BAB II
LANDASAN TEORI
Studi Terdahulu
Dalam Rencana Umum Nasional Keselamatan Jalan 2011 – 2035,
disebutkan bahwa dalam mengambil langkah – langkah yang diperlukan sesuai
tugas,
fungsi, dan wewenang masing – masing untuk melaksanakan Program
Dekade Aksi Keselamatan Jalan, mengacu kepada 5 (lima) Pilar Program Dekade
Aksi Keselamatan Jalan yang meliputi:
Pilar I yaitu Manajemen Keselamatan Jalan bertanggung jawab untuk
mendorong terselenggaranya koordinasi antar pemangku kepentingan dan
terciptanya kemitraan sektoral guna menjamin efektivitas dan keberlanjutan
pengembangan dan perencanaan strategi keselamatan jalan pada level nasional,
termasuk di dalamnya penetapan target pencapaian dari keselamatan jalan dan
melaksanakan evaluasi untuk memastikan penyelenggaraan keselamatan jalan telah
dilaksanakan secara efektif dan efisien yang fokus kepada:
a. Penyelerasan dan koordinasi keselamatan jalan
b. Protokol kelalulintasan kendaraan darurat
c. Riset keselamatan jalan
d. Survailans cedera dan sistem informasi terpadu
e. Dana keselamatan jalan
f. Kemitraan keselamatan jalan
g. Sistem manajemen keselamatan angkutan umum
h. Penyempurnaan regulasi keselamatan jalan
a. Badan jalan yang berkeselamatan
b. Perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan jalan yang berkeselamatan
c. Perencanaan dan pelaksanaan perlengkapan jalan
d. Penerapan manajemen kecepatan
e. Menyelenggarakan peningkatan standar kelaikan jalan yang
berkeselamatan
f. Lingkungan jalan yang berkeselamatan
g. Kegiatan tepi jalan yang berkeselamatan
f. Pembinaan teknis sekolah mengemudi
g. Penanganan terhadap 5 (lima) faktor risiko utama plus
h. Penggunaan elektronik penegakkan hukum
i. Pendidikan formal keselamatan jalan
j. Kampanye keselamatan
Pilar V yaitu Penanganan Pra dan Pasca Kecelakaan bertanggung jawab
untuk meningkatkan penanganan tanggap darurat pasca kecelakaan dengan
meningkatkan kemampuan pemangku kepentingan terkait, baik dari sisi sistem
ketanggapdaruratan maupun penanganan korban termasuk di dalamnya melakukan
rehabilitasi jangka panjang untuk korban kecelakaan yang fokus kepada:
a. Penanganan pra kecelakaan
b. Penanganan pasca kecelakaan
c. Penjaminan korban kecelakaan yang dirawat di rumah sakit rujukan
d. Pengalokasian sebagian premi asuransi untuk dana keselamatan jalan
e. Riset pra dan pasca kejadian kecelakaan pada korban
Penyusunan Tugas Akhir ini berfokus pada Pilar II untuk menyediakan
infrastruktur jalan yang berkeselamatan dengan melakukan perbaikan pada daerah
rawan kecelakaan.
Berdasarkan hasil pencarian, didapatkan beberapa topik studi yang hampir
sama dengan topik tugas akhir ini, dapat dilihat pada Tabel II-1 beberapa studi yang
hampir sama namun tetap ada beberapa perbedaan didalamnya.
Tabel II-1 Studi Terdahulu
Penyusun Muhammad Muhamad Rizal Bayu Pramadya
Amarullah Abdillah dan Kurniawan Sakti
Tharik Rahman
Judul Penelitian Perancangan Perancangan Analisis
Penanganan Penanganan Penentuan Lokasi
Lokasi titik rawan Lokasi titik rawan titik rawan
kecelakaan (Black kecelakaan (Black kecelakaan Lalu
Spot) pada ruas Link) di Ruas Lintas Di Jalur
Jalan PH. H. Jalan Padalarang Utama Kabupaten
Mustofa - AH. – Cipatat, Desa Jember (Metode
Nasution Kota Citatah, Pencacahan
Bandung Kecamatan Indikator
Cipatat, Kerawanan)
Kabupaten
Bandung Barat
sepanjang 5,9 Km
Lokasi Ruas Jalan PH. H. Ruas Jalan Kabupaten
Mustofa - AH. Padalarang Jember
Nasution Cipatat,
Kabupaten
Bandung Barat
Lalu lintas adalah gerak atau pindah kendaraan manusia dan hewan dijalan
dari suatu tempat ke tempat lain menggunakan alat gerak (Arpandi, 2011). Lalu
lintas merupakan faktor penting dalam kehidupan masyarakat, manusia pada
dasarnya tidak bisa hidup sendiri dan tidak bisa hidup dalam satu tempat saja. Maka
dari itu lalu lintas sangat dibutuhkan oleh masyakat. Dalam praktiknya, lalu lintas
yang baik adalah lalu lintas yang mampu melayani manusia dana tau barang dengan
aman, nyaman, dan efisien. Lalu lintas yang aman haruslah didukung oleh prasarana
jalan, bangunan pelengkap jalan, kelengkapan jalan dan lain lain.
2.2.1 Teori Kecelakaan
Berdasarkan Direktur Keselamatan Transportasi Darat Kementrian
Perhubungan aspek kesalahan manusia (pengemudi) adalah penyebab terbesar
kecelakaan di jalan raya, sekitar 80 – 90%. Faktor lainnya adalah prasarana
kendaraan yang tidak layak sekitar 10 – 15% serta sarana jalan sekitar 5 – 10%.
2.2.2 Konsep Kecelakaan
Berdasarkan UU nomor 22 tahun 2009 disebutkan kecelakaan lalu lintas
adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan
Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban
manusia dan/atau kerugian harta benda. Terjadinya suatu kecelakaan selalu
mengandung unsur ketidaksengajaan dan tidak disangka – sangka serta akan
menimbulkan perasaan terkejut, heran, dan trauma bagi orang yang mengalami
kecelakaan tersebut. Pasal 229 berisi tentang penggolongan kecelakaan lalu lintas
yaitu:
- Kecelakaan lalu lintas ringan merupakan kecelakaan yang
mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang.
- Kecelakaan lalu lintas sedang merupakan kecelakaan yang
mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang.
- Kecelakaan lalu lintas berat merupakan kecelakaan yang mengakibatkan
korban meninggal dunia atau luka berat.
- Kecelakaan lalu lintas dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan,
ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.
ada 3 yaitu faktor pengendara, faktor kendaraan, dan faktor jalan dan lingkungan.
Menurut Oglesby (1988) tingkah laku pribadi pengemudi di dalam arus lalu lintas
adalah faktor yang menentukan karakteristik lalu lintas yang terjadi. Bertambahnya
usia atau orang yang lebih tua akan lebih beresiko mengalami kecelakaan karena
reflek pengemudi menjadi lebih lambat dan kemampuan fisik tertentu akan
menurun. Reaksi dalam mengemudi erat hubungannya dengan kondisi fisik
manusia, dari penerima rangsangan setelah melihat suatu tanda sampai
pengambilan tindakan terdiri dari:
1. Perception atau pengamatan yaitu rangsangan pada panca indera
meliputi penglihatan diteruskan oleh panca indera yang lain.
2. Identification yaitu pengidentifikasian dan pengertian terhadap
rangsangan.
3. Emotion atau judgement yaitu proses pengambilan keputusan untuk
menentukan reaksi yang sesuai (misalnya berhenti, menyalip, menepi,
atau membunyikan tanda suara).
4. Violation yaitu pengambilan tindakan yang membutuhkan koordinasi
dengan kendaraan, misalnya menginjak pedal rem, banting setir, dan lain
sebagainya.
Total waktu yang diperlukan untuk melaksanakan pengamatan sampai pada
reaksi besarnya adalah 2,5 detik. Adapun sebab – sebab kecelakaan yang
disebabkan oleh faktor kendaraan antara lain adalah:
1. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh perlengkapan kendaraan:
- Alat – alat rem tidak bekerja dengan baik
- Alat – alat kemudi tidak berjalan dengan baik
- Ban atau roda dalam kondisi buruk
- Tidak ada kaca spion
2. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh penerangan kendaraan:
- Syarat lampu penerangan tidak terpenuhi
- Menggunakan lampu yang menyilaukan
- Lampu tanda rem tidak bekerja
3. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pengamanan kendaraan:
- Karoseri kendaraan yang tidak memenuhi syarat keamanan
4. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh mesin kendaraan:
- Mesin tiba – tiba mogok di jalan
5. Karena hal – hal lain dari kendaraan:
- Muatan kendaraan terlalu berat untuk truk dan lain – lain
- Perawatan kendaraan yang kurang baik (perseneling blong, kemudi
patah dan lain – lain).
Jalan sebagai landasan bergeraknya kendaraan harus direncanakan agar
memenuhi syarat keamanan dan kenyamanan bagi pemakainya. Perencanaan
geometrik jalan harus memperhatikan lalu lintas yang akan lewat pada jalan
tersebut, kelandaian jalan, dan alinyemen horizontal. Faktor kecelakaan yang
disebabkan oleh faktor jalan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh perkerasan jalan:
- Lebar perkerasan yang tidak memenuhi syarat
- Permukaan jalan yang licin dan bergelombang
- Permukaan jalan yang berlubang
2. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh alinyemen jalan:
- Tikungan yang terlalu tajam
- Tanjakan dan turunan yang terlalu curam
3. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pemeliharaan jalan:
- Jalan rusak
- Perbaikan jalan yang menyebabkan kerikil dan debu berserakan
4. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh penerangan jalan:
- Tidak adanya lampu penerangan jalan pada malam hari
- Lampu penerangan jalan yang rusak dan tidak diganti
5. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh rambu lalu lintas:
- Rambu ditempatkan pada tempat yang tidak sesuai
- Rambu lalu lintas yang ada kurang atau rusak
- Penempatan rambu yang membahayakan pengguna jalan
Peraturan Pemerintah RI Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu
Lintas Jalan Pasal 93 menjelaskan korban kecelakaan lalu lintas seperti berikut ini:
- Korban mati (fatal) adalah korban yang dipastikan mati sebagai akibat
kecelakaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah kecelakaan tersebut.
- Korban luka berat (seriously injury) adalah korban yang karena luka –
lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu
lebih dari 30 (tiga puluh) hari sejak terjadi kecelakaan. Cacat tetap berarti
bila sesuatu anggota badan hilang atau tidak dapat digunakan sama sekali
dan tidak dapat sembuh/pulih untuk selama – lamanya.
- Korban luka ringan (slight injury) adalah korban yang tidak termasuk
pengertian korban mati dan korban luka berat.
Sedangkan menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah
(2004:2) korban luka ringan adalah korban kecelakaan yang mengalami luka luka
yang tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Jalan Berkeselamatan
2.3.1 Keselamatan Jalan
Dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 Bab I tentang Ketentuan
Umum Pasal 1 ayat 31 disebutkan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan adalah
suatu keadaan terhindarnya setiap orang dari resiko kecelakaan selama berlalu lintas
yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, jalan, dan/atau lingkungan. Berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia selamat adalah terhindar dari bencana; aman
sentosa;
sejahtera; tidak kurang suatu apapun; sehat; tidak mendapat gangguan;
kerusakan; beruntung; tercapai maksudnya; tidak gagal. Artinya keselamatan lalu
lintas adalah melayani pengguna lalu lintas dengan aman, tidak mendapat
gangguan, nyaman dan efisien dalam berlalu lintas. Keselamatan lalu lintas
merupakan bagian dari konsep transportasi yang aman, nyaman, efisien (cepat),
bersih (mengurangi polusi) dan dapat diakses oleh semua orang dan kalangan, baik
oleh para penyandang cacat, anak – anak, ibu – ibu maupun lanjut usia
(Soejachmoen, 2004).
Tujuan keselamatan lalu lintas adalah untuk menekan angka kecelakaan lalu
lintas di Indonesia (Soejachmoen, 2004). Dengan rendahnya angka kecelakaan lalu
lintas maka kesejahteraan dan keselamatan bagi mereka (pengguna jalan) semakin
terjamin (Soejachmoen, 2004). Fungsi dari keselamatan lalu lintas untuk
menciptakan ketertiban lalu lintas agar setiap orang yang melakukan kegiatan atau
aktivitas di jalan raya dapat berjalan dengan aman (Soejachmoen, 2004).
- Kemampuan terbatas dalam menyediakan infrastruktur tepat waktunya
- Pemanfaatan bagian jalan yang tidak sebagaimana mestinya
- Tantangan pemanfaatan badan jalan dengan beban melebihi
(overloading)
- Jalan arteri dapat diakses langsung dari jalan lingkungan / lokal
- Ruas jalan masih banyak yang tanpa marka dan rambu
- Bangunan permanen terlalu dekat di sisi jalan
- Simpang sebidang dengan titik konflik terlalu banyak dan terbuka
- Alinyemen jalan masih banyak yang sub-standar
- Bahu jalan beda tinggi dengan badan jalan
- Kejadian iklim yang ekstrim seperti banjir yang lama, panas yang tinggi
Prinsip keselamatan jalan dalam desain jalan adalah desain jalan yang aman
(sesuai dengan prinsip – prinsip geometri) serta dilengkapi dengan fasilitas
perambuan yang baik dan efektif diharapkan dapat menggiring pengemudi untuk
merespon kondisi jalan di depannya untuk menghindarkan maneuver atau
pergerakan yang tidak diharapkan, menghindarkan perilaku yang illegal, serta
menghindarkan pengemudi dari pengguna kecepatan yang tidak sesuai dengan
desain kecepatan yang ada (Pd T-17-2005-B tentang Audit Keselamatan Jalan).
Berdasarkan Pd T-17-2005-B tentang Audit Keselamatan Jalan) ada beberapa
prinsip dasar dalam perbaikan atau pembuatan desain jalan yang dapat
meningkatkan perilaku pengemudi antara lain melalui:
- Mempertegas hirarki jalan melalui feature desain guna menggiring lalu
lintas mengikuti jalurnya
- Mempertegas karakteristik alinyemen jalan, bila perlu lengkapi dengan
delineasi (khusus jalan antar kota.
2.3.2 Indeks Keselamatan Jalan
Dalam Pd T-09-2004 B tentang Penanganan Lokasi titik rawan kecelakaan
Lalu Lintas terdapat beberapa penilaian untuk keselamatan jalan diantaranya adalah
angka ekivalen kecelakaan, tingkat fatalitas, dan tingkat kecelakaan. Angka
ekivalen kecelakaan adalah angka yang digunakan untuk pembobotan kelas
kecelakaan, angka ini didasarkan kepada nilai kecelakaan dengan kerusakan atau
kerugian materi. Tingkat fatalitas adalah angka kecelakaan lalu lintas fatal yang
dibandingkan dengan volume lalu lintas dan panjang ruas jalan. Tingkat kecelakaan
adalah angka kecelakaan lalu lintas yang dibandingkan dengan volume lalu lintas
dan panjang ruas jalan. Menurut Dirjen Bina Marga pendekatan untuk mengetahui
indeks keselamatan dapat dicari dari perhitungan nilai resiko kecelakaan (R). Nilai
resiko kecelakaan merupakan hasil perkalian antara nilai peluang (P) yang
menyebabkan kecelakaan dan nilai dampak keparahan (D) yang dialami oleh
korban kecelakaan. Secara matematis, nilai R dapat dihitung dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
R=PxD
Nilai peluang (P) didapatkan dari perkiraan jumlah kejadian kecelakaan
sebelumnya pada ruas jalan yang ditinjau, terjadinya penyimpangan kondisi
eksisting terhadap standar teknis yang berlaku dan kombinasi antara perilaku
pengguna serta kompleksitas lalu lintas. Nilai peluang (P) tersaji dalam Tabel II-2
dibawah. Nilai dampak (D) didapatkan berdasarkan riwayat kecelakaan yang
pernah terjadi dan referensi lain atas kecelakaan yang diakibatkan oleh
penyimpangan serupa. Nilai peluang tersaji dalam Tabel II-3 dibawah. Setelah
diketahui nilai peluang dan nilai dampak maka dapat dihitung nilai resiko
kecelakaan. Semakin tinggi nilai resiko kecelakaan maka semakin besar tingkat
kepentingan penanganan lokasi yang ditinjau.
Tabel II-2 Nilai Peluang (P)
Nilai Definisi Peluang
Kemungkinan kejadian kecelakaan sangat jarang atau terjadi
1
penyimpangan terhadap standar ≤20%
Tabel II-4 Tingkat Kepentingan Penanganan Berdasarkan Nilai Resiko
Nilai Kategori Tingkat Kepentingan Penanganan
Dapat diabaikan, diartikan tingkat defisiensi
1 – 50 Diabaikan keselamatan sangat rendah sehingga tidak
memerlukan monitoring
Respon pasif: monitoring, diartikan tingkat
defisiensi keselamatan rendah, mulai
50 – 100 Rendah
diperlukan pemantauan terhadap titik – titik
yang berpotensi menyebabkan kecelakaan
Respon aktif: diperlukan penanganan yang
100 – 250 Sedang
tidak terjadwal
Respon aktif: diperlukan penanganan yang
250 – 350 Tinggi
terjadwal
Respon aktif: diperlukan audit keselamatan
jalan, selanjutnya penanganan segera dan
>350 Ekstrim
mendesak tidak lebih dari 2 (dua) minggu
setelah laporan AKJ disetujui
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga (2007); Mulyono et al. (2008)
Prasarana Jalan
Berdasarkan UU nomor 38 tahun 2004 pasal 1 ayat 4 disebutkan bahwa jalan
adalah prasarana transportasi darat yang meliputi bagian jalan, termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada
pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, dibawah tanah atau air di atas
permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.
f. Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan
adalah bangunan atau alat yang dimaksudkan untuk keselamatan,
keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas serta kemudahan bagi
pengguna jalan dalam berlalu lintas. Contoh perlengkapan jalan tersebut
antara lain rambu – rambu (termasuk nomor rute jalan), marka jalan, alat
pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan alat pengamanan
pengguna jalan, serta fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan
angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar jalan seperti tempat parkir
dan halte bus.
g. Perlengkapan jalan yang berkaitan tidak langsung dengan pengguna jalan
adalah bangunan yang dimaksudkan untuk keselamatan pengguna jalan,
pengamanan aset jalan, dan informasi pengguna jalan. Contoh
perlengkapan jalan tersebut antara lain patok – patok pengarah, pagar
pengaman, patok kilometer, patok hektometer, patok ruang milik jalan,
batas seksi, pagar jalan fasilitas yang mempunyai sebagai sarana untuk
keperluan memberikan perlengkapan dan pengamanan jalan, dan tempat
istirahat.
h. Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan
wajib meliputi:
- Aturan perintah dan larangan yang dinyatakan dengan APILL (alat
pemberi isyarat lalu lintas), rambu, dan marka
- Petunjuk dan peringatan yang dinyatakan dengan rambu dan tanda –
tanda lain dan/atau
- Fasilitas pejalan kaki di jalan yang telah ditentukan
- Klasifikasi jalan menurut fungsi jalan terbagi atas:
1. Jalan Arteri, jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri – ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata – rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara efisien,
2. Jalan Kolektor, jalan yang melayani angkutan pengumpul atau pembagi
dengan ciri – ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata – rata sedang
dan jumlah jalan masuk dibatasi,
3. Jalan Lokal, jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri – ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata – rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.
2. Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometric dapat
dilihat dalam Tabel dibawah ini.
3. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus
mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut rencana
trase jalan dengan mengabaikan perubahan – perubahan pada bagian
kecil dari segmen rencana jalan tersebut.
1. Jalan Nasional
2. Jalan Propinsi
4. Jalan Desa
5. Jalan Khusus
d. Persyaratan geometrik jalan
e. Konstruksi jalan
f. Konstruksi bangunan pelengkap jalan
g. Perlengkapan jalan
h. Ruang bebas, dan
i. Kelestarian lingkungan hidup
2.4.1.2
Geometrik Jalan
Geometrik jalan dapat diartikan sebagai suatu bangunan jalan raya yang
menggambarkan tentang bentuk atau ukuran jalan raya baik yang menyangkut
penampanng melintang, memanjang, maupun aspek lain yang terkait dengan bentuk
fisik jalan.
Tabel II-7 Lebar lajur jalan dan bahu jalan
Lebar Lajur (m) Lebar Bahu Sebelah Luar (m)
Kelas
Jalan Tanpa Trotoar Ada Trotoar
Disarankan Minimum
Disarankan Minimum Disarankan Minimum
I 3,60 3,50 2,50 2,00 1,00 0,50
II 3,60 3,00 2,50 2,00 0,50 0,25
III A 3,60 2,75 2,50 2,00 0,50 0,25
III B 3,60 2,75 2,50 2,00 0,50 0,25
III C 3,60 *) 1,50 0,50 0,50 0,25
Keterangan: *) = Jalan 1-jalur 2 arah, lebar 4,50 m
Sumber: RSNI T 14 – 2004 Halaman 16
Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang dengan atau tanpa
marka jalan yang memiliki lebar cukup untuk satu kendaraan bermotor sedang
berjalan selain sepeda motor (PP RI No. 43 Tahun 1993). Apabila lajur dibatasi
oleh marka garis membujur terputus, maka lebar lajur diukur dari sisi dalam garis
tengah marka garis tepi jalan sampai dengan garis tengah marka garis pembagi arah
pada jalan 2-lajur 2-arah atau sampai dengan garis tengah garis pembagi lajur pada
jalan berlajur lebih dari satu. Apabila lajur dibatasi oleh marka garis membujur
utuh, maka lebar lajur diukur dari masing – masing tepi sebelah dalam marka
membujur garis utuh (RSNI T 14 – 2004).
Gambar II-2 Tipikal Kemiringan Melintang Bahu Jalan
Sumber: RSNI T 14 – 2004 Halaman 17
Kecepatan rencana pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih
untuk mengikat komponen perencanaan geometrik jalan yang dinyatakan dalam
km/jam. Kecepatan rencana memungkinkan kendaraan – kendaraan bergerak
dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang baik dan cerah, lalu lintas yang
lengang, dan pengaruh hambatan samping jalan yang tidak berarti. Kecepatan
rencana untuk masing – masing fungsi jalan dapat ditetapkan dan dapat dilihat pada
Tabel II-8.
Bangunan pelengkap jalan adalah bangunan yang menjadi bagian dari jalan
yang dibangun sesuai dengan persyaratan teknik untuk mendukung fungsi dan
keamanan konstruksi jalan. Bangunan pelengkap jalan menurut Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor: 19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan
Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan, bangunan pelengkap jalan
memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Jalur Lalu Lintas
Bangunan pelengkap jalan yang berfungsi sebagai jalur lalu lintas adalah
jembatan, lintas atas, lintas bawah, jalan layang dan terowongan (Permen
PU Republik Indonesia No. 19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis
Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan Pasal 15).
2. Pendukung Konstruksi Jalan
Bangunan pelengkap jalan yang berfungsi sebagai pendukung
konstruksi jalan mencakup saluran tepi jalan, gorong – gorong, dan dinding
penahan tanah (Permen PU Republik Indonesia No. 19/PRT/M/2011
tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan
Pasal 21).
3. Fasilitas Lalu Lintas dan Fasilitas Pendukung Pengguna Jalan
Bangunan pelengkap jalan yang berfungsi sebagai fasilitas lalu lintas
dan fasilitas pendukung pengguna jalan meliputi jembatan penyebrangan
pejalan kaki, terowongan penyebrangan pejalan kaki, pulau jalan, trotoar,
tempat parkir di badan jalan, dan teluk bus yang dilengkapi dengan halte
(Permen PU Republik Indonesia No. 19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan
Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan Pasal 25).
Median jalan merupakan suatu bagian tengah badan jalan yang secara fisik
memisahkan arus lalu lintas yang berlawanan arah, median jalan (pemisah tengah)
dapat berbentuk median yang ditinggikan (raised), median yang diturunkan
(depressed), atau median rata (flush). Median jalan direncanakan dengan tujuan
untuk meningkatkan keselamatan, kelancaran, dan kenyamanan bagi pemakai jalan
maupun lingkungan. Median jalan berfungsi sebagai berikut:
3. Lapak tunggu bagi penyebrang jalan;
4. Penempatan fasilitas untuk mengurangi silau dari sinar lampu
kendaraan dari arah berlawanan;
5. Penempatan fasilitas pendukung jalan;
6. Cadangan lajur (jika cukup luas);
7. Tempat prasarana kerja sementara;
8. Dimanfaatkan sebagai jalur hijau.
Kriteria median jalan dapat digunakan jika:
1. Jalan bertipe minimal empat lajur dua arah (4-2/UD)
Median jalan memiliki tiga tipe yang bisa digunakan, yaitu:
1. Median jalan datar, yaitu median yang dibatasi oleh dua buah marka
membujur garis utuh, bila jarak dua buah marka membujur garis utuh
bisa dikategorikan sebagai median jika jarak tersebut > 18 cm,
didalamnya dilengkapi marka serong. Ketentuan penggunaan marka
sebagai median jalan mengikuti pedoman perencanaan marka yang
berlaku. Contoh median membujur garis utuh dapat dilihat pada Gambar
II-4.
2. Median yang ditinggikan, yaitu median yang dibuat lebih tinggi dari
permukaan jalan. Pada sisi luar median harus dilengkapi dengan kereb.
Median yang ditinggikan harus mengikuti ketentuan sebagai berikut:
Gambar II-5 Median yang Ditinggikan
Sumber: RSNI T-17-2004-B Perencanaan Median Jalan Halaman 6
Gambar II-7 Penampang Melintang Kereb
Sumber: RSNI T-17-2004-B Perencanaan Median Jalan Halaman 6
3. Median yang diturunkan, yaitu median yang dibuat lebih rendah dari
permukaan jalur lalu lintas. Pemasangan median ini mengikuti ketentuan
sebagai berikut:
Lebar median dihitung dari antara kedua marka membujur garis utuh
termasuk lebar marka tersebut. Minimum lebar median ditetapkan berdasarkan ada
tidaknya bukaan yang direncanakan pada median tersebut, sepert terlihat pada
Tabel
II-9 dan Tabel II-10.
Tabel II-9 Lebar Minimum Untuk Median Tanpa Bukaan (Tipe Ditinggikan)
Tabel II-10 Lebar Minimum Untuk Median Dengan Bukaan (Tipe Ditinggikan/Diturunkan)
2.4.2.2 Trotoar
Berdasarkan Petunjuk Perencanaan Trotoar Direktorat Pembinaan Jalan
Kota No.007/T/BNKT/1990 trotoar ditempatkan pada sisi luar bahu jalan atau sisi
luar jalur lalu lintas (bila telah tersedia jalur parkir). Trotoar hendaknya dibuat
sejajar
dengan jalan, akan tetapi trotoar dapat tidak sejajar dengan jalan bila
keadaan topografi atau keadaan setempat yang tidak memungkinkan. Trotoar
sedapat mungkin ditempatkan pada sisi dalam saluran drainase terbuka atau diatas
saluran drainase yang telah ditutup dengan plat beton yang memenuhi syarat. Suatu
ruas jalan dianggap perlu dilengkapi dengan trotoar apabila disepanjang jalan
tersebut terdapat penggunaan lahan yang mempunyai potensi menimbulkan pejalan
kaki. Penggunaan lahan tersebut antara lain perumahan, sekolah, pusat
perbelanjaan, puat perdagangan, pusat perkantoran, pusat hiburan, pusat kegiatan
social, daerah industri, terminal bus, dan lain – lain.
Berdasarkan Petunjuk Perencanaan Trotoar Direktorat Pembinaan Jalan
Kota No.007/T/BNKT/1990 menyebutkan persyaratan ruang bebas trotoar. Tinggi
bebas trotoar tidak kurang dari 2,5 meter dan kedalaman bebas trotoar tidak kurang
dari 0,3 meter. Perencanaan pemasangan utilitas selain harus memenuhi ketentuan
ruang bebas trotoar, harus juga memenuhi ketentuan – ketentuan dalam buku
petunjuk pelaksanaan pemasangan utilitas. Ruang bebas trotoar dapat dilihat pada
Gambar II-9 berikut.
Lebar trotoar disarankan tidak kurang dari 2 meter. Pada keadaan tertentu
lebar trotoar dapat direncanakan sesuai dengan batasan lebar minimum menurut
penggunaan lahan sekitarnya, seperti terlihat pada Tabel II-11.
Tabel II-11 Lebar Minimum Trotoar Berdasarkan Tata Guna Lahan
. Rambu – rambu terdiri dari empat jenis yaitu rambu peringatan, rambu
larangan, rambu perintah, dan rambu petunjuk. Rambu peringatan digunakan untuk
menyatakan peringatan bahaya atau tempat berbahaya pada jalan di depan pemakai
jalan. Rambu larangan digunakan untuk menyatakan perbuatan yang dilarang
dilakukan oleh pemakai jalan. Rambu perintah digunakan untuk menyatakan
perintah yang wajib dilakukan oleh pemakai jalan. Rambu petunjuk digunakan
untuk menyatakan petunjuk mengenai jurusan, jalan, situasi, kota, tempat,
pengaturan, fasilitas, dan lain – lain bagi pemakai jalan. Ketentuan dari setiap jenis
rambu dapat dilihat pada Tabel II-12.
Tabel II-12 Ketentuan dan Jenis Rambu Lalu Lintas
Jenis Rambu Ciri Keterangan Ketentuan Contoh Gambar
Peringatan
Warna dasar Pemberi VR X (m)
kuning; peringatan >100 180
lambang / kemungkinan 81- 100
tulisan hitam ada bahaya di 100
depan pengguna 61-80 80
jalan <60 50
Larangan Warna dasar Menyatakan Penempatan
putih dan perbuatan yang dilakukan sedekat
merah; dilarang mungkin dengan
tulisan / dilakukan oleh daerah titik
lambang pengguna jalan larangan secara
hitam berulang setiap
15m
Perintah Warna dasar Menyatakan Ditempatkan
biru; tulisan perintah yang sedekat mungkin
warna putih wajib dilakukan dengan titik
oleh pengguna kewajiban dimulai
jalan
Petunjuk Warna dasar Menyatakan Ditempatkan
biru atau tempat fasilitas sedekat mungkin
hijau; tulisan atau penunjuk pada lokasi yang
/ lambang arah jurusan ditunjukkan
warna putih maksimal 50 m;
ditempatkan
sebelum lokasi
yang ditunjuk;
ditempatkan pada
awal petunjuk
tersebut dimulai
Sumber: Keputusan Menteri Nomor 61 Tahun 1993 tentang Rambu Lalu Lintas
Tabel II-13 Posisi Rambu
Uraian Contoh
Rambu lalu lintas ditempatkan pada sisi
jalan
sebelah kiri menurut arah lalu lintas,
Tabel II-14 Dimensi Daun Rambu
Jenis dan Ketentuan Rambu Gambar
Rambu Peringatan
Ukuran (mm) A B C D E R
Sangat kecil 450 9 16 265 75 37
Kecil 600 9 16 353 100 37
Sedang 750 12 19 442 120 47
Rambu Larangan
Ukuran (mm) A B C
Rambu Perintah
Ukuran (mm) A B C D E
Rambu Petunjuk
Ukuran (mm) A B C D R
2.4.3.2 Marka Jalan
Marka jalan berfungsi untuk mengatur lalu lintas atau memperingatkan atau
menuntun pemakai jalan dalam berlalu lintas di jalan. Marka jalan terdiri dari marka
membujur, marka melintang, marka serong, marka lambang, dan marka lainnya.
Marka membujur berupa garis utuh, garis putus-putus, garis ganda yang terdiri dari
garis utuh dan garis putus-putus, dan garis ganda yang terdiri dari dua garis utuh.
Marka
melintang berupa garis utuh dan garis putus-putus. Marka melintang
berfungsi untuk menyatakan batas henti kendaraan. Marka serong berupa garis utuh
digunakan untuk menyatakan daerah yang tidak boleh dimasuki kendaraan dan
pemberitahuan awal sudah mendekati pulau lalu lintas. Marka lambang dapat
berupa panah, segitiga atau tulisan, dipergunakan untuk mengulangi maksud
rambu-rambu atau untuk memberi tahu pemakai jalan yang tidak dapat dinyatakan
dengan rambu-rambu.
lebar garis utuh (W) pada marka jalan ini minimal 0,10
meter maksimal 0.15 meter sebagaimana tercantum
dalam Gambar II-10.
Gambar II-10 Penempatan Marka Garis Tepi Perkerasan Jalan Tampak Atas
Sumber: Pd. T-12-2004-B halaman 4
atau keadaan tertentu dapat digunakan 2 (dua) garis utuh
yang berdampingan.
b) Marka Garis Marginal
Marka garis utuh membujur yang ditempatkan pada
bagian tepi perkerasan yang dilengkapi dengan kerb.
Marka jalan ini berfungsi sebagai batas bingkai jalan
bagian tepi perkerasan.
Ukuran: lebar garis utuh (W) pada marka jalan ini
minimal 0,10 meter maksimal 0,15 meter.
Penempatan marka pada perkerasan jalan dibagian tepi
dalam maupun luar perkerasan sebelum kereb seperti
yang ditunjukkan pada Gambar II-12 dan Gambar II-13.
c) Marka Garis Pendekat
Marka garis utuh membujur yang ada sebelum adanya
halangan atau pulau jalan
Marka jalan ini berfungsi sebagai tanda bahwa arus lalu
lintas/kendaraan mendekati halangan atau pulau jalan
Apabila kecepatan lalu-lintas 60 km per jam atau lebih,
panjang garis putus-putus (a) 5,0 meter dan jarak celah
garis putus-putus (b) 8,0 meter sebagaimana dalam
Gambar II-18.
Ukuran: lebar garis minimum 0,10 meter dan maksimum
0,15 meter, panjang garis (a) 0,50 meter dengan jarak
celah (b) sama dengan panjang garis (a)
c. Marka Garis Peringatan
Marka garis putus-putus membujur ditempatkan
sebelum marka garis pendekat atau sebelum setelah
3) Marka untuk menyatakan tempat penyeberangan pejalan
kaki sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i berupa:
garis utuh yang membujur tersusun melintang jalur lalu
lintas (zebra cross) tanpa alat pemberi isyarat lalu lintas
untuk menyeberang (pelican crossing); dan
b. Marka Melintang
1) Marka Melintang Garis Utuh
Marka ini berupa garis utuh melintang pada perkerasan jalan
di persimpangan atau daerah penyeberangan pejalan kaki.
Marka ini berfungsi sebagai batas berhenti kendaran yang
Marka ini berfungsi sebagai batas berhenti kendaraan
sewaktu mendahulukan kendaraan lain apabila tidak
dilengkapi dengan rambu larangan.
Ukuran: tebal garis minimum 0,30, panjang garis (a) 0,60
meter jarak celah (b) 0,30 meter.
c. Marka Serong
1) Marka serong dengan bingkai atau Chevron
Berupa garis serong utuh dengan bingkai garis utuh yang
menyatakan bahwa kendaraan tidak diperbolehkan
menginjak bagian jalan tersebut.
d. Marka Lambang
Berdasarkan Pedoman Marka Jalan No. Pd.T-12-2004-B tahun
2004 tentang Marka Jalan menerangkan bahwa marka lambang
dipergunakan untuk mengulangi maksud rambu-rambu lalu lintas atau
untuk memberitahu pemakai jalan yang tidak dapat dinyatakan dengan
rambu lalu lintas jalan. Jenis-jenis marka lambang Berdasarkan
Pedoman Marka Jalan No. Pd.T-12-2004-B diuraikan sebagai berikut:
1) Marka Panah
Marka panah berbentuk ujung anak panah dengan 1 atau 2
penunjuk arah.
Marka panah berfungsi sebagai pengatur atau pengarah jalur
bagi lalu lintas.
Ukuran: Panjang minimum 5 meter untuk kecepatan rencana
kurang dari 60 km.
Panjang minimum 7,50 meter untuk kecepatan rencana lebih
dari 60 km, detail dimensi marka panah pada kecepatan ini
sama dengan 1,50 kali dimensi marka panah untuk kecepatan
dibawah 60 km/jam, yang ditunjukkan pada Gambar II-25.
Jarak panah minimum 40,00 meter maksimum 80,00 meter,
dan jumlah minimum marka panah 2 buah.
Gambar II-25 Detail Ukuran Marka Panah Untuk Kecepatan < 60 km.jam
Sumber: Pd. T-12-2004-B halaman 13
2.4.3.3 Lampu Penerangan Jalan Umum
Penerangan jalan umum merupakan bagian dari bangunan pelengkap jalan
yang berfungsi menghasilkan kekontrasan antara obyek dan permukaan jalan,
sebagai alat bantu navigasi pengguna jalan, meningkatkan keselamatan dan
kenyamanan pengguna jalan (khususnya pada malam hari), mendukung keamanan
lingkungan, dan memberikan keindahan lingkungan jalan (SNI 7391 : 2008
Halaman
4). Dasar perencanaan lampu penerangan jalan terkait dengan hal – hal
berikut ini (SNI 7391 : 2008 Halaman 4) :
1. Volume lalu lintas, baik kendaraan maupun lingkungan yang
bersinggungan seperti pejalan kaki, pengayuh sepeda, dll;
2. Tipikal potongan melintang jalan, situasi (layout) jalan dan
persimpangan jalan;
3. Geometrik jalan;
4. Tekstur perkerasan dan jenis perkerasan yang mempengaruhi pantulan
cahaya lampu penerangan;
5. Pemilihan jenis dan kualitas sumber cahaya atau lampu;
6. Tingkat kebutuhan, biaya operasi, biaya pemeliharaan, dan lain lain;
7. Rencana jangka panjang pengembangan jalan dan pengembangan
daerah sekitarnya; dan
8. Data kecelakaan dan kerawanan di lokasi.
Perencanaan jenis elemen lampu disesuaikan dengan spesifikasi (SNI 7391-
2008 Halaman 5). Pembagian terdiri dari berbagai jenis lampu seperti pada Tabel
II-15.
Tabel II-15 Jenis Lampu Penerangan Menurut Karakteristik dan Penggunaannya
Efisiensi Umur Pengaruh
rata-rata rencana Daya terhadap
Jenis Lampu Keterangan
(lumen / rata-rata (watt) warna
watt) (jam) objek
Penempatan lampu penerangan jalan harus direncanakan sehingga dapat
memberikan kemerataan pencahayaan yang sesuai, keselamatan dan keamanan bagi
pengguna jalan, pencahayaan yang lebih tinggi di area tikungan atau persimpangan,
dibanding
pada bagian jalan yang lurus dan sebagai arah dan petunjuk yang jelas
bagi pengguna jalan dan pejalan kaki. Sistem penempatan penerangan lampu jalan
yang disarankan sesuai kebutuhan seperti pada Tabel II-16 berdasarkan SNI 7391
– 2008 halaman 11 dibawah ini.
Tabel II-16 Sistem Penempatan Penerangan Jalan Umum (PJU)
Sistem Penerangan Lampu yang
Jenis Jalan
Digunakan
tiang. Gambaran umum perencanaan dan penempatan lampu penerangan jalan
seperti pada Gambar II-26.
Tabel II-17 Besaran – Besaran Kriteria Penempatan Penerangan Jalan Umum (PJU)
Uraian Besaran
1. Tinggi Tiang Lampu (H)
- Lampu Standar 10 – 15 m
Tinggi tiang rata – rata digunakan 13 m
- Lampu Menara 20 – 50 m
Tinggi tiang rata – rata digunakan 30 m
2. Jarak Interval Tiang Lampu (E)
- Jalan Arteri 3,0 H – 3,5 H
- Jalan Kolektor 3,5 H – 4,0 H
- Jalan Lokal 5,0 H – 6,0 H
- Minimum jarak interval tiang 30 m
3. Jarak Tiang Lampu ke Tepi Perkerasan (S1) Minimal 0,7 m
4. Jarak dari Tepi Perkerasan ke Titik Penerangan Minimal 12 L
Terjauh
5. Sudut Inklinasi (i) 20º - 30º
Sumber: Spesifikasi No. 012/S/BNKT/1991 Halaman 10
Batasan penempatan lampu penerangan jalan tergantung dari tipe lampu,
tinggi lampu, lebar jalan dan tingkat kemerataan pencahayaan dari lampu yang akan
digunakan. Jarak antar lampu penerangan secara umum dapat dilihat pada Tabel II-
18. Rumah lampu (lantern) tipe B mempunyai sorotan cahaya lebih ringan/ kecil,
terutama yang langsung ke jalan, yaitu jenis lampu gas merkuri atau sodium
bertekanan tinggi.
Tabel II-18 Jarak antar Tiang Lampu Penerangan (e) Rumah Lampu Tipe B
Tinggi Lebar Jalan (m) Tingkat
Jenis Lampu
Lampu (m) 4 5 6 7 8 9 10 11 Pencahayaan
50W SON atau 80W 4 31 30 29 28 26 - - -
MBF/U
5 33 32 32 31 30 29 28 27
3,5 LUX
70W SON atau 125W
6 48 47 46 44 43 41 39 37
MBF/U
70W
SON atau 125W
6 34 33 32 31 30 28 26 24
MBF/U 6,0 LUX
100W SON 6 48 47 45 42 40 38 36 34
beton. Pagar pegaman dapat berupa suatu unit konstruksi yang terdiri dari
lempengan dan/atau batang besi, tiang penyangga, dan pengikatnya yang dipasang
pada tepi jalan. Pagar pengaman dipasang pada lokasi – lokasi yang memiliki
karakteristik
sebagai berikut:
a. Sisi jalan yang kondisi geologinya sangat membahayakan
b. Sisi jalan yang berdampingan dengan bagian jalan lainnya
c. Sisi jalan yang membahayakan karena kondisi geometriknya
d. Sisi jalan yang berdekatan dengan bangunan – bangunan lainnya
Pembuatan pagar pengaman dapat menggunakan pipa dan/atau lempengan
besi. Pipa dan lempengan besi masing – masing berdiameter 10 cm dan lebar 31
cm. Sifat mekanis dari bahan mempunyai tegangan leleh tidak kurang dari 35
kg/mm², tegangan tarik tidak kurang dari 49 kg/mm², dan pemanjangan kurang dari
1,2% panjang total. Tinggi bagian atas pagar pengaman dari permukaan jalan
adalah 65 cm. Bentuk dan ukuran pagar pengaman dapat dilihat pada Gambar II-27
dan Gambar II-28.
Gambar II-28 Fasilitas Pagar Pengaman
Sumber:
Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan
Pejalan kaki di Kawasan Perkotaan