Psikologi Agama
Psikologi Agama
NAMA : ASMAWATI
NPM : 171601096.....
KATA PENGANTAR
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca,untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi dari makalah ini agar menjadi lebih baik lagi. Karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami,kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini,oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang dapat membangunkan pola pikir pembaca untuk kesempurnaan
makalah ini.
2
DAFTAR ISI
A. Religiusitas ..............................................................................................49
B. Dimensi-dimensi dalam religiositas .........................................................51
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi religiositas .........................................52
D. Fungsi Religiusitas Bagi Manusia .............................................................54
E. Alat Ukur Religius ....................................................................................55
F. Agama dan Sikap Sosial ...........................................................................57
BAB I.
PENDAHULUAN
1
Amsal Bahtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 253.
2
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 95.
6
3
Rahmat Raharjo, “Pandangan Sigmund Freud Tentang Agama”. Dialogia Jurnal Studi
Islam dan Sosial, Vol. 4 No. 1 (STAIN Ponorogo, 2003), 137.
7
4
Ibid., 97.
5
Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf Wacana Manusia Spiritual Dan Pengetahuan
(Jakarta: LP3ES, 2014), 15.
8
BAB II
6
Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 62.
7
Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-alliran dan Tokoh Psikologi
(Jakarta: Bulan Bintangh),h 177.
9
AGAMA
A. Pengertian Agama
2. Agama ialah sikap manusia yang percaya adanya Tuhan, dewa, dan
manusia yang percaya tersebut menyembah serta berbhakti kepada-
Nya serta melaksanakan berbagai macam atau bentuk kewajiban yang
berkaitan dengan kepercayaan tersebut.
10
3. Agama ialah percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-
hukum Nya. Hukum-hukum Tuhan tersebut diwahyukan kepada
manusia melalui utusan-utusan-Nya.
5. Dan secara moral (Ethics): menunjukkan tata nilai dan norma yang
baik dan buruk serta mendorong manusia berprilaku baik.
a. Berfungsi Edukatif
b. Berfungsi penyelamat
g. Berfungsi Transformatif
8
Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Religion, Ideology, and Development, vol. I
(Cairo: Dar Kebaa Bookshop, 2000). h. 473-474.
15
yang nyata dan konkret. Berdasarkan fakta dan kenyataan hidup manusia
seperti digam- barkan di atas, apakah manusia masih membutuhkan
agama? Manusia sebagai makhluk berdimensi jasmaniah dan ruhaniah
memiliki berbagai potensi, baik berupa potensi akal, maupun berupa
potensi fisik-inderawi yang begitu lengkap sebagai. Kedua potensi tersebut
merupakan sarana utama bagi manusia untuk menyelesaikan berbagai
persoalan hidupnya yang terkait dengan hal-hal yang bersifat duniawi.
Potensi seperti itu sangat berguna dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup manusia yang bersifat fisik-duniawi. Sementara untuk memecahkan
berbagai persoalan yang berkaitan dengan aspek ruhaniahnya, kemampuan
fisik dan kecerdasan akal manusia bagai- mana pun juga tidak mungkin
dapat menyelesaikannya. Di sinilah agama memainkan peran penting dan
utama dalam memenuhi kebutuhan rohaniah manusia, serta memberikan
solusi yang baik bagi persoalan-persoalan yang sedang dihadapinya.
Dalam rangka menjawab persoalan-persoalan hidup yang mereka hadapi
sehari-hari, manusia tampaknya memerlukan tiga hal pokok dan vital,
yaitu: sains dan teknologi (sainstek), agama, dan seni. Ketiga hal ini
merupakan prasyarat bagi manusia untuk men-capai kesempurnaan dalam
hidup mereka. Kebutuhan manusia terha-dap ketiga hal tersebut dapat
diilustrasikan sebagai berikut: dengan ilmu, hidup menjadi mudah; dengan
agama, hidup menjadi terarah dan damai; dan dengan seni, hidup menjadi
indah dan nyaman. Prof. Dr. H. Mukti Ali dalam bukunya yang berjudul
Seni, Ilmu, dan Agama, menggambarkan fungsi ketiga hal yang sangat
asasi ini dengan ungkapan, “Dengan seni, hidup menjadi halus dan
syahdu; dengan ilmu, hidup menjadi maju dan enak; dan dengan agama,
hidup menjadi bermakna dan bahagia.” Ketiga hal ini, paling tidak yang
terpenting di antara hal-hal lainnya, merupakan kemestian dalam hidup
manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan, baik secara individual
maupun kolektif dan kelompok. Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Seni
tanpa ilmu akan lunglai, seni tanpa agama tidak mempunyai arah. Sedang
ilmu pengetahuan tanpa seni akan mela- hirkan kekasaran dan tanpa
16
9
Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
(Cet.II; Bandung: Mizan, 1996), h.375-377.
17
pemikir Muslim dari Iran di abad ke-20, menjelaskan sebagian fungsi dan
peranan agama dalam kehidupan yang tidak mampu diperankan oleh ilmu
dan teknologi dalam ung- kapan yang indah berikut ini. Ilmu mempercepat
anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju. Ilmu
menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan
manusia dengan jati dirinya. Ilmu hiasan lahir, dan agama hiasan batin.
Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama memberi
harapan dan dorongan bagi jiwa. Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai
dengan “bagaimana”, dan agama menjawab pertanyaan yang dimulai
dengan “mengapa”. Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya,
sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.
Manusia terdiri atas unsur jasmani, akal, dan jiwa atau roh. Akal
atau rasio manusia memiliki keterbatasan dalam mengetahui semua
kenyataan (reality). Oleh karena itu, tidak semua persoalan dapat dijawab
secara tuntas dan memuaskan lewat penggunaan akal. Keindahan sebuah
karya seni tidak dapat dinilai dan diapresiasi oleh akal semata-mata,
karena yang lebih berperan dalam hal ini adalah jiwa estetik manusia.
Dengan demikian, adalah keliru apabila seseorang hanya mengandalkan
akal semata-mata dalam menyelesaikan semua persoalan dalam hidupnya.
Dalam hubungannya dengan upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, agama sesungguhnya tetap memiliki peran yang sangat penting,
terutama jika manusia tetap ingin menjadi manusia. Sebagai contoh, dalam
eksperimen di bidang bio-teknologi, manusia sudah sampai kepada batas
kemampuan ilmiah dalam mela-kukan rekayasa genetika. Kemajuan di
bidang ini telah memung-kinkan ilmuan untuk menduplikasi gen makhluk
hidup dengan kua-litas yang lebih baik daripada gen aslinya.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah keberhasilan dalam eksperimen
di bidang ini akan dilanjutkan tanpa kendali sehingga kelak akan
menghasilkan jenis makhluk hidup, termasuk manusia, yang dapat menjadi
tuan bagi penciptanya sendiri? Apakah ini baik atau buruk bagi
18
BAB III
10
Jalaluddin. Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007) .h. 10
22
11
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama. (Bandung: Pustaka Setia, 2008). h.11
23
12
Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudianto. Psikologi Agama. Cet-1. (Jakarta:
UIN Jakarta Press,2007) h.1
25
orang mukallaf baik hubungannya dengan Allah (habl min Allah) maupun
hubungannya dengan sesama manusia (habl min al-Nas). Tataran syariat
berarti kualitas amalan lahir formal yang ditetapkan dalam ajaran agama
melalui al-Qur‘an dan Sunnah. Amalan tersebut dijadikan beban (taklif)
yang harus dilaksanakan, sehingga amalan lebih didorong sebagai
penggugur kewajiban. Dalam tataran ini, pengamalan agama bersifat top
dawn yakni bukan sebagai kebutuhan tapi sebagai tuntutan dari atas
(syari‘) ke bawah (mukallaf). Tuntutan itu dapat berupa tuntutan untuk
dilaksanakan atau tuntutan untuk ditinggalkan. Seseorang dalam dataran
ini, pengamalan agamanya karena didorong oleh kebutuhan berhubungan
dengan Allah, bukan sematamata karena mentaat perintah Tuhan. Hal ini
sesuai dengan pendapat al- Qusyairi:
a. Teknik Nomotatik
Pendekatan ini antara lain digunakan untuk mempelajari
perbedaanperbedaan individu. Sementara dalam Psikologi
Agama, teknik nomotik ini antara lain untuk melihat sejauh
mana hubungan sifat dasar manusia dengan sikap keagamaan.
b. Teknik Analisis Nilai (value analysis)
Teknik ini digunakan dalam kaitannya dengan statistik. Data-
data yang telah terkumpul diklasifikasikan menurut teknik
statistik dan dianalisis untuk dijadikan penilaian terhadap
individu yang diteliti.
c. Teknik Ideography
Teknik ini hampir sama dengan teknik nomotatik, yaitu
pendekatan guna memahami sifat dasar manusia. Bedanya,
teknik ini lebih menekankan antara sifat- sifat dasar manusia
dengan keadaan tertentu dan aspek-aspek kepribadian yang
menjadi ciri khas masing- masing individu dalam rangka
memahami seseorang.
d. Teknik Penilaian Sikap (evaluation attitudes technique)
Teknik ini digunakan dalam penelitian biografi, tulisan atau
dokumen yang ada hubungannya dengan individu yang akan
diteliti. Data yang dikumpulkan mengenai sikap beragama
individu yang diteliti
2. Angket
Metode angket digunakan untuk meneliti proses jiwa beragama
pada orang yang masih hidup dengan menggunakan angket sebagai
instrumen pengumpulan data. Metode ini misalnya, dapat digunakan
untuk mengetahui prosentase keyakinan orang pada umumnya tentang
sikap beragama, ketekunan beragama, dan sebagainya. Metode ini
dapat dilakukan dengan menggunakan teknik:
a. Pengumpulan Pendapat Masyarakat (public opinion polls)
29
BAB IV
15
Nurmadiah, Manusia dan Agama,Vol. 1, No. 1 2019.Hal. 30.
34
(Lamongan,Indonesia.2017).Hal.133
36
satu dengan pemeluk yang lain, disebabkan sifat dinamis yang dimiliki
oleh manusia, disamping keragaman karakter dan kepribadian sebagai
pihak pemeluk.17
17
Robertus Suraji, Membangun Teologi Tubuh Dari Bawah Belajar Dari Pengalaman
Olah Tubuh Tari Lengger,Vol.2.No.2(Jawa Barat:2018).Hal.127.
37
(2017).Hal. 71
38
BAB V
19
Marsika Manshur,”Agama dan Pengalaman Keberagamaan” , Vol. 4 No. 2
(Lamongan,Indonesia.2017).Hal.134
39
BAB VI
Syaiful Hamali, Terapi Agama Terhadap Problematika Psikis Manusia, hal:1-3, jurnal Syaiful
21
Hamali
22
Armin Tedy, Pemikiran Keislaman, Dan Tafsir Hadits Tuhan Dan Manusia, vol:2
(2017) El-fakar jurnal Armin Tedy
41
23
Punadji Setyosari, Teori belajar dan pembelajaran, ( Yogyakarta ; Pustaka Setia .
2017).h.88
24
Ahmad Izzan, Metodologi Pembelajaran, ( Bandung ; Pustaka Nasional, 2000).h.59
25
Ibid.h.89
42
26
Ibid.h.60
43
27
Evi Rufaedah, Teori Belajar Behaviorisme Menurut Perspektif Islami,( jurnal
pendidikan dan studi islam, Vol.4 No.1 maret 2018). h.17
45
2. Agama.
a) Instrumental.
b) Eksperesif.
Agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan
praktik yang berhubungan dengan hal yang suci.29
29
https://nia.wikipedia.org
30
Ratna sukmayani, Ilmu Pengetahuan Sosial, ( Bandung ; Sinar baru, 2019). h.6
47
BAB VII
32
https://nia.wikipedia.org
33
Ibid.h.19
50
MENGUKUR RELIGIUSITAS
A. Religiusitas
Menurut Gazalba religiusitas berasal dari kata religi dalam bahasa
Latin “religio” yang akar katanya adalah religure yang berarti mengikat.
Dengan demikian, mengandung makna bahwa religi atau agama pada
umumnya memiliki aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya. Kesemuanya itu berfungsi
mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan
Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitarnya.
Religiusitas juga berasal dari bahasa Inggris “religion” yang berarti
agama. Kemudian menjadi kata sifat “religious” yang berarti agamis atau
saleh dan selanjutnya menjadi kata keadaan “religiosity” yang berarti
keberagamaan atau kesalehan. Religi yang berakar dari kata religare
berarti mengikat. Wundt seorang ahli psikologi, pernah memberikan
penjelasan tentang istilah ini, yaitu sesuatu yang dirasakan sangat dalam,
yang bersentuhan dengan keinginan seseorang, membutuhkan ketaatan dan
memberikan imbalan atau mengikat seseorang dalam suatu masyarakat.34
Religiositas menurut istilah adalah suatu kesatuan unsur-unsur
yang komprehensif yang menjadikan seseorang disebut sebagai orang
beragama (being religious) dan bukan sekadar mengaku mempunyai
agama (having religion). Religiusitas meliputi pengetahuan agama,
keyakinan agama, pengamalan ritual agama, pengalaman agama, perilaku
(moralitas) agama dan sikap sosial keagamaan.Religiositas adalah suatu
sistem yang komplek dari kepercayaan dan keyakinan dan sikap-sikap dan
ucapan –ucapan yang menghubungkan individu dengan satu keberadaan
atau kepada sesuatu yang bersifat ketuhanan. Dalam islam, religiositas
pada garis besarnya tercermin dalam pengamalan aqidah, syariah, dan
akhlak dengan ungkapan lain iman, islam, dan ihsan. Pengalaman agama
adalah unsur perasaan dalam kesadaran agama yaitu perasaan yang
34
Djamaludin Ancok, Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal. 77
51
35
Jalaluddin. psikologi agama. (Jakarta : PT Raja grapindo persada, 2005), hal.15
52
36
Friedman, kepribadian teori klasik dan modern,(Jakarta: erlangga,2006), hal. 34
37
Baharruddin dan Mulyono, psikologi agama dalam persfektif islam,(malang : UIN Malang
Press,2008), hal.35
53
38
Hurlock, psikologi perkembangan :suatu perkembangan :suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan,(Jakarta :erlangga,1980), hal.56
54
39
Noer Rahmah, Pengantar Psikologi agama (Yogyakarta: Teras 2013), hal. 61
56
40
Jalaluddin. psikologi agama. (Jakarta : PT Raja grapindo persada, 2005), hal. 103
57
41
Friedman, kepribadian teori klasik dan modern,(Jakarta: erlangga,2006), hal. 93
58
a. Interaksi Sosial
b. Solidaritas Sosial
42
Sunyoto Usman, Sosiologi; Sejarah, Teori dan Metodologi,(jakarta : PT.raja grapindo
persada,2013), hal. 53.
59
43
Sunyoto Usman, Sosiologi; Sejarah, Teori dan Metodologi, (jakarta : PT.raja grapindo
persada,2013), hal. 57-58.
60
BAB VIII
45
Raymond F. Paloutzian, Invitation to Psychology of Religion (Boston: Allyn & Bacon,
1996), 206-208.
63
menekankan pada esensi. Sikap yang tidak mau terjebak pada simbol
sebenarnya merupakan ciri keagamaan yang mulai matang karena
mahasiswa mulai berani melakukan self critic sekaligus tetap loyal pada
agamanya sendiri.
Hal ini seperti yang disebutkan oleh Gordon Allport bahwa salah
ciri keberagamaan yang matang atau dewasa adalah well-differentiated
and self-critical.46 Selain tidak langsung percaya pada ‘bungkus
kesalehan’, sikap kedua yang penting bahwa mahasiswa berkecenderungan
liberal lebih bersikap toleran kepada umat yang berbeda mazhab, aliran,
dan agama. Bagi mereka, selama agama/aliran kepercayaan lain
mengajarkan kebaikan dan tidak merugikan Islam, maka sudah
sepantasnya dihormati. Kecenderungan sikap mahasiswa liberal ternyata
mengarah pada sikap inklusif bahkan pluralis dalam beragama. Sikap
inklusif ditunjukkan dengan keberanian mereka menyatakan keterbukaan
dalam agama, yaitu mereka lebih melihat persamaan antar agama daripada
memperuncing perbedaan. Dalam paradigma Islam inklusif, keterbukaan
untuk berdialog antar iman dilandasi semangat menemukan kalimatun
sawa yang disinyalir dalam Q.S. Ali ‘Imran (3): 64. Hal itu juga dilandasi
keyakinan bahwa setiap umat pernah memiliki nabinya sendiri-sendiri dan
masing-masing di antaranya membawa ajaran yang sama yaitu
mengesakan Tuhan. Ketiga, mereka memilih bersikap self objectification
ketika melihat ketertinggalan Islam dibanding umat lain. Hal penting yang
ditemukan kajian ini adalah sikap mahasiswa berkecenderungan liberal
yang tidak lantas menyalahkan pihak lain ketika melihat ketertinggalan
Islam. Mereka memilih melihat faktor internal yang menyebabkan Islam
mundur.
Hal tersebut akan terlihat lebih kontras lagi jika dibandingkan
dengan sikap sebagian umat muslim radikal yang dengan lantang
menuding orang non-muslim sebagai kafir dan ungkapan-ungkapan tak
46
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Pluralisme Nurcholosh Madjid (Jakarta: PSIK
Paramadina, 2007).
64
47
Raymond F. Paloutzian, Invitation to Psychology of Religion (Boston: Allyn & Bacon,
1996), 225.
68
kejiwaan dan dasar-dasar ber- Tuhan. Isi, warna, dan corak keagamaan
anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap dan tingkah laku
keagamaan orang tuanya.
Menurut Raharjo (2012: 27- 28), perkembangan keagamaan pada
anak adalah proses yang dilewati oleh seseorang untuk mengenal
tuhannya. Sejak manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun
psikis, walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki
kemampuan bawaan yang bersifat laten yakni fitrah keberagamaan.
Potensi ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dari orang
yang lebih dewasa dan pemeliharaan yang mantap yang lebih pada usia
dini .
Menurut Glock dan Stark dalam (Ancok, 2005), ada 5 dimensi
religiusitas (keagamaan) yaitu :
a. Dimensi keyakinan / ideologik
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang
religious berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan
mengakui kebenaran doktrin tersebut. Misalnya keyakinan akan
adanya malaikat, surga dan neraka.
b. Dimensi praktik agama / peribadatan
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus
formal keagamaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk
menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu :
1) Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan
formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para
pemeluk melaksanakannya.
2) Ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan
khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai
seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal
yang relatif spontan, informal dan khas pribadi.
c. Dimensi pengalaman
72
Menurut Slameto ( 2002: 180), minat adalah suatu rasa lebih suka
dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang
menyuruh. Menurut Singgih D. Gunarsa (2004 : 131), mengatakan bahwa
munculnya minat yaitu dalam bentuk perhatian dan keinginan. Sedangkan
menurut Bimo Walgito(1982: 38), minat diartikan sebagai perhatian,
keinginan, rasa suka dan rasa tertarik pada suatu objek walaupun tidak ada
yang menyuruh. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
minat adalah perasaan seseorang yang dapat mendorongnya untuk
melakukan sesuatu yang diawali dengan memperhatikan suatau obyek,
kemudian mempunyai rasa tertarik kepada obyek dan keinginan untuk
terlibat langsung dalam kegiatan.
1. Pentingnya Minat
Menurut Slameto (2010: 57), Minat sangat besar pengaruhnya
terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak
sesuai dengan minat siswa maka siswa tidak akan belajar dengan
sebaikbaiknya, karena tidak ada daya tarik tersendiri baginya.
Sehingga siswa enggan untuk belajar, salah satunya dikarenakan siswa
tidak memperoleh kepuasan dari pelajaran itu kemudian menjadi
bosan terhadap pelajaran tersebut. Bahan pelajaran yang menarik
minat siswa, lebih mudah dipelajari dan disimpan karena minat
mampu menambah kegiatan belajar yang aktif. Anak yang berminat
terhadap sebuah kegiatan, baik permainan maupun pekerjaan, akan
berusaha lebih keras untuk belajar dibandingkan dengan anak yang
kurang berminat.
3. Macam-Macam Minat
Minat menurut Safran dalam Dewa Ketut Sunardi (1993:117),
mengatakan bahwa minat dibedakan menjadi:
a. Minat yang diekspresikan
74
menyusun perda perda syariatnya dan Aceh salah satu dari provinsi yang
telah menerapkannya.
49
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia ( Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2007) h.145
82
51
Endang Saifuddin Anshari, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, (Jakarta: Usaha
Interprises, 1976), h. 85.
83
52
Didi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)
53
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an, (Berikut: Dar
al-Fikr, 1997 M/1418H), h. 152-153.
84
54
Psikis : Jurnal Psikologi Islami Vol. 4 No. 1 Juni 2018
86
bacaan qalbu (hati). Jika lisan dan qalbu terjaga, diharapkan tingkah laku
(psikomotor) dapat dikendalikan.55
BAB XI
KESEHATAN MENTAL
55
https://www.psychologymania.com/2011/09/pengantar-jenis-jenis-terapi-
logoterapi.html
88
57
Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Qur’an,
Paramadina, (Jakarta,:2000). h. 13
58
Ibid, h. 14
59
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan
Pertama,
62
A.F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-nafs) & Kesehatan Mental, (Amzah,
Jakarta,:2000). h. 75-77
92
Kedua,
Ketiga,
Keempat,
63
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami,
(Pustaka Pelajar, Yogyakarta:1997). h. 133-13
93
64
Ibid...
94
BAB XII
A. Sikap keagamaan
65
DEPAG. RI, op.cit., h. 370.
95
66
Hendro Puspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1984), h. 111
67
Jalaluddin, Psikologi agama. (Jakarta:Rajawali Pers)
96
68
Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta:Kalam Mulya, 2004) h. 53
99
mereka. Perbedaan mereka tampak dari sikap kritis terhadap agama. Bagi
mahasiswa liberal, agama atau keagamaan bisa dikritisi, sedangkan bagi
mahasiswa yang moderat terkesan memilih aman dengan mengikut
pandangan yang aman. Adapun kelompok fundamentalis, taat pada
ketentuan agama dengan keyakinan penuh dan kurang menerima kritik
yang mengarah pada doktrin. Meskipun mereka memiliki persamaan dan
perbedaan dalam memaknai agama, namun, pertanyaan tentang jenis
orientasi mereka baru terjawab setelah kita mengetahui sikap dan
perilakunya.
B. Sikap terhadap Orang yang Berbeda Paham dan Agama
Salah satu parameter sikap keagamaan adalah sikap seseorang terhadap
orang lain. Dalam teori Paloutzian, sikap yang dimaksud adalah ada
tidaknya prasangka (prejudice) yang dimiliki seseorang yang beragama
terhadap kelompok etnis atau agama lain. Hasil penelitian psikologi agama
menemukan dua pandangan berbeda terkait prejudice ini. Pertama, bahwa
orang yang taat beragama justru memiliki prasangka lebih tinggi
dibanding orang yang tidak taat beragama. Pendapat pertama tersebut
didukung Adorno, dan Gordon Allport. Adapun pandangan kedua
meyakini bahwa yang memiliki prejudice lebih tinggi adalah mereka yang
hit and miss, kadang taat kadang tidak dan bukan yang taat beragama
secara konsisten.69 Untuk yang disebut terakhir, tingginya prasangka
disebabkan kurang mendalamnya pemahaman keagamaan. Memahami
agama secara sepenggalsepenggal dan tidak mendalam membuat orang
lebih mudah terjebak dalam dikotomi benar-salah atau hitam-putih. Cara
pandang yang dikotomis tersebut menegasikan ruang abu-abu sehingga
tidak ada tawar menawar dalam agama. Akibatnya penafsiran yang
muncul akan sangat tegas, kaku, tidak bisa cair dalam menyelesaikan
masalah. Perbedaan cara memaknai agama terbukti melahirkan perbedaan
sikap dalam beragama. Hal tersebut terutama tampak ketika mahasiswa
69
Raymond F. Paloutzian, Invitation to Psychology of Religion (Boston: Allyn & Bacon,
1996), 206-208.
101
bersikap terhadap orang lain yang berbeda paham keagamaan dan berbeda
agama. Deskripsi berikut ini adalah kecenderungan sikap mahasiswa
dengan kecenderungan yang berbeda-beda. Mahasiswa dengan
kecenderungan liberal B, pertama, melihat keislaman dari sikap dan
perilaku, bukan dari bungkus-bungkus kesalehan yang tampak dari luar.
Mereka secara kritis menyatakan bahwa penampilan luar seseorang tidak
selalu menjadi jaminan kualitas kepribadian orang tersebut. Mahasiswa
liberal sebenarnya tidak mementingkan simbol-simbol, melainkan justru
menekankan pada esensi. Sikap yang tidak mau terjebak pada simbol
sebenarnya merupakan ciri keagamaan yang mulai matang karena
mahasiswa mulai berani melakukan self critic sekaligus tetap loyal pada
agamanya sendiri.
Hal ini seperti yang disebutkan oleh Gordon Allport bahwa salah
ciri keberagamaan yang matang atau dewasa adalah well-differentiated
and self-critical.70 Selain tidak langsung percaya pada ‘bungkus
kesalehan’, sikap kedua yang penting bahwa mahasiswa berkecenderungan
liberal lebih bersikap toleran kepada umat yang berbeda mazhab, aliran,
dan agama. Bagi mereka, selama agama/aliran kepercayaan lain
mengajarkan kebaikan dan tidak merugikan Islam, maka sudah
sepantasnya dihormati. Kecenderungan sikap mahasiswa liberal ternyata
mengarah pada sikap inklusif bahkan pluralis dalam beragama. Sikap
inklusif ditunjukkan dengan keberanian mereka menyatakan keterbukaan
dalam agama, yaitu mereka lebih melihat persamaan antar agama daripada
memperuncing perbedaan. Dalam paradigma Islam inklusif, keterbukaan
untuk berdialog antar iman dilandasi semangat menemukan kalimatun
sawa yang disinyalir dalam Q.S. Ali ‘Imran (3): 64. Hal itu juga dilandasi
keyakinan bahwa setiap umat pernah memiliki nabinya sendiri-sendiri dan
masing-masing di antaranya membawa ajaran yang sama yaitu
mengesakan Tuhan. Ketiga, mereka memilih bersikap self objectification
70
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Pluralisme Nurcholosh Madjid (Jakarta: PSIK
Paramadina, 2007).
102
ketika melihat ketertinggalan Islam dibanding umat lain. Hal penting yang
ditemukan kajian ini adalah sikap mahasiswa berkecenderungan liberal
yang tidak lantas menyalahkan pihak lain ketika melihat ketertinggalan
Islam. Mereka memilih melihat faktor internal yang menyebabkan Islam
mundur.
Hal tersebut akan terlihat lebih kontras lagi jika dibandingkan
dengan sikap sebagian umat muslim radikal yang dengan lantang
menuding orang non-muslim sebagai kafir dan ungkapan-ungkapan tak
bersahabat lainnya. Keempat, menurut mereka pergaulan bebas yang
sudah merambah hampir semua kampus tidak cukup diselesaikan dengan
ancaman dosa dan neraka. Bagi mahasiswa berkecenderungan liberal yang
terpenting adalah solusi yang mencerdaskan yaitu penyuluhan agar
mahasiswa yang terjangkiti pergaulan bebas tersebut sadar resiko yang
akan mereka tanggung seperti terinfeksi virus HIV/ AIDS, terjebak
kecanduan narkoba, dan akhirnya gagal meraih sarjana. Kelompok
mahasiswa dengan kecenderungan moderat atau tidak terlalu liberal
ternyata memiliki sikap sedikit berbeda. Pertama, terkait makna agama
bagi mereka, mahasiswa moderat pada intinya berpegang pada kaidah
ushul fiqh ‘mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil hal baru
yang lebih baik’. Meskipun mereka tidak secara eksplisit menghafal
kaidah ushul fiqh tersebut, namun secara implisit prinsip tersebut yang
mereka pegang. Sikap yang mengambil jalan tengah tersebut biasanya
tanpa disadari dilakukan untuk mendapatkan rasa aman. Maka sebenarnya
sikap demikian dapat digolongkan dalam perilaku ekstrinsik. Kedua,
dalam bersikap terhadap umat lain yang berbeda aliran dan agama masih
termasuk dalam bentuk toleransi namun dengan tetap kuat memegang
truth claim. Mahasiswa moderat dapat bersikap toleran meskipun mereka
tidak tahu pasti dalil apa yang menyuruh mereka bersikap toleran. Hal ini
berbeda dengan mahasiswa liberal yang mengembangkan sikap toleran
karena mereka memahami teori-teori pluralisme, sekularisme dan
mengenal ajaran agama lain secara lebih baik. Ketiga, menanggapi kondisi
103
71
Raymond F. Paloutzian, Invitation to Psychology of Religion (Boston: Allyn & Bacon,
1996), 225.
107
A. Pengertian Fanatisme
1. Fanatisme etnis
2. Fanatisme nasional
3. Fanatisme ideologi
4. Fanatisme agama
5. Fanatisme olahraga
Dengan menerapkan sikap adil pada diri sendiri terutama sikap adil
pemimpin pada rakyatnya akan menghasilkan keputusan yang bijaksana
yang dapat menyelesaikan konflik tanpa ada pihak yang merasa
dirugikan.Semoga kita tergolong orang yang adil dan bijak,terutama
pemimpin negeri kita ini dan seluruh pemimpin di dunia.74
tragedi seperti ini sangat lah kejam dan tidak bisa dimaafkan.
Banyak sekali dampak negatif yang timbul dari aksi ini. Mereka bahkan
mengatasnamakan agama sebagai kedok dalam melakukan aksi teror ini.
Padahal sudah jelas, bahwa setiap agama tidak pernah mengajarkan
tindakan yang kejam dan tidak pernah membenarkan aksi-aksi seperti ini
apalagi menganjurkan pengikutnya untuk melakukan kekerasan atau
tindakan teror. Dan mungkin akar persoalan dari aksi terorisme ini karena
sudah tertanam kebencian dalam diri mereka dan sudah terpengaruh oleh
113
orang yang salah, maka akan terjadilah sebuah tindakan yang tak terduga.
Yang dimana tujuan ingin melakukan hal yang mulia tetapi malah
sebaliknya. Biasanya seseorang tersebut telah dicuci otaknya oleh orang-
orang yang memiliki niatan buruk, dan mereka pun terpengaruh. Atau
mereka menjadi seperti ini akibat dari ketidak adilan yang dirasakan oleh
diri mereka dan juga minimnya pemahaman terhadap nash-nash kitab suci
yang menjadi landasan hukum hukum dalam beragama dan kesalah
pahaman terhadap ilmu agama lah yang memicu mereka untuk berbuat
kekerasan, bahkan dapat membahayakan nyawa orang banyak (massal),
lain dari pada itu tindakan ini juga dapat dipicu karena keterbatasan
ekonomi yang di rasakan banyak rakyat sipil, ataupun kegiatan politik,
sehingga melintaskan niat tersebut.75
https://www.kompasiana.com/alfinarahma19/5f8e59310428240e9b66e922/terorisme-yang-
75
berkedok-atas-nama-agama?page=all
114
DAFTAR PUSTAKA
A.F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-nafs) & Kesehatan Mental, (Amzah,
76
https://www.neliti.com/id/publications/61831/pendidikan-islam-multikultural-sebagai-
resolusi-konflik-agama-di-indonesia
115
https://nia.wikipedia.org
https://serikatnews.com/syirik-dalam-fanatisme-agama/
Musthafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, jilid
1, alih bahasa, (Bulan Bintang, Jakarta,:1977).
Paramadina, (Jakarta,:2000).