Anda di halaman 1dari 16

MENELUSURI TRADISI ONGGOSO SUKU TOLAKI

YANG TEREPRESENTASI DALAM MITOS OHEO

TRACING THE ORIGIN OF TOLAKINESE TRADITION, ONGGOSO,


REPRESENTED IN OHEO MYTH

Heksa Biopsi Puji Hastuti


Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara
Kompleks Bumi Praja, Jalan Haluoleo, Anduonohu, Kendari, Sulawesi Tenggara, Indonesia
Telepon (0401)3135289; Faksimile (0401) 3135286
Pos-el: heksa.bph@gmail.com

Naskah diterima: 27 Juli 2019; direvisi: 12 Desember 2019; disetujui: 17 Desember 2019

Permalink/DOI: 10.29255/aksara.v31i2.433.223-238

Abstrak
Mitos Oheo adalah mitos yang hidup dalam masyarakat Tolaki, Sulawesi Tenggara. Mitos
ini diyakini memuat peristiwa peminangan yang pertama kali dilakukan dalam peradaban
suku Tolaki. Dalam penelitian ini dilakukan penelusuran representasi tradisi onggoso, sebuah
tradisi membayar sejumlah uang belanja sebagai syarat pernikahan, dalam mitos Oheo.
Permasalahan penelitian adalah bagaimana tradisi onggoso yang dikenal oleh Suku Tolaki
terepresentasi dalam mitos Oheo. Penelitian ini bertujuan untuk menarik relasi antara kode-
kode yang terdapat di dalam mitos Oheo dengan tradisi onggoso yang dikenal dalam adat
perkawinan Suku Tolaki. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dengan
pendekatan semiotik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tradisi onggoso mengambil
contoh dari pengajuan syarat dari Anawaingguluri kepada Oheo untuk menerima pinangan
Oheo. Dalam mitos Oheo, tradisi onggoso terepresentasi dalam dua fokus, yaitu penentuan
kesepakatan dan teknis pembayaran. Segmen awal mitos Oheo berelasi dengan penentuan
kesepakan mengenai jenis dan jumlah onggoso yang harus dibayarkan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan. Syarat yang diajukan oleh Anawaingguluri harus disetujui oleh
Oheo agar pernikahan di antara keduanya dapat dilaksanakan. Segmen tengah dan akhir
yang memuat upaya Oheo berkumpul kembali dengan Anawaingguluri berelasi dengan mo
mbolika odandi atau memperbaharui janji. Melalui mo mbolika odandi inilah terlihat upaya
pihak laki-laki dalam menepati janjinya sebagai sebuah tanggung jawab.

Kata kunci: tradisi onggoso, suku Tolaki, mitos Oheo

Abstract
The Oheo myth is a myth that lives in the Tolaki society, Southeast Sulawesi. This myth
is believed to contain the first marriage proposal carried out in Tolakinese civilization.
This study traced the representation of onggoso tradition, a tradition of paying an amount
of spending money as a condition for marriage, in the Oheo Myth. The issue of research
is how is the traditional tradition known by the Tolaki tribe represented in the Myth of
Oheo? This study aims to attract relations between the myth of Oheo and the tradition of
onggoso known in the marriage customs of the Tolaki tribe. The study was conducted with a
qualitative descriptive method with a semiotic approach. Based on the results of the analysis
it can be concluded that the Onggoso tradition took the example of submitting conditions
from Anawaingguluri to Oheo to accept Oheo’s proposal. In the Oheo myth, the onggoso

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 223
Menelusuri Tradisi Onggoso Suku Tolaki yang Terepresentasi dalam Mitos Oheo (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Halaman 223 — 238

tradition is represented in two focuses, namely the determination of agreement and technical
payment. The initial segment of the Oheo myth relates to the determination of agreement on
the type and number of onggosos the male side must pay to the woman. The terms proposed
by Anawaingguluri must be approved by Oheo so that the marriage between the two can be
carried out. While the middle and final segments that contain Oheo’s efforts are reunited
with Anawaingguluri in connection with the music magazine or renewing an appointment.
It is through this mo mbolika odandi that the efforts of the men in keeping their promises
are seen as a responsibility.

Keywords: onggoso tradition, Tolakinese tribe, Oheo myth

How to cite: Hastuti, H.B.P. (2019). Menelusuri Tradisi Onggoso Suku Tolaki yang Terepresentasi dalam
Mitos Oheo. Aksara, 31(2), (DOI: 10.29255/aksara.v31i2.433.223-238).

PENDAHULUAN (2013) menyatakan bahwa masyarakat pemilik


Suku Tolaki adalah penduduk asli di daratan folklor menggunakan bentuk-bentuk folklor
Sulawesi Tenggara. Hal ini sudah dibuktikan untuk mengomunikasikan pikirannya. Pesan
secara historis dan kultural (Hafid & Safar, dan pikiran ini terperangkap dalam berbagai
2007, hlm. 4). Adat istiadat dan tradisi mengakar wujud produk kelisanan, salah satunya cerita
dalam berbagai aspek kehidupan orang Tolaki. lisan. Cerita lisan menjadi refleksi perjalanan
Dalam ranah folklor, setidaknya ada tiga budaya sebuah masyarakat. Dengan demikian,
mitos yang berkisah tentang asal-usul Suku melalui cerita yang berkembang secara lisan,
Tolaki, yaitu mitos Wekoila, mitos Pasaeno, walaupun seiring perkembangan zaman ba­
dan mitos Oheo. Mitos Oheo dipilih sebagai nyak cerita lisan yang sudah bertransformasi
fokus dalam penelitian ini karena diyakini menjadi cerita tertulis atau cerita dalam media
memuat peristiwa peminangan yang pertama digital, dapat ditelusuri muasal sebuah adat
kali dilakukan dalam budaya suku Tolaki. dan tradisi dari satu kelompok budaya.
Mitos ini berkisah tentang seorang pemuda Hastuti (2013) melakukan penelitian
bernama Oheo yang berhasil mempersunting terhadap mitos Oheo dan dalam salah satu
putri bidadari. Keturunan Oheo diyakini pokok bahasannya terungkap bahwa ada
sebagai cikal bakal Suku Tolaki (Tarimana, benang merah yang menghubungkan antara
1993, hlm. 340). Cerita ini pada zaman dahulu tata cara perkawinan tokoh di dalam mitos,
diterima dan diyakini kebenarannya, meskipun yaitu pemuda Oheo dan putri Anawaingguluri,
seiring perkembangan peradaban keyakinan dengan tata cara perkawinan adat Tolaki. Perka­
ini semakin luntur. winan yang didahului proses peminangan,
Istilah tradisi lisan atau folklor mengacu dalam adat Tolaki disebut mowawo niwule,
pada entitas produk dan proses aktivitas pertama kali dilakukan oleh pasangan Oheo
kelisanan. Umumnya folklor difungsikan dan Anawaingguluri yang ditafsirkan sebagai
juga sebagai media penyampai pesan kepada simbol kedua belah pihak yang akan menyatu
khalayak. Hasilnya berupa petuah dalam dalam ikatan perkawinan. Anawaingguluri
wujud berbagai jenis tuturan yang berdasarkan sebagai representasi pihak perempuan berhak
pada pesan-pesan lisan terdahulu, yang paling mengajukan syarat sebelum memutuskan
tidak satu generasi (Vansina, 2014). Amir menerima atau menolak pinangan Oheo (re­

224 , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 223 — 238 (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Tracing the Origin of Tolakinese Tradition Onggoso Represented in Oheo Myth

pre­sentasi pihak laki-laki). Demikian pula Gunung Oheo di Kecamatan Oheo, Kabupaten
halnya Oheo, berhak menerima atau menolak Konawe Utara menjadi salah satu entitas alam
memenuhi syarat dari Anawaingguluri de­ yang diyakini terjadi dari batu besar yang
ngan mempertimbangkan kesanggupannya. dijatuhkan dari kayangan oleh Raja Dewa
Penelitian Hastuti ini lebih memfokuskan untuk mencelakai Oheo dan keluarganya.
pada sosok ideal perempuan Tolaki dalam Mitos Oheo sudah ditransformasikan dari
masyarakatnya yang terepresentasikan dalam bentuk asalnya sebagai cerita lisan mela­lui
mitos Oheo. Dari analisis lain terhadap sebuah buku hasil penelitian yang dilakukan
mitos Oheo juga terungkap representasi asas oleh Sande (1986). Dalam buku ini disebutkan
hubungan o rapu (konsep membentuk rumpun bahwa penyebaran cerita ini meliputi seluruh
keluarga) dalam adat suku Tolaki (Hastuti, masyarakat Tolaki yang ada di daratan
2014). Dari penelitian ini terbaca bahwa mitos Sulawesi Tenggara. Artinya, ber­dasarkan pe­
Oheo sangat erat kaitannya dengan kehidupan ne­litian Sande diketahui bahwa mitos Oheo
keluarga Tolaki. dimiliki oleh suku Tolaki secara kese­luruhan.
Suku Tolaki dengan kekayaan budaya dan Perbedaan versi hanya terletak pada detail
adat istiadatnya mengenal tata cara perkawinan kisahnya seperti penyebutan ahua (telaga) dan
yang cukup kompleks dan relatif masih dipatuhi sungai sebagai tempat di mana Ana­waingguluri
penyelenggaraannya hingga sekarang. Salah dan saudara-saudaranya mandi (Hastuti, 2013).
satu aspek yang masih dilakukan adalah tradisi Hukum dan aturan adat perkawinan
penyerahan onggoso. Terkait peristilahan, ada dalam bahasa Tolaki disebut sara ine tina
yang menyebutkannya dengan istilah onggoso (Koodoh, 2011). Ada empat syarat adat yang
tekonggoa atau onggoso ndekonggoa. Pada harus dipenuhi oleh pihak laki-laki sebagai
tulisan ini digunakan istilah onggoso yang peminang sebelum diresmikan dalam akad
lebih umum digunakan dalam masyarakat. nikah. Keempat syarat adat itu adalah puuno
Istilah ini mengacu pada tanggungan (pokok adat), popolono (mahar), sara peana
pengadaan biaya atau materi untuk persiapan (sejumlah barang/materi penebus jasa ibu),
penyelenggaraan acara yang ada dalam dan onggoso (biaya pesta).
rangkaian adat perkawinan. Bertolak dari Pada awalnya, ada pembedaan antara
pendapat bahwa pesan dan pikiran masyarakat penyerahan biaya untuk acara peminangan
pemilik folklor salah satunya dititipkan dalam (mowawo niwule) dan biaya untuk acara pesta
cerita-cerita lisan dan sebagai pendalaman dari pernikahan (mowindahako). Biaya untuk
penelitian terdahulu, diangkatlah permasa­ peminangan disebut ana nggoso, sedangkan
lahan mengenai bagaimana tradisi onggoso biaya untuk pesta pernikahan disebut onggoso.
terepresentasi di dalam mitos Oheo. Tujuannya Ana nggoso berupa bahan keperluan pesta
adalah menelusuri tradisi onggoso dalam adat seperti sapi atau kerbau, beras, kelapa, dan
perkawinan Suku Tolaki melalui mitos Oheo. lain-lain diantarkan pihak laki-laki ke rumah
Penelusuran mengenai muasal sebuah pihak perempuan sebelum dilakukan acara pe­
tradisi melalui cerita lisan dapat dilakukan minangan. Dalam perkembangannya, banyak
dengan mempertimbangkan nilai mitologis masyarakat Tolaki yang menyederhanakan
cerita tersebut. Mitos Oheo bernilai mitologis penyerahan biaya pesta ini menjadi hanya satu,
yang cukup kuat bagi masyarakat Tolaki. yaitu onggoso. Onggoso yang ada sekarang

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 225
Menelusuri Tradisi Onggoso Suku Tolaki yang Terepresentasi dalam Mitos Oheo (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Halaman 223 — 238

sudah meliputi pembiayaan seluruh rangkaian tercipta kemudian. Pembahasan mengenai


acara adat pernikahan dari awal sampai akhir mitos Oheo, terlebih dikaitkan dengan
(Su’ud, 2011; sumber wawancara, informan: tradisi lokal masyarakat pendukungnya,
Iinfantri Wahid). Namun, masih ada juga masuk ke dalam ranah etnografi sastra. Hal
yang memisahkan biaya pesta tersebut. Semua ini sejalan dengan Endraswara (2017) yang
bergantung pada pembicaraan antarkeluarga. mempersyaratkan penggambaran suku bangsa
Onggoso demikian penting dalam sebuah tertentu dalam etnografi sastra. Kehidupan
proses perkawinan. Suku Tolaki mengenal budaya masyarakat pendukungnya terpotret
beberapa istilah untuk proses perkawinan, baik melalui rangkaian alurnya. Dalam mitos
yang didahului dengan proses yang wajar atau Oheo, salah satu yang dapat ditelusuri adalah
pun yang tidak wajar, misalnya kawin lari atau ihwal proses pernikahan secara adat Tolaki.
perkawinan yang dilaksanakan karena kasus Hal ini tidak terlepas dari inti cerita yang
perzinaan (umoapi). Di dalam perkawinan diyakini sebagai praktik peminangan yang
karena umoapi pun onggoso menjadi salah pertama kali dilakukan dalam peradaban suku
satu poin yang harus dipenuhi (Handrawan, Tolaki. Sebelum peristiwa peminangan Oheo
2016). Sebelum tahun 1960-an, onggoso terhadap Anawaingguluri, suku Tolaki belum
diserahkan dalam bentuk barang-barang mengenal pernikahan yang didahului dengan
keperluan pesta. Penyerahan onggoso dalam proses peminangan.
bentuk uang baru dilakukan setelah tahun 60- Dalam ilmu semiotik, mitos berupa cerita
an (Su’ud, 2011). Selain berupa penggabungan yang hidup di suatu masyarakat dapat dianggap
ana nggoso dengan onggoso, penyederhanaan sebagai sebuah tanda. Sebagai sebuah produk
juga terjadi pada jenis materi yang diserahkan, budaya, tanda berupa cerita dapat diselami
yaitu berupa uang. Penyederhanaan ini lebih jauh sehingga terungkap apa yang
dilakukan demi alasan kepraktisan. Namun, sesungguhnya berada di dalamnya. Bahkan,
pada praktiknya onggoso harus ditunaikan menurut Sunardi (2004) meskipun mitos
sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Tidak mengacu pada cerita tidak sungguh-sungguh
menutup kemungkinan onggoso seluruhnya terjadi, tetap diperlukan agar manusia dapat
berupa uang, barang, atau uang dan barang. memahami lingkungan dan dirinya. Pendapat
Semua diputuskan melalui musyawarah. ini bersesuaian dengan (Barthes (2007) yang
Realitas budaya suatu kelompok suku menyatakan bahwa semua objek yang menjadi
biasanya tercermin dalam produk budaya, bagian dari masyarakat pasti memiliki makna.
termasuk sastra lisannya. Pengkajian Makna yang terkandung di dalam objek
terhadap sastra lama memiliki relevansi dan tersebut tentunya yang dapat dipahami secara
fungsi dengan kehidupan masyarakat masa langsung oleh masyarakat pemiliknya. Dalam
kini karena di dalamnya terkandung kisah hal ini, mitos yang lahir dan berkembang
kehidupan yang sarat akan makna (Wijanarti, menjadi suatu objek akan bermakna bagi
2015). Mitos Oheo adalah sastra Tolaki yang masyarakatnya. Terlebih, mitos yang
lahir dalam tradisi kelisanan. Sisi etnografis berkembang dalam wujud cerita rakyat dan
dalam sastra lisan yang anonim dan terlahir bersifat anonim. Mitos semacam ini berpeluang
dari rahim masyarakatnya lebih kental memuat sisi kultural yang menjadi refleksi
apabila dibandingkan dengan sastra yang kehidupan masyarakatnya. Mustikawati

226 , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 223 — 238 (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Tracing the Origin of Tolakinese Tradition Onggoso Represented in Oheo Myth

(2018) misalnya, sampai pada simpulan bahwa karya sastra, seperti mitos. Ratna (2007)
ada proses adaptasi masyarakat pendatang menyatakan bahwa sastra dapat memberikan
yang tercermin da­lam cerita rakyat Bontang. kontribusi dalam memahami aspek-aspek
Adaptasi yang dilakukan para pendatang ini kebudayaan. Dari mitos Oheo sebagai
meliputi adaptasi secara geografis, sosial, sastra lisan dapatlah ditelusuri aspek-aspek
dan religi. Masyarakat pendatang di Bontang kebudayaan Suku Tolaki.
melakukan adaptasi lingkungan dengan cara
menggunakan teknologi yang sesuai dengan METODE
pola daerah baru. Pada pola adaptasi sosial Penelitian ini lebih merujuk pada persoalan
dan religi terlihat perkembangan budaya makna sehingga tergolong dalam jenis pe­
dari adaptasi lingkungan, yaitu munculnya nelitian kualitatif. Makna yang tersembunyi
perniagaan dan ritual religi memberi sesaji di balik mitos sebagai produk budaya, yang
untuk laut. Demikian pula mitos Oheo, dari berbentuk karya sastra, dapat diungkap me­
representasi yang tergambar dalam mitos ini lalui proses analisis langsung, sebab karya
diharapkan dapat tertelusuri satu sisi budaya sastra itu dianggap sebagai masyarakat
Suku Tolaki, yaitu tradisi onggoso. (Ratna, 2007). Mitos Oheo dapat dianalisis
Dalam perkembangannya, kode-kode langsung karena dianggap sebagai representasi
budaya yang terperangkap di dalam sebuah masyarakat Tolaki. Data penelitian diperoleh
mitos menjadi salah satu perhatian penelitian dari penelusuran pustaka dan hasil wawancara.
semiotik. Kode-kode budaya ini mewujud Data pustaka berupa mitos Oheo dalam buku
sebagai sistem kebiasaan dan sistem nilai Struktur Sastra Lisan Tolaki dan referensi
(Eco, 1996). Mitos sering kali hadir dalam tata tertulis mengenai tradisi onggoso dalam
urutan cerita yang terangkai dengan utuh. Perlu adat perkawinan suku Tolaki. Data pustaka
kejelian untuk mengungkap dan memetakan diperkuat dengan data hasil wawancara terkait
kode-kode budaya yang tersembunyi di eksistensi mitos Oheo bagi masyarakat Tolaki
dalamnya dengan melalui pembacaan berlapis. dan pelaksanaan perkawinan adat Tolaki.
Lapis pertama merupakan identifikasi kode Data dianalisis dengan pendekatan
budaya, sedangkan pada lapis kedua dilakukan semiotika. Permasalahan yang telah diru­
dengan lebih mendalami kode budaya tersebut muskan dipecahkan secara emik dengan
melalui perelasian pada realitas budaya yang metode kualitatif interpretatif, sesuai dengan
ada saat ini. Perelasian juga dapat mengungkap tujuan penelitian yang akan dicapai (Ratna,
perjalanan realitas budaya dari masa ke 2010). Pendekatan kajian budaya dipandang
masa apabila terdeteksi adanya pergeseran. cocok diterapkan dalam menganalisis data
Perelasian kode budaya dalam mitos dengan karena data dan fokus penelitian terkait erat
realitas budaya dalam masyarakat merupakan dengan kebudayaan, yaitu tradisi onggoso,
kerja dalam kerangka kajian budaya. Kajian budaya Suku Tolaki. Dipilihnya mitos Oheo
budaya yang secara leksikal memuat makna untuk dijadikan objek penelusuran atas
pengkajian terhadap suatu kebudayaan mem­ tradisi onggoso, didasarkan pada penelitian
buka peluang penelusuran entitas budaya sebelumnya yang menunjukkan hasil bah­
yang terdapat dalam entitas budaya lainnya, wa mitos Oheo terkait erat dengan asal-
termasuk penelusuran sebuah tradisi melalui muasal moawo niwule, proses peminangan

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 227
Menelusuri Tradisi Onggoso Suku Tolaki yang Terepresentasi dalam Mitos Oheo (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Halaman 223 — 238

dalam perkawinan adat Tolaki. Proses adalah putri bungsu bernama Anawaingguluri.
pembacaan terhadap mitos Oheo disertai Oheo meminta kesediaan Ana­waing­
dengan pencatatan data berupa bagian- guluri untuk menjadi istrinya.1 Oheo berjanji
bagian cerita yang berkaitan dengan tanda mengem­balikan selendang Ana­­waingguluri
atau simbol “pemberian” dari Oheo kepada apabila sang putri mau me­nikah dengannya.
Anawaingguluri dalam persepakatan mereka. Sebagai tanggapan atas permintaan Oheo,
Data dianalisis dengan melakukan Anawaingguluri menga­jukan sebuah permin­
perelasian makna antara tanda atau simbol taan sebagai syarat diterimanya pinangan
yang muncul dalam mitos Oheo dengan tafsiran Oheo. Permintaan ini tidak berupa benda atau
petanda yang ada dalam praktik onggoso. materi lainnya, melainkan kesediaan Oheo un-
Pada dasarnya, mengungkap relasi makna tuk berjanji mau membersihkan kotoran anak
berarti membuka sebentuk representasi yang mereka kelak apabila anak tersebut buang air
sebelumnya tersamar­kan. Representasi tidak kecil ataupun buang air besar. Bukan tanpa
menunjuk kepada dirinya sendiri, melainkan alasan Anawaingguluri mengajukan perminta-
kepada yang lain. Karena sifat dasar itulah, an ini sebagai syarat. Syarat ini tidak dapat
maka representasi sering di­per­masalahkan ditawar karena sebagai putri bidadari Ana­
ihwal kemampuannya dalam menghadirkan waingguluri berpantang menyentuh kotoran
sesuatu di luar dirinya karena seringkali manusia. Oheo menyanggupi syarat ini, maka
representasi justru beralih menjadi sesuatu menikahlah mereka. Namun, setelah menikah
sendiri. Jarak dan celah yang terbentuk antara ternyata Oheo tidak mengembalikan selendang
representasi dan yang direpresentasikan, sering Ana­waingguluri. Mereka hidup bersama se­
terlupakan oleh manusia sehingga pengkajian bagai suami istri dan dikaruniai seorang anak.
perlu dilakukan demi menutup celah tersebut. Dalam perjalanan rumah tangganya,
Oheo senantiasa menjaga janjinya kepada
HASIL DAN PEMBAHASAN Anawaingguluri, yaitu membersihkan kotoran
Mitos Oheo: Sinopsis dan Eksistensinya anak mereka, baik ketika sang anak buang air
dalam Masyarakat Tolaki kecil maupun buang air besar. Demikianlah
Mitos Oheo berkisah tentang Oheo, seorang Oheo berusaha memegang janjinya sampai pada
pemuda petani tebu yang hidup sebatang kara. suatu ketika Oheo disibukkan oleh pekerjaan
Oheo mendapati beberapa pohon tebunya meramu atap rumbia di kolong rumah, untuk
dicuri. Suatu siang, Oheo mendengar suara pertama kalinya dia mengingkari janji itu.
ribut dari arah telaga. Di sana Ohe melihat tujuh Anak Oheo buang air besar, Anawaingguluri
orang putri bidadari sedang mandi. Di pinggir meminta Oheo mencebokinya. Namun, Oheo
telaga terlihat beberapa sarungga ngguluri mengabaikan permintaan Anawaingguluri.
(selendang bidadari). Oheo mengambil dan Meskipun berkali-kali Anawaingguluri me­
menyembunyikan salah satunya. Ketika ngingatkan janjinya pada saat peminangan,
Oheo muncul dan mengagetkan mereka, para tetapi Oheo tetap menolak. Pada saat itu,
putri ini bersegera mengambil selendangnya untuk pertama kalinya, Anawainggulurilah
masing-masing dan terbang kembali ke
kahyangan. Tinggallah seorang putri yang se­ 1 Peristiwa ini dimaknai sebagai peminangan. Inilah
lendangnya disembunyikan Oheo. Putri ini peminangan pertama yang dilakukan dalam perada-
ban suku Tolaki.

228 , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 223 — 238 (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Tracing the Origin of Tolakinese Tradition Onggoso Represented in Oheo Myth

yang membersihkan kotoran anak mereka. kepada pihak laki-laki. Apabila dirunut dari
Setelah peristiwa ini, Anawaingguluri
awal, rangkaian adat Tolaki dalam melak­
merasa sangat resah. Hatinya terluka karena
sanakan perkawinan mencakup tahap-tahap
diabaikan oleh Oheo sehingga dia harus yang cukup panjang. Diawali dengan tahap
melanggar pantangan sebagai putri bidadari,
metiro yang disebut juga monggolupe yang
yaitu menyentuh kotoran manusia. Dalam maknanya mengintip atau melihat secara
keadaan gelisah, tanpa sengaja terlihatlahsaksama sang calon istri. Metiro adalah tahap
oleh Anawaingguluri sarungga ngguluri- awal dari rangkaian aktivitas untuk menuju
nya yang selama ini hilang. Ternyata di­ pada perkawinan antara seorang laki-laki dan
sembunyikan dalam sebuah lubang di ujung perempuan yang akan hidup dalam sebuah
kasau atap rumah oleh Oheo. Kegundahan rumah tangga baru. Metiro dilakukan oleh
hati Anawaingguluri karena kecewa terhadaputusan keluarga laki-laki ke kediaman keluarga
Oheo yang menolak memelihara janjinya, perempuan dengan tujuan mencari informasi
ditambah dengan ditemukannya sarungga tentang perempuan yang akan dipinang dan
ngguluri, membuatnya mengambil keputusan menjadi bakal calon menantu.
untuk kembali ke kayangan. Maruf (2013) merincikan tata cara metiro
Oheo memutuskan untuk menyusul dalam tata cara perkawinan adat Tolaki.
istrinya ke kayangan. Setelah berkeliling Pertama, orang tua calon mempelai laki-laki
hutan sambil menggendong anaknya yang langsung mengutus seseorang secara rahasia
menangis ingin menyusu, akhirnya Oheo ke rumah orang tua perempuan yang dituju
bertemu ue wai, tumbuhan rotan hijau yang dengan memperhatikan kepribadian si gadis.
pada setiap ruasnya ditumbuhi daun dan Dalam bahasa Tolaki, gadis yang akan dilamar
akar untuk memanjat. Ue wai menyanggupi haruslah papasa dan wowai meambo (cocok,
mengantarkannya ke kayangan asalkan Oheo baik, dan cantik). Gadis yang memenuhi
terlebih dahulu membuat cincin besi dalam kriteria inilah yang menjadi idaman. Apabila
jumlah banyak. Cincin besi itu digunakan dari hasil pengamatan gadis yang dituju sudah
sebagai tempat pijakan Oheo ketika memanjat
sesuai harapan, dilakukanlah peminangan tidak
tubuh ue wai untuk menuju kayangan. langsung (monggolupe). Wakil pihak keluarga
Setiba di kahyangan, Oheo masih harus
laki-laki dengan diam-diam meninggalkan
melewati beberapa ujian yang cukup berat peralatan tata rias remaja putri di rumahnya.
dari Kepala Dewa, ayah Anawaingguluri. Apabila dalam waktu empat hari (4x24 jam)
Setelah berhasil menyelesaikan ujian-ujianperalatan tata rias tersebut tidak dikembalikan,
tersebut, termasuk menghindari kecelakaan dapat diartikan sebagai sinyal yang menandakan
yang diren­canakan oleh Kepala Dewa dalam penerimaan. Sebaliknya, apabila peralatan tata
perjalanan turun ke bumi, Oheo pun kembalirias dikembalikan dalam 1x24 jam, artinya
berkumpul bersama keluarganya dan kembali penolakan sehingga tidak akan ada tahap
ke bumi. selanjutnya.
Tahap kedua adalah monduutudu atau
Perkawinan Adat Tolaki lamaran pendahuluan. Pengertian yang
Dalam adat Tolaki, pembiayaan acara per­ disepakati dalam monduutudu adalah bahwa
nikahan dari awal sampai akhir dibebankan kedua calon mempelai dan kedua keluarga

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 229
Menelusuri Tradisi Onggoso Suku Tolaki yang Terepresentasi dalam Mitos Oheo (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Halaman 223 — 238

sudah sama-sama menyetujui. Monduutudu pihak perempuan; permohonan pihak laki-laki


dilakukan dengan mengirimkan syarat adat kepada pihak perempuan untuk menerima mas
berupa kalo, satu bungkus sirih segar, dan kawin yang telah dipersembahkan dengan rasa
satu lembar kain sarung sebagai pengikatnya. kekeluargaan yang dalam; pernyataan pihak
Apabila dalam 8x24 jam syarat adat ini tidak perempuan akan kesungguhan pihak laki-laki
dikembalikan, lamaran terbuka (mowawo dalam usahanya menyambung tali persaudaraan
niwule) dapat dilaksanakan. Akan tetapi, jika dan memperluas hubungan kekeluargaan; dan
syarat adat dikembalikan dalam waktu 1x24 rangkaian ungkapan yang menggambarkan
jam, artinya adalah penolakan. Etikanya, dalam suasana gembira sebagai rasa syukur atas
pengembalinan ini keluarga pihak perempuan lancarnya proses pelaksanaan acara. Dengan
menambahkan selembar kain sarung sebagai terlaksananya mowindahako, resmilah kedua
konsekuensi penolakan. Penambahan selembar mempelai menjadi suami istri.
kain sarung ini dimaksudkan untuk menjaga
rasa malu orang tua laki-laki agar hubungan Onggoso dalam Adat Perkawinan Tolaki
kekeluargaan tetap harmonis dan atas wujud Onggoso merupakan satu aspek yang terdapat
ucapan terima kasih orang tua perempuan atas dalam prosesi perkawinan adat Tolaki.
perhatian kepada puterinya. Secara harfiah, onggoso bermakna ongkos
Lalu, rangkaian adat menginjak pada tahap atau biaya. Dalam konteks perkawinan adat
mowawo niwule yang dikenal juga dengan Tolaki, ada juga yang menyebutnya dengan
sebutan mondongo niwule. Tahap ini adalah istilah onggoso tekonggoa atau onggoso
pelaksanaan melamar sesungguhnya secara ndekonggoa yang secara harfiah mengandung
terbuka atau peminangan secara resmi. Dalam arti ongkos atau biaya pesta. Jadi, onggoso
tahapan ini dilakukan pembicaraan mengenai adalah ongkos atau biaya yang dikeluarkan
waktu, tanggal dan tempat pelaksanaan untuk menyelenggarakan sebuah acara pesta.
perkawinan, mas kawin atau popolo, sara peana Onggoso dibebankan kepada pihak laki-
(biaya penebus jasa ibu), dan onggoso (biaya laki. Masyarakat Tolaki memahami bahwa
untuk pesta). Ada benda-benda yang harus onggoso tidak termasuk dalam syarat adat,
dipersiapkan oleh pihak laki-laki dalam tahapan tetapi onggoso selalu ada dalam sebuah
adat ini dan menjadi prasyarat pernikahan, yaitu proses perkawinan. Pentingnya onggoso dapat
karandu (gong), kiniku (kerbau), o eno (emas), dilihat dalam keharusannya hadir dalam setiap
dan aso ndumbu o kasa (1 pis kain kaci). proses perkawinan, baik perkawinan normal
Tahap penyerahan pokok adat disebut yang melalui tahap peminangan (perkawinan
mowindahako. Tahap ini merupakan tahap mowindahako) atau dalam sebuah perkawinan
akhir dari penyelenggaraan upacara perkawinan karena alasan tertentu seperti kasus perzinaan
secara adat, yang artinya adalah yang disusul ‘umoapi’ atau kawin lari ‘pinolasuako’.
dengan pengucapan “akad nikah” sesuai dengan Apabila proses pernikahannya normal
agama (keyakinan) masing-masing. Dalam dengan melalui tahap peminangan, besaran dan
pelaksanaan adat, terjadi dialog antara juru bicara jenis onggoso ditetapkan pada saat mowawo
pihak laki-laki dan juru bicara pihak perempuan niwule (pelaksanaan lamaran). Secara adat,
yang memuat kesiapan mas kawin dari pihak besaran serta jenisnya bergantung pada kelas
laki-laki untuk segera diserahkan kepada sosial. Tidak jarang terjadi negosiasi dalam

230 , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 223 — 238 (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Tracing the Origin of Tolakinese Tradition Onggoso Represented in Oheo Myth

proses penetapan onngoso. Onggoso harus di­ dapat memenuhi nilai yang diminta. Ada juga
serahkan oleh pihak laki-laki untuk membiayai yang beralasan menginginkan pesta mewah
atau mencukupi keperluan pelaksanaan pesta. demi mengabadikan momen perkawinan yang
Pada pernikahan yang tidak normal, pro­ diharapkan hanya terjadi sekali seumur hidup.
ses penetapan onggoso dilakukan ketika pro­ Karena alasan-alasan itulah orang sampai rela
sesi mengembalikan perempuan yang dilarikan meminjam uang demi untuk mencukupi jumlah
kepada keluarganya. Prosesi ini di­sebut me- onggoso yang diminta.
sokei yang sekaligus dilakukan pula akad ni- Penting untuk diperhatikan bahwa
kah. Selain disepakati besaran dan jenis onggo- penyerahan materi pembiayaan pernikahan
so, ditetapkan juga waktu penyerahan onggoso yang awalnya dilakukan dalam sedikitnya dua
ini kepada pihak perempuan. Akan te­tapi, pada tahap, yaitu pembiayaan pesta pelamaran dan
kenyataannya karena keadaan ke­uangan yang pembiayaan pesta pernikahan. Akan tetapi,
kurang baik, calon mempelai laki-laki bisa saja dewasa ini yang lebih banyak dilakukan
tidak dapat menepati hasil kesepakatan. adalah penyederhanaan dengan membayarkan
Untuk kondisi seperti ini, pihak laki-laki seluruh biaya rangkaian pesta dalam satu kali
dapat mendatangi pihak perempuan untuk penyerahan.
minta tambahan tempo pembayaran atau
pengurangan jumlah onggoso. Masyarakat Relasi Kode Budaya dalam Mitos Oheo
Tolaki menyebutnya pindah janji atau mo dengan Realitas Budaya Prosesi Perkawinan
mbolika odandi. Ketika tiba tenggat kedua Adat Tolaki
untuk pembayaran onggoso, tetapi pihak laki- Mitos Oheo diyakini sebagai cerita pertama
laki belum juga bisa memenuhi kesepakatan, perkawinan yang didahului dengan peminangan
bisa dibuat kesepakatan baru antara kedua belah dalam masyarakat Tolaki. Jadi, tradisi meminang
pihak. Ada potensi munculnya permasalahan perempuan untuk dijadikan istri bermula dari
apabila pihak perempuan bertahan tidak mau Oheo yang melakukan peminangan terhadap
menerima mo mbolika odandi. Dahulu pindah Anawaingguluri. Bertolak dari apa yang
janji boleh dilakukan sampai tiga kali, tetapi diyakini oleh suku Tolaki ini, analisis dilakukan
sekarang hanya dimungkinkan sekali saja. pada mitos Oheo untuk menelusuri asal-muasal
Apabila dirunut, makna penting onggoso tradisi onggoso yang terepresentasi di dalamnya.
bagi suku Tolaki tidak terlepas dari eratnya Untuk memudahkan proses analisis, mitos Oheo
ikatan persaudaraan di antara mereka. Acara dibagi dalam tiga segmen yang pembagiannya
pesta sebagai salah satu momen berkumpulnya direlasikan dengan tahap-tahap perkawinan adat
keluarga besar menjadi hal yang dinanti- Tolaki sebagai realitas budaya. Kisah dalam
nantikan setiap keluarga. Semakin banyak mitos Oheo menjadi kode budaya yang menjadi
anggota keluarga batih, semakin besar pula pesta representasi realitas budaya Tolaki.
yang harus diselenggarakan. Dengan demikian,
permintaan jumlah onggoso pun semakin besar. Relasi Kode Budaya dalam Mitos Oheo
Pihak laki-laki akan berusaha sebisa mungkin dengan Realitas Budaya Metiro
memenuhi nilai onggoso yang telah disepakati, Mitos Oheo diawali dengan kisahan Oheo,
walau harus meminjam, karena mereka akan pemuda yang mempunyai kebun tebu. Segmen
malu kepada keluarga perempuan apabila tidak awal ini memuat kisah pertemuan Oheo dengan

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 231
Menelusuri Tradisi Onggoso Suku Tolaki yang Terepresentasi dalam Mitos Oheo (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Halaman 223 — 238

Anawaingguluri, seorang putri bidadari dari realitas budaya metiro, pengutaraan niat
kayangan yang sedang mandi di telaga tidak dilakukan dengan meninggalkan barang-barang
jauh dari kebun tebu Oheo. Berikut ini kutipan seperti perhiasan, alat bersolek, atau pakaian.
ceritanya. Barang yang ditinggalkan menjadi simbol
kesungguhan niat pihak laki-laki dan menjadi
Pada suatu waktu dengan tiba-tiba ia mendengar media penyampai pesan, apakah sang gadis
suara keributan di sungai. Bangunlah ia dari
menyambut niat baik sang pemuda? Melalui
pembaringannya lalu turun dari rumah dan
berjalan perlahan-lahan menuju ke sungai. barang yang ditinggalkan ini pula jawabannya
Tampaklah olehnya tujuh orang putri dari disampaikan. Anawaingguluri tidak Sebagai
atas kayangan yang akan turun mandi- peristiwa perkawinan dengan proses pelamaran
mandi. Selain mereka itu, ia juga melihat yang diyakini pertama dilakukan dalam
sedang berjejer sarungga-ngguluri (sejenis
peradaban Suku Tolaki, tentu kejadiannya
topeng pakaian terbang) di pinggir sungai itu.
Dengan merangkak ia datang perlahan-lahan lebih sederhana jika dibandingkan dengan
mengambil salah satu dari pakaian topeng realitas budaya yang ada saat ini. Namun, secara
kepunyaan putri bungsu dari kayangan itu lalu konsepsi memiliki relasi yang kuat.
ia kembali ke rumahnya dan menyelipkannya
pada lobang ujung kasau bambu (Sande, 1986).
Relasi Kode Budaya dalam Mitos Oheo
dengan Realitas Budaya Mowawo Niwule
Membaca segmen awal ini terbaca relasi
Pada segmen berikutnya dikisahkan peristiwa
langsung pada tahap awal perkawinan adat
di mana Oheo meminta Anawaingguluri
Tolaki, yaitu metiro. Oheo mengintip dan
menjadi istrinya. Dalam peristiwa ini terdapat
mencari tahu tentang sang gadis. Metiro yang
kode-kode yang berelasi dengan realitas
disebut juga monggolupe mengandung makna
budaya dalam perkawinan adat Tolaki. Di
mengintip atau melihat secara saksama sang
dalam segmen ini Oheo menyerahkan usu-
calon istri. Metiro adalah tahap awal dari
usu atau ikat kepalanya untuk menutupi
rangkaian pelaksanaan adat yang menuju pada
tubuh Anawaingguluri yang telanjang karena
perkawinan seorang laki-laki dan perempuan
pakaian bidadarinya disembunyikan oleh Oheo.
yang akan hidup dalam sebuah rumah tangga
Berikut ini kutipan peristiwa peminangan
baru. Sebagai peristiwa pernikahan pertama yang
Oheo. Kutipan ini berupa satu paragraf, tetapi
didahului peminangan ’mowawo niwule’, tentu
untuk memperjelas pembahasan kutipan dibagi
saja metiro yang dilakukan sangat sederhana.
menjadi tiga kode sebagai berikut.
Oheo tinggal sebatang kara. Prosesi metiro
dilakukannya sendiri. Namun, esensi yang (a) “Kasihanilah daku, Oheo, kem­balikanlah
terkandung dalam peristiwa “Oheo mengintip sarunggaku itu; mereka sudah meninggal­
calon istrinya” memiliki relasi dengan prosesi kan saya,” kata Anawaingguluri. Kawan-
kawannya sudah lama berangkat dan telah
metiro yang dikenal oleh suku Tolaki.
jauh mereka meninggalkannya. Ia sudah
Dalam realitas budaya Tolaki, pembicaraan tidak melihat lagi mereka. Oheo berkata,
pada prosesi metiro ditujukan sebagai perkenalan “Saya bersedia mengembalikannya, tetapi
sekaligus pengutaraan niat. Dalam metiro yang engkau akan saya peristri.”
(b) Anawaingguluri berkata, “Baiklah,
dilakukan Oheo pengutaraan niat terepresentasi
saya terima asalkan engkau bersedia
dalam peristiwa diambilnya sarungga ngguluri mengembalikan sarungga-ngguluriku. Di
milik Anawaingguluri. Sementara dalam samping itu, kita mengadakan perjanjian.

232 , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 223 — 238 (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Tracing the Origin of Tolakinese Tradition Onggoso Represented in Oheo Myth

Kalau kita sudah kawin dan mempunyai perkawinan). Dengan adanya pernyataan ke­
anak, saya tidak akan mencuci kotoran sanggupan Oheo untuk memenuhi permintaan
anak kita itu. Engkaulah yang akan
Anawaingguluri maka perkawinan mereka
membersihkannya.” Oheo berkata, “Saya
terima baik. Sayalah yang akan mencuci dapat dilaksanakan. Dalam cerita, kode yang
dan membersihkan kotoran anak kita itu.” tergambar terlihat sederhana. Tidak ada
(c) Kemudian dia memberikan destarnya penyelenggaraan pesta atau jenis perayaan.
kepada putri itu untuk dipakainya sebagai
Kode ini dalam realitasnya berkembang
pengganti kain sarung lalu mereka pergi ke
rumahnya (Sande, 1986). menjadi penyelenggaraan serangkaian tahap
yang harus dilalui.
Kutipan tersebut merupakan data yang Destar atau dalam bahasa Tolaki disebut
memuat kode-kode yang berelasi dengan usu-usu Oheo, dengan asumsi bentuknya yang
realitas budaya dalam perkawinan adat Tolaki. melingkar sebagaimana lingkaran kepala,
Apabila dicermati, dalam satu paragraf ini merepresentasikan simbol kalo. Di sini terbaca
terkandung representasi realitas budaya dalam relasi dengan realitas budaya suku Tolaki saat ini.
perkawinan adat Tolaki. Data (a) dan (b) Berangkat dari usu-usu Oheo yang diserahkan
memuat kode yang berelasi dengan prosesi pada saat meminang Anawaingguluri, sampai
peminangan. saat ini dalam upacara peminangan adat harus
Data (a) memuat memuat kode yang disertai dengan penggunaan kalo sebagai pokok
terelasi dengan realitas pelamaran atau adat Tolaki. Dalam perkawinan adat Tolaki,
peminangan. Bagian inilah yang dianggap penyelesaian adat disebut mowindahako. Tahap
sebagai peminangan yang pertama kali ini merupakan tahap akhir dari penyelenggaraan
dilakukan dalam sejarah budaya Suku Tolaki upacara perkawinan secara adat, yang artinya
yang selanjutnya berkembang menjadi adalah yang disusul dengan pengucapan “akad
realitas yang ada hingga saat ini. Data (b) nikah” sesuai dengan agama (keyakinan).
memuat kode pihak perempuan mengajukan
permintaan dalam prosesi peminangan sebagai Representasi Onggoso dalam Mitos Oheo
persyaratan jika ingin lamarannya diterima. Onggoso secara harfiah berarti ongkos/biaya.
Sementara data (c) merupakan kode pernyataan Dalam konteks perkawinan adat Tolaki,
kesanggupan pihak laki-laki memenuhi onggoso mengacu pada materi yang diberikan
permintaan tersebut. Di sini terlihat adanya oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan
negosiasi untuk mencapai kesepakatan sebelum untuk membiayai acara atau pesta perkawinan.
melangsungkan pernikahan. Dalam proses Di dalam realitasnya, onggoso diperlukan demi
negosiasi yang tergambar singkat bahwa ada terlaksananya pesta yang melibatkan keluarga
dua permintaan Anawaingguluri, yaitu Oheo dari kedua belah pihak. Sementara itu, kode
harus mengembalikan sarungga-ngguluri-nya yang terdapat dalam mitos Oheo jauh lebih
dan Oheo harus mau membersihkan kotoran sederhana. Di dalam mitos tidak ditemukan
anak mereka kelak. Sebagai putri bidadari, kisahan pesta. Tidak ada juga tokoh lain yang
Anawaingguluri berpantang menyentuh diceritakan terlibat dalam penyelenggaraan
kotoran manusia. Oheo menyanggupi dua sebuah acara atau semacamnya. Namun, apabila
permintaan tersebut. ditelisik lebih dalam, dari keseluruhan cerita
Pada data (c) terlihat relasi dengan dapat ditarik relasi dengan realitas onggoso.
realitas budaya mowindahako (pelaksanaan

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 233
Menelusuri Tradisi Onggoso Suku Tolaki yang Terepresentasi dalam Mitos Oheo (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Halaman 223 — 238

Pada segmen awal relasi terhubung pada esensi sara mbonduutudu, niwule mborakepi” yang
proses negosiasi onggoso. Segmen selanjutnya artinya “karena tujuan adat kami adalah adat
hingga akhir cerita terelasi dengan tata cara peminangan awal”. Kalimat ini dilanjutkan
pembayaran onggoso. dengan pertanyaan apakah perempuan
Dalam segmen awal [kutipan data (a), yang akan dilamar sudah memiliki calon
(b), dan (c)] termuat kode-kode yang dapat pendamping? Sebelum menjawab pertanyaan
direlasikan dengan realitas budaya Tolaki. ini, tolea dari pihak perempuan menanyakan
Di dalamnya terdapat dialog antara Oheo kepada keluarga. Biasanya pihak keluarga
dan Anawaingguluri yang menunjukkan perempuan duduk di belakang tolea. Salah
kesesuaian dengan proses perkawinan adat. satu hal penting yang dibicarakan pada monduu
Oheo menanyakan kesediaan Anawaingguluri tudu/morakepi adalah ana nggoso (biaya
untuk menjadi istrinya lalu Anawaingguluri untuk acara moawo niwule). Ana nggoso yang
menjawabnya. Dia meminta Oheo mengem­ sudah disepakati harus diserahkan sebelum
balikan sarungga ngguluri sekaligus meminta pelaksanaan mowawo niwule. Tidak jarang
kesediaan Oheo mencebok anak mereka terjadi negosiasi panjang untuk mencapai
kelak apabila anak itu membuang hajat. Oheo kesepakatan. Pada pelamaran tahap kedua
menyanggupi kedua permintaan tersebut, maka ‘mowawo niwule’ rombongan pihak laki-
menikahlah mereka. Kisahan sederhana ini laki datang ke rumah pihak perempuan yang
dalam realitas budaya Tolaki merefleksikan intinya kembali menegaskan maksud untuk
prosesi perkawinan adat yang cukup panjang mempersunting sang gadis. Ada benda-benda
dan kompleks. yang harus dipersiapkan oleh pihak laki-laki
Realitas budaya onggoso pun demikian. dalam tahapan adat ini dan menjadi prasyarat
Pernikahan baru dapat dilaksanakan setelah ada pernikahan, yaitu karandu (gong), kiniku
kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak (kerbau), o eno (emas), dan aso ndumbu o
perempuan mengenai jumlah dan jenis onggoso. kasa (1 pis kain kaci). Setelah secara tersurat
Pihak perempuan mengajukan sejumlah syarat diucapkan kalimat penerimaan, dilakukanlah
ketika pelaksanaan pelamaran. Dalam adat pembicaraan mengenai waktu, tanggal
Tolaki prosesi pelamaran terbagi menjadi tiga, dan tempat pelaksanaan perkawinan serta
yaitu pelamaran awal ‘monduu tudu/morakepi, maskawin atau popolo, dan onggoso (biaya
pelamaran sesungguhnya ‘mowawo niwule’atau untuk pesta perkawinan). Tahap selanjutnya
dikenal juga dengan istilah ‘mondongo niwule’, adalah momboko ndetoro niwule (pengukuhan
dan pengukuhuan lamaran ‘momboko ndetoro pelamaran atau pertunangan), ditandai
niwule’. dengan penyerahan seperangkat pakaian dan
Pada prosesi pelamaran awal, (moduu perhiasan untuk sang gadis (membebabuki/
tudu/morakepi) orang tua pihak laki-laki mombesawuki). Masih dalam kesempatan ini,
mengirim utusan yang terdiri atas juru bicara dilakukan musyawarah menetapkan jumlah
adat ‘tolea’ dan wakil keluarga ke rumah pihak dan jenis serahan adat yang harus dibayarkan
perempuan. Utusan ini menyampaikan maksud oleh pihak laki-laki. Musyawarah penetapan ini
dengan tuturan adat dan membawa serta syarat disebut mesenggehi.
adat. Pada salah satu bait tuturannya terdapat Pada praktiknya dalam masyarakat
kalimat yang secara eksplisit menjadi maksud Tolaki sekarang, tahapan pelamaran ini
kedatangan rombongan, yaitu “tamonoto disederhanakan. Penyederhanaan tahap-tahap

234 , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 223 — 238 (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Tracing the Origin of Tolakinese Tradition Onggoso Represented in Oheo Myth

dalam perkawinan adat Tolaki terutama sekali istrinya itu mulai mengidam dan pada akhirnya
dapat dilihat dalam proses pelamaran. Pada dia melahirkan seorang bayi. Bilamana bayi
itu buang air besar, dialah yang membersihkan
awalnya tahap peminangan terdiri atas tiga tahap
kotoran bayi itu. Sejak lahir sampai bayi
yang dalam setiap tahapnya diantarai selang itu pandai berjalan, Oheo tidak pernah lalai
waktu. Peminangan yang dipraktikkan zaman menjalankan tugasnya. Pada suatu waktu,
sekarang umumnya meniadakan tenggang Oheo pergi meramu daun rumbia untuk dibuat
atap. Sementara dia sibuk membuat atap di
waktu tersebut. Ketiga tahap peminangan
bawah kolong rumah, anak mereka itu buang
dilaksanakan dalam satu kali pertemuan. Jadi, air besar. Anawaingguluri berkata, “Oheo,
dalam tahap peminangan inilah dirembuk naik dahulu ke rumah untuk membersihkan
masalah waktu dan tempat pelaksanaan kotoran anak kita! Ia telah buang air besar.”
Oheo berkata, “Tunggu dulu, saya selesaikan
pesta perkawinan, maskawin ‘popolo’, dan
atapku!” Anawaingguluri berkta lagi, “Naiklah
besaran serta jenis onggoso. Versi asalnya dahulu bersihkan kotoran anak itu; sudah
onggoso diserahkan dalam bentuk bahan-bahan kering kotorannya!” Oheo berkata, “Engkau
keperluan mpenyelenggaraan pesta seperti lagi yang mencebok anak itu! Mengapakah
harus selalu saya yang mencebok anak itu?”
sapi, beras, dan kelapa. Akan tetapi, seiring
Sekali lagi Anawaingguluri berkata, “Oheo,
perkembangan zaman disederhanakan menjadi apakah engkau masih ingat janji kita pada
sejumlah uang. Su’ud (2011) menengarai waktu kita akan kawin?” Oheo menjawab,
proses penyederhanaan ini bermula pada sekitar “Yang sudah lalu, jangan diingat-ingat lagi,
cebok saja dahulu anakmu itu.” (Sande, 1986).
tahun 1960-an.
Meskipun tidak berbelit-belit, dialog
Dari kutipan tersebut diketahui bahwa
antara Oheo dan Anawaingguluri memiliki
pada awalnya Oheo meminta pengertian
relasi dengan proses persepakatan onggoso.
Anawaingguluri agar diperbolehkan me­
Permintaan Anawaingguluri berelasi dengan
nye­l esaikan dulu pekerjaannya. Namun,
realitas onggoso dalam perkawinan adat Tolaki.
Anawaingguluri tetap meminta Oheo
Terlebih dengan adanya anggapan bahwa
segera menceboki anaknya. Sudah cukup
perkawinan Oheo dengan Anawaingguluri
lama anak itu buang air besar sehingga
merupakan perkawiman pertama yang didahului
kotorannya mulai mengering. Tentunya
dengan pelamaran dalam sejarah orang Tolaki.
Anawaingguluri mengkhawatirkan keadaan
Dalam kisahan selanjutnya, mitos Oheo
anaknya yang kotor. Kesibukan bekerja
berelasi dengan tata cara pembayaran onggoso.
membuat Oheo lalai dan abai akan janji dan
Diceritakan bahwa mereka dikaruniai seorang
konsekuensinya apabila dilanggar. Meskipun
anak. Setiap kali anak itu berhajat, baik
sudah diperingatkan berkali-kali oleh istrinya,
buang air kecil maupun buang air besar,
Oheo tetap bergeming. Alih-alih melakukan
Oheolah yang mencebokinya. Namun, suatu
tugasnya, dia melanjutkan pekerjaannya dan
hari ketika sang anak buang air besar dan
menyuruh Anawaingguluri menceboki anak
Anawaingguluri meminta Oheo mencebokinya,
mereka. Akhirnya Anawaingguluri melanggar
Oheo mengabaikan. Dia sedang meramu atap
pantangannya sebagai putri bidadari. Dia
rumbia di kolong rumahnya. Berikut kutipan
menyentuh dan membersihkan kotoran manusia,
cerita yang memuat informasi ini.
yaitu anaknya sendiri. Anawaingguluri dengan
Mulailah mereka itu memasuki hidup baru sangat terpaksa membersihkannya dari kotoran.
sebagai suami istri. Tidak lama kemudian Dia tahu itu pantang baginya sebagai putri

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 235
Menelusuri Tradisi Onggoso Suku Tolaki yang Terepresentasi dalam Mitos Oheo (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Halaman 223 — 238

bidadari, tetapi tetap dia lakukan karena tidak Oheo harus dapat menembus gunung hingga
tega pada keadaan anaknya. keluar di sisi lain gunung. Segerombolan tikus
Selanjutnya, alur cerita mengarahkan membantu Oheo dengan jalan melubangi
pada peristiwa kepulangan Anawaingguluri ke gunung tersebut hingga tembus. Oheo pun
kayangan dengan tanpa sengaja menemukan dengan mudah melemparkan buruleo dan
kembali sarungga ngguluri-nya yang selama lemparannya dapat menembus sampai sisi lain
ini disembunyikan Oheo. Anawaingguluri gunung. Ketiga, Oheo diperintahkan memunguti
pergi meninggalkan anak dan suaminya. Ini sebakul benih padi yang sebelumnya disebarkan
menjadi konsekuensi bagi Anawaingguluri di padang rumput. Oheo harus mengumpulkan
karena melanggar pantangan. Kisah selanjutnya semua biji padi itu tanpa tertinggal sebutir
diisi dengan upaya-upaya Oheo menemui pun dan memasukkannya kembali ke dalam
Anawaingguluri di kayangan agar dapat bakul. Sekawanan burung pipit membantu
hidup bersama kembali. Oheo mengalami Oheo menyelesaikan ujian ini. Keempat, Oheo
banyak hambatan. Namun, tekad untuk diperintahkan memunguti sebakul biji jagung
kembali berkumpul bersama keluarga yang disebarkan di padang rumput tanpa
memberi kekuatan baginya. Secara garis besar, tertinggal sebutir pun dan memasukkannya
kesulitan yang dialami Oheo untuk menjumpai kembali ke dalam bakul. Oheo dibantu oleh
Anawaingguluri terbagi menjadi dua segmen, sekawanan burung tekukur. Kelima, Oheo
yaitu ketika hendak mencapai kayangan dan diperintahkan memunguti sebakul woto
ketika sudah berada di kayangan. Berikut ini (sejenis tanaman berbiji seperti biji sawi) yang
adalah peristiwa-peristiwa dalam cerita yang disebarkan di padang rumput tanpa tertinggal
menjadi hambatan bagi Oheo. sebutir pun dan memasukkannya kembali ke
Oheo bingung mencari cara pergi ke dalam bakul. Sekawanan burung puyuhlah
kayangan sampai akhirnya dia bertemu Ue- yang membantu Oheo kali ini. Keenam, Oheo
Wai (tumbuhan rotan) yang bersedia menjadi dihadapkan dengan tujuh buah tempat sirih
tangga bagi Oheo ke kayangan. Oheo diminta yang terbuat dari kuningan ‘palako’. Hanya
menempa sekeranjang cincin besi untuk ada satu palako yang ada isinya. Oheo harus
digantung di ruas-ruas Ue Wai dan dijadikan menemukan palako yang berisi ini dalam
sebagai pijakan Oheo. sekali tebak. Seekor lalat membantu Oheo
Setelah tiba di kayangan, Oheo dihadapkan menunjukkan palako yang ada isinya. Ketujuh,
pada delapan ujian yang diajukan oleh ayah Oheo dihadapkan dengan tujuh buah talam
Anawaingguluri. Kedelapan ujian ini menjadi tertutup yang diletakkan berjejer. Dari ketujuh
syarat jika Oheo mau menemui dan berkumpul talam tersebut, hanya ada satu yang berisi
kembali dengan istrinya. Dalam setiap ujian, makanan, enam lainnya kosong. Oheo harus
Oheo dibantu oleh beberapa hewan. Pertama, menemukan talam yang berisi ini dalam sekali
Oheo diperintahkan menumbangkan sebuah batu tebak. Seekor kucing menunjukkan talam
besar. Sekawanan babi membantu Oheo dengan yang berisi makanan kepada Oheo. Syarat
menggali tanah sekeliling batu besar itu hingga kedelapan dirasakan sebagai syarat terberat
Oheo dapat dengan mudah menumbangkannya. bagi Oheo karena disertai ancaman, apabila
Kedua, Oheo diperintahkan melempari sebuah Oheo gagal berarti Anawaingguluri bukan
gunung dengan menggunakan buruleo ‘sejenis istrinya lagi. Dalam keadaan gelap gulita,
tunas lengkuas’. Buruleo yang dilemparkan Oheo diperintahkan memasuki salah satu dari

236 , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)
Halaman 223 — 238 (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Tracing the Origin of Tolakinese Tradition Onggoso Represented in Oheo Myth

tujuh kelambu yang sama dan diletakkan dalam niwule. Mo mbolika odandi dapat diajukan
posisi berjejer. Salah satu dari ketujuhnya hingga tiga kali, tetapi sekarang lazimnya
berisi Anawaingguluri sedang tidur bersama hanya satu kali.
anaknya. Seekor kunang-kunang membantu Kode yang melekat pada jatuh bangunnya
Oheo. Kunang-kunang ini menghinggapi Oheo ketika menyelesaikan beragam ujian
kelambu Anawaingguluri sehingga Oheo demi berkumpul dengan keluarganya berelasi
dapat menemukannya dengan mudah. Setelah dengan mo mbolika odandi. Mo mbolika odandi
menyelesaikan semua ujian yang diberikan, pada dasarnya menjadi ukuran keteguhan
Oheo bersatu kembali dengan istrinya. seorang laki-laki. Keteguhan Oheo dalam uaya
Oheo tidak dapat menepati janji yang telah memenuhi janjinya kepada Anawaingguluri
diucapkannya kepada Anawaingguluri. Oheo menjadi jiwa dan semangat bagi calon mempelai
berusaha menebus kesalahannya ini dengan laki-laki untuk menepati kesepakatan yang
melalui berbagai ujian. Hambatan-hambatan sudah dilakukannya. Lebih jauh dari itu, upaya
yang harus diselesaikan Oheo demi berkumpul Oheo menunjukkan kesungguhan dan kesetiaan
dengan istrinya memiliki relasi dengan realitas seorang laki-laki kepada perempuan pilihannya.
realitas onggoso, terutama dalam metode
pembayarannya, yaitu mo mbolika odandi SIMPULAN
atau pindah janji. Pada pertemuan penentuan Sebagai peristiwa peminangan pertama
onggoso, selain jenis dan jumlahnya, dise­ yang dilakukan oleh suku Tolaki, mitos
pakati juga waktu pembayarannya. Waktu pe­ Oheo menjadi model bagi rangkaian proses
nyerahan onggoso ditentukan berdasarkan mu­ pernikahan adat suku Tolaki. Berdasarkan hasil
sya­warah dengan mempertimbangkan waktu analisis disimpulkan bahwa tradisi onggoso
acara dan kemampuan pihak laki-laki. Akan mengambil teladan dari pengajuan syarat dari
tetapi, pada kenyataannya sering terjadi pihak Anawaingguluri kepada Oheo untuk menerima
laki-laki tidak dapat menepati waktu tersebut. pinangan Oheo. Syarat yang diajukan oleh
Pada kenyatannya, ada kasus pihak Anawaingguluri harus disetujui oleh Oheo
laki-laki belum memiliki cukup uang agar pernikahan di antara keduanya dapat
sesuai kesepakatan ketika telah jatuh tempo dilaksanakan. Demikian pula halnya dengan
penyerahan onggoso kepada pihak perempuan. tradisi onggoso yang menjadi hak pihak
Sistem adat Tolaki memiliki perangkat aturan perempuan dan harus diterima oleh pihak laki-
untuk permasalahan ini. Pihak laki-laki datang laki. Segmen awal mitos Oheo berelasi dengan
kepada pihak perempuan mengajukan pindah pe­nentuan kesepakan mengenai jenis dan jum­
janji (mo mbolika odandi), yaitu pembaruan lah onggoso yang harus dibayarkan oleh pihak
perjanjian dengan meminta tambahan tenggat laki-laki kepada pihak perempuan. Syarat yang
pembayaran onggoso. Apabila saat tenggat diajukan oleh Anawaingguluri harus disetujui
kedua, ternyata uang yang dimiliki oleh oleh Oheo agar pernikahan di antara keduanya
pihak laki-laki belum juga mencukupi, dapat dapat dilaksanakan. Demikian pula halnya
dilakukan kesepakatan baru oleh keluarga dari dengan tradisi onggoso yang menjadi hak pihak
kedua belah pihak. Keluarga perempuan bisa perempuan dan harus diterima oleh pihak laki-
menerima atau menolak jumlah onggoso yang laki. Sementara segmen tengah dan akhir yang
ditawarkan kembali oleh pihak laki-laki, yang memuat upaya Oheo berkumpul kembali dengan
tidak sama dengan persepakatan saat mowawo Anawaingguluri berelasi dengan mo mbolika

ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online) , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 237
Menelusuri Tradisi Onggoso Suku Tolaki yang Terepresentasi dalam Mitos Oheo (Heksa Biopsi Puji Hastuti) Halaman 223 — 238

odandi atau memperbaharui janji. Melalui mo Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara


mbolika odandi inilah terlihat bagaimana upaya (Perspektif Hukum Islam). Makassar: UIN
pihak laki-laki dalam menepati janjinya sebagai Alauddin.
sebuah tanggung jawab. Beratnya perjuangan Mustikawati, A. (2018). Adaptasi Lingkungan
Oheo menjadi representasi keharusan seorang Masyarakat Pendatang dalam Carita
calon mempelai laki-laki memenuhi janjinya, Rakyat Bontang. Aksara, 30(1), 59–73.
meskipun harus dilakukan melalui pengajuan Ratna, N.K. (2007). Sastra dan Cultural
mo mbolika odandi. Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.
Yigyakarta: Pustaka Pelajar.
DAFTAR PUSTAKA Ratna, N.K. (2010). Metodologi Penelitian
Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora
Amir, A. (2013). Sastra Lisan Indonesia. pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka
Yogyakarta: Penerbit Andi. Pelajar.
Barthes, R. (2007). Petualangan Semiologi. Sande, J.S. (1986). Struktur Sastra Lisan
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tolaki. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen
Eco, U. (1996). Sebuah Pengantar Menuju Pendidikan dan Kebudayaan.
Logika Kebudayaan (Anita K. Rustapa
& Taufik Dermawan, trans). Dalam P. Su’ud, M. (2011). Kompilasi Hukum Adat
Sudjiman & A. van Zoest (Eds.), Serba- Perkawinan di Sulawesi Tenggara (Tolaki,
Serbi Semiotika. Jakarta: PT Gramedia Buton, Muna, Moronene dan Bugis
Pustaka Utama. Makassar). Kendari: Lembaga Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Sejarah
Endraswara, S. (2017). Hakikat Sastra dan Kebudayaan Tolaki (LP3-SKT).
Etnografi. Dalam Sastra Etnografi Hakikat
dan Praktik Pemaknaan (hlm. 1–14). Sunardi, S. (2004). Semiotika Negativa.
Yogyakarta: Morfalingua. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.
Hafid, A., & Safar, M. (2007). Sejarah Kota Tarimana, A. (1993). Kebudayaan Tolaki.
Kendari. Bandung: Humaniora. Jakarta: Balai Pustaka.
Handrawan. (2016). Sanksi Adat Delik Vansina, J. (2014). Tradisi Lisan sebagai
Perzinahan (Umoapi) dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Hukum Pidana Adat Tolaki. Perspektif,
XXI(3), 200–211. Wijanarti, T. (2015). Representasi Perempuan
Bergelar Nyai dalam Cerita Rakyat
Hastuti, H.B.P. (2013). Representasi Perempuan Kalimantan Tengah. Aksara, 27(2),
Tolaki dalam Mitos: Studi terhadap Mitos 207–215. Retrieved from http://aksara.
Oheo dan Mitos Wekoila. Universitas kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/aksara/
Halu Oleo. article/view/185.
Hastuti, H.B.P. (2014). Mitos Oheo dan Asas Informan
Hubungan dalam Konsep O Rapu Menguak Iinfantri Wahid (dosen di Universitas Lakidende,
Posisi Perempuan dalam Keluarga Suku Konawe), wawancara dilakukan 5 Maret
Tolaki. Patanjala, 6(1), 17–32. 2019.
Koodoh, E.E. (2011). Hukum Adat Orang Qurniasih (putri Bapak Idrus Taufik, tokoh
Tolaki. Yogyakarta: Penerbit Teras. masyarakat Tolaki), wawancara dilakukan
Maruf, L.M.A. (2013). Membedah Pelaksanaan pada April 2019.
Perkawinan Adat Tolaki di Kabupaten

238 , Vol. 31, No. 2, Desember 2019 ISSN 0854-3283 (Print), ISSN 2580-0353 (Online)

Anda mungkin juga menyukai