Anda di halaman 1dari 26

STRESS LINGKUNGAN

DAN PENANGGULANGANNYA
BAB I

PENDAHULUAN

Individu dalam kehidupannya berinteraksi dengan lingkungan dan tergantung


pada lingkungan. Individu banyak mengambil manfaat dari lingkungan. Namun,
lingkungan juga bisa menimbulkan stress tersendiri bagi individu. Stress yang dialami
individu yang disebabkan oleh lingkungan disebut stress lingkungan. Salah satu
pendekatan untuk mempelajari psikologi lingkungan adalah stress lingkungan.

Paul A. Bell menjelaskan bahwa setelah individu mempersepsikan rangsangan


dari lingkungannya, akan terjadi dua kemungkinan. Kemungkinan yang pertama,
rangsangan itu dipersepsikan berada dalam batas ambang toleransi individu yang
bersangkutan yang menyebabkan individu berada dalam keadaan homeostasis.
Kemungkinan kedua, rangsangan itu dipersepsikan di luar ambang toleransi yang
menimbulkan stress pada individu.

Stress adalah beban mental yang oleh individu yang bersangkutan akan
dikurangi atau dihilangkan. Untuk mengurangi atau menghilangkan stress, individu
melakukan tingkah laku penyesuaian (coping behavior). Jika berhasil, individu akan
kembali pada keadaan homeostasis, tetapi jika tidak berhasil, maka individu akan
kembali pada keadaan stress lagi, bahkan kemungkinan stress itu akan bertambah
besar. Jika individu merasa tidak berdaya atau tidak tahu lagi harus berbuat apa dalam
menghadapi stress, akan timbul reaksi panik berkepanjangan yang bisa menjurus pada
timbulnya gejala psikoneurosis (gangguan jiwa). Ada empat contoh penting dari
stress lingkungan yaitu bencana alam, bencana teknologi, bising, dan commuting to
work (pulang pergi untuk kerja).

Stress merupakan konsep umum pada saat sekarang. Stress digunakan untuk
menjelaskan suasana hati yang buruk atau tingkah laku yang luar biasa, dan
perkembangan dari teknik manajemen stress seperti meditasi, relaksasi dan sistem
biofeedback. Teori-teori mengenai stress memperkenankan kita untuk
menggambarkan hubungan diantara sejumlah situasi-situasi yang berbeda. Menurut
sejarah, studi dalam psikologi lingkungan berorientasi pada masalah. Selama tahun
1970an, studi dimulai untuk mendemonstrasikan beberapa efek yang sama dari
bencana alam dan teknologi, kebisingan, dan commuting. Akan tetapi, fenomena
tersebut tidak berarti memiliki kesamaan dalam segala hal.

Stress lingkungan penting untuk dipelajari agar individu tahu dan bisa
mengatasinya jika stress lingkungan timbul dalam kehidupannya sehingga individu
tersebut bisa memberikan respon atau tingkah laku penyesuaian agar bisa kembali ke
keadaan homeostasis. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai
stress lingkungan, sumber stress, aspek dari stress dan bagaimana dampaknya, serta
penanggulangannya.

BAB II

STRESS LINGKUNGAN DAN PENANGGULANGANNYA

Stress Lingkungan

I.
1. Definisi

Stress didefinisikan sebagai proses dengan kejadian lingkungan yang


mengancam atau hilangnya kesejahteraan organisme yang menimbulkan beberapa
respon dari organisme tersebut. Respons ini bisa dalam bentuk coping behavior
(tingkah laku penyesuaian) terhadap ancaman. Kejadian-kejadian lingkungan
yang menyebabkan proses ini disebut sebagai sumber stress (stressor) yang antara
lain berupa bencana alam dan teknologi, bising, dan commuting, sedangkan reaksi
yang timbul karena adanya stressor disebut respons dari stress (stress response).

Respons terhadap stress dicirikan dengan perubahan emosional, tingkah


laku langsung terhadap pengurangan stress, dan perubahan psikologis seperti
meningkatnya arousal. Proses ini meliputi seluruh bagian dari situasi, yaitu
ancaman itu sendiri, persepsi terhadap ancaman, coping (penyesuaian) dengan
ancaman, dan pada akhirnya beradaptasi dengan hal tersebut.
I.
1. Bagian dari Stress

Ada tiga bagian dari stress, yaitu:

I.
1.
 karakteristik dari sumber-sumber stress (characteristics of
stressors)
 penilaian terhadap sumber-sumber stress (appraisal of stressors)
 stress yang terjadi pada seseorang dapat meningkat tergantung
pada bagaimana mereka menginterpretasikannya.
 respons terhadap stress yang terjadi (stress response)  termasuk
kecemasan, depresi, sakit, penarikan diri, dan agresi.

1. Karakteristik dari Stressor (characteristics of stressors)

Beberapa kejadian lingkungan dapat mengancam sebagian besar


orang, dan yang lainnya mengancam golongan yang lebih kecil atau bahkan
hanya dialami oleh seseorang. Kemungkinan suatu kejadian menjadi penuh
sterss (stressful) ditentukan oleh sejumlah faktor, termasuk karakteristik dari
kejadian yang spesifik dan cara individu menilai kejadian tersebut.

Lazarus dan Cohen (1977) membuat tiga kategori sumber stress


lingkungan, yaitu:

I.
1.

1. Cataclysmic Events

Cataclysmic events merupakan stressor yang besar sekali dan


mempunyai beberapa karakteristik. Biasanya terjadi secara tiba-tiba dan
memeberikan sedikit atau bahkan tidak ada peringatan ketika kejadian itu
akan datang. Stressor ini mempunyai pengaruh yang kuat bagi sejumlah
besar orang dan biasanya memerlukan banyak sekali usaha untuk
penyesuaian yang efektif. Stressor ini dapat berupa bencana alam, perang
atau bencana nuklir, yang ke semuanya tidak dapat diprediksi dan
ancaman-ancaman yang sangat kuat yang secara umum mempengaruhi
segala sesuatu yang ada di sekitar bencana tersebut.

Cataclysmic events biasanya terjadi secara tiba-tiba sehingga onset


yang sangat kuat dari kejadian-kejadian seperti itu pada awalnya dapat
menimbulkan respons ketakutan dan kebingungan dari korban (Miller,
1982; Moore, 1958). Dalam keadaan ini, sulit untuk melakukan coping
dan boleh jadi tidak ada pertolongan dengan segera. Bagaimanapun,
periode berat yang mengancam seperti itu (tetapi tisak selalu) berakhir
secara cepat dan membutuhkan pemulihan.

Beberapa keistimewaan cataclysmic events adalah dalam


manfaatnya untuk proses coping yang berpengaruh pada sejumlah besar
individu. Afiliasi dengan yang lain dan berbagi rasa serta pendapat dengan
orang lain diidentifikasi sebagai gaya coping yang penting terhadap
ancaman-ancaman tersebut (McGrath, 1970; Schachter, 1959). Dukungan
sosial seperti ini cukup berpengaruh dalam kondisi stressful (Cobb, 1976).
Dengan kata lain, keberadaan orang lain di sekitar kita untuk memberikan
dukungan, berbagi rasa serta pendapat dan bentuk bantuan lain dapat
mengurangi pengaruh negatif dari stressor. Karena individu dapat berbagi
distress mereka dengan yang lain yang mengalami kesulitan yang sama.
Beberapa studi menunjukkan bahwa ada kohesi diantara individu-individu
tersebut (Quarantelli, 1978). Tentu saja, ini tidak selalu terjadi dan
penduduk tidak dapat bersama-sama melawan stressor dalam waktu yang
terbatas. Ketika stressor berlangsung dan tidak menemukan cara
pemecahannya, maka jenis masalah yang berbeda akan timbul.

I.
1.

1. Personal Stressors

Personal stressors sejenis dengan cataclysmic events, tetapi


dampaknya hanya mengenai satu orang tertentu atau beberapa orang
dalam jumlah terbatas dan boleh jadi tidak diharapkan. Misalnya sakit,
kematian orang yang dicintai, atau kehilangan pekerjaan. Kejadian ini
cukup kuat untuk menantang kemampuan adaptasi yang sama pada
cataclysmic events. Seringkali besarnya, durasi dan letak dari pengaruh
yang kuat pada cataclysmic events dan personal stressors adalah sama
seperti kematian dan kehilangan pekerjaan.

I.
1.

1. Daily Hassles

Daily hassles merupakan stressor dalam bentuk problem yang


terjadi setiap hari dan berulang-ulang, serta tidak terlalu memerlukan daya
penyesuaian diri yang terlalu besar. Stressor ini sifatnya stabil dan
intensitas masalah yang dihadapi rendah karena sebagai bagian dari suatu
rutinitas. Daily hassles mencakup antara lain ketidakpuasan dalam
pekerjaan, kesulitan keuangan, pertengkaran dengan tetangga, dan
masalah transportasi dalam kota. Daily hassles memang relatif ringan
dibandingkan dengan jenis stressor yang lain. Efeknya bertahap, tetapi
karena sifatnya kronis dapat juga membawa akibat jangka panjang yang
fatal.

Satu atau lebih latar belakang stressor mungkin tidak cukup


menyebabkan kesulitan penyesuaian yang besar. Namun, ketika sejumlah
hal terjadi secara bersama-sama dapat menentukan dengan tepat kerugian
yang lebih besar dan mungkin seserius pada cataclysmic events atau
stressor personal. Pemaparan yang biasa, tetapi dalam jangka waktu yang
panjang membutuhkan respons penyesuaian yang lebih.

1. Penilaian Terhadap Stressor (appraisal of stressors)

Tingkat pandangan orang mengenai kejadian yang penuh dengan stress


ditentukan melalui penaksiran/penilaian. Selama proses penaksiran, semua
informasi dianggap penting, dan keputusan diambil jika kira-kira berbahaya,
mengancam, dan sejenisnya. Beberapa tipe penaksiran yang berbeda mungkin
terjadi. Penaksiran dilakukan terpusat pada kerusakan yang terjadi.
Ada beberapa faktor yang diidentifikasikan sebagai pengaruh
penaksiran kita terhadap stressor lingkungan, diantaranya kondisi situasional,
individual differences, dan variabel lingkungan, sosial, dan psikologis.
Penaksiran terhadap stressor didasarkan pada sifat-sifat situasi, sikap terhadap
stressor atau sumbernya, individual differences dan lain-lain.

Gaya penanggulangan (coping) atau pola kepribadian juga


mempengaruhi seseorang dalam melihat permasalahan dan menentukan tipe
penanggulangan yang akan dipakai. Jenis gaya penanggulangan (coping) yang
dapat digunakan antara lain, represi-sensitivitas (tingkatan dimana orang
berpikir tentang stressor), screening (kemampuan seseorang untuk menolak
stimuli atau memprioritaskan kebutuhan), dan penolakan (tingkat seseorang
untuk menolak atau menyadari suatu masalah).

Studi oleh Baum (1982) mengatakan bahwa individu yang


menanggulangi secara berlebihan dengan mengamati dan memprioritaskan
kebutuhan akan lebih bisa mengurangi efek kepenatan daripada orang yang
tidak melakukan cara ini. Glass (1977) telah mendeskripsikan relevansi
coping stress. Individu yang menerapkan pola kepribadian tipe A adalah
mereka yang merespons stress dengan cara pengontrolan stress dan
mempunyai treatment tersendiri.

Stress dapat mempengaruhi kesehatan antara lain tekanan darah.


Apabila individu sering stress, maka individu tersebut berpeluang besar untuk
mengalami penyakit jantung. Kontrol perasaan adalah mediator stress yang
penting, yang dapat menyebabkan seseorang dapat mengontrol stress dan
memprediksikan apa yang akan terjadi.

Mengumpulkan informasi tentang penyebab stress, dapat membantu


memprediksikan langkah yang harus ditempuh. Misalnya, stress yang
berhubungan dengan operasi. Pasien akan khawatir dirinya akan sembuh atau
justru makin parah. Stress pasien dapat dikurangi dengan memberi harapan
bagus. Studi yang lain mengungkapkan bahwa pemberian harapan yang kuat
terhadap penderita stress dipercaya dapat mengurangi stress.
1. Karakteristik Respons Stress

Ketika penaksiran sebuah penyebab stress sudah dibuat oleh individu


maka respons dapat ditentukan dengan baik. Misalnya, apabila ada sebuah
peristiwa yang dianggap berbahaya/mengancam, akan menimbulkan respons
stress berupa ketegangan. Dengan kata lain, menafsirkan sesuatu yang
negatif/bahaya, dapat menghasilkan respons yang kita siapkan lebih hati-hati.
Dalam hal ini, respons stress juga melibatkan proses fisiologis.

Kadar epinefrin yang banyak pada tubuh kita dapat memberikan


pengaruh yang positif terhadap adaptasi dan dapat memberikan keuntungan
secara biologis. Efek psikologis yang berperan antara lain, merefleksikan
konsekuensi adaptasi. Calhoun (1967,1970) mengungkapkan bahwa ada
sebuah periode keras kepala (refractory periode) dimana suatu individu
berada pada keadaan yang sembuh dari stress. Namun apabila refactory
periode dicampur dengan periode lain, justru akan menambah stress. Misalnya
apabila kita sakit kepala dan kita minum obat, maka stress kita juga
bertambah.

I.
1. Teori Stress Lingkungan (Environment Stress Theory)

Teori stress lingkungan pada dasarnya merupakan aplikasi teori stress


dalam lingkungan. Berdasarkan model input proses output, maka ada 3
pendekatan dalam stress, yaitu : stress bagi stressor, stress sebagai respon atau
reaksi, dan stress sebagai proses. Oleh karenanya, stress terdiri atas 3 komponen,
yaitu stressor, proses, dan respon. Stressor merupakan sumber atau stimulus yang
mengancam kesejahteraan seseorang, misalnya suara bising, panas atau kepadatan
tinggi. Respon stress adalah reaksi yang melibatkan komponen emosional,
pikiran, fisiologis dan perilaku. Proses merupakan proses transaksi antara stressor
dengan kapasitas dengan kapasitas diri. Oleh karenanya, istilah stress tidak hanya
merujuk pada sumber stress, respon terhadap sumber stress saja, tetapi keterikatan
antara ketiganya. Artinya, ada transaksi antara sumber stress dengan kapasitas diri
untuk menentukan reaksi stress. Jika sumber stress lebih besar daripada kapasitas
diri maka stress negatif akan muncul, sebaiknya sumber tekanan sama dengan
atau kurang sedikit dari kapasitas diri maka stress positif akan muncul. Dalam
kaitannnya dengan stress lingkungan, ada transaksi antara karakteristik
lingkungan dengan karakteristik individu yang menentukan apakah situasi yang
menekan tersebut menimbulkan stress atau tidak. Udara panas bagi sebagian
orang menurunkan kinerja, tetapi bagi orang lain yang terbiasa tinggal di daerah
gurun, udara panas tidak menghambat kinerja.

Fisher (1984) melakukan sintesa pendekatan stress fisiologis dari Hans


Selye dan pendekatan psikologi dari Lazarus, yang terlihat dalam bagan berikut
ini :

Ada tiga tahap stress dari Hans Selye, yaitu tahap reaksi tanda bahaya,
resistensi, dan tahap kelelahan. Tahap reaksi tanda bahaya adalah tahap dimana
tubuh secara otomatis menerima tanda bahaya yang disampaikan oleh indera.
Tubuh siap menerima ancaman atau menghindar terlihat dari otot menegang,
keringat keluar, sekresi adrenalin meningkat, jantung berdebar karena darah
dipompa lebih kuat sehingga tekanan darah meningkat. Tahap resistensi atau
proses stress. Proses stress tidak hanya bersifat otomatis hubungan antara stimulus
respon, tetapi dalam proses disini telah muncul peran-peran kognisi. Model
psikologis menekankan peran interpretasi dari stressor yaitu penilaian kognitif
apakah stimulus tersebut mengancam atau membahayakan. Proses penilaian
terdiri atas 2 yaitu : penilaian primer dan penilaian sekunder. Penilaian primer
merupakan evaluasi situasi apakah sebagai situasi yang mengancam,
membahayakan, ataukah menantang. Penilaian sekunder merupakan evaluasi
terhadap sumber daya yang dimiliki, baik dalam arti fisik, psikis, sosial, maupun
materi. Proses penilaian primer dan sekunder akan menentukan strategi coping
(Fisher 1984) dapat diklasifikasikan dalam direct action (pencarian informasi,
menarik diri, atau mencoba menghentikan stressor) atau bersifat palliatif yaitu
menggunakan pendekatan psikologis (meditasi, menilai ulang situasi dsb). Jika
respon coping ini tidak adekuat mengatasi stressor, padahal semua energi telah
dikerahkan maka orang akan masuk pada fase ketiga yaitu tahap kelelahan.
Tetapi, jika orang sukses, maka orang dikatakan mampu melakukan adaptasi.
Dalam psroses adaptasi tersebut memang mengeluarkan biaya dan sekaligus
memetik manfaat.
I.
1. Macam-Macam Sumber Stress Lingkungan

1.

1. Bencana Alam

Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba, merusak, berhenti, secara


tiba-tiba dan membutuhkan usaha yang besar untuk menanggulanginya.
Bencana alam meliputi hamper semua kejadian yang terjadi di alam semesta.
Tidak semuanya diakibatkan oleh perilaku manusia, namun akibatnya dapat
bertambah ataupun dikurangi dengan beberapa perilaku.

Definisi tentang bencana alam termasuk seluruh keadaan cuaca yang


ekstrim (panas, dingin, badai, tornado, dll). Gempa bumi, letusan gunung,
tanah longsor, longsoran salju, juga termasuk bencana alam, tetapi dapat juga
diakibatkan oleh pengolahan bumi oleh manusia.

Apabila komunitas rusak, kita menjadi tidak leluasa untuk betingkah


laku dan dapat menimbulkan reaksi yang negative. Semakin banyaknya
masalah yang dihadapi oleh individu, dapat mengakibatkan pikiran kita
menjadi pendek. Apabila individu makin tertekan, maka semakin kehilangan
kebebasan dan selalu menyendiri. Apabila bencana ini berlarut-larut, maka
individu tersebut akan minder yang mengakibatkan stress. Bencana masal
dapat membuat korban kehilangan semuanya, sehingga koban cenderung
berperilaku apatis, susah diatur dan emosional.

I.
1.

1.

1. Bencana Teknologi

Untuk memperluas pengetahuan kita terhadap lingkungan dan adaptasi


kita terhadap bahayanya telah dicapai melalui kemajuan teknologi.
Peningkatan kualitas hidup, perpanjangan hidup, penguasaan terhadap
penyakit, dan sejenisnya itu berdasarkan pada jaringan teknologi yang telah
kita ciptakan. Mesin-mesin, struktur dan hasil karya manusia yang lain yang
kita terapkan ke lingkungan tidak secara parallel dijamin bisa membantu.
Umumnya mesin menyelesaikan pekerjaan atas control manusia.
Bagaimanapun juga, jaringan ini bisa saja gagal, dan bisa saja aa yang salah
sebab itu, kita mengalami gangguan sebuah kota. Misalnya kebocoran bahan
kimia beracun dan pembuangan sampah, kebocoran bendungan dan jembatan
roboh.

I.
1.

1.
 Karakteristik Bencana Tekonolgi

Pada hal-hal tertentu, bencana teknologi menunjukkan ciri yang


sama dengan kerusakan alam. Bisa akut dan sangat tiba-tiba, seperti pada
sebuah kebocoran bendungan dan penggelapan. Kecelakaan teknologi ini
biasanya singkat dan efek buruknya pun terlalu cepat berlalu. Akan tetapi,
bencana teknologi yang lain itu kronis.

Bagi seseorang yang terkena efeknya, dampak terburuk tidak


langsung tampak dan tidak teridentifikasi dengan mudah, sebuah
keputusan tentang hal yang tidak jelas bisa menimbulkan banyak
persoalan.

Menariknya, bencana teknologi ini mungkin lebih mengancam


perasaan kita tentang control daripada hanya sebuah bencana alam. Hal ini
merupakan sebuah paradoks dimana bencana alam itu tidak bisa dikontrol
dan kita tidak pernah berpikir untuk mengendalikannya. Bencana-bencana
teknologi yang terjadi biasanya karena kurangnya control pada sesuatu
yang biasanya berjalan baik.

Hal ini mungkin saja terjadi jika kita teledor, hal ini juga untuk
menguji kemampuan kita mengontrol suatu kejadian di masa yang akan
dating. Kejadian ini sebenarnya tidak harus terjadi , karena mesin-mesin
yang diciptakan tidak didesain untuk melakukan kesalahan dan ada tanda-
tanda ketika terjadi sebuah kerusakan. Jadi, kecelakaan pada pembangkit
tenaga nuklir juga tidak harus terjadi, limbah beracun juga tidak
seharusnya bocor. Tapi hal ini ternyata terjadi , dan hal ini dapat menimpa
siapa saja. Mungkin kita juga sring berpikir dimana ledakan selanjutnya
akan terjadi?, pesawat mana yang akan bertabrakan?, Limbah mana yang
akan menyebar?, dan lainnya. Ketika pemikiran itu bersifat spekulatif, ini
menimbulkan tafsiran yang macam-macam mengenai bencana teknologi.
Kejadian ini dapat mengurangi keyakinan umum dan menimbulkan stress
(Davidson, Baum dan Collins, 1982).

1. Kebisingan

a. Definisi, Pengukuran dan Merasakan Suara

Definisi yang paling sederhana dari kebisingan adalah suara-suara


yang tidak diinginkan “unwanted sound”. Komponen penting dari konsep
kebisingan terdiri dari komponen psikologis dan fisik.

Pengukuran kebisingan melibatkan komponen fisik yang utama


meskipun pemaknaannya penting terhadap struktur dari skala
pengukurannya. Secara fisik, kebisingan muncul karena adanya perubahan
tekanan udara yang sangat cepat di gendang telinga. Karena molekul
tersebut ditekan secara bersamaan, tekanan positif muncul secara relative
sampai pada tekanan negative ketika molekul udara berpisah. Tekanan
alternative ini dapat digambarkan dalam grafik gelombang. Puncak
gelombang menunjukkan tekanan negative. Tekanan alternative inilah
yang mampu menggetarkan gendang telinga. Getaran tersebut dikirim ke
telinga bagian tengah dan telinga bagian dalam. Kemudian dilanjutkan
sampai ke otak, disana terjadilah proses persepsi dan interpretasi pada
stimulus suara karena pitch dan volumenya yang tinggi dan rendah.
Manusia normal dapat mendengar antara frekuensi 20 dan 20.000 Hz.
Namun kebanyakan suara yang kita dengar tidak hanya satu frekuensi saja,
melainkan frekuensinya bermacam-macam. Untuk ukuran tekanan
biasanya digunakan decibels (dB).
Kebisingan merupakan fenomena gangguan pada lingkungan
karena pengertiannya yang “tidak diinginkan”. Keyter (1970) dan Glass
dan Singer (1972) berpendapat bahwa beberapa jenis kebisinagn dapat
mengganggu yang lain. Ada tiga dimensi karakteristik kebisingan, yaitu
volume, prediksi, dan control perceived.

Suara yang tidak terkontrol juga lebih mengganggu daripada suara


yang terkontrol dengan mudah. Dari diskusi perspektif teoritis yang
terdahulu, suara yang tidak terkontrol lebih stressful, mengalihkan
perhatian, dan lebih sulit diadaptasi dibandingkan suara yang dapat
dikontrol. Berdasarkan pendekatan behavior, suara yang kekurangan
control dapat menyebabkan reaktansi psikologis dan adanya usaha untuk
memperoleh kembali kebebasan bertindak dengan mencoba menegaskan
pengontrolan.

Suara yang bising, tidak dapat diprediksi, dan tidak dapat dikontrol
mengakibatkan rusaknya perilaku. Meskipun ketiga factor tesebut
mungkin menjadi penyebab utama pengaruh kebisingan terhadap perilaku,
namun sebuah penelitian menyebutkan bahwa ada factor lain yang
mempengaruhi sejauhmana kebisingan tersebut mengganggu. Gangguan
meningkat bila:

• Seseorang merasa suara tersebut tidak penting


• Seseorang yang menghasilkan suara tersebut tidak peduli terhadap keselamatan
orang lain yang mendengarkan.
• Orang yang mendengar merasa bahwa suara tersebut berbahaya terhadap
kesehatan.
• Orang yang mendengarkan menganggap bahwa suara tersebut menakutkan.
• Orang yang mendengarkan suara tersebut merasa tidak puas terhadap aspek lain di
lingkungannya.

b. Sumber Kebisingan

1). Kebisingan transportasi


Kebisingan bersumber dari truk, kereta api, pesawat, dan jenis
alat transportasi lainnya. Kebisingan transportasi merupakan
permasalahan yang paling utama. Karakteristik kebisingan transportasi
antara lain : menyebar luas da sangat keras. Ini sangat jelas terlihat dari
level intensitas suaranya, seperti perkiraan intensitas suara di kawasan
bandara yaitu sekitar 75-85 dB.

2). Kebisingan di tempat kerja

Kebisingan yang terjadi ditempat kerja merupakan


permasalahan kedua setelah kebisingan transportasi.

c. Efek Psikologis dari Kebisingan

1). Kerusakan pendengaran

Meskipun suara yang sangat keras (150 dB) dapat


menyebabkan pecahnya gendang telinga ataupun merusak telinga
bagian lain, bahaya untuk pendengaran dari suara yang berlebihan
biasanya juga terjadi pada level intensitas suara yang lebih rendah (90-
120dB) karena kerusakan sementara dan kerusakan sementara dan
kerusakan sementara dan kerusakan permanen pada sel rambut halus di
koklea (rumah siput) telinga bagian dalam. Kerusakan pendengaran
secara umum dibagi kedalam dua jenis (Kyter, 1970) yaitu:

1. Temporary threshold shifts (TTS)

Dimana ambang normal akan kembali dalam 16 jam setelah


mendengar suara yang berbahaya bagi telinga.

1. Noise-induced permanent threshold shifts (NIPTS)

Dimana ambang normal akan kembali dalam satu bulan atau lebih
setelah penghentian suara yang berbahaya bagi telinga.

2). Kesehatan fisik


Kita meyakini bahwa suara dengan level intensitas yang tinggi
mengakibatkan peningatan stress dan ketegangan. Kita memperkirakan
bahwa penyakit yang berkaitan dengan stress (hipertensi dan
sebagainya) dapat meningkat karena adanya kebisingan.

Banyak ahli yang melakukan penelitian tentang hubungan


antara kebisingan dengan stress, namun hasilnya berbeda-beda. Karena
pada dasarnya sulit untuk menghubungkan kebisingan secara langsung
memberikan efek negative terhadap kesehatan fisik. Efek negative
kebisingan terhadap kesehatan terjadi bersama dengan stressor lain
(misalnya polusi industry, ketegangan karena pekerjaan, tekanan
ekonomi, dan sebagainya) atau hanya terbatas pada mereka yang
rentan terhadap gangguan psikologis (Cohen, 1977).

3). Kebisingan dan kesehatan mental

Kita meyakini bahwa suara dengan level intensitas yang tinggi


mengakibatkan peningkatan akitivitas psikologis. Saat stress menjadi
penyebab penyakit mental, kita dapat memperkirakan bahwa
kebisingan dapat dikaitkan dengan gangguan mental (Cohen, 1977;
Kryter, 1970). Banyak penelitian yang mengkaitkan antara kebisingan
dengan kesehatan mental. Sama seperti kesehatan fisik, kita harus
sementara menyimpulkan bahwa suara dengan intensitas tinggi
berkontribusi pada penyakit mental, itu dikaitkan dengan factor lain
yang mempercepat gangguan mental.

Cohen (1977) mengatakan bahwa penduduk diskitar area


kebisingan menyerah dan tidak protes karena merasa tidak akan
didengar oleh pemerintah.

d. Pengaruh Kebisingan Terhadap Performa

Penelitian laboratorium tentang pengaruh kebisingan terhadap


performa menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Secara singkat apakah
kebisingan mempengaruhi performa, menguntungkan ataupun tidak ,
tergantung pada jenis (dapat diprediksi atau tidak), dan intensitas suara,
batas toleransi stress, dan karakteristik kepribadian individu. Secara umum
data penelitian laboratorium menunjukkan bahwa dalam keadaan itu, suara
90-110 dB tidak memberikan pengaruh buruk terhadap performa mental.
Untuk menjelaskan apakah kebisingan mempengaruhi performa, maka kita
menggunakan pendekatan diskusi teoritis. Misalnya:

• Teori level adaptasi

Memprediksi variasi pada performa untuk tingkat kemampuan,


pengalaman dan stimilasi berbeda setiap individu.

• The Yerkes-Dodson Law dan Arousal Approach

Mengatakan bahwa suara atau kebisingan yang meningkat akan memfasilitasi


performa pada tugas yang sederhana.

• The Environmental Load Approach

Suara yang tidak dapat diprediksi dapat mengalihkan perhatian dan


mengganggu performa.

e. Kebisingan dan Perilaku Sosial

Dalam beberapa tahun terakhir ini, para peneliti mulai menyelidiki


dampak kebisingan terhadap perilaku sosial (Cohen & Weinstein, 1981).
Kebisingan akan mempengaruhi hubungan interpersonal, yaitu atraksi,
altruism dan agresi.

1). Kebisingan dan Atraksi

Jarak interpersonal merupakan salah satu indikasi dari


kebisingan dapat menurunkan atraksi. Oleh karena itu kita dapat
menyimpulkan bahwa kabisingan memperbesar jarak interpersonal.

1. Kebisingan dan Agresi Manusia


Pada penelitian suatu perilaku sosial, diperlihatkan bahwa
orang lebih tidak suka menolong dalam situasi kebisingan
dibandingkan dalam situasi tenang. Juga terdapat beberapa bukti
bahwa kebisingan dapat meningkatkan agresivitas (Geen & O’ Neal,
1969).

Penelitian ini dan penelitian-penelitian lainnya menunjukkan


bahwa kebisingan kadang-kadang dapat meningkatkan
perilakunagresif, tetapi hal ini hanya terjadi bila orang merasa tidak
mampu mengendalikan kebisingan tersebut dan bila mereka
mempunyai alasan tersendiri untuk marah. Dengan kata lain,
kebisingan bukan sebab langsung dari timbulnya agresi, tetapi dapat
memperkuat kecenderungan untuk agresif yang telah ada.

1. Kebisingan dan Perilaku Altruisme

Salah satu kesimpulannya adalah bahwa kebisingan dapat


mengurangi perhatian terhadap isyarat-isyarat sosial. Demikian juga
dalam suatu penilitian lapangan (Korte & Grant, 1980), pejalan kaki di
jalan yang ramai mempunyai kemungkinan yang lebih kecil untuk
memperhatikan objek yang tidak biasa di trotoar dibandingkan pejalan
kaki di jalan yang sepi. Dengan kata lain, kebisingan dapat
menyebabkan orang mempersempit fokus perhatiannya sehingga tidak
menangkap isyarat sosial di lingkungan.

Penelitian yang dilakukan oleh Page menghasilkan bahwa


orang yang mengalami suara yang simpel mungkin tidak
memberitahukan bahwa seseorang membutuhkan bantuan.
Bagaimanapun, suara menurunkan kemungkinan bahwa orang akan
merespon permintaan.

Alasan untuk menekan pengaruh dari suara gaduh dalam


tingkah laku membantu dalam diketahui dengan pasti, tapi kebanyakan
penjelasan masih Nampak pada perhatian yang sempit, dugaan dan
penjelasan berdasarkan mood.
Penelitian yang dilakukan oleh Sherrod dan Downs (1974)
menyatakan bahwa pengaruh kegaduhan dalam tingkah laku altruism
tergantung pada beberapa faktor, diantaranya merasakan control dari
suara, volume suara, dan karakteristik stimulus adari kebutuhan
seseorang akan bantuan.

1. Pulang Pergi Kerja (Commuting to Work)

Stokols dan Novaco (1981) mencatat besarnya biaya pulang pergi


kerja, dengan penekanan pada pulang pergi kerja dengan mobil. Diantara
masalah yang menyebabkan ketergantungan kita pada transportasi pribadi
untuk pulang pergi kerja adalah pemakaian energi yang berlebihan dan
kenyamanan yang diberikan. Masalah yang lain muncul menjadi pemicu dari
pulang pergi kerja dan pengaruhnya pada kesehatan fisik dan mental.

Stress pulang pergi kerja mempunyai beberapa sumber. Penelitian


telah menemukan bahwa kemacetan diasosiasikan sebagai pembangkit.
Kepadatan jalan yang tinggi dihubungkan dengan peningkatan laporan dari
penyakit dada dan pengukuran kecepatan jantung, tekanan darah,
ketidakteraturan denyut jantung, dan kulit. (Aronow et al, 1972; Michaels,
1962;Stokols et al, 1978; Taggart, Gibbons & Somerville, 1969).

Penelitian menyatakan bahwa rute pulang pergi kerja yang ruwet dapat
menyebabkan tekanan darah yang tinggi dan detak jantung yang cepat (Littler,
Honour, & Sleight, 1973). Stress pulang pergi kerja juga dipengaruhi suhu,
suara, kelembaban, dan polusi udara (Stokols & Novaco, 1981).

Tingginya gangguan pulang pergi kerja lebih sulit dan maka dari itu
mungkin lebih menyebabkan stress. Bukti-bukti menyebutkan bahwa pulang
pergi kerja dapat menyebabkan stress, tapi luasnya pengalaman stress
tergantung pada sejumlah faktor. Stressor yang lain dan karakteristik sumber
juga penting. Design jalan, jumlah kepadatan, kompleksnya jalan, dan kondisi
semua aspek dari lingkungan pulang pergi kerja yang mempengaruhi stress.
Dalam hal ini, faktor individu seperti gaya coping sangat penting, dan respon
yang berbeda-beda terhadap kondisi pulang pergi kerja.
Penanggulangan

Menurut psikolog Dharmayati Utoyo Lubis PhD, ada 3 upaya pencegahan


yaitu primary prevention, secondary prevention, dan tertiary prevention.

• Primary prevention adalah tindakan yang dilakukan untuk menghindari dampak


buruk dari lingkungan, sebelum dampak tersebut menimpa manusia. Tindakan
primer ini bahkan sudah dapat dimulai sebelum manusia itu lahir. Contohnya,
mencegah kriminalitas terhadap individu yang pulang kerja malam, perusahaan
mengusahakan bus khusus yang mengantar pulang.

• Secondary prevention, tindakan yang diambil adalah untuk mengidentifikasi dan


menanggulangi dampak lingkungan di awal perkembangan. Tujuannya,
menghentikan atau merubah dampak buruk menjadi lebih baik. Sebagai contoh,
ketika suatu daerah sudah terjangkit demam berdarah maka upaya yang dilakukan
agar jumlah korban tidak bertambah banyak yiatu dengan cara pengasapan
(fogging).

• Tertiary prevention merupakan tindakan pencegahan sehingga kerusakan akibat


dampak lingkungan tidak meluas. Termasuk di dalamnya adalah tindakan untuk
mencegah kecacatan, dan merehabilitasi mereka yang sudah terkena dampak
lingkungan. Contoh kasusnya, pemakai narkoba yang baru mengalami
detoksifikasi dianjurkan menjalani program after-care, sehingga mereka
memperoleh ketahanan psikis untuk tidak memakai lagi.

Sebenarnya, tindakan penanggulangan dampak lingkungan tak lepas dari


dukungan sosial, sense of personal control atau perasaan bahwa individu dapat
mengambil keputusan dengan melakukan action yang efektif, keyakinan diri,
kepribadian yang ulet, serta pola kepribadian A atau B (laki-laki lebih reaktif terhadap
stress lingkungan daripada perempuan).

Berbagai strategi coping untuk menanggulangi stress termasuk stress akibat


dampak lingkungan adalah pemecahan masalah secara terencana, coping konfrontatif,
mencari dukungan sosial, mengambil jarak, lari atau menghindar, kontrol diri,
menerima tanggungjawab, penilaian kembali yang positif.
Najlah Naqiyah, juga memberikan beberapa solusi mengenai cara
penanggulangan stress untuk korban pasca banjir di Jakarta, antara lain :

• Mencari tahu sebab yang menimbulkan stress bagi pengungsi. Jika menilik
penyebab stress pengungsi karena rasa lapar, maka perlu memberikan makan dan
minum. Jika stress pengungsi karena sakit, maka perlu menyediakan obat-obatan.
Jika stress mereka karena kurangnya air bersih untuk kebutuhan mandi, masak,
buang air, serta mencuci maka perlu menyediakan sarana air bersih yang cukup.
Pemerintah berkewajuban menyediakan sarana yang dibutuhkan oleh pengungsi.
Pemerintah wajib menyediakan fasilitas bagi pengungsi untuk memperoleh
penghidupan yang layak. Tugas pemerintah menyiapkan sarana air bersih, makan
dan minum serta obat-obatan bagi pengungsi. Masyarakat miskin yang mengungsi
perlu menggunakan fasilitas tersebut untuk keselamatan hidup mereka. Jika
pemerintah abai menyediakan sarana kesehatan dan sanitasi air bersih, maka
pengungsi akan menderita dan terancam penyakit akibat banjir. Pemerintah
selayaknya berusaha keras menyediakan kebutuhan para pengungsi dengan cepat,
untuk meringankan beban hidup mereka yang kesusahan.

• Jika pengungsi ketakutan dan khawatir kehilangan harta yang ditinggalkan di


rumah mereka, maka perlu menyediakan jaminan keamanan bagi rumah mereka.
Pemerintah perlu menjamin adanya rasa aman atas tempat tinggal para pengungsi
yang terendam banjir. Bagaimanapun, para pengungsi khawatir dan takut
meninggalkan rumah dan harta benda mereka. Ketakutan yang berlebihan
menimbulkan rasa stress takut kehilangan barang-barang milik mereka. Untuk itu,
pemerintah perlu bersikap tegas mengerahkan aparat keamanan menjaga rumah-
rumah yang ditinggal mengungsi. Koordinasi pemerintah dengan pihak kepolisian
dan TNI perlu intensif. Jaminan rasa aman, akan mengurangi rasa was-was para
pengungsi. Pengungsi lebih tenang apabila harta benda mereka mendapatkan
kepastian rasa aman dari penjarahan.

• Solidaritas para tokoh agama, tokoh masyarakat, para artis membantu korban
banjir perlu ditingkatkan. Tokoh agama sebagai pusat pengaduan masyarakat
miskin. Secara sosial, tokoh agama lebih dekat dengan keseharian ummat. Peran
masjid, gereja, sekolah keagamaan, pesantresn menjadi alternative masyarakat
sebagai tempat mengungsi yang aman. Dengan bahu membahu dan tolong
menolong secara lintas agama, akan lebih mudah dan cepat menyalurkan bantuan
bagi para pengungsi.

Memberikan yang terbaik bagi para pengungsi dengan segenap kemampuan


yang kita miliki akan mengobati stress pengungsi. Mendampingi pengungsi saat kritis
dan membutuhkan bantuan akan membantu mengurangi beban mereka. Cara yang
ditempuh melalui kerjasama aparatur pemerintah, para tokoh agama, artis dan
pengusaha, membantu kebutuhan pengungsi. Semoga pengungsi tertangani dengan
baik.

BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stress merupakan suatu


proses dengan kejadian lingkungan yang mengancam atau hilangnya kesejahteraan
organisme yang menimbulkan beberapa respons dari organisme tersebut. Kejadian-
kejadian lingkungan yang menyebabkan proses ini disebut sebagai sumber stresss
(stressor), sedangkan reaksi yang timbul karena adanya stressor disebut respons dari
stress (stress response).

Ada tiga bagian dari stress, pertama, karakteristik dari sumber-sumber stress
(characteristics of stressors). Kedua, penilaian terhadap sumber-sumber stress
(appraisal of stressors). Ketiga, respons terhadap stress yang terjadi (stress response).
Macam-macam sumber stress antara lain bencana alam, bencana teknologi,
kebisingan dan commuting to work.

Menurut psikolog Dharmayati Utoyo Lubis PhD, ada 3 upaya pencegahan


yaitu primary prevention, secondary prevention, dan tertiary prevention. Primary
prevention adalah tindakan yang dilakukan untuk menghindari dampak buruk dari
lingkungan, sebelum dampak tersebut menimpa manusia. Secondary prevention,
tindakan yang diambil adalah untuk mengidentifikasi dan menanggulangi dampak
lingkungan di awal perkembangan. Tertiary prevention merupakan tindakan
pencegahan sehingga kerusakan akibat dampak lingkungan tidak meluas. Termasuk
di dalamnya adalah tindakan untuk mencegah kecacatan, dan merehabilitasi mereka
yang sudah terkena dampak lingkungan.

1. SARAN

Lingkungan sangat mempengaruhi tingkah laku dan pola pikir manusia.


Dalam kehidupannya, manusia selalu berinteraksi dan tergantung dengan lingkungan.
Keadaan lingkungan yang kondusif akan membuat manusia nyaman dan selalu dalam
keadaan homeostasis. Namun, lingkungan terkadang memberikan efek negatif pada
manusia yang dapat menyebabkan stress. Stress tidak dapat dihindarkan. Namun
demikian, dengan memahami stressor dan stress itu sendiri, kita dapat meminimalkan
stress yang tidak diperlukan, dan membuat diri kita lebih sehat , baik secara fisik ,
maupun mental. Untuk itulah kita perlu belajar untuk hidup bersama dengan stress.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan manusia untuk meminimalisasikan munculnya
stress antara lain dengan beristirahat cukup, berolahraga teratur, rekreasi, menjaga
menu dan pola makan. Namun, apabila telah terjadi stress, maka dapat ditanggulangi
dengan cara coping yaitu dengan coping masalah dan coping emosi.

KASUS

Berebut Air di Sendang Senjoyo


Sadi Martono (54), petani Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa
Tengah, masih belum pulih benar dari kekagetannya. Meski beberapa kali kesulitan air saat
kemarau, baru tahun ini dia sampai menyaksikan serombongan petani dari desa lain nekat
membawa godam dan palu, berniat membobol pintu air. Aliran air dari Sendang Senjoyo sudah
dianggap tidak lagi terbagi adil.
Percekcokan berlangsung sengit antarpetani dari Tingkir Lor dan Kalibening (Salatiga) dengan
Tingkir Tengah (Salatiga), serta sejumlah desa di Kecamatan Suruh (Kabupaten Semarang).
Pasalnya, awal Agustus lalu, petani dari Kalibening berniat menjebol pintu air Aji Awur di Desa
Tegalwaton.
Pintu air itu berfungsi mengatur aliran air dari Bendung Senjoyo ke arah timur, yaitu ke Tingkir
Tengah dan sejumlah kelurahan di Kecamatan Suruh, serta arah utara menuju Tingkir Lor dan
Kalibening.
Kondisi ketika itu sempat memanas. Kedua kubu saling menuding pihak lain mencurangi
pembagian air karena merasa aliran air yang menuju lahan mereka terlalu sedikit. Beruntung,
konflik berhasil diredam. Mereka berembuk bersama kepala desa setempat dan sepakat
pembagian air dilakukan setiap tiga hari.
”Sekarang sudah lebih baik. Setiap petani sudah bergantian mendatangi pintu air setiap pukul
15.00. Tahun-tahun terakhir air memang semakin sulit,” kata Sadi Martono, Senin (8/9).
Aliran air Sendang Senjoyo yang berada di Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, mengalir
melalui tiga bendungan: Isep-isep, Watukodok, dan Senjoyo. Mata air ini juga dimanfaatkan oleh
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Salatiga, PDAM Kabupaten Semarang, PT
Damatex, dan Yonif 411 Salatiga.
Jauh sebelumnya, air Sendang Senjoyo begitu melimpah. Kebutuhan air bagi petani untuk
mengairi sawah dan keperluan sehari-hari penduduk sekitar sangat mencukupi.
Namun, persoalan timbul ketika debit airnya terus turun hingga semakin parah 2-3 tahun terakhir.
Hal ini memicu konflik horizontal antarpetani karena kebutuhan air mereka tetap, tetapi alirannya
semakin sedikit. Terlebih lagi mereka harus berbagi dengan perusahaan-perusahaan yang
memasang pipa ke mata air.
”Petani sering mengadu kesulitan air kepada saya. Perebutan air masih terjadi antarpetani
karena itu yang paling tampak. Mereka mau marah kepada orang-orang ’atas’ ya enggak berani,”
kata Kepala Desa Tegalwaton Agus Suranta.
Data di Ranting Pengairan Kecamatan Tengaran, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Semarang,
menunjukkan, pada tahun 1995 debit air Sendang Senjoyo saat kemarau masih mencapai 1.115
liter per detik. Akan tetapi, kini hanya berkisar 838 liter per detik, padahal kebutuhan air petani
relatif tetap karena alih fungsi lahan di daerah ini tak terlalu pesat.
Dari debit air yang tersisa rata-rata 838 liter per detik, sebanyak 358 liter per detik harus
direlakan petani untuk diambil pengguna besar. PDAM Kota Salatiga menyedot 278,5 liter per
detik, PDAM Kabupaten Semarang 11,8 liter per detik, PT Damatex dan Timatex 53 liter per
detik, dan Yonif 411 Salatiga 11,8 liter per detik.
Menurut Kepala Ranting Pengairan Kecamatan Tengaran Dalwandi, penurunan debit ini
disebabkan oleh pengambilan air dalam skala besar secara terus-menerus oleh sejumlah
pemakai besar. Kondisi ini diperparah dengan pengambilan air bawah tanah menggunakan
sumur bor oleh sejumlah industri yang berada tak jauh dari Senjoyo.
Ironisnya, pengurasan sumber air itu tidak diimbangi dengan konservasi air, baik di hutan sekitar
Sendang Senjoyo maupun Lereng Merbabu yang menjadi daerah tangkapan air. ”Kami pernah
mengajak PDAM Salatiga yang menjadi pengguna terbesar ikut berpartisipasi, tetapi kurang
mendapat tanggapan. Begitu juga saat kami meminta pengurangan pengambilan air,” kata
Dalwandi.
Sekretaris Daerah Kota Salatiga yang juga Badan Pengawas PDAM Kota Salatiga Sri Sejati
mengakui bahwa Senjoyo masih menjadi salah satu sumber utama pengambilan air. Namun,
PDAM Salatiga juga masih mencoba mencari sumber air selain Senjoyo. ”Kalau untuk
konservasi, akan kami coba bahas lebih jauh,” kata Sri Sejati.
Kasus Umbul Wadon
Persoalan serupa dihadapi masyarakat pada empat kecamatan di Daerah Istimewa Yogyakarta
yang menggantungkan hidup dari keberadaan sumber mata air Umbul Wadon di hulu Sungai
Kuning. Jika 20 tahun lampau mereka bisa dengan mudah memperoleh air yang melimpah, kini
justru sebaliknya.
Sekarang ketersediaan air sangat terbatas. Air memang masih mengalir dari Umbul Wadon.
Namun, sejak beberapa tahun terakhir para petani di Kecamatan Cangkringan, Ngemplak,
Ngaglik, dan Pakem kian kesulitan mendapatkan air untuk ”membasahi” sawah-sawah mereka.
Kebetulan atau tidak, salah satu sumber berkurangnya pasokan air melalui Sungai Kuning
tersebut akibat Umbul Wadon juga dimanfaatkan oleh tiga perusahaan air minum untuk
masyarakat di Sleman dan sebagian Kota Yogyakarta. Ketiga perusahaan dimaksud adalah Tirta
Dharma Sleman, Tirta Marta Kota Yogyakarta, dan Arga Jasa.
Dampaknya memang tidak dirasakan langsung oleh masyarakat yang tinggal di sekitar Umbul
Wadon atau yang mengonsumsi air setiap hari, tetapi oleh petani di daerah hilir. Mereka
merasakan volume air yang masuk ke sawah tidak sebanyak dulu lagi.
Tahun ini, misalnya, puluhan petak sawah kecil-kecil di Dusun Grogolan, Kecamatan
Umbulmartani, yang lokasinya lebih rendah (mirip terasering) dan dekat dengan Kali Kuning pun
meranggas. Bahkan, ada beberapa petak tanaman padi yang dibiarkan kering begitu saja tanpa
dipanen.
”Sawah-sawah itu dulunya selalu basah, termasuk saat kemarau. Bahkan, bisa dikatakan jenis
tanahnya gembur, seperti lumpur,” ujar Sudiharjo (60), petani dari Dusun Grogolan.
Notowiharjo (72), petani yang lain, menuturkan bahwa mereka masih harus mengeluarkan uang
untuk mendapatkan air. Masyarakat menyebut uang itu bukan sebagai ”bayaran”, melainkan
lebih pada istilah ”biaya mengisi administrasi”.
Uang itu diberikan kepada penjaga pintu air atau dam di daerah hulu. Penjaga air itulah yang
nantinya mengalirkan air ke saluran atau parit menuju lahan milik petani. Cara seperti ini
berlangsung sekali dalam sepekan dan bergantian dengan petani di daerah lain.
Di Kali Kuning terdapat banyak dam. Dari Umbul Wadon hingga Dusun Grogolan, yang berjarak
lebih dari 6 kilometer, misalnya, terdapat 18 dam berukuran kecil atau biasa dikenal masyarakat
sekitar dengan embung. Menurut petani, embung-embung ini sengaja dibangun untuk
mengendalikan aliran air.
”Uang yang harus dibayar mencapai Rp 50.000. Air akan mengalir selama 12 jam, mulai dari
petang hingga pagi. Air itu akan dipakai bersama-sama oleh petani yang menempati bulak
tertentu,” kata Notowiharjo.
Menyusutnya air saat kemarau jelas berpengaruh terhadap produksi. Lahan milik Sudiharjo,
misalnya, saat airnya melimpah bisa menghasilkan 7 kuintal padi kering, sedangkan saat ini
hanya 3 kuintal karena sebagian di antaranya terserang hama.
Data dari Dinas Pengairan Pertambangan dan Penanggulangan Bencana Alam (P3BA)
Kabupaten Sleman menunjukkan, debit air yang masuk ke PDAM Tirta Dharma saat ini mencapai
81 liter per detik, Tirta Martha 75,8 liter, dan Arga Jasa 15 liter per detik.
Kepala P3BA Sleman Widi Sutikno membenarkan debit air Umbul Wadon memang berkurang,
terutama saat kemarau. Dalam pengukuran terakhir, debit air hanya 349,7 liter per detik. Adapun
pengukuran satu bulan sebelumnya masih 376 liter per detik.
PDAM Tirta Dharma Sleman membantah tudingan bahwa mereka berusaha memperbesar debit
air yang masuk ke wilayahnya. Kepala Pengawas Internal PDAM Tirta Dharma Sleman Dwi
Nurwata mengatakan, sejak awal debit air tidak berubah, tetap 80 liter per detik.
Saat ini PDAM Tirta Dharma memperoleh air dari dua mata air, yakni Umbul Wadon dan Tuk
Dandang di Pendowoharjo. Selain itu, mereka juga mengandalkan 17 sumur dangkal dan 15
sumur dalam.
Selama ini pemakaian Umbul Wadon secara bersama-sama bukan tidak menimbulkan konflik.
Tahun 2004 lalu, misalnya, ratusan warga lereng Merapi berusaha meminta kembali pasokan air
minum dan irigasi yang dihentikan pihak tertentu. Mereka juga meminta penghitungan ulang
pemanfaatan air yang ada.
Kini, untuk melindungi sumber-sumber air itu, pemerintah daerah tengah mencoba melakukan
konservasi di sekitar Merapi. Selain penghijauan, mereka juga berupaya memperbanyak dam.
Namun, masyarakat tak bisa lagi menunggu terlalu lama. (Sumber: Kompas, 9 September 2008).
PEMBAHASAN KASUS

Stres lingkungan yang ditimbulkan kasus di atas merupakan stres lingkungan


karena bencana alam berupa kekeringan yang melanda beberapa daerah seperti
disebutkan pada kasus di atas. Menurut teori stres lingkungan, ada dua elemen dasar yang
menyebabkan manusia bertingkah laku terhadap lingkungannya. Elemen pertama adalah
stressor dan elemen kedua adalah stress itu sendiri. Stressor adalah elemen lingkungan
(stimuli) yang merangsang individu. Stres (ketegangan, tekanan jiwa) adalah hubungan
antara stressor dengan reaksi yang ditimbulkan dalam diri individu.

Dalam kasus di atas yang menjadi stressor adalah kekeringan. Akibat dari
kekeringan yang panjang, debit air di Sendang Senjoyo menurun. Hal ini menimbulkan
stres bagi para petani yang mengairi sawahnya dengan air dari Sendang Senjoyo karena
sawah mereka terancam kering. Kondisi stres yang berat menimbulkan reaksi dari para
petani yang berupa tindakan anarkis. Mereka nekat membawa godam dan palu, berniat
membobol pintu air. Bahkan sempat terjadi percekcokan antar petani. Aliran air dari
Sendang Senjoyo sudah dianggap tidak lagi terbagi adil menurut mereka. Mereka
menyalahkan pengelola debit yang dianggap tidak adil dalam pembagian air. Padahal
kenyataannya, debit air Sendang Senjoyo memang menurun karena kemarau. Karena
dipengaruhi oleh keadaan stres yang berat, para petani tidak lagi dapat membendung
amarahnya dan berpikir rasional.

Menurut teori kelebihan beban (Environmental Load Theory) yang dikemukakan


oleh Cohen (1977) dan Milgram (1970) bahwa manusia mempunyai keterbatasan dalam
mengolah stimulus dari lingkungannya. Jika stimulus lebih besar dari kapasitas
pengolahan informasi maka terjadilah kelebihan beban (overload) yang mengakibatkan
sejumlah stimuli harus diabaikan agar individu dapat memusatkan perhatiannya pada
stimuli tertentu saja. Kalau kelebihan kapasitas ini terlalu besar sehingga individu sama
sekali tidak mampu lagi menangani dalam kognisinya maka individu itu bisa mengalami
berbagai gangguan kejiwaan seperti merasa tertekan, bosan, dan tidak berdaya.

Musim kemarau yang panjang menyebabkan kekeringan di berbagai daerah di


Semarang. Sebagai akibatnya debit Sendang Senjoyo yang selama ini menjadi sumber
irigasi bagi petani-petani di beberapa daerah seperti Semarang dan Salatiga menurun.
Para petani jadi kesulitan mengairi sawahnya. Petani jadi terancam gagal panen karena
hal tersebut. Pikiran-pikiran semacam itu membayangi petani dan menjadi stimulus bagi
petani yang menimbulkan stres. Para petani mendapatkan stimulus semacam ini secara
terus menerus beberapa tahun terakhir sejak debit mulai turun. Stimulus ini melebihi
kapasitas pengolahan informasi sehingga terjadilah overload. Karena sudah diluar batas
maka para petani menjadi tertekan, bingung dan amarah sudah tidak dapat lagi
dibendung. Akibatnya, para petani nekat ingin membobol pintu air.

Menurut Teori Kendala Tingkah Laku (The Behavior Constraint Theory) yang
dikemukakan oleh Bhrem, bahwa jika manusia mendapat hambatan terhadap
kebebasannya untuk melakukan sesuatu ia akan berusaha memperoleh kebebasannya
kembali. Reaksi ini disebut psychological reactance.

Seperti pada kasus di atas para petani merasa kebebasannya bertani terhambat
karena kurangnya air untuk mengairi sawah. Mereka berpikir ada ketidakadilan dalam
pembagian jatah air dan sebagai reaksinya (psychological reactance )mereka berusaha
untuk mendapatkan keadilan, tetapi dengan cara yang salah, yaitu ingin membobol pintu
air. Hal ini juga dikarenakan cara berpikir para petani yang berebut air yang linier.
Mereka menganggap sawah kekurangan air karena ada ketidakadilan dalam pembagian
jatah air sehingga reaksi mereka mendatangi Sendang Senjoyo untuk membobol air.
Menurut teori cara berpikir yang dikemukakan oleh H.L. Leff bahwa ada dua macam cara
orang berpikir dalam menanggapi rangsang dari lingkungan. Pertama adalah cara berpikir
linier dan cara berpikir sistem. Perbedaan cara berpikir ini menyebabkan perbedaan
dalam reaksi terhadap lingkungan. Jika para petani berpikir sistem pasti reaksinya pun
akan berbeda. Jika mereka berpikir dengan cara berpikir sistem, mereka akan melihat
kesulitan air karena musim kemarau, karena penggunaan oleh banyak pihak, dan bukan
semata-mata karena ketidakadilan pengelola Sendang. Maka reaksi yang timbul pun
bukan reaksi anrkis seperti pada kasus di atas.

Dapat disimpulkan bahwa reaksi dari para petani yang cukup anarkis dengan
ingin membobol pintu air disebabkan beban stres yang berat dan melebihi batas karena
kekurangan air dan kemungkinan gagal panen yang berdampak pada kerugian.

Solusi untuk kasus di atas adalah dari semua pihak yang menggunakan Sendang
Senjoyo untuk keperluan masing-masing harus bertemu dan berkumpul untuk
membicarakan masalah ini. Pertama dari pihak pengelola menerangkan bahwa debit ais
Sendang Senjoyo memang mengalami penurunan beberapa tahun terakhir dengan
menjelaskan sebab-sebabnya agar kesalahpahaman dapat terhindarkan. Kemudian dari
pihak yang menggunakan air Sendang Senjoyo dalam jumlah besar harus mengusahakan
memiliki alternatif sumber lain agar tidak sepenuhnya mengambil dari Sendang Senjoyo.
Dari semua pihak diharapkan mau bekerjasama untuk membangun konservasi air di hutan
dekat Sendang Senjoyo agar pengurasan air dalam skala besar ini tidak lagi menurunkan
debit air karena diimbangi dengan adanya konservasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ciremai, anak. 2008. Makalah Pendidikan Tentang Pengaruh Keterlibatan Orang Tua
Terhadap Minat Membaca Anak Ditinjau dari Pendekatan Stress Lingkungan.
Diakses pada : Jum’at, 10 oktober 2008.
http://anakciremai.blogspot.com/2008/08/makalah-ilmu-pendidikan-tentang-
c.html
Dial, 2008. Fenomena Hunian pada Masyarakat Kota. Diakses pada : Minggu, 12
Oktober 2008. http://de-arch.blogspot.com/2008/09/fenomena-hunian-
padamasyarakat-kota.html

Fadilla, Avin. 1999. Beberapa Teori Psikologi Lingkungan. Diakses pada : Minggu, 12
Oktober 2008. http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/hidupdikota_ avin.pdf

Komunitas Semarang. 2007. Masalah kemacetan Kota Semarang. Diakses pada : Minggu,
12 Oktober 2008. http://tarnus6.wordpress.com/2008/07/01/konsep-kotadalam-
kota-di-kota-semarang/

Sarwono, Sarlito W. 1995. Psikologi Lingkungan. Yogyakarta: PT Grasindo.

Soendjojo, RahmithA.—-. Tergilas Stress in the city. Diakses pada : Minggu, 12 Oktober
2008. http://www.tabloidnakita.com/artikel2.php3/edisi=07319&rubrik=topas

Tahrir, Hizbut. 2008. Depresi Sosial : Gejala dan Akar Penyebabnya. Diakses pada :
Minggu, 12 Oktober 2008. http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/03/depresi-sosial-
gejala-dan-akar-penyebabnya/

Anda mungkin juga menyukai