Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Hidrogen
Hidrogen ditemukan oleh Cavendish pada 1781. Hidrogen di atmosfer
bumi tidak terdapat pada unsur bebas karena massa molekul yang rendah, namun
dalam bentuk berbagai senyawa terutama air (House and House, 2016). Sebagian
besar senyawa hidrogen sederhana bersifat kovalen dan menghasilkan elektron
untuk membentuk ion hidrida. Hal tersebut menyebabkan hidogen dapat
membentuk struktur kimia bervariasi dan bereaksi menghasilkan beragam
senyawa. Hidrogen dianggap sebagai pembawa energi yang merupakan sarana
untuk menyimpan dan mentransmisikan energi yang berasal dari sumber energi
primer. Beberapa hal yang membuat hidrogen menarik untuk dikembangkan
adalah banyaknya energi yang dilepaskan ketika hidrogen terbakar dan produk
pembakarannya sebagian besar mengandung air sehingga tidak menimbulkan
masalah lingkungan. Reaksi pembakaran hidrogen menghasilkan air ditunjukkan
pada reaksi dibawah ini:
2 H2(g) + O2(g) → 2 H2O(l) + 572 kJ (286 kJ/mol) (2.1)
Selain itu, hidrogen dapat diproduksi dari bahan baku air yang jumlahnya
tersedia cukup banyak di alam. Proses memperoleh hidrogen dengan memisahkan
molekul H2O dalam jumlah besar namun ekonomis menjadi tantangan sendiri
dalam pengembangan hidrogen (House and House, 2016).

II.3.1. Sifat Kimia


Hidrogen adalah atom yang sederhana namun memiliki energi ionisasi
sekitar 1.314 kJ/mol dan kekuatan ikatan H-H dalam molekul diatomik adalah
sekitar 435 kJ/mol. Hal tersebut yang menyebabkan pembentukan ion H+
membutuhkan energi yang cukup besar (House and House, 2016). Hidrogen
memiliki tiga isotop. Isotop dengan nomor massa 1 dengan symbol H atau disebut
dengan Protium yang memiliki jumlah sekitar 6400 kali lebih banyak dari nomor
massa 2 yang disebut dengan deuterium dengan simbil D. Isotop dengan nomor

16
massa 3 adalah Tritium dengan simbol T yang merupakan isotop dengan jumlah
lebih sedikit daripada deuterium tetapi dapat diproduksi secara artifisial oleh
berbagai reaksi nuklir.
Dua bentuk paling umum ditemui adalah adalah H2 dan D2 (House and
House, 2016 ; Singh, 2015). Atom hidrogen sangat reaktif secara kimia, sehingga
sebagian besar hidrogen di alam terikat atom oksigen atau karbon dan sangat
sedikit berada dalam bentuk unsur bebas. Hidrogen relatif tidak aktif pada
temperatur kamar kecuali diberi energi aktivasi, sehingga dibutuhkan suhu yang
sangat tinggi untuk memisahkan hidrogen molekuler menjadi hidrogen atom.
Hidrogen adalah campuran orto- dan para-hidrogen dalam kesetimbangan,
dibedakan oleh rotasi relatif spin dari masing-masing atom dalam molekul.
Molekul dengan putaran dalam arah yang sama (paralel) disebut orto-hidrogen
dan yang berlawanan dengan para-hidrogen. Kedua bentuk molekul ini memiliki
sifat fisik yang sedikit berbeda tetapi memiliki sifat kimia yang setara. Hidrogen
normal mengandung 75% ortohidrogen dan 25% para-hidrogen pada temperatur
kamar. Konversi orto-ke-para disertai dengan adanya pelepasan panas, misalnya
pada temperatur 20 K terjadi pelepasan panas sebesar 703 kJ/ kg. Konversi
berjalan lambat namun berlanjut bahkan sampai dalam keadaan padat. Katalis
dapat digunakan untuk mempercepat konversi produksi hidrogen cair yang terdiri
dari lebih dari 95% para-hidrogen (Singh, 2015).
Proses produksi hidrogen dari senyawa alami diperlukan energi. Atom
hidrogen adalah agen pereduksi kuat, bahkan pada suhu kamar. Hidrogen
mereduksi beberapa garam menjadi logam seperti seperti nitrat, nitrit, dan sianida
natrium dan kalium.

Tabel 2.1 Sifat fisika H2 beserta isotopnya (House and House, 2016)
Sifat Fisika H2 D2
Titik didih( K) 20,28 K 23,59 K
Kalor lebur (J/mol) 117 J/mol 219 J/mol

17
Hidrogen bereaksi dengan sejumlah elemen untuk menghasilkan hidrida,
baik logam dan non logam seperti NH3, NaH, KH, dan PH3 maupun dengan
belerang seperti H2S. Atom hidrogen bereaksi dengan senyawa organic untuk
menghasilkan campuran produk yang kompleks misalnya saat bereaksi dengan
etilena menghasilkan C2H6 dan C4H10. Hidrogen mudah bereaksi dengan senyawa
pengoksidasi seperti dinitrogen oksida, halogen (terutama dengan fluor dan klor),
dan hidrokarbon tak jenuh dengan menghasilkan panas eksotermik. Hidrogen
bereaksi dengan oksigen ketika dalam proses konversi pembakaran atau secara
elektrokimia untuk menghasilkan energi. Produk samping reaksi yang dihasilkan
adalah uap air. Laju reaksi pembentukan energi dari hidrogen pada suhu kamar
sangat lambat, tetapi dapat dipercepat menggunakan katalis. Pada proses produksi,
transportasi, dan penyimpanan hidrogen biasanya terjadi reaksi antara hidrogen
dengan oksigen membentuk hidrogen peroksida (H2O2).

II.3.2. Sifat Fisika


Atom hidrogen merupakan unsur utama air dan semua bahan organik
yang tersebar luas di bumi maupun alam semesta dan merupakan unsur paling
ringan. Atom hidrogen mudah membentuk molekul H2, yang ukurannya lebih
kecil jika dibandingkan dengan sebagian besar molekul lainnya. Atom hidrogen
(H) terdiri dari inti, satu muatan positif dan satu elektron tunggal serta memiliki
nomor atom 1 dan berat atom 1,00797. Berat molekul sekitar 14 kali lebih ringan
dari udara, dan berdifusi lebih cepat dibandingkan gas lainnya. Hidrogen yang
didinginkan dapat mengembun menjadi cair pada -253°C dan menjadi padat pada
259°C.
Sifat-sifat fisik hidrogen ditunjukkan dalam Tabel 2.2, bahwa hidrogen
memiliki kerapatan 0,09 kg/ m3. Gas hidrogen memiliki daya apung di udara 1,2
kg /m3, kapasitas panas sebesar 14,4 kJ/ kgK dan hidrogen dalam bentuk padatan
memiliki konduktivitas listrik yang lebih besar daripada unsur padat lainnya.
Potensi ionisasi atom hidrogen adalah 13,54 V.

18
Tabel 2.2 Sifat-sifat fisik hidrogen (Singh, 2015)
Sifat Fisika H2
BM 2,01594
Densitas (g) pada 10C dan 1 atm (kg/m3) 0,08987
Densitas (s) pada -2590C (kg/m3) 858
Densitas (l) pada -2530C (kg/m3) 708
Titik lebur (0C) -259
Titik didih pada 1 atm (0C) -253
Temperatur kritis (0C) -240
Tekanan kritis(atm) 12,8
Densitas kritis (kg/m3) 31,2
Kalor lebur pada -2590C (kJ/kg) 58
Kalor evaporasi pada -2530C (kJ/kg) 447
Konduktivitas thermal pada -250C 0,019
(kJ/ms0C)
Viskositas pada -250C (Cp) 0,00892
Cp (g) (kg/0C) 14,3
Cp (l) (kg/0C) 8,1

II.3.3. Sifat Hidrogen sebagai Bahan Bakar


Hidrogen sangat mudah terbakar pada berbagai suhu dan konsentrasi. Pada
reaksi dengan oksigen, hidrogen melepaskan energi secara eksplosif dalam mesin
pembakaran. Hidrogen memiliki kandungan energi tertinggi per unit massa
dibandingkan dengan bahan bakar apa pun. Hidrogen memiliki kandungan energi
perberat sebesar 140,4 MJ / kg atau sekitra 39,42 kWh/kg, hampir tiga kali lipat
dari bensin yang hanya sebesar 48,6 MJ/kg. Kandungan energi hidrogen
pervolume menunjukkan keadaan yang sebaliknya, yaitu sebesar 8.491 MJ / m3
(hidrogen cair) bila dibandingkan dengan bensin yaitu 31.150 MJ/m3 (Gustavo et.
al, 2018 ; Ursúa et. al, 2012). Kepadatan volumetrik hidrogen yang rendah
menyebabkan kesulitan dalam penyimpanan hidrogen terutama sektor otomotif.
Kepadatan energi hidrogen tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik yaitu berupa
cairan atau gas.
Hidrogen sangat menarik untuk dikembangkan karena memiliki sifat
elektrokimia yang dapat dimanfaatkan dalam sel bahan bakar. Sel bahan bakar
H2/O2 beroperasi pada efisiensi 50-60% dengan masa pakai hingga 3000 jam dan
output sekitar 440 hingga 1720 A / m2 dari permukaan elektroda sehingga dapat

19
memberikan keluaran daya mulai dari 50 hingga 2500 W (Singh, 2015).
Pemanfatan hidrogen sebagai bahan bakar lebih aman dibandingkan dengan bahan
bakar konvensional dikarenakan beberapa sifat hidrogen diantaranya :
1. Difusi : Hidrogen memilliki laju dispersi cukup tinggi karena hidrogen
berdifusi melalui udara lebih cepat daripada bahan bakar gas lainnya, dengan
koefisien difusi di udara sebesar 61 cm2/s.
2. Gaya Apung : Hidrogen memiliki gaya apung yaitu 1,2 kg/m3 pada kondisi
standar, lebih kecil daripada metana yang memiliki gaya apung sebesar 1,32
kg/m3, propana yaitu 4,23 kg/m3, ataupun uap bensin dengan gaya apung
sebesar 5,82 kg/m3.
3. Warna, bau, rasa, dan toksisitas : Hidrogen memiliki kemiripan dengan
metana yaitu tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan tidak beracun.
4. Sifat mudah terbakar.
Sifat mudah terbakar dari hidrogen yang adalah merupakan fungsi tingkat
konsentrasi. Kemudahan terbakar hidrogen lebih besar daripada metana atau
bahan bakar lainnya. Hidrogen terbakar dengan nyala api visibilitas rendah.
Batas mudah terbakar dari campuran hidrogen dengan udara, oksigen, atau
pengoksidasi lainnya tergantung pada energi pengapian, suhu, tekanan,
keberadaan pengencer, dan ukuran dan konfigurasi peralatan, fasilitas, atau
peralatan. Batas mudah terbakarnya hidrogen di udara pada kondisi sekitar
adalah 4–75%, metana di udara adalah 4,3–15% vol, dan bensin di udara
adalah 1,4–7,6% vol.
5. Energi penyalaan.
Hidrogen dapat dinyalakan dengan jumlah energi yang sangat kecil karena
energi penyalaannya yang rendah yaitu 0,02 mJ dibandingkan dengan energi
penyalaan bensin dan metana yaitu sebesar 0,24 mJ dan 0,28 mJ dengan
catatan konsentrasi hirogen dalam kisaran mudah terbakar.
6. Tingkat ledakan.
Hidrogen sulit diledakkan bisa dalam keadaan bebas dan dapat diledakkan
pada berbagai konsentrasi ketika diberi tekanan seperti bahan bakar lainnya.

20
7. Kecepatan nyala api.
Hidrogen memiliki kecepatan nyala api 1,85 m/s, lebih cepat daripada bahan
bakar lainnya seperti uap bensin 0,42 m/s dan metana 0,38 m/s).
8. Suhu nyala api.
Api hidrogen-udara memiliki temperatur yaitu 2207° C yang lebih tinggi
daripada api metana-udara (1917°C) dan lebih rendah daripada bensin pada
kondisi stoikiometrik (2307°C) (Singh, 2015).

II.3.4. Kegunaan Hidrogen


Unsur hidrogen digunakan terutama dalam produksi ammonia, metil
alkool, bahan organik dan sejumlah besar bahan makanan. Hidrogen juga
digunakan untuk menghasilkan nyala api yang sangat panas seperti obor
oksihidrogen dan digunakan sebagai bahan bakar roket (House and House, 2016).
Hidrogen dari elektrolisis air dengan kemurnian yang tinggi dapat digunakan
untuk industri elektronik, metalurgi, makanan, kaca apung, finechemical, dan
aerospace serta digunakan sebagai campuran bahan bakar bersama compress
natural gas (HCNG) di masa depan, dengan perkiraan tingkat produksi hidrogen
sebesar 100-3000 Nm3 / jam (Chi and Yu, 2018). Konsumsi hidrogen terbesar
adalah dalam pembuatan amonia (49%), pemurnian minyak bumi (37%), untuk
memproduksi metanol (8%) dan untuk produksi lain-lain (6%) (Ilcham, 2011)

II.2. Proses Produksi Hidrogen

Produksi hidrogen dunia saat ini adalah sekitar 50 juta ton pertahun, yang
setara dengan 2% permintaan energi dunia. Konsumsi energi primer dunia selama
tahun 2004 adalah 11,7 gigaon setara minyak (Gtoe) atau 125.000 TWh,
sedangkan konsumsi energi di seluruh dunia untuk memenuhi kebutuhan listrik
sebesar 38,1%, industri sebesar 44,3%, dan transportasi sebesar 17,6% tidak
termasuk kendaraan listrik. Konsumsi diperkirakan akan meningkat hingga lebih
dari 25 Gtoe/tahun pada tahun 2050. Ekstrapolasi linier tingkat pertumbuhan
konsumsi minyak dan laju peningkatan cadangan minyak memprediksi akhir
pasokan minyak bumi sekitar tahun 2050 sehingga dapat diprediksi pasokan

21
energi berbasis hidrogen akan meningkat.
Hidrogen dapat diproduksi dari beragam sumber daya energi
menggunakan berbagai teknologi proses. Bahan baku produksi hidrogen untuk
saat ini adalah berasal dari bahan bakar fosil (95- 96% ) (Chi and Yu, 2018) dan
air (4-5%) (Ursúa et. al, 2012). Tenaga matahari, angin, nuklir dan biomassa juga
berpotensi menjadi sumber energi dalam proses produksi hidrogen (Singh, 2015).
Karbon dalam bentuk kokas yang merupakan hasil dari batubara yang dipanaskan
bereaksi dengan air pada suhu yang tinggi juga dapat menghasilkan H2. Campuran
CO dan H2 dikenal sebagai gas air dan dapat digunakan sebagai bahan bakar
karena kedua gas tersebut mudah terbakar. Produksi hidrogen dapat dilakukan
dengan berbagai jenis metode yaitu reforming, gasifikasi, fotoelektrolisis,
termokimia dan elektrolisis. Sejumlah besar hidrogen diproduksi dari produk
minyak bumi dengan reformasi katalitik atau dehidrogenasi (House and House,
2016).

II.2.1. Steam Reforming


Metode Steam Reforming adalah memproduksi hidrogen dengan
mereaksikan gas alam seperti metana, propana atau etana dengan steam (uap air)
pada suhu tinggi (700 - 1000oC) dibantu dengan katalis serta menghasilkan
produk samping gas monoksida (CO). Reaksi samping terjadi antara karbon
monoksida dengan steam menghasilkan hidrogen dan karbon dioksida. Persamaan
reaksi yang terjadi pada proses ini ditunjukkan pada persamaan (2.2) dan (2.3).
CH4 +H2O CO + 3H2 (2.2)
CO + H2O CO2 + H2 (2.3)
Gas hidrogen yang dihasilkan kemudian dimurnikan, dengan memisahkan
karbon dioksida dengan cara penyerapan. Steam reforming banyak digunakan
untuk memproduksi gas hidrogen secara komersil di berbagai sektor industri,
diantaranya industri pupuk dan hidrogen peroksida (H2O2) (Ii and Pustaka, 2008).
Proses Steam Reforming Methan (SRM) merupakan proses yang paling umum
digunakan untuk menghasilkan hidrogen dengan effisiensi sekitar 70-80%,
memiliki pangsa pasar 48% dan dibutuhkan biaya sekitar 1-3 euro/ kg sekitar

22
hidrogen (Ursúa et. al, 2012). Kelemahan dari metode steam reforming adalah
menggunakan bahan bakar fosil berupa gas alam sebagai bahan baku sehingga
terbatas ketersediaannya dan proses produksi yang menghasilkan gas CO2
merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca

II.2.2. Gasifikasi
Metode gasifikasi dibagi menjadi dua menurut bahan bakunya yaitu
gasifikasi biomassa dan gasifikasi batu bara. Gasifikasi biomassa menggunakan
bahan baku berasal dari alam seperti limbah padat rumah tangga atau kotoran.
Bahan baku dipanaskan pada suhu tinggi dalam sebuah reaktor sehingga
mengakibatkan ikatan molekul dalam senyawa yang ada menjadi terpecah dan
menghasilkan campuran gas yang terdiri dari hidrogen, karbon monoksida dan
metana. Metana yang dihasilkan diberi perlakuan seperti steam reforming yaitu
dengan memberikan steam sehingga metana diubah menjadi gas hidrogen.
Gasifikasi biomasa atau bahan organik memiliki beberapa keunggulan, antara lain
menghasilkan lebih sedikit karbon dioksida, sumber bahan baku yang berlimpah
dan terbarukan, bisa diproduksi di hampir seluruh tempat di dunia serta biaya
produksi yang lebih murah.
Gasifikasi batu bara merupakan metode pembuatan gas hidrogen tertua.
Kelemahan dari proses ini adalah biaya produksinya hampir dua kali lipat
dibandingkan dengan metode steam reforming gas alam dan menghasilkan emisi
gas buang yang lebih besar. Hal tersebut dikarenakan proses ini menghasilkan
senyawa sulfur dan karbon monoksida selain menghasilkan karbondioksida.
Proses gasifikasi batu bara dilakukan dengan memanaskan batu bara pada suhu
tinggi dalam sebuah reaktor untuk mengubah menjadi fasa gas. Batu bara
kemudian direaksikan dengan steam dan oksigen sehingga menghasilkan syngas
berupa gas hidrogen, karbon monoksida dan karbon dioksida. Reaksi proses
gasifikasi dari batubara dapat dilihat pada persamaan sebagai berikut (Nikolaidis
and Poullikkas, 2017):

( ) (2.4)

23
Proses dalam reaktor Gasifikasi adalah :

(2.5)
(2.6)
(2.7)

II.2.3. Fotoelektrolisis
Fotoelektrolisis adalah proses menghasilkan hidrogen dengan
memanfaatkan energi dari cahaya matahri yang diserap dengan bantuan
fotokatalis. Sistem fotolektrolisis meliputi sistem fotokatalis dan dekomposisi air
menjadi satu sistem seperti yang terlihat pada gambar 2.1 (Nikolaidis and
Poullikkas, 2017).

Gambar 2.1 Fotoelektrolisis (Nikolaidis and Poullikkas, 2017)

Fotokatalis merupakan bahan semikonduktor berbentuk seperti pita yang


mmiliki celah dan biasanya sekaligus bertindak sebagai elektroda. Foton berasal
dari cahaya matahari yang diserap, memiliki energi yang sama atau lebih besar
dari energi di celah pita akan mengenai permukaan anoda, sehingga pasangan
elektron dihasilkan dan akan mengalir melalui sirkuit eksternal dari anoda ke
katoda. Air pada lubang di anoda terurai menjadi H+ yang kemudian mengalir
melalui elektrolit menuju katoda membentuk hidrogen dan oksigen terbentuk
terdispersi ke air (Nikolaidis and Poullikkas, 2017). Reaksi pada fotoelektrolisis
ditunjukkan pada persamaan di bawah ini :

24
Anoda : (2.8)

Katoda : (2.9)

Reaksi keseluruhan : (2.10)

II.2.4. Proses Termokimia Water Splitting (Termolisis)


Proses termokimia ini yaitu dengan cara memanaskan air pada temperatur
yang tinggi sehingga terdekomposisi menjadi hidrogen dan oksigen (Nikolaidis
and Poullikkas, 2017). Salah satu contoh dari proses ini adalah termokimia Siklus
sulfur-iodine (S-I) dengan persamaan kimia ditunjukkan pada persamaan dibawah
ini :
(2.10)

(2.11)
(2.12)

(2.13)

Proses termokimia Siklus sulfur-iodine (S-I), mempunyai kelebihan yaitu


memproduksi hidrogen secara efisien dengan tidak menghasilkan emisi gas CO2.
Reaksi pertama merupakan dekomposisi asam sulfat, menghasilkan H2O, SO2 dan
gas oksigen. Gas SO2 yang terjadi didaur ulang untuk digunakan di reaksi ke dua.
Reaksi dua adalah reaksi antara I2, SO2 dan H2O, yang merupakan reaksi
eksotermal dengan iodine cair yang berlebihan. Pada reaksi ini dihasilkan dua fase
produk, yaitu fase yang lebih berat adalah fase HI, dan yang lebih ringan adalah
fase H2SO4 yang kemudian dapat dipisahkan secara gravitasi. Reaksi ketiga,
dekomposisi HI menggunakan distilasi. Semua reaktan, selain air diregenerasi dan
didaur ulang untuk diumpankan ke reaksi ke dua (Alimah and Dewita, 2008).

II.3. Elektrolisis
Proses elektrolisis adalah penguraian suatu elektrolit oleh arus listrik.
Reaksi kimia dalam sel elektrolisis terjadi jika arus listrik yang dialirkan melalui
larutan elektrolit diubah menjadi energi kimia melalui porses reaksi reduksi
oksidasi (redoks). Elektrolisis air merupakan salah satu metode untuk

25
menghasilkan hidrogen (House and House, 2016), dengan menguraikan atau
memisahkan senyawa air (H2O) menjadi molekul-molekulnya yaitu oksigen (O2)
dan hidrogen gas (H2) menggunakan arus listrik (Ursúa et. al, 2012).
Elektrolisis air ditemukan dan dikenalkan pada tahun antara 1800an dan terus
diteliti hingga dapat mengidentifikasi bahwa gas yang dihasilkan dari proses
tersebut adalah hidrogen dan oksigen pada tahun 1920an. Seiring dengan
perkembangan proses elektrokimia, hubungan antara konsumsi energi listrik dan
jumlah gas yang dihasilkan berhasil dibuktikan melalui hukum elektrolisis
Faraday. Teknologi elektrolisis kemudian digunakan dalam produksi hidrogen
untuk keperluan industri seperti produksi amonia dan pemurnian minyak bumi
pada tahun 1920-an sampai dengan tahun 1970-an.

II.3.1. Jenis Proses Elektrolisis Air


Proses elektrolisis berdasarkan pengembangan sistem elektrolit dibagi
menjadi 3 yaitu :
a. Elektrolisis air alkali (AWE)
Elektrolisis air alkali menggunakan elektrolit berupa air alkali dan dalam
bentuk larutan cair seperti larutan KOH dan NaOH dengan konsentrasi elektrolit
yang digunakan pada umumnya sekitar 20% sampai dengan 30%. Temperatur
operasi AWE berkisar 60–80°C. Diafragma pemisah elektroda bisa berupa logam
maupun polimer. Elektroda yang digunakan berupa logam dan sering digunakan
pada umumnya berbahan dasar nikel, baja karbon rendah maupun baja anti korosi.
Kepadatan arus operasi maksimum dari alkali electrolyzer adalah kurang dari 400
mA / cm2 dan konsumsi daya untuk produksi H2 adalah sekitar 4,5-5,5 kWh / Nm3
dengan efisiensi sekitar 60%. Electroliser alkali dianjurkan untuk menggunakan
input daya yang stabil untuk mempertahankan efisiensi proses. Kemurnian
hidrogen yang dihasilkan menggunakan metode AWE bisa dapat mencapai 99%.
Kelemahan dari metode ini adalah adanya kabut alkali dalam gas yang dihasilkan,
memiliki persiapan awal atau preparasi yang cukup lama, dan reaksi inisiasi yang
lambat. (Chi and Yu, 2018).

26
b. Elektrolisis Membran Penukar Proton (PEM)
Elektrolisis PEM didasarkan pada teknologi sel bahan bakar membran
pertukaran proton. Membran digunakan sebagai pengganti separator dan larutan
lektrolit. Membran sebagai insulator dan penghalang reaktan sehingga tidak dapat
bereaksi serta berfungsi sebagai elektrolit untuk mentransfer ion. Membran pada
PEM biasanya terbuat dari bahan polimer. Produk komersial PEM awal
dikembangkan pada tahun 1978. Metode elektrolisis PEM memiliki beberapa
kelebihan diantaranya tidak menghasilkan kabut alkali, memiliki respon yang
cepat, efisiensi energi yang lebih besar, desain yang ringkas, dan tekanan keluaran
yang tinggi (Marshall et. al, 2005). Kerapatan arus operasi sistem jauh lebih
tinggi daripada teknologi elektrolisis air alkali lainnya yaitu 1,0 A/cm2.
Kelemahan dari elektrolisis PEM adalah merupakan metode elektrolisis yang
mahal dikarenakan elektroda yang digunakan adalah logam mulia.

Tabel 2.3 Perbandingan elektrolisis AWE dan PEM (Zeng and Zhang, 2010)
Parameter Elektroliser Elektroliser
Alkali PEM/sel
Monopolar
Tegangan Sel (V) 1,85 2
Jumlah Sel - 7-51
2)
Kepadatan arus (A/cm 0,25 1,075
Temperatur (0C) 70 65
Arus (kA) 10 kA 1 kA (maksimum)
Daya (kW) 200 kW -
Laju produksi hidrogen (m3/j) 42 42
Laju produksi oksigen (m3/j) 21 21
Kemurnian gas hidrogen > 99,5% > 99,995%
Kemurnian gas oksigen > 99% > 99%
Demineralized Water Conductivity - <0,25 S/cm

Kelemahan lain dari elektrolisis metode PEM adalah masa pakai yang
terbatas, elektroda yang harus berpori sehingga rentan timbulnya korosi,

27
membrane polimer yang mahal, dan komponen yang harus memenuhi berbagai
persyaratan khusus. (Oh, Lee and Kim, 2012 ;Wang et al., 2012 ; Barbir, 2005).
Pada tabel 2.3 membandingkan elektrolisis PEM dibandingkan dengan AWE.
Tabel 2.3 menunjukkan bahwa konsumsi energi elektrolisis PEM lebih sedikit
namun produksi hidrogen yang dihasilkan lebih banyak menggunakan elektrolisis
AWE (Zeng and Zhang, 2010). Seiring dengan perkembangan jaman dan terkait
krisis energi, PEM dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan militer yaitu
penggunaan elektrolisis bertekanan tinggi dalam aplikasi kapal selam (1970-an-
sekarang).

c. Elektrolisis Oksida Padat Suhu Tinggi (SOEC)


SOEC merupakan metode elektrolisis yang beroperasi pada suhu tinggi
dan tegangan yang rendah sehingga konsumsi energi yang dibutuhkan lebih
rendah. Temperatur operasi dari SOEC berkisar 600-9000C (Sakr and
Abdelsalam, 2017). Elektrolit digunakan berbentuk oksida padat seperti ZrO3
danY2O3 karena oksida padat lebih stabil secara termal dan kimia. Effisiensi
energi metode SOEC cukup tinggi yaitu bisa mencapai lebih dari 90%, namun
hidrogen yang dihasilkan bercampur dengan uap air sehingga membutuhkan
perlakuan tambahan untuk mendapatkan hidrogen dengan kemurnian tinggi (Chi
and Yu, 2018). Gambar 2.2 menunjukkan skematik dari proses SOEC (Zeng and
Zhang, 2010).

Gambar 2.2 Skematik SOEC(Zeng and Zhang, 2010)

Pada gambar 2.2 menunjukkan bahwa arus listrik melewati sisi katoda dari
elektrolit padat di mana ion hidrogen direduksi menjadi hidrogen dan kemudian

28
melepaskan ion oksida. Ion oksida kemudian bermigrasi melalui elektrolit ke
anoda dan bergabung untuk membentuk molekul oksigen dan melepaskan arus
elektron untuk kembali ke sumber daya (Udagawa et. al, 2008). Produksi hidrogen
melalui elektrolisis uap mengkonsumsi energi listrik lebih sedikit daripada
elektrolisis air suhu rendah konvensional, yaitu sekitar 3 kWh/m3 hidrogen.
Kerapatan rata-rata arus adalah 7000 A/m2. (Udagawa et. al, 2007). Tantangan
dalam pengembangan elektrolisis SOEC yaitu degradasi material dan durasi
waktu pengoperasian dalam suhu tinggi. Material konstruksi, perihal keselamatan
dan pengendalian suhu merupakan faktor yang harus diperhatikan. (Zeng and
Zhang, 2010). Pada tabel 2.4 menunjukkan efisiensi masing-masing dari setiap
metode elektrolisis dalam menghasilkan hidrogen. Nilai efisiensi elektrolisis
alkali memiliki efisiensi cekup besar dibandingkan dengan SOEC dan
fotoelektrolisis dan sudah dikembangkan untuk skala komersial.

Tabel 2.4 Efisiensi setiap metode elektrolisis (Zeng and Zhang, 2010)
Teknologi Effisiensi Pengembangan
Elektroliser Alkali 59-70 % Skala Komersial
Elektroliser PEM 65-82 % Near Term
SOEC 40-60 % Mediate Term
Fotoelektrolisis 2-12 % Long Term

II.3.2. Proses Elektrolisis


Suatu sel elektrolisis ditunjukan pada gambar 2.3 (Yuvaraj and
Santhanaraj, 2014). Proses elektrolisis pada gambar 2.3 menunjukkan elektron
mengalir ke katoda dari sirkuit luar dan terjadi reaksi reduksi yang kemudian
elektron meninggalkan anoda ke sirkuit luar dan terjadi reaksi oksidasi. Hidrogen
dihasilkan di katoda dan oksigen di anoda.(Ursúa et. al, 2012).
Reaksi pembentukan hidrogen dalam suatu sel elektrolisis menggunakan
elektrolit basa adalah sebagai berikut :
Anoda : 2OH- → H2O + ½ O2+ 2e‒ (2.12)
Katoda : 2H2O + 2e‒ → 2OH- + H2 (2.13)
Reaksi keseluruhan : H2O → H2 + ½ O2 (2.14)

29
Gambar 2.3 Sel elektrolisis (Ursúa et. al, 2012)

Proses elektrolisis membutuhkan arus searah (DC) serta digunakan untuk


menjaga keseimbangan listrik dan aliran elektron dari terminal negatif DC sumber
ke katoda di mana elektron dikonsumsi oleh ion hidrogen (proton) sehingga
membentuk hidrogen. Ion hidroksida (anion) ditransfer melalui larutan elektrolit
ke anoda, di mana ion hidroksida memberikan elektron dan elektron ini kembali
ke terminal positif dari sumber DC. (Zeng and Zhang, 2010). Selama proses
elektrolisis air, ion hidrogen bergerak menuju katoda, dan ion hidroksida,
bergerak menuju anoda. Keberadaan separator bertujuan memisahkan gas
hidrogen dan oksigen yang terbentuk sehingga tidak bereaksi satu sama lain.

II.3.3. Komponen Elektrolisis Air


a. Larutan elektrolit
Larutan elektrolit merupakan larutan yang mengandung ion bebas
sehingga memungkinkan terjadinya proses tranfer elektron dan menyebabkan
elektron dapat mengalir melalui larutan. Oleh karena itu, larutan elektrolit disebut
sebagai larutan konduktor listrik. Elektrolit juga berguna dalam mempermudah
proses penguraian air menjadi hidrogen dan oksigen. Hal ini disebabkan karena
larutan elektrolit terdiri dari ion-ion katalisator yang mampu mengubah sifat non

30
konduktivitas air dengan mempengaruhi kestabilan molekul air sehingga dapat
terurai menjadi ion H+ dan OH-. Ion tersebut mengalami penurunan energi aktivasi
sehingga mempermudah terjadinya proses elektrolisis .
Elektrolit bisa berupa air, larutan asam, larutan basa, larutan garam atau
berupa senyawa kimia lainnya. Elektrolit kuat identik dengan asam, basa, dan
garam kuat. Bila larutan elektrolit dialiri arus listrik, ion-ion dalam larutan akan
bergerak menuju elektroda dengan muatan yang berlawanan dengan arus listrik,
sehingga ion bertindak sebagai penghantar arus listrik.

Tabel 2.5 Jenis-jenis larutan elektrolit (Hiskia Achmad, 2001)


Jenis Sifat Contoh Reaksi Ionisasi
Larutan Senyawa
Terionisasi sempurna NaCl Na+ + Cl-
NaCl,
Menghantarkan arus listrik NaOH Na++OH-
Elektrolit NaOH,
Lampu menyala terang HCl H+ + Cl-
Kuat H2SO4,
Terdapat gelembung gas KCl K+ + Cl-
HCl, KCl
H2SO4 H2+ + SO42-
Terionisasi sempurna CH3COOH H+ + CH3COO-
CH3COOH
Elektrolit Menghantarkan arus listrik HCN H+ + CN-
,HCN,
Lemah Lampu menyala redup Al(OH)3 Al3++OH-
Al (OH)3
Terdapat gelembung gas
Tidak Terionisasi C4H12O4,
Non Tidak menghantarkan arus listrik C2H5OH, C4H12O4, C2H5OH, CO(NH2)2
Elektrolit Lampu tidak menyala CO(NH2)2 C12H22O11
Tidak terdapat gelembung gas C12H22O11

Tabel 2.5 menunjukkan jenis-jenis larutan elektrolit beserta sifat daya


hantar listrik dalam larutan. Persyaratan suatu larutan elektrolit adalah tidak
mengalami perubahan atau tidak bereaksi ketika proses elektrolisis berlangsung.
Larutan elektrolit harus stabil sehingga perlu dijaga agar larutan elektrolit tidak
bereaksi dengan elektroda selama proses elektrolisis (Ursúa, et. al, 2012).
Penggunaan elektrolit asam dan alkali konsentrasi tinggi terbatas dalam proses
elektrolisis. Hal ini dikarenakan sifat korosif dari kedua bahan tersebut. Senyawa

31
hidroksida merupakan senyawa yang sering digunakan sebagai elektrolit pada
proses elektrolisis, antara lain Kalium Hidroksida (KOH) dan Natrium Hidroksida
(NaOH) dengan kosentrasi 20-30%.
Elektrolit KOH dapat memberikan konduktivitas ionic yang lebih besar
sehingga jumlah hidrogen yang diproduksi lebih besar (Mazloomi et. al, 2012).
Percobaan Sellami and Loudiyi menunjukkan bahwa elektrolit KOH lebih efektif
daripada NaOH untuk konsentrasi yang sama dan dalam kondisi suhu, tekanan
dan tegangan yang sama karena perbedaan konduktivitas ionik (Sellami and
Loudiyi, 2017). Konduktivitas ionik atau mobilitas ionik dari ion K+ lebih tinggi
daripada ion Na+ sehingga KOH memiliki hambatan listrik lebih rendah daripada
NaOH. Hal tersebut dibuktikan dengan kuantitas listrik yang melintasi sel KOH
lebih tinggi dan jumlah hidrogen yang dihasilkan lebih tinggi.
Halawa et al. menggunakan cairan ionic 1 -butil -3 -metil -imidazolium -
tetrafluoroborate (BMI.BF4) untuk meningkatkan faktor konduktivitas dan
stabilitas larutan elektrolit dalam elektrolisis (Halawa et al., 2018). Peneliti
mencatat dengan pengunaan 10 % volume MBI.MF4 bersama elektroda baja
karbon rendah (Nikolic et al., 2010) dapat mencapai tingkat efisiensi 96% dan
kurang dari 73% untuk tingkat komersial dan industri (Wei et al., 2007).
Larutan elektrolit dengan konduktivitas dan kelarutan yang tinggi
diperlukan untuk dapat memfasilitasi transfer elektron dalam elektrolisis dan
meningkatkan efisiensi. Penggunaan aditif elektrolit dapat meningkatkan transfer
ionik dengan mengurangi resistensi elektrolit serta dapat menyesuaikan afinitas
antara elektrolit dan elektroda sehingga meminimalkan terjadinya gelembung
(Zeng and Zhang, 2010).

b. Air
Molekul air tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada
satu atom dengan rumus kimia H2O. Sifat fisika dan kimia ditunjukkan pada tabel
2.6. Air menutupi hampir 71% permukaan bumi dengan volume kurang lebih 1,4
triliun kilometer kubik (330 juta mil³). Tabel 2.7 berisi tabel ketetapan fisik air
yang menunjukkan bahwa air merupakan pelarut, baik untuk melarutkan banyak

32
zat kimia lainnya, seperti garam-garam, gula, asam, beberapa jenis gas dan banyak
macam molekul organik.

Tabel. 2.6 Sifat fisika dan kimia air (Fitriani Diah, 2009)
Sifat Fisika Keterangan
Bersifat polar karena adanya perbedaan Tidak berwarna, tidak berasa,
muatan tidak berbau
Pelarut yang baik Memiliki kalor jenis yang tinggi
Bersifat netral (pH) = 7 dalam keadaan murni Tekanan kritis 22,1 x 10 6 Pa
Keberadaan pasangan electron bebas pada Kapasitas kalor sebesar 4,22 kJ/kg
atom oksigen K
Pelarut yang baik Memiliki kalor jenis yang tinggi
Bersifat netral (pH) = 7 dalam keadaan murni Tekanan kritis 22,1 x 10 6 Pa

Tabel 2.7 Ketetapan fisik air (Fitriani Diah, 2009)


Sifat Fisika 00C 200C 500C 1000C
Massa jenis (g/cm3) 0,99987 0,99823 0,9981 0,9584
Panas Jenis (kal/g0C) 1,0074 0,9988 0,9985 1,0069
Kalor uap (kal/g) 597,3 586 569 539
Konduktivitas thermal (kal/cms0C) 1,39x 10-3 1,40x 10-3 1,52x 10-3 1,63x 10-3
Tegangan Permukaan (dyne/cm) 75,64 72,75 67,91 58,8
Laju Viskositas pada -250C (g/cm*s) 178,34x10-4 100,9x10-4 54,9x10-4 28,4x10-4
Tetapan dielektrik (kg/0C) 87,825 80,8 60,725 55,355

c. Kalium Hidroksida (KOH)


Kalium Hidroksida yang biasa disebut potas api dengan rumus KOH
merupakan larutan elektrolit kuat. Nama lain Kalium Hidroksida yaitu Kaustik
Kalium, Potash Alkali, Potassia, Kalium Hidrat.

KOH merupakan senyawa basa dan senyawa kimia alkali kaustik yang mudah
larut dalam air, mudah terbakar serta cepat menyerap karbon dioksida dan air dari
udara. KOH dalam elektrolisis menjadi katalisator yang berfungsi untuk
mempermudah pemutusan ikatan gas hidrogen dan oksigen dalam air. KOH
berupa kristal padat berwarna putih dan sifat fisika kimia seperti ditunjukkan
pada tabel 2.8.

Larutan KOH dimanfaatkan dalam industri pembuatan garam alkali, penetral


asam, bahan proses saponifikasi dalam produksi sabun, bahan elektrolit dalam

33
berbagai jenis baterai dan sebagai katalis dalam proses produksi biodiesel
(Victorina, 2016).

Tabel 2.8 Sifat fisika dan kimia dari KOH (www.chemicalbook.com)


Parameter Keterangan
Bentuk Padat tetapi dapat dibentuk menjadi
butir, stick, gumpalan dan serpih.
Warna Tidak berwarna (putih)
Bau Tak Berbau
Ph 13,5 (0,1 molar larutan)
Titik Lebur pada 680 F (0C) 361
0
Titik Didih Pada 2408 F ( C) 1.3200C - 13240C
Massa molar (g / mol) 56,1056
Densitas pada 200C (g/cm3 ) 2,04
Kelarutan dalam air (mol/1000 mL) 1 (20 °C)
Indeks bias 1.421
0
Tekanan Uap (mm Hg) pada 714 C 1.0 torr
(1317F)
Berat Molekul 56,1047
Kelarutan larut dalam alkohol, gliserol , larut
dalam eter , cairan amonia
Reaktivitas Hidroskopis, menyerap karbondioksida

d. Elektroda
Elektroda adalah konduktor yang bersentuhan dengan media non-logam dari
sebuah sirkuit, yang dalam proses elektrolisis adalah elektrolit. Sistem elektrolisis
terdiri dari dua eletroda yaitu anoda dan katoda. Katoda adalah elektroda yang
menerima atau menangkap elektron dari sumber arus listrik sehingga katoda
merupakan tempat terjadinya reaksi reduksi. Anoda adalah elektoda yang
mengalirkan atau melepaskan elektron kembali ke sumber arus listrik sehingga
anoda merupakan tempat terjadinya reaksi oksidasi. Katoda merupakan elektroda
negatif (-) dan anoda merupakan elektroda positif (+).
Elektroda harus memiliki ketahanan terhadap korosi, memiliki
konduktivitas listrik yang baik dan menunjukkan sifat katalitik. (Ursúa et al.,
2009). Setiap logam memiliki tingkat aktivitas, hambatan listrik, resistivitas
korosi dan lama pemakaian yang berbeda-beda. Pemilihan bahan elektroda
elektrolisis AWE didasarkan pada ketahanan lingkungan alkali, ketahanan korosi,

34
konduktivitas tinggi, efek katalitik tinggi dan harga murah. Konduktivitas listrik
didefinisikan sebagai ratio rapat arus terhadap kuat medan listrik. Konduktivitas
listrik dapat dilihat pada deret volta seperti, Li K Ba Sr Ca Na Mg Al Mn Zn Cr
Fe Cd Co Ni Sn Pb H Sb Bi Cu Hg Ag Pt Au. Semakin ke kanan maka semakin
besar massa jenisnya. Logam mulia merupakan bahan terbaik untuk katoda dalam
elektrolisis, seperti emas dan platinum. Hal ini dikarenakan logam mulia memiliki
ketahanan listrik yang rendah dan resistivitas terhadap korosi yang tinggi. Harga
logam mulia yang mahal membatasi penggunaan logam mulia sebagai elektroda
dan mengunakan logam transisi sebagai gantinya (Kaddami and Mikou, 2017).
Logam transisi seperti besi, timah dan tembaga memiliki aktivitas elektrokimia
yang baik tetapi kurang tahan terhadap larutan alkali.
Aluminium, Nikel, Raney Nikel dan Cobalt adalah bahan elektroda yang
paling umum untuk digunakan dalam elektrolit air alkali karena harga tidak terlalu
mahal, ketahanan korosi dan kestabilan kimia yang cukup bagus (Wei et al.,
2007; Mazloomi, et. al 2012). Nikel juga diidentifikasi sebagai bahan yang sangat
aktif dengan ketahanan korosi yang lebih baik terhadap alkali dan kestabilan yang
cukup baik (Zeng and Zhang, 2010).
Logam jenis Stainless Steel (SS) disebut sebagai baja tahan karat yang
digunakan sebagai elektroda, adalah merupakan senyawa besi yang mengandung
setidaknya 10,5% Kromium untuk mencegah proses korosi (pengkaratan logam).
Kemampuan tahan karat diperoleh dari terbentuknya lapisan film oksida
Kromium yang dapat menghalangii menghalangi proses oksidasi besi (Ferum).
Stainless steel dapat bertahan dari serangan karat berkat interaksi bahan-bahan
campurannya dengan alam. Walaupun demikian kondisi lingkungan tetap menjadi
penyebab kerusakan lapisan pelindung tersebut. Tetapi jika lapisan pelindung
sudah tidak lagi terbentuk, maka korosi akan terjadi.
Stainless steel terdiri dari besi, krom, mangan, silikon, karbon dan
seringkali nikel and molibdenum dalam jumlah yang cukup banyak. Salah satu
jenis SS adalah kelompok autenitic yang memiliki sifat non magnetik karena
adanya fase fcc yang muncul walaupun memiliki kandungan Fe yang tinggi.
Kandungan stainless steel austenitik adalah chrome pada kisaran 17% – 25% dan

35
Nikel pada kisaran 8 – 20% serta beberapa unsur / elemen tambahan. (Childress,
Liou and Chien, 1988).
Pada tabel 2.9 ditunjukkan sifat paduan dan sifat fisik dari SS 304 dan SS
316 (Euro Inox, 2007).

Tabel 2.9 Sifat paduan dan sifat fisik SS 304 dan SS 316 (Euro Inox, 2007)
Komposisi
Ni Cr Mo C Si Mn P S N
SS 304 8-10,5 17,5-19,5 - ≤ 0,07 ≤1,00 ≤ 2,00 0,045 ≤ 0,15 ≤ 0,011
SS 316 10,5-13 16,5-18,5 2,5-3 ≤ 0,08 ≤1,01 ≤ 2,01 1,045 ≤ 0,15 ≤ 0,011
Sifat Fisik
Modulus Rata-Rata Koef. Konduk Kalor Tahanan
Densitas
0 Elastisitas Ekspani Thermal tivitas panas Spesifik Listrik
(20 C)
(200C) (10-6 /K) (200C) (200C) (200C)
(20+ (20+
kg/dm2 Gpa W/mK J/kgK Ohm.mm2/m
200)0C 400)0C
SS 304 7,9 200 16,5 17,5 15 500 0,73
SS 316 8 200 16,5 17,5 15 500 0,75

Stainless steel 304 dan 316 merupakan kelompok SS austenitic yang juga
digunakan sebagai elektroda dalam proses elektrolisis. Komposisi SS 304 adalah
sedikitnya mengandung 18% kromium dan 8% nikel serta dikombinasikan dengan
paling banyak 0,08% karbon (Mulyaningsih et. al 2014). Komposisi kimia dari
stainless steel 304 pada umumnya adalah karbon 0,07%, Silicon 1%, Mangan 2%,
Fosfor 0,045%, Sulfur 0,030%, Nikel 8-10%, Nitrogen 0,11%, Krom 18-20%. SS
316 berbeda komposisi berupa kandungan nikel, krom dan terdapatnya kandungan
molibdenum yang tidak dimiliki SS 304. Kandungan nikel, krom dan molibdenum
pada SS 316 adalah minimal 10,5-13%, 16,5-18,5% dan molibdenum 2,5-3%.

e. Sumber Energi/ Arus


Energi gibbs pada proses elektrolisis air adalah positif sehingga reaksi yang
terjadi tidak spontan (Yasmitha Andewi1, no date), oleh karena itu dibutuhkan
sumber arus listrik luar. Arus mengalir antara dua elektroda terpisah yang
terendam dalam elektrolit untuk meningkatkan konduktivitas ionic (Ursúa et. al,
2012). Sumber arus listrik digunakan proses elektrolisis pada umumnya berasal

36
dari jaringan listrik maupun baterai. Penggunaan energi terbarukan dalam proses
elektrolisis merupakan salah satu teknologi untuk memperoleh hidrogen
berkelanjutan tanpa konsumsi sumber daya fosil atau nuklir serta tanpa emisi gas
polutan (Ursúa et. al, 2012). Energi terbarukan yang digunakan sebagai sumber
energi dalam proses elektrolisis antara lain energi angin, air dan panel surya (PV).
(Zeng and Zhang, 2010).
Contoh penggunaan energi terbarukan dalam proses elektrolisis seperti
industri hidrogen yang berlokasi dekat dengan pembangkit listrik tenaga air
seperti industri hidrogen kapasitas 22.000 Nm3 / jam berada di Asea Brown
Boveri (ABB) yang dibangun pada tahun 1960 di Aswan (Mesir) dan di Ryukan
(Norwegia) dengan kapasitas sekitar 27 900 Nm3 / jam yang diinstal pada tahun
1965. Pabrik elektrolisis besar lainnya berada di Trail (1939, Kanada), Cuzco
(1958, Peru), Nangal (1958, India), dan Alabama (1971, USA) (Ursúa et. al,
2012).
f. Energi Matahari Dalam Proses Elektrolisis Air
Pemanfaatan energi matahari sebagai sumber listrik untuk elektrolisis air
pertama kali dilaporkan oleh Fujishima dan Honda. Produksi hidrogen skala besar
oleh elektrolisis PV memiliki nilai efisiensi sebesar 2-6% (Gibson and Kelly,
2008), sedangkan secara teoritis efisiensi bersih maksimum sebesar 18,3% dengan
asumsi efisiensi Faraday 100%. Efisiensi konversi energi dari energi matahari
menjadi hidrogen adalah sebesar 2,5% (Zeng and Zhang, 2010).

Gambar 2.4 Elektrolisis air menggunakan energi matahari (Zeng and Zhang, 2010)

37
Gambar 2.4 menunjukkan salah satu contoh proses elektrolisis menggunakan
energi matahari (Chennouf et al., 2012). Elektrolisis panel surya memiliki dua
sirkuit dalam sistem yaitu sel fotovoltaik dan sirkuit elektrolisis. Perkembangan
penelitian menggabungkan modul PV dan electrolyser bersama-sama melalui
baterai, kontrol arus dan pengaturan tegangan. Energi matahari disimpan di dalam
baterai. Proses elektrolisis menggunakan arus berasal dari dalam baterai yang
dihubungkan dengan katoda. Kutub positif dihubungakan dengan anoda dan kutub
negatif dihubungakan dengan katoda. Arus listrik mengalir dari anoda ke katoda.
Hidrogen terbentuk pada katoda dan oksigen pada anoda. Arus dan tegangan di
amati dengan memasang multimeter atau alat sensor pada kabel penghubung
antara sumber energi dengan elektroda. Jumlah hidrogen yang dihasilkan oleh
elektrolisis air matahari berbanding lurus dengan radiasi matahari; oleh karena itu,
produksi hidrogen akan lebih baik di musim panas daripada di musim dingin
(Sellami and Loudiyi, 2017).

g. Energi Matahari
Matahari adalah sumber energi utama yang memancarkan energi ke
permukaan bumi dalam bentuk radiasi. Radiasi matahari merupakan sejumlah
energi yang diterima bumi per satuan luas. Insolasi adalah radiasi matahari yang
diterima bumi pada jangka waktu tertentu (Contaned Energi Indonesia, 2011),
atau disebut dengan radiasi global. Radiasi global diterima permukaan bumi yaitu
meliputi radiasi langsung (Beckman, 2006), radiasi hambur (Kamali et. al,, 2006),
dan radiasi tidak langsung (Othman et. al, 2018 ; Omran, 2010). Beberapa faktor
yang mempengaruhi besarnya insolasi matahari adalah intensitas radiasi matahari,
lama penyinaran matahari, kejernihan atmosfer, dan konstanta matahari. Radiasi
matahari tidak seluruhnya diterima di bumi, hanya sekitar 69%, atau mencapai 3x
1024 joule per tahun, setara dengan 2 x 1017 Watt pertahun (Rizal, 2008),
sedangkan sisanya dipantulkan dan diteruskan.
Indonesia mendapatkan intensitas matahari yang cukup besar mengingat
letak astronomis Indonesia ada pada garis khatulistiwa. Nilai rata rata intensitas
matahari adalah E0 = 1367 W/m2 (Othman et. al, 2018), atau biasa disebut

38
dengan konstanta matahari (Earthscan, 2005). Nilai intensitas matahari
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya posisi matahari pada garis
khatulistiwa, pergeseran garis edar matahari dan keadaan atmosfer bumi (Kolhe
et. al, 2002) serta jarak antara matahari dengan bumi. Pada tabel 2.10 ditunjukkan
intensitas radiasi matahari pada beberapa kabupaten/ kota di Indonesia, dengan
kisaran nilai untuk seluruh daerah 4-6 kWh/m2/hari.

Tabel 2.10 Intensitas radiasi matahari di Indonesia (BMKG, 2017)


Intensitas
Radiasi
Kab/ Kota Provinsi Geografis
(kWh/m2/
hari)
Banda Aceh NAD 4°15’ LS; 96°52’ BT 4.10
Palembang Sumatera Selatan 3°10’ LS; 104°42’ BT 4.96
Manggala Lampung 4°28’ LS; 105°48’ BT 5.23
Jakarta DKI Jakarta 6°11’ LS; 106°05’ BT 4.18
Citius, Tangerang Banten 6°07’ LS; 106°30’ BT 4.32
Serpong, Tangerang Banten 6°11’ LS; 106°30’ BT 4.46
Bogor Jawa Barat 6°30’ LS; 106°39’ BT 2.56
Lembang Jawa Barat 6°50’ LS; 107°37’ BT 5.15
Bandung Jawa Barat 6°56’ LS; 107°38’ BT 4.15
Semarang Jawa Tengah 6°59’ LS; 110°23’ BT 5.49
Kenteng, Yogyakarta DI Yogyakarta 7°37’ LS; 110°01’ BT 4.50
Surabaya Jawa Timur 7°18’ LS; 112°42’ BT 4.30
Pontianak Kalimantan Barat 4°36’ LS; 9°11’ BT 4.55
Samarinda Kalimantan Timur 0°32’ LU; 117°52’ BT 4.17
Manado Sulawesi Utara 1°32’ LU; 124°55’ BT 4.91
Palu Sulawesi Tengah 0°57’ LS; 120°0’ BT 5.51
Maumere Papua 8°37’ LS; 122°12’ BT 5.72
Denpasar Bali 8°40’ LS; 115°13’ BT 5.26
Waingapu, Sumba Timur NTT 9°37’ LS; 120°16’ BT 5.75
Kupang NTT 10°09’LS; 123°36’ BT 5.12

Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah memiliki intensitas radiasi matahari 5,49
kWh/m2/hari. Tabel 2.11 menunjukkan data intensitas matahari di Kota Semarang
selama tahun 2017 yang diperoleh dari BMKG. Nilai rata-rata intensitas matahari
di Kota Semarang selama tahun 2017 adalah sebesar 8,454 kWh/m2/hari seperti
ditunjukkan pada tabel 2.11. Besarnya intensitas radiasi matahari yang
dipengaruhi oleh sudut letak kedudukan dan posisi matahari, merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi besarnya daya yang dihasilkan oleh panel surya
(Kamali et. al, 2006) (Beckman, 2006)

39
Tabel 2.11 Intensitas radiasi matahari di kota Semarang 2017 (BMKG, 2017)
Intensitas Radiasi Matahari
BULAN
(kWh/m2/hari)
Januari 8,62
Februari 8,216
Maret 8,577
April 7,052
Mei 7,507
Juni 8,216
Juli 9,43
Agustus 10,079
September 9,37
Oktober 9,86
November 7,13
Desember 7,392
Rata-Rata 8,454

 Panel Surya
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) merupakan pembangkit yang
memanfaatkan energi matahari sebagai sumber energi yang kemudian
mengkonversikan menjadi energi listrik. Panel surya merupakan alat yang
berfungsi untuk menangkap, mengumpulkan, mengubah energi cahaya matahari
tersebut menjadi energi listrik. Panel surya terdiri dari serangkaian sel surya yang
disusun secara seri dan pararel. Sel surya adalah komponen dalam PLTS yang
merupakan elemen semikonduktor dengan fungsi mengkonversi energi matahari
menjadi energi listrik atas dasar efek fotovoltaik (Patel, 2006). Proses yang
terjadi di dalam pv didasarkan pada efek fotolistrik seperti ditunjukkan pada
gambar 2.5.
Berdasarkan batasan struktur dari bahan semikonduktornya, kristal silikon
terbagi menjadi tiga yaitu mono-crystalline, multi-crystalline (poly-crystalline)
atau amorphous material (Setiawan et. al, 2014). Monocrystalline Silicon (m-Si)
merupakan kristalin silikon yang memiliki struktur kristal homogen baik dari
susunan materi, orientasi, maupun parameter kisi, serta sifat elektron yang
konstan dan terbuat dari kristal silikon dengan kemurnian yang tinggi.

40
Gambar 2.5 Struktur sel surya (Patel, 2006)

Keunggulan utama dari panel surya jenis ini yaitu efisiensinya yang lebih
baik (14-17%), serta lebih tahan lama (efektif hingga 20 tahun lebih penggunaan).
Panel surya mono kristalin slikon biasanya berwarna biru tua seperti ditunjukkan
pada gambar 2.6.

Gambar 2.6 Panel monokristalin silikon (SACE and A, 2010)

Polycrystalline (p-si) ditunjukkan pada gambar 2.7, merupakan silikon


yang memiliki kristal penyusun agregat sel memiliki arah dan bentuk yang
berbeda.

Gambar 2. 7 Panel polikristalin silikon (SACE and A, 2010)

41
Modul surya polikristalin memiliki warna dari modul surya cenderung
lebih terang dan terdapat gradasi warna yang disebabkan dari kristal yang
heterogen (SACE and A, 2010). Analisis komparatif dan kinerja dari tiga
teknologi panel surya yang dipasang di Tetouan Maroko (iklim kering), yaitu .
mono-kristal , polikristalin dan amorf memberkan hasil akhir bahwa amorf
kristalin dapat menyerap energi matahari paling rendah bila dibandingkan
keduanya. (Baghdadi et al., 2018). Sedangkan pada penelitian di Errachidia
(Morocco) memberikan hasil bahwa uji kinerja amorf kristalin paling rendah bila
dibandingkan dengan mono dan poli kristalin. (Elamim et al., 2018 ; Emmott et.
al, 2012)
Sel surya disusun secara pararel atau seri menjadi suatu kesatuan yang
disebut dengan panel atau modul surya dan terletak pada satu bingkai (frame)
serta diberikan lapisan pelindung.
Orientasi dari rangkaian panel surya (array) ke arah matahari dan sudut
kemiringan juga merupakan suatu faktor penting yang mempengaruhi performa
panel surya untuk dapat menghasilkan energi maksimum. Panel surya yang
terpasang di khatulistiwa (lintang=0º) yang diletakkan mendatar (tilt angle=0º)
(Al-qutub, 2010), akan menghasilkan energi maksimum. Arah atap maupun arah
kemiringan atap yang menghadap utara dan selatan memiliki jam paparan
matahari yang lebih maksimal sehingga akan menghasilkan daya yang lebih besar
(Othman and Rushdi, 2014).

II.3.4. Faktor yang mempengaruhi Elektrolisis Air


Proses elektrolisis dipengaruhi berbagai faktor yang dapat mempengaruhi
besar produksi hidrogen yang dihasilkan serta efisiensi dari sistem elektrolisis
tersebut, diantaranya :
a. Arus listrik
Arus listrik mempengaruhi produksi hidrogen karena akan mempengaruhi
laju alir elektron dalam larutan. Arus listrik yang semakin besar akan
meningkatkan laju muatan listrik dalam larutan sehingga semakin banyak elektron
yang ditransfer per unit waktu dan meningkatkan volume hidrogen yang

42
terbentuk. (Kaddami and Mikou, 2017; Domga Richard and Tchatchueng, 2017).
Elekrolisis air konvensional beroperasi dengan kepadatan arus 1000 hingga 4000
A/m2.
Kepadatan arus yang semakin tinggi akan meningkatkan laju reaksi
elektrokimia sehingga produksi hidrogen dapat ditingkatkan. Range nilai
kepadatan arus harus dipertahankan dalam kisaran nilai tertentu sehingga terjadi
kesetimbangan antara tingkat produksi gas dan efisiensi energi (Zeng and Zhang,
2010). Hal ini disebabkan bila nilai kepadatan arus semakin tinggi yang diringi
dengan meningkatnya laju produksi gas, akan menyebabkan pembentukan
gelembung yang cepat dengan volume besar sehingga meningkatkan tegangan
berlebih dan menurunkan efisiensi energi. Selain itu kepadatan arus yang terlalu
tinggi juga menyebabkan penurunan potensial ohmik di antara elektroda sehingga
mengakibatkan kehilangan listrik yang lebih tinggi dan efisiensi proses yang lebih
kecil (Mazloomi and Sulaiman, 2012) .

b. Elektrolit
Elektrolit dapat mengubah sifat nonkonduktif air murni, sehingga
berpengaruh terhadap tegangan yang diperlukan untuk proses elektrolisis pada
kerapatan arus tertentu (Badwal, et al., 2006). Konsentrasi elektrolit berpengaruh
terhadap jumlah hidrogen yang dapat diproduksi. Semakin tinggi konsentrasi
elektrolit maka reaksi permukaan antara elektrolit semakin besar, menyebabkan
peningkatan konduktivitas ionic, mobilitas ionik dan intensitas arus, sehingga laju
reaksi hidrogen dan jumlah hidrogen yang dihasilkan dari suatu sel elektrolisis
lebih besar.(Kaddami and Mikou, 2017; Hauch et al., 2008; Ganley, 2009; Sakr
and Abdelsalam, 2017). Konsentrasi elektrolit juga memainkan peran penting
dalam menentukan hambatan listrik dari elektrolit.
Impurities yang terkandung dalam elektrolit merupakan faktor yang
mempengaruhi jumlah hidrogen yang dihasilkan. Impurities atau kontaminan
meningkatkan hambatan listrik dalam elektrolit sehingga menimbulkan reaksi
samping serta memasifkan elektroda. Percobaan Sellami and Loudiyi
membuktikan bahwa kemurnian KOH kering lebih baik daripada NaOH kering.

43
Hal ini dicerminkan timbulnya reaksi samping ketika menggunakan elektrolit
larutan NaOH (Sellami and Loudiyi, 2017). Reaksi samping tersebut disebabkan
oleh pengotor/kontaminan kimia seperti Ion magnesium, klorida dan kalsium.
Reaksi samping yang tidak diinginkan dapat dicegah dengan mengurangi
kontaminasi elektrolit. Ion kontaminan juga dapat membuat pasif elektroda
sehingga mengambil alih perpindahan massa dan ion dan terjadi peningkatan
resistansi ohm. (Zeng and Zhang, 2010; Jovanović et al., 2011). Peningkatan
resistansi ohm akan mengakibatkan peningkatan suhu sel sehingga meningkatkan
kehilangan energi listrik dan pada akhirnya mengurangi efisiensi electroliser
(Sellami and Loudiyi, 2017). Penggunaan katalis dapat dilakukan untuk
mereduksi hambatan listrik selain meminimalisir adanya kontaminan dalam
elektrolit.

c. Temperatur
Temperatur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses
elektrolisis. Temperatur yang semakin tinggi akan meningkatkan efisiensi
elektrolisis. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu karakteristik molekul air
dimana energi dibutuhkan dalam menguraikan molekul air berkurang ketika
terjadi peningkatan temperatur (Sellami and Loudiyi, 2017), adanya peningkatan
kinetika reaksi elektroda pada permukaan elektroda dan peningkatan
konduktivitas ionik elektrolit karena adanya penurunan hambatan listrik dalam
elektrolit. Bahkan dalam pengembangan elektroliser air alkali temperatur kerja
bisa mencapai hingga 1500C (Ursúa, et. al, 2012). Proses elektrolisis dengan
temperatur yang lebih tinggi juga menyebabkan jumlah kebutuhan tegangan yang
lebih rendah untuk mencapai kebutuhan tingkat kepadatan arus sehingga energi
yang dibutuhkan lebih rendah (Stojić et al., 2003).
Sulaiman et. al menyatakan dalam penelitiaannya, bahwa peningkatan
temperatur sel menyebabkan nilai efisiensi termal yang lebih tinggi, efisiensi
listrik yang lebih rendah namun efisiensi elektrolisis yang hampir tidak berubah
yaitu masing-masing adalah 70%, 22% dan 8% (Mazloomi and Sulaiman, 2012).
Peningkatan temperatur yang terlalu tinggi memiliki dampak dapat memperbesar

44
gelembung gas dan mengurangi kecepatan naiknya sehingga dapat mengurangi
efisiensi (Nagai et al., 2003)

d. Tekanan
Tekanan yang diberikan pada larutan elektrolit memberikan pengaruh
pada proses elektrolisis. Peningkatan tekanan elektrolit dapat mengurangi
diamater gelembung yang timbul mengakibatkan terjadinya penurunan tegangan
dan disipasi daya antar elektroda sehingga dapat mengurangi kebutuhan konsumsi
daya (Mazloomi and Sulaiman, 2012). Penelitian menyatakan bahwa
mengompresi air pada proses elektrolisis membutuhkan konsumsi energi yang
lebih sedikit energi dibandingkan dengan energi yang dibutuhkan untuk
mengompresi hidrogen (Ronzino et al., 2015). Tekanan dan temperatur yang ideal
dari produksi hidrogen dengan menggunakan elektrolisis air relatif hingga 70 MPa
dan 250◦C (LeRoy et al., 1980). Elektrolisis menggunakan energi matahari dengan
temperatur 25°C dan 90°C dan menggunakan elektrolit tekanan tinggi dapat
mengkonsumsi daya lebih sedikit (Appleby et. al, 1978). Namun, suatu sel
elektrolisis tekanan lebih tinggi tidak diikuti dengan peningkatan efisiensi yang
signifikan bila dibandingkan dengan sel elektrolisis menggunakan tekanan
ambien. Dampak dari pemberian tekanan yang lebih tinggi pada sel elektrolisis
adalah membuat separator tidak tahan lama dan meningkatkan gas yang terlarut
(Zeng and Zhang, 2010).

e. Tegangan
Energi dekomposisi dari reaksi elektrokimia air relatif tinggi. Hal ini
disebabkan karena molekul-molekulnya memiliki struktur yang stabil pada suhu
sekitar. Tegangan minimum yang diberikan pada molekul air untuk memutuskan
dua ikatan kovalen antara atom hidrogen dan oksigen adalah sekitar 1,23 V yang
biasa disebut dengan tegangan kesetimbangan air. Pada kondisi sebenarnya,
tegangan yang lebih tinggi diterapkan pada sel-sel elektrolisis industri
dikarenakan adanya tingkat reaksi elektrokimia yang berlebih (Jeremiasse, 2009)
dan disebut dengan proses reaksi "tegangan lebih". Nilai dari tegangan lebih ini

45
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi operasi, tipe elektroda, kemurnian
dan kualitas elektrolit (Sellami and Loudiyi, 2017).
Peningkatan tegangan sel dapat meningkatkan konsumsi daya.
Penggunaan jenis catu daya mempengaruhi tegangan dan efisiensi, dari
berdampak kecil hingga meningkatkan efisisensi sampai dengan 77,6% (Ursúa et
al., 2009). Nilai tegangan pada daya DC, frekuensi, lebar pulsa dan amplitudo
dalam arus listrik AC hingga karakteristik proses juga mempengaruhi efisiensi
elektrolisis (Mazloomi and Sulaiman, 2012). Peningkatan tegangan listrik karena
peningkatan konsentrasi elektrolit yang diiringi dengan peningkatan intensitas
arus dapat menghasilkan peningkatan produksi hidrogen (Sakr and Abdelsalam,
2017). Suatu proses elektrolisis dikatakan tidak efisien jika dalam menghasilkan
suatu produk hidrogen tertentu dengan memberikan tegangan lebih tinggi namun
nilai arus yang tetap (Zeng and Zhang, 2010).

f. Resistansi
Hambatan memberikan dampak negatif terhadap proses elektrolisis
sehingga hambatan pada proses elektrokimia perlu diminimalisir. Hambatan-
hambatan tersebut meliputi hambatan listrik dari rangkaian, hambatan akibat
energi aktivasi dari reaksi elektrokimia yang terjadi pada permukaan elektroda,
hambatan permukaan elektroda karena adanya gelembung gas yang terbentuk dan
hambatan terhadap transfer ionik dalam larutan elektrolit. Resistensi reaksi
merupakan fungsi suhu dan kepadatan arus. Resistensi pada kepadatan arus tinggi
berasal dari hilangnya konduktivitas dalam elektrolit akibat resistensi gelembung,
separator dan transfer ion. Peningkatan suhu akan menghasilkan penurunan
kelebihan potensial pada kepadatan arus yang sama. Resitansi-resistansi yang
berpengaruh dalam proses elektrolisi air adalah :
- Resistansi dalam sistem kelistrikan
- Resistansi akibat transfer ion dalam elektrolit
- Resistansi akibat gelembung gas
Timbulnya gelembung dalam larutan elektrolit, pada permukaan elektroda
maupun separator akan menyebabkan resistensi pada transfer ionik dan reaksi

46
elektrokimia permukaan sehingga terjadinya kehilangan energi. Kehilangan
energi akibat gelembung merupakan kontribusi utama terhadap kehilangan
energi total (Zeng and Zhang, 2010). Cara untuk mengurangi resistensi akibat
gelembung adalah dengan meminimalkan waktu tinggal gelembung (Wang,
Wang and Guo, 2010) serta meminimalkan efek gelembung gas yaitu dengan
memberikan medan ultrasonik (Mazloomi and Sulaiman, 2012).
- Resistansi luasan permukan elektroda
- Resistansi energi aktivasi reaksi elektrokimia
Tegangan berlebih diperlukan untuk mengurangi energi aktivasi reaksi
pembentukan hidrogen dan oksigen pada permukaan katoda dan anoda. Reaksi
yang terjadi menentukan kinetika reaksi elektrokimia. Hal ini disebut dengan
resistansi energi aktivasi (Zeng and Zhang, 2010).

g. Separator
Separator merupakan elemen yang berpengaruh terhadap sel elektrolit
selain elektrolit dan elektroda (Ursúa et. al, 2012). Separator diperlukan dalam
proses elektrolisis untuk memisahkan antara produk oksigen dan hidrogen yang
terbentuk sehingga tidak bereaksi. Hambatan listrik pada separator dapat
mencegah terjadinya hubungan arus pendek elektroda. Keberadaan separator bisa
menyebabkan terjadinya penurunan efisiensi elektrolisis karena menghalangi
gerakan massa dan ion sehingga diharapkan separator memiliki konduktivitas
ionik yang tinggi. Variabel yang mempengaruhi dari hambatan separator ini
adalah sifat korosi, suhu dan tekanan (Nikiforov et al., 2011).
Pada mula separator yang biasa digunakan adalah asbes Sejak tahun 1970-
an, separator dari asbes digantikan dengan bahan polimer. Separator dari polimer
memiliki difusivitas lebih tinggi daripada separator yang terbuat dari akrilik.
Material separator kemudian mulai bergeser ke material membran anorganik,
(Vermeiren, 1998).

47
h. Kualitas Air
Kemurnian air sangat penting berpengaruh terhadap elektrolisis.Kontaminan
yang terkandung dalam air menumpuk pada permukaan elektroda dan membran,
sehingga menghambat transfer ion dan reaksi elektrokimia. Kontaminan dalam
elektrolit seperti magnesium, ion kalsium dan ion klorida juga dapat
menyebabkan penyumbatan pada permukaan elektroda atau separator sehingga
dapat menghambat perpindahan massa dan electron.

i. Material elektroda
Karakter suatu elektroda dalam proses elekrolisis dipengaruhi beberapa
faktor diantaranya bahan elektroda, jarak antara elektroda, dimensi dan bentuk
elektroda (Badwal et. al, 2006). Jenis bahan dan komposisi paduan elektroda
mempengaruhi sifat katoda. Logam paduan Zn-CR (Zn95%, Cr5%) dan (Zn90%,
Cr10%), adalah paduan baik untuk katoda (El-Askary et al., 2015). Peningkatan
komposisi besi dalam paduan ZnFe dapat meningkatkan produksi hidrogen
sedangkan peningkatan komposisi Cu pada paduan ZnCu mengurangi produksi
hirogen (Kaddami and Mikou, 2017)
Stainless steel adalah bahan elektroda bebasis logam nikel yang murah
dengan potensi berlebih rendah. Stainless steel banyak digunakan dalam proses
elektrolisis karena ketahanan korosi. Kelemahan penggunaan logam nikel adalah
adanya pembentukan fasa hidrida nikel pada permukaan elektroda akibat
konsentrasi hidrogen yang tinggi. Hal ini menyebabkan reaksi pada permukaan
elektroda dapat terhambat. Memadukan besi dengan nikel dapat mencegah
pembentukan fase hidrida. Penambahan besi pada oksida mangan-molibdenum
dapat meningkatkan stabilitas elektroda dan efisiensi pembentukan oksigen.
Perlakuan panas pada proses pembuatan logam memberikan kontribusi
terhadap karakter elektroda dalam proses elektrolisis (Kaddami and Mikou, 2017).
Modifikasi elektroda dibuat sedemikian rupa seperti celah dan lubang, sehingga
diharapkan dapat memfasilitasi keluarnya gelembung gas. Lubang yang dibuat
harus sesuai sehingga tidak menyebabkan gas terperangkap. Diameter untuk
perforasi elektroda AWE adalah 0,1 untuk hidrogen sampai dengan 0,7 mm untuk

48
oksigen. Selain celah dan lubang, rekayasa permukaan elektroda juga dapat
dilakukan dengan melapisi elektroda untuk mempercepat pelepasan gelembung
(Zeng and Zhang, 2010).
Pengembangan bahan elektrokatalitik dapat digunakan untuk
meningkatkan dan menstabilkan aktivitas elektroda, memfasilitasi transfer ion dan
mengurangi energi aktivasi reaksi, serta dapat mengurangi tegangan elektroda
seperti oksida kobalt (Ursúa et. al, 2012). Stabilitas bahan elektroda menjadi
faktor yang sangat penting sehingga elektroda dapat digunakan dalam jangka
waktu yang lama dan dapat meminimalisir biaya produksi.
Jarak elektroda berpengaruh pada produksi hidrogen pada aproses
elektrolisis. Semakin kecil jarak antar elektroda maka semakin besar produksi
hidrogen yang dihasilkan (Nagai et al., 2003) dan efisiensi sistem yang lebih
tinggi. Jarak antara elektroda optimum harus diperhatikan karena bila terlalu
banyak pengurangan ruang antar elektroda, akan meningkatkan volume gas antara
elektroda sehingga resistensi listrik dan void fracture semakin besar. Hal tersebut
dapat menyebabkan penurunan efisiensi elektrolisis air (LeRoy et al., 1980)
(Nagai et al., 2003). Jarak antar elektroda lebih besar dapat meningkatkan
efisiensi lebih signifikan namun harus dengan pemberian tegangan input tinggi
(Sakr and Abdelsalam, 2017).
Dimensi elektroda mempengaruhi proses elektrolisis. Luas permukaan
elektroda yang lebih besar dapat menghasilkan hambatan listrik yang lebih
rendah. Luas permukaan bukan hanya didapat dari dimensi elektroda, tapi juga
struktur permukaan elektroda. Penelitian menggunakan elektroda dengan lebar
yang sama namun ketinggian yang berbeda maka akan menyebabkan efisiensi
elektrolisis berbeda. Hal ini didasarkan bahwa model pergerakan gelembung gas
adalah di bagian yang lebih tinggi dari elektroda (Mandin et al., 2008), sehingga
gelembung gas yang terbentuk terakumulasi pada bagian tertinggi elektroda.
Semakin tinggi elektroda maka semakin besar pembentukan void fracture
sehingga meningkatkan resistansi dan mengurangi efisiensi. Posisi vertikal dari
elektroda menghasilkan efisiensi elektrolisis lebih baik bila dibandingkan dengan
elektroda dalam posisi horisontal. (Nagai et al., 2003). Oleh karena itu, ketinggian

49
optimum juga diperlukan untuk mendapatkan efisiensi elektrolisis yang tinggi.
Permukaan elektroda yang tercelup akan mempengaruhi transfer elektron,
sehingga semakin besar permukaan elektroda yang tercelup dalam elektrolit
semakin mudah proses transfer elektron dalam elektrolit.

II.4. Effisiensi Elektrolisis


Hidrogen dalam sel elektrolisis diproduksi di katoda. Efisiensi produksi
hidrogen selama proses elektrolisis dapat dihitung dengan menggunakan rumus
(Kaddami and Mikou, 2017) :

(1)

(2)

Keterangan :

I = Arus (Ampere)
VM = Volume molar gas Hidrogen ideal dalam kondisi standar (298.15
K dan 1 atm) dengan nilai is 24.47 l / mol
T = Waktu
F = Konstanta Faraday (96 485 C/mol).

Volume hidrogen dapat diperoleh dengan menghitung reduksi volume


elektrolit selama proses elektrolisis pada suhu dan tekanan operasi. Perhitungan
volume hidrogen ideal adalah perhitungan volume gas hidrogen teoritis dimana
hidrogen yang terbentuk dianggap sebagai gas sempurna dalam kondisi standar,
sedangan volume gas real adalah volume gas yang terbentuk selama percobaan
(Kaddami and Mikou, 2017).
Perhitungan nilai efisiensi konsumsi listrik dilakukan menggunakan
efisiensi Faraday yang merupakan rasio antara muatan listrik ideal yang
diperlukan untuk produksi jumlah hidrogen tertentu, dan muatan listrik nyata yang
dikonsumsi oleh modul elektrolisis. Efisiensi Faraday lebih rendah dari 1

50
disebabkan adanya arus kontaminan atau arus yang tidak berkontribusi reaksi
redoks sehingga tidak berperan dalam pembentukan hidrogen. Efisisiensi Faraday
biasanya mencapai nilai maksimum lebih dari 0,95(Ursúa et al., 2009). Selain
efisiensi, terdapat parameter konsumsi energi spesifik CE merupakan energi
dikonsumsi untuk hidrogen yang diproduksi yang dinyatakan dalam kWh / Nm3.
Nilai efisiensi elektroliser adalah rasio antara energi yang terkandung dalam
hidrogen yang diproduksi dan energi diperlukan untuk elektrolisis air yang
dikonsumsi selama proses. Peningkatan suhu air dan konsentrasi elektrolit dapat
menyebabkan peningkatan volume aliran gas hidrogen dan efisiensi sel
elektrolisis. Namun, variasi arus dan tegangan input yang secara signifikan
mempengaruhi efisiensi electroliser. Efisiensi sistem maksimum belum tentu
diiringi dengan produktivitas maksimum. Optimalisasi antara produktivitas dan
efisiensi diperlukan agar alat electroliser yang digunakan lebih ekonomis (Sakr
and Abdelsalam, 2017)

II.5. Sistem UNO Arduino


Parameter-parameter Arduino Uno sebenarnya adalah salah satu
mikrokontroler yang berbasis pada ATmega28. Modul ini sudah dilengkapi
dengan berbagai hal yang dibutuhkan untuk mendukung mikrokontroler bekerja
(Khafizd, 2019). Arduino Uno dapat diaktifkan melalui koneksi USB atau dengan
catu daya eksternal sehingga hanya menghubungkan dengan power suply atau
melalui kabel USB ke komputer, Arduino uno siap digunakan. Arduino Uno ini
memilki 14 pin digital input/output (atau biasa ditulis I/O, dimana 6 pin
diantaranya dapat digunakan sebagai output PWM), 6 analog input, sebuah
resonator keramik 16MHz, koneksi USB, colokan power input, ICSP header, dan
sebuah tombol reset (Widyatama, 2017). Digital pin yang berjumlah 14 bekerja
pada tegangan 5V, dan setiap pin dapat menyediakan atau menerima arus 20mA,
dan memiliki tahanan pull-up sekitar 20-50k ohm (secara default dalam posisi
disconnect). Nilai maximum adalah 40mA, yang sebisa mungkin dihindari untuk
menghindari kerusakan chip mikrokontroller ,Board dapat beroperasi pada
pasokan daya dari 6 – 20 volt. Jika diberikan kurang dari 7V menyebabkan board

51
tidak stabil dan jika menggunakan lebih dari 12V maka menyebabkan regulator
bisa panas dan merusak board. Rentang tegangan yang dianjurkan adalah 7V –
12V. Arduino Uno terdiri dari :
a. Editor program : merupakan sebuah window yang memungkinkan
pengguna menulis dan mengedit program dalam bahasa Processing.
b. Compiler : sebuah modul yang mengubah kode program (bahasa
Processing) menjadi kode biner. Bagaimanapun sebuah microcontroller
tidak akan bisa memahami bahasa Processing. Yang bisa dipahami oleh
microcontroller adalah kode biner. Itulah sebabnya compiler diperlukan
dalam hal ini.
c. Uploader : sebuah modul yang memuat kode biner dari Komputer ke dalam
memory di dalam papan Arduino (Maulana, 2018).

II.6. Penelitian Sebelumnya


Proses Elektrolisis Air Alkali memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber
energi dilakukan di Brazil dengan menggunakan elektroda SS 304, larutan
elektrolit NAOH 5 mol/ L dan panel surya polikristalin. Eksperimen dilakukan
selama 3 hari berturut-turut dengan durasi waktu 4 jam setiap harinya. Percobaan
dilakukan menggunakan power supply terlebih dahulu dengan konsentrasi NaOH
sebesar 4-6 mol/ L dan temperatur operasi 18-500C. Hal ini digunakan untuk
mengambil data konsentrasi dan tegangan yang optimum dalam menghasilkan
produksi hidrogen maksimum untuk digunakan sebagai variabel dalam proses
elektrolisis menggunakan sinar matahari. Produksi maksimum hidrogen didapat
pada konsentrasi 5 mol/l dan tegangan 3,4 V. Percobaan elektrolisis menggunakan
sinar matahari dilakukan dari pukul 10.00-14.00 melalui panel surya polikristalin
sebanyak 30 cell. Volume hidrogen yang dihasilkan setiap harinya adalah rata-rata
2 liter hidrogen dengan radiasi matahari rata-rata sebesar 800 W/m2. Arus dan
volume hidrogen yang dihasilkan dalam 3 hari berturut turut adalah pada hari
pertama dihasilkan arus 0.89 ± 0.38A dan volume hidrogen sebesar 1.822 ml, hari
kedua sebesar 0.82 ± 0.29 A dan 1.653 ml dan hari ketiga sebesar 0.98 ± 0.07A
dan 1.996 ml.. Volume Gas hidrogen yang terbentuk di katoda sebesar 98,8% ±

52
0,4%. Reaktor tetap stabil selama percobaan. Hasil penelitian menunjukkan
konsentrasi larutan elektrolit yang tinggi meningkatkan konduktivitas lingkungan
dan laju aliran gas. Keberadaan awan (mendung) merupakan factor paling
berpengaruh menurunkan arus listrik sistem dan produksi gas (Gustavo et. al,
2018). Untuk itu diperlukan baterai sebagai media penyimpan energi ketika panel
surya tidak dapat bekerja maksimal seperti ketika adanya awan maupun kondisi
malam hari. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa potensi energi surya di
Kota Semarang dalam produksi hidrogen melalui proses elektrolisis air alkali.
Rangkaian alat penelitian Gustavo et al akan dimodifikasi pada penelitian ini
yaitu dengan menambahkan baterai serta sistem arduino pada alat sesuai dengan
parameter-parameter mempengaruhi produksi hidrogen yang akan diukur.
Pemasangan sistem arduino dilakukan agar pencatatan parameter-paramater
pengukuran dapat dilakukan secara otomatis sesuai dengan periode waktu
pencatatan yang telah di tetapkan.

53

Anda mungkin juga menyukai