009].

Depdiknas, 2002. Seleksi dan Penelusuran Minat dan Bakat Olahraga. Jakarta: Dirjen Olahraga
Depdiknas.

Gallahue, David L. dan John C. Ozmun. 1998. Understanding Motor Development; Infant,
Children, Adolescents, Adults 4th Edition. New York: Mc Graw-Hill Companies, Inc.
Haywood, Kathleen M. 1986. Life Span Motor Development. Illinois: Human Kinetic Publisher,
Inc.

Johnson, Barry L. dan Jack K. Nelson. 1986. Practical Measurements for Evaluation in
Physical Education. Minneapolis: Burges Publishing Company.

Malina, Robert R., Cloude Bouchard dan Oded Bar-Or. 2004. Growth, Maturation, and
Fhysical Activity, 2nd ed. Champaign: Human Kinetics Publisher, Inc.

Nurhasan. 2001. Tes Pengukuran dalam Pendidikan Jasmani; Prinsip-prinsip dan


Penerapannya. Jakarta: Depdiknas.

O’Neil, Dennis. 2009. Adapting to Climate Extremes. http:// anthro. palomar. edu/
adapt/adapt_2.htm [1 Juni 2009]

Pemkab Bangli. 2009. Letak Geografis, Batas Administrasi, dan Luas Wilayah Kabupaten
Bangli. http://www.banglikab.go.id [21 Mei 2009]

Pemprov Bali. 2009. Letak Geografis, Batas Administrasi, dan Luas Wilayah.
http://www.baliprov.go.id/ [1 Juni 2009].

Sajoto. 1995. Perkembangan dan Pembinaan Kondisi Fisik dalam Olahraga. Jakarta: Dahara
Price.

Schmidt, Richard A. 1991. Motor Learning and Performance: from Principles to Practice.
Champaign: Human Kinetics Publisher, Inc.

Siswandari. 2009. Statistika Computer Based. Surakarta: LPP UNS & UNS Press.

Sugiyanto. 1998. Perkembangan dan Belajar Motorik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Tim Penyusun Kemenegpora. -. Pelatihan Olahraga Anak Usia Dini. Jakarta: Kementerian
Negara Pemuda dan Olahraga.

Anda mungkin juga menyukai