Insan Kamil adalah manusia sempurna. Ibn `Araby Insan Kamil adalah satu-satunya alternatif
bagi orang Islam yang ingin kembali kepada Tuhan, agar dimasukkan ke dalam surgaNya. Jika tidak
menjadi Insan Kamil maka manusia akan menjadi monster (syetan) tapi tubuhnya manusia (Michel
Chodkiewicz, 1999).
Penulis menyusun disertasi dengan judul Konsep Insan Kamil dan Implikasinya dalam
Pendidikan Umum di Pondok Sufi Pomosda (Program Studi Pendidikan Umum Sekolah Pascasarjana
UPI, 2010). Pondok Sufi saat penelitian disertasi dilakukan dipimpin oleh seorang Guru Mursyid
Tarekat Syaththariah (lebih dikenal dengan Guru Wasithah), KH Muhammad Munawwar Affandi
(Wasithah ke-48). Beliau meninggal dunia pada 17 Ramadhan 1433 Hijriyah (6 Agustus 2012). Guru
Wasithah dilanjutkan oleh Kyai Muhammad Anwar Muttaqin (Wasithah ke-49), yang sudah ditunjuk
oleh Gurunya Guru Wasithah (Wasithah ke-47) jauh hari beliau lahir ke dunia (tahun 1967, padahal
beliau lahir tahun 1982). Calon Guru Wasithah ini telah di-gulawentah (dididik secara khusus dan
sempurna) oleh Guru Washithah ke-48 sejak beliau berusia 14 tahun hingga berusia 30 tahun (1996-
2012). Bab ini diambil dari disertasi penulis terutama pada halaman 186-208.
b. Kedua,hatinurani. Letaknya tepat di tengah-tengah dada. Tandanya deg-deg. Disebut juga dengan
hati jantung. Hati ini adalah wujud lembut yang dibangsakan gaib karena sama-sama tidak bisa
dilihat oleh mata kepala, tetetapi bukan Al-Ghaib; bukan DiriNya Zat Tuhan Yang Ghaib. Qs.
33/Al Ahzab ayat 4 menerangkan bahwa Allâh tidak menjadikan dua hati dalam rongga dada
seseorang: mâ ja`alallâhu li rojulin min qolbaini fî jaufihi (Dia sama sekali tidak menjadikan
bagi seseorang dua hati dalam rongga dadanya). Maksudnya, dalam diri seseorang terdapat dua
hati, tetapi yang berfungsi hanyalah salah satu di antara keduanya, yakni hatinurani atau
hatisanubari. Hatinurani dijadikan Allâh dari cahaya, wataknya seperti para MalaikatNya yang
rela patuh dan tunduk diperintah untuk sujud kepada wakilNya di bumi; memberlakukan dirinya
kal mayyiti baina yadil ghosili (seperti mayat di tangan orang yang memandikannya).
Adapun hatisanubari (letaknya di bawah susu kiri kira-kira dua jari, serupa daging sak
kiwir dengan bentuk daun semanggi dibelah dua), markas besarnya nafsu amarah dan nafsu
lawwamah (wataknya kasar dan ingkar). Nafsu amarahwataknya senang berlebihan, royal,
angah-angah, hura-hura, jor-joran, serakah, dengki, dendam, iri, membenci, tidak tahu kewajiban,
sombong, tinggi hati, senang memperturutkan syahwat, suka marah-marah, dan akhirnya gelap
tidak mengetahui Tuhannya; sedangkan nafsu lawwamahwataknya enggan, acuh, senang memuji
diri, pamer, senang mencari `aib orang lain, senang menganiaya, dusta, dan akhirnya pura-pura
tidak tahu kewajiban. Bila hatisanubari ini yang berfungsi, maka hatinurani-nya dengan
sendirinya tidak akan berfungsi sama sekali. Jika ini (hati sanubari) yang berfungsi, dapat
dimisalkan”Raja yang angkara murka, yang dengan kekuasaannya ia akan menjadikan akal
pikirannya sebagai Perdana Menterinya yang selalu siap membela dan membantunya”.
c. Ketiga roh, ada tujuh berlapis-lapis. Letaknya di dalam hatinurani. Roh adalah wujud yang lebih
lembut dibandingkan dengan hatinurani, juga dibangsakan gaib karena sama-sama tidak bisa
dilihat mata kepala. Tetapi bukan Al-Ghaib. Bukan Tuhan. Dia adalah Daya dan Kekuatan Tuhan
yang dimasukkan ke dalam jasad manusia lalu menandai dengan keluar-masuknya nafas, menjadi
hidup seperti kita di dunia sekarang ini.
d. Keempat, sirr(rasa). Letaknya di tengah-tengah roh yang paling halus. Rasa inilah yang kembali
ke âkhirat. Rasa adalah dasar manusia. Rasa yang kini ketika berada di dunia telah terbiasa
diperalat nafsu. Rasa yang kini untuk merasakan berbagai hal dan segala macam. Seperti untuk
merasakan asin, pahit, getir, padang, gelap, enak dan tidak enak, sakit, bungah dan susah, jibeg,
sakit hati, frustasi, emosi dan semua hal tentang lahir batin manusia. Semua dirasakan oleh rasa
ini.
Keterangan
Gambar:
1 = Raga
2 = Hati nurani
2b = Hati sanubari
2c = Akal
3 = Roh
4 = Rasa (sirr)
Gambar 9.1
Empat Unsur Manusia
Kaum cendekiawan sering memasukkan akal sebagai salah satu unsur manusia di samping
jasad, hati, dan ruh. Malah tidak pernah menyebutkan adanya unsur rasa (sirr atau dzauq). Padahal
akal bukanlah unsur manusia melainkan pembantu setia hati. Jika hati yang berfungsi pada seseorang
itu hati nurani, maka akal akan bekerja dengan baik memikirkan kebahagiaan, kemakmuran, dan
kemaslahatan bagi sebanyak-banyaknya manusia dengan diniati li-ila`i kalimatillah (menjunjung
tinggi kalimat Allah). Adapun jika hati yang berfungsi pada seseorang itu hati sanubari (nafsu), maka
akal akan bekerja memikirkan kepentingan nafsu dan syahwatnya yang tidak pernah puas dan
kenyang mengejar keuntungan-keuntungan duniawi (seperti kekayaan, jabatan, dan popularitas).
Oleh karena itu dalam Al-Quran tidak pernah ada ungkapan kata akal dalam bentuk kata benda
(`aql) melainkan kata kerja (ta`qilun, ya`qilun), yang mengindikasikan bahwa akal bukanlah unsur
manusia. Ungkapan yang banyak digunakan dalam Al-Quran adalah ta`qilun (=kalian berpikir)
sebanyak 24 ayat dan ya`qilun (orang yang berpikir) sebanyak 22 ayat, yang kebanyakan diungkapkan
dalam kalimat tanya (misal: apakah kalian berpikir?) dan ‘harapan’ (misal: mudah-mudahan kalian
berpikir).
Hamba Allâh yang mukhlish adalah hamba Allâh yang telah melampaui tingkatan muttaqîn
(bertakwa). Hamba ini selain memiliki ciri-ciri muttaqîn, juga kalau berkorban ia tidak merasa telah
berkorban, kalau berinfak tidak merasa telah berinfak, kalau ber-mujâhadah tidak merasa telah
melakukan mujâhadah ; diuji dengan senang biasa-biasa saja (tidak merasakan senang), diuji dengan
susah biasa-biasa juga (tidak merasakan susah). Bagi mereka yang mukhlish tidak ada bedanya
dikayakan atau dimiskinkan, disehatkan atau disakitkan, dan lain sebagainya. Pokoknya ia sudah
benar-benar seperti malaikatul muqorrobun yang rela sujud tersungkur kal mayyiti baena yadil ghosili
(seperti mayat yang rela disucikan oleh yang berhak mensucikannya), yakni tunduk patuh sepenuhnya
kepada WakilNya Tuhan di bumi (Guru yang hak dan sah). Sebagaimana para malaikatNya Allâh,
hamba Allâh yang mukhlish telah benar-benar membunuh nafsunya sendiri hingga tunduk dan patuh
dijadikan tunggangannya hati-nurani, roh, dan rasa untuk pulang kembali kepada Tuhan hingga
sampai dengan selamat.
Adapun orang yang telah mencapai nafsu kâmilah, mereka mempunyai `ilmul yaqîn, `ainul
yaqîn, bahkan haqqul yaqîn. Tetapi mereka yang telah mencapai insân kâmil tidak ‘ngaku’memiliki
ilmu tersebut. Mereka sadar sesadar-sadarnya bahwa mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa, tetapi
ditahukan dan diberi ilmu oleh Yang Maha Tahu dan Yang Maha Berilmu.
Untuk mencapai martabat insân kâmil, maka nafsu kita seharusnya berada di level-7 (nafsu
kâmilah), tetapi jangan ‘diaku’. Jangan ‘diaku’ punya `ilmul-yaqîn, `ainul-yaqîn, dan haqqul-yaqîn.
Kalau ‘diaku’ tetap saja nafsu yang dalam Qs. 12/Yusuf ayat 53 disebutkan sebagai: innan nafsa la
ammarôtun bissû`i (=karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan). Artinya,
nafsu kâmilah sekalipun akan dinilai Tuhan sebagai nafsu yang buruk (yang bisa mengantarkannya
ke neraka); illâ mâ rohima robbî (kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku). Nafsu yang
dirahmati Tuhan adalah nafsu yang bagus-bagus (mulhimah, muthmainnah, rodhiyah, mardhiyah, dan
kâmilah) sebagai proses taroqi atas perintahnya Guru Wasithah, bukannya yang di-’aku’sebagai
prestasi riyalat,riyadhoh dan mujâhadah-nya.
Tetapi dengan welas asih dan pertolongan Allâh, untuk dapat kembali kepada Tuhan hingga
sampai dengan selamat – asalkan me-nafi-kan daya, kekuatan, dan wujud diri dan dunianya serta
hanya meng-itsbat-kan DiriNya Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib dalam rasa hatinya – maka dengan nafsu
muthmainnah saja (level-4) yang disandarkan atas perintahnya Guru Wasithah sudah cukup
mengantarkan jati-dirinya kembali kepada Tuhan dengan selamat dan bahagia. Tingkatan nafsu
kâmilah dapat dicapai setelah dirinya meninggalkan dunia yang fana` ini. Dalam Qs. 89/Al-Fajr ayat
27-30 Allah SWT berfirman:
Wahai nafsu muthmainnah (=jiwa yang tenang). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas (=nafsu rodhiyah) lagi diridhoi-Nya (=nafsu mardhiyah). Maka masuklah ke dalam
(jama'ah) hamba-hamba-Ku (=nafsu kâmilah); dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Qs. 89/Al-
Fajr: 27-30)
Misalkan keberagamaan kita berada pada kondisi senang beribadah, suka memberi, sederhana,
menerima apa adanya, belas kasih, lemah lembut, taubat (selalu merasakan banyak dosa dan
kesalahan sehingga terus-menerus bertobat), sabar dan tahan menghadapi kesulitan, serta siap
menanggung betapa beratnya menjalankan kewajiban. Artinya tingkatan nafsunya berada di level-3
(nafsu mulhimah). Jika ingin bertemu dengan Tuhan, ingin dipanggil olehNya untuk kembali
kepadaNya (karena innâ lilâhi wa innâ ilaihi rôji’ûn =kita berasal dari Allâh dan kembali
kepadaNya), maka kita harus meningkatkan keberagamaan, serendah-rendahnya dalam kondisi:
senang beribadah, senang beramal sosial, senang shodaqoh, mensyukuri nikmat dengan
memperbanyak amal, tawakkal (menyerahkan segala urusan/mewakilkannya kepada Allâh, sehingga
nafsu dan akal kita tidak diperankan lagi), ridho dengan ketentuan Allâh (diuji dengan yang susah
ataupun senang tetap ridho), dan takut kepada Allâh. Atau harus naik ke level-4 (nafsu
muthmainnah). Insân kâmil adalah pribadi yang berkembang keempat unsur manusia-nya (raga,
hati, roh, dan rasa) secara sempurna sesuai dengan Kehendak Tuhan, yang disandarkan atas perintah
Guru, agar jati-dirinya yang berasal dari Tuhan dapat kembali lagi kepada Tuhan. Bagaimanakah
mengembangkannya?
Syarat utama insân kâmil adalahraja dalam dirinya adalah hati nurani, bukan hati sanubari.
Jika rajanya hati nurani maka raga akan mengamalkan syareat, seperti membaca dua kalimat
syahâdat, mengerjakan shalat lima waktu, shalat malam dan shalat-shalat yang menyertai shalat lima
waktu, berpuasa di bulan ramadhan dan puasa-puasa sunat, membayar kifarat, shodaqoh jariyyah,
zakat, infak, dan ibadah harta lainnya, hidup guyub rukun dengan sesama, hingga peduli terhadap
lingkungan, yang pada pokoknya adalah semua peribadatan yang dilakukan oleh raga sebagaimana
Dawuh Guru. Kemudian hati menjalankan tarekat, yakni hanya mengingat-ingat DiriNya Ilâhi Zat
Yang Al-Ghaib (Isi-Nya Hû, yang dibisikkan oleh Guru Wasithah saat inisiasi, pemberkatan).
Lalu roh ngambah (mencapai) hakekat, yakni merasa-rasakan bahwa Yang Punya Daya dan
Punya Kekuatan hanyalah DiriNya Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib (Isi-Nya Hû). Terakhir, rasa
(sirr)mencapai ma`rifat, yakni merasa-rasakan bahwa yang benar-benar Wujud hanyalah DiriNya
Ilâhi Zat Yang Al-Ghaib Yang Wajib WujudNya, Allâh AsmaNya (Isi-Nya Hû ). Orang yang telah
mencapai martabat rasa ini akan mengalami fana` fillâh (leburnya aku kepada Sang Maha Aku).
Prosesnya, mula-mula fana` af`al (perbuatan), kemudian fana` sifat, dan terakhir fana` zat. Yang
terakhir ini hanya dialami oleh para Rasûl/Nabi/Guru Wasithah dan para Wali. Orang-orang mu`min
akan mengalami fana` zat saat kematian.
Di dunia ini orang-orang mu`min hanya mencapai fana` af`al dan fana` sifat. Mereka tidak
akan kuat mencapai fana` Zat karena pasti tidak mau kembali lagi ke dunia. Tetapi di akhirat, semua
orang yang mati selamat akan mencapai fana` zat (mencapai martabat insân kâmil). Jika
dihubungkan dengan 7 tangga nafsu, maka start awal untuk menuju insân kâmil haruslah menjadi
hamba Allâh yang bertakwa dan telah mencapai tangga nafsu muthmainnah.
Keadaan keempat unsur manusia (raga, hati, roh, dan rasa) pada Insân Kâmil dapat
digambarkan sebagai berikut:
Keterangan Gambar:
1 = Raga 2c = Akal
2 = Hati nurani 3 = Roh
2 = Hati 4 = Rasa (sirr)
b sanubari
Keterangan Gambar:
1 = Raga 2c = Akal
2 = Hati nurani 3 = Roh
2b = Hati 4 = Rasa
sanubari (sirr)
Gambar 9.3
Sosok Manusia sesat
Jika dihubungkan dengan 7 tangga nafsu, manusia sesat berada pada tangga nafsu pertama dan
kedua, nafsu amarah (senang berlebihan, royal, angah-angah, hura-hura, jor-joran, serakah, dengki,
dendam, iri, membenci, bodoh tidak tahu kewajiban, sombong, tinggi hati, senang nuruti syahwat,
suka marah-marah, dan akhirnya gelap tidak mengetahui Tuhannya) dan nafsu lawwâmah (enggan,
cuek, senang memuji diri, pamer, senang mencari aibnya orang lain, senang menganiaya, dusta, pura-
pura tidak tahu kewajiban). Bisa juga berada pada nafsu pada level 3 ke atas tapi diakunya, diaku
sebagai prestasi ibadahnya, diaku sebagai prestasi riyalat, riyadhoh dan mujâhadah-nya.
Perspektif Sufisme Syaththariah, orang yang telah mencapai nafsu yang baik-baik (nafsu:
mulhimmah, muthmainnah, rodhiyah, mardhiyah, bahkan kâmilah) jika ‘diaku’, bukannya dirasakan
sebagai fadhl (karunia) dan rahmat dari Allâh, dan tidak disandarkan atas perintahnya Guru Wasithah,
maka tetap saja nafsu yang dikategorikan “buruk” sebagaimana disabdakan Nabi Yusuf As dalam Qs.
12/Yusuf ayat 53. Dalam Qs. 15/Al Hijr ayat 43-44 ditegaskan:
Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka
semuanya. Jahannam itu mempunyai tujuh pintu (sesuai adanya 7-macam nafsu). Tiap-tiap
pintu (telah ditetapkan) untuk golongan yang tertentu dari mereka.
Guru Mursyid menegaskan, bahwa 7 pintu jahannam itu tidak lain adalah 7 macam nafsu
manusia itu sendiri (amarah, lawwâmah, mulhimah, muthmainnah, rodhiyah, mardhiyah, dan
kâmilah) yang wataknya memang ada kerja sama dengan syetan. Di sinilah letak pentingnya kehati-
hatian, jangan sampai ada ’penyakit hati’, yakni berkuasanya hati-sanubari, karena nafsu yang
tampak di hadapan manusia baik-baik pun di sisi Allâh menjadi buruk. Di sini pula kelihaian iblis
menciptakan pandangan yang ’baik’ pada manusia (Qs. 15/Al-Hijr: 39), padahal tidak sejalan dengan
Kehendak Tuhan.
Keterangan Gambar:
1 = Raga 2c = Akal
2 = Hati nurani 3 = Roh
2b = Hati sanubari 4 = Rasa (sirr)
Gambar 9.4
Sosok Manusia in between
1. Tingkat-tingkat murid
Jalan pemrosesan diri untuk mencapai martabat asy-syaththôr atau insân kâmil melalui tiga
tingkatan, yakni:
Tingkat pertama,mubtadi.Padatingkat ini murid senang melakukan amal perbutan yang mudah
dikerjakan oleh tingkah lakunya jasad, yakni: memperbanyak shalat (shalat wajib, shalat qodho, dan
shalat sunat serta shalat yang tidak disebutkan wajib atau sunatnya yang menyertai shalat wajib dan
shalat malam, termasuk shalat-shalat sunat lainnya), memperbanyak puasa, memperbanyak membaca
Al-Quran, dan amal-amal perbuatan lain sebagaimana yang banyak disabdakan oleh hadits Nabi
Muhammad SAW hingga memindahkan sesuatu yang membahayakan orang lain dari jalan (misalnya,
memindahkan duri dari jalan).
Tingkat kedua, mutawasith. Pada tingkat ini murid senang bersama-sama saudara setujuan
untuk senantiasa mujâhadah (memerangi nafsunya sendiri-sendiri) yang harus disertai dengan:
tahsinil akhlaq, tazkiyatun nafs, tashfiyatul qolb, dan ahli bagus.
Tahsinil akhlaq adalah bagusnya budi pekerti, yakni seseorang yang hidupnya tidak
mementingkan diri sendiri, kelompoknya dan golongannya; senang meringankan beban orang lain;
menolong sesama yang membutuhkan pertolongan; mempunyai tingkat akhlak yang layak diteladani;
serta mengetahui bala tentaranya nafsu amarah dan lawwâmah untuk tidak dibiarkan hidup subur
menguasai diri pribadi, dan sebagainya.
Tazkiyatun-nafs adalah sucinya jiwa raga, yakni manakala apa saja yang dimakan adalah
makanan yang halal, juga yang disandang dan ditempati dari harta yang halal. Oleh karena itu sejak
dari zaman para Nabi dan Wali kekasih Allâh, para shalihin dan para ‘arifin, mereka adalah pekerja-
pekerja keras, manusia-manusia ukril, banyak inisiatif, kreatif, ulet, tahan uji, tidak kenal putus asa
dan tidak kecil hati; hidup penuh harap dan bersemangat dalam mengelola garapan dunia supaya
dapat dijadikan pancatan yang kokoh bagi cita-cita mendekat kepada-Nya hingga sampai dengan
selamat dan bahagia bertemu lagi denganNya.
Tashfiyatul-qolb adalah beningnya hati, yakni hati yang tidak pernah digunakan untuk
mengingat-ingat segala hal yang tidak diridhoi Allâh SWT. Keadaan demikian bisa terjadi karena
ditarik oleh fadhl-Nya Allâh atas kesungguhannya dalam mendidik dan melatih diri pribadi untuk itu.
Kemudian, menjadi ahli bagus, yakni senang melakukan kegiatan bersama dalam
kebersamaan dengan sesama saudara setujuan guna meramaikan syiarnya agama Allâh, dengan
membangun semua hal yang besar guna dan faedahnya bagi kehidupan ummat manusia yang sejalan
dengan kehendak Allâh dan Rasûl-Nya (seperti mendirikan dan meramaikan majelis ta`lim dan
lembaga pendidikan).
Tingkat ketiga, asy-syaththôr atau insân kâmil. Inilah tingkat tertinggi, tingkatnya orang-
orang yang muhibbah ilallâh (=orang-orang yang mencintai Allâh). Merekalah asy-syaththôr atau
insân kâmil. Meski pada lahirnya tetap sebagaimana layaknya manusia hidup di dunia, namun semua
hal tentang dunia telah keluar dari dalam hatinya. Mereka adalah orang-orang yang maqom-nya tetap
berada dalam sabda Nabi Muhammad SAW Mûtu qobla an tamûtu, yakni senantiasa mendidik diri
merasakan betapa nikmatnya mati sebelum mati; dan karena mati yang selamat adalah kembali
kepada Tuhan, maka dalam rasa hatinya yang dirasakan lezat dan nikmat adalah mengingat-ingat dan
menghayati Isi-Nya Hû itu.
E. RENUNGAN
Kisah Siti Maryam, ibunda Nabi Isa AS, terdapat dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat
35-47 dan Surat Maryam ayat 16-34. Keluarga Imran dikisahkan dan dijadikan nama salah
satu surat dalam Al-Quran karena keteladanannya dalam beragama. Ibunya Maryam
bersuamikan Imran adalah saudara ipar Nabi Zakariya AS. Ia seorang perempuan yang
mandul, tapi ia tidak jemu-jemunya berikhtiar dan berdoa memohon dikarunia anak. Dengan
merendahkan diri dia beribadah, berzikir, berdoa, dan bernadzar kepada Allah bila
permohonannya dikalbulkan, dia akan menghibahkan anaknya sebagai pelayan, penjaga, dan
pemelihara Baitul Maqdis; dan sesekali tidak akan mengambil manfaat dari anaknya untuk
kepentingan dirinya dan keluarganya. Di saat usianya sudah tidak muda lagi doanya terkabul.
Istri Imran mengandung. Ia bersama suami mulai merancang apa yang akan diberikan kepada
bayi yang akan datang itu. Jika mereka sedang duduk berduaan tidak ada yang
diperbincangkan selain soal bayi yang akan dilahirkan. Suasana suram sedih yang selalu
meliputi rumah tangga Imran berbalik menjadi riang gembira, wajah sepasang suami isteri
Imran menjadi berseri-seri tanda suka cita dan bahagia dan rasa putus asa yang mencekam
hati mereka berdua berbalik menjadi rasa penuh harapan akan hari kemudian yang baik dan
cemerlang. Akan tetapi manusia hanya merencanakan sedangkan Tuhanlah yang
menentukan. Imran meninggal dunia sebelum bayi dilahirkan. Setelah penungguan yang
panjang tiba pula saatnya janda istri Imran untuk melahirkan. Semula tentu ada rasa kecewa
karena bayi yang lahir itu seorang perempuan, padahal ia bernadzar untuk dihibahkan kepada
Baitul Maqdis (pelayan Rumah Suci biasanya laki-laki). Ia pun bernadah kepada Tuhannya,
"Wahai Tuhanku, aku telah melahirkan seorang puteri, sedangkan aku bernadzar akan
menyerahkan seorang putera yang lebih layak menjadi pelayan dan pengurus Baitul
Maqdis.” Tuhan tentu punya rencana lain. Melalui Kuasa Tuhan janda istri Imran itu
menyerahkan pemeliharaan dan pendidikan bagi puterinya itu kepada iparnya Nabi Zakariya
AS.
Tindakan pertama yang dilakukan Zakariya untuk menjaga keselamatan Maryam ialah
menjauhkannya dari keramaian. Maryam ditempatkan di sebuah kamar di atas loteng Baitul
Maqdis yang cukup tinggi yang dapat dicapai dengan menggunakan sebuah tangga. Nabi
Zakaria pun mencurahkan rasa cinta dan kasih sayangnya, karena istri Nabi Zakariya pun
belum pernah mengandung. Tiap hari beliau datang menjenguknya, melihat keadaannya,
mengurus keperluannya, dan menyediakan segala sesuatu yang membawa ketenangan dan
kegembiraan baginya.
Rasa cinta dan kasih sayang Nabi Zakariya terhadap Maryam meningkat menjadi rasa
hormat dan takzim karena Maryam menunjukkan kesalehan yang luar biasa. Maryam ternyata
bukanlah gadis biasa sebagaimana gadis-gadis yang lain, tetapi ia adalah wanita pilihan
Tuhan. Pada suatu hari Nabi Zakariya mendapati Maryam lagi berada di mihrabnya
tenggelam dalam ibadah, berzikir dan bersujud kepada Allah. Beliau terperanjat ketika
pandangan matanya menangkap hidangan makanan berupa buah-buahan musim panas
terletak di depan Maryam yang lagi bersujud. Beliau bertanya dalam hatinya, dari manakah
gerangan buah-buahan itu datang, padahal sekarang musim dingin. Ketika ditanyakan
kepadanya, Maryam menjawab: "Inilah peberian Allah kepadaku tanpa aku berusaha atau
minta; dan mengapa engkau merasa heran dan takjub? Bukankah Allah Maha Kuasa?"
Demikianlah Allah telah memberikan tanda pertamanya sebagai mukjizat bagi Maryam,
gadis suci, manusia sempurna (insan kamil) yang dipersiapkan oleh-Nya untuk melahirkan
seorang Nabi Besar, Isa Al-Masih ibn Maryam. Pada peristiwa ini pun lagi-lagi Maryam
dijadikan fenomena kebesaran Tuhan. Maryam melahirkan Isa Al-Masih tanpa suami dan
tanpa sentuhan laki-laki. (disadur dari Media-Islam.or.id, 2012 & Wikipedia.or.id, 2015).
Coba baca dan renungkan Qs. 3/Ali Imran ayat 35-37:
(Ingatlah) ketika isteri 'Imran berdoa: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada
Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul
Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dariku. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui" (35) Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, dia pun
berdoa: "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah
lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak
perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan
untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syetan
yang terkutuk." (36) Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang
baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dan Allah menjadikan Zakariya
pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati
makanan di sisinya. Zakariya bertanya: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh
(makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah
memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. (37)
F. KESIMPULAN
Insân Kâmil merupakan tipe manusia ideal yang dikehendaki oleh Islam. Insân Kâmil
bukanlah salah satu pilihan hidup, melainkan satu-satunya pilihan hidup bagi orang yang
ingin kembali kepada Tuhan hingga sampai dengan selamat (masuk surga-Nya). Selain Insân
Kâmil hanyalah ‘manusia sesat’ (masuk neraka-Nya) atau ‘manusia in between’ (yang
keputusannya tergantung Kehendak Allâh). Artinya, jika ingin masuk surga-Nya haruslah
mencapai martabat Insân Kâmil.