Anda di halaman 1dari 118

1

NAMA : ASMAWATI

NPM : 171601096.....

PRODI/ JURUSAN : PAI / TARBIYAH

SEMESTER/ UNIT : VII (TUJUH) / A

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT.yang


telah memberikan rahmat dan karunia-Nya,sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya.Shalawat dan salam tak lupa senantiasa kita
sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW.yang kita harapkan syafaatnya di
yaumul qiyamah nanti,Amin.

Penyusunan makalah ini berguna untuk memenuhi tugas mata kuliah


Pisikologi Agama” yang mana makalah ini berjudul “Psikologi Agama”. kami
menyadari bahwa makalah ini belum sempurna,baik dalam hal penulisan maupun
pokok pembahasan yang kami jelaskan.berkaitan dengan hal tersebut kami selaku
penulis sangat mengharapkan saran,agar kedepannya kami bisa memperbaiki
kesalahan-kesalahan kami dalam pembuatan makalah.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca,untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi dari makalah ini agar menjadi lebih baik lagi. Karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami,kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini,oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang dapat membangunkan pola pikir pembaca untuk kesempurnaan
makalah ini.
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................01

DAFTAR ISI ........................................................................................................02

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................04

BAB II. AGAMA .................................................................................................08

A. Pengertian Agama .....................................................................................08


B. Fungsi Agama bagi manusia .....................................................................09
C. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama ......................................................13
D. Agama Personal dan Sosial .......................................................................19

BAB III. PSIKOLOGI AGAMA SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN ..............20

A. Pengertian Psikologi Agama ....................................................................20


B. Ruang Lingkup dan Kegunaan Psikologi Agama .....................................23
C. Metode Dalam Psikologi Agama ..............................................................26
D. Sejarah Psikologi Agama ..........................................................................29

BAB IV. TUBUH DAN AGAMA ....................................................................31

A. Tubuh dan Agama ...................................................................................31


B. Tubuh dan Pengalaman Keagamaan .........................................................33
C. Tubuh dan Perkebangan Keagamaan ........................................................34

BAB V. AGAMA DALAM OTAK MANUSIA ..............................................38

A. Agama dan Otak Manusia .......................................................................38


B. Kerusakan Otak Kronis Dan Agama ........................................................38
C. Otak Asimetris dan Agama .....................................................................39
D. Tuhan dan Manusia .................................................................................39
3

BAB VI. PENDEKATAN BEHAVIORISME DAN TEORI TEORI AGAMA


KONTEMPORER ..............................................................................................40

A. Pengertian Teori Behaviorisme. ................................................................40


B. Pandangan behaviorisme tentang agama. .................................................42
C. Hubungan Behaviorisme Kognitif dan Teori Belajar. ..............................48

BAB VII.MENGUKUR RELIGIUSITAS .......................................................49

A. Religiusitas ..............................................................................................49
B. Dimensi-dimensi dalam religiositas .........................................................51
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi religiositas .........................................52
D. Fungsi Religiusitas Bagi Manusia .............................................................54
E. Alat Ukur Religius ....................................................................................55
F. Agama dan Sikap Sosial ...........................................................................57

BAB VIII.STUDI PRILAKU KEAGAMAAN KONTEMPORER ................60

A. Makna Agama Dalam Kehidupan ...........................................................60


B. Sikap terhadap Orang yang Berbeda Paham dan Agama .......................61
C. Ekspresi Orientasi dan Sikap Keagamaan dalam Perilaku .......................68

BAB IX. AGAMA SEBAGAI PEMUAS KEINGINAN KEKANAK-KANAK 70

A. Agama Sebagai Pemuas Keinginan Anak-


Anak. ....................................70
B. Hakekat
Keinginan ...................................................................................72
C. Kegagalan Agama dan Masa Depan
Agama .............................................74

BAB X.KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI


HUMANISTIK .....................................................................................................80

A. konsep Manusia Menurut Psikologi Humanistik .....................................80


B. Konsep Tuhan dan Perilaku Beragama Dalam Kajian Psikologi
Humanistik ................................................................................................83
C. Logoterapi dan Agama. .............................................................................85

BAB XI. KESEHATAN MENTAL ......................................................................87


4

A. Pengertian Kesehatan Mental ....................................................................87


B. Ciri-Ciri Kesehatan Mental .....................................................................90
C. Peranan Agama Terhadap Kesehatan Mental .........................................94

BAB XII. SIKAP KEAGAMAAN DAN POLA TINGKAH LAKU ..................95

A. Sikap keagamaan .......................................................................................95


B. Tradisi keagamaan ....................................................................................96

BAB XIII. AGAMA DALAM KEHIDUPAN INDIVIDU ..................................99

A. Makna Agama Dalam Kehidupan .............................................................99


B. Sikap terhadap Orang yang Berbeda Paham dan Agama ........................100
C. Ekspresi Orientasi dan Sikap Keagamaan dalam Perilaku .....................106

BAB XIV. FANATISME DAN KETAATAN ...................................................109

A. Pengertian Fanatisme ..............................................................................109


B. Pengertian Fanatisme Agama ..................................................................109
C. Dampak Fanatisme Agama Terhadap Konflik Sosial .............................110
D. Fenomena Kekerasan dan Terorisme yang Mengatasnamakan Agama ..111
E. Resolusi Konflik yang Mengatasnamakan Agama .................................114

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................115


5

BAB I.

PENDAHULUAN

Manusia dengan akalnya, pada dasarnya mampu mencapai


keberhasilan-keberhasilan yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Akan tetapi, sehebat apapun akal manusia tetap terbatas
terutama dikaitkan dengan hal yang bersifat supranatural (alam ghaib).1 Di
sinilah lalu manusia perlu bimbingan oleh yang menciptakan akal yaitu
Sang Maha Pencipta. Bimbingan tersebut dimunculkan dalam bentuk
agama. Jadi, secara singkat dapat dinyatakan bahwa manusia secara
kodrati memerlukan agama untuk mengarahkan kehidupannya secara baik
di dunia dan akhirat. Pun demikian, kedewasaan seseorang terlihat dari
cara ia memeluk suatu agama secara sadar.2 Di samping faktor lain, yaitu
mengikuti atau mewarisi agama orang tuanya yang melahirkan dan
mengasuhnya sejak kecil.

Agama sebagai bentuk ajaran yang bersumber dari wahyu Ilahi,


sehingga kajian tentang agama telah lama menjadi objek bagi para filsuf,
sosiolog maupun teolog, namun kajian tentang apa itu agama masih tetap
berlangsung sampai sekarang termasuk oleh para psikolog. Dalam
perdebatan tentang apa itu agama belum menemukan jawaban yang dapat
disepakati. Adanya perbedaan tersebut menandakan bahwa manusia masih
dalam tahap mencari kebenaran, meskipun kebenaran yang dicari adalah
kebenaran yang besifat relatif. Akibatnya para ahli mendefinisikan agama
secara berbeda-beda sesuai dengan spesialisasi dari cabang ilmu yang

1
Amsal Bahtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 253.
2
Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 95.
6

ditekuni, baik dari spesifik aspek filosofis, sosiologis, antropologis


maupun psikologis.3

3
Rahmat Raharjo, “Pandangan Sigmund Freud Tentang Agama”. Dialogia Jurnal Studi
Islam dan Sosial, Vol. 4 No. 1 (STAIN Ponorogo, 2003), 137.
7

Selain itu, agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap


sesuatu yang bersifat adikodrati (supernatural) ternyata seakan-akan
menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama
memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia, baik diri sendiri maupun
dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Selain itu, agama
memberikan dampak bagi kehidupan sehari-hari di mana pun manusia
berada dan bagaimanapun mereka hidup. Baik secara kelompok atau
sendiri-sendiri, akan terdorong untuk berbuat dengan memperagakan diri
dalam bentuk pengabdian kepada Zat Yang Maha Tinggi. Dalam bukunya
Psikologi Agama, Jalaluddin menyimpulkan bahwa agama menyangkut
kehidupan batin manusia. Oleh karena itu, kesadaran agama dan
pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam
kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia gaib.
Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian muncul
sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang.4 Sehingga sikap keagamaan
suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang, mendorongnya untuk
bertingkah laku ketaatannya terhadap agama. Jadi, sikap keagamaan
merupakan integrasi secara kompleks antara pengetahuan agama, perasaan
agama seta tindak keagamaan dalam diri seseorang. Hal ini menunjukkan
bahwa sikap keagamaan menyangkut atau berhubungan erat dengan gejala
kejiwaan. Dengan indikasi bahwa pada umumnya, mereka mempunyai
motif yakni ingin mengisi jiwa-jiwa yang gersang dengan nilai-nilai
spiritualitas. Dengan demikian ketika manusia telah kehilangan aspek
spiritualnya maka dapat dikatakan ia juga telah kehilangan jatidirinya. Hal
ini karena kata “spiritual” menegaskan sifat dasar manusia, yaitu sebagai
makhluk yang secara mendasar dekat dengan Tuhannya, paling tidak
selalu mencoba berjalan ke arah-Nya.5 sesuai dengan kadar

4
Ibid., 97.

5
Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf Wacana Manusia Spiritual Dan Pengetahuan
(Jakarta: LP3ES, 2014), 15.
8

Dalam lapangan psikologi agama menyatakan bahwa secara garis


besar, sumber jiwa keagamaan berasal dari faktor intern dan faktor ekstern
manusia. Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia disebut sebagai
mahluk yang beragama (homo religious).6 Karena manusia sudah memiliki
potensi untuk beragama. Potensi tersebut muncul dari faktor intern
manusia yang termuat dalam aspek kejiwaannya seperti naluri, akal,
perasaan, maupun kehendak dan sebagainya. Sebaliknya, pendapat kedua
menyatakan bahwa jiwa keagamaan manusia muncul dari faktor ekstern.
Ia terdorong untuk beragama karena pengaruh faktor luar dirinya seperti
rasa takut, rasa ketergantungan ataupun rasa bersalah (sense of guilt).
Faktor-faktor inilah yang mendorong manusia menciptakan suatu tata cara
pemujaan yang kemudian dikenal dengan agama.
Para ahli psikologi agama belum sependapat mengenai dorongan
beragama juga merupakan kebutuhan insaniah yang tumbuhnya dari
gabungan berbagai faktor penyebab yang bersumber dari rasa keagamaan.
Sehingga Sigmund Freud, yang dijuluki sebagai Bapak Psikoanalisis
menekankan libido sexuil dan rasa berdosa sebagai faktor penyebab yang
dominan. Pandangan Freud tentang manusia bahwa kebanyakan tingkah
laku kita ditentukan oleh peristiwa-peristiwa masa lampau, bukan dibentuk
oleh tujuan-tujuan sekarang serta kurang mengontrol tindakan-tindakan
kita sekarang. Karena banayak tingkah laku kita berakar dalam dorongan-
dorongan tak sadar di luar kesadaran kita.7

BAB II

6
Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 62.

7
Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-alliran dan Tokoh Psikologi
(Jakarta: Bulan Bintangh),h 177.
9

AGAMA

A. Pengertian Agama

Merumuskan pengertian agama bukan suatu perkara mudah, dan


ketidak sanggupan manusia untuk mendefinisikan agama karena
disebabkan oleh persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan
mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sumber terjadinya agama
terdapat dua kategori yaitu agama Samawi dari langit meliputi Yahudi,
Kristen dan Islam.

Beberapa acuan yang berkaitan dengan kata “Agama” pada


umumnya: Pengertian agama dari segi bahasa diberikan Harun Nasution,
kata agama dikenal pula kata din dari bahasa arab dan kata religi dalam
bahasa Eropa. Agama berasal dari bahsa Sanskerta yang menunjukkan
adanya keyakinan manusia berdasarkan Wahyu Ilahi dari kata A-GAM-A.
Awalan A berarti “tidak” dan GAM berarti pergi atau berjalan, sedangkan
akhiran A bersifat menguatkan yang kekal dengan demikian “agama
berarti pedoman hidup yang kekal.” Atau a:tidak, gama: kacau artinya
tidak kacau atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah
atau tujuan tertentu.

1. Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang


mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan
serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya.

2. Agama ialah sikap manusia yang percaya adanya Tuhan, dewa, dan
manusia yang percaya tersebut menyembah serta berbhakti kepada-
Nya serta melaksanakan berbagai macam atau bentuk kewajiban yang
berkaitan dengan kepercayaan tersebut.
10

3. Agama ialah percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum-
hukum Nya. Hukum-hukum Tuhan tersebut diwahyukan kepada
manusia melalui utusan-utusan-Nya.

B. Fungsi Agama bagi manusia

Peranan agama bisa dilihat dari beberapa aspek:

1. Aspek keagamaan (religius): agama menyadarkan manusia tentang


siapa penciptanya.

2. Secara asal usul (antropologis): agama memberitahukan kepada


manusia tentang siapa, dari mana, dan mau kemana manusia.

3. Dari segi kemasyarakatan (sosiologis): sarana keagamaan sebagai


lambang masyarakat yang keadaannya bersumber pada kekuatan yang
dinyatakan berlaku oleh seluruh masyarakat. Fungsi: untuk
memperkuat rasa solidaritas.

4. Secara kejiwaan (psikologis): agama bisa menenteramkan,


menenangkan dan membahagiakan kehidupan jiwa seseorang.

5. Dan secara moral (Ethics): menunjukkan tata nilai dan norma yang
baik dan buruk serta mendorong manusia berprilaku baik.

Ada beberapa alasan tentang mengapa agama sangat penting dalam


kehidupan manusia, antara lain adalah:

a) Karena agama merupakan petunjuk kebenaran.

b) Karena agama merupakan sumber moral

c) Karena agama memberikan bimbingan rohani bagi manusia

d) Karena agama merupakan sumber informasi tentang masalah


metafisika
11

1. Fungsi agama bagi kehidupan individu

a. Agama sebagai pembentuk kata hati

Pada diri manusia telah ada sejumlah potensi untuk memberi


arah dalam kehidupan manusia. Potensi tersebut adalah naluriah,
inderawi, nalar, agama. Melalui pendekatan ini, maka agama sudah
menjadi potensi fitrah yang dibawa sejak lahir. Pengaruh
lingkungan terhadap seseorang adalah memberi bimbingan kepada
potensi yang dimilikinya itu. Berdasarkan pendekatan ini, maka
pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberi
kemantapan batin, rasa bahagia, rasa sukses dan rasa terlindung.

b. Agama sebagai sumber nilai dalam menjaga kesusilaan menurut:

Elizabeth K. Nottingham mengatakan bahwa setiap individu


tumbuh menjadi dewasa memerlukan suatu sistem nilai sebagai
tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitas dalam masyarakat
yang berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan
kepribadiannya. Dengan mempedomani sistem nilai maka
kesusilaan akan terjaga namun nilai tersebut tidak akan berfungsi
tanpa melalui pendidikan.

c. Agama sebagai sarana untuk memuaskan keingintahuan


Agama maupun memberi jawaban atas kesukaran
intelektual, sejauh kesukaran itu diresapi oleh keinginan dan
kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, agar dapat
menempatkan diri secara berarti dan bermakna di tengah-tengah
alam semesta ini. Tanpa agama, manusia tidak mampu menjawab
pertanyaan yang sangat mendasar dalam kehidupannya, yaitu dari
mana manusia datang, apa tujuan manusia hidup, dan mengapa
manusia ada, dan kemana manusia kembalinya setelah mati.
12

d. Agama sebagai sarana untuk mengatasi prustasi.

Manusia mempunyai kebutuhan dalam kehidupan ini, mulai


dari kebutuhan fisik seperti makanan, pakaian, istirahat, sampai
kebutuhan psikis. Menurut pengamatan psikolog bahwa keadaan
frustasi itu dapat menimbulkan tingkah laku keagamaan. Orang
yang mengalami frustasi tidak jarang bertingkah laku religius atau
keagamaan, untuk mengatasi frustasinya. Untuk itu ia melakukan
pendekatan kepada Tuhan melalui ibadah.

2. Fungsi agama dalam kehidupan masyarakat

a. Berfungsi Edukatif

Manusia mempercayakan fungsi edukatif kepada agama


yang mencakup tugas mengajar dan tugas bimbingan. Lain dari
instansi (institusi profan) agama dianggap sanggup memberikan
pengajaran yang otoritaf, bahkan dalam hal-hal yang “sakral” tidak
dapat salah. Agama menyampaikan ajarannya dengan perantaraan
petugas-petugasnya baik di dalam khotbah, renungan, dan
pendalaman rohani. Untuk melaksanakan tugas itu ditunjuk
sejumlah fungsionaris seperti: Nabi dan kyai. Tugas bimbingan
yang diberikan petugas-petugas agama juga dibenarkan dan
diterima berdasarkan pertimbangan yang sama. Ajaran agama
secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang. Kedua unsur dan
larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan
pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik
menurut ajaran agama masing-masing.

b. Berfungsi penyelamat

Tanpa atau dengan penelitian ilmiah, cukup berdasarkan


pengalaman sehari-hari, dapat dipastikan bahwa setiap manusia
menginginkan keselamatannya baik dalam hidup sekarang ini
13

maupun sesudah mati. Jaminan untuk itu mereka temukan dalam


agama. Terutama karena agama mengajarkan dan memberikan
jaminan dengan cara-cara yang khas untuk mencapai kebahagiaan
yang terakhir, yang pencapaiannya mengatasi kemampuan manusia
secara mutlak, karena kebahagiaan itu berada di luar batas
kekuatanmanusia.

c. Berfungsi sebagai pendamaian

Melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat


mencapai kedamaian bathin tuntunan agama. Rasa berdosa dan
bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila
seseorang yang bersalah telah menebus dosanya melalui: tobat atau
penebusandosa.

d. Berfungsi sebagai pengawasan sosial

Pada umumnya manusia mempunyai keyakinan yang sama,


bahwa kesejahteraan kelompok sosial khususnya dan masyarakat
besar umumnya tidak dapat dipisahkan dari kesetiaan kelompok
atau masyarakat itu kepada kaidah-kaidah susila dan hukum-
hukum rasional yang telah ada pada kelompok atau masyarakat itu.
Agama merasa ikut bertanggung jawab atas adanya norma-norma
susila yang baik yang diberlakukan atas masyarakat manusia
umumnya. Maka agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada
dan mengukuhkan yang baik sebagai kaidah yang baik dan
menolak kaidah yang buruk untuk ditinggalkan sebagai larangan.

e. Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas

f. Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa


memiliki kesamaan dalam satu kesatuan dalam iman dan
kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan menimbulkan rasa solidaritas
dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang
14

dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Bahkan rasa


persaudaraan (solidaritas) itu bahkan dapat mengalahkan rasa
kebangsaan.

g. Berfungsi Transformatif

Kata transformatif berasal dari kata Latin “transformare”


artinya mengubah bentuk. Jadi fungsi transformatif (yang
dilakukan kepada agama) berarti mengubah bentuk kehidupan
masyarakat lama dalam bentuk kehidupan baru. Ini berarti pula
mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru.
Ajaran agama dapat merubah kehidupan seseorang atau kelompok
menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya.

C.Kebutuhan Manusia Terhadap Agama

Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat sempurna


(ahsanu taqwim). Kesempurnaan tersebut terletak, antara lain, pada
kemampuan akalnya yang luar biasa, serta indera yang sangat lengkap,
yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Di samping itu, manusia
adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan berbahasa, baik
lisan maupun tulisan, sehingga dia dapat mengeks-presikan semua yang
ada dalam pikiran dan hatinya, sekaligus dapat digunakan untuk
menyimpan hasil kebudayaan dan peradaban yang telah dikembangkannya
melalui kemampuan akalnya, misalnya, per-adaban Mesir Kuno dengan
huruf Hirogliphnya.8 Di samping itu, manusia adalah satu-satunya
makhluk Allah. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama 23 yang
dianugerahi jari-jari tangan yang sangat fleksibel, yang dapat digerakkan
ke segala arah. Dengan kemampuan tangannya itu, manu- sia dapat
merealisasikan segala gagasannya dalam bentuk pikiran ke dalam bentuk

8
Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Religion, Ideology, and Development, vol. I
(Cairo: Dar Kebaa Bookshop, 2000). h. 473-474.
15

yang nyata dan konkret. Berdasarkan fakta dan kenyataan hidup manusia
seperti digam- barkan di atas, apakah manusia masih membutuhkan
agama? Manusia sebagai makhluk berdimensi jasmaniah dan ruhaniah
memiliki berbagai potensi, baik berupa potensi akal, maupun berupa
potensi fisik-inderawi yang begitu lengkap sebagai. Kedua potensi tersebut
merupakan sarana utama bagi manusia untuk menyelesaikan berbagai
persoalan hidupnya yang terkait dengan hal-hal yang bersifat duniawi.
Potensi seperti itu sangat berguna dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup manusia yang bersifat fisik-duniawi. Sementara untuk memecahkan
berbagai persoalan yang berkaitan dengan aspek ruhaniahnya, kemampuan
fisik dan kecerdasan akal manusia bagai- mana pun juga tidak mungkin
dapat menyelesaikannya. Di sinilah agama memainkan peran penting dan
utama dalam memenuhi kebutuhan rohaniah manusia, serta memberikan
solusi yang baik bagi persoalan-persoalan yang sedang dihadapinya.
Dalam rangka menjawab persoalan-persoalan hidup yang mereka hadapi
sehari-hari, manusia tampaknya memerlukan tiga hal pokok dan vital,
yaitu: sains dan teknologi (sainstek), agama, dan seni. Ketiga hal ini
merupakan prasyarat bagi manusia untuk men-capai kesempurnaan dalam
hidup mereka. Kebutuhan manusia terha-dap ketiga hal tersebut dapat
diilustrasikan sebagai berikut: dengan ilmu, hidup menjadi mudah; dengan
agama, hidup menjadi terarah dan damai; dan dengan seni, hidup menjadi
indah dan nyaman. Prof. Dr. H. Mukti Ali dalam bukunya yang berjudul
Seni, Ilmu, dan Agama, menggambarkan fungsi ketiga hal yang sangat
asasi ini dengan ungkapan, “Dengan seni, hidup menjadi halus dan
syahdu; dengan ilmu, hidup menjadi maju dan enak; dan dengan agama,
hidup menjadi bermakna dan bahagia.” Ketiga hal ini, paling tidak yang
terpenting di antara hal-hal lainnya, merupakan kemestian dalam hidup
manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan, baik secara individual
maupun kolektif dan kelompok. Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Seni
tanpa ilmu akan lunglai, seni tanpa agama tidak mempunyai arah. Sedang
ilmu pengetahuan tanpa seni akan mela- hirkan kekasaran dan tanpa
16

agama akan melahirkan kebiadaban dan kebrutalan. Demikian juga, agama


tanpa seni akan kering, dan agama tanpa ilmu akan lumpuh. Akan tetapi
dengan ketiga-tiganya itu (agama, seni, dan ilmu), hidup dan kehidupan
akan menjadi lebih produktif dan sempurna. Tuhan menciptakan fitrah
tersebut karena agama merupakan kebutuhan hidup manusia.manusia
dapat saja menang- guhkan pengakuan terhadap kebutuhan fitrawi
terhadap agama ini dalam dirinya ini sekian lama, mungkin hingga
menjelang kematiannya, tetapi pada akhirnya, sebelum ruhnya
meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu. Desakan
pemenuhan kebutuhan ma- nusia memang bertingkat-tingkat. Pemenuhan
kebutuhan manusia terhadap air, misalnya, dapat ditangguhkan lebih lama
dibandingkan kebutuhan terhadap udara. Demikian juga kebutuhan
manusia akan makanan, jauh lebih singkat dan mendesak dibandingkan
dengan kebutuhan manusia untuk menyalurkan naluri seksual. Sama
halnya, kebutuhan manusia terhadap agama dapat ditangguhkan, tetapi
tidak untuk selamanya. Ketika terjadi konfrontasi pertama antara kalangan
ilmuan di Eropa dengan kalangan Gereja pada awal abad ke-17, ilmuan
meninggalkan agama.9 Kebutuhan Manusia Terhadap Agama 25 persoalan
hidup yang kompleks. Dalam upaya mencari pegangan hidup itu, mereka
menemukan bahwa “hati nurani” dapat menjadi alternatif bagi agama.
Namun, belakangan, mereka juga menyadari bahwa “nurani” tidak bisa
menjadi alternatif bagi agama karena sifat- nya yang sangat labil. Karena
ia sepenuhnya masih merupakan instrumen dalam diri manusia, nurani
sangat dipengaruhi oleh ling- kungan dan latar belakang pendidikan
seseorang. William James (1842-1910), filsuf dan ahli psikologi dari
Amerika Serikat, menegaskan bahwa, “Selama manusia masih memiliki
naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama (berhu- bungan
dengan Tuhan)”. Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan
salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama. Murtadha Muthahhari,

9
Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
(Cet.II; Bandung: Mizan, 1996), h.375-377.
17

pemikir Muslim dari Iran di abad ke-20, menjelaskan sebagian fungsi dan
peranan agama dalam kehidupan yang tidak mampu diperankan oleh ilmu
dan teknologi dalam ung- kapan yang indah berikut ini. Ilmu mempercepat
anda sampai ke tujuan, agama menentukan arah yang dituju. Ilmu
menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan
manusia dengan jati dirinya. Ilmu hiasan lahir, dan agama hiasan batin.
Ilmu memberikan kekuatan dan menerangi jalan, dan agama memberi
harapan dan dorongan bagi jiwa. Ilmu menjawab pertanyaan yang dimulai
dengan “bagaimana”, dan agama menjawab pertanyaan yang dimulai
dengan “mengapa”. Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya,
sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.

Manusia terdiri atas unsur jasmani, akal, dan jiwa atau roh. Akal
atau rasio manusia memiliki keterbatasan dalam mengetahui semua
kenyataan (reality). Oleh karena itu, tidak semua persoalan dapat dijawab
secara tuntas dan memuaskan lewat penggunaan akal. Keindahan sebuah
karya seni tidak dapat dinilai dan diapresiasi oleh akal semata-mata,
karena yang lebih berperan dalam hal ini adalah jiwa estetik manusia.
Dengan demikian, adalah keliru apabila seseorang hanya mengandalkan
akal semata-mata dalam menyelesaikan semua persoalan dalam hidupnya.
Dalam hubungannya dengan upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, agama sesungguhnya tetap memiliki peran yang sangat penting,
terutama jika manusia tetap ingin menjadi manusia. Sebagai contoh, dalam
eksperimen di bidang bio-teknologi, manusia sudah sampai kepada batas
kemampuan ilmiah dalam mela-kukan rekayasa genetika. Kemajuan di
bidang ini telah memung-kinkan ilmuan untuk menduplikasi gen makhluk
hidup dengan kua-litas yang lebih baik daripada gen aslinya.
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah keberhasilan dalam eksperimen
di bidang ini akan dilanjutkan tanpa kendali sehingga kelak akan
menghasilkan jenis makhluk hidup, termasuk manusia, yang dapat menjadi
tuan bagi penciptanya sendiri? Apakah ini baik atau buruk bagi
18

kelangsungan hidup ras manusia di dunia ini? Yang dapat memberikan


jawaban yang pasti dan meyakinkan atas persoalan-persoalan moral seperti
ini adalah agama, dan bukan seni, bukan pula filsafat. Kenyataan-
kenyataan di atas semakin meneguhkan keyakinan kita bahwa tidak ada
alternatif lain yang dapat menggantikan peran agama, khususnya dalam
menyediakan panduan dan ukuran moral dalam rangka kelangsungan
hidup manusia. Penolakan terhadap pentingnya agama dalam kehidupan
telah melahirkan berbagai bencana kemanusiaan sebagai akibat dari
ketidakpastian akan hidup dan masa depan. Konflik dan peperangan
antarmanusia, alienasi (keterasingan) dan keputusasaan, dan sebagainya
adalah persoalan-persoalan kemanusiaan yang memerlukan penyelesaian
dari sudut pan- dang agama ketimbang sains, seni dan filsafat. Dalam
pandangan sejumlah pemikir Muslim, munculnya kebutuhan manusia
terhadap agama merupakan konsekuensi logis dari kehadiran manusia di
pentas bumi. Dalam perjalanan duniawinya, manusia menemukan tiga
nilai penting yang sangat agung (ultimate), yaitu keindahan, kebenaran,
dan kebaikan. Ketiga nilai tersebut dapat dirangkum menjadi satu konsep
kunci, yaitu konsep tentang yang suci (the sacred). Semenjak itu pula,
manusia lalu berusaha berhubungan dengan Tuhan bahkan berusaha untuk
meneladani sifat-sifat-Nya dan itulah yang dinamai beragama. Dengan
kata lain, salah satu pengertian keberagamaan adalah terpatrinya rasa
kesucian dalam jiwa seseorang sebagai buah dari usahanya untuk mencari
dan mendapatkan yang benar, yang baik, dan yang indah. Mencari yang
benar menghasilkan ilmu, mencari yang baik menghasilkan akhlak, dan
mencari yang indah menghasilkan seni. Jika demikian, agama bukan saja
dibutuhkan oleh manusia, tetapi ia juga selalu relevan dengan kehidupan
mereka. Apa yang dikatakan baik dan mulia pada manusia itu,
memperoleh inspirasi dari iman kepada Tuhan, suatu kebenaran yang
barangkali saja orang ateis pun akan sulit menentangnya.
19

Jika kita mempelajari perasaan yang mulia yang memberi inspirasi


kepada manusia dewasa ini, kita tentu akan mendapatkan bahwa asal-
usulnya itu terdapat pada ajaran dan contoh dari orang-orang saleh yang
mempunyai iman yang dalam kepada Tuhan, dan dengan perantaraan
mereka, ruh iman disebarkan kepada hati umat manusia lainnya. Bisa
dibayangkan bentuk prinsip kehidupan apa yang akan menggan-tikan
agama beserta segala konsekuensinya. Perumusan prinsip-prinsip atau
nilai-nilai moral universal yang tidak dilandasi oleh kepercayaan kepada
adanya Tuhan tidak akan menjamin terciptanya tatanan dunia yang adil
dan bertanggung jawab. Yang akan muncul adalah manusia- manusia yang
mementingkan diri sendiri dan saling bertarung mengakumulasi materi dan
memuaskan kenikmatan tanpa batas. Jika pola kehidupan seperti ini yang
tercipta, bisa dipastikan masa depan kemanusiaan akan terancam karena
setiap orang akan berjuang untuk memenuhi kepentingan masing-masing
tanpa kekha-watiran akan pertanggungjawaban dan sanksi moral yang
akan mereka terima di kemudian hari. Kenyataannya, agama tetap
merupakan dimensi terpenting dalam setiap tahap sejarah kemanusiaan
universal. Dengan kata lain, agama tidak pernah hilang dalam sejarah,
walau sejenak pun. Memang, mungkin saja ada masa di sebuah tempat di
bumi ini di mana agama tidak diakui oleh manusia yang mendiami tempat
itu. Namun, agama tidak pernah menghilang sama sekali dalam sejarah
manusia. Fakta ini saja sudah cukup untuk mengatakan bahwa agama
meru- pakan bagian yang vital dari kehidupan manusia baik di masa lalu,
masa kini, maupun di masa depan. Dengan kata lain, agamalah yang
menjadikan peradaban manu- sia mencapai tingkatan kemajuan seperti
sekarang ini. Bahkan, aga- malah yang pada dasarnya berulang kali
menyelamatkan peradaban umat manusia dari kehancurannya
20

D. Agama Personal dan Sosial

Berbicara tentang agama memerlukan suatu sikap yang ekstra hati-


hati. Sebab agama merupakan persoalan sosial, tetapi penghayatannya
sangat bersifat individual. Apa yang dipahami dan apa yang dihayati
sebagai agama oleh seseorang sangat tergantung pada keseluruhan latar
belakang dan kepribadiannya. Hal itu seantiasa membuat adanya
perbedaan tekanan penghayatan dari satu orang ke orang lain dan
membuat agama menjadi bagian yang sangat mendalam dari kepribadian
atau privasi seseorang. Maka dari itu agama senantiasa bersangkutan
dengan kepekaan sosial.

Selain itu agama merupakan pedoman hidup dan menjadi tolok


ukur yang mengatur tingkah laku penganutnya dalam kehidupan sehari-
hari. Baik atau tidaknya tindakan seseorang tergantung pada seberapa taat
dan seberapa dalam penghayatan terhadap agama yang diyakini. Agama
berperan sangat penting dalam mengatur kehidupan manusia dan
mengarahkannya kepada kebaikan bersama. Untuk memperoleh
pemahaman tentang peranan agama lebih jauh lagi, Abul Qosim Al-Khu'i,
penulis buku Menuju Islam Rasional mengatakan, pada dasarnya kita
membutuhkan agama dikarenakan agama mampu melestarikan hubungan
yang baik dan harmonis antar manusia. (Nazwar, 2016)

Secara lebih terperinci, pentingnya peran agama dalam kehidupan


manusia dapat dipahami dalam poin-poin berikut: Pertama, agama
menghidupkan nilai luhur moralitas. Diturunkannya agama kepada
manusia mempunyai agenda menghidupkan moralitas dalam rangka
mengatur kehidupan manusia. Agama sangat mendukung nilai luhur yang
menyeru kepada prinsip kebaikan, seperti keadilan, kejujuran, toleransi,
dan tolong-menolong.
21

Dalam proses kehidupan yang dijalani manusia, agama sangat


mendukung untuk tindakan kebaikan. Artinya, agama tidak hanya
memberikan nilai-nilai yang bersifat moralitas, namun juga
menjadikannya sebagai fondasi keyakinan. Agama mensyarakatkan
moralitas sebagai bagian iman secara keseluruhan. Tak hanya moralitas
yang ditekankan agama bersifat mengikat kepada setiap penganutnya.

BAB III

PSIKOLOGI AGAMA SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN

E. Pengertian Psikologi Agama


Psikologi Agama terdiri dari dua kata Psikologi dan Agama.
Psyiche artinya jiwa logos artinya ilmu. Secara bahasa psikologi agama
diartikan Ilmu Jiwa Agama. Menurut Bruno (1987) dalam Syah (1996: 8)
membagi pengertian psikologi menjadi tiga bagian yang pada prinsipnya
saling berkaitan.10
1. Psikologi adalah studi mengenai Ruh
2. Psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental.
3. Psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai perilaku organisme.
Sarwono ( 1976) juga mengemukakan beberapa definisi psikologi.
1. Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan
hewan.
2. psikologi adalah studi yang mempelajari hakikat manusia.
3. psikologi adalah ilmu yang mempelajari respon yang diberikan
oleh makhluk hidup terhadap lingkungannya.
Sujito (1985) menyatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang
mempelajari atau menyelidiki pernyataan–pernyataan jiwa. Berdasarkan
beberapa definisi di atas dapat dirumuskan bahwa psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku individu (manusia) dalam
interaksi dengan lingkungannya. Psikologi secara umum mempelajari

10
Jalaluddin. Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007) .h. 10
22

gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan


(emotion) dan kehendak (conasi).
Psikologi secara umum dapat diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari gejala jiwa manusia yang normal , dewasa, dan beradab
( Jalaluddin, 1998: 77 )
Menurut Robert H. Thouless Psikologi sekarang dipergunakan
secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia.
Definisi psikologi secara umum yaitu meneliti dan mempelajari kejiwaan
yang ada di belakangnya, karena jiwa bersifat abstrak. Agama berasal dari
bahasa Sanskerta a artinya tidak dan gama artinya kacau. Agama artinya
tidak kacau atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah
atau tujuan tertentu. Dalam bahasa latin agama disebut religere artinya
mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan seksama; jadi agama
adalah tindakan manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan
hubungannya dengan Ilahi.
Menurut sudut pandang Sosiologi, agama adalah tindakan-tindakan
pada suatu sistem sosial dalam diri orang-orang yang percaya pada suatu
kekuatan tertentu (kekuatan supra natural) dan berfungsi agar dirinya dan
masyarakat keselamatan. Agama merupakan suatu system sosial yang
dipraktekkan masyarakat; sistem sosial yang dibuat manusia untuk
berbakti dan menyembah Ilahi. Sistem sosial tersebut dipercayai
merupakan perintah, hukum, kata-kata yang langsung datang dari Ilahi
agar manusia mentaatinya. Perintah dan kata-kata tersebut mempunyai
kekuatan Ilahi sehingga dapat difungsikan untuk mencapai atau
memperoleh keselamatan secara pribadi dan masyarakat.11
Menurut sudut kebudayaan, agama adalah salah satu hasil budaya.
Artinya, manusia membentuk atau menciptakan agama karena kemajuan
dan perkembangan budaya serta peradabannya. Semua bentukbentuk
penyembahan kepada Ilahi (misalnya nyanyian, pujian, tarian, mantra, dan
lain-lain) merupakan unsur-unsur kebudayaan. Oleh sebab itu jika manusia

11
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama. (Bandung: Pustaka Setia, 2008). h.11
23

mengalami kemajuan, perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan


kebudayaan, maka agama pun mengalami hal yang sama. Sehingga hal-hal
yang berhubungan dengan ritus, nyanyian, cara penyembahan dalam
agama-agama perlu diadaptasi sesuai dengan situasi dan kondisi dan
perubahan sosio-kultural masyarakat.
Menurut Harun Nasution agama adalah:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan
ghaib yang harus dipatuhi.
2. pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai
manusia.
3. mengikat dari ada suatu bentuk hidup yang mengandung
pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan
yang mempengaruhi perbuatan–perbuatan manusia.
4. kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara
hidup tertentu
5. suatu sistem tingkah laku yang berasal dari sesuatu kekuatan ghaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini
bersumber pada suatu kekuatan ghaib
7. pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah
dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat pada
alam sekitar manusia.
8. ajaran-ajaran yang diwahyukan tuhan kepada manusia melalui
seorang rasul.

Islam mendefenisikan agama sebagai ajaran yang diturunkan Allah


kepada manusia. Agama berasal dari Allah. Allah menurunkan agama agar
manusia menyembah-Nya dengan baik dan benar. Ada delapan tujuan
Allah menurunkan Islam kepada manusia. Pertama, memelihara atau
melindungi agama dan sekaligus memberikan hak kepada setiap orang
untuk memilih antara beriman atau tidak.

F. Ruang Lingkup dan Kegunaan Psikologi Agama


24

Ruang Lingkup dan lapangan psikologi agama adalah menyangkut


gejala-gejala kejiwaan dalam kaitannya dengan realisasi keagamaan
(amaliah) dan mekanisme antara keduanya. Zakiah Daradjat membagi
Ruang Lingkup agama membahas tentang kesadaran agama (religious
counciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Lapangan
kajian psikologi agama adalah proses beragama, perasaan dan kesadaran
beragama dengan pengaruh dan akibat- akibat yang dirasakan sebagai hasil
dari keyakinan. Sedangkan objek pembahasan Psikologi Agama adalah
gejala- gejala psikis manusia yang berkaitan dengan tingkah laku
keagamaan, kemudian mekanisme antara psikis manusia dengan tingkah
laku keagamaannya secara timbal balik dan hubungan pengaruh antara
satu dengan lainnya.12
Kesadaran beragama adalah aspek pengetahuan dan pengakuan
agama yang ada dalam diri manusia. Kesadaran beragama menurut James
adalah kesadaran individual terhadap Zat yang tidak terlihat (the reality of
the unseen). Kesadaran beragama dapat bersumber dari berbagai cara.
Mulai dari pencarian kebenaran ajaran agama, keterlibatan dalam
kegiataan keagamaan, perenungan, dan penyelidikan-penyelidikan
terhadap peristiwa-peristiwa alam (Felser, 2009)
Tim peneliti Universitas California pada tahun 1997 menemukan
God-Spot dalam otak manusia. God-Spot berisikan konsep-konsep tentang
Tuhan, ruh, dan jiwa yang telah dialami manusia. Kesadaran beragama
mencakup kemampuan manusia mengenal Tuhan, mengakui Tuhan,
mengingkari Tuhan, taat dan tidak taat kepada ajaran agama. Kesadaran
beragama pada manusia ada tiga golongan:
1) Panteisme, menurutnya semesta alam, termasuk manusia
merupakan sebagian dari Allah,

12
Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudianto. Psikologi Agama. Cet-1. (Jakarta:
UIN Jakarta Press,2007) h.1
25

2) Politeisme, menurutnya terdapat banyak Allah, di mana alam


semesta mempunyai segi-segi yang berbeda yang kesemuanya
mencerminkan ke-kuatan ilahi, dan
3) Monoteisme, Allah itu satu dan tidak dapat dibagi kemuliaannya,
jangan dicampur dengan hal dunia.

Pengalaman beragama adalah perasaan yang muncul dalam diri


seseorang setelah menjalankan ajaran agama. Pengalaman beragama
disebut juga pengalaman spiritual, pengalaman suci, atau pengalaman
mistik. Pengalaman tersebut berisikan pengalaman individual yang dialami
seseorang ketika dia berhubungan dengan Tuhan.13

James menyatakan pengalaman beragama memiliki 4 (empat)


karakteristik yaitu: 1) bersifat temporal dan terjadi dalam waktu yang
singkat, 2) tidak dapat digambarkan dengan kata-kata, 3) seseorang
mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari pengalamannya, dan 4)
terjadi tanpa kontrol individu ketika dia melakukan sebuah ajaran agama.
Para ahli Psikologi Agama menyatakan banyak kejadian yang dapat
menghadirkan pengalaman agama antara lain: meditasi, shalat, berdoa,
depresi, mati suri, dan pengalaman sufistik. Habel mendefenisikan
pengalaman keagamaan sebagai pengalaman yang terstruktut dimana
seorang yang beriman masuk ke dalam situasi hubungan dengan Tuhannya
dalam sebuah praktik ibadah tertentu (Habel, O’Donoghue and Maddox:
1993).

Charlesworth mendefensikan pengalaman beragama adalah sebuah


pengalaman yang sangat luar biasa yang dapat merubah kesadaran
seseorang, sehingga para psikologi susah membedakannya dengan psikosa
atau neurosis. (Charlesworth: 1988) Di dalam ajaran Islam ada tiga hirarki
pengalaman beragama Islam seseorang. Pertama, tingkatan syariah.
Syariah berarti aturan atau undangundang, yakni aturan yang dibuat oleh
pembuat aturan (Allah dan RasulNya) untuk mengatur kehidupan orang-
13
Amsal Bakri, Filsafat Agama. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2007)h.17
26

orang mukallaf baik hubungannya dengan Allah (habl min Allah) maupun
hubungannya dengan sesama manusia (habl min al-Nas). Tataran syariat
berarti kualitas amalan lahir formal yang ditetapkan dalam ajaran agama
melalui al-Qur‘an dan Sunnah. Amalan tersebut dijadikan beban (taklif)
yang harus dilaksanakan, sehingga amalan lebih didorong sebagai
penggugur kewajiban. Dalam tataran ini, pengamalan agama bersifat top
dawn yakni bukan sebagai kebutuhan tapi sebagai tuntutan dari atas
(syari‘) ke bawah (mukallaf). Tuntutan itu dapat berupa tuntutan untuk
dilaksanakan atau tuntutan untuk ditinggalkan. Seseorang dalam dataran
ini, pengamalan agamanya karena didorong oleh kebutuhan berhubungan
dengan Allah, bukan sematamata karena mentaat perintah Tuhan. Hal ini
sesuai dengan pendapat al- Qusyairi:

Syariah adalah perintah untuk memenuhi kewajiban ibadah dan


hakikat adalah penyaksian ketuhanan,syariat datang dengan membawa
beban Tuhan yang maha pencipta sedangkan hakikat menceritakan
tentang tindakan Tuhan syari’at adalah engkau mengabdi pada Allah
sedangkan hakikat adalah engkau menyaksikan Allah, syari’at adalah
melaksanakan perintah sedangkan hakikat menyaksikan apa yang telah
diputuskan dan ditentukan, yang disembunyikan dan yang ditampakkan.
(Al-Qusyairi: 42)

Kedua, tingkat tarikat yaitu pengamalan ajaran agama sebagai jalan


atau alat untuk mengarahkan jiwa dan moral. Dalam tataran ini, seseorang
menyadari bahwa ajaran agama yang dilaksanakannya bukan semata-mata
sebagai tujuan tapi sebagai alat dan metode untuk meningkatkan moral.
Puasa Ramadan misalnya, tidak hanya dipandang sebagai kewajiban tapi
juga disadari sebagai media untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu
sikap bertaqwa. Demikian juga tuntutan-tuntutan syariah lainnya disadari
sebagai proses untuk mencapai tujuan moral.
27

Ketiga, tingkatan hakikat yang berarti realitas, senyatanya, dan


sebenarnya. Dalam tasawuf yang nyata dan yang sebenarnya adalah Allah
yang Maha Benar (al-Haq). Pada tingkat hakikat berarti dimana seseorang
telah menyaksikan Allah swt dengan mata hatinya. Pemahaman lain dari
hakikat adalah bahwa hakikat merupakan inti dari setiap tuntutan syariat.
Berbeda dengan syariat yang menganggap perintah sebagai tuntutan dan
beban maka dalam tataran hakikat perintah tidak lagi menjadi tuntutan dan
beban tapi berubah menjadi kebutuhan. Itulah Aba Ali al-Daqaq yang
dikutip oleh al-Quyairy mengatakan; (Saya mendengar al-Ustadz Abu Ali
al-Daqaq r.a berkata: “firman Allah iyyaka na’budu (hanya padamu aku
menyembah) adalah menjaga syariat sedangkan waiyyaka nastaìn (dan
hanya padamu kami meinta pertolongan) adalah sebuah pengakuan
hakikat. (Al-Qusyairi: 42)

G. Metode Dalam Psikologi Agama


Sebagai sebuah disiplin ilmu, Psikologi Agama mengumpulkan
datadata dan konsep-konsep beragama melalui berbagai penelitian dengan
menggunakan berbagai metode penelitian. Di antara metode-metode
penelitian yang digunakan dalam mengkaji Psikologi Agama adalah:
1. Dokumen Pribadi
Metode ini digunakan untuk mempelajari bagaimana pengalaman dan
kehidupan batin seseorang dalam hubungannya dengan agama. Untuk
mengetahui informasi tentang hal ini maka dikumpulkan dokumen pribadi
seseorang. Dokumen tersebut dapat berupa autobiorafi, biografi atau
catatan-catatan yang dibuat mengenai kehidupan beragama seseorang.14

Metode dokumentasi tersebut dalam penerapannya dapat


menggunakan beberapa teknik, antara lain:
14
Zainal Arifin Abbas. Perkembangan Pemikiran Terhadap Agama. (Jakarta : Pustaka
Al-Husna, 1984), h.48
28

a. Teknik Nomotatik
Pendekatan ini antara lain digunakan untuk mempelajari
perbedaanperbedaan individu. Sementara dalam Psikologi
Agama, teknik nomotik ini antara lain untuk melihat sejauh
mana hubungan sifat dasar manusia dengan sikap keagamaan.
b. Teknik Analisis Nilai (value analysis)
Teknik ini digunakan dalam kaitannya dengan statistik. Data-
data yang telah terkumpul diklasifikasikan menurut teknik
statistik dan dianalisis untuk dijadikan penilaian terhadap
individu yang diteliti.
c. Teknik Ideography
Teknik ini hampir sama dengan teknik nomotatik, yaitu
pendekatan guna memahami sifat dasar manusia. Bedanya,
teknik ini lebih menekankan antara sifat- sifat dasar manusia
dengan keadaan tertentu dan aspek-aspek kepribadian yang
menjadi ciri khas masing- masing individu dalam rangka
memahami seseorang.
d. Teknik Penilaian Sikap (evaluation attitudes technique)
Teknik ini digunakan dalam penelitian biografi, tulisan atau
dokumen yang ada hubungannya dengan individu yang akan
diteliti. Data yang dikumpulkan mengenai sikap beragama
individu yang diteliti
2. Angket
Metode angket digunakan untuk meneliti proses jiwa beragama
pada orang yang masih hidup dengan menggunakan angket sebagai
instrumen pengumpulan data. Metode ini misalnya, dapat digunakan
untuk mengetahui prosentase keyakinan orang pada umumnya tentang
sikap beragama, ketekunan beragama, dan sebagainya. Metode ini
dapat dilakukan dengan menggunakan teknik:
a. Pengumpulan Pendapat Masyarakat (public opinion polls)
29

Cara yang dilakukan melalui pengumpulan pendapat


khalayak ramai. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan
data tentang masalahmasalah yang berkaitan dengan kesadaran
dan pengalaman beragama khalayak ramai.
b. Skala Penilaian (rating scale)
Metode ini antara lain digunakan untuk memperoleh data
tentang faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan khas dalam
diri seseorang berdasarkan pengaruh tempat dan kelompok.
3. Wawancara
Metode wawancara digunakan untuk meneliti proses jiwa
beragama pada orang yang masih hidup melalui wawancara langsung
atau wawancara tidak langsung. Metode ini misalnya, dapat digunakan
untuk mengetahui kesadaran dan pengalaman beragama seseorang
yang dianggap memiliki ciri khusus dalam keberagamaannya.
4. Tes
Metode tes digunakan untuk mempelajari tingkah laku keagamaan
seseorang dalam kondisi tertentu, misalnya tentang pengetahuan
agama, kerukunan antar umat beragama, konversi agama, dan lain-lain.
5. Eksperimen
Eksperimen digunakan untuk mempelajari sikap dan tingkah laku
keagamaan seseorang melalui perlakuan khusus yang sengaja dibuat.
Misalnya eksprimen tentang pengaruh pendidikan shalat yang khusyu’
terhadap perilaku jujur remaja.
6. Observasi melalui pendekatan sosiologi dan antropologi
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data Sosiologi, yaitu
dengan mempelajari sifat- sifat manusiawi orang perorang atau
kelompok. Misalnya penelitian tentang pengalaman beragama
masyarakat pantai atau masyarakat kota.
7. Pendekatan terhadap Perkembangan
30

Pendekatan ini digunakan guna meneliti asal-usul dan


perkembangan aspek psikologi manusia dalam hubungannya dengan
agama yang dianut. Misalnya penelitian keagamaan pada usia lanjut.
8. Metode Klinis dan Proyektivitas
Metode ini memanfaatkan cara kerja klinis. Penyembuhan
dilakukan dengan cara menyelaraskan hubungan antara jiwa dengan
agama. Misalnya menggunakan agama sebagai terapi bagi orang-orang
mengalami tekanan jiwa atau orang-orang yang mengalami neurosis.
9. Studi Kasus
Studi Kasus dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen,
catatan, hasil wawancara atau lainnya untuk kasus-kasus tertentu.
Misalnya kasus konversi agama di Kabupaten Karo.
10. Survei
Metode ini biasanya digunakan untuk penelitian sosial yang
bertujuan untuk penggolongan manusia dalam hubungannya dengan
pembentukan organisasi dalam masyarakat. Misalnya penelitian
tentang konsep Tuhan menurut Remaja di Sumatera Utara.
H. Sejarah Psikologi Agama
Sejarah munculnya Psikologi Agama sebagai disiplin pernah
tercatat kurang harmonis. Psikolog menuduh agama sebagai obsesi,
kadang-kadang sebagai pemenuhan keinginan kanak-kanak,atau sebagai
ilusi seperti yang diungkapkan Freud. Sebagian psikolog menyatakan
sebelum orang mendalami agama lebih dalam, ia harus sakit jiwa dulu.
Pihak ahli agama juga menyebut tidak ada kompromi antara agama dengan
kelompok psikolog. Budaya terapeutis (psikologi) tidak mempunyai
Tuhan. Budaya ini sekarang sedang bergerak untuk memporak-porandakan
struktur moral masyarakat melalui ajakan yang setengah tulus untuk
bersifat toleran, penuh kasih, dan menghargai keragaman.
Di lain tempat pada situs khusus untuk menyerang psikologi
menyatakan, “mungkinkah ada persahabatan antara kegelapan dan cahaya.
Mungkinkah pohon yang tak bertuhan menghasilkan buah yang baik?
31

Tuhan kita adalah Tuhan yang pencemburu. Ia tak ingin berbagi


keagungannya dengan yang lain. Setiap makhluk yang ingin mengganti
firman Khalik adalah berhala. Perubahan paradigma sains dari pandangan
Newtonian diganti dengan Einstenian dengan mekanika quantumnya dan
hasil-hasil penelitian neurologist telah mampu menempatkan pengalaman
religius pada satu posisi dalam otak yang selalu disebut dengan G-Spot.
Penemuan ini menunjukkan bahwa agama adalah masuk akal dan logis.
Inilah yang membuat psikologi menjadi lebih rendah diri dan membuka
diri pada kehadiran agama. Sehingga kajian-kajian Psikologi Agama
mendapat tempat di jajaran psikologi-psikologi khusus lainnya.
Menentukan waktu yang pasti tentang kapan agama pertama kali
diteliti secara psikologi memang agak sulit, sebab dalam tiap agama telah
terkandung di dalamnya pengaruh agama terhadap jiwa. Dalam kitab-kitab
suci setiap agama banyak menerangkan tentang proses jiwa atau keadaan
jiwa seseorang karena pengaruh agama. Dalam Al-Qur’àn terdapat ayat-
ayat yang menunjukkan keadaan jiwa orang-orang yang beriman atau
sebaliknya, orang-orang kafir, sikap, tingkah laku dan doa- doa. Di
samping itu juga terdapat ajaran agama yang berbicara tentang kesehatan
mental, penyakit dan gangguan kejiwaan serta kelainan sifat dan sikap
yang terjadi karena kegoncangan kejiwaan sekaligus tentang perawatan
jiwa.
Salah satu contoh adalah proses pencarian Tuhan yang dialami
oleh Nabi Ibrahim yang diceritakan dalam Al-Qur’àn. Dalam kisah
tersebut dilukiskan bagaimana proses konversi terjadi yang pada diri Nabi
Ibrahim. Pencarian Ibrahin terhadap Tuhan dimulai dengan kekaguman
Ibrahim terhadap benda-benda alam yang diciptakan Allah dan
menganggapnya sebagai Tuhan.
32

BAB IV

TUBUH DAN AGAMA

A. Tubuh dan Agama


1. Pengertian Tubuh dan Agama

Agama memiliki peran untuk menjadi jalan agar manusia


senantiasa berada di jalur yang tepat dan terarah. Tanpa disadari, agama
adalah sebuah cara untuk melaksanakan kehidupan. Agama bukan
hanya mengatur pemeluknya sampai pada tuhan yang disembahnya,
akan tetapi juga mengatur tampilan fisik pemeluknya, tindakan sosial,
dan segala bentuk perilaku sosial diantara masyarakat. Dengan kata
lain, agama tidak bisa diartikan dalam ranah ubudiyah saja, melainkan
juga muamalah keduniaan juga.

Menurut paham ibrani, manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu


bagian tubuh, jiwa, dan roh. Yang pertama dijadikan dari tanah liat,
yang kedua ialah kehidupannya, sedangkan yang ketiga ialah roh yang
dapat merasa, mendengar, melihat, memkirkan dan lain sebagainya.
Pada makhluk hidup, tubuh atau badan adalah bagian fisik materi
manusia ataupun hewan, yang dapat dikontraskan dengan roh, sifat, dan
tingah laku. Menurut KBBI tubuh juga berarti keseluruhan jasad
manusia yang kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut.
Tubuh manusia merupakan keseluruhan struktur fisik organisme
manusia.

Tubuh manusia terdiri atas kepala, leher, batang badan, 2 lengan


dan 2 kaki. Ketinggian rata-rata tubuh manusia dewasa sekitar 1,6 m (5-
6 kaki). Ukuran tubuh manusia biasanya ditentukan oleh gen. Jenis dan
komposisi tubuh dipengaruhi oleh faktor pascakelahiran seperti diet dan
olahraga. Tubuh manusia terdiri atas jaringan dan sel. Gabungan atom,
33

molekul, polipeptida, serta sel tubuh manusia merupakan sumber


kehidupan.15

Tubuh manusia bukan hanya milik seorang pribadi, tetapi telah


menjadi sistem tanda dari budaya masyarakat. Tubuh tidak lagi hanya
mempunyai arti dari dirinya sendiri, tetapi juga harus menuruti norma
umum yang berlaku di masyarakat di mana seseorang hidup. Di satu
sisi tubuh telah menjadi komoditas yang harus dijaga di persiapkan
demi “nilai jual” tertentu, di sisi lain tubuh juga menjadi fondasi untuk
memperjuangkan kepentingan kelompok atau mengingatkan publik
pada kekayaan peradaban manusia. Sejak ribuan tahun yang lalu tubuh
telah menjadi kekayaan yang para doksal, dan bagaimana tubuh harus
diperlakukan telah menjadi perdebatan dalam sejarah. Bahkan dalam
agama-agama besar, khususnya Kristen dan Islam bagaimana
memperlakukan tubuh telah menjadi masalah tersendiri. Agama akan
memelihara manusia dari penyimpangan, kesalahan, dan
menjauhkannya dari tingkat laku yang negatif. Bahkan agama membuat
hati manusia menjadi jernih, halus, dan suci. Dalam Al-Qur’an, ada
beberapa konsep berkenaan dengan manusia.

Agama adalah sebuah fenomena dalam kehidupan manusia,


bahkan merupakan keniscayaan yang selalu dibutuhkan. Setiap individu
masing-masing memiliki hak untuk memeluk agama sesuai
kepercayaan. Hak memeluk agama apapun berlaku untuk siapapun dan
kapanpun, karena masing-masing individu memiliki jalan hidupnya
tersendiri. Sebelum individu memilih kepercayaannya, mereka terlebih
dahulu menyeleksi mana yang sesuai. Akan tetapi, ada juga agama
menetapkan mereka ke dalam suatu agama tetap semenjak individu
tersebut hadir di dunia. Individu membutuhkan kepercayaan yang
dianutnya guna mencari ketenangan, kebenaran, kekhusyukan,
kedekatan yang dirangkum satu menjadi sebuah kebutuhan spiritual.

15
Nurmadiah, Manusia dan Agama,Vol. 1, No. 1 2019.Hal. 30.
34

Apabila individu telah menganut suatu kepercayaan, maka


individu tersebut harus mampu memahami apa itu kepercayaannya.
Pemahaman akan kepercayaan harus membutuhka waktu yang tidak
sedikit, karena dalam sehari-hari kita banyak menemukan hal baru.

Memeluk agama dan kepercayaan tertentu erat hubungannya


dengan kehidupan spiritual dan kondisi kesehatan sesorang. Dari suatu
riset, diketahui bahwa melakukan kegiatan keagamaan secara teratur
dapat menambah usia harapan hidup hingga 2-3 tahun. Orang yang
rutin beribadah sesuai kepercayaannya juga akan merasa lebih damai,
tenang, bahagia, serta dipenuhi perasaan kasih sayang dari dan terhadap
orang-orang di sekitarnya. Beberapa hal tersebut menjadi alasan
mengapa agama dapat membuat seoarang lebih sehat salah satunya
yaitu mengajarkan cara hidup yang sehat contohnya seperti berpuasa
melakukan meditasi dan berdo’a.

B. Tubuh dan Pengalaman Keagamaan

Sesorang yang benar-benar mengaku sebagai beragama, maka


sikap dan tindakan yang harus ia miliki adalah adaptasi diri terhadap apa
yang menjadi kandungan dan muatan ajaran agama yang ia peluk.
Penyesuaian demikian bukan berarti menbatasi kebebasan yang menjadi
keinginan manusi, melainkan merupakan konsekuensi dari keyakinannya.
Disinilah dapat difahami, bahwa kepercayaan kepada Tuhan Yang
Mahapengasih dan penyayang adalah juga mengindahkan segala aturan
yang diberikan kepada umat manusia berupa norma-norma yang
terkandung dalam ajaran agama. Disini juga dapat difahami bahwa isi
ajaran harus diyakini kebenarannya lebih tinggi dibanding sekedar hasil
upaya rasional manusia.

Segala kecenderungan manusia dalam hidupnya perlu disesuaikan


dengan aturan yang telah ditetapkan dalam ajaran yang bersifat universal.
Sebab tanpa demikian, daya ikat yang memang dimiliki agama terhadap
35

setiap pemeluknya melalui ajaran yang telah disampaikan tidaklah berarti


sama sekali.Secara tegas, segala sikap, ide dan pemikiran serta perilaku
yang dilakukan umat manusia harus mencerminkan isi ajaran agama yang
ia yakini.16

Perasaan beragama yang demikian, meskipun tidak mudah dialami


oleh setiap orang beragama, baik secara individual maupun sosial, akan
benar-benar memposisikan agama sebagai pandangan serta pijakan hidup.
Sebab, fungsi agama sebagai pegangan hidup belum cukup dengan adanya
ajaran yang memuat sejumlah aturan yang masih abstrak, tanpa
kesanggupan pemeluk bersangkutan untuk menghadirkan sejumlah
perilaku praksis empirik yang tidak bertentangan dengan isi ajaran yang
prinsipal tersebut. Di sinilah konsekuensi dari keyakinan beragama, dan di
situ pula makna ketundukan dan pengakuan terhadap ke-Mahakuasa-an
Tuhan yang tercermin dalam definisi agama. Agama hanya menunjuk pada
rasa percaya kepada Zat Gaib yang Mahakuasa, termasuk sejumlah ajaran
yang Dia turunkan. Selain universal, sifat ajaran juga abstraks karena
belum merupakan realita praksis dalam bentuk perilaku sang pemeluk.

Sedangkan yang dimaksud keberagamaan adalah realita


pelaksanaan ajaran oleh pemeluk agama selama kehidupannya dalam segi
apapun secara praksis empirik. Pengalaman keberagamaan mengambil
sebuah sistem perilaku keberagamaan pemeluk yang didasarkan pada
aturan-aturan prinsipal yang terkandung dalam ajaran agama. Setiap satuan
ajaran agama bersifat universal, sehingga berlaku dan dapat dipedomani
oleh setiap individu pemeluknya, di mana, kapan dan dalam kondisi
apapun. Sistem perilaku pemeluk tentunya merupakan kesantuan utuh
yang mencakup sekian komponen, termasuk pola pikir, kondisi kehidupan,
ruang waktu dan ruang tempat yang mengitarinya. Sementara, komponen-
komponen dimaksud sangat mungkin terjadi perbedaan diantara pemeluk

Marsika Manshur,”Agama dan Pengalaman Keberagamaan” , Vol. 4 No. 2


16

(Lamongan,Indonesia.2017).Hal.133
36

satu dengan pemeluk yang lain, disebabkan sifat dinamis yang dimiliki
oleh manusia, disamping keragaman karakter dan kepribadian sebagai
pihak pemeluk.17

Dalam satu agama, setiap sistem perilaku (keberagamaan)


seseorang pemeluk tidak akan sama persis – untuk tidak mengatakan
berbeda sama sekali – dengan sistem keberagamaan pemeluk yang lain
disebabkan oleh adanya perbedaan substansial maupun kondisional satu
komponen sistem yang dimiliki oleh masing-masing. Oleh karena itu,
setiap perilaku keberagamaan seseorang adalah sebuah singularitas, dan
dengan demikian, pada sepuluh orang yang beragama sama misalnya, akan
terdapat sepuluh jenis satuan singularitas keberagamaan.Prosedur
keberagamaan seseorang dimulai dengan tahap pemahaman terhadap isi
dan maksud petunjuk ajaran agama. Pada tahap kognitif ini, keterlibatan
intelektual sangat menonjol. Sementara kemampuan daya fikir antar
pemeluk tidak sama. Keseragaman metode pemahaman kiranya belum
menjamin hasil pemahaman yang sama karena perbedaan derajat
intelektual, belum ditambah lagi perbedaan kemampuan ilmu pengetahuan
yang mendukung dalam proses pemahaman tersebut. Sebagai konsekuensi
logis adalah perbedaan hasil pemahaman antar pemeluk agama yang sama.

Sepanjang proses pemahaman telah memenuhi kriteria-kriteria


yang tepat serta menggunakan metode yang relevan, sepanjang itu pula
upaya pemahaman dapat dibenarkan, meski hasil pemahaman bisa berbeda
antara orang perorang. Dalam banyak hal gambaran upaya ijtihadi
demikian yang membuahkan perbedaan hasil masih dapat dimaklumi.
Artinya, kualitas proses dan hasil pemahaman isi dan maksud ajaran
agama tergantung oleh kualitas dan sifat unsur-unsur sistem pemahaman
yang dibina oleh seorang pemeluk agama, ditambahkan lagi bahwa proses
pemahaman tersebut adalah sebuah kerja yang manusia, dalam artian,

17
Robertus Suraji, Membangun Teologi Tubuh Dari Bawah Belajar Dari Pengalaman
Olah Tubuh Tari Lengger,Vol.2.No.2(Jawa Barat:2018).Hal.127.
37

kebenarannya sangat relatif karena dilakukan oleh sosok makhluk yang


relatif.

Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan- perubahan yang


dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya atau
kematangannya yang berlangsung secara sistematis (saling bergantungan
sama lain dan saling mempengaruhi antara bagianbagian orgasme dan
merupakan suatu kesatuan yang utuh). 24 Dijelaskan dalam QS Al-
Mukmin ayat 67 menjadi bukti perkembangan anak pada umumnya. 18

C. Tubuh dan Perkebangan Keagamaan


Penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan
atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-
nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya
ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk
mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam
bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara
simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari.

Abin Syamsuddin menjelaskan tahapan perkembangan


keagamaan, beserta ciri-cirinya sebagai berikut :
1. Perkembangan Keagamaan Masa Kanak-Kanak Awal
a) Sikap reseptif meskipun banyak bertanya
b) Pandangan ke-Tuhan-an yang dipersonifikasi
c) Penghayatan secara rohaniah yang belum mendalam
d) Hal ke-Tuhan-an dipahamkan secara ideosyncritic
(menurut khayalan pribadinya)
2. Perkembangan Keagamaan Masa Kanak-Kanak Akhir
a) Sikap reseptif yang disertai pengertian
b) Pandangan ke-Tuhan-an yang diterangkan secara
rasional

Luthfan Rezqi Perdana,Tema-tema Pengalaman Beragama Pada Individu,Vol.4, No. 1.


18

(2017).Hal. 71
38

c) Penghayatan secara rohaniah semakin mendalam,


melaksanakan kegiatan ritual diterima sebagai
keharusan moral.
3. Perkembangan Keagamaan Masa Remaja Awal
a) Sikap negatif disebabkan alam pikirannya yang kritis
melihat realita orang – orang beragama yang hypocrit
(pura-pura).
b) Pandangan ke-Tuhan-an menjadi kacau, karena
beragamnya aliran paham yang saling bertentangan.
c) Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptik, sehingga
banyak yang enggan melaksanakan ritual yang selama ini
dilakukan dengan penuh kepatuhan
4. Perkembangan Keagamaan Masa Remaja Akhir
a) Sikap kembali ke arah positif, bersamaan dengan
kedewasaan intelektual bahkan akan agama menjadi
pegangan hidupnya
b) Pandangan ke-Tuhan-an dipahamkannya dalam konteks
agama yang dianut dan dipilihnya.
c) Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui
proses identifikasi dan merindu puja, ia dapat membedakan
antara agama sebagai doktrin atau ajaran manusia.19

BAB V

AGAMA DALAM OTAK MANUSIA

A. Agama Dan Otak Manusia

19
Marsika Manshur,”Agama dan Pengalaman Keberagamaan” , Vol. 4 No. 2
(Lamongan,Indonesia.2017).Hal.134
39

Dari pandangan islam sendiri AL-Quran surah al-alaq ayat 16


bahwa Allah SWT menyebutkan bahwa gambaran otak manusia
adalah ’’ naqshiyah’’ atau yang disebut dengan ubun-ubun.20
Otak merupakan mesin dari kendaraan bernama manusia,
tarikan dari mesinnya ketika dinyalakan bisa menciptakan berbagai
gaya, ada gaya kesedihan, kebahaiaan bangga. Bahan bakarnya adalah
pengetahuan, semua itu satu padu dalam kendaraan yang bernama
manusia. Kesalahan yang terjadi adalah kita memperlakukan anak-
anak kita tidak bisa belajar, karna sering mengantuk, sukar
memahami, dan kalau di beri pekerjaan rumah tidak di kerjakan. Hal
itu yang menyebabkan ekspresi yang bernama depresi tindakan yang
dilakukan adalah ke psikologi ataupun psikiater. Hal itu sebenarnya
salah besar karena psikoloq tidak mengerti apapun tentang otak
mereka tidak membelajari otak yang mereka pelajari adalah
pengalaman-pengalaman apa saja yang menyebabkan seseorang.
B. Kerusakan Otak Kronis Dan Agama
Jika kerusakan makin banyak, evaluasi kepercayaan religus akan
semakin sulit dilakukan. Namun, peneliti menyarankan adanya riset
lanjutan soal proses sosial dan interaksi untuk memahami keyakinan
religius. Kerusakan pada bagian otak terkait erat dengan rendahnya
keterbukaan terhadap ide-ide baru untuk berujung keesxstriman
pandangan religus. Meski ada keterbatasan, hasil riset tersebut
diyakini tetap penting. Trlebi ekstremisme saat ini menjadi isu politik
dan keamanan yang tengah menjadi tren di dunia. Soal proses dan
interaksi untuknmemahami keyakinan religius.
C. Otak Asimetris dan Agama
Karakteristik otak menentukan karakter seseorang, bgitu
menrut neurologi. Religiusitas seseorangpun di tentukan oleh otaknya.
Menurut temuan yang diliris di jurnal Neuropsychologia Mei 2017,
20
Salsabila, Unik Hanafiah. ‘’MEMBANGUN KESADARAN SPIRITUAL DI ABAD 21: DARI
AKTIVITAS MENGAGUMI HINGGA MENGINSPIRASI.’’ Jurnal AL-Manar 8.1 (2019): 51-
60.
40

ekstrmisme agama bisa terjadi karena ada kerusakan pada bagian


Ventromedial Prefrontal Cortex. Namun demikian, studi itu tetap
penting untuk mengungkap kaitan antara otak dan kepercayaan
seseorang. Riset lain yang perlu dilakukan adalah pengaruh sosial.
Meskipun kepercayaan pada agama dan lainya bisa dipelajari elektif
dan terpisah dari kongnisi dan proses sosial lainya, ketergantungannya
pad, dan ineraksinya dengan fungsi otak akan menjadi area studi yang
penting, ungkap Grafman. Kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki
manusia merupakan manifestasi dari beberapa kebutuhan yang
ditujukan untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut.21
D. Tuhan dan Manusia
Dalam tulisan ini penamaan tuhan sebagai Robb Malik dan
Ilaah, yang mana tuhan itu sendiri adalah sesuatua yang terdapat
dalam fikiran (Mind) nanusia, hati mrupakan kamar kecil yang
terdapat di dalamnya yaitu hati nurani atau suara hatu atau merupaka
suatau titik kecil atau kotak kecil yang tersembunyi secara kuat dan
rapih di dalam hati, hati nurani merupakan garis manusia dengan
tuhan atau yang menghubungkan manusia dengan Tuhan. Sedangkan
manusia adalah suatu makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifahnya di
muka bumi, serta sebagai makhluk yang sami-samawi, dan semi-
seduniawi, yang di dalam dirinya ditanamka sifat mengakui Tuhan,
bebas, terpecaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam
semesta: serta karunia keunggulan atas alam semesta langit dan bumi
yang memiliki pengungkapan-pengungkapan sebagai Al-basyar, An-
nas, al-insan dan Bani Adam.22

BAB VI

Syaiful Hamali, Terapi Agama Terhadap Problematika Psikis Manusia, hal:1-3, jurnal Syaiful
21

Hamali
22
Armin Tedy, Pemikiran Keislaman, Dan Tafsir Hadits Tuhan Dan Manusia, vol:2
(2017) El-fakar jurnal Armin Tedy
41

PENDEKATAN BEHAVIORISME DAN TEORI TEORI AGAMA


KONTEMPORER

A. Pengertian Teori Behaviorisme.

Teori Behaviorisme adalah teori yang mempelajari perilaku


manusia. Perspektif behavirisme berfokus pada peran dari belajar dalam
menjelaskan tingkah laku manusia dan terjadi melalui rangsangan
berdasarkan (stimulus) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif
(respons) hukum-hukum mekanistik.23

Teori belajar behavoristik adalah teori pembelajaran yang


mengamati dan mempelajari perubahan tingkah laku seseorang sebagai
hasil dari pengalaman di masa lalu. Teori ini menekankan bahwa tingkah
laku yang ditunjukkan seseorang merupakan akibat dari interaksi antara
stimulus dengan respon. Teori ini berkembang dan cenderung mengikuti
aliran psikologi belajar lantas menjadi dasar pengembangan teori
pendidikan dan pembelajaraan saat ini. Ciri dari implementasi sukses teori
belajar behavioristik ini adalah adanya perubahan perilaku yang
ditunjukkan seseorang setelah mengalami kejadian di masa lampau.
Perubahan adalah tanda bahwa seseorang telah merespon suatu kejadian
dan menjadikannya pembelajaran untuk tidak menggunakan respon yang
sama di masa depan, guna menghindari akibat yang pernah dialaminya.24

Menurut Arya pada tahun 2010 Behaviorisme adalah teori


perkembangan perilaku, yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh
respon pelajar terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat
diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku
kondisi yang diinginkan.25

23
Punadji Setyosari, Teori belajar dan pembelajaran, ( Yogyakarta ; Pustaka Setia .
2017).h.88
24
Ahmad Izzan, Metodologi Pembelajaran, ( Bandung ; Pustaka Nasional, 2000).h.59

25
Ibid.h.89
42

Teori ini masih banyak digunakan, baik dalam institusi pendidikan


Indonesia maupun dalam implementasi kehidupan sehari-hari. Sebagai
contoh:

1. Pendisiplinan murid yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR)


dengan mengurangi poin perilakunya yang menjadi pertimbangan
pemberian nilai akhir atau nilai rapor.
2. Ketika terlambat datang kerja maka seorang pekerja kantoran bisa
mendapatkan sanksi, mulai dari teguran sampai surat peringatan.
3. Polisi yang memberikan surat tilang pada pengendara kendaraan
yang tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas, seperti menyalip
ketika marka jalan berupa garis lurus atau ketika mengendarai motor
tanpa menggunakan helm.
4. Sanksi sosial berupa pengucilan terhadap masyarakat yang dianggap
telah bertindak menyeleweng dari budaya dan norma sosial yang
berlaku di suatu tempat tertentu.

Perlu ditekankan kembali bahwa teori belajar behaviorisme ini


tidak hanya mencakup dunia pendidikan saja, tetapi dalam kehidupan
sehari-hari. Kita melakukan pembelajaran bukan hanya di sekolah, tetapi
juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Maka dari itu teori ini
berhasil diimplementasikan pada hampir semua lini kehidupan
bermasyarakat, meski sebagian besar implementasi ini tak jauh dari
institusi pendidikan.26

B. Pandangan behaviorisme tentang agama.

Rolston mengatakan dalam behaviorisme ada suatu respon awal


yang mengikuti sejumlah stimulus awal. Oleh karena itu suatu perilaku
yang berlangsung kembali terhadap lingkungan akan menghasilkan
konsekuensi-konsekuensi dan berbagai konsekuensi tersebut menjadi

26
Ibid.h.60
43

stimulus subsequent pada organisme agar bisa menghasilkan beragam


konsekuensi dan inilah yang menjadi stimulus baru.

Sedangkan mengenai behaviorisme dan agama, rolston


mengatakan bahwa anugrah yang di terima manusia setelah rasionalitas,
moralitas, dan nilai adalah kemampuan untuk mencintai. Kejadian ini
seringkali diidentikkan oleh teolog sebagai tanda suci hadirnya Tuhan
dalam diri manusia. Namun, jika cinta yang kita miliki satu sama lain
direduksi menjadi output yang merespon stimulus kausalitas, maka
manusia nyaris sulit disebut manusia dan tak lagi terisi kesucian dalam
dirinya. Suatu pandangan yang mekanis dan pasif tentang perbuatan
manusia yang telah mensekulerkan hidup, mengabaikan atau menyangkal
demensi yang “disakralkan” pada sisi kausalitas, agama tampak seperti
suatu penguat sejarah. Fungsi ini telah dijalankan oleh bentuk-bentuk
kelembagaan dimana agama merupakan suatu bentuk prilaku. Hal ini
seperti suatu efek, bahwa agama bagi seseorang merupakan respon
terhadap suatu stimulus “sociorelijius”. Oleh karena itu kepercayaan
agama seperti keyakinan bahwa hidup itu sacral, ada ampunan dosa, yakni
bahwa dunia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa karena kepercayaan-
kepercayaan tersebut merupakan produk pengutan-penguatan yang
membentuk sebab-sebab yang diperlukan oleh kepercayaan tersebut.

Padangan behaviorisme terhadap agama tidak terlalu memberikan


perhatian yang banyak kepada agama. Penganut behaviorisme yang ketat,
juga bersimpati kepada agama yang cederung di kesampingkan /
mengabaikan agama dalam karya-karya mereka. Pengabaian mereka
menunjukkan adalah prilaku keagamaan sebagai prilaku lain yang
merupakan akibat dari proses tanggapan fisikologis manusia. Dengan
demikian taka da kemungkinan untuk menggali agama dasegi
44

metafisisnya. Maka dari psikologi ilmiah didominasi oleh mazhab


behavioristis jarang menyinggung secara serius tetang topic keagamaan.27

1. Teori Vetter tentang Magic dan Agama.


1. Magic.

Menurut toeri vetter Magic adalah kepercayaan dengan


keyakinan bahwa secara langsung mereka dapat mempengaruhi
kekuatan alam dan diantara mereka sendiri, entah itu tujuan baik atau
buruk dengan usaha-usaha mereka sendiri dalam memanipulasi daya-
daya yang lebih tinggi.

Magic juga sering dikatakan erat hubungannya dengan sihir.


Tetapi, kata tersebut semula berarti imam, sehingga aneh sekali bila
magic berhubungan dengan sihir sebab sihir termasuk perbuatan yang
sangat tidak baik. Namun magic justru berarti ilmu sihir. Sebenarnya
menurut kepercayaan masyarakat primitif pengertian magic lebih luas
daripada sihir, karena yang dikatakan magic menurut kepercayaan
mereka adalah suatu cara berfikir dan suatu cara hidup yang
mempunyai arti lebih tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang
ahli sihir. Orang yang percaya dan menjalankan magic mendasarkan
idenya pada dua hal, yaitu:

a) Bahwa dunia ini penuh dengan daya-daya gaib, yang disebut


daya-daya alam oleh orang modern.
b) Bahwa daya-daya gaib tersebut dapat digunakan, tetapi
penggunaannya tidak dengan akal pikiran melainkan dengan
cara yang irrasional.

Dalam masyarakat primitif, kedudukan magis sangat penting.


Boleh dikatakan semua upacara keagamaan, sikap hidup orang-orang
primitif, terutama sikap rohani mereka, adalah bersifat magis karena magis

27
Evi Rufaedah, Teori Belajar Behaviorisme Menurut Perspektif Islami,( jurnal
pendidikan dan studi islam, Vol.4 No.1 maret 2018). h.17
45

merupakan segala perbuatan atau abstensi dari segala perbuatan mereka


untuk mencapai suatu maksud tertentu melalui kekuatan-kekuatan yang
ada di alam gaib.28

2. Agama.

Agama menurut teori vetter agama adalah sistem yang mengatur


kepercayaan dan peribadatan Kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan budaya, dan pandangan dunia yang
menghubungkan manusia dengan tatana kehidupan. Banyak agama
memiliki mitologi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk
menjelaskan makna hidup yang menjelaskan asal-usul kehidupan atau
alam semesta. Agama juga dapat dikatakan menpunyai 2 tujuan :

a) Instrumental.

Instrumental adalah mereka yang menggunakan agama untuk


mencapai tujuan-tujuan khusus.

b) Eksperesif.

Eksperesif adalah mereka yang menggunakan agama untuk


menyatakan dan mengumpulkan hubungan-hubungan sosial dan
kormologis tertentu.

Bansyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku,


kependetaan, definisi tentang apa yang merupakan kepatuhan atau
keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktik agama juga dapat
mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau
dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan,
layanan pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan
atau aspek lain dari kebudayaan manusia. Agama juga mungkin
mengandung mitologi. atau agama kadang-kadang digunakan bergantian
dengan iman, sistem kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas.
28
https://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/09/magic-agama-dan-ilmu-pengetahuan.
46

Agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan
praktik yang berhubungan dengan hal yang suci.29

2. Pandangan Skinner Tentang Ilmu Pengetahauan dan Perilaku


Manusia.
1. Ilmu Pengetahauan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengetahuan


berarti segala sesuatu yg diketahui; kepandaian: atau segala sesuatu yg
diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran).30

Ilmu pengetahuan adalah suatu proses pembentukan pengetahuan


yang terus menerus sampai menjelaskan phenomena yang bersumber dari
wahyu, hati, dan semesta sehingga dapat diperiksa atau dikaji secara kritis
dengan tujuan untuk memahami hakikat, landasan, dasar, da nasal usul
sehingga dapat juga memperoleh hasil yang logis.

Skinner memandang pengetahuan sebagai unsur yang paling


penting dalam proses belajar mengajar. Ilmu pengetahuan adalah sesuatu
yang berawal dari pengetahuan, bersumber dari wahyu, hati dan semesta
yang memiliki paradigma, objek pengamatan, metode, dan media
komunikasi membentuk sains baru dengan tujuan untuk memahami
semesta untuk memanfaatkannya dan menemukan diri untuk menggali
potensi fitrawi guna mengenal Allah.

Menurut skinner terdapat beberapa syarat-syarat ilmu pengetahuan adalah


sebagai berikut:

a) Logis atau Masuk Akal, sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan


yang diakui kebenarannya.
b) Objektif, sesuai berdasarkan objek yang dikaji dan didukung dari
fakta empiris.

29
 https://nia.wikipedia.org

30
Ratna sukmayani, Ilmu Pengetahuan Sosial, ( Bandung ; Sinar baru, 2019). h.6
47

c) Metodik, diperoleh dari cara tertentu dan teratur yang dirancang,


diamati dan terkontrol.
d) Sistematik, disusun dalam satu sistem satu dengan saling berkaitan
dan menjelaskan sehingga satu kesatuan.
e) Berlaku umum atau universal, berlaku untuk siapapun dan
dimanapun, dengan tata cara dan variabel
f) eksperimentasi yang lama untuk hasil yang sama.
g) Kumulatif berkembang dan tentatif, ilmu pengetahuan selalu
bertambah yang hadir sebagai ilmu pengetahuan baru. Ilmu
pengetahuan yang salah harus diganti dengan yang benar disebut
sifat tentatif.

Dan juga terdapat beberapa ciri-ciri ilmu pengetahuan adalah


sebagai berikut:

a) Empiris ialah berdasarkan proses pengamatan dan percobaan untuk


memperoleh pengetahuan.
b) Sistematis adalah berbagai data pengetahuan yang tersusun utuh dan
menyeluruh mampu menjelaskan objek yang dikajinya.
c) Objektif ialah ilmu pengetahuan yang secara ideal dapat diterima
oleh semua pihak dari prasangka perseorangan dan kesukaan
pribadinya.
d) Analitis adalah menguraikan persoalan menjadi bagian-bagian rinci
sehingga dapat berusaha membeda-bedakan pokok persoalan
peranan dan bagiannya.
e) Verifikatif adalah ilmu pengetahuan yang dapat dikaji
kebenarannya.31
2. Perilaku Manusia.

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri


yang mempunyai bentangan arti yang sangat luas antara lain : berjalan,
31
Rahayu Surtiati Hidayat, Hakikat Ilmu Pengetahuan dan Budaya, ( Jakarta; Yayasan
pustaka , 2018). h.3
48

berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan


sebagainya. Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas
manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati
oleh pihak luar. Perilaku ialah segala perbuatan atau tindakan yang
dilakukan oleh makhluk hidup yang dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa
untuk berpendapat, berfikir, bersikap, dan lain sebagainya yang
merupakan refleksi dari berbagai macam aspek, baik fisik maupun non
fisik.

Menurut skinner perilaku manusia diartikan sebagai suatu aksi dan


reaksi organisme terhadap lingkungannya, hal ini berarti bahwa perilaku
baru akan terwujud bila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan
tanggapan yang disebut rangsangan, dengan demikian maka suatu
rangsangan tertentu akan menghasilkan perilaku tertentu pula yang dapat
respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar.
Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap
organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori
Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon.

MenuRUt skinner terdapat beberapa proses pembentukan perilaku yang


dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam diri individu itu
sendiri, faktor-faktor tersebut antara lain :

a) Persepsi, Persepsi adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan


melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan
sebagainya.
b) Motivasi, Motivasi diartikan sebagai dorongan untuk bertindak
untuk mencapai sutau tujuan tertentu, hasil dari pada dorongan dan
gerakan ini diwujudkan dalam bentuk perilaku
c) Emosi, Perilaku juga dapat timbul karena emosi, Aspek psikologis
yang mempengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan
jasmani, sedangkan keadaan jasmani merupakan hasil keturunan
49

(bawaan), Manusia dalam mencapai kedewasaan semua aspek yang


berhubungan dengan keturunan dan emosi akan berkembang sesuai
dengan hukum perkembangan, oleh karena itu perilaku yang timbul
karena emosi merupakan perilaku bawaan.
d) Belajar, Belajar diartikan sebagai suatu pembentukan perilaku
dihasilkan dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan.
Barelson (1964) mengatakan bahwa belajar adalah suatu perubahan
perilaku yang dihasilkan dari perilaku terdahulu. 32
C. Hubungan Behaviorisme Kognitif dan Teori Belajar.

Hubungan behaviorisme kognitif dan teori belajar sosial memiliki


keterkaitan yang mana behaviorisme kognitif lebih menekankan pada
teori belajar sosial yang merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal
pikiran manusia. Pada dasarnya teori belajar sosial adalah suatu proses
usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia
sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk
memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman,
tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan
berbekas.

Behaviorisme kognitif akan lebih berhasil apa bila di hubungkan


dengan teori belajar sosial yang dimulai dengan tahap perkembangan
kognitif dan adanya peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi
kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan teman sebaya dan
dibantu oleh pertanyaan dari guru yang hendak memberikan ransanggan
kepada peserta didik agar mau berintraksi dengan lingkungan secara aktif
mencari dan menemukan berbagai hal yang bekenaan dengan lingkungan
disekitarnya.33

BAB VII

32
https://nia.wikipedia.org

33
Ibid.h.19
50

MENGUKUR RELIGIUSITAS

A. Religiusitas
Menurut Gazalba religiusitas berasal dari kata religi dalam bahasa
Latin “religio” yang akar katanya adalah religure yang berarti mengikat.
Dengan demikian, mengandung makna bahwa religi atau agama pada
umumnya memiliki aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemeluknya. Kesemuanya itu berfungsi
mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan
Tuhan, sesama manusia, dan alam sekitarnya.
Religiusitas juga berasal dari bahasa Inggris “religion” yang berarti
agama. Kemudian menjadi kata sifat “religious” yang berarti agamis atau
saleh dan selanjutnya menjadi kata keadaan “religiosity” yang berarti
keberagamaan atau kesalehan. Religi yang berakar dari kata religare
berarti mengikat. Wundt seorang ahli psikologi, pernah memberikan
penjelasan tentang istilah ini, yaitu sesuatu yang dirasakan sangat dalam,
yang bersentuhan dengan keinginan seseorang, membutuhkan ketaatan dan
memberikan imbalan atau mengikat seseorang dalam suatu masyarakat.34
Religiositas menurut istilah adalah suatu kesatuan unsur-unsur
yang komprehensif yang menjadikan seseorang disebut sebagai orang
beragama (being religious) dan bukan sekadar mengaku mempunyai
agama (having religion). Religiusitas meliputi pengetahuan agama,
keyakinan agama, pengamalan ritual agama, pengalaman agama, perilaku
(moralitas) agama dan sikap sosial keagamaan.Religiositas adalah suatu
sistem yang komplek dari kepercayaan dan keyakinan dan sikap-sikap dan
ucapan –ucapan yang menghubungkan individu dengan satu keberadaan
atau kepada sesuatu yang bersifat ketuhanan. Dalam islam, religiositas
pada garis besarnya tercermin dalam pengamalan aqidah, syariah, dan
akhlak dengan ungkapan lain iman, islam, dan ihsan. Pengalaman agama
adalah unsur perasaan dalam kesadaran agama yaitu perasaan yang

34
Djamaludin Ancok, Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal. 77
51

membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan. 35 Adapun


istilah yang digunakan para ahli untuk menyebut aspek religiositas berasal
dari kata religius yang berada dalam diri manusia. Yang menyangkut
moral, atau akhlak, serta keimanan dan ketaqwaan seseorang.
Menurut Pargament,13 agama (religi) merupakan “Suatu pencarian
makna terkait dengan kesucian”. Definisi ini memiliki dua aspek penting:
pencarian akan makna (asearch for significance) dan kesucian (sacret).
kesucian menurut kamus Oxford merujuk kepada hal-hal yang dianggap
keramat, yakni zat yang patut disembah.Pargament & Mahoney
mendefinisikan kesucian sebagai sesuatu yang bersifat Illahiyah atau
berbagai aspek kehidupan yang memiliki karakter ketuhanan, seperti
kebajikan yang diasoasikan dengan hal-hal yang bersifat keilahiahan.
Berdasarkan definisi ini, maka berbagai aspek kehidupan dapat bertindak
sebagai karakter yang istimewa melalui representasi ketuhanan. Apa yang
membuat agama berbeda adalah pelibatan kesucian dalam pencarian akan
makna hidup seseorang.
Ahli psikologi Gordon Allport membedakan dua orientasi agama,
yakni orientasi ekstrinsik dan intrinsik. Kedua orientasi tersebut, walaupun
secara konsep dan psikometri sulit diukur namun telah diterima secara
meluas. Menurut Allport dan Ross, orientasi ekstrinsik merupakan ciri dari
orang yang cenderung menggunakan agama sebagai tujuan akhir mereka.
Orang dengan orientasi ini menganggap agama bermanfaat dalam berbagai
hal, karena agama memberikan ketenangan, memberi panduan cara
bersosialisasi dan pencarian kebenaran. karakteristik dari orientasi
intrinsik adalah orang menemukan maksud utama pada agama. Mereka
sebisa mungkin membawa ajaran-ajaran agama yang diyakininya ke dalam
perilaku kehidupan sehari-hari di masyarakat. Seseorang yang memiliki
orientasi ini berupaya untuk menginternalisasi agama yang diyakini dan
mengikutinya secara total. Dalam hati dan pikiranya selalu berpedoman
pada agama.

35
Jalaluddin. psikologi agama. (Jakarta : PT Raja grapindo persada, 2005), hal.15
52

Religi atau jiwa agama, pertama kali muncul di tengah-tengah kita


sebagai pengalaman personal dan sebagai lembaga sosial. Setiap diri kita
adalah bagian dari anggota kelompok keagamaan. Dalam aspek perilaku,
agama identik dengan istilah religiusitas (keberagamaan) yang artinya
seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa
pelaksanaan ibadah dan akidah, dan seberapa dalam penghayatan atas
agama yang dianutnya. Bagi seorang Muslim, religiusitas dapat diketahui
dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan
atas agama Islam.
B. Dimensi-dimensi dalam religiositas
Menurut Glock dan Stark, ada lima dimensi keberagamaan. 36
Pertama, dimensi peribadatan atau praktik agama (the ritualistic
dimension, religious practice); yaitu aspek yang mengatur sejauh mana
seseorang yang melakukan kewajiban ritualnya dalam agama yang
dianut. Kedua, dimensi keyakinan (the ideological dimension, religious
belief); yang berfungsi untuk mengukur tingkatan sejauh mana
seseorang menerima hal-hal yang bersifat dogmatis dalam agama.
Ketiga, dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimension,
religious knowledge); yaitu tentang seberapa jauh seseorang
mengetahui, mengerti, dan paham tentang ajaran agamanya, dan sejauh
mana seseorang itu mau melakukan aktifitas untuk semakin menambah
pemahamannya dalam keagamaan yang berkaitan dengan agamanya.
Keempat, dimensi pengamalan (the experiential dimension, religious
feeling); berkaitan dengan sejauh mana orang tersebut pernah
mangalami pengalaman yang merupakan keajaiban dari Tuhan.37
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi religiositas

36
Friedman, kepribadian teori klasik dan modern,(Jakarta: erlangga,2006), hal. 34

37
Baharruddin dan Mulyono, psikologi agama dalam persfektif islam,(malang : UIN Malang
Press,2008), hal.35
53

Dalam kitab Ara’Ahl al-Madinah al-Fadlilah, dijelaskan bahwa


manusia mempunyai lima kemampuan atau daya, yang menjadi faktor
dominan dalam mempengaruhi sikap religiusitas seseorang. Adapun
kelima faktor tersebut, antara lain:

a) Kemampuan untuk tumbuh yang disebut daya vegetatif (alquwwat


al-ghadziyah), sehingga memungkinkan manusia berkembang
menjadi besar dan dewasa.
b) Daya mengindera (al-quwwah al-hassah), yang memungkinkan
manusia dapat menerima rangsangan seperti panas, dingin dan
lainnya. Daya ini membuat manusia mampu mengecap, membau,
mendengar dan melihat warna serta obyek-obyek penglihatan lain.
c) Daya imajinasi (al-quwwahal mutakhayyilah) yang memungkinkan
manusia masih tetap mempunyai kesan atas apa yang dirasakan
meski obyek tersebut telah tidak ada lagi dalam jangkauan indera.
d) Daya berpikir (al-quwwat al-nathiqah), yang memungkinkan
manusia untuk memahami berbagai pengertian sehingga dapat
membedakan antara yang satu dengan lainnya, kemampuan untuk
menguasai ilmu dan seni
e) Daya rasa (al-quwwah al-tarwi'iyyah), yang membuat manusia
mempunyai kesan dari apa yang dirasakan: suka atau tidak suka.

Berdasarkan pada konsep psikologi al-Farabi, maka dapat


disimpulkan bahwa manusia tidak hanya merangkum potensi-potensi
tumbuhan (vegetative) dan binatang (animal). manusia juga mempunyai
potensi intelek (al-aql al-kulli), sehingga dengan sendirinya manusia pun
memiliki kesanggupan untuk lepas dari belitan dunia materi. Intelek ini
diyakini banyak orang, akan mampu mengantarkan manusia “bertemu”
dengan Tuhannya. Disinilah letak keutamaan nilai seorang manusia
dibanding makhluk lain di sekitar mereka.38

38
Hurlock, psikologi perkembangan :suatu perkembangan :suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan,(Jakarta :erlangga,1980), hal.56
54

Religiusitas bukan merupakan aspek psikis bersifat instinktif, yaitu


unsur bawaan yang siap pakai. Religiusitas juga mengalami proses
perkembangan dalam mencapai tingkat kematangannya. Religiusitas tidak
luput dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangannya.
Pengaruh tersebut baik yang bersumber dalam diri seseorang maupun yang
bersumber dari faktor luar.

Menurut Thouless dalam sayyidatul faktor-faktor yang mempengaruhi


religiusitas ada empat yaitu :

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dari berbagai tekanan sosial


(faktor sosial) yang mencakup semua pengaruh sosial dalam
perkembangan sikap keagamaan, termasuk pendidikan dan
pengajaran orang tua, tradisi-tradisi sosial untuk menyesuaikan
dengan berbagai pendapatan sikap yang disepakati oleh
lingkungan.

b. Berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam


membentuk sikap keagamaan terutama pengalaman mengenai
keindahan, keselarasan, dan kebaikan dunia lain (faktor alamiah),
adanya konflik moral (faktor moral) dan pengalaman emosional
keagamaan (faktor afektif).

c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari


kebutuhankebutuhan yang tidak terpenuhi terutama kebutuhan
terhadap keamanan, cinta, kasih, harga diri, dan ancaman kematian.

d. Berbagai proses pemikiran verbal atau proses intelektual. Manusia


di ciptakan dengan memiliki berbagai macam potensi. Salah
satunya adalah potensi untuk beragama. Potensi beragama ini akan
terbentuk, tergantung bagaimana pendidikan yang diperoleh anak.
Seiring dengan bertambahnya usia, maka akan muncul berbagai
macam pemikiran-pemikiran verbal. Salah satu dari pemikiran
verbal ini adalah pemikiran akan agama..
55

D. Fungsi Religiusitas Bagi Manusia

Agama ( religi) berfungsi sebagai motivasi dalam mendorong


individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang
dilakukan dinilai mempunyai unsur kesucian serta ketaatan. Keterkaitan
ini akan memberi pengaruh seseorang untuk berbuat sesuatu. Sedangkan
agama sebagai nilai etik karena dalam melakukan suatu tindakan
seseorang akan terikat kepada ketentuan antara mana yang boleh dan mana
yang tidak boleh menurut ajaran agama yang dianutnya.

1. Fungsi edukatif : agama memberikan tugas dan bimbingan pada


manusia
2. Fungsi penyelamatan: agama dengan segala ajarannya memberikan
jaminan kepada manusia keselamatan dunia dan akhirat.
3. Fungsi pengawasan sosial : agama mengukuhkan yang baik dan
menolak kaidah yang buruk. Dan memberikan sangsi-sangsi yang
harus dijatuhkan kepada orang-orang yang melanggar norma- norma
sosial yang berlaku dalam agama tersebut.
4. Fungsi memupuk persaudaraan :persamaan keyakinan merupakan
salah satu persamaan yang bisa memupuk persaudaraan yang kuat.
5. Fungsi transformatif : agama mampu melakukan perubahan terhadap
bentuk kehidupan masyarakat lama kedalam bentuk kehidupan baru.
Transformasi ini dilakukan pada nilai-nilai adat yang kurang
manusiawi.39

E. Alat Ukur Religius

Alat ukur religiusitas agama Islam juga banyak dikembangkan


diantaranya adalah Comprehensive Measure of Islamic Religiosity yang
dikembangkan oleh Tiliouin dan Bilgoumidi yang terdiri dari 60 item dan

39
Noer Rahmah, Pengantar Psikologi agama (Yogyakarta: Teras 2013), hal. 61
56

telah digunakan dalam Bahasa Indonesia oleh Marhamah (2014). Alat


ukur ini terdiri dimensi Keyakinan Beragama, Praktik Keagamaan,
Altruisme Keagamaan, Pengayaan Agama.40

Dimensi religiusitas lainnya dikembangkan oleh Herlina dkk.


(2015) yang fokus pada praktik sehari-sehari. Religiusitas ini
dikembangkan dalam alat ukur untuk remaja muslim yang terdiri dari 10
item. Dimensi dalam ukur ini, sekalipun belum ada riset tentang
dimensionalitasnya, diasumsikan unidimensi yaitu praktik religius. Tapi
ada kelebihan dalam alat ukur ini yaitu item yang bersifat fungsional,
sekalipun hanya satu item “Menghindari hal/perbuatan yang dilarang
agama misalnya berkata kasar, mencontek dan lain-lain.

Secara multidimensional, religiusitas dirumuskan oleh George,


Ellison, dan Larson sebanyak empat dimensi yaitu partisipasi publik
(misalnya hadir pada pelayanan keagamaan), afiliasi keagamaan (misalnya
kelompok keagamaan atau afiliasi denominasional), praktik keagamaan
(misalnya, sembahyang, membaca buku-buku agama), dan coping
religious (mengatasi masalah dengan merujuk pada ajaran agama). Glork
dan Stark merumuskan lima komponen atau dimensi dalam religiusitas
yaitu:

1. pengalaman artinya sejauhmana individu memiliki pengalaman


religius

2. praktik, artinya sejauhmana individu terlibat dalam praktik-praktik


religius

3. keyakinan, artinya sejauhmana individu menerima keyakinan yang


umum diyakini masyarakat,

4. intelektual, sejauhmana pengetahuan individu tentang ajaran


agamanaya,

40
Jalaluddin. psikologi agama. (Jakarta : PT Raja grapindo persada, 2005), hal. 103
57

5. aplikasi, artinya sejauhmana empat aspek sebelumnya diterapkan


dalam sehari-hari. 41

Rumusan (Loewenthal, 2008) seputar religiusitas juga perlu


mendapatkan perhatian untuk dikembangkan menjadi dimensi religiusitas
yaitu perilaku, pikiran, dan perasaan. Perilaku religius adalah perilaku
yang tampak atau bisa diperhatikan oleh orang lain seperti berdoa, bicara,
dan konversi agama. Pikiran adalah pikiran seputar agama, diantaranya
keyakinan beragama dan perkembangannya, Perasaan, diantaranya adalah
merasakan keberadaan Tuhan, kedekatan dengan Tuhan, perasaan mistis,
visi religius, pengalamaan mati suri. Perasaan positif seperti spiritual well
being, kepercayaan dan keyakinan, self esteem. Perasaan negatif, merasa
bersalah, malu, cemas, obsesi.Dimensionalitas religiusitas seringkali
dikonsepkan menyaitu dengan Spiritualitas. Misalnya Paloutzian yang
membuat alat ukur SWBS (Spiritual Well-Being Scale) yang meliputi tiga
dimensi yaitu religious well-being, existensial well-being, dan overall
spiritual well-being.

Dalam penelitian Spiritualitas di Indonesia, Human Spiritual Scale


dari (Wheat, 1991) pernah diadaptasi dalam Bahasa Indonesia oleh (Baihaqi,
Ihsan, & Kartini, 2009). Alat ukur ini digunakan pada responden mahasiswa
dengan reliabilitas sebesar 0,793. Ada beberapa alat religiusitas yang fokus
kepada kegiatan atau praktik keagamaan saja yang bertujuan untuk
mengukur komitmen religious atau keagamaan, khususnya agama Kristen.
Diantara alat ukur itu adalah Religious Commitment Inventory oleh
Worthington dkk. (Worthington, et al., 2003), Santa Clara Strength of Faith
Religious Questionnaire (Plante & Boccaccini, 1997).

F. Agama dan Sikap Sosial

41
Friedman, kepribadian teori klasik dan modern,(Jakarta: erlangga,2006), hal. 93
58

Masyarakat merupakan wadah dari kebudayaan. Masyarakat


walaupun memiliki kepercayaan dan agama yang sama, tetap saja
memiliki perilaku yang berbeda pula. Perbedaan perilaku diakibatkan oleh
interpretasi yang berbeda terhadap ajaran agama yang dianutnya.
Interpretasi tersebut erat kaitannya dengan upayamemahami agama yang
berfungsi memenuhi kebutuhan religiusnya dalam kehidupan
bermasyarakat.

a. Interaksi Sosial

Simmel mendefinisikan interaksi sosial sebagai suatu


bentuk hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, perilaku
atau tindakan seseorang akan mempengaruhi, mengubah atau
memperbaiki perilaku atau tindakan individu yang lainnya atau
sebaliknya. Simmel mengatakan pula bahwa interaksi sosial
merupakan awal terbentuknya masyarakat. eori Robert K. Merton
yang menjelaskan bahwa interaksi sosial terbentuk karena adanya
kesamaan tujuan dan makna dari interaksi tersebut. Dikemukakan
bahwa tujuan dan makna adalah inti (core) dari interaksi sosial,
yang memberikan bobot pada interaksi yang dikembangkan.
Semakin banyak kesamaan tujuan dan makna yang dikembangkan,
makin besar bobot interaksi yang dikembangkan.42

b. Solidaritas Sosial

Solidaritas merupakan suatu hubungan timbal balik antara


individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan
kepercayaan yang dianut bersama serta diperkuat oleh pengalaman
emosional bersama. konsep solidaritas yang sesuai ajaran Islam

42
Sunyoto Usman, Sosiologi; Sejarah, Teori dan Metodologi,(jakarta : PT.raja grapindo
persada,2013), hal. 53.
59

merupakan suatu tindakan bersama yang dianut oleh masyarakat


dan didasarkan atas tuntunan AlQur’an dan Hadits.

Berdasarkan tinjauan sosial, solidaritas menurut Durkheim


terbagi atas solidaritas positif dan solidaritas negatif. Solidaritas
negatif yakni solidaritas yang tidak menghasilkan integrasi apapun,
sehingga dengan demikian tidak memiliki kekhususan, sedangkan
solidaritas positif dapat dibedakan berdasarkan ciri-ciri, yakni
mengikat individu pada masyarakat secara langsung, tanpa
perantara. Pada solidaritas positif yang lainnya, individu tergantung
dari masyarakat, karena individu tergantung dari bagian-bagian
yang membentuk masyarakat masyarakat tersebut. Selanjutnya,
solidaritas positif memiliki sistem fungsi-fungsi yang berbeda dan
khusus, yang menyatukan hubungan-hubungan yang tetap.43

c. Sistem Kehidupan dalam Kebersamaan Sosial

Individu terhadap individu lain, selalu melakukan interaksi


dalam kehidupannya. Individu tidak dapat hidup secara sendiri
melainkan selalu berdampingan dengan orang lain atau dalam suatu
masyarakat melalui interaksi yang membuat mereka paham dengan
kehidupan masing-masing.

Kebudayaan yang ada disekitar masyarakat, tidak jarang


menimbulkan kontroversi terhadap pemaknaan dan pandangan
yang berbeda antara masyarakat. Pemaknaan dan pandangan
tersebut, tentunya didasari atas perbedaan pengetahuan yang
dimiliki oleh masyarakat sehingga sesekali menimbulkan konflik
yang tentunya mempengaruhi sistem kehidupan masyarakat.

d. Pemaknaan Hidup Secara Simbolik

43
Sunyoto Usman, Sosiologi; Sejarah, Teori dan Metodologi, (jakarta : PT.raja grapindo
persada,2013), hal. 57-58.
60

Pada dasarnya, pikiran manusia tidak hanya sebagai


tumpuan pengetahuan, melainkan hal berkaitan dengan munculnya
berbagai budaya yang terdiri atas berbagai simbol. Suatu kelompok
budaya merasa ikut memiliki simbol dan nilai sama, sehingga
simbol dan nilai ini sebagai dasar bertindak dalam kehidupannya
sehari-hari. Pada setiap tradisi budaya, ditemukan beberapa simbol
yang menjadi ciri khas yang dipahami oleh para penganutnya.

Interaksionalisme simbolik mengemukakan bahwa makna


dan simbol memiliki posisi penting dalam kehidupan masyarakat.
Simbol adalah tanda, gerak isyarat dan bahasa. Simbol adalah
sesuatu yang mengganti sesuatu yang lain. Masyarakat dalam
kehidupannya, menyepakati suatu simbol dan kemudian
mendistribusikannya. Makna suatu simbol kemudian dipelajari,
bersifat sosial dan dipelajari melalui hidup bermasyarakat. Anggota
masyarakat berinteraksi dengan cara menafsirkan simbol-simbol
yang mereka yakini.44

BAB VIII

STUDI PRILAKU KEAGAMAAN KONTEMPORER

A. Makna Agama Dalam Kehidupan


Bagi mahasiswa yang cenderung berpikir liberal, agama tetap
merupakan kebutuhan dan pedoman yang akan menuntun manusia kepada
kehidupan yang lebih baik. Asumsi umum bahwa mahasiswa berpikir
liberal biasanya mengabaikan atau merendahkan agama, sama sekali tidak
terbukti. Artikel ini justru membuktikan bahwa mereka tetap
memposisikan agama pada level yang tinggi, yaitu sebagai kebutuhan dan
pedoman. Ini berarti bahwa mereka masih memerlukan agama dalam
kehidupannya dan mengakui kemampuan agama sebagai petunjuk jalan

Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama; Upaya Memahami Keragaman Kepercayaan,


44

Keyakinan dan Agama (Cet. I; Bandung: Alfabeta, 2011), h. 109.


61

menuju kebaikan. Namun, meski agama tetap diagungkan, mereka


menolak keras sikap beragama yang ekstrim. Dalam penelitian ini, para
mahasiswa berkecenderungan liberal selalu menunjuk ‘ekstrim kanan’
pada golongan Islam fundamentalis.
Bagi mahasiswa dengan kecenderungan moderat, agama bukan
sekedar pedoman yang harus diserap nilai-nilainya, namun juga pedoman
praktis dalam keseharian. Sebagai contoh, mereka selalu mengawali segala
sesuatu dengan berdoa. Hal ini berbeda dengan mahasiswa kecenderungan
liberal yang lebih menjadikan agama sebagai pedoman untuk nilai-nilai
universal, sedangkan untuk hal-hal praktis keseharian mahasiswa liberal
mengembalikan ke pribadi masing-masing. Dengan kata lain, nuansa
formalitas pada mahasiswa moderat lebih tinggi dibanding pada
mahasiswa liberal. Bagi mahasiswa berkecenderungan fundamentalis,
mereka justru menjadikan agama sebagai totalitas kehidupan. Agama bagi
mereka adalah rujukan, contoh, sumber inspirasi, petunjuk teknis, dan
sebagainya. Intinya mereka hendak mengatakan bahwa agama adalah
segala-galanya. Totalitas yang tidak dapat ditawar inilah yang
membedakan mahasiswa berkecenderungan fundamentalis dengan dua
kecenderungan lainnya. Melihat makna agama bagi tiga kecenderungan
mahasiswa tersebut memang belum dapat ditentukan orientasi intrinsik
dan ekstrinsiknya, sebab ketiganya memiliki pemaknaan yang hampir
sama dalam hal memposisikan agama sebagai nilai tertinggi dalam hidup
mereka. Perbedaan mereka tampak dari sikap kritis terhadap agama. Bagi
mahasiswa liberal, agama atau keagamaan bisa dikritisi, sedangkan bagi
mahasiswa yang moderat terkesan memilih aman dengan mengikut
pandangan yang aman. Adapun kelompok fundamentalis, taat pada
ketentuan agama dengan keyakinan penuh dan kurang menerima kritik
yang mengarah pada doktrin. Meskipun mereka memiliki persamaan dan
perbedaan dalam memaknai agama, namun, pertanyaan tentang jenis
orientasi mereka baru terjawab setelah kita mengetahui sikap dan
perilakunya.
62

B. Sikap terhadap Orang yang Berbeda Paham dan Agama


Salah satu parameter sikap keagamaan adalah sikap seseorang
terhadap orang lain. Dalam teori Paloutzian, sikap yang dimaksud adalah
ada tidaknya prasangka (prejudice) yang dimiliki seseorang yang
beragama terhadap kelompok etnis atau agama lain. Hasil penelitian
psikologi agama menemukan dua pandangan berbeda terkait prejudice ini.
Pertama, bahwa orang yang taat beragama justru memiliki prasangka lebih
tinggi dibanding orang yang tidak taat beragama. Pendapat pertama
tersebut didukung Adorno, dan Gordon Allport. Adapun pandangan kedua
meyakini bahwa yang memiliki prejudice lebih tinggi adalah mereka yang
hit and miss, kadang taat kadang tidak dan bukan yang taat beragama
secara konsisten.45 Untuk yang disebut terakhir, tingginya prasangka
disebabkan kurang mendalamnya pemahaman keagamaan. Memahami
agama secara sepenggalsepenggal dan tidak mendalam membuat orang
lebih mudah terjebak dalam dikotomi benar-salah atau hitam-putih. Cara
pandang yang dikotomis tersebut menegasikan ruang abu-abu sehingga
tidak ada tawar menawar dalam agama. Akibatnya penafsiran yang
muncul akan sangat tegas, kaku, tidak bisa cair dalam menyelesaikan
masalah. Perbedaan cara memaknai agama terbukti melahirkan perbedaan
sikap dalam beragama. Hal tersebut terutama tampak ketika mahasiswa
bersikap terhadap orang lain yang berbeda paham keagamaan dan berbeda
agama. Deskripsi berikut ini adalah kecenderungan sikap mahasiswa
dengan kecenderungan yang berbeda-beda. Mahasiswa dengan
kecenderungan liberal B, pertama, melihat keislaman dari sikap dan
perilaku, bukan dari bungkus-bungkus kesalehan yang tampak dari luar.
Mereka secara kritis menyatakan bahwa penampilan luar seseorang tidak
selalu menjadi jaminan kualitas kepribadian orang tersebut. Mahasiswa
liberal sebenarnya tidak mementingkan simbol-simbol, melainkan justru

45
Raymond F. Paloutzian, Invitation to Psychology of Religion (Boston: Allyn & Bacon,
1996), 206-208.
63

menekankan pada esensi. Sikap yang tidak mau terjebak pada simbol
sebenarnya merupakan ciri keagamaan yang mulai matang karena
mahasiswa mulai berani melakukan self critic sekaligus tetap loyal pada
agamanya sendiri.
Hal ini seperti yang disebutkan oleh Gordon Allport bahwa salah
ciri keberagamaan yang matang atau dewasa adalah well-differentiated
and self-critical.46 Selain tidak langsung percaya pada ‘bungkus
kesalehan’, sikap kedua yang penting bahwa mahasiswa berkecenderungan
liberal lebih bersikap toleran kepada umat yang berbeda mazhab, aliran,
dan agama. Bagi mereka, selama agama/aliran kepercayaan lain
mengajarkan kebaikan dan tidak merugikan Islam, maka sudah
sepantasnya dihormati. Kecenderungan sikap mahasiswa liberal ternyata
mengarah pada sikap inklusif bahkan pluralis dalam beragama. Sikap
inklusif ditunjukkan dengan keberanian mereka menyatakan keterbukaan
dalam agama, yaitu mereka lebih melihat persamaan antar agama daripada
memperuncing perbedaan. Dalam paradigma Islam inklusif, keterbukaan
untuk berdialog antar iman dilandasi semangat menemukan kalimatun
sawa yang disinyalir dalam Q.S. Ali ‘Imran (3): 64. Hal itu juga dilandasi
keyakinan bahwa setiap umat pernah memiliki nabinya sendiri-sendiri dan
masing-masing di antaranya membawa ajaran yang sama yaitu
mengesakan Tuhan. Ketiga, mereka memilih bersikap self objectification
ketika melihat ketertinggalan Islam dibanding umat lain. Hal penting yang
ditemukan kajian ini adalah sikap mahasiswa berkecenderungan liberal
yang tidak lantas menyalahkan pihak lain ketika melihat ketertinggalan
Islam. Mereka memilih melihat faktor internal yang menyebabkan Islam
mundur.
Hal tersebut akan terlihat lebih kontras lagi jika dibandingkan
dengan sikap sebagian umat muslim radikal yang dengan lantang
menuding orang non-muslim sebagai kafir dan ungkapan-ungkapan tak

46
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Pluralisme Nurcholosh Madjid (Jakarta: PSIK
Paramadina, 2007).
64

bersahabat lainnya. Keempat, menurut mereka pergaulan bebas yang


sudah merambah hampir semua kampus tidak cukup diselesaikan dengan
ancaman dosa dan neraka. Bagi mahasiswa berkecenderungan liberal yang
terpenting adalah solusi yang mencerdaskan yaitu penyuluhan agar
mahasiswa yang terjangkiti pergaulan bebas tersebut sadar resiko yang
akan mereka tanggung seperti terinfeksi virus HIV/ AIDS, terjebak
kecanduan narkoba, dan akhirnya gagal meraih sarjana. Kelompok
mahasiswa dengan kecenderungan moderat atau tidak terlalu liberal
ternyata memiliki sikap sedikit berbeda. Pertama, terkait makna agama
bagi mereka, mahasiswa moderat pada intinya berpegang pada kaidah
ushul fiqh ‘mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil hal baru
yang lebih baik’. Meskipun mereka tidak secara eksplisit menghafal
kaidah ushul fiqh tersebut, namun secara implisit prinsip tersebut yang
mereka pegang. Sikap yang mengambil jalan tengah tersebut biasanya
tanpa disadari dilakukan untuk mendapatkan rasa aman. Maka sebenarnya
sikap demikian dapat digolongkan dalam perilaku ekstrinsik. Kedua,
dalam bersikap terhadap umat lain yang berbeda aliran dan agama masih
termasuk dalam bentuk toleransi namun dengan tetap kuat memegang
truth claim. Mahasiswa moderat dapat bersikap toleran meskipun mereka
tidak tahu pasti dalil apa yang menyuruh mereka bersikap toleran. Hal ini
berbeda dengan mahasiswa liberal yang mengembangkan sikap toleran
karena mereka memahami teori-teori pluralisme, sekularisme dan
mengenal ajaran agama lain secara lebih baik. Ketiga, menanggapi kondisi
umat Islam dibanding umat lain, mahasiswa moderat mengaku prihatin
terhadap maraknya konflik internal umat Islam dan maraknya terorisme.
Sikap mahasiswa moderat tersebut terkesan berimbang antara self-critic
dan kritik kepada pihak lain. Di satu sisi mereka mengakui ketertinggalan
dan keterpurukan umat Islam karena kesalahan internal umat, di sisi lain
mereka juga mengakui bahwa pihak luar, dalam hal ini Barat, punya
kontribusi bagi kemunduran Islam. Keempat, pada prinsipnya mahasiswa
moderat tidak setuju dan prihatin dengan pergaulan bebas dan sekularisasi.
65

Beberapa solusi yang ditawarkan untuk menghindari terjadinya pergaulan


bebas di antaranya membentengi diri dengan banyak beribadah dan
membaca buku keagamaan, mengadakan konseling psikologis, membekali
mahasiswa dengan pengetahuan keagamaan melalui berbagai kajian dan
bimbingan keIslaman yang melibatkan dosen dan mahasiswa. Di level
kebijakan universitas, dapat dilakukan dengan membatasi waktu aktivitas
mahasiswa dan lebih ketat memberlakukan jam malam. Sikap mahasiswa
yang cenderung lebih fundamentalis ternyata cukup berbeda. Yang
pertama terkait bagaimana mahasiswa memaknai agama Islam, mereka
menyatakan bahwa Islam adalah segalanya baik sebagai ad-din maupun
sebagai ad-daulah. Kedua, terkait sikap mereka terhadap umat lain,
memang sedikit bervariasi, ada yang keras dan ada yang cukup akomodatif
menerima umat lain. Dalam hal akidah, mereka mengaku sangat
fundamental, artinya akidah adalah aspek yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi dengan cara apapun. Bagi mahasiswa fundamentalis, umat Islam harus
waspada dengan serangan-serangan yang halus terutama melalui media-
media modern, apalagi yang bentuknya sangat halus dan bersifat
pemikiran (ghazwul fikr). Sikap mahasiswa fundamentalis menyiratkan
adanya prejudice (prasangka) yang lebih tinggi dibanding kelompok
mahasiswa lainnya. Bentuk prasangka tersebut terlihat dari himbauan
mereka untuk waspada terhadap pengaruh yang halus dari pihak-pihak
yang memusuhi Islam. Secara tidak langsung sebenarnya mereka
mencurigai Barat dan Zionis sebagai musuh Islam yang tidak henti-
hentinya menyebarkan pengaruh melalui berbagai media modern seperti
televisi, internet, dan surat kabar. Prasangka berikutnya juga tampak dari
pembelaan mahasiswa yang cenderung fundamentalis terhadap cara
penegakan hukum terkait isu terorisme. Adanya dugaan rekayasa
pemerintah dalam kasus terorisme merupakan sebuah prasangka yang
hanya disebutkan oleh mahasiswa dari kalangan fundamentalis. Prasangka
tersebut dapat dilihat sebagai perpanjangan dari prasangka sebelumnya
bahwa Barat masih menjajah Indonesia dalam bentuk yang sangat halus
66

(diplomasi politik) bukan invasi militer. Prejudice dalam konteks


penelitian Allport lebih banyak dimiliki oleh orang dengan orientasi
keagamaan ekstrinsik. Di mana mereka menampakkan prejudice agama
dan etnis untuk mencari keamanan dan kenyamanan pribadinya. Prejudice
dijadikan tameng oleh mereka agar terlihat sebagai orang beragama
(Kristen) yang baik. Banyaknya prasangka di kalangan mahasiswa
fundamentalis seolah-olah menunjukkan mereka beragama secara
ekstrinsik. Namun hal ini kontradiktif jika melihat komitmen akidah dan
ketaatan mereka dalam ritual agama yang dapat dianggap sebagai paling
taat dibanding dua kelompok mahasiswa lainnya. Temuan ini seolah
mengulang temuan klasik Allport dan para peneliti sebelumya yang
mendapatkan sebuah grand paradox bahwa mereka yang taat beragama
yang justru memiliki prejudice yang lebih tinggi. Istilah grand paradox
juga bisa diterapkan dalam kasus ini, karena Islam sendiri melarang
adanya prasangka buruk (suudzon) atau istilah lainnya adalah prejudice.
Namun demikian, perlu dipahami adanya perbedaan antara keagamaan
ekstrinsik dalam kasus penelitian Allport dengan mahasiswa dalam
penelitian ini. Allport memandang orang taat beragama yang memiliki
prejudice dalam kasus penelitiannya sebagai ekstrinsik, karena dengan
prejudice-nya mereka bertujuan untuk mendapatkan keamanan di tengah
umat Kristen yang lain. Sementara dalam kasus penelitian ini, kelompok
mahasiswa fundamentalis punya banyak prejudice justru karena menjaga
kepentingan agamanya (intrinsik).
Ketiga, terkait kondisi umat Islam saat ini, mahasiswa dengan
kecenderungan fundamentalis justru melihat sedang bangkitnya era baru
yang lebih cerah. Saat ini banyak umat Islam yang semakin terdidik, mulai
mapan secara ekonomi, dan dalam hal pemahaman keagamaan juga
semakin membaik berkat semakin mudahnya arus informasi. Keempat,
keprihatinan mendalam dirasakan oleh mahasiswa terkait maraknya
kehidupan bebas di kalangan remaja termasuk di dalam kampus. Mereka
mengakui bahwa pergaulan tanpa batas dengan nonmuhrim, berdua-duaan,
67

membuka aurat, adalah fenomena yang lazim terjadi. Mahasiswa


berkecenderungan liberal tidak mempunyai prasangka terhadap agama
lain, namun justru memiliki prasangka terhadap orang-orang yang
dianggap beraliran sebaliknya, yaitu Islam yang fundamentalis.
Mahasiswa yang cenderung liberal biasanya kurang senang dengan
gerakan-gerakan seperti Hizbut Tahrir dan Front Pembela Islam karena
bagi mereka gerakan tersebut beraliran Islam kanan yang diidentikkan
dengan tekstualis dan fundamentalis, sedangkan mahasiswa liberal
mengklaim diri sebagai pemikir progresif dan kontekstualis. Sampai di sini
dapat dibuat kesimpulan sementara bahwa mahasiswa yang cenderung
liberal meskipun tidak sepakat dengan gerakangerakan “islam kanan”
namun tidak memiliki prasangka terhadap agama lain. Meskipun
ketidaksukaan pada gerakan Islam Kanan tersebut sebetulnya juga sebuah
bentuk lain dari prasangka, namun hal itu justru dapat dilihat sebagai
bentuk konsistensi untuk tidak berprasangka pada agama lain. Adapun
kelompok mahasiswa moderat, meskipun berpihak pada sikap toleransi
namun prejudice terhadap agama lain masih terlihat jelas. Selain itu, sikap
toleran mahasiswa moderat tidak didukung secara cukup dengan
kemampuan mereka mendalami teks-teks toleransi maupun wacana
pluralisme, dan sekularisasi. Mahasiswa moderat dapat bersikap toleran
meskipun mereka tidak tahu pasti dalil apa yang menyuruh mereka
bersikap toleran.47 Sehingga bisa disimpulkan bahwa mahasiswa moderat
mengapresiasi toleransi karena kebutuhan akan rasa aman. Sedangkan
kelompok mahasiswa fundamentalis memiliki prasangka cukup tinggi
terhadap adanya kelompok yang memusuhi Islam baik secara terang-
terangan dan terutama yang memusuhi secara halus. Tingginya prejudice
tersebut menggambarkan sebuah grand paradox, karena ajaran Islam
melarang umatnya untuk berburuk sangka (prejudice). Namun demikian
kita juga tidak bisa serta merta menghakimi mereka sebagai beragama

47
Raymond F. Paloutzian, Invitation to Psychology of Religion (Boston: Allyn & Bacon,
1996), 225.
68

ekstrinsik, karena berbeda dengan kasus Allport, dalam penelitian ini


prejudice mereka justru bertujuan untuk membela Islam.

C. Ekspresi Orientasi dan Sikap Keagamaan dalam Perilaku


Perbedaan orientasi mahasiswa dalam memaknai agama, selain
berpengaruh terhadap bagaimana mereka bersikap terhadap agamanya,
juga pada gilirannya berpengaruh juga terhadap bagaimana mereka
berperilaku. Hal ini terlihat dalam variasi perilaku mahasiswa terutama
dalam hal perilaku keagamaan, baik yang sifatnya ibadah mahdhoh atau
amal saleh dan lebih khusus lagi pada aspek ritual atau peribadatan
mereka. Komitmen dalam aspek ritual bagi mahasiswa dengan
kecenderungan liberal memang kurang. Misalnya sebagian mengaku
salatnya bolong-bolong atau tetap salat namun tidak tepat waktu. Mereka
juga tidak sering pergi ke masjid. Adapun aktivitas lain seperti membaca
Alquran, sebagian mengaku lebih sering mengkaji maknanya daripada
membaca bahasa Arabnya. Sedangkan untuk puasa Ramadhan semuanya
masih melaksanakan secara penuh. Yang menarik adalah amalan sunnah
mereka lakukan, meskipun tidak konsisten melakukannya. Amalan sunnah
tersebut seperti salat dhuha, tahajud, atau rawatib, tapi mereka mengaku
melakukan amalan sunnah dalam bentuk yang lebih nyata seperti
membantu teman dan tetangga, bersedekah, dan amalan-amalan lain yang
dampaknya lebih nyata, bukan amalan yang ritualistik saja. Mahasiswa
dengan kecenderungan liberal sebagian besar tidak aktif dalam organisasi
keagamaan, namun berkecimpung dalam organisasi lain yang terkait hobi
(misalnya production house, membuat film), kemudian organisasi profesi
atau organisasi yang sesuai jurusan studinya, dan lembaga-lembaga ilmiah
lain seperti penerbitan buletin dan jurnal serta kelompok diskusi
komunitas dan kedaerahan. Mereka juga aktif dalam forum diskusi online
misalnya di website dan facebook Jaringan Islam Liberal. Sedangkan
kelompok mahasiswa yang moderat ketaatan beragama memang lebih
69

terlihat namun sebagian mengaku melakukannya sebagai sebuah rutinitas


dan kewajiban saja. Mereka secara umum berpandangan bahwa yang
namanya kewajiban harus dijalankan dan tidak perlu banyak
dipertanyakan. Berbeda dengan mahasiswa liberal yang kadang secara
kristis mempertanyakan manfaat ritual agama seperti salat berjamaah atau
pergi ke masjid, mahasiswa moderat juga relatif sering menjalankan
amalan-amalan sunnah termasuk kadang berpuasa sunnah dan tadarus
Alquran. Adapun intensitas ke masjid tidak terlalu sering. Amalan-amalan
yang bersifat habluminannas seperti membantu sesama teman, keluarga,
dan tetangga yang mengalami kesulitan juga sering dilakukan tanpa
memandang latar belakang agama atau etnisnya.
Begitupun dengan aksi solidaritas untuk masyarakat korban
bencana/konflik sosial tetap dilakukan dengan alasan kemanusiaan tanpa
membeda-bedakan golongan atau agama tertentu. Beberapa mahasiswa
moderat aktif mengikuti kajian keislaman kontemporer bersama Ormas
tertentu, pengajian maiyahan Cak Nun, kajian Habib Syekh dan Habib
Umar, serta kajian mengenai kitab kuning dan tafsir yang diselenggarakan
pesantren. Beberapa organisasi yang diikuti meliputi Mitra Ummah yang
fokus pada konseling dan pemberdayaan masyarakat. Masih relatif
terjaganya perilaku keagamaan ritualistik di kalangan mahasiswa moderat,
terjadi karena sekedar ‘yang penting taat’. Mereka tidak terlalu memahami
dasar hukumnya secara memadai (credulity). Komitmen keagamaan yang
sifatnya ritualistik terjaga sangat kuat pada mahasiswa yang cenderung
fundamentalis. Ibadah mahdhah sudah tidak bisa ditawar lagi untuk
dijalankan selalu bahkan diupayakan tepat waktu. Mereka juga sangat
tekun dalam ibadah-ibadah sunnah. Salah satu responden justru terkesan
“mewajibkan” ibadah sunnah karena secara istiqomah dia tidak pernah
jeda sepanjang tidak ada uzur. Kelompok ini juga beberapa kali terlibat
alam aksi solidaritas kemanusiaan untuk korban bencana alam dan
umumnya tidak membeda-bedakan latar belakang agama. Meski ada yang
melakukannya karena ingin menyelamatkan akidah para Muslim teraniaya
70

yang dimurtadkan dengan Kristenisasi yang berdalih bantuan


kemanusiaan. Sebagian dari kelompok ini rajin mengikuti kajian Islam
seperti tajwid dan tafsir Alquran, nahwu, sharaf, dan kajian-kajian
kotemporer terutama terkait isu ekonomi dan politik. Sebagian aktif dalam
gerakan KAMMI dan HTI, serta sebagian lain masih sering ikut aktif di
kegiatan pesantren. Salah seorang responden yang berjilbab lebar sering
dituduh ekstrimis oleh teman-temannya, meski sebenarnya jika dibanding
dengan informan lainnya, dia termasuk yang paling lunak karena kadang
masih ikut kajian bahsul masail dan tidak mau terlibat jauh dalam HTI
meski pernah mengikuti kajiannya. Sebagian mahasiswa fundamentalis
mengaku bahwa dalam kelompok mereka ada kecurigaan terhadap dosen-
dosen alumni Barat yang disinyalir pemikirannya sudah terkooptasi
agenda Barat untuk melemahkan akidah Islam.48
BAB IX
AGAMA SEBAGAI PEMUAS KEINGINAN KEKANAK-KANAK

A. Agama Sebagai Pemuas Keinginan Anak-Anak.


1. Pengertian Perkembangan Keagamaan Anak
Mempelajari perkembangan manusia dan makhluk-makhluk lain
pada umumnya, kita harus membedakan dua hal yaitu proses pematangan
(pematangan berarti proses pertumbuhan yang menyangkut
penyempurnaan fungsi-fungsi tubuh sehingga mengakibatkan perubahan-
perubahan dalam tingkah laku terlepas dari ada atau tidak adanya proses
belajar) dan proses belajar (belajar, berarti mengubah atau memperbaiki
tingkah laku melalui latihan, pengalaman dan kontak dengan lingkungan
pada manusia penting sekali belajar melalui kontak sosial agar manusia
hidup dalam masyarakat dengan struktur kebudayaan yang rumit itu).
Begitu juga dengan jiwa keagamaan pada anak juga ikut
berkembang, pada waktu dilahirkan anak memang belum beragama. Ia
baru memiliki potensi atau fitrah untuk menjadi manusia beragama. Bayi
juga belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi
48
Sekar Ayu ARyani, Orientasi, Sikap dan Prilaku Keagamaan, diakses 24 Januari 2021.
71

kejiwaan dan dasar-dasar ber- Tuhan. Isi, warna, dan corak keagamaan
anak sangat dipengaruhi oleh keimanan, sikap dan tingkah laku
keagamaan orang tuanya.
Menurut Raharjo (2012: 27- 28), perkembangan keagamaan pada
anak adalah proses yang dilewati oleh seseorang untuk mengenal
tuhannya. Sejak manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun
psikis, walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki
kemampuan bawaan yang bersifat laten yakni fitrah keberagamaan.
Potensi ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dari orang
yang lebih dewasa dan pemeliharaan yang mantap yang lebih pada usia
dini .
Menurut Glock dan Stark dalam (Ancok, 2005), ada 5 dimensi
religiusitas (keagamaan) yaitu :
a. Dimensi keyakinan / ideologik
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang
religious berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan
mengakui kebenaran doktrin tersebut. Misalnya keyakinan akan
adanya malaikat, surga dan neraka.
b. Dimensi praktik agama / peribadatan
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus
formal keagamaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk
menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu :
1) Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan
formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para
pemeluk melaksanakannya.
2) Ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan
khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai
seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal
yang relatif spontan, informal dan khas pribadi.
c. Dimensi pengalaman
72

Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan,


perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang atau
didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau masyarakat) yang
melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan
yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.
d. Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi ini mengacu pada harapan bagi orang-orang yang
beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan
mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-
tradisi.
e. Dimensi Konsekuensi
Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan
keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari
ke hari. Dengan kata lain, sejauh mana implikasi ajaran agama
mempengaruhi perilakunya.
2. Tahap- Tahap Perkembangan Keagamaan Anak
Perkembangan keagamaan menurut Jalaludin (1996: 66) adalah
perkembangan keagaan pada anak melalui beberapa fase ( tingkatan) yaitu:
a. The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
b. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
c. The Individual Stage (Tingkat Individu)
B. Hakekat Keinginan

Minat adalah kecenderungan seseorang untuk memperhatikan dan


mengenang beberapa aktivitas atau kegiatan yang dilakukan seseorang, hal
ini muncul dikarenakan oleh adanya respon atau rangsangan untuk
melakukan suatu aktivitas tersebut. Suatu minat dapat diekspresikan melalui
suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa siswa lebih menyukai suatu hal
daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikanmelalui partisipasi dalam
suatu aktivitas.
73

Menurut Slameto ( 2002: 180), minat adalah suatu rasa lebih suka
dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang
menyuruh. Menurut Singgih D. Gunarsa (2004 : 131), mengatakan bahwa
munculnya minat yaitu dalam bentuk perhatian dan keinginan. Sedangkan
menurut Bimo Walgito(1982: 38), minat diartikan sebagai perhatian,
keinginan, rasa suka dan rasa tertarik pada suatu objek walaupun tidak ada
yang menyuruh. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
minat adalah perasaan seseorang yang dapat mendorongnya untuk
melakukan sesuatu yang diawali dengan memperhatikan suatau obyek,
kemudian mempunyai rasa tertarik kepada obyek dan keinginan untuk
terlibat langsung dalam kegiatan.

1. Pentingnya Minat
Menurut Slameto (2010: 57), Minat sangat besar pengaruhnya
terhadap belajar, karena bila bahan pelajaran yang dipelajari tidak
sesuai dengan minat siswa maka siswa tidak akan belajar dengan
sebaikbaiknya, karena tidak ada daya tarik tersendiri baginya.
Sehingga siswa enggan untuk belajar, salah satunya dikarenakan siswa
tidak memperoleh kepuasan dari pelajaran itu kemudian menjadi
bosan terhadap pelajaran tersebut. Bahan pelajaran yang menarik
minat siswa, lebih mudah dipelajari dan disimpan karena minat
mampu menambah kegiatan belajar yang aktif. Anak yang berminat
terhadap sebuah kegiatan, baik permainan maupun pekerjaan, akan
berusaha lebih keras untuk belajar dibandingkan dengan anak yang
kurang berminat.
3. Macam-Macam Minat
Minat menurut Safran dalam Dewa Ketut Sunardi (1993:117),
mengatakan bahwa minat dibedakan menjadi:
a. Minat yang diekspresikan
74

Seseorang dapat menentukan minat atau pilihanya dengan kata-


kata tertentu, misalnya : seseorangan mengatakan bahwa dirinya tertarik
untuk mengumpulkan uang logam, perangko dll.
b. Minat yang diwujudkan.
Seseorang dapat mengungkapkan minat bukan hanya melalui
katakata, melainkan dengan perbuatan dan tindakan. Misal: kegiatan
olahraga, pramuka dan sebagainya yang mampu menarik perhatian.
c. Minat yang dapat diinventarisasikan.
Seseorang menilai minatnya agar dapat mengukur dan menjawab
terhadap pertanyaan tertentu atau urutan pilihanya terhadap aktivitas
tertentu. Sedangakan menurut Pasaribu dan Simanjutak (1979:26)
mengatakan bahwa minat dapat dibedakan menjadi 2 yaitu:
1) Minat aktual.
Adalah minat yang berlaku pada obyek yang ada pada suatu
saat dan ruangan yang kongkrit. Minat aktual ini disebut perhatian
yang merupakan dasar dari proses belajar.
2) Minat disposisional.
Yaitu minat yang mengarah pada pembawaan (disposisi)
dan menjadi ciri hidup seseorang. Minat bukanlah sesuatu yang
tumbuh sejak lahir telah tertutup dan bukanlah merupakan
keseluruhan yang tidak dapat berubah.
C. Kegagalan Agama dan Masa Depan Agama
1. Realitas Keberagamaan dan Potensi Konflik
Menguatnya gerakan-gerakan frontal dalam Islam pasca reformasi di
Indonesia telah menarik perhatian banyak pihak. Kaum intelektual serta merta
mengembangkan kajian untuk memetakan situasi yang tampak dan yang
tersembunyi dari fenomena ini. Sementara masyarakat awam mencoba berdiri
diluar lingkaran, sambil mencoba memahami dari cerita teman, atau berita di
media massa. Mereka menangguhkan penilaian mereka karena tidak tahu
apakah seharusnya mereka senang karena tampaknya gerakan ini menjadi
pengawal Islam yang kuat, atau seharusnya mereka curiga karena
75

kemungkinan kepentingan lain yang menumpanginya, ataukah mereka


seharusnya takut dan menghindar karena kesan bringas yang kerap
ditunjukkan.
Fenomena gerakan garis keras ini sering disebutkan dalam banyak
terminologi. Ada yang menyebutnya extrimis, fundamentalisme, terorisme,
revivalisme, radikalisme, kiri Islam dan lainnya. Youssef M.Choueiri
menawarkan pemilahan gerakan keagamaan dalam tiga katagori yaitu
revivalisme, reformisme dan radikalisme.
Istilah revivalisme diterapkan pada gerakan dan pemikiran yang
bertujuan untuk menghidupkan kembali praktek kehidupan yang dipandang
murni dan bersumber dalam Islam. Praktik kehidupan Islam yang telah
bercampur dengan unsur- unsur tradisi lokal(tahayyul, bid’ad dan khurafat)
dianggap sesat. Warna politik dan kekerasan menjadi cirimelekat dari gerakan
ini. Cara mereka memahami al-Qur’an juga harfiyah dan karenanya sering
pula disebut ortodoks. Menurut mereka segala unsur yang ada dalam Islam
masa kiniharus diteliti kembali untuk dicocokkan dengan gambaran Islam
ideal zaman Rasul.
Bila terdapat unsur tertentu yang tidak sesuai atau tidak ditemukan
preseden historisnya, maka umat Islam wajib menyingkirkannya. Adapun
istilah reformisme, pada dasarnya memiliki cita ideal yang sama dengan
gerakan revivalis hanya saja mereka menyadari bahwa mengcopy-paste
kehidupan masa rasul secara harfiyah menjadi tidak mungkin karena adanya
perbedaan karakter zaman. Oleh karenanya yang dibutuhkan adalah reformasi
pemahaman keagamaan agar sesuai dengan tuntutan zaman. Mereka
berkeinginan kuat untuk memadukan budaya modern dengan nilai nilai Islam.
Gerakan Radikalisme identik dengan sikap memusuhi kelompok yang
dianggap bersebrangan dengan idiologi mereka. Langkah pokoknya adalah
menegakkan kekuasaan dan kedaulatan Allah dalam kehidupan sehari hari.
Menurut mereka negara tidak didirikan untuk menyalurkan kehendak rakyat,
tetapi sebaliknya penyelenggaraan negara adalah untuk mewujudkan
kehendak Tuhan. Artinya aturan kenegaraan tidak harus disesuaikan dengan
76

kebutuhan rakyat, tetapi rakyat harus menuruti ketentuan yang digariskan


negara berdasarkan ajaran ajaran yang telah diturunkan Allah.
Dalam bentuknya radikalisme agama ini dapat ditandai dengan
merujuk ciri umum radikalisme sosial yang diketengahkan oleh Horace
M.Kallen. Pertama radikalisme merupakan respon terhadap kondisi yang
sedang berlangsung. Biasanya respon muncul dalam bentuk evaluasi,
penolakan atau bahkan perlawanan terhadap asusmsi, ide, lembaga atau nilai
nilai. Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan tetapi terus
berupaya menggantikan tatanan tersebut dengan suatu bentuk tatanan lain.
Sesuai dengan arti kata radic, sikap radikal mengandung keinginan untuk
mengubah keadaan secara mendasar. Ciri ketiga adalah kuatnya keyakinan
kaum radikalis akan kebenaran program atau idiologi yang mereka bawa.
Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan penafian kebenaran sistem
lain, dan munculnya sikap emosional dikalangan kaum radikalis.Dari batasan
yang diketengahkan Youssef M.Choueiri dan Horace M.Kallen, kita dapat
menangkap potret radikal beberapa gerakan Islam di Indonesia.
Dari berbagai pristiwa yang terkait dengan gerakan kelompok Islam
radikal di Indonesia, penulis membedakan tiga model radikalisme yaitu:

a. Model pertama :Radikalisme dalam bentuk aksi “premanis”


Istilah “premanis” penulis gunakan dengan mengadopsi
analogi kelompok yang secara sosial disebut preman yang cendrung
mengandalkan massa, ancaman, dan kekerasan untuk menyelesaikan
masalah mereka. Fenomena “premanis” dalam Islam ini mencuat
beberapa tahun setelah reformasi digulirkan di Indonesia. Aksi
premanis ini ada yang muncul secara terorganisir dari lembaga
tertentu dan ada yang spontan muncul di masyarakat. Secara
terorganisir aksi premanis ini tampak dari kegiatan beberapa
kelompok oknum organisasi Islam.
Sebagai contoh : tahun 1998 beratus ratus Banser (Barisan
Serba Guna) suatu organisasi kepemudaan underbow NU dari daerah
77

Mranggen, Demak, dan sekitarnya, dengan membawa senjata-senjata


tajam menziarahi makam Kyai Rahmadi Rais Syuriyah NU di Desa,
sambil menuntut balas atas kematian kyai tersebut. Meski tidak
sampai menimbulkan korban tapi suasana mencekam atas nama
pembalasan dendam ini menyelimuti desa ini selama berminggu-
minggu. Kyai ini meninggal dalam pristiwa kemarahan masyarakat
terhadapnya karena diduga telah menyantet tiga orang penduduk desa
sampai meninggal. Lalu beberapa waktu lalu, pristiwa penyerangan
kelompok Ahmadiyah di beberapa tempat menjadi berita miris yang
sering mengisi media massa. Aksi premanis juga ada yang spontan
muncul di masyarakat sebagai respon terhadap dugaan pelanggaran
nilai-nilai Islam.
Pada proses awal penerapan Syariat Islam di Aceh terkait
partisipasi masyarakat di tahun 2006-2009, terdapat kasus-kasus
penghakiman masyarakat yang dalam merespon pelanggaran syariat
yang menurut penulis tergolong “aksi premanis”. Diantaranya yang
terjadi pada kasus dugaan khalwat di suatu desa dimana pasangan
diarak beramai oleh massa dengan tujuan mempermalukan terkadang
juga dengan caci maki, kasus di desa lain pasangan disiram di tengah
lingkaran massa dan ada oknum masyarakat melempari keduanya
dengan batu. Aksi aksi kekerasan ini kerap muncul dengan dalih
lembaga-lembaga formal yang berwenang menangani ini tidak
sungguh-sungguh bahkan terkadang tidak perduli sama sekali.
Sehingga baik secara kelembagaan atau masyarakat, mereka merasa
perlu mengambil alih tugas ini dengan menindaknya sendiri secara
langsung, tampa melalui jalur hukum.
b. Model kedua : Radikalisme dalam bentuk gerakan halus menuju
kekhilafahan Islam
Gerakan radikal ini merupakan gerakan intelektual yang
mengarahkan gerakannya pada terbentuknya negara Islam.
Membongkar tatanan negara yang sekarang dan menggantikannya
78

dengan tatanan kekhalifahan Islam. Gerakan ini menjadi lebih sulit


terbaca karena kecendrungan sifatnya yang halus dan terselubung dan
biasanya memiliki design tahapan yang sistematis. cita cita mereka.
Fomalisasi syariat Islam merupakan tahapan loncatan yang
ditargetkan sebelum mencapai kekhalifahan Islam.
c. Model Ketiga:Radikalisme dengan gerakan halus menuju
formalisasi syariat Islam.
Model ketiga ini tidak mengumandangkan internasionalisme
Islam, tetapi cendrung pada penerapan syariat Islam di Negara
Kesatuan RI. Sebenarnya baik FPI, Laskar Jihad, FKAWJ (Forum
Komunikasi ahlusunnah Wal Jama’ah) dan Majlis Mujahidin Indonesi
(MMI) sama-sama mengarah pada terwujudnya penerapan syariat
Islam di negara ini. Tetapi dalam cara mencapainya yang masing
masing memiliki pendekatan berbeda.
2. Formalisasi Syariat Islam Yang Bertendensi Penegakan Sanksi
Kontroversi seputar formalisasi syariát Islam masih terus bergulir
sejak tahun 1945, ketika para tokoh Indonesia merancang fondasi ideologi
bangsa ini. Kelompok Islam yang memperjuangkan masuknya “tujuh
kata”11 dalam pembukaan UUD 1945, akhirnya harus legowo dengan
gagalnya usaha mereka.
Setelah itu gerakan ideologis Islam ini berafiliasi dalam berbagai
gerakan untuk mencari celah mewarnai pemerintahan. Kontroversi ini
kembali menguat pada tahun 2000 ketika amandemen UUD 1945 disepakati
untuk dilakukan. Dan desakan untuk mencantumkan “tujuh kata” kembali
diusung oleh kelompok Islam. Istilah “Islam garis keras” perlahan tapi
melekat dipasangkan ke kelompok ini, meskipun dalam usaha kedua
kalinyan cita cita kelompok ini kandas digedung parlemen. Redam dengan
perjuangan “tujuh kata” yang pada prinsipnya menjadi entri point bagi cita-
cita formalisasi syariat Islam, kemudian hal ini nyaring kembali dan
menyelinap dalam semangat otonomi daerah. Beberapa daerah kemudian
79

menyusun perda perda syariatnya dan Aceh salah satu dari provinsi yang
telah menerapkannya.

3. Pilar Penting Menghadapi Tantangan Untuk Masa Depan Agama


Tiga realitas diatas hanya mewakili sebagian kecil dari realitas Islam
di Indonesia yang juga sekaligus menjadi tantangan dakwah. Pada fenomena
radikalisme pola yang tergambar bahwa hampir semua gerakan radikalisme
muncul sebagai ekpresi ketidak puasan terhadap negara yang dianggap
gagal menyelesaikan persoalan umat. Ada beberapa persoalan mendasar
yang sebenarnya mampu menjadi pilar Islam untuk mengantisipasi
fenomena diatas. Pilar ini menurut penulis adalah menjadi potensi sekaligus
tantangan dakwah. Menjadi potensi jika pilar ini berjalan sebagaimana yang
diharapkan Islam, dan menjadi tantangan jika pilar ini justru menjadi
masalah bagi Islam. Pilar pilar tersebut adalah :
a. Kewibawaan Pemerintahan
Berangkat dari munculnya berbagai fenomena yang terkait
dengan warna politik maka kewibawaan pemerintah merupakan
tuntutan penting yang harus segera ditegakkan. Namun realitas saat ini
menempatkan pilar ini menjadi tantangan dakwah karena mental dan
sistem politik yang sudah seperti cetak biru identik dengan KKN,
meskipun sinyal gerakan pemutihan telah dimulai oleh sekelompok
kecil politisi Islam.
b. Peradilan
Peradilan sesat, mafia hukum dan realitas penyimpangan lain di
jalur “petugas pemberi keadilan” di negeri ini menjadi bagian yang
akan sangat berkonstribusi pada kekecewaan publik dan munculnya
afiliasi kelompok atau tindakan main hakim sendiri. Jika masyarakat
tidak lagi merasa terlindungi keadilannya maka kecendrungan untuk
mencari keadilan dengan cara atau melalui kelompok lain sudah bisa
dipastikan terjadi.
c. Organisasi dan kaderisasi Islam
80

Arah pengembangan organisasi dan pengkaderan generasi


Islam sangat menentukan warna masa depan Islam. Melemahnya
pengkaderan generasi Islam dalam keluarga dan menguatnya arus
globaluisasi informasi yang memberi pengaruh negative terhadap
generasi muda pada akhirnya menjadikan proses regenerasi Islam yang
rentan keberagamaannya. Disisi lain kelompok yang digolongkan garis
keras Islam justru memiliki sistem regenerasi yang sistemik,
suistenable dan millitan.
d. Ulama dan intelektual :
Ulama dan intelektual merupakan pilar yang diharapkan
mampu menilai dan bersuara objektif terhadap realitas yang
menyimpang. Hanya saja fungsi tersebut saat ini menjadi agak samar
karena sebagiam besar ulama dan kaum intelektual lebih memilih
posisi aman untuk tidak melahirkan sikap konfrontatif dari pandangan
mainstream meskipun itu identik dengan penyimpangan.
e. Pembacaan kontemporer dan reinterpretasi dokumen keagamaan.
Upaya pembacaan kontemporer dan reinterpretasi telah mulai
muncul dalam wacana ilmiah keIslaman, namun hal ini belum berhasil
menerobos kultur klasik yang literal.Menurut penulis ada dua kultur
kesopanan pemikiran yang pada tataran berlebihan menjadi sakralitas
yang berpengaruh bagi progre studi Islam yang objektif yaitu
“sakralitas pemikiran ke-Islaman” dan “sakralitas “referal system” ke-
imaman, keulamaan, kekiayan”.
BAB X

KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI HUMANISTIK

A. konsep Manusia Menurut Psikologi Humanistik


Istilah humanisme berasal dari humanitas, yang berarti pendidikan
manusia. Dalam bahasa Yunani disebut paideia. Kata ini poopuler pada
masa Cicero dan Varro. Adapun humanisme pada pertenganhan abad ke-
14 adalah gerakan filsafat yang timbul di Italia dan kemudian berkembang
81

ke seluruh Eropa. Humanisme menegaskan bahwa manusia adalah ukuran


segala sesuatu. Kebesaran manusia harus dihidupkan kembali, yang
selama ini terkubur pada abad pertengahan. Oleh karena itu, warisan
filsafat klasik harus dihidupkan dan warisan abad pertengahan
ditinggalkan. Pico adalah seorang tokoh humanisme berkata, “manusia
dianugerahi kebebasan memilih oleh Tuhan dan menjadikannya pusat
perhatian dunia. Dengan posisi itu dia bebas memandang dan memilih
yang terbaik.
Villa, salah seorang tokoh humanisme, menolak superioritas agama
atas manusia. Manusia, menurut Villa berhak menjadi dirinya sekaligus
menentukan nasibnya. Tujuan manusia adalah menikmati manusia dan
bersenang-senang. Humanisme pada awalnya tidak anti agama tidak anti
agama. Humanisme ingin mengurangi peranan istitusi gereja dan kerajaan
yang begitu besar, sehingga pada makhluk Tuhan kehilangan kebebasan.
Humanisme pada awal Ranaisans berbeda dengan humanisme pada
abad ke-19 dan 20, kendati dalam beberapa hal ada kesamaannya.
Humanisme pada waktu itu bertujuan untuk meningkatkan perkembangan
yang harmonis dari sifat-sifat dan kecakapan alamiah manusia. Pada waktu
itu para humanis tidak menyangkal adanya Zat Yang aha Tinggi. Hanya
saja mereka berpendapat bahwa hal-hal yang alamiah dalam diri manusia
telah memiliki nilai cukup untuk dijadikan sasaran pengenalan manusia.
Tanpa wahyu pun, seseorang mampu berkarya dengan beik dan sempurna.
Setelah beberapa abad kemudian, baru muncul gerakan mhumanisme yang
melepaskan segala hal yang berkaitan dengan Tuhan dan akhirat dan
hanya menerima hidup di dunia seperti apa adanya.49
Aliran humanisme memandang bahwa “manusia adalah mahluk
yang mulia, yang semua kebutuhan pokok diperuntukkan untuk
memperbaiki spisiesnya. Aliran ini terdapat asas-asas penting mengenai
manusia sebagai berikut:

49
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia  ( Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2007) h.145
82

1. Manusia adalah mahkluk yang memiliki kehendak bebas.


2.  Manusia adalah mahkluk yang sadar atau berfikir.
3. Manusia adalah mahkluk yang mempunyai cita-cita dan merindukan
sesuatu ideal.
4. Manusia adalah mahkluk yang kreatif.
5.  Manusia adalah mahkluk yang bermoral.
6.  Manusia adalah mahkluk yang sadar akan dirinya sendiri.
7.  Manusia adalah mahkluk yang memiliki esensi kesucian. 50
B. Konsep Tuhan dan Perilaku Beragama Dalam Kajian Psikologi
Humanistik
Aliran humanistik muncul pada tahun 1940-an sebagai reaksi
ketidakpuasan terhadap pendekatan psikoanalisa dan behavioristik.
Sebagai sebuah aliran dalam psikologi, aliran ini boleh dikatakan relatif
masih muda, beberapa ahlinya bahkan masih hidup dan terus-menerus
mengeluarkan konsep yang relevan dengan bidang pengkajian psikologi,
yang sangat menekankan pentingnya kesadaran, aktualisasi diri, dan hal-
hal yang bersifat positif tentang manusia.51
Bagi sejumlah ahli psikologi humanistik ia adalah alternatif,
sedangkan bagi sejumlah ahli psikologi humanistik yang lainnya
merupakan pelengkap bagi penekanan tradisional behaviorisme dan
psikoanalis. Psikologi humanistik juga memberikan sumbangannya bagi
pendidikan alternatif yang dikenal dengan sebutan pendidikan humanistik
(humanistic education). Pendidikan humanistik berusaha mengembangkan
individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. Pengembangan
aspek emosional, sosial, mental, dan keterampilan dalam berkarier menjadi
fokus dalam model pendidikan humanistik. Secara etimologi:
“Humanisme is a deration to the humanities or literang culture”.
Humanisme adalah kesetiaan pada manusia atau kebudayaan. Pencerahan
50
http://maestrodua.blogspot.com/2015/09/konsep-manusia-dilihat-dari-
humanisme.html?m=1/2018/09/28

51
Endang Saifuddin Anshari, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, (Jakarta: Usaha
Interprises, 1976), h. 85.
83

kemanusiaan menjadi “spirit” untuk belajar kemudian berkembang pada


akhir abad pertengahan dan kebangkitan baru tulisan-tulisan klasik dan
sebuah pembaharuan yang percaya diri dalam kesanggupan kejadian
manusia untuk menentukan kebenaran dan kesalahan terhadap diri mereka.
Kultur humanisme adalah tradisi rasional dan empirik yang mula-mula
sebagian besar berasal dari Yunani dan Romawi Kuno, kemudian
berkembang melalui sejarah Eropa Humanisme menjadi sebagian dasar
pendekatan Barat dalam pengetahuan, teori politik, etika, dan hukum.
Humanisme agama adalah keyakinan di dalam aksi. Definisi agama
digunakan oleh humanisme religius secara fungsional. Fungsi agama di
sini adalah untuk melayani kebutuhan personal atau kelompok sosial.
Islam bukan hanya suatu kepercayaan akan tetapi suatu kehidupan yang
perlu dihayati pada waktu ini. Religion harga dapat menerjemahkan
penerimaan Islam secara tidak sempurna dan hanya sebagian karena arti
religion adalah sangat luhur dan asal etimologi arab tidak ketahuan. Untuk
itu perlu pula diketahui tentang ukuran nilai agama itu sendiri. Seperti
disebutkan oleh Drs. Sidi Gazalba bahwa “nilai agama itu tercermin dalam
pahala, tiap tingkah laku yang mendatangkan pahala mengandung nilai”.
Sebenarnya jika kita dapat menerapkan nilai-nilai agama dalam pergaulan
dan kehidupan kita pasti akan tercapai suatu kepribadian manusia yang
baik.52
Humanisme yang dimaksud di dalam Islam adalah memanusiakan
manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. AlQur`an
menggunakan empat term untuk menyebutkan manusia, yaitu basyar, al-
nas, bani adam dan al-insan. Keempat term tersebut mengandung arti yang
berbeda-beda sesuai dengan konteks yang dimaksud dalam al-Qur`an.53
Tokoh yang diambil dalam kelompok ini adalah Abraham Maslow.
Dalam pandangan Maslow semua manusia memiliki kecenderungan yang

52
Didi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)

53
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an, (Berikut: Dar
al-Fikr, 1997 M/1418H), h. 152-153.
84

dibawa sejak lahir untuk mengaktualisasikan diri. Kita didorong oleh


kebutuhan-kebutuhan yang universal dibawa sejak lahir, yang tersusun
dalam suatu tingkatan dari yang paling lemah ke yang paling kuat.
Prasyarat untuk mencapai aktualisasikan diri adalah memuaskan empat
kebutuhan yang berada pada tingkat yang paling rendah yaitu kebutuhan
fisiologi, kebutuhan rasa aman, kebutuhan memiliki cinta dan kasih
sayang dan kebutuhan akan penghargaan. Aktualisasi diri dapat
didefinisikan sebagai perkembangan yang paling tinggi dan penggunaan
semua bakat perkembangan yang paling tinggi dan orang yang
mengaktualisasikan diri didorong oleh metamotivasi (metamotivation).
Pendekatan humanistik mengakui eksistensi agama. Maslow
sendiri dalam teorinya mengemukakan konsep metamotivation yang diluar
kelima hierarchy of needs yang pernah dia kemukakan. Mystical adalah
bagian dari metamotivation yang menggambarkan pengalaman
keagamaan. Pada kondisi ini manusia merasakan adanya pengalaman
keagamaan yang sangat dalam. Pribadi (self) lepas dari realitas fisik dan
menyatu dengan kekuatan transendental (self is lost and transcended).
Menurut Maslow ini adalah keadaan tertinggi dari kesempurnaan
manusia. Ada kesempatan dimana orang yang mengaktualisasikan diri
mengalami ekstase, kebahagiaan, perasaan terpesona yang meluap-luap,
suatu pengalaman keagamaan yang sangat mendalam. Maslow
menyebutkan peakers (transcended) yang memiliki wawasan yang jelas
tentang diri mereka dan dunia mereka.
Mereka cenderung lebih mistis, puitis dan saleh, lebih tanggap
terhadap keindahan dan kemungkinan menjadi pembaharu dan penemu
seperti Albert Schweitzer dan Albert Einsten, sedangkan kelompok non-
peakers (non-transcended) cenderung menjadi orang yang praktis,
berinteraksi dengan dunia secara efektif. Mereka cenderung menjadi
pelaku, penguji kenyataan dan kognitif bukan emosional dan mengalami
seperti Eleador Roosevelt dan Harry S.Truman.
85

Konsep-konsep metodologi dan pendekatan-pendekatan dalam


psikologi yang telah dirumuskan para ahli bukanlah suatu capaian final.
Selalu terkandung cacat atau kelemahan dari setiap rumusan dan ilmu.
Telaah kritis akan diarahkan kepada psikologi modern yang sudah diakui
sebagai psikologi yang mapan yaitu psikoanalisis, behaviorisme dan
psikologi humanistic. 54
C. Logoterapi dan Agama.
Kata logoterapi berasal dari dua kata, yaitu “logo” berasal dari
bahasa Yunani “logos” yang berarti makna atau meaning dan juga rohani.
Adapun kata “terapi” berasal dari bahasa Inggris “theraphy” yang artinya
penggunaan teknik-teknik untuk menyembuhkan dan mengurangi atau
meringankan suatu penyakit. Jadi kata “logoterapi” artinya penggunaan
teknik untuk menyembuhkan dan mengurang atau meringankan suatu
penyakit melalui penemuan makna hidup.
Logoterapi mengajarkan bahwa manusia harus dipandang sebagai
kesatuan raga-jiwa-rohani yang tak terpisahkan. Seorang psikoterapis tidak
mungkin dapat memahami dan melakukan terapi secara baik, bila
mengabaikan dimensi rohani yang justru merupakan salah satu sumber
kekuatan dan kesehatan manusia. Selain itu logoterapi memusatkan
perhatian pada kualitas-kualitas insani, seperti hasrat untuk hidup
bermakna, hati nurani, kreativitas, rasa humor dan memanfaatkan kualitas-
kualitas itu dalam terapi dan pengembangan kesehatan mental.
Adapun inti ajaran logoterapi dirumuskan oleh Joseph B. Fabry
sebagai berikut.
1. Hidup itu bermakna dalam kondisi apapun.
2. Kita memiliki kehendak hidup bermakna dan menjadi bahagia hanya
ketika kita merasa telah memenuhinya.
3. Kita memiliki kebebasan – dengan segala keterbatasan – untuk
memenuhi makna hidup kita.

54
Psikis : Jurnal Psikologi Islami Vol. 4 No. 1 Juni 2018
86

Sedangkan tujuan utama logoterapi adalah meraih hidup bermakna


dan mampu mengatasi secara efektif berbagai kendala dan hambatan
pribadi. Hal ini diperoleh dengan jalan menyadari dan memahamai serta
merealisasikan berbagai potensi dan sumber daya kerohanian yang
dimiliki setiap orang yang sejauh ini mungkin terhambat dan terabaikan.
Terapi yang sering dipraktekkan dalam psikologi lebih banyak
bersumber dari ilmu psikologi barat yang dasarnya adalah ilmu
psikoanalisa, behavioris dan humanistic. Terapi ini belum tentu sesuai
dengan budaya di Timur, karena perbedaan budaya agama, adat istiadat
dan falsafah hidup. Sehingga perlu kiranya mengembangkan terapi yang
bersumber dari kearifan timur dengan menggali kembali sumber-sumber
yang sudah ada. Misalnya yang berasal dari agama (Islam, Hindu, Budha,
Tao dll), ataupun yang bersumber dari budaya (India, Cina dll).
Terapi-terapi yang dibahas disini, adalah sekilas lebih kepada
terapi yang ada dan berkembang dalam dunia Islam. Hanya satu budaya
dan agama saja bisa diciptakan beberapa terapi (sesuai dengan kebutuhan),
apalagi jika mengeksplorasi budaya dan agama yang ada. Terapi yang
dibahas masih jauh dari sempurna, bahkan masih terasa lebih kearah
filosofis. Butuh waktu dan keuletan untuk menggali dan mengembangkan
lebih lanjut kearah yang lebih sempurna.
Terapi dalam Islam, misalnya terapi Shalat mengungkapkan
rahasia dibalik shalat terutama shalat malam, dengan menganalisis waktu
dan gerakan. Terapi yang lain misalnya terapi Puasa, Terapi Iman, Islam
dan Ihsan, dan terapi-terapi lain. Inti terapi ini adalah bagaimana seseorang
dapat memaknai suatu makna secara filosopis, dengan menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Rasa ikhlas tidak lepas dari terapi-terapi
yang dijelaskan disini. Terapi zikir dan terapi baca Al-Qur’an adalah
contoh terapi yang diupayakan mensinkronisasikan antara bacaan lisan dan
87

bacaan qalbu (hati). Jika lisan dan qalbu terjaga, diharapkan tingkah laku
(psikomotor) dapat dikendalikan.55

BAB XI

KESEHATAN MENTAL

A. Pengertian Kesehatan Mental


Kesehatan mental merupakan salah satu kajian dalam ilmu
kejiwaan yang sudah dikenal sejak abad -19, seperti di jerman tahun 1875
M. Kesehatan mental sebagai suatu kajian ilmu jiwa walaupun dalam
bentuk yang sederhana. Pada pertengahan abad ke -20 kajian mengenai
kesehatan mental sudah jauh berkembang dan maju dengan pesat sejalan
dengan kemajuan ilmu dan tekhnologi modern. Ia merupakan suatu ilmu
yang praktis dan banyak dipraktikkan dalam kehidupan manusia sehari
hari, baik dalam bentuk bimbingan dan konsling yang dilaksanakan
disemua asfek kehidupan individu, misalnya dalam rumah tangga, sekolah
sekolah, lembaga lembaga pendidikan dan dalam masyarakat. Hal ini
dapat dilihat misalnya, dengan berkembangnya klinik klinik kejiwaan dan
munculnya lembaga lembaga pendidikan kesehatan mental. Semua ini
dapat menjadi pertanda bagi perkembangan dan kemajuan ilmu kesehatan
mental.
Pada awalnya, kesehatan mental hanya terbatas pada individu yang
mempunyai gangguan kejiwaan dan tidak di peruntukkan bagi setiap
individu pada umumnya. Namun, pandangan tersebut bergeser sehingga
kesehatan mental tidak terbatas pada individu yang memiliki gangguan
kejiwaan tetapi juga diperuntukkan bagi individu yang mentalnya sehat
yakni bagaimana individu tersebut mampu mengexsplor dirinya sendiri
kaitannya dengan bagaimana dia berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya.56

55
https://www.psychologymania.com/2011/09/pengantar-jenis-jenis-terapi-
logoterapi.html
88

Sebagai makhluk yang memiliki kesadaran, manusia menyadari


adanya problem yang mengganggu kejiwaannya, oleh karena itu sejarah
manusia juga mencatat adanya upaya mengatasi problema tersebut. Upaya-
upaya tersebut ada yang bersifat mistik yang irasional, ada juga yang
bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah.57
Pada masyarakat Barat modern atau masyarakat yang mengikuti
peradaban Barat yang sekular, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi
problem kejiwaan itu dilakukan dengan menggunakan pendekatan
psikologi, dalam hal ini kesehatan mental. Sedangkan pada masyarakat
Islam, karena mereka (kaum muslimin) pada awal sejarahnya telah
mengalami problem psikologis seperti yang dialami oleh masyarakat
Barat, maka solusi yang ditawarkan lebih bersifat religius spiritual, yakni
tasawuf atau akhlak. Keduanya menawarkan solusi bahwa manusia itu
akan memperoleh kebahagiaan pada zaman apa pun, jika hidupnya
bermakna.58
Islam menetapkan tujuan pokok kehadirannya untuk memelihara
agama, jiwa, akal, jasmani, harta, dan keturunan. Setidaknya tiga dari yang
disebut di atas berkaitan dengan kesehatan. Tidak heran jika ditemukan
bahwa Islam amat kaya dengan tuntunan kesehatan.59
Namun demikian para ahli belum ada kesepakatan terhadap
batasan atau definisi kesehatan mental (mental healt). Hal itu disebabkan
antara lain karena adanya berbagai sudut pandang dan sistem pendekatan
yang berbeda. Dengan tiadanya kesatuan pendapat dan pandangan
tersebut, maka menimbulkan adanya perbedaan konsep kesehatan mental.
56
Diana Vidya Fakhriyani, Kesehatan Mental, (Jakarta,Duta Media Publishing: 2019). H.
1

57
Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Qur’an,

Paramadina, (Jakarta,:2000). h. 13
58
Ibid, h. 14

59
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan

Umat,( PT. Mizan Pustaka anggota IKAPI, Bandung,:2003).h. 181.


89

Lebih jauh lagi mengakibatkan terjadinya perbedaan implementasi dalam


mencapai dan mengusahakan mental yang sehat. Perbedaan itu wajar dan
tidak perlu merisaukan, karena sisi lain adanya perbedaan itu justru
memperkaya khasanah dan memperluas pandangan orang mengenai apa
dan bagaimana kesehatan mental.60
Sejalan dengan keterangan di atas maka di bawah ini dikemukakan
beberapa rumusan kesehatan jiwa, antara lain:
1. Musthafa Fahmi, sesungguhnya kesehatan jiwa mempunyai pengertian
dan batasan yang banyak. Di sini dikemukakan dua pengertian saja;
sekedar untuk mendapat batasan yang dapat digunakan dengan cara
memungkinkan memanfaatkan batasan tersebut dalam mengarahkan
orang kepada pemahaman hidup mereka dan dapat mengatasi
kesukarannya, sehingga mereka dapat hidup bahagia dan
melaksanakan misinya sebagai anggota masyarakat yang aktif dan
serasi dalam masyarakat sekarang.
Pengertian pertama mengatakan kesehatan jiwa adalah bebas
dari gejala-gejala penyakit jiwa dan gangguan kejiwaan. Pengertian ini
banyak dipakai dalam lapangan kedokteran jiwa (psikiatri). Pengertian
kedua dari kesehatan jiwa adalah dengan cara aktif, luas, lengkap tidak
terbatas; ia berhubungan dengan kemampuan orang untuk
menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri dan dengan masyarakat
lingkungannya, hal itu membawanya kepada kehidupan yang sunyi
dari kegoncangan, penuh vitalitas. Dia dapat menerima dirinya dan
tidak terdapat padanya tanda-tanda yang menunjukkan tidak keserasian
sosial, dia juga tidak melakukan hal-hal yang tidak wajar, akan tetapi
ia berkelakuan wajar yang menunjukkan kestabilan jiwa, emosi dan
pikiran dalam berbagai lapangan dan di bawah pengaruh semua
keadaan.61
60
Thohari Musnamar, et al, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam,
UII Press, Yogyakarta, 1992), h.13
61
Musthafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, jilid 1,
alih bahasa, (Bulan Bintang, Jakarta,:1977), h. 20-22.
90

B. Ciri-Ciri Kesehatan Mental


Ilmu kesehatan mental (mental hygiene) merupakan salah satu
cabang termuda dari ilmu jiwa yang tumbuh pada akhir abad ke-19 M dan
sudah ada di Jerman sejak tahun 1875 M. Namun demikian, sebenarnya
para Nabi sejak Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad saw. telah
terlebih dahulu berbicara tentang hakikat jiwa, penyakit jiwa, dan
kesehatan jiwa yang terkandung dalam ajaran agama yang diwahyukan
Allah SWT.
Mental mempunyai pengertian yang sama dengan jiwa, nyawa,
sukma, roh, dan semangat. Ilmu kesehatan mental merupakan ilmu
kesehatan jiwa yang memasalahkan kehidupan rohani yang sehat, dengan
memandang pribadi manusia sebagai satu totalitas psikofisik yang
kompleks. Pada abad kedua puluh, ilmu ini berkembang dengan pesatnya
sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern. Kesehatan mental
dipandang sebagai ilmu praktis yang banyak dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk bimbingan dan penyuluhan yang
dilaksanakan di rumah tangga, sekolah, kantor dan lembaga-lembaga
maupun dalam kehidupan masyarakat. Sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, pengertian terhadap kesehatan mental juga mengalami
kemajuan. Sebelumnya, pengertian manusia tentang kesehatan mental
bersifat terbatas dan sempit, terbatas pada pengertian gangguan dan
penyakit jiwa.
Dengan pengertian ini, kesehatan mental hanya dianggap perlu
bagi orang yang mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal
kesehatan mental tersebut diperlukan bagi setiap orang yang merindukan
ketenteraman dan kebahagiaan.
Marie Jahoda memberikan batasan yang agak luas tentang
kesehatan mental. Kesehatan mental tidak hanya terbatas pada absennya
seseorang dari gangguan kejiwaan dan penyakitnya. Akan tetapi, orang
yang sehat mentalnya memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut.
1. Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat
91

mengenal diri sendiri dengan baik.


2. Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik.
3. Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan
pandangan, dan tahan terhadap tekanan- tekanan yang terjadi.
4. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari
dalam atau kelakuan-kelakuan bebas.
5. Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan,
serta memiliki empati dan kepekaan sosial.
6. Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi
dengannya secara baik.62

Hanna Djumhana Bastaman merangkum pandangan-pandangan


tentang kesehatan mental menjadi empat pola wawasan dengan
masing-masing orientasinya sebagai berikut:

1. Pola wawasan yang berorientasi simtomatis


2. Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri
3. Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi
4. Pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian

Pertama,

pola wawasan yang berorientasi simtomatis menganggap bahwa


hadirnya gejala (symptoms) dan keluhan (compliants) merupakan tanda
adanya gangguan atau penyakit yang diderita seseorang. Sebaliknya hilang
atau berkurangnya gejala dan keluhan-keluhan itu menunjukkan bebasnya
seseorang dari gangguan atau penyakit tertentu. Dan ini dianggap sebagai
kondisi sehat. Dengan demikian kondisi jiwa yang sehat ditandai oleh
bebasnya seseorang dari gejala-gejala gangguan kejiwaan tertentu
(psikosis).

62
A.F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-nafs) & Kesehatan Mental, (Amzah,

Jakarta,:2000). h. 75-77
92

Kedua,

pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri. Pola ini


berpandangan bahwa kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri
merupakan unsur utama dari kondisi jiwa yang sehat. Dalam hal ini
penyesuaian diri diartikan secara luas, yakni secara aktif berupaya
memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri, atau
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi tanpa melanggar hak-hak orang
lain. Penyesuaian diri yang pasif dalam bentuk serba menarik diri atau
serba menuruti tuntutan lingkungan adalah penyesuaian diri yang tidak
sehat, karena biasanya akan berakhir dengan isolasi diri atau menjadi
mudah terombang-ambing situasi.63

Ketiga,

pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi pribadi.


Bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk bermartabat
yang memiliki berbagai potensi dan kualitas yang khas insani (human
qualities), seperti kreatifitas, rasa humor, rasa tanggungjawab, kecerdasan,
kebebasan bersikap, dan sebagainya. Menurut pandangan ini sehat mental
terjadi bila potensi-potensi tersebut dikembangkan secara optimal
sehingga mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.
Dalam mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Dalam
mengembangkan kualitas-kualitas insani ini perlu diperhitungkan norma-
norma yang berlaku dan nilai-nilai etis yang dianut, karena potensi dan
kualitas-kualitas insani ada yang baik dan ada yang buruk.

Keempat,

pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian. Berpandangan


bahwa agama/kerohanian memiliki daya yang dapat menunjang kesehatan
jiwa. kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari keimanan dan

63
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami,
(Pustaka Pelajar, Yogyakarta:1997). h. 133-13
93

ketaqwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-tuntunan keagamaan


dalam hidup. Atas dasar pandangan-pandangan tersebut dapat diajukan
secara operasional tolok ukur kesehatan jiwa atau kondisi jiwa yang sehat,
yakni:

a. Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan.


b. Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan
hubungan antar pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan.
c. Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan,
sikap, sifat, dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri
sendiri dan lingkungan.
d. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, dan berupaya menerapkan
tuntunan agama dalam kehidupan sehari-hari.64

Berdasarkan tolak ukur di atas kiranya dapat digambarkan secara


ideal bahwa orang yang benar-benar sehat mentalnya adalah orang yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berusaha
secara sadar merealisasikan nilai-nilai agama, sehingga kehidupannya itu
dijalaninya sesuai dengan tuntunan agamanya. Ia pun secara sadar
berupaya untuk mengembangkan berbagai potensi dirinya, seperti bakat,
kemampuan, sifat, dan kualitas-kualitas pribadi lainnya yang positif.
Sejalan dengan itu ia pun berupaya untuk menghambat dan mengurangi
kualitas-kualitas negatif dirinya, karena sadar bahwa hal itu dapat menjadi
sumber berbagai gangguan (dan penyakit) kejiwaan.

C. Peranan Agama Terhadap Kesehatan Mental


Dalam Islam pengembangan kesehatan jiwa terintegrasi dalam
pengembangan pribadi pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan
yang sehat merupakan hasil sampingan dari kondisi pribadi yang matang
secara emosional, intelektual dan sosial, serta terutama matang pula

64
Ibid...
94

ketuhanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan


demikian dalam Islam dinyatakan betapa pentingnya pengembangan
pribadi-pribadi meraih kualitas “insan paripurna”, yang otaknya sarat
dengan ilmu yang bermanfaat, bersemayam dalam kalbunya iman dan
taqwa kepada Tuhan. Sikap dan tingkah lakunya benar-benar
merefleksikan nilai-nilai keislaman yang mantap dan teguh. Otaknya
terpuji dan bimbingannya terhadap masyarakat membuahkan ketuhanan,
rasa kesatuan, kemandirian, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih
sayang. Kesan demikian pasti jiwanya pun sehat. Suatu tipe manusia ideal
dengan kualitas-kualitasnya mungkin sulit dicapai. Tetapi dapat dihampiri
melalui berbagai upaya yang dilakukan secara sadar, aktif dan terencana
sesuai dengan prinsip yang terungkap dalam firman Allah SWT (QS. Ar-
Ra’du ayat 11).
Artinya : “ Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.65
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam mengakui kebebasan
berkehendak dan menghargai pilihan pribadi untuk menentukan apa yang
terbaik baginya. Dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk secara
sadar aktif melakukan lebih dahulu segala upaya untuk meningkatkan diri
dan merubah nasib sendiri dan barulah setelah itu hidayah Allah akan
tercurah padanya. Sudah tentu upaya-upaya dapat meraih hidayah Allah
SWT itu harus sesuai dan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Selain itu
dalam Islam kebebasan bukan merupakan kebebasan tak terbatas, karena
niat, tujuan, dan cara-caranya harus selalu sesuai dengan nilai-nilai agama
dan norma-norma yang berlaku.

BAB XII

SIKAP KEAGAMAAN DAN POLA TINGKAH LAKU

A. Sikap keagamaan

65
DEPAG. RI, op.cit., h. 370.
95

Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri


seorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan bentuk
kepercayaannya. Sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang
atau tidak senang, setuju atau tidak setuju terhadap objek tertentu
berdasarkan komponen kejiwaan; kognisi, afeksi dan konasi. Artinya sikap
merupakan interaksi dari komponen-komponen kejiwaan manusia secara
kompleks terhadap lingkungannya.66
Masyarakat madani dibentuk dengan landasan motivasi dan etos
keagamaan. masyarakat madani menunjukkan lingkungan masyarakat
yang beradab, berbudi luhur, berakhlak mulia, egalitarianisme dan
menghargai seseorang berdasarkan prestasi kerja. Dan menegakkan
hukum, toleransi, pluralistik, berkeadilan sosial dan menghidupkan
demokrasi dalam wadah musyawarah. Masyarakat madani berbeda dengan
civil society yang lahir dari konteks sosial masyarakat Barat kontemporer,
yaitu dari gerakan perlawanan rakyat guna melepaskan diri dari rezim-
rezim penindas dan otoriter serta tidak ada hubungannya dengan akhlak
atau budi pekerti luhur dan agama. Intelektual muslm konptemporer
berusaha untuk memformulasikan nilai-nilai agama dalam masyarakat
madani sebagai landasan operasional dalam bersikap dan bertindak setiap
individu dalam kehidupan masyarakat.67
B. Tradisi keagamaan
Tradisi keagamaan pada dasarnya merupakan pranata
keagamaan yang sudah dianggap baku oleh masyarakat pendukungnya.
Dengan demikian tradisi keagamaan sudah merupakan kerangka acuan
norma dalam kehidupan dan perilaku masyarakat. Dan tradisi
keagamaan sebagai pranata primer dari kebudayaan memang sulit untuk
berubah, karena keberadaannya didukung oleh kesadaran bahwa pranata

66
Hendro Puspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1984), h. 111

67
Jalaluddin, Psikologi agama. (Jakarta:Rajawali Pers)
96

tersebut menyangkut kehormatan, harga diri dan jati diri masyarakat


pendukungnya.
    Para ahli antropologi membagi kebudayaan dalam bentuk dan
isi. Menurut bentuknya kebudayaan terdiri atas tiga, yaitu
(Koentjaraningrat, 1986:80-90)
a. Sistem kebudayaan (cultural system)
Sistem kebudayaan berwujud gagasan, pikiran, konsep,
nilai-nilai budaya, norma-norma, pandangan-pandangan yang
benruknya abstrak serta berada dalam pikiran para pemangku
kebudayaan yang bersangkutan.
b. Sistem sosial (social system)
Sistem sosial beruwud aktivitas, tingkah laku bepola,
perilaku, upacara-upacara serta ritus-ritus yang wujudnya lebih
konkret. Sistem sosial adalah bentuk kebudayaan dalam wujud
yang lebih konkret dan dapat diamati.
c. Benda-benda budaya (material culture)
Benda-benda budaya disebut juga sebagai kebudayaan fisik
atau kebudayaan material. Benda budaya merupakan hasil
tingkah laku dan karya pemangku kebudayaan yang
bersangkutan.
Selanjutnya isi kebudayaan, menurut koenjaraningrat terdiri atas
tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi
sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian. Dengan demikian
dilihat dari bentuk dan isi, kebudayaan pada dasarnya merupakan suatu
tatanan yang mengatur kehidupan suatu masyarakat. Kebudayaan
merupakan lingkungan yang terbentuk oleh norma-norma dan nilai-nilai
yang dipelihara oleh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai serta
norma-norma yang menjadi pedoman hidup itu kemudian berkembang
dalam berbagai kebutuhan masyarakat, sehingga terbentuk dalam satu
sistem sosial. Dari sistem ini selanjutnya terwujud pula benda-benda
kebudayaan dalam bentuk benda fisik.
97

Dalam kaitannya dengan pembentukan tradisi keagamaan, secara


konkret, pernyataan Koentjaraningrat tersebut dapat digambarkan
melalui proses penyiaran agama, hingga terbentuk suatu komunitas
keagamaan. Sebagai contoh, masuknya agama kenusantara sejak abad
keempat (Hindu Budha), ketujuh (Islam) dank e 16 (Kristen). Meskipun
keempat agama tersebut disiarkan ke Nusantara dalam kurun waktu
yang berbeda, namun pengaruhnya terhadap prilaku masyarakat
pendukungnya di Indonesia masuh terlihat nyata.
Menurut Robert C, Monk, memang pengalaman agama
umumnya bersifat individual. Tetapi karena pengalaman agama yang
dimiliki umumnya selalu menekankan pada pendekatan keagamaan
bersifat pribadi, hal ini senantiasa mendorong seseorang untuk
mengembangkan dan menegaskan keyakinannya itu dalam sikap,tingka
laku, dan praktek-praktek keagamaan yang dianutnya. Inilah sisi-sisi
sosial (kemasyarakatan) yang meliputi unsur pemelihara dan pelestarian
sikap para individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut.
Bagaiman pengaruh tradisi keagamaan terhadap sikap
keagamaan ini dapat dilihat dari contoh yang paling sederhana. Seorang
muslim yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang taat akan
menunjukan sikap yang menolak ketika diajak masuk ke kelenteng,
Pure dan Gereja. Sebalinya hatinya akan tenteram saat menjejakan
kakinya ke Masjid.
Tingkah laku yang menyalahi norma yang berlaku disebut dengan
tingkah laku yang menyimpang. Penyimpangan tingkah laku ini dalam
kehidupan banyak terjadi, sehingga sering menimbulkan keresahan
masyarakat. Kasus-kasus penyimpangan tingkah laku tak jarang pula
berlaku pada kehidupan manusia sebagai makhluk individu maupun
sebagai kehidupan kelompok masyarakat. Dan dalam kehidupan
masyarakat bergama penyimpangan yang demikian itu sering terlihat
dalam bentuk tingkah laku keagamaan yang menyimpang
98

Perubahan sikap keagamaan adalah awal proses terjadinya


penyimpangan sikap keagamaan pada seseorang, kelompok atau
masyarakat. Perubahan sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh
lingkungan, maka sikap dapat diubah walaupun sulit, karenanya perubahan
sikap, dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
a. Adanya kemampuan lingkungan merekayasa obyek, sehingga
menarik perhatian, memberi pengertian dan akhirnya dapat
diterima dan dijadikan sebagai sebuah sikap baru.
b. Terjadinya konversi agama, yakni apabila seseorang menyadari apa
yang dilakukannya sebelumnya adalah keliru, maka ia tentu akan
mempertimbangkan untuk tetap konsisten dengan sikapnya yang ia
sadari keliru. Dan ini memungkinkan seseorang untuk bersikap
yang menyimpang dari sikap keagamaan sebelumnya yang ia
yakini sebagai suatu kekeliruan tadi.
c. Penyimpangan sikap keagamaan dapat juga disebabkan karena
pengaruh status sosial, dimana mereka yang merubah sikap
keagamaan ke arah penyimpangan dari nilai dan norma
sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status
sosialnya.
d. Penyimpangan sikap keagamaan dari sebelumnya, yaitu jika terlihat
sikap yang menyimpang dilakukan seseorang (utamanya mereka
yang punya pengaruh besar), ternyata dirasakan punya pengaruh
sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat, maka akan
dimungkinkan terjadinya integritas sosial untuk menampilkan sikap
yang sama, walau pun disadari itu merupakan sikap yang
menyimpang dari sikap sebelumnya.68
BAB XIII

AGAMA DALAM KEHIDUPAN INDIVIDU

68
Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta:Kalam Mulya, 2004) h. 53
99

A. Makna Agama Dalam Kehidupan


Bagi mahasiswa yang cenderung berpikir liberal, agama tetap
merupakan kebutuhan dan pedoman yang akan menuntun manusia kepada
kehidupan yang lebih baik. Asumsi umum bahwa mahasiswa berpikir
liberal biasanya mengabaikan atau merendahkan agama, sama sekali tidak
terbukti. Artikel ini justru membuktikan bahwa mereka tetap
memposisikan agama pada level yang tinggi, yaitu sebagai kebutuhan dan
pedoman. Ini berarti bahwa mereka masih memerlukan agama dalam
kehidupannya dan mengakui kemampuan agama sebagai petunjuk jalan
menuju kebaikan. Namun, meski agama tetap diagungkan, mereka
menolak keras sikap beragama yang ekstrim. Dalam penelitian ini, para
mahasiswa berkecenderungan liberal selalu menunjuk ‘ekstrim kanan’
pada golongan Islam fundamentalis.
Bagi mahasiswa dengan kecenderungan moderat, agama bukan
sekedar pedoman yang harus diserap nilai-nilainya, namun juga pedoman
praktis dalam keseharian. Sebagai contoh, mereka selalu mengawali segala
sesuatu dengan berdoa. Hal ini berbeda dengan mahasiswa kecenderungan
liberal yang lebih menjadikan agama sebagai pedoman untuk nilai-nilai
universal, sedangkan untuk hal-hal praktis keseharian mahasiswa liberal
mengembalikan ke pribadi masing-masing. Dengan kata lain, nuansa
formalitas pada mahasiswa moderat lebih tinggi dibanding pada
mahasiswa liberal. Bagi mahasiswa berkecenderungan fundamentalis,
mereka justru menjadikan agama sebagai totalitas kehidupan. Agama bagi
mereka adalah rujukan, contoh, sumber inspirasi, petunjuk teknis, dan
sebagainya. Intinya mereka hendak mengatakan bahwa agama adalah
segala-galanya. Totalitas yang tidak dapat ditawar inilah yang
membedakan mahasiswa berkecenderungan fundamentalis dengan dua
kecenderungan lainnya. Melihat makna agama bagi tiga kecenderungan
mahasiswa tersebut memang belum dapat ditentukan orientasi intrinsik
dan ekstrinsiknya, sebab ketiganya memiliki pemaknaan yang hampir
sama dalam hal memposisikan agama sebagai nilai tertinggi dalam hidup
100

mereka. Perbedaan mereka tampak dari sikap kritis terhadap agama. Bagi
mahasiswa liberal, agama atau keagamaan bisa dikritisi, sedangkan bagi
mahasiswa yang moderat terkesan memilih aman dengan mengikut
pandangan yang aman. Adapun kelompok fundamentalis, taat pada
ketentuan agama dengan keyakinan penuh dan kurang menerima kritik
yang mengarah pada doktrin. Meskipun mereka memiliki persamaan dan
perbedaan dalam memaknai agama, namun, pertanyaan tentang jenis
orientasi mereka baru terjawab setelah kita mengetahui sikap dan
perilakunya.
B. Sikap terhadap Orang yang Berbeda Paham dan Agama
Salah satu parameter sikap keagamaan adalah sikap seseorang terhadap
orang lain. Dalam teori Paloutzian, sikap yang dimaksud adalah ada
tidaknya prasangka (prejudice) yang dimiliki seseorang yang beragama
terhadap kelompok etnis atau agama lain. Hasil penelitian psikologi agama
menemukan dua pandangan berbeda terkait prejudice ini. Pertama, bahwa
orang yang taat beragama justru memiliki prasangka lebih tinggi
dibanding orang yang tidak taat beragama. Pendapat pertama tersebut
didukung Adorno, dan Gordon Allport. Adapun pandangan kedua
meyakini bahwa yang memiliki prejudice lebih tinggi adalah mereka yang
hit and miss, kadang taat kadang tidak dan bukan yang taat beragama
secara konsisten.69 Untuk yang disebut terakhir, tingginya prasangka
disebabkan kurang mendalamnya pemahaman keagamaan. Memahami
agama secara sepenggalsepenggal dan tidak mendalam membuat orang
lebih mudah terjebak dalam dikotomi benar-salah atau hitam-putih. Cara
pandang yang dikotomis tersebut menegasikan ruang abu-abu sehingga
tidak ada tawar menawar dalam agama. Akibatnya penafsiran yang
muncul akan sangat tegas, kaku, tidak bisa cair dalam menyelesaikan
masalah. Perbedaan cara memaknai agama terbukti melahirkan perbedaan
sikap dalam beragama. Hal tersebut terutama tampak ketika mahasiswa

69
Raymond F. Paloutzian, Invitation to Psychology of Religion (Boston: Allyn & Bacon,
1996), 206-208.
101

bersikap terhadap orang lain yang berbeda paham keagamaan dan berbeda
agama. Deskripsi berikut ini adalah kecenderungan sikap mahasiswa
dengan kecenderungan yang berbeda-beda. Mahasiswa dengan
kecenderungan liberal B, pertama, melihat keislaman dari sikap dan
perilaku, bukan dari bungkus-bungkus kesalehan yang tampak dari luar.
Mereka secara kritis menyatakan bahwa penampilan luar seseorang tidak
selalu menjadi jaminan kualitas kepribadian orang tersebut. Mahasiswa
liberal sebenarnya tidak mementingkan simbol-simbol, melainkan justru
menekankan pada esensi. Sikap yang tidak mau terjebak pada simbol
sebenarnya merupakan ciri keagamaan yang mulai matang karena
mahasiswa mulai berani melakukan self critic sekaligus tetap loyal pada
agamanya sendiri.
Hal ini seperti yang disebutkan oleh Gordon Allport bahwa salah
ciri keberagamaan yang matang atau dewasa adalah well-differentiated
and self-critical.70 Selain tidak langsung percaya pada ‘bungkus
kesalehan’, sikap kedua yang penting bahwa mahasiswa berkecenderungan
liberal lebih bersikap toleran kepada umat yang berbeda mazhab, aliran,
dan agama. Bagi mereka, selama agama/aliran kepercayaan lain
mengajarkan kebaikan dan tidak merugikan Islam, maka sudah
sepantasnya dihormati. Kecenderungan sikap mahasiswa liberal ternyata
mengarah pada sikap inklusif bahkan pluralis dalam beragama. Sikap
inklusif ditunjukkan dengan keberanian mereka menyatakan keterbukaan
dalam agama, yaitu mereka lebih melihat persamaan antar agama daripada
memperuncing perbedaan. Dalam paradigma Islam inklusif, keterbukaan
untuk berdialog antar iman dilandasi semangat menemukan kalimatun
sawa yang disinyalir dalam Q.S. Ali ‘Imran (3): 64. Hal itu juga dilandasi
keyakinan bahwa setiap umat pernah memiliki nabinya sendiri-sendiri dan
masing-masing di antaranya membawa ajaran yang sama yaitu
mengesakan Tuhan. Ketiga, mereka memilih bersikap self objectification

70
Budhy Munawar Rachman, Islam dan Pluralisme Nurcholosh Madjid (Jakarta: PSIK
Paramadina, 2007).
102

ketika melihat ketertinggalan Islam dibanding umat lain. Hal penting yang
ditemukan kajian ini adalah sikap mahasiswa berkecenderungan liberal
yang tidak lantas menyalahkan pihak lain ketika melihat ketertinggalan
Islam. Mereka memilih melihat faktor internal yang menyebabkan Islam
mundur.
Hal tersebut akan terlihat lebih kontras lagi jika dibandingkan
dengan sikap sebagian umat muslim radikal yang dengan lantang
menuding orang non-muslim sebagai kafir dan ungkapan-ungkapan tak
bersahabat lainnya. Keempat, menurut mereka pergaulan bebas yang
sudah merambah hampir semua kampus tidak cukup diselesaikan dengan
ancaman dosa dan neraka. Bagi mahasiswa berkecenderungan liberal yang
terpenting adalah solusi yang mencerdaskan yaitu penyuluhan agar
mahasiswa yang terjangkiti pergaulan bebas tersebut sadar resiko yang
akan mereka tanggung seperti terinfeksi virus HIV/ AIDS, terjebak
kecanduan narkoba, dan akhirnya gagal meraih sarjana. Kelompok
mahasiswa dengan kecenderungan moderat atau tidak terlalu liberal
ternyata memiliki sikap sedikit berbeda. Pertama, terkait makna agama
bagi mereka, mahasiswa moderat pada intinya berpegang pada kaidah
ushul fiqh ‘mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil hal baru
yang lebih baik’. Meskipun mereka tidak secara eksplisit menghafal
kaidah ushul fiqh tersebut, namun secara implisit prinsip tersebut yang
mereka pegang. Sikap yang mengambil jalan tengah tersebut biasanya
tanpa disadari dilakukan untuk mendapatkan rasa aman. Maka sebenarnya
sikap demikian dapat digolongkan dalam perilaku ekstrinsik. Kedua,
dalam bersikap terhadap umat lain yang berbeda aliran dan agama masih
termasuk dalam bentuk toleransi namun dengan tetap kuat memegang
truth claim. Mahasiswa moderat dapat bersikap toleran meskipun mereka
tidak tahu pasti dalil apa yang menyuruh mereka bersikap toleran. Hal ini
berbeda dengan mahasiswa liberal yang mengembangkan sikap toleran
karena mereka memahami teori-teori pluralisme, sekularisme dan
mengenal ajaran agama lain secara lebih baik. Ketiga, menanggapi kondisi
103

umat Islam dibanding umat lain, mahasiswa moderat mengaku prihatin


terhadap maraknya konflik internal umat Islam dan maraknya terorisme.
Sikap mahasiswa moderat tersebut terkesan berimbang antara self-critic
dan kritik kepada pihak lain. Di satu sisi mereka mengakui ketertinggalan
dan keterpurukan umat Islam karena kesalahan internal umat, di sisi lain
mereka juga mengakui bahwa pihak luar, dalam hal ini Barat, punya
kontribusi bagi kemunduran Islam. Keempat, pada prinsipnya mahasiswa
moderat tidak setuju dan prihatin dengan pergaulan bebas dan sekularisasi.
Beberapa solusi yang ditawarkan untuk menghindari terjadinya pergaulan
bebas di antaranya membentengi diri dengan banyak beribadah dan
membaca buku keagamaan, mengadakan konseling psikologis, membekali
mahasiswa dengan pengetahuan keagamaan melalui berbagai kajian dan
bimbingan keIslaman yang melibatkan dosen dan mahasiswa. Di level
kebijakan universitas, dapat dilakukan dengan membatasi waktu aktivitas
mahasiswa dan lebih ketat memberlakukan jam malam. Sikap mahasiswa
yang cenderung lebih fundamentalis ternyata cukup berbeda. Yang
pertama terkait bagaimana mahasiswa memaknai agama Islam, mereka
menyatakan bahwa Islam adalah segalanya baik sebagai ad-din maupun
sebagai ad-daulah. Kedua, terkait sikap mereka terhadap umat lain,
memang sedikit bervariasi, ada yang keras dan ada yang cukup akomodatif
menerima umat lain. Dalam hal akidah, mereka mengaku sangat
fundamental, artinya akidah adalah aspek yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi dengan cara apapun. Bagi mahasiswa fundamentalis, umat Islam harus
waspada dengan serangan-serangan yang halus terutama melalui media-
media modern, apalagi yang bentuknya sangat halus dan bersifat
pemikiran (ghazwul fikr). Sikap mahasiswa fundamentalis menyiratkan
adanya prejudice (prasangka) yang lebih tinggi dibanding kelompok
mahasiswa lainnya. Bentuk prasangka tersebut terlihat dari himbauan
mereka untuk waspada terhadap pengaruh yang halus dari pihak-pihak
yang memusuhi Islam. Secara tidak langsung sebenarnya mereka
mencurigai Barat dan Zionis sebagai musuh Islam yang tidak henti-
104

hentinya menyebarkan pengaruh melalui berbagai media modern seperti


televisi, internet, dan surat kabar. Prasangka berikutnya juga tampak dari
pembelaan mahasiswa yang cenderung fundamentalis terhadap cara
penegakan hukum terkait isu terorisme. Adanya dugaan rekayasa
pemerintah dalam kasus terorisme merupakan sebuah prasangka yang
hanya disebutkan oleh mahasiswa dari kalangan fundamentalis. Prasangka
tersebut dapat dilihat sebagai perpanjangan dari prasangka sebelumnya
bahwa Barat masih menjajah Indonesia dalam bentuk yang sangat halus
(diplomasi politik) bukan invasi militer. Prejudice dalam konteks
penelitian Allport lebih banyak dimiliki oleh orang dengan orientasi
keagamaan ekstrinsik. Di mana mereka menampakkan prejudice agama
dan etnis untuk mencari keamanan dan kenyamanan pribadinya. Prejudice
dijadikan tameng oleh mereka agar terlihat sebagai orang beragama
(Kristen) yang baik. Banyaknya prasangka di kalangan mahasiswa
fundamentalis seolah-olah menunjukkan mereka beragama secara
ekstrinsik. Namun hal ini kontradiktif jika melihat komitmen akidah dan
ketaatan mereka dalam ritual agama yang dapat dianggap sebagai paling
taat dibanding dua kelompok mahasiswa lainnya. Temuan ini seolah
mengulang temuan klasik Allport dan para peneliti sebelumya yang
mendapatkan sebuah grand paradox bahwa mereka yang taat beragama
yang justru memiliki prejudice yang lebih tinggi. Istilah grand paradox
juga bisa diterapkan dalam kasus ini, karena Islam sendiri melarang
adanya prasangka buruk (suudzon) atau istilah lainnya adalah prejudice.
Namun demikian, perlu dipahami adanya perbedaan antara keagamaan
ekstrinsik dalam kasus penelitian Allport dengan mahasiswa dalam
penelitian ini. Allport memandang orang taat beragama yang memiliki
prejudice dalam kasus penelitiannya sebagai ekstrinsik, karena dengan
prejudice-nya mereka bertujuan untuk mendapatkan keamanan di tengah
umat Kristen yang lain. Sementara dalam kasus penelitian ini, kelompok
mahasiswa fundamentalis punya banyak prejudice justru karena menjaga
kepentingan agamanya (intrinsik).
105

Ketiga, terkait kondisi umat Islam saat ini, mahasiswa dengan


kecenderungan fundamentalis justru melihat sedang bangkitnya era baru
yang lebih cerah. Saat ini banyak umat Islam yang semakin terdidik, mulai
mapan secara ekonomi, dan dalam hal pemahaman keagamaan juga
semakin membaik berkat semakin mudahnya arus informasi. Keempat,
keprihatinan mendalam dirasakan oleh mahasiswa terkait maraknya
kehidupan bebas di kalangan remaja termasuk di dalam kampus. Mereka
mengakui bahwa pergaulan tanpa batas dengan nonmuhrim, berdua-duaan,
membuka aurat, adalah fenomena yang lazim terjadi. Mahasiswa
berkecenderungan liberal tidak mempunyai prasangka terhadap agama
lain, namun justru memiliki prasangka terhadap orang-orang yang
dianggap beraliran sebaliknya, yaitu Islam yang fundamentalis.
Mahasiswa yang cenderung liberal biasanya kurang senang dengan
gerakan-gerakan seperti Hizbut Tahrir dan Front Pembela Islam karena
bagi mereka gerakan tersebut beraliran Islam kanan yang diidentikkan
dengan tekstualis dan fundamentalis, sedangkan mahasiswa liberal
mengklaim diri sebagai pemikir progresif dan kontekstualis. Sampai di sini
dapat dibuat kesimpulan sementara bahwa mahasiswa yang cenderung
liberal meskipun tidak sepakat dengan gerakangerakan “islam kanan”
namun tidak memiliki prasangka terhadap agama lain. Meskipun
ketidaksukaan pada gerakan Islam Kanan tersebut sebetulnya juga sebuah
bentuk lain dari prasangka, namun hal itu justru dapat dilihat sebagai
bentuk konsistensi untuk tidak berprasangka pada agama lain. Adapun
kelompok mahasiswa moderat, meskipun berpihak pada sikap toleransi
namun prejudice terhadap agama lain masih terlihat jelas. Selain itu, sikap
toleran mahasiswa moderat tidak didukung secara cukup dengan
kemampuan mereka mendalami teks-teks toleransi maupun wacana
pluralisme, dan sekularisasi. Mahasiswa moderat dapat bersikap toleran
meskipun mereka tidak tahu pasti dalil apa yang menyuruh mereka
106

bersikap toleran.71 Sehingga bisa disimpulkan bahwa mahasiswa moderat


mengapresiasi toleransi karena kebutuhan akan rasa aman. Sedangkan
kelompok mahasiswa fundamentalis memiliki prasangka cukup tinggi
terhadap adanya kelompok yang memusuhi Islam baik secara terang-
terangan dan terutama yang memusuhi secara halus. Tingginya prejudice
tersebut menggambarkan sebuah grand paradox, karena ajaran Islam
melarang umatnya untuk berburuk sangka (prejudice). Namun demikian
kita juga tidak bisa serta merta menghakimi mereka sebagai beragama
ekstrinsik, karena berbeda dengan kasus Allport, dalam penelitian ini
prejudice mereka justru bertujuan untuk membela Islam.
C. Ekspresi Orientasi dan Sikap Keagamaan dalam Perilaku
Perbedaan orientasi mahasiswa dalam memaknai agama, selain
berpengaruh terhadap bagaimana mereka bersikap terhadap agamanya,
juga pada gilirannya berpengaruh juga terhadap bagaimana mereka
berperilaku. Hal ini terlihat dalam variasi perilaku mahasiswa terutama
dalam hal perilaku keagamaan, baik yang sifatnya ibadah mahdhoh atau
amal saleh dan lebih khusus lagi pada aspek ritual atau peribadatan
mereka. Komitmen dalam aspek ritual bagi mahasiswa dengan
kecenderungan liberal memang kurang. Misalnya sebagian mengaku
salatnya bolong-bolong atau tetap salat namun tidak tepat waktu. Mereka
juga tidak sering pergi ke masjid. Adapun aktivitas lain seperti membaca
Alquran, sebagian mengaku lebih sering mengkaji maknanya daripada
membaca bahasa Arabnya. Sedangkan untuk puasa Ramadhan semuanya
masih melaksanakan secara penuh. Yang menarik adalah amalan sunnah
mereka lakukan, meskipun tidak konsisten melakukannya. Amalan sunnah
tersebut seperti salat dhuha, tahajud, atau rawatib, tapi mereka mengaku
melakukan amalan sunnah dalam bentuk yang lebih nyata seperti
membantu teman dan tetangga, bersedekah, dan amalan-amalan lain yang
dampaknya lebih nyata, bukan amalan yang ritualistik saja. Mahasiswa

71
Raymond F. Paloutzian, Invitation to Psychology of Religion (Boston: Allyn & Bacon,
1996), 225.
107

dengan kecenderungan liberal sebagian besar tidak aktif dalam organisasi


keagamaan, namun berkecimpung dalam organisasi lain yang terkait hobi
(misalnya production house, membuat film), kemudian organisasi profesi
atau organisasi yang sesuai jurusan studinya, dan lembaga-lembaga ilmiah
lain seperti penerbitan buletin dan jurnal serta kelompok diskusi
komunitas dan kedaerahan. Mereka juga aktif dalam forum diskusi online
misalnya di website dan facebook Jaringan Islam Liberal. Sedangkan
kelompok mahasiswa yang moderat ketaatan beragama memang lebih
terlihat namun sebagian mengaku melakukannya sebagai sebuah rutinitas
dan kewajiban saja. Mereka secara umum berpandangan bahwa yang
namanya kewajiban harus dijalankan dan tidak perlu banyak
dipertanyakan. Berbeda dengan mahasiswa liberal yang kadang secara
kristis mempertanyakan manfaat ritual agama seperti salat berjamaah atau
pergi ke masjid, mahasiswa moderat juga relatif sering menjalankan
amalan-amalan sunnah termasuk kadang berpuasa sunnah dan tadarus
Alquran. Adapun intensitas ke masjid tidak terlalu sering. Amalan-amalan
yang bersifat habluminannas seperti membantu sesama teman, keluarga,
dan tetangga yang mengalami kesulitan juga sering dilakukan tanpa
memandang latar belakang agama atau etnisnya.
Begitupun dengan aksi solidaritas untuk masyarakat korban
bencana/konflik sosial tetap dilakukan dengan alasan kemanusiaan tanpa
membeda-bedakan golongan atau agama tertentu. Beberapa mahasiswa
moderat aktif mengikuti kajian keislaman kontemporer bersama Ormas
tertentu, pengajian maiyahan Cak Nun, kajian Habib Syekh dan Habib
Umar, serta kajian mengenai kitab kuning dan tafsir yang diselenggarakan
pesantren. Beberapa organisasi yang diikuti meliputi Mitra Ummah yang
fokus pada konseling dan pemberdayaan masyarakat. Masih relatif
terjaganya perilaku keagamaan ritualistik di kalangan mahasiswa moderat,
terjadi karena sekedar ‘yang penting taat’. Mereka tidak terlalu memahami
dasar hukumnya secara memadai (credulity). Komitmen keagamaan yang
sifatnya ritualistik terjaga sangat kuat pada mahasiswa yang cenderung
108

fundamentalis. Ibadah mahdhah sudah tidak bisa ditawar lagi untuk


dijalankan selalu bahkan diupayakan tepat waktu. Mereka juga sangat
tekun dalam ibadah-ibadah sunnah. Salah satu responden justru terkesan
“mewajibkan” ibadah sunnah karena secara istiqomah dia tidak pernah
jeda sepanjang tidak ada uzur. Kelompok ini juga beberapa kali terlibat
alam aksi solidaritas kemanusiaan untuk korban bencana alam dan
umumnya tidak membeda-bedakan latar belakang agama. Meski ada yang
melakukannya karena ingin menyelamatkan akidah para Muslim teraniaya
yang dimurtadkan dengan Kristenisasi yang berdalih bantuan
kemanusiaan. Sebagian dari kelompok ini rajin mengikuti kajian Islam
seperti tajwid dan tafsir Alquran, nahwu, sharaf, dan kajian-kajian
kotemporer terutama terkait isu ekonomi dan politik. Sebagian aktif dalam
gerakan KAMMI dan HTI, serta sebagian lain masih sering ikut aktif di
kegiatan pesantren. Salah seorang responden yang berjilbab lebar sering
dituduh ekstrimis oleh teman-temannya, meski sebenarnya jika dibanding
dengan informan lainnya, dia termasuk yang paling lunak karena kadang
masih ikut kajian bahsul masail dan tidak mau terlibat jauh dalam HTI
meski pernah mengikuti kajiannya. Sebagian mahasiswa fundamentalis
mengaku bahwa dalam kelompok mereka ada kecurigaan terhadap dosen-
dosen alumni Barat yang disinyalir pemikirannya sudah terkooptasi
agenda Barat untuk melemahkan akidah Islam.72
BAB XIV

FANATISME DAN KETAATAN

A. Pengertian Fanatisme

Fanatisme adalah paham atau perilaku yang menunjukkan


ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan. Filsuf George
Santayana mendefinisikan fanatisme sebagai, "melipatgandakan usaha
Anda ketika Anda lupa tujuan Anda";[1] dan menurut Winston Churchill,
"Seseorang fanatisme tidak akan bisa mengubah pola pikir dan tidak akan
72
Sekar Ayu ARyani, Orientasi, Sikap dan Prilaku Keagamaan, diakses 24 Januari 2021.
109

mengubah haluannya". Bisa dikatakan seseorang yang fanatik memiliki


standar yang ketat dalam pola pikirnya dan cenderung tidak mau
mendengarkan opini maupun ide yang dianggapnya bertentangan.

Adapun jenis-jenis Fanatisme yaitu :

1. Fanatisme etnis
2. Fanatisme nasional

3. Fanatisme ideologi

4. Fanatisme agama

5. Fanatisme olahraga

B. Pengertian Fanatisme Agama


Fanatisme sendiri adalah keyakinan ataupun kepercayaan yang
terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama dan sebagainya). Fanatisme
agama berarti keyakinan ataupun suatu kepercayaan yang sangat terhadap
suatu agama. Fanatisme lebih kepada perilaku ataupun keyakinan yang
sudah terkunci dalam otak manusia yang sulit dirubah karena tertutupnya
otak dalam mekasisme kritisasi terhadap keyakinan, yang mana malah
melahirkan sikap antitoleransi. Dimana orang-orang yang terlalu fanatik
terhadap agama atau ajaran di dalam agama seolah-oalah apa yang mereka
lakukan berangkat atas nilai-nilai fundamentalis atau nilai dasar suatu
ajaran, tetapi pada realitasnya sangat banyak kejanggalan, fanatismen
akhir-akhir ini banyak menimbulkan pertikaian secara nyata maupun
didunia maya (bullying) yang mengatas namakan kebenaran agama.73
C. Dampak Fanatisme Agama Terhadap Konflik Sosial

Di Indonesia, fundamentalisme agama masih begitu kelihatan,


terutama bagi golongan Kristen dan Islam. Konflik berdarah antara Islam
Kristen di Ambon, Poso, dan beberapa wilayah lain yang berbuntut
pengrusakan dan penghancuran rumah ibadat serta pembunuhan menjadi
73
https://serikatnews.com/syirik-dalam-fanatisme-agama/
110

indikasi adanya kelompok-kelompok fundamentalis sempit ini.Walaupun


sebenarnya tidak sepenuhnya benar jika meletakkan kesalahan pada sikap
fundamentalis ini sebagai satu-satunya motif dari konflik tersebut, tetapi
sikap ini dapat menjadi pemicu terjadinya konflik tersebut.

Konflik yang selama ini terjadi tidak terlepas dari bentuk-bentuk


politisasi agama demi kepentingan pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini
terjadi semacam disorientasi penghayatan agama karena agama dijadikan
sarana sebagai pembangun kekuasaan dengan menggunakan legitimasi
religius. Peran agama direduksi sekedar sebagai alat politik. Salah satu
contoh yang dapat kita cermati adalah UU Sisdiknas 2003 yang sempat
memicu perdebatan panjang dari para praktisi pendidikan dan pemuka
agama. Substansi UU tersebut dikritik sebagai bentuk etatisme berlebihan
dari negara tentang pendidikan, termasuk pendidikan agama. Hal ini
menjadi salah satu indikasi terjadinya politisasi agama.Jika demikian
halnya, akan rentan sekali terjadinya pendangkalan nilai-nilai otentik
agama dan munculnya konsolidasi negatif dari golongan agama tertentu
yang merasa diri sebagai kelompok mayoritas.

Fanatik terhadap agama hanya akan membuat seseorang merasa


dialah yang benar dan pihak yang lain salah.Konflik atas dasar agama
sangatlah sensitif karna masing masing pihak merasa dialah yang paling
benar.Oleh karna itu dalam penyelesain konflik yang berakar  agama tidak
cukup hanya dengan melontarkan kutukan yang tidak menghasilkan
penyelesain tapi dibutuhkan suatu aksi (talk less,do more).Memang  sulit
menyelesaikan konflik atas dasar agama karna masing masing pihak
berjuang atas nama tuhan yang berbuah surga menurut keyakinan masing-
masing .

Harmonisasi dalam kehidupan beragama merupakan tanggung


jawab semua pihak,terutama pemimpin yang menaungi pihak-pihak yang
berkonflik.Dengan adanya ketegasan yang adil dari pemimpin maka
111

konflik semacam ini akan terselesaikan.Ketegasan sangatlah mungkin


dilaksanakan tapi yang sulit adalah keadilan.Ketegasan yang tidak adil
akan menimbulkan masalah baru.

Dengan menerapkan sikap adil pada diri sendiri terutama sikap adil
pemimpin pada rakyatnya akan menghasilkan keputusan yang bijaksana
yang dapat menyelesaikan konflik tanpa ada pihak yang merasa
dirugikan.Semoga kita tergolong orang yang adil dan bijak,terutama
pemimpin negeri kita ini dan seluruh pemimpin di dunia.74

D. Fenomena Kekerasan dan Terorisme yang Mengatasnamakan Agama


Terorisme adalah suatu tindakan yang melibatkan unsur kekerasan
sehingga menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia dan
melanggar hukum pidana dengan bentuk mengintimidasi atau menekan
suatu pemerintahan, masyarakat sipil atau bagian-bagiannya untuk
memaksakan tujuan sosial politik seperti pertentangan agama, ideologi dan
etnis, kesenjangan ekonomi dan perbedaan pandangan politik.

Banyak yang beranggapan bahwa terorisme selalu berkaitan


dengan kekerasan atau bom yang bertujuan untuk meneror masyarakat.
Tetapi malah sebaliknya, bagi beberapa teroris ada yang beranggapan
bahwa tujuan mereka bukan untuk meneror masyarakat tetapi tujuannya
ingin berjihad dalam artian mereka ingin meningal karena membela
agama, dengan begitu mereka malah menyalahgunakan konsep jihad
dalam praktek terorisme. Bahkan mereka rela mengorbankan hidup
mereka demi melakukan aksi-aksi yang mereka anggap sebagai jihad.
Dalam islam sendiri konsep jihad bukanlah seperti itu melainkan jihad
bukanlah perang, apapun dan di manapun yang dilakukan muslim untuk
mendapatkat kekuasaan, ketenaran, harta dan kekayaan. Jihad bertujuan
untuk melawan kecenderungan jahad diri sendiri, seperti malas dan
dengki.
74
https://www.kompasiana.com/hogiiwan/55114727813311ae33bc7ee6/fanatik-terhadap-
agama-penyebab-konflik-bangsa-ini
112

Namun, tak jarang opini  yang  berkembang  dimasyarakat  adalah,


bahwa  jihad identik  dengan  teroris,  dan  teroris  identik  dengan  Islam
radikal  serta  orang-orang berjenggot. Jihad menjadi bahan perdebatan
dalam media massa dan  buku-buku  akademis,  baik  di  Timur  maupun
di  Barat. Tidak bisa dipungkiri bahwa agama selalu disalah pahami dan
disalah artikan, baik oleh orang-orang non muslim maupun oleh pemeluk
Islam sendiri, bahkan jihad seringkali disebut sebagai penyebab
munculnya aksi kekerasan atau teror yang  menyebabkan terjadinya
terorisme  dibeberapa  daerah  dan  di Indonesia  khususya.

Contoh Tragedi Bom Bali I yang terjadi pada tanggal 12 Oktober


2002. aksi teroris ini menelan korban 202 jiwa dari 21 negara, sebanyak
418 unit gedung mengalami kerusakan dan peristiwa ini mengakibatkan
Kondisi sosial ekonomi masyarakat Bali agak terganggu. Sebenarnya
anggapan dari pristiwa ini berbeda-beda. Menurut Ali Imron, pelaku bom
Bali I tahun 2002, latar utama pemboman di Bali tergabung dalam Darul
Islam penerus dari Negara Islam Indonesia (NII). Namun di tahun 2002
mereka berganti nama menjadi Jamaah Islamiah (JI). Biasanya otak aksi
teror di Indonesia memiliki 2 niatan. Yang pertama ialah teroris ingin
menegakkan agama islam seutuhnya di Indonesia. Kedua, ingin berjihat
dalam arti perang. Tak jarang dari sekumpulan para terorisme tersebut
merupakan sosok yang sangat intelektual, tetapi dengan begitu mereka
malah menyalahgunakannya.

tragedi seperti ini sangat lah kejam dan tidak bisa dimaafkan.
Banyak sekali dampak negatif yang timbul dari aksi ini. Mereka bahkan
mengatasnamakan agama sebagai kedok dalam melakukan aksi teror ini.
Padahal sudah jelas, bahwa setiap agama tidak pernah mengajarkan
tindakan yang kejam dan tidak pernah membenarkan aksi-aksi seperti ini
apalagi menganjurkan  pengikutnya  untuk melakukan  kekerasan  atau    
tindakan  teror. Dan mungkin akar persoalan dari aksi terorisme ini karena
sudah tertanam kebencian dalam diri mereka dan sudah terpengaruh oleh
113

orang yang salah, maka akan terjadilah sebuah tindakan yang tak terduga.
Yang dimana tujuan ingin melakukan hal yang mulia tetapi malah
sebaliknya. Biasanya seseorang tersebut telah dicuci otaknya oleh orang-
orang yang memiliki niatan buruk, dan mereka pun terpengaruh. Atau
mereka menjadi seperti ini akibat dari ketidak adilan yang dirasakan oleh
diri mereka dan juga minimnya pemahaman terhadap nash-nash kitab suci
yang menjadi landasan hukum hukum dalam beragama dan kesalah
pahaman terhadap ilmu agama lah yang memicu mereka untuk berbuat
kekerasan, bahkan dapat membahayakan nyawa orang banyak (massal),
lain dari pada itu tindakan ini juga dapat dipicu karena keterbatasan
ekonomi yang di rasakan banyak rakyat sipil, ataupun kegiatan politik,
sehingga melintaskan niat tersebut.75

E. Resolusi Konflik yang Mengatasnamakan Agama

Fanatisme yang berlebihan seingkali menumbuhsuburkan


semangat ego sektoral yang dapat menjadi ancaman disintegrasi bangsa.
Munculnya berbagai fenomena konflik di Indonesia dengan
mengatasnamakan agama merupakan salah satu indikator bahwa Bangsa
Indonesia masih belum sepenuhnya memahami kondisi internal bangsanya
sendiri yang berlatar belakang multikultural. Perpedaan di dalam
masyarakat yang multikultur ini seharusnya menjadi dasar untuk
mempertahankan identitas masing-masing dengan tetap menjaga integrasi
bangsa, bukan untuk menjadi pemicu lahirnya konflik-konflik antar
kelompok yang apabila diteliti lebih dalam, motif yang sebenarnya tidak
sepenuhnya karena faktor agama, tetapi faktor sosial budaya, politik dan
bahkan motif ekonomi. Melalui pendidikan Islam multikultural, tulisan ini

https://www.kompasiana.com/alfinarahma19/5f8e59310428240e9b66e922/terorisme-yang-
75

berkedok-atas-nama-agama?page=all
114

memberikan alternatif resolusi konflik agama di Indonesia berdasarkan


nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam tentang bagaimana
pentingnya menghargai keberagaman setiap struktur masyarakat yang
multikultural. Pendidikan Islam multikultural dapat dijadikan sebagai
pendekatan baru yang dapat merubah cara berfikir dan cara pandang
masyarakat serta keterampilan bersikap dan berperilaku dalam kehidupan
yang majemuk. Dalam konteks ini, pendidikan Islam multikultural
memberikan penanaman tentang spirit kehidupan beragama yang dilandasi
dengan nilai-nilai perdamaian, toleransi, menghargai perbedaan dan sikap-
sikap lain yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan semangat
persatuan Kebangsaan Indonesia.76

DAFTAR PUSTAKA

A.F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-nafs) & Kesehatan Mental, (Amzah,

Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf Wacana Manusia Spiritual Dan


Pengetahuan (Jakarta: LP3ES, 2014)

Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam


Al-Qur’an,

Ahmad Izzan, Metodologi Pembelajaran, ( Bandung ; Pustaka Nasional, 2000).

Amsal Bahtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)

Amsal Bakri, Filsafat Agama. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2007)

Ancok Djamaludin. “ Psikologi Agama” .Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1994.

76
https://www.neliti.com/id/publications/61831/pendidikan-islam-multikultural-sebagai-
resolusi-konflik-agama-di-indonesia
115

Armin Tedy, Pemikiran Keislaman, Dan Tafsir Hadits Tuhan Dan


Manusia, vol:2 (2017) El-fakar jurnal Armin Tedy

Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama. (Bandung: Pustaka Setia, 2008)

Budhy Munawar Rachman, Islam dan Pluralisme Nurcholosh Madjid


(Jakarta: PSIK Paramadina, 2007), 57-59

Budhy Munawar Rachman, Islam dan Pluralisme Nurcholosh Madjid


(Jakarta: PSIK Paramadina, 2007), 57-59

Daradjat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1970

DEPAG. RI, op.cit.,

Diana Vidya Fakhriyani, Kesehatan Mental, (Jakarta,Duta Media


Publishing: 2019).

Didi Gazalba, Asas Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)

Endang Saifuddin Anshari, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, (Jakarta:


Usaha Interprises, 1976),

Evi Rufaedah, Teori Belajar Behaviorisme Menurut Perspektif Islami,(


jurnal pendidikan dan studi islam, Vol.4 No.1 maret 2018).

Friedman. “Kepribadian Teori Klasik Dan Modern”.Jakarta: Erlangga.2006.

Ghazali Muchtar Adeng. “Antropologi Agama; Upaya Memahami


Keragaman Kepercayaan, Keyakinan Dan Agama”. Bandung: Alfabeta. 2011.

Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju


Psikologi Islami, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta:1997).

Hassan Hanafi, Islam in the Modern World: Religion, Ideology, and


Development, vol. I (Cairo: Dar Kebaa Bookshop, 2000).

Hendro Puspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1984),


116

Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudianto. Psikologi Agama. Cet-1.


(Jakarta: UIN Jakarta Press,2007)

https://nia.wikipedia.org

https://serikatnews.com/syirik-dalam-fanatisme-agama/

Hurlock. “Psikologi Perkembangan :Suatu Perkembangan, Suatu


Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan”. Jakarta :Erlangga.1980.

Jalaluddin. Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2007)

Luthfan Rezqi Perdana,Tema-tema Pengalaman Beragama Pada


Individu,Vol.4, No. 1.(2017).

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai


Persoalan

Marsika Manshur,”Agama dan Pengalaman Keberagamaan” , Vol. 4 No. 2


(Lamongan,Indonesia.2017).

Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-


Qur`an, (Berikut: Dar al-Fikr, 1997 M/1418H)

Musthafa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, jilid
1, alih bahasa, (Bulan Bintang, Jakarta,:1977).

Nurmadiah, Manusia dan Agama,Vol. 1, No. 1 2019

Paramadina, (Jakarta,:2000).

Prof,Dr.H . Jalaluddin. Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada. 2007)

Psikis : Jurnal Psikologi Islami Vol. 4 No. 1 Juni 2018

Punadji Setyosari, Teori belajar dan pembelajaran, ( Yogyakarta ; Pustaka


Setia .2017).
117

Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai


Persoalan Umat (Cet.II; Bandung: Mizan, 1996),

Rahayu Surtiati Hidayat, Hakikat Ilmu Pengetahuan dan Budaya, ( Jakarta;


Yayasan pustaka , 2018).

Rahmah Noer. “Pengantar Psikologi Agama” . Yogyakarta: Teras. 2013.

Rahmat Raharjo, “Pandangan Sigmund Freud Tentang Agama”. Dialogia


Jurnal Studi Islam dan Sosial, Vol. 4 No. 1 (STAIN Ponorogo, 2003)

Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta:Kalam Mulya, 2004

Ratna sukmayani, Ilmu Pengetahuan Sosial, ( Bandung ; Sinar baru, 2019).

Raymond F. Paloutzian, Invitation to Psychology of Religion (Boston:


Allyn & Bacon, 1996), 206-208

Raymond F. Paloutzian, Invitation to Psychology of Religion (Boston:


Allyn & Bacon, 1996), 206-208

Robertus Suraji, Membangun Teologi Tubuh Dari Bawah Belajar Dari


Pengalaman Olah Tubuh Tari Lengger,Vol.2.No.2(Jawa Barat:2018).

Salsabila, Unik Hanafiah. ‘’Membangun Kesadaran Spiritual Di Abad 21:


Dari Aktivitas Mengagumi Hingga Menginspirasi.’’ Jurnal AL-Manar 8.1 (2019):

Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-alliran dan Tokoh


Psikologi (Jakarta: Bulan Bintangh)

Sekar Ayu ARyani, Orientasi, Sikap dan Prilaku Keagamaan, diakses 24


Januari 2021.

Sekar Ayu ARyani, Orientasi, Sikap dan Prilaku Keagamaan, diakses 24


Januari 2021.

Syaiful Hamali, Terapi Agama Terhadap Problematika Psikis Manusia,


hal:1-3, jurnal Syaiful Hamali
118

Thohari Musnamar, et al, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan


Konseling Islam, UII Press, Yogyakarta, 1992).

Umat,( PT. Mizan Pustaka anggota IKAPI, Bandung,:2003).

Usman Sunyoto. “Sosiologi; Sejarah, Teori Dan Metodologi”. Jakarta :


PT.Raja Grapindo Persada.2013.

Zainal Arifin Abbas. Perkembangan Pemikiran Terhadap Agama. (Jakarta


: Pustaka Al-Husna, 1984)

Anda mungkin juga menyukai