Anda di halaman 1dari 4

Ramadhan merupakan salah satu sarana dan momentum istimewa bagi

setiap mukmin atau mukminah untuk ber-muhasabah dan bercermin diri,


yang dengannya ia bisa mengetahui tingkat keimanannya, kualitas
ketaqwaannya kepada Allah Ta’ala, dan kadar kerinduannya pada
kehidupan ukhrawi yang bahagia. Dan melalui cermin Ramadhan,
seseorang bisa menguji diri dan hatinya, untuk mengetahui sudah berada
di tingkat apakah ia? Apakah tingkat iman dan taqwanya masih tetap
berada di tingkat dasar: zhalimun linafsih(aniaya terhadap diri sendiri),
atau sudah naik ke tingkat menengah: muqtashid(pas-pasan, sedang-
sedang saja, dan dalam batas minimal aman dan selamat),
atau alhamdulillah sudah sampai di tingkat tinggi: sabiqun bil-
khairat (pelopor dan terdepan dalam berbagai kebaikan)?
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami
pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada golongan
yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada
kelompok pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang selalu di
depan dalam berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu
adalah karunia yang amat besar” (QS. Faathir: 32).
Bercermin Diri Menjelang Ramadhan
Kita hendaknya bertanya kepada diri kita masing-masing: bagaimana sikap
hati dan diri kita dalam menyongsong dan menyambut Ramadhan?
Bagaimana ketika kita tahu bahwa Ramadhan sudah semakin dekat dan
telah di ambang pintu? Apakah hati kita merasa berat karena akan bertemu
dengan bulan beban yang serba memberatkan, merepotkan dan
mengekang kebebasan? Atau tidak merasa berat, tapi sikap hati kita biasa-
biasa dan santai-santai saja? Atau hati serasa berbunga-bunga karena
demikian rindunya ingin segera bersua dengan kekasih hati, sang tamu
agung nan mulia, yang senantiasa ditunggu-tunggu kehadirannya?
‫ض هَّللا ُ َع َّز َو َج َّل‬َ ‫ار ٌك فَ َر‬ َ َ‫ش ْه ٌر ُمب‬َ ُ‫ضان‬ َ ‫ “أَتَا ُك ْم َر َم‬:‫سلَّ َم‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ُ ‫عَنْ أَبِي ُه َر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َر‬
‫ين هَّلِل ِ فِي ِه لَ ْيلَةٌ َخ ْي ٌر‬
ِ ‫اط‬ َّ ‫يم َوتُ َغ ُّل فِي ِه َم َر َدةُ ال‬
ِ َ ‫شي‬ ُ ‫ق فِي ِه أَ ْب َو‬
ِ ‫اب ا ْل َج ِح‬ ُ َ‫س َما ِء َوتُ ْغل‬
َّ ‫اب ال‬ ُ ‫صيَا َمهُ تُ ْفت َُح فِي ِه أَ ْب َو‬
ِ ‫َعلَ ْي ُك ْم‬
َ
.)‫ش ْه ٍر َمنْ ُح ِر َم َخ ْي َرهَا فقَ ْد ُح ِر َم” (رواه النّسائي وأحمد والبيهقي‬ َ ‫ف‬ ْ َ
ِ ‫ِمنْ أل‬
Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Ramadhan telah datang kepada kalian, -ia adalah- bulan
berkah, Allah -Azza wa Jalla- telah mewajibkan kepada kalian berpuasa.
Di bulan itu pintu-pintu langit dibuka, dan pintu-pintu neraka Jahim
ditutup dan syetan-syetan pembangkang dibelenggu. Demi Allah di bulan
itu ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang
tidak mendapat kebaikannya, maka sungguh berarti benar-benar ia telah
terhalang/terjauhkan (dari kebaikan/rahmat Allah)” (HR. An-Nasaa-i,
Ahmad dan Al-Baihaqi).
Bercermin Diri Selama Ramadhan
Pertama, bertanyalah kepada diri sendiri bagaimana kita memanfaatkan
momentum istimewa yang bernama Ramadhan? Karena setiap waktu
dalam bulan Ramadhan, setiap detiknya, setiap menitnya, setiap jamnya,
setiap harinya, setiap malamnya, setiap siangnya, setiap petangnya, setiap
paginya dan seluruhnya, adalah momentum istimewa yang penuh barokah,
penuh rahmah, penuh maghfirah, penuh peluang pembebasan dari api
neraka, pengabulan doa, penerimaan tobat, pelipatgandaan amal ibadah
dan lain-lain, khususnya pada sepuluh malam dan hari terakhir, dan
puncaknya pada malam Lailatul Qadar. Apakah hati, jiwa dan perasaan kita
sudah cukup peka, sehingga selalu bisa menyadari dan merasakan itu
semua? Nah, kualitas keimanan dan kadar ketaqwaan seseorang sangat
ditentukan oleh sikap dan upayanya untuk menggapai kemuliaan selama
Ramadhan, demi menyadari bahwa ia sedang berada dalam waktu-waktu
istimewa bahkan super istimewa dan peluang-peluang emas bahkan
berlian, yang sama sekali jauh berbeda dan tidak bisa dibandingkan dengan
waktu-waktu dan peluang-peluang di bulan lain!
Maka masing-masing kita harus melakukan muhasabah minimal harian
bahkan setiap saat selama Ramadhan, dan bertanya pada diri sendiri: amal
istimewa apa yang sudah dibuat dan dilakukannya pada waktu-waktu, hari-
hari dan malam-malam yang telah berlalu dari bulan istimewa ini? Sudah
istimewakah puasanya, shalatnya, qiyamullailnya, tilawahnya, dzikir-
doanya, infak-sedekahnya, dan amal-amal shalihnya yang lain? Ya, yang
harus kita muhasabahi memang tentang seberapa istimewa amal-amal
shalih itu telah kita lakukan. Karena jika amal-amal shalih yang kita
lakukan selama Ramadhan ini, baru sama dengan yang kita lakukan di
bulan-bulan lain, meskipun tentu itu bagus dan harus, namun masih belum
cukup, karena itu berarti kita masih menyikapi bulan Ramadhan sama
dengan yang lain, dan belum mengistimewakannya. Karena
mengistimewakan Ramadhan nan istimewa haruslah dengan amal-amal
yang serba istimewa, dan tidak cukup dengan yang biasa-biasa saja!
Kedua, selama Ramadhan kita bisa bercermin untuk melihat hakekat jiwa
kita apa adanya, tanpa campur tangan syetan penggoda dan pengganggu
utama, yang – berdasarkan hadits muttafaq ‘alaih – dirantai dan
dibelenggu selama Ramadhan. Artinya, ketika selama Ramadhan seseorang
masih punya niat buruk, kecenderungan buruk, dan amal buruk, maka ia
harus sadar bahwa, keburukan itu murni berasal dari potensi fujur (QS.
Asy-Syams: 7-10) dalam jiwanya, dan dari nafs ammarah bis-su’-nya (QS.
Yusuf: 53), atau dari nafs musawwilah-nya (QS. Yusuf: 18), dan bukan dari
godaan syetan yang sedang dirantai dan dibelenggu, yang berarti sedang
nonaktif dari fungsi dan tugas utamanya, yakni menggoda!
ُ ‫ضانُ فُت َِّحتْ أَ ْب َو‬
‫اب ا ْل َجنَّ ِة‬ َ ‫ “إِ َذا َجا َء َر َم‬:‫سلَّ َم قَا َل‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ أَنَّ َر‬
َ ِ ‫سو َل هَّللا‬ ِ ‫عَنْ أَبِي ُه َر ْي َرةَ َر‬
.)‫اطينُ ” (متّفق عليه‬ ِ َ ‫شي‬َّ ‫صفِّدَتْ ال‬ ُ ‫َو ُغلِّقَتْ أَ ْب َو‬
ُ ‫اب النَّا ِر َو‬
“Apabila bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu Surga dibuka
selebar-lebarnya, pintu-pintu Neraka ditutup serapat-rapatnya dan
syetan-syetan dibelenggu” (HR Muttafaq ‘Alaih).
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya). Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan/potensi) kefasikan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu (dengan memenangkan potensi ketaqwaan dalam jiwanya). Dan
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan
memenangkan potensi kefasikan dalam jiwanya)” (QS. Asy-Syams: 7-10).
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang” (QS. Yusuf: 53).
”Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan
darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang
memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang
baik itulah (kesabaranku. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-
Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yususf: 18).
Bercermin Diri Pasca Ramadhan
Hendaknya kita meraba diri kita masing-masing: bentuk kegembiraan apa
yang kita rasakan saat menyambut Idul Fitri? Apakah karena merasa telah
terlepas dan terbebas dari bulan penuh beban yang serba mengekang,
sehingga Idul Fitri seakan-akan justeru menjadi ajang kangen-
kangenan dengan syetan – na’udzu billah – yang juga baru saja terlepas
dan terbebas dari belenggu dan rantai? Ataukah karena merasa telah bebas
makan dan minum kembali semaunya dan sesukanya tanpa dijadwal dan
dibatasi lagi seperti saat Ramadhan? Ataukah gembira dan puas disertai
rasa penuh syukur karena merasa telah mendapatkan taufiq dari Allah,
sehingga bisa mengoptimalkan pemanfaatan bulan mulia, bulan agung,
bulan istimewa, bulan utama dan bulan suci, untuk menggapai kemuliaan,
keagungan, keistimewaan, keutamaan, dan kesucian diri?
”(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).
Kita juga bisa bercermin diri pasca Ramadhan dengan cara melihat sejauh
mana perubahan telah kita dapat setelah melewati masa penempaan
diri, tazkiyatunnafs (penyucian jiwa) dan tarbiyatudzdzat (pembinaan
diri)? Lalu sudahkah ijazah “la’allakum tattaqun” (lihat QS. Al-Baqarah:
183) kita dapat dengan sukses? dengan bukti riil bahwa, kita telah menjadi
pribadi-pribadi mukmin yang lebih bertaqwa? Semoga!
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).
Advertisements

Anda mungkin juga menyukai