Anda di halaman 1dari 15

IX

KONSEP INSÂN KÂMIL


       
 
      
Wahai nafsu muthmainnah (=jiwa yang tenang). Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas (=nafsu rodhiyah) lagi diridhoi-Nya
(=nafsu mardhiyah). Maka masuklah ke dalam (jama'ah) hamba-hamba-Ku
(=nafsu kâmilah); dan masuklah ke dalam surga-Ku.(Qs. 89/Al-Fajr: 27-30)

Insan Kamil adalah manusia sempurna. Ibn `Araby Insan Kamil adalah satu-satunya alternatif
bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke dalam surgaNya. Jika tidak
menjadi Insan Kamil maka manusia akan menjadi monster (syetan) tapi tubuhnya manusia (Michel
Chodkiewicz, 1999).
Penulis menyusun disertasi dengan judul Konsep Insan Kamil dan Implikasinya dalam
Pendidikan Umum di Pondok Sufi Pomosda (Program Studi Pendidikan Umum Sekolah Pascasarjana
UPI, 2010). Pondok Sufi saat penelitian disertasi dilakukan dipimpin oleh seorang Guru Mursyid
Tarekat Syaththariah (lebih dikenal dengan Guru Wasithah), KH Muhammad Munawwar Affandi
(Wasithah ke-48). Beliau meninggal dunia pada 17 Ramadhan 1433 Hijriyah (6 Agustus 2012). Guru
Wasithah dilanjutkan oleh Kyai Muhammad Anwar Muttaqin (Wasithah ke-49), yang sudah ditunjuk
oleh Gurunya Guru Wasithah (Wasithah ke-47) jauh hari beliau lahir ke dunia (tahun 1967, padahal
beliau lahir tahun 1982). Calon Guru Wasithah ini telah di-gulawentah (dididik secara khusus dan
sempurna) oleh Guru Washithah ke-48 sejak beliau berusia 14 tahun hingga berusia 30 tahun (1996-
2012). Bab ini diambil dari disertasi penulis terutama pada halaman 186-208.

A. MANUSIA DAN UNSUR-UNSURNYA


Teori paling fundamental untuk Pendidikan Umum/Nilai sebenarnya adalah konsep kepribadian
utuh, yang secara Islami lebih tepat disebut konsep insân kâmil (manusia sempurna). Apa dan siapa
manusia sempurna itu, kemudian bagaimana mengembangkan kepribadian utuh, kedua persoalan ini
harus mendapatkan jawaban yang tuntas dan memuaskan.
Dalam Portofolio Program Pendidikan Umum Sekolah Pascasarjana UPI (2001: 6) disebutkan,
bahwa yang dimaksud dengan Program Pendidikan Umum adalah program pendidikan yang berupaya
mengembangkan kepribadian peserta didik secara utuh, sehingga mereka dapat hidup sebagai warga
negarayang sehat jasmani, nafsani, dan ruhaninya, serta memiliki kemampuan intelektual, moral, dan
emosional yang prima.
Dalam Portofolio tersebut ada dua persoalan mendasar yang perlu mendapat jawaban secara
teoritis, yakni: (a) apa yang dimaksud dengan ‘kepribadian utuh’, dan (b) bagaimana mengembangkan
‘kepribadian utuh’.
Definisi pendidikan umum dalam portofolio ini secara tersirat mengungkapkan adanya tiga
unsur manusia, yakni: jasmani, nafsani, dan ruhani; atau raga, jiwa, dan rûh. Dengan demikian
kepribadian utuh berdasarkan portofolio di atas adalah pribadi yang sehat jasmaninya, nafsaninya, dan
Ruhaninya. Jika sudah diperoleh jawaban tentang unsur manusia atau kepribadian utuh, baru
kemudian dapat dicari implementasinya untuk mengembangkan kepribadian yang utuh itu. Masih
berdasarkan portofolio di atas, bahwa untuk mengembangkan manusia utuh adalah dengan jalan
mengembangkan kemampuan intelektual, moral, dan emosional yang prima.Sufisme Syaththariah
memiliki konsep khusus tentang unsur-unsur manusia. Bagaimanakah konsep insân kâmil (manusia
sempurna), menurut Sufisme Syaththariah?
Telaah atas unsur-unsur manusia diperlukan untuk mengetahui hakekat atau jatidiri manusia.
Rahmat (2010: 170-180) dalam disertasinya mengungkapkan, bahwa perspektif Sufisme Syaththariah
manusia terdiri dari 4 unsur, yakni: raga [jasmani], hati [qolbu], ruh, dan rasa [sirr atau dzauq]
(Affandi, 2002: 19-25). Adanya unsur raga tidak perlu menunjukkan bukti, karena masing-masing
manusia menyadarinya. Adanya unsur hati dibuktikan dengan adanya cinta dan benci; adanya ruh
dibuktikan dengan keluar-masuknya nafas sehingga ada kehidupan; dan adanya unsur rasa (sirr,
dzauq) dibuktikan dengan dirasakannya segala sesuatu oleh manusia, yang ujung-ujungnya adalah
rasa bahagia dan sengsara, susah dan senang.
Uraian keempat unsur manusia dijelaskan oleh Affandi (2002: 19-25), juga Rahmat (2010: 170-
180) sebagai berikut:
a. Pertama, jasad. Keberadaannya di dunia dibatasi dengan umur. Wujud nafsu manusia tidak lain
adalah wujudnya jasad yang dijadikan Allâh, sengaja, hendak diuji. Karena wujud jasad ini sebagai
ujian, maka oleh Allâh diberi hati (yakni hati sanubari, sebagai kebalikan dari hati nurani) yang
wataknya persis seperti iblis, yakni abâ wastakbara(sombong, takabur) dan anâ khoerun
minhu(aku lebih baik daripada khalifahNya); enggan, acuh, tidak peduli pada kebenaran Al-
HaqNya. Wataknya melampaui batas karena memandang dirinya serba cukup (Innal insâna
layatghô, ar-ro`âhustaghnâ). Jadi sejiwa dengan nafsu yang perbuatan-nya yajrî ilassû`i (selalu
mengajak kepada keburukan, yang tidak sejalan dengan Kehendak Tuhan; sifatnya lâ ya`rifullah
(tidak mengetahui Allâh); sama sekali tidak mengerti dengan KehendakNya; dzâtnya yamna`u
minallâh (membantah Allâh).

b. Kedua,hatinurani. Letaknya tepat di tengah-tengah dada. Tandanya deg-deg. Disebut juga dengan
hati jantung. Hati ini adalah wujud lembut yang dibangsakan gaib karena sama-sama tidak bisa
dilihat oleh mata kepala, tetetapi bukan Al-Ghaib; bukan DiriNya Zat Tuhan Yang Ghaib. Qs.
33/Al Ahzab ayat 4 menerangkan bahwa Allâh tidak menjadikan dua hati dalam rongga dada
seseorang: mâ ja`alallâhu li rojulin min qolbaini fî jaufihi (Dia sama sekali tidak menjadikan
bagi seseorang dua hati dalam rongga dadanya). Maksudnya, dalam diri seseorang terdapat dua
hati, tetapi yang berfungsi hanyalah salah satu di antara keduanya, yakni hatinurani atau
hatisanubari. Hatinurani dijadikan Allâh dari cahaya, wataknya seperti para MalaikatNya yang
rela patuh dan tunduk diperintah untuk sujud kepada wakilNya di bumi; memberlakukan dirinya
kal mayyiti baina yadil ghosili (seperti mayat di tangan orang yang memandikannya).
Adapun hatisanubari (letaknya di bawah susu kiri kira-kira dua jari, serupa daging sak
kiwir dengan bentuk daun semanggi dibelah dua), markas besarnya nafsu amarah dan nafsu
lawwamah (wataknya kasar dan ingkar). Nafsu amarahwataknya senang berlebihan, royal,
angah-angah, hura-hura, jor-joran, serakah, dengki, dendam, iri, membenci, tidak tahu kewajiban,
sombong, tinggi hati, senang memperturutkan syahwat, suka marah-marah, dan akhirnya gelap
tidak mengetahui Tuhannya; sedangkan nafsu lawwamahwataknya enggan, acuh, senang memuji
diri, pamer, senang mencari `aib orang lain, senang menganiaya, dusta, dan akhirnya pura-pura
tidak tahu kewajiban. Bila hatisanubari ini yang berfungsi, maka hatinurani-nya dengan
sendirinya tidak akan berfungsi sama sekali. Jika ini (hati sanubari) yang berfungsi, dapat
dimisalkan”Raja yang angkara murka, yang dengan kekuasaannya ia akan menjadikan akal
pikirannya sebagai Perdana Menterinya yang selalu siap membela dan membantunya”.
c. Ketiga roh, ada tujuh berlapis-lapis. Letaknya di dalam hatinurani. Roh adalah wujud yang lebih
lembut dibandingkan dengan hatinurani, juga dibangsakan gaib karena sama-sama tidak bisa
dilihat mata kepala. Tetapi bukan Al-Ghaib. Bukan Tuhan. Dia adalah Daya dan Kekuatan Tuhan
yang dimasukkan ke dalam jasad manusia lalu menandai dengan keluar-masuknya nafas, menjadi
hidup seperti kita di dunia sekarang ini.

d. Keempat, sirr(rasa). Letaknya di tengah-tengah roh yang paling halus. Rasa inilah yang kembali
ke âkhirat. Rasa adalah dasar manusia. Rasa yang kini ketika berada di dunia telah terbiasa
diperalat nafsu. Rasa yang kini untuk merasakan berbagai hal dan segala macam. Seperti untuk
merasakan asin, pahit, getir, padang, gelap, enak dan tidak enak, sakit, bungah dan susah, jibeg,
sakit hati, frustasi, emosi dan semua hal tentang lahir batin manusia. Semua dirasakan oleh rasa
ini.

Keterangan
Gambar:
1 = Raga
2 = Hati nurani
2b = Hati sanubari
2c = Akal
3 = Roh
4 = Rasa (sirr)

Gambar 9.1
Empat Unsur Manusia

Kaum cendekiawan sering memasukkan akal sebagai salah satu unsur manusia di samping
jasad, hati, dan ruh. Malah tidak pernah menyebutkan adanya unsur rasa (sirr atau dzauq). Padahal
akal bukanlah unsur manusia melainkan pembantu setia hati. Jika hati yang berfungsi pada seseorang
itu hati nurani, maka akal akan bekerja dengan baik memikirkan kebahagiaan, kemakmuran, dan
kemaslahatan bagi sebanyak-banyaknya manusia dengan diniati li-ila`i kalimatillah (menjunjung
tinggi kalimat Allah). Adapun jika hati yang berfungsi pada seseorang itu hati sanubari (nafsu), maka
akal akan bekerja memikirkan kepentingan nafsu dan syahwatnya yang tidak pernah puas dan
kenyang mengejar keuntungan-keuntungan duniawi (seperti kekayaan, jabatan, dan popularitas).
Oleh karena itu dalam Al-Quran tidak pernah ada ungkapan kata akal dalam bentuk kata benda
(`aql) melainkan kata kerja (ta`qilun, ya`qilun), yang mengindikasikan bahwa akal bukanlah unsur
manusia. Ungkapan yang banyak digunakan dalam Al-Quran adalah ta`qilun (=kalian berpikir)
sebanyak 24 ayat dan ya`qilun (orang yang berpikir) sebanyak 22 ayat, yang kebanyakan diungkapkan
dalam kalimat tanya (misal: apakah kalian berpikir?) dan ‘harapan’ (misal: mudah-mudahan kalian
berpikir).

B. PROFIL INSÂN KÂMIL


Insân kâmil adalah hamba Allâh yang mengamalkan Islam secara kâffah (total) dan maksimal,
yakni memenuhi perintah Allâh dalam Qs. 2/Al-Baqarah ayat 208: Udkhulû fîs silmi kâffah.
Perintah “masuklah ke dalam Islam secara keseluruhannya” ditujukan kepada orang-orang yang
telah menyatakan dirinya beragama Islam. Artinya, orang yang sudah menyatakan beragama Islam
haruslah masuk ke dalam Islam keseluruhannya, tidak sebagian-sebagian.
Menurut sufisme Syaththariah “memasuki Islam secara kâffah (total)” adalah dengan meng-
Islamkan seluruh unsur manusia, yakni menjalankan syare`at dan hakekat. Allâh SWT kemudian
mewanti-wanti “janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan”. Maksudnya, syetan
berkehendak agar manusia memasuki Islam ‘tidak’ secara kâffah (total), yakni cukup menjalankan
syare`at saja atau hakekat saja. Kemudian ditegaskan bahwa “syetan itu musuh yang nyata bagi
manusia”. Artinya, syetan itu (baik syetan dari bangsa jin atau syetan bangsa manusia) benar-benar
sebagai musuh yang nyata membelokkan orang-orang Islam dari kehendak Tuhan.
Menurut sufisme Syaththariah, manusia terdiri dari empat unsur, yakni: raga, hati (hati
sanubari atau hati nurani), roh, dan rasa. Islamnya raga adalah dengan menjalankan syare`at,
sedangkan Islamnya hati, roh, dan rasa adalah dengan menjalankan hakekat.
Menurut Guru Mursyid, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah
(kulit), air (tulang), api (daging), dan udara (darah). Hati terdiri dari dua jenis, yakni hati sanubari dan
hati nurani. Kedua hati letaknya dalam dada manusia. Hati sanubari, letaknya dalam ati-ampela (dua
jari di bawah rusuk kiri), adalah hati yang gelap gulita (tidak kenal Tuhan, berwatak bangsa hewan,
dan sejalan dengan iblis). Adapun hati nurani, letaknya dalam hati-jantung (yang berbunyi deg-deg, di
tengah-tengah dada), adalah hati yang memperoleh Cahaya Ilâhi (kenal Tuhan, berwatak seperti
malaikat muqorrobun yang rela sujud/taat kepada Wakil-Nya Tuhan di bumi, yakni Rasûlullâh, dan
selalu ingat Tuhan). Roh, letaknya dalam hati-nurani (artinya, hati-nurani merupakan bungkus roh),
adalah Daya dan Kekuatan Tuhan. Adapun rasa (sirr), letaknya pada kedalaman roh yang ketujuh
(menurut ilmu ini, roh terdiri dari tujuh lapis, dan lapis ketujuh – tempatnya unsur rasa – merupakan
roh yang paling halus). Unsur rasa inilah yang merupakan jati-diri manusia (fitrah manusia) yang
Dicipta Tuhan dari Jati-DiriNya (Fitrah-Nya), sebagaimana firmanNya dalam Qs. 30/Ar-Rum ayat 30:
fithrotallâhil latî fathoron nâsa alaihâ.
Pada unsur rasa ini pula adanya lubang cahaya(minhâj) yang tembus kepada Tuhan, yakni
lubang cahaya yang menghubungkan jati-diri manusia dengan Jati-Diri Tuhan, sebagaimana
firmanNya dalam Qs. 5/Al-Maidah ayat 48: likulli ja’alnâ minkum syir`atan wa minhâjâ.
Hakekat manusia menurut Sufisme Syaththariah adalah unsur rasa-nya itu. Insân kâmil adalah
manusia yang jati-dirinya kembali kepada Jati-Diri Tuhan (melalui lubang cahaya itu).
Tetapi untuk mencapai martabat rasa, yakni untuk dapat kembali kepada Tuhan dengan
selamat dan bahagia, tidak ada jalan lain kecuali menjalankan Islam secara kâffah (total), yakni
menjalankan syare`at dan hakekat.
Menurut Guru Mursyid, unsur manusia yang merupakan barang pinjaman (bukan jati-dirinya)
harus kembali ke asalnya masing-masing. Cara mengembalikannya dan mengokohkan jati-dirinya
adalah dengan menjalankan syare`at dan hakekat itu. Makanya, raga harus bosok (kembali ke asalnya
masing-masing: kulit kembali menjadi tanah, tulang kembali menjadi air, daging kembali menjadi api,
dan darah kembali menjadi udara), yakni dengan menjalankan syare`at (segala peribadatan yang
dijalankan oleh raga, terutama Rukun Islam dan akhlaqul karimah); hati sanubari harus ditundukkan
agar dapat dijadikan tunggangannya hati nurani, roh, dan rasa, sehingga hati adam (karena hati
merupakan bungkus roh), yakni dengan menjalankan tarekat (hanya mengingat-ingat DiriNya Ilâhi
Zat Yang Al-Ghaib yang namaNya Allâh); roh sirna (roh adalah Daya dan Kekuatan Tuhan. Karena
barang pinjaman milik Tuhan, makanya roh sirna kembali kepada Tuhan), yakni dengan
ngambahhakekat (merasa-rasakan bahwa Yang Punya Daya dan Punya Kekuatan hanyalahDiriNya
Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib yang namaNya Allâh); dan yang kekal-abadi(yang tertinggal) hanyalah jati-
dirinya, rasa-nya (sirr-nya), yakni mencapai ma`rifat (ma`rifat bi Dzâtillâh), yakni merasa-rasakan
bahwa Yang Benar-benar Wujud hanyalah DiriNya Ilâhi (bukan sekedar ma`rifat dalam pengertian
mengetahui Asma, Sifat, dan Af`al Tuhan, yang bisa dijangkau dengan akal-pikiran). Pandangan
Sufisme Syaththariah ini didasarkan pada firmanNya dalam Qs. 55/Ar-Rahman ayat 26-27: kullu
man alaihâ fânin, wa yabqô wajhu robbika dzul jalâli wal ikrôm (=Semua yang ada di bumi itu
(termasuk jiwa-raga manusia) akan binasa. Dan tetap kekal Dzât Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan).
Jati-diri manusia karena berasal dari Jati-Diri Tuhan, maka akan tetap Kekal, tidak akan binasa.
Hanya saja kekalnya jati-diri manusia ada dua macam: pertama, yang kembali dan berjumpa dengan
Tuhan dalam keadaan senang dan bahagia selama-lamanya di sisi Raja Diraja Yang Berkuasa (bagi
manusia yang matinya selamat); dan kedua, yang kembali ke tempat sesat yang Tuhan sediakan
dalam keadaan susah dan sengsara selama-lamanya, yakni masuk neraka (bagi manusia yang matinya
sesat).
Menurut Sufisme Syaththariah manusia jenis pertama ini (yang mati selamat) sangat sedikit,
sedangkan jenis kedua sangat banyak, sesuai firman Allâh dalam Al-Quran: fa qolîlan mâ yu`minûn
=maka sedikit sekali mereka yang beriman (Qs. 2/Al-Baqarah: 88; 69/Al-Haqqah: 41), Innâ
akromakun `indallâhi atqôkum=Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allâh adalah orang
yang paling bertakwa (Qs. 40/Al-Hujurat: 13), padahal untuk mencapai ketakwaan terlebih dahulu
harus beriman; dan ... illâ ‘ibâdaka minhumul mukhlashîn=kecuali hamba-hamba Engkau yang
mukhlis di antara mereka, yang tidak akan tersentuh oleh iblis (Qs. 15/Al-Hijr: 40). Jika orang yang
beriman saja sedikit, maka terlebih-lebih lagi mereka yang bertakwa, dan terlebih-lebih lagi mereka
yang ikhlas, tentu akan jauh lebih sedikit lagi; demikian juga asy-Syakûr (manusia yang bersyukur)
hanya sedikit, sebagaimana firmanNya qolîlan mâ tasykurûn=hanya sedikit manusia yang bersyukur
(Qs. 7/Al-A`raf: 10; 23/Al-Mu`minun: 78; 32/As-Sajdah: 9; 67/al-Mulk: 23). Manusia yang bersyukur
adalah manusia yang mensyukuri Tuhan karena hatinya dimaukan Tuhan untuk berguru kepada
WakilNya Tuhan di bumi dan dimaukan untuk menjalankan perintah-perintahnya.
Dengan menggunakan 7 tangga nafsu (amarah, lawwâmah, mulhimah, muthmainnah,
rodhiyah, mardhiyah, dan kâmilah), maka insân kâmil – dilihat dari tingkatan nafsunya – adalah
hamba Allâh yang mukhlish dan telah mencapai nafsu kâmilah (nafsu yang sempurna). Ke-7 tangga
nafsu sebagai berikut:

1) Nafsu Amarah = Sombong, iri-dengki, dendam, nuruti nafsu, serakah,


jor-joran, senang marah, pembenci, tidak tahu
kewajiban, akhirnya gelap tidak mengetahui Tuhan

2) Nafsu Lawwâmah = Enggan, cuek, senang memuji diri, pamer, dusta,


mencari `aib orang, senang menyakiti, dan pura-pura
tidak tahu kewajiban

3) Nafsu Mulhimah = Suka memberi, sederhana, menerima apa adanya,


belas kasih, lemah lembut, taubat, sabar, tahan
menghadapi kesulitan, dan siap menanggung betapa
beratnya menjalankan kewajiban

4) Nafsu Senang beribadah, senang sodaqoh, mensyukuri


Muthmainnah = nikmat dengan memperbanyak amal, tawakkal, ridho
dengan ketentuan Allâh, dan takut kepada Allâh

5) Nafsu Rodhiyah = Pribadi yang mulia, zuhud, lkhlas, wira`i, riyadhah,


dan menepati janji

6) Nafsu Mardhiyah = Bagusnya budi pekerti, bersih dari segala dosa


makhluk, rela menghilangkan kegelapannya makhluk,
dan senang mengajak serta memberi pepadang
kepada roh-nya makhluk

7) Nafsu Kâmilah = `Ilmul-yaqîn, `ainul-yaqîn, dan haqqul-yaqîn

Hamba Allâh yang mukhlish adalah hamba Allâh yang telah melampaui tingkatan muttaqîn
(bertakwa). Hamba ini selain memiliki ciri-ciri muttaqîn, juga kalau berkorban ia tidak merasa telah
berkorban, kalau berinfak tidak merasa telah berinfak, kalau ber-mujâhadah tidak merasa telah
melakukan mujâhadah ; diuji dengan senang biasa-biasa saja (tidak merasakan senang), diuji dengan
susah biasa-biasa juga (tidak merasakan susah). Bagi mereka yang mukhlish tidak ada bedanya
dikayakan atau dimiskinkan, disehatkan atau disakitkan, dan lain sebagainya. Pokoknya ia sudah
benar-benar seperti malaikatul muqorrobun yang rela sujud tersungkur kal mayyiti baena yadil ghosili
(seperti mayat yang rela disucikan oleh yang berhak mensucikannya), yakni tunduk patuh sepenuhnya
kepada WakilNya Tuhan di bumi (Guru yang hak dan sah). Sebagaimana para malaikatNya Allâh,
hamba Allâh yang mukhlish telah benar-benar membunuh nafsunya sendiri hingga tunduk dan patuh
dijadikan tunggangannya hati-nurani, roh, dan rasa untuk pulang kembali kepada Tuhan hingga
sampai dengan selamat.
Adapun orang yang telah mencapai nafsu kâmilah, mereka mempunyai `ilmul yaqîn, `ainul
yaqîn, bahkan haqqul yaqîn. Tetapi mereka yang telah mencapai insân kâmil tidak ‘ngaku’memiliki
ilmu tersebut. Mereka sadar sesadar-sadarnya bahwa mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa, tetapi
ditahukan dan diberi ilmu oleh Yang Maha Tahu dan Yang Maha Berilmu.
Untuk mencapai martabat insân kâmil, maka nafsu kita seharusnya berada di level-7 (nafsu
kâmilah), tetapi jangan ‘diaku’. Jangan ‘diaku’ punya `ilmul-yaqîn, `ainul-yaqîn, dan haqqul-yaqîn.
Kalau ‘diaku’ tetap saja nafsu yang dalam Qs. 12/Yusuf ayat 53 disebutkan sebagai: innan nafsa la
ammarôtun bissû`i (=karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan). Artinya,
nafsu kâmilah sekalipun akan dinilai Tuhan sebagai nafsu yang buruk (yang bisa mengantarkannya
ke neraka); illâ mâ rohima robbî (kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku). Nafsu yang
dirahmati Tuhan adalah nafsu yang bagus-bagus (mulhimah, muthmainnah, rodhiyah, mardhiyah, dan
kâmilah) sebagai proses taroqi atas perintahnya Guru Wasithah, bukannya yang di-’aku’sebagai
prestasi riyalat,riyadhoh dan mujâhadah-nya.
Tetapi dengan welas asih dan pertolongan Allâh, untuk dapat kembali kepada Tuhan hingga
sampai dengan selamat – asalkan me-nafi-kan daya, kekuatan, dan wujud diri dan dunianya serta
hanya meng-itsbat-kan DiriNya Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib dalam rasa hatinya – maka dengan nafsu
muthmainnah saja (level-4) yang disandarkan atas perintahnya Guru Wasithah sudah cukup
mengantarkan jati-dirinya kembali kepada Tuhan dengan selamat dan bahagia. Tingkatan nafsu
kâmilah dapat dicapai setelah dirinya meninggalkan dunia yang fana` ini. Dalam Qs. 89/Al-Fajr ayat
27-30 Allah SWT berfirman:




Wahai nafsu muthmainnah (=jiwa yang tenang). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas (=nafsu rodhiyah) lagi diridhoi-Nya (=nafsu mardhiyah). Maka masuklah ke dalam
(jama'ah) hamba-hamba-Ku (=nafsu kâmilah); dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Qs. 89/Al-
Fajr: 27-30)

Misalkan keberagamaan kita berada pada kondisi senang beribadah, suka memberi, sederhana,
menerima apa adanya, belas kasih, lemah lembut, taubat (selalu merasakan banyak dosa dan
kesalahan sehingga terus-menerus bertobat), sabar dan tahan menghadapi kesulitan, serta siap
menanggung betapa beratnya menjalankan kewajiban. Artinya tingkatan nafsunya berada di level-3
(nafsu mulhimah). Jika ingin bertemu dengan Tuhan, ingin dipanggil olehNya untuk kembali
kepadaNya (karena innâ lilâhi wa innâ ilaihi rôji’ûn =kita berasal dari Allâh dan kembali
kepadaNya), maka kita harus meningkatkan keberagamaan, serendah-rendahnya dalam kondisi:
senang beribadah, senang beramal sosial, senang shodaqoh, mensyukuri nikmat dengan
memperbanyak amal, tawakkal (menyerahkan segala urusan/mewakilkannya kepada Allâh, sehingga
nafsu dan akal kita tidak diperankan lagi), ridho dengan ketentuan Allâh (diuji dengan yang susah
ataupun senang tetap ridho), dan takut kepada Allâh. Atau harus naik ke level-4 (nafsu
muthmainnah). Insân kâmil adalah pribadi yang berkembang keempat unsur manusia-nya (raga,
hati, roh, dan rasa) secara sempurna sesuai dengan Kehendak Tuhan, yang disandarkan atas perintah
Guru, agar jati-dirinya yang berasal dari Tuhan dapat kembali lagi kepada Tuhan. Bagaimanakah
mengembangkannya?
Syarat utama insân kâmil adalahraja dalam dirinya adalah hati nurani, bukan hati sanubari.
Jika rajanya hati nurani maka raga akan mengamalkan syareat, seperti membaca dua kalimat
syahâdat, mengerjakan shalat lima waktu, shalat malam dan shalat-shalat yang menyertai shalat lima
waktu, berpuasa di bulan ramadhan dan puasa-puasa sunat, membayar kifarat, shodaqoh jariyyah,
zakat, infak, dan ibadah harta lainnya, hidup guyub rukun dengan sesama, hingga peduli terhadap
lingkungan, yang pada pokoknya adalah semua peribadatan yang dilakukan oleh raga sebagaimana
Dawuh Guru. Kemudian hati menjalankan tarekat, yakni hanya mengingat-ingat DiriNya Ilâhi Zat
Yang Al-Ghaib (Isi-Nya Hû, yang dibisikkan oleh Guru Wasithah saat inisiasi, pemberkatan).
Lalu roh ngambah (mencapai) hakekat, yakni merasa-rasakan bahwa Yang Punya Daya dan
Punya Kekuatan hanyalah DiriNya Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib (Isi-Nya Hû). Terakhir, rasa
(sirr)mencapai ma`rifat, yakni merasa-rasakan bahwa yang benar-benar Wujud hanyalah DiriNya
Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib Yang Wajib WujudNya, Allâh AsmaNya (Isi-Nya Hû ). Orang yang telah
mencapai martabat rasa ini akan mengalami fana` fillâh (leburnya aku kepada Sang Maha Aku).
Prosesnya, mula-mula fana` af`al (perbuatan), kemudian fana` sifat, dan terakhir fana` zat. Yang
terakhir ini hanya dialami oleh para Rasûl/Nabi/Guru Wasithah dan para Wali. Orang-orang mu`min
akan mengalami fana` zat saat kematian.
Di dunia ini orang-orang mu`min hanya mencapai fana` af`al dan fana` sifat. Mereka tidak
akan kuat mencapai fana` Zat karena pasti tidak mau kembali lagi ke dunia. Tetapi di akhirat, semua
orang yang mati selamat akan mencapai fana` zat (mencapai martabat insân kâmil). Jika
dihubungkan dengan 7 tangga nafsu, maka start awal untuk menuju insân kâmil haruslah menjadi
hamba Allâh yang bertakwa dan telah mencapai tangga nafsu muthmainnah.
Keadaan keempat unsur manusia (raga, hati, roh, dan rasa) pada Insân Kâmil dapat
digambarkan sebagai berikut:

Keterangan Gambar:
1 = Raga 2c = Akal
2 = Hati nurani 3 = Roh
2 = Hati 4 = Rasa (sirr)
b sanubari

Ke-4 unsur manusia (raga, hati nurani, roh,


dan rasa) berfungsi menjalankan Kehendak
Ilâhi. Hati nurani bercahaya (menjadi rajanya),
sehingga raga menjalankan syareat, hati
menjalankan tarekat, roh ngambah hakekat,
dan rasa mencapai ma`rifat; hati sanubari
ditundukkan sehingga tidak berfungsi.
Bagaikan malaikat muqorrobun yang rela
sujud (taat) kepada Guru Wasithah). Akalnya
digunakan untuk mengelola garapan dunia
yang bermanfaat bagi lingkungannya, demi
subhânaka. Nafsunya mencapai nafsu kâmilah,
karena kesungguhannya dalam ber-jihâdun-
nafsi, atas perintahnya Guru.
Gambar 9.2
Sosok Insân Kâmil

C. PROFIL MANUSIA SESAT DAN IN BETWEEN


1. Sosok Manusia Sesat
Jika hati sanubari yang berkuasa, maka ia akan memiliki kepribadian yang pecah. Ia bagaikan
raja yang angkara murka. Ia jadikan akal pikirannya sebagai perdana menterinya yang siap
memikirkan terpenuhinya kebutuhan nafsu dan syahwatnya. Ia senang ‘ngaku’ (ngaku pintarnya,
`alim-nya, kuatnya, kayanya, bijaknya, prestasinya, dan sebagainya). Hidupnya digunakan untuk
memperkaya diri, bermegah-megahan, jor-joran, pamer, bangga diri, senang pujian, menyukai
popularitas, gila hormat, merasa diri lebih baik, dan mengikuti watak bangsa hewan. Hidupnya sejalan
dengan iblis yang abâ was takbaro (=sombong dan takabur) dan anâ khoirun minhu (=aku lebih baik
daripadanya; yakni merasakan dirinya lebih baik), sebagai antitesa malaikat yang rela sujud (kal
mayyiti baena yadil ghôsili =bagaikan mayat yang manut [taat, patuh] dîmandikan oleh yang berhak
mensucikannya), serta menyimpang dari jalan lurusNya Tuhan. Hati nurani-nya benar-benar padam,
sehingga roh dan rasa (sirr)-nya sama sekali tidak berfungsi.
Walaupun seseorang menyatakan beragama Islam dan menjalankan peribadatan, tetapi jika
rajanya hati sanubari, maka segala peribadatannya tidak berdampak sama sekali. Mungkin saja ia
menjalankan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan
ibadah haji, tetapi ia tetap melakukan ma`siat dan kemunkaran. Masalah halal-haram perolehan harta
tidak dîndahkannya. Jika diuji dengan hal-hal yang menyenangkan nafsu dan syahwatnya, ia
berpaling; jika dikayakan amat kikir. Hak-hak Allâh, hak-hak RasûlNya, hak-hak kerabat Rasûl, dan
hak-hak manusia (kifarat, shodaqoh jariyah, zakat, khumus, infak, dan ibadah harta lainnya) tidak
dibayarkannya; atau dibayarkan secara asal-asalan, atau dengan niat pamer. Korupsi pun kalau ada
kesempatan dilakukannya. Tetapi jika diuji dengan hal-hal yang menyusahkan, ia banyak mengeluh,
putus asa, dan banyak berdo`a (memohon dihilangkan kesusahannya).

Keterangan Gambar:
1 = Raga 2c = Akal
2 = Hati nurani 3 = Roh
2b = Hati 4 = Rasa
sanubari (sirr)

Ke-4 unsur manusia (raga, hati nurani, roh,


dan rasa) tidak berfungsi. Hati sanubari
menyala (menjadi rajanya). Hati nurani gelap
gulita dan dikuasai hati sanubari. Akibatnya,
raga hanya menjalankan kehendak nafsu dan
syahwat (yang sejalan dengan kehendak iblis).
Karena hati nuraninya tertutupi, maka roh dan
rasa tidak berfungsi.
Ibarat raja yang angkara murka, akal
pikiran dijadikan perdana menterinya yang
selalu memikirkan kepentingan nafsu dan
syahwatnya: takabur, merasa lebih baik,
senang ngaku, memperkaya diri, bermegah-
megahan, jor-joran, pamer, mengikuti watak
bangsa hewan.

Gambar 9.3
Sosok Manusia sesat

Jika dihubungkan dengan 7 tangga nafsu, manusia sesat berada pada tangga nafsu pertama dan
kedua, nafsu amarah (senang berlebihan, royal, angah-angah, hura-hura, jor-joran, serakah, dengki,
dendam, iri, membenci, bodoh tidak tahu kewajiban, sombong, tinggi hati, senang nuruti syahwat,
suka marah-marah, dan akhirnya gelap tidak mengetahui Tuhannya) dan nafsu lawwâmah (enggan,
cuek, senang memuji diri, pamer, senang mencari aibnya orang lain, senang menganiaya, dusta, pura-
pura tidak tahu kewajiban). Bisa juga berada pada nafsu pada level 3 ke atas tapi diakunya, diaku
sebagai prestasi ibadahnya, diaku sebagai prestasi riyalat, riyadhoh dan mujâhadah-nya.
Perspektif Sufisme Syaththariah, orang yang telah mencapai nafsu yang baik-baik (nafsu:
mulhimmah, muthmainnah, rodhiyah, mardhiyah, bahkan kâmilah) jika ‘diaku’, bukannya dirasakan
sebagai fadhl (karunia) dan rahmat dari Allâh, dan tidak disandarkan atas perintahnya Guru Wasithah,
maka tetap saja nafsu yang dikategorikan “buruk” sebagaimana disabdakan Nabi Yusuf As dalam Qs.
12/Yusuf ayat 53. Dalam Qs. 15/Al Hijr ayat 43-44 ditegaskan:



Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka
semuanya. Jahannam itu mempunyai tujuh pintu (sesuai adanya 7-macam nafsu). Tiap-tiap
pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka.

Guru Mursyid menegaskan, bahwa 7 pintu jahannam itu tidak lain adalah 7 macam nafsu
manusia itu sendiri (amarah, lawwâmah, mulhimah, muthmainnah, rodhiyah, mardhiyah, dan
kâmilah) yang wataknya memang ada kerja sama dengan syetan. Di sinilah letak pentingnya kehati-
hatian, jangan sampai ada ’penyakit hati’, yakni berkuasanya hati-sanubari, karena nafsu yang
tampak di hadapan manusia baik-baik pun di sisi Allâh menjadi buruk. Di sini pula kelihaian iblis
menciptakan pandangan yang ’baik’ pada manusia (Qs. 15/Al-Hijr: 39), padahal tidak sejalan dengan
Kehendak Tuhan.

2. Sosok Manusia in between


Tipe manusia in between menghendaki hati nuraninya sebagai raja, tetapi tidak mampu
berzikir (karena tidak kenal Tuhan). Akibatnya, hati sanubari-nya membayang-bayanginya. Ia
berusaha mengenali DiriNya Yang Al-Ghaib tetapi tidak kesampaian (tidak mengenali ZatTuhan).
Yang ia temukan hanyalah Sifat, Asma dan Af`al Tuhan. Makanya hati sanubarinya selalu
membayang-bayanginya yang setiap saat selalu siap melakukan kudeta terhadap hati-nurani.
Orang yang memiliki tipe kepribadian ini berusaha memerangi nafsu dan syahwatnya
(melakukan jihâd akbar), memerangi hati sanubarinya, serta berusaha keras membebaskan diri dari
nafsu amarah dan lawwâmah. Raganya menjalankan syareat (sebagaimana yang ia pahami dari
gurunya atau dari kitâb-kitâb), bersungguh-sungguh dalam beribadah, serta berakhlak mulia dan
mengikis akhlak-akhlak tercela. Kualitas nafsunya telah mencapai nafsu yang baik-baik (level III-VII:
mulhimmah, muthmainnah, rodhiyah, mardhiyah, bahkan nafsu kâmilah). Tipe manusia ini mirip
dengan apa yang difirmankan Allâh sebagai orang yang menduga-duga tentang Zat Tuhan Yang Al-
Ghaib dari tempat yang jauh. Qs. 34/Saba` ayat 51-53 menjelaskan tentang perilaku wadyabala iblis
yang kerjanya menangkap manusia yang tidak mengenal Zat Tuhan Yang Al-Ghaib saat kematiannya
untuk disiksa di tempat yang sesat.
Keempat ayat ini menjelaskan tentang terperanjatnya orang-orang yang ”merasa beriman” saat
kematiannya, karena dibawa oleh wadyabala iblis untuk disiksa di tempat sesat. Mengapa mereka
terperanjat, kaget, dan tidak menyangka sama sekali kalau mereka malah dibawa oleh wadyabala iblis
untuk disiksa di tempat sesat; padahal ketika di dunia mereka merasa telah beriman (dan tentunya
merasa telah menjalankan perintah-perintah agama)?! Kalaulah di dunianya tukang ma`siat dan
pelaku kemunkaran, tentu mereka tidak akan terperanjat! Mereka protes, karena mereka merasa telah
beriman. Protes mereka ditolak oleh Tuhan Zat Yang Al-Ghaib. Allâh menyanggah pengakuan
keimanan mereka, karena îmannya tidak bi ma`rifatin wa shidqin = tidak ma`rifat dan tidak
membenarkannya; yakni ketika masih hidup di dunia mereka tidak weruh (tidak syahâdat, tidak
pernah menyaksikan) DiriNya Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib. Mereka hanya tahu Sifat, Asma, dan Af`al
Tuhan, tetapi sama sekali tidak tahu Zat-Nya. Karena gengsi bertanya kepada Ahli Zikir, maka
bagaimana mungkin mereka bisa membenarkannya bahwa Ahli Zikir itu sebagai gegantinya Nabi
Muhammad Saw!
Tetapi mungkin juga di antara mereka ada orang-orang yang benar-benar ingin mengenali
DiriNya Zat Yang Al-Ghaib itu. Mereka pun berusaha memenuhi perintah Allâh: fas`alû ahladz
dzikri in kuntum lâ ta`lamûn =maka bertanya-lah kepada ahli zikir jika kamu tidak tahu. Tetapi
mereka tidak berjumpa dengan ahladz dzikri yang dicarinya itu.
Mereka pun selama hidupnya di dunia, selain berusaha mencari untuk mengenali DiriNya Ilâhi
Zat Yang Al-Ghaib dan ahladz dzikri, juga memerangi nafsu dan watak akunya, meninggalkan dosa-
dosa besar dan dosa-dosa kecil yang dilakukan secara terus-menerus, selalu bertaubat, menjalankan
peribadatan dengan sungguh-sungguh, selalu menjalankan ibadah harta, berakhlak mulia, dan peduli
lingkungannya (masyarakatnya, bangsanya, negaranya) sesuai kemampuannya masing-masing. Orang
seperti ini ada harapan mendapat pertolongan Allâh, yang dalam perspektif Sufisme Syaththariah akan
dikeluarkan dari tempat sesat oleh RasûlNya/Guru Wasithah saat disiksa oleh wadyabala iblis, atau
di-talqin zikir beberapa saat menjelang kematiannya.
Manusia in between dapat dîbaratkan seorang buta yang ingin menuju sebuah taman, tetapi
malah berjalan di tepi jurang curam dan berbahaya. Orang buta itu bisa jatuh terperosok dan tinggal
selama-lamanya di kedalaman jurang yang curam dan berbahaya itu; dan bisa juga dikeluarkan oleh
sang penolong ke tempat lainnya yang tidak berbahaya. Tetapi mungkin juga sang penolong
menyelamatkan-nya ketika sang buta itu berada di tepi atau beberapa cm dari tepi jurang yang curam
dan berbahaya itu; bahkan bisa saja sang penolong itu mengantarkannya hingga sampai ke sebuah
taman yang memang dikehendakinya.
Manusia in between dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan Gambar:
1 = Raga 2c = Akal
2 = Hati nurani 3 = Roh
2b = Hati sanubari 4 = Rasa (sirr)

Hati nurani diusahakan menjadi raja, tetapi


karena tidak mengenal Zat Tuhan Yang Al-Ghaib
maka hati sanubari selalu membayang-bayangi-
nya, yang setiap saat selalu siap melakukan kudeta.
Raga ditundukkan untuk menjalankan syareat,
dan hati nurani berusaha mengenali Zat Tuhan
Yang Al-Ghaib dengan berusaha mencari ahladz
dzikri, tetapi tidak ketemu. Akibatnya, roh dan rasa
sama sekali tidak berfungsi. Karena itu akalnya
kadang-kadang dikendalikan oleh hati nurani dan
kadang-kadang oleh hati sanubari.

Gambar 9.4
Sosok Manusia in between

D. TUJUHTANGGA NAFSU MENUJU INSÂN KÂMIL


Ada dua macam tahapan yang perlu dikenali murid untuk mencapai martabat insân kâmil,
pertama, tingkat-tingkat murid Syaththariah untuk mencapai martabat insân kâmil atau asy-
syaththôr; dan kedua, 7 tangga nafsu menuju nafsu kâmilah, juga untuk mencapai martabat insân
kâmil.

1. Tingkat-tingkat murid
Jalan pemrosesan diri untuk mencapai martabat asy-syaththôr atau insân kâmil melalui tiga
tingkatan, yakni:

Tingkat pertama,mubtadi.Padatingkat ini murid senang melakukan amal perbutan yang mudah
dikerjakan oleh tingkah lakunya jasad, yakni: memperbanyak shalat (shalat wajib, shalat qodho, dan
shalat sunat serta shalat yang tidak disebutkan wajib atau sunatnya yang menyertai shalat wajib dan
shalat malam, termasuk shalat-shalat sunat lainnya), memperbanyak puasa, memperbanyak membaca
Al-Quran, dan amal-amal perbuatan lain sebagaimana yang banyak disabdakan oleh hadits Nabi
Muhammad SAW hingga memindahkan sesuatu yang membahayakan orang lain dari jalan (misalnya,
memindahkan duri dari jalan).

Tingkat kedua, mutawasith. Pada tingkat ini murid senang bersama-sama saudara setujuan
untuk senantiasa mujâhadah (memerangi nafsunya sendiri-sendiri) yang harus disertai dengan:
tahsinil akhlaq, tazkiyatun nafs, tashfiyatul qolb, dan ahli bagus.
Tahsinil akhlaq adalah bagusnya budi pekerti, yakni seseorang yang hidupnya tidak
mementingkan diri sendiri, kelompoknya dan golongannya; senang meringankan beban orang lain;
menolong sesama yang membutuhkan pertolongan; mempunyai tingkat akhlak yang layak diteladani;
serta mengetahui bala tentaranya nafsu amarah dan lawwâmah untuk tidak dibiarkan hidup subur
menguasai diri pribadi, dan sebagainya.
Tazkiyatun-nafs adalah sucinya jiwa raga, yakni manakala apa saja yang dimakan adalah
makanan yang halal, juga yang disandang dan ditempati dari harta yang halal. Oleh karena itu sejak
dari zaman para Nabi dan Wali kekasih Allâh, para shalihin dan para ‘arifin, mereka adalah pekerja-
pekerja keras, manusia-manusia ukril, banyak inisiatif, kreatif, ulet, tahan uji, tidak kenal putus asa
dan tidak kecil hati; hidup penuh harap dan bersemangat dalam mengelola garapan dunia supaya
dapat dijadikan pancatan yang kokoh bagi cita-cita mendekat kepada-Nya hingga sampai dengan
selamat dan bahagia bertemu lagi denganNya.
Tashfiyatul-qolb adalah beningnya hati, yakni hati yang tidak pernah digunakan untuk
mengingat-ingat segala hal yang tidak diridhoi Allâh SWT. Keadaan demikian bisa terjadi karena
ditarik oleh fadhl-Nya Allâh atas kesungguhannya dalam mendidik dan melatih diri pribadi untuk itu.
Kemudian, menjadi ahli bagus, yakni senang melakukan kegiatan bersama dalam
kebersamaan dengan sesama saudara setujuan guna meramaikan syiarnya agama Allâh, dengan
membangun semua hal yang besar guna dan faedahnya bagi kehidupan ummat manusia yang sejalan
dengan kehendak Allâh dan Rasûl-Nya (seperti mendirikan dan meramaikan majelis ta`lim dan
lembaga pendidikan).
Tingkat ketiga, asy-syaththôr atau insân kâmil. Inilah tingkat tertinggi, tingkatnya orang-
orang yang muhibbah ilallâh (=orang-orang yang mencintai Allâh). Merekalah asy-syaththôr atau
insân kâmil. Meski pada lahirnya tetap sebagaimana layaknya manusia hidup di dunia, namun semua
hal tentang dunia telah keluar dari dalam hatinya. Mereka adalah orang-orang yang maqom-nya tetap
berada dalam sabda Nabi Muhammad SAW Mûtu qobla an tamûtu, yakni senantiasa mendidik diri
merasakan betapa nikmatnya mati sebelum mati; dan karena mati yang selamat adalah kembali
kepada Tuhan, maka dalam rasa hatinya yang dirasakan lezat dan nikmat adalah mengingat-ingat dan
menghayati Isi-Nya Hû itu.

2. Tujuh Tangga Nafsu


Untuk mencapai martabat insân kâmil, maka tangga-tangga nafsu itu (perhatikan kembali 7-
tangga nafsu) harus didaki sebagai berikut:
Dua tangga nafsu paling bawah (amarah dan lawamah) wataknya buruk-buruk. Watak ini
semuanya harus dibuang karena akan menjadi penghalang terbesar dalam perjalanan hati nurani, roh,
dan rasa menuju kepadaNya. Tentu saja untuk menghilangkan watak-watak ini amat-sangat berat.
Orang yang dipandang taat beragama pun kadang-kadang masih memelihara watak-watak ini: senang
memuji diri, mencari `aib orang, senang menyakiti orang, cuek, pura-pura tidak tahu kewajiban, dusta,
senang marah, membenci, dengki, nuruti nafsu, serakah, dan sombong. Karena itulah diperlukan jihâd
akbar.
Tangga nafsu ketiga (mulhimmah) wataknya sudah mulai bagus. Nafsu tangga pertama dan
kedua sudah terkikis. Tetapi untuk berjalan menuju Tuhan belumlah cukup; masih harus ditingkatkan
ke tangga nafsu keempat (muthmainnah). Orang yang berada pada tangga nafsu ketiga ini harus sudah
mulai belajar mûtû qobla an tamûtû (belajar mati sebelum datang kematian), yakni harus dengan rela
itba` kepada wakil-Nya Tuhan di bumi (Guru Wasithah). Pada tahap ini harus belajar memaksa jiwa-
raga untuk dikendalikan oleh hati nurani, roh, dan rasa; memaksa menjalankan shalat sebanyak-
banyaknya, memperbanyak puasa, memperbanyak ibadah harta (pada setiap bulan membayar kifarat
dan shodaqoh jariyah, pada setiap tahun membayar zakat harta dan zakat fithrah, malah juga
membayar infaq dan ibadah-ibadah harta lainnya), memperbanyak membaca Al-Quran, berkiprah di
masyarakat bagi kemajuan lingkungan demi Subhânaka (Memaha-sucikan Allâh), yang dilandasi oleh
10 dasar agama (taubat, zuhud, `uzlah, qona`ah, sabar, tawakkal `alallâh, mulazimatu dzikr, tawajjuh
ilallâhi bilkulliyâti, muroqobah, dan ridho), menghindari 4 bencana amal (takabbur, ujub, riya, dan
sum`ah), serta selalu memohon untuk dihindarkan dari fitnahnya bangsa jin, bangsa manusia, dan
bangsa syetan seluruhnya; juga yang tidak kalah pentingnya harus disandarkan atas ketaatan kepada
Guru Wasithah. Oleh karena itulah jihâd akbar harus lebih diperkuat. Tahap ini sama dengan tingkat
mubtadi pada tingkatan murid di atas.
Jika Tuhan selalu dirasakan hadir (karena banyak berzikir), ibadah-ibadah yang banyak sudah
dirasakan ringan, ibadah-ibadah harta dan ibadah sosial sebesar apa pun sudah tidak dirasakan telah
berkorban, 10 dasar agama sudah mempribadi, dan 4 bencana amal sudah sangat disadari dan selalu
dihindarinya, dengan selalu pasrah bongkokan kepada perintahnya Guru Wasithah, berarti orang ini
sudah berada pada tangga nafsu keempat (muthmainnah). Tahap ini sama dengan tingkat mutawasith
pada tingkatan di atas.
Jika kondisi sebagaimana pada nafsu muthmainnah bertahan secara istiqomah, kemudian
menjalankan berbagai peribadatan dan berkorban sudah sama sekali tidak dirasakan lagi telah
beribadah dan berkorban, benar-benar ridho dengan taqdir Allâh (tidak ada bedanya dikayakan atau
dimiskinkan, disehatkan atau disakitkan, dan ridho dengan musibah yang menimpanya), sudah seperti
malaikatul muqorrobinkal mayyiti baena yadil ghôsili (bagai mayat yang rela dîmandikan oleh orang
yang berhak mensucikan), yakni rela sujud tersungkur (pasrah bongkokan) kepada Guru Wasithah,
berarti mereka telah mencapai nafsu rodhiyah, mardhiyah, bahkan kâmilah. Mereka inilah yang dalam
tingkatan murid di atas disebut asy-syaththôr atau insân kâmil.

E. RENUNGAN
Kisah Siti Maryam, ibunda Nabi Isa AS, terdapat dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat
35-47 dan Surat Maryam ayat 16-34. Keluarga Imran dikisahkan dan dijadikan nama salah
satu surat dalam Al-Quran karena keteladanannya dalam beragama. Ibunya Maryam
bersuamikan Imran adalah saudara ipar Nabi Zakariya AS. Ia seorang perempuan yang
mandul, tapi ia tidak jemu-jemunya berikhtiar dan berdoa memohon dikarunia anak. Dengan
merendahkan diri dia beribadah, berzikir, berdoa, dan bernadzar kepada Allah bila
permohonannya dikalbulkan, dia akan menghibahkan anaknya sebagai pelayan, penjaga, dan
pemelihara Baitul Maqdis; dan sesekali tidak akan mengambil manfaat dari anaknya untuk
kepentingan dirinya dan keluarganya. Di saat usianya sudah tidak muda lagi doanya terkabul.
Istri Imran mengandung. Ia bersama suami mulai merancang apa yang akan diberikan kepada
bayi yang akan datang itu. Jika mereka sedang duduk berduaan tidak ada yang
diperbincangkan selain soal bayi yang akan dilahirkan. Suasana suram sedih yang selalu
meliputi rumah tangga Imran berbalik menjadi riang gembira, wajah sepasang suami isteri
Imran menjadi berseri-seri tanda suka cita dan bahagia dan rasa putus asa yang mencekam
hati mereka berdua berbalik menjadi rasa penuh harapan akan hari kemudian yang baik dan
cemerlang. Akan tetapi manusia hanya merencanakan sedangkan Tuhanlah yang
menentukan. Imran meninggal dunia sebelum bayi dilahirkan. Setelah penungguan yang
panjang tiba pula saatnya janda istri Imran untuk melahirkan. Semula tentu ada rasa kecewa
karena bayi yang lahir itu seorang perempuan, padahal ia bernadzar untuk dihibahkan kepada
Baitul Maqdis (pelayan Rumah Suci biasanya laki-laki). Ia pun bernadah kepada Tuhannya,
"Wahai Tuhanku, aku telah melahirkan seorang puteri, sedangkan aku bernadzar akan
menyerahkan seorang putera yang lebih layak menjadi pelayan dan pengurus Baitul
Maqdis.” Tuhan tentu punya rencana lain. Melalui Kuasa Tuhan janda istri Imran itu
menyerahkan pemeliharaan dan pendidikan bagi puterinya itu kepada iparnya Nabi Zakariya
AS.
Tindakan pertama yang dilakukan Zakariya untuk menjaga keselamatan Maryam ialah
menjauhkannya dari keramaian. Maryam ditempatkan di sebuah kamar di atas loteng Baitul
Maqdis yang cukup tinggi yang dapat dicapai dengan menggunakan sebuah tangga. Nabi
Zakaria pun mencurahkan rasa cinta dan kasih sayangnya, karena istri Nabi Zakariya pun
belum pernah mengandung. Tiap hari beliau datang menjenguknya, melihat keadaannya,
mengurus keperluannya, dan menyediakan segala sesuatu yang membawa ketenangan dan
kegembiraan baginya.
Rasa cinta dan kasih sayang Nabi Zakariya terhadap Maryam meningkat menjadi rasa
hormat dan takzim karena Maryam menunjukkan kesalehan yang luar biasa. Maryam ternyata
bukanlah gadis biasa sebagaimana gadis-gadis yang lain, tetapi ia adalah wanita pilihan
Tuhan. Pada suatu hari Nabi Zakariya mendapati Maryam lagi berada di mihrabnya
tenggelam dalam ibadah, berzikir dan bersujud kepada Allah. Beliau terperanjat ketika
pandangan matanya menangkap hidangan makanan berupa buah-buahan musim panas
terletak di depan Maryam yang lagi bersujud. Beliau bertanya dalam hatinya, dari manakah
gerangan buah-buahan itu datang, padahal sekarang musim dingin. Ketika ditanyakan
kepadanya, Maryam menjawab: "Inilah peberian Allah kepadaku tanpa aku berusaha atau
minta; dan mengapa engkau merasa heran dan takjub? Bukankah Allah Maha Kuasa?"
Demikianlah Allah telah memberikan tanda pertamanya sebagai mukjizat bagi Maryam,
gadis suci, manusia sempurna (insan kamil) yang dipersiapkan oleh-Nya untuk melahirkan
seorang Nabi Besar, Isa Al-Masih ibn Maryam. Pada peristiwa ini pun lagi-lagi Maryam
dijadikan fenomena kebesaran Tuhan. Maryam melahirkan Isa Al-Masih tanpa suami dan
tanpa sentuhan laki-laki. (disadur dari Media-Islam.or.id, 2012 & Wikipedia.or.id, 2015).
Coba baca dan renungkan Qs. 3/Ali Imran ayat 35-37:
              
           
           
          
          
                 
     
(Ingatlah) ketika isteri 'Imran berdoa: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada
Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul
Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui" (35) Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, dia pun
berdoa: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah
lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak
perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan
untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syetan
yang terkutuk." (36) Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang
baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dan Allah menjadikan Zakariya
pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati
makanan di sisinya. Zakariya bertanya: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh
(makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah
memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. (37)

F. KESIMPULAN
Insân Kâmil merupakan tipe manusia ideal yang dikehendaki oleh Islam. Insân Kâmil
bukanlah salah satu pilihan hidup, melainkan satu-satunya pilihan hidup bagi orang yang
ingin kembali kepada Tuhan hingga sampai dengan selamat (masuk surga-Nya). Selain Insân
Kâmil hanyalah ‘manusia sesat’ (masuk neraka-Nya) atau ‘manusia in between’ (yang
keputusannya tergantung Kehendak Allâh). Artinya, jika ingin masuk surga-Nya haruslah
mencapai martabat Insân Kâmil.

Anda mungkin juga menyukai