Anda di halaman 1dari 14

Nama : Revaldo Yahya Damara

Nim : 05020220068

Prodi / Kelas : HES / C

Resume Jenis Jenis Perjanjian Khusus


Perjanjian khusus atau yang disebut juga perjanjian bernama adalah perjanjian yang
telah mempunya nama-nama sendiri yang diberikan oleh pembuat undang-undang
berdasarkan tipe-tipe atau bentuk-bentuk yang benyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus
yang ada dalam KUHPerdata disebutkan dalam buku ke-III, dimulai pada Bab ke-V sampai
pada Bab ke-XVIII. Adapun penjelasan-penjelasan lebih rinci mengenai bentuk-bentuk
perjanjian khusus tersebut sebagai berikut :
1. Perjanjian Sewa –menyewa
a) Definisi
Sewa menyewa diatur dalam pasal 1548 sampai dengan pasal 1600 KUH perdata.
Perjanjian sewa menyewa adalah salah satu perjanjian dengan mana pihak yang satu
(yang menyewakan) mengikatkan dirinya untuk memberikan suatu barang kepada
pihak lainnya (penyewa) untuk digunakan dalam waktu tertentu dan dengan
pembayaran sesuatu harga yang telah disanggupi pihak tersebut (Pasal 1548
KUHPerdata). Semua jenis barang, baik barang bergerak maupun barang tidak
bergerak. Definisi lainnya menyebutkan bahwa perjanjian sewa menyewa adalah
“persetujuan untuk pemakaian sementara suatu benda, baik bergerak maupun tidak
bergerak, dengan pembayaran suatu harga tertentu.” (Algra, dkk., 1983:199)
Pada dasarnya sewa menyewa dilakukan untuk waktu tertentu. Persewaan tidak
berakhir dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau penyewa. Begitu juga
karena barang yang disewakan pindah tangankan.
Unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian sewa menyewa adalah: [1]
a. Adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa
b. Adanya konsensus antara kedua belah pihak
c. Adanya objek sewa menyewa, yaitu barang, baik barang bergerak
maupun tidak bergerak.
d. Adanya kewajiban dari pihak yang menyewakan untuk menyerahkan
kenikmatan kepada pihak penyewa atas suatu benda, dan
e. Adanya kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang pembayaran
kepada pihak yang menyewakan.

b) Subjek dan objek sewa menyewa


Pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa menyewa adalah pihak yang
menyewakan dan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan
hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak penyewa, sedangkan
pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa barang atau benda
dari pihak yang menyewakan.
Yang menjadi objek dalam perjanjian sewa menyewa adalah barang dan harga.
Dengan syarat barang yang di sewakan adalah barang yang halal, artinya tidak
bertentangan dengan undang-undang ketertiban, dan kesusilaan.[2]

c) Bentuk dan substansi perjanjian sewa-menyewa


Di dalam KUHperdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk perjanjian
sewa menyewa yang dibuat oleh para pihak oleh karena itu, perjanjian sewa
menyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan lisan. Dalam perjanjian sewa
menyewa bangunan, khususnya dalam praktik dibuat dalam bentuk tertulis dan isi
perjanjian itu telah dirumuskan oleh para pihak, dan atau Notaris. Akan tetapi yang
paling dominan dalam menentukan substansi kontrak adalah dari pihak yang
menyewakan, sehingga pihak penyewa berada pada pihak yang lemah. Dengan
demikian, semua persyaratan yang diajukan oleh pihak yang menyewakan tinggal
disetujui atau tidak oleh pihak penyewa.[3]

d) Kewajiban pihak yang menyewakan


Menurut Pasal 1550-1554 KUHPerdata, kewajiban dari pihak yang menyewakan
adalah:
1) Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa
2) Memelihara barang yang disewakan dengan baik
3) Menjamin terhadap penyewa untuk dapat memakai dan menggunkan barang
yang disewa dengan aman selama berlakunya perjanjian sewa-menyewa
4) Menanggung segala kekurangan dari barang yang disewakan yang dapat
merintangi pemakaian barang itu, walaupun pihak yang menyewakan tidak
mengetahuinya sejak perjanjian sewa dibuat
5) Mengganti kerugian akibat cacadnya barang sewa
6) Tidak diperkenankan selama waktu sewa merubah wujud amupun tataan
barang yang disewakan.

e) Kewajiban pihak penyewa


Menurut Pasal 1559-1566 KUHPerdata, kewajiban si penyewa adalah:
1) Membayar uang sewa pada waktu yang telah ditentukan
2) Memakai barang yang disewa sesuai dengan tujuan yang diberikan pada
barang itu menurut perjanjian sewanya
3) Mengganti kerugian untuk segala kerusakan yang disebabkan oleh penyewa
sendiri, atau oleh orang-orang yang ada dalam rumah yang disewa selama
waktu sewa.
4) Mengembalikan barang barang yang disewa dalam keadaan semula apabila
perjanjian sewa-menyewa telah habis waktunya.
5) Menjaga barang yang disewa sebagai tuan rumah yang baik.
6) Tidak diperbolehkan menyewakan lagi barang sewaannya kepada orang lain.

f) Risiko dalam perjanjian sewa-menyewa


Perjanjian sewa-menyewa dapat batal demi hukum apabila berang yang
disewakan sama sekali usnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja (Pasal 1553
ayat 1 KUHPerdata)[4]. Resiko adalah suatu ajaran yang mewajibkan seseorang
untuk memikul suatu kerugian, jikalau ada suatu kejadian diluar kemampuan salah
satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Dalam perjanjian
sewa menyewa ini, barang itu berada pada pihak penyewa. Musnah atas barang
objek sewa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu musnah secara total dan musnah
sebagiandari objek sewa.
a. Jika barang yang disewakan oleh penyewa itu musnah secara keseluruhan di
luar kesalahannya pada masa sewa, perjanjian sewa-menyewa itu gugur demi
hukum dan yang menanggung resiko atas musnahnya barang tersebut adalah
pihak yang menyewakan (Pasal 1553 KUH Perdata). Artinya, pihak yang
menyewakan yang akan memperbaikinya dan menanggung segala
kerugiannya.
b. Jika barang yang disewa hanya sebagian yang musnah maka penyewa dapat
memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga sewa atau
akan meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa ( pasal 1553 KUH
Perdata). Pada dasarnya pihak penyewa dapat menuntut kedua hal itu,
namun ia tidak dapat menuntut pembayaran ganti rugi kepada pihak yang
menyewakan (Pasal 1553 KUH perdata)[5]

g) Berakhirnya perjanjian sewa-menyewa


Berakhir suatu perjanjian sewa-menyewa adalah apabila:
1) Waktu yang ditentukan dalam perjanjian telah habis (Pasal 1570
KUHPerdata).
2) Salah satu pihak memutuskan perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1571
KUHPerdata).
Selanjutnya menurut Pasal 1576 ayat (1) KUHPerdata, dengan dijualnya barang
yang disewa, maka tidak memutuskan hubungan sewa. Artinya, yang tidak putus
hubungannya hanya hak sewanya, sedangkan hak lainnya putus. Sedangkakn
menurut Pasal 1575 KUHPerdata, perjanjian sewa tidak sekali-kali hapus dengan
meninggalnya pihak yang menyewakan maupun dengan meninggalnya pihak yang
menyewa.

2. Perjanjian Jual-beli
a. Definisi
Perjanjian jual-beli adalah suatu perjanjian timbal-balik, dimana pihak yang satu
(penjual) berjanji akan menyerahkan suatu barang, dan pihak lain (pembeli) akan
membayar harga yang telah dijanjikan (Pasal 1457 KUHPerdata). Unsur pokok
perjanjian jual beli adalah “barang dan barang”. Perjanjian jual beli bersifat
konsensual yang ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH-Perdata, yang berbunyi: “Jual beli
dianggap sudah terjadi setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan
harga, meskipun benda tersebut belum diserahkan dan harga belum dibayar.”
(syahmin AK.,S.H.,M.,H. ,hal 50-51).
Di dalam akta perjanjian jual beli harus dengan tegas dibuat apa saja yang
menjadi hak dan keajiban para pihak. Ada dua keajiban utama pihak penjual, yaitu:
(a) menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan; (b) menanggung
kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat
tersembunyi.
Sementara itu, kewajiban utama si pembeli adalah membayar harga pembelian
pada waktu dan tempat sebagaimana yang ditetapkan dalam perjanjian. Jika si
pembeli tidak membayar harga pembelian, si penjual dapat menuntut pembatalan
pembelian, sesuai dengan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH-Perdata yang
berbunyi sebagai berikut.
Pasal 1266 KUH-Perdata merumuskan:
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang
bertimbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban. Dalam hal
yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus
dimintakan kepada hakim.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak
dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa menurut keadaan, atas
permintaan tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi
kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan.
Pasal 1267 KUH-Perdata menegaskan :
Pihak terhadap siapa perikatan tidak terpenuhi dapat memilih apakah ia jika hal itu
masih dapat di lakukan akan memaksa pihak yang akan memenuhi persetujuan, di
sertai pengantian biaya kerugian dan bunga.
Dalam pelaksanaan perjanjian perlu di pertimbangkan peristiwa yang mungkin akan
terjadi, apabila terjadi dan membawa kerugian, siapa yang menanggung resiko
kerugian. Oleh karena itu, mengenai resiko sebaiknya ditegaskan dalam perjanjian.
Resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian
(peristiwa) diluarkesalahan salah satu pihak. Mengenai resiko dalam KUH-perdata
telah ditentukan sebagai berikut :
Mengenai barang tertentu, diatur dalam pasal 1460 yang berbunyi sebagai berikut.
Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah di tentukan, maka
barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun
penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya.
Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran, menurut
ketentuan pasal 1461 adalah sebagai berikut.
Jika barang-barang tidak dijual menurut tumpukan, tetapi menurut berat, jumlah
atau ukuran, maka barang-barang itu tetap atas tanggungan si penjual hingga
barang-barang ditimbang, dihiting atau diukur.
Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan, maka menurut ketentuan
pasal 1462 adalah sebagai berikut.
Jika sebaliknya barang-barangnya dijual menurut tumpukan, maka barang-barang itu
adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung, atau
diukur.[6]
Salah satu sifat yang penting dari jual beli menurut sistem kitab undang-undang
Hukuk Perdata, adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya bersifat obligator yang
berarti bahwa jual beli belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak dan
meletakkan kewajiban kepada kedua belah pihak yaitu meberikan kepada si pembeli
hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual. [7]
b. Momentum Terjadinya Kontrak Jual Beli
Pada dasarnya,terjadinya kontrak jual beli antara pihak penjual dan pembeli
adalah pada saat terjadinya persesuaian kehendak dan pernyataan diantara mereka
tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya
belum dibayar lunas (pasal 1458 KUH perdata). Walaupun telah terjadinya
penyesuan antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi
milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan (levering) benda. Penyerahan
ini tergantung pada jenis bendanya.
a. Benda bergerak.
Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas
benda tersebut.
b. Piutang atas nama dan benda tidak bertubuh.
Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tidak bertubuh lainya dilakukan
dengan sebuah akta autentik atau akta di bawah tangan.
c. Benda tidak bergerak.
Untuk benda tidak bergerak, penyerahanya dilakukan dengan pengumuman akan
akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpanan Hipotek.
d. Benda atau barang yangsudah di tentukan (pasal 1460 KUH perdata).
Benda atau barang yang sudah di tentukan di jual maka barang itu saat
pembelian menjadi tanggungan si pembeli, walaupun barang itu belum di serahkan
(pasal 1460 KUH perdata). Namun ketentuan itu telah di cabut dengan SEMA nomer
3 tahun 1963, sehingga ketentuan ini tidak dapat di terapkan secara tegas namun
penerapannya harus memperhatikan :
1) Bergantung pada letak dan tempat beradanya barang itu, dan
2) Bergantung pada yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang
tersebut.
e. Benda menurut berat, jumlah, atau ukuran (pasal 1461 KUH perdata)
Barang yang dijual menurut berat, jumlah,atau ukuran, tetap menjadi
tanggungan si penjual hingga barang itu ditimbang, dihtung atau diukur. Jadi, sejak
terjadinya penimbagan perhitungan, dan pengukuran atas barang maka tanggung
jawab atas benda tersebut beralih kepada si pembeli.
f. Jual beli tumpukan (pasal 1462 KUH perdata).
Jika barang yang dijual menurut tumpukan maka sejak terjadinya kesepakatan
tentang harga dan barang maka sejak saat itulah barang-barang itu menjadi
tanggung jawab si pembeli walaupun baramg itu belum ditimbang, dihitung, atau
diukur.
g. Jual beli percobaan (pasal 1463 KUH perdata)
Jual beli percobaan merupakan jual beli dengan syarat tangguh.
h. Jual beli dengan sistem panjar (pasal 1464 KUH perdata).
Jual beli dengan sistem panjar merupakan suatu jual beli yang diadakan antara
penjual dan pembeli. Di dalam jual beli itu pihak pembeli menyerahkan uang
petschot/panjar atas harga barang sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak
tersebut. Jual beli dengan sistem ini salah satu pihak tidak dapat meniadakan
pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang pinjamannya.
Tentang peyerahan barang ini dilakukan secara yuridis. Dan sebagaimana telah
diketahui bahwa penhyerahan barang dalam artian yuridis ada tiga macam yakni :
a. Penyerahan barang bergerak dilakukan dengan penyerahan secara nyata atau
menyerahakan kekuasaan barangnya (pasal 612 kitab Udang-Undang Hukum
Perdata).
b. Penyerahan barang tidak bergerak terjadi pengutipa sebuah kata “akta
transport” dalam register nama di depan Pegawai Balik Nama ( Orodonasi Balik
Nama L.N. 1834-27). Sejak berlakunya Undang- Undang pokok Agraria (UU No.5
Tahun 1990) dengan pembuatan aktanya jaul beli oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah).
c. Penyerahan piutang atas nama dilakukan dengan pembuatan sebuah akta yang
diberikan kepada si beruatang (akta “cessie”, pasal 613).[8]

c. Subjek Dan Objek Jual Beli


pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek dalam
perjanjian jual beli, yaitu bertindak sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat yang
bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Namun, secara yuridis ada beberapa
orang yang tidak diperkenankan untuk melakuakan perjanjian jual beli, sebagaimana
dikemukakan berikut ini:
a. Jual beli antara suami istri.
Pertimbangan hukum tidak di perkenankan jual beli antara suami dan istri adalah
karena mereka sejak terjadi perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi percampuran
harta, yang disebut harga bersama, kecuali ada perjanjian kawin namun itu ada
pengecualiannya, yaitu
1) Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada istri atau kepada
suaminya, dari siapa ia oleh pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa
yang menjadi hak suami atau istrimenurut hukum.
2) Jika penyerahan dilakuan oleh seorang suami kepada istrinya, juga dari siapa ia di
pisahkan berdasarkan kepda suatu alasan yang sah, misalnya mengembalikan
benda-benda si istri yang telah di jual atau uang yang menjadi kepunyaan istri,
jika benda itu di kecualikan dari persatuan.
3) Jika si isrti menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi
sejumlah uang yang telah ia janjikan yang telah ia janjikan kepada suaminya
sebagai harta perkawinan.
b. Jual beli oleh para hakim, jaksa, advokat, pengacara, juru sita, dan notaris.
Para pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-
benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal itu tetap dilakukan, maka jual beli itu
dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk pengantian biaya, rugi, dan bunga.
Yang dapat menjadi objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan tidak
bergerak.sedangkan yang tidak di perkenankan untuk tidak diperjualbelikan adalah
1) Benda atau barang orang lain,
2) Barang yang tidak diperkenankan olehundang-undang, seperti jual beli narkotika,
3) Bertentangan dengan ketertiban.
Apabila hal itu tetap dilakukan maka jual beli itu batal demi hukum. Kepada penjual
dapat di tuntut pengantian biaya, kerugian, dan bunga.
d. Bentuk dan substansi perjanjian jual beli
Di dalam KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk perjanjian jual
beli. Bentuk perjanjian jual beli dapat dilakukan secara lisan dan maupun tertulis.
Perjanjian jual beli secara lisan cukup dilakukan berdasarkan konsensus para pihak
tentang barang dan harga. Sedangkan perjanjian jual beli secara tertulis merupakan
perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tertulis, apakah itu dalam bantuk
akta dibawah tangan maupun autentik. Didalam perjanjianjual beli tanah, biasanya dibuat
dalam akta auntetntik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang
berwenang untuk membuat akta jual beli tanah adalah Camat dan atau Notaris PPAT.
Biasanya akta jual beli tanah tersebut telah ditentukan bentuknya dalam sebuah formulir.
Para Camat dan Notaris PPAT tinggal mengisi hal-hal yang kosong dalam akta jual beli
tersebut.
a. Saat terjadinya jual-beli
Jual-beli ini dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketiak setelah kedua
belah pihak mencapai kata sepakat tentang barang dan harganya, meskipun barang itu
belum diserahkan maupun harganya belum dibayar (Pasal 1458 KUHPerdata). Hal ini
sesuai dengan asas konsensualitas dalam perjanjian.
b. Jual-beli yang batal
Jual-beli barang orang lain adalah batal, dan dapat memberikan dasar untuk
menggantikan biaya kerugian dan bunga jika si pembeli tidak mengetahui bahwa barang
itu kepunyaan orang lain (Pasal 1471 KUHPerdata). Jika pada saat penjualan, barang
yang dijual sama sekali telah musnah, maka pembelian adalah batal. Tetapi apabila yang
musnah hanya sebagian saja, maka pembeli dapat memilih antara pembelian atau
pembatalan sisa barang (Pasal 1472 KUHPerdata).
c. Resiko dalam Jual-beli
Mengenai resiko dalam jual-beli ini dalam KUHPerdata diatur sebagai berikut :
1) Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan,
maka barang itu sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli,
meskipun penyerahnnya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut
harganya (Pasal 1460 KUHPerdata).
2) Jika barang-barang itu dijual menurut berat, jumlah atau ukuran, maka
barang itu tetap atas tanggungan si penjual hingga barang-barang tersebut
ditimbang, dihitung atau diukur (Pasal 1461 KUHPerdata).
3) Jika barang yang duijual menurut tumpukan, maka barang-barang itu atas
tanggungan si pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur
(Pasal 1462 KUHPerdata).
4) Biaya akta jual-beli dan lain-lain biaya tambahan dipikul oleh si pembeli, jika
tidak telah diperjanjikan sebaliknya (Pasal 1466 KUHPerdata).
d. Kewajiban penjual
Menurut Pasal 1473 KUHPerdata, seoarng penjual diwajibkan menyatakan dengan
tegas untuk apa ia mengikatkan dirinya dan segala janji yang tidak terang akan ditafsir
untukkerugiannya. Disamping kewajiban tersebut, menurut pasal 1474 KUHPerdata
mempunyai 2 kewajiban utama, yaitu :
1) Menyerahkan barangnya.
2) Menanggung barang yang dijual.
Penyerahan disini berartipemindahan barang yang telah dijual kedalam kekuasaan
dan dalam kepunyaan si pembeli (Pasal KUHPerdata). Sedangkan penanggungan yang
menjadi kewajiban si penjual terhadap si pembeli adalan untuk menjamin dua hal, yaitu:
1) Menjamin penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram
2) Menjamin tidak adanya cacad barang yang tersembunyi

e. Kewajiban pembeli
Keajiban utama si pembeli adalah membayar harga pembelian, pada tempat dan
waktu yang sebagaimana di tetapkan menurut perjanjian (Pasal 1513 KUHPerdata). Jika
pada waku membuat perjanjian tidak ditetapkan tempat dan waktu pembayaran, maka
si pembeli harus membayar di tempat dan pada waktu dimana penyerahan harus
dilakukan (Pasal 1514 KUHPerdata). Jika si pembeli tidak membayar harga pembelian,
maka si penjual dapat menuntut pembatalan pembelian (pasal 1517 KUHPerdata).
f. Hak untuk membeli kembali
Si penjual diberikan hak untuk mengembalikan kembali branga yang telah dijual
asalkan ada perjanjian sebelumnya dengan syarat bahwa penjual akan mengembalikan
harga beli serta memberikan ganti rugi (Pasal 1519 KUHPer). Hak membeli kembali tidak
boleh diperjanjikan untuk suatu waktu yang lebih lama dari 5 tahun (Pasal 1520
KUHPerdata).

3. Perjanjian Tukar-Menukar
1. Pengertian
Tukar menukar diatur dalam pasal 1541-1546 KUH Perdata. Perjanjian tuka
menukar adalah “suatu persetujuan dengan mana ke dua belah pihak mengikatkan
dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai suatu
ganti barang lainnya.” (pasal 1541 KUH Perdata).
Algra mengartikan perjanjian tukar menukar adalah “suatu perjanjian dimana
pihak-pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan benda kepada satu sama
lain.” (Algra,dkk. 1983:487)
Dapat disimpulkan bahwa perjanjian tukar menukar adalah perjanjian yang
dibuat antara pihak satu dengan yang lain, dimana pihak satu menyerahkan barang
yang ditukar begitu pula pihak lainnya berhak mendapatkan barang yang ditukar.
Adapun barang yang ditukar dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak
bergerak, penyerahan barang bergerak cukup menyerahkan nyata, sedangkan
barang tidak bergerak menggunakan cara yuridis formal.
2. Unsur-unsur
Unsur-unsur yang tercantum dalam ke dua definisi di atas adalah
a. Adanya subjek hukum
b. Adanya kesepakatan subjek hukum
c. Adanya objek
d. Masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek tukar
menukar
3. Hak dan kewajiban dalam Perjanjian Tukar Menukar
Pihak pertama dan pihak kedua, masing-masing berkewajiban untuk
menyerahkan barang yang ditukar sedangkan haknya menerima barang yang
ditukar.
4. Resiko dalam Perjanjian Tukar Menukar
Jika barang yang menjadi objek tukar menukar musnah diluar kesalahan salah
satu pihak maka perjanjian tukar menukar itu menjadi gugur. Pihak yang telah
menyerahkan barang dapat menuntuk kembali barang yang telah diserahkannya
(pasal 1545 KUH Perdata)
4. Perjanjian Beli sewa
1) Pengertian
Beli sewa adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang
dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli
dengan pelunasan atas harga yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu
perjanjian, suatu hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli
setelah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual.
2) Unsur-unsur dalam perjanjian beli sewa antara lain :
a. Adanya jual beli barang
b. Penjualan dengan memeperhitunglan setiap pembayaran
c. Objek beli sewa diserahkan oleh pembeli
d. Momentum ketentuan hak milik setelah pelunasan terakhir
berdasar definisi tersebut di atas, pengertian beli sewa dikonstruksikan sama
dengan perjanjian sewa menyewa barang, dalam arti bahwa si pembeli hanya
pemakai belaka, tetapi kalau harganya sama, maka si penyewa menjadi pembeli.

3) Kalusula-klausula
1) Klausula Penundaan Peralihan Hak
Dalam beli sewa, klausul penundaan peralihan hak, ini merupakan suatu
karakter utama, hal ini berhubungan langsung dengan proses peralihan hak milik.
Dalam proses peralihan hak milik tidak disyaratkan adanya suatu bentuk hukum,
akan tetapi peralihan hak milik tersebut berlangsung tanpa melalui proses
apapun yaitu terjadi dengan sendirinya. Hak milik beralih kepada pembeli bila ia
telah memenuhi semua kewajibannya berdasarkan persetujuan pembelian (uit
hoofde van de koopovereenkomst).
2) Klausul Menggugurkan (Verval Clausule)
Pada umumnya syarat yang tercantum pada perjanjian beli sewa adalah
syarat menggugurkan atau jatuh tempo. Syarat ini merupakan akibat adanya
syarat tentang hak milik yang belum beralih kepada pembeli atau dengan kata
lain adanya syarat penundaan peralihan hak, sehingga keadaan demikian
membawa akibat bahwa selama masa pembayaran angsuran hak milik masih di
tangan penjual.
3) Status uang yang telah dibayarkan pembeli kepada penjual
Sepanjang pembeli masih mengangsur atau belum melunasi pembayaran
maka uang tersebut telah dibayarkan kepada penjual apabila terjadi wanprestasi
umumnya tidak dikembalikan meskipun barang telah ditarik.
4) Klausul Larangan Memindahtangankan Objek Perjanjian (verreemdigs
clausule)
Adanya syarat bahwa selama masa pembayaran angsuran hak milik masih
ada ditangan penjual, mengakibatkan pembeli selama itu belum menjadi pemilik,
oleh karena itu, maka selama periode pembayaran angsuran atau selama masa
mengangsur, pembeli tidak dapat menjual atau menggadaikan atau
memindahtangankan barang (objek perjanjian) tersebut. Apabila terjadi
pemindahtanganan objek perjanjian beli sewa selama masa angsuran, maka
dapat dianggap sebagai penggelapan. Selain itu di dalam masa angsuran pembeli
juga diwajibkan untuk memelihara barang yang dibelinya dan tidak boleh
menyalahgunakannya ataupun mengubahnya.
5) Klausul pemeliharaan
Dalam kurun waktu pembayaran angsuran, maka pembeli diwajibkan untuk
memelihara dan merawat barang sebagaimana barang tersebut adalah miliknya
6) Klausul Risiko
Dalam perjanjian beli sewa, barang sudah beralih kepada pembeli sejak
penandatanganan kontrak, sehingga disyaratkan bahwa risiko ada pada pembeli.
Dalam kenyataannya selama masa angsuran ada penundaan peralihan hak
sehingga pembeli pada saat itu belum menjadi pemilik.

Anda mungkin juga menyukai