Anda di halaman 1dari 4

Majapahit: Sandyakala Rajasawangsa

Matahari turun semakin rendah dan bahkan lenyap, suasana temaram bergerak ke arah
malam. Bintang-bintang mulai menampakkan diri yang bagaikan ikut mempercepat gerakan sang
waktu.
Setelah terus bergerak, kapal besar merah yang di lambungnya bergambar seekor ular
berkaki itu akhirnya berhenti dan membuang jangkar. Supaya diam dan tidak terseret angin. semua
layar diturunkan. Para nelayan yang berada di tepian terbelalak saat menyaksikan tontonan yang
luar biasa. Dari kapal yang sedang berhenti itu tiba-tiba memelesat benda-benda aneh yang
membubung ke langit meninggalkan jejak asap panjang dan suara ledakan susul-menyusul diikuti
cahaya yang menyemburat ke segala penjuru. Kelihatan indah, tetapi juga menakutkan.
Pertunjukan kembang api itu digelar untuk menarik perhatian orang-orang di pantai dan
sekaligus membuat mereka gentar. Kembang api dalam jumlah banyak itu disulut susul-menyusul
memelesat ke udara dan meledak menggemuruh dan mekar bagai kembang. Apa yang ddnginkan
orang-orang dalam kapal itu terpenuhi karena pertunjukan dahsyat itu mampu menyita perhatian.
Tidak hanya dari pesisir Gresik, bahkan dari pedalaman di ketinggian bukit-bukit, penduduk
terkaget-kaget dan berhamburan menyaksikan sejalan mekarnya rasa penasaran, bahkan
ketakutan.
"Apa itu?" teriak mereka sejadi-jadinya.
"Lihat, lihat, waah, apa itu?" tambah yang lain lagi.
Juga di pantai belahan timur, para nelayan di Selat Madura, mereka yang berada di Ujung
Galuh dan sekitarnya tersentak kaget. Di ujung Pulau Madura sebelah barat dan selatan, para
nelayan merasakan degup jantung yang sama, merasakan kegelisahan dan rasa heran yang sama.
Di Ujung Galuh, cahaya yang menyemburat susul-menyusul memanjat langit itu juga
mengagetkan prajurit Singasari yang sedang berkumpul di sana, tetapi tak seorang pun yang tahu,
cahaya apakah itu. Para prajurit Singasari itu terlambat menyadari adanya kehadiran kapal raksasa
di wilayah mereka. Malam menyebabkan bentuk kapal itu tidak tertangkap pandangan mata.
"Apa itu?" tanya seorang prajurit.
"Tidak tahu," jawab prajurit lain.
"Cepat laporkan kepada panglima," perintah seorang prajurit yang lain lagi.
"Tandya," jawab yang lain tegas.
Tontonan kembang api itu masih berlangsung beberapa saat, kemudian berhenti, tetapi
masih meninggalkan jejak takjub yang tidak tersembuhkan. Jantung mereka yang menyaksikan
berlarian.
Malam kembali pada keadaan semula, temaram. Dari kapal tidak ada lagi benda-benda
aneh yang memelesat beterbangan, tetapi jejak asapnya masih terlihat meskipun sesaat kemudian
hilang tersapu oleh angin.
Didorong oleh rasa ingin tahunya, Halayuda mendayung lebih dekat dan menyisir lambung
kapal yang demikian besar sambil geleng-geleng kepala karena tidak mampu membayangkan
melalui cara bagaimana kapal itu dibuat, kemudian diapungkan di permukaan laut. Kapal itu
berukuran demikian besar dan berperut gendut. Halayuda bisa membayangkan berapa orang yang
bisa diangkut oleh kapal seukuran itu.
Tentu dibuatnya di tengah laut, demikian pikimya.
Kehadiran dan keberanian Halayuda mengelilingi kapal besar itu menarik perhatian
mereka yang berada dalam kapal. Dengan ramah mereka melambaikan tangan, Halayuda
membalasnya dengan lambaian tangan pula. Namun, saat beberapa orang awak kapal menurunkan
tangga dan mempersilakannya naik, Halayuda tiba-tiba dibelit rasa curiga dan bergegas
mendayung menjauh. Orang-orang di atas kapal meneriakinya dan memintanya naik, tetapi karena
bahasanya yang aneh dan tidak dimengerti, justru mendorongnya bergegas mendayung lebih jauh
lagi.
Halayuda mentas, beberapa penduduk membantu menarik perahunya naik ke daratan dan
diikat pada batang pohon kelapa untuk menjaga agar kapal itu jangan sampai hanyut ketika air laut
sedang meluap.
"Besar sekali," ucap Halayuda kepada orang-orang yang mengitarinya.
"Mau apa orang-orang itu?" tanya seorang Ielaki.
Halayuda diam, tetapi tidak memiiiki jawaban
"Juga apa yang tadi membelesat di langit dan kelihatan bagus itu?"
Halayuda berbalik dan memandang kapal itu yang bentuknya berubah seperti kapal hantu.
Lampu-lampu lampion dinyalakan dan diletakkan di setiap sudut menjadikan ia arah pandang yang
menarik perhatian.
"Dari manakah kapal itu berasal, keperluan apa mereka datang kemari, juga benda apa yang
menyala-nyala memelesat berkejaran ke langit tadi, saya lidak punya jawaban. Namun, yang
paling mungkin mereka akan datang ke Singasari."
***
Sikap Halayuda dan beberapa orang yang mengelilingi berubah tegang. Dari arah kapal,
mereka melihat beberapa buah perahu kecil menepi.
"Akan melakukan apa mereka?" tanya seorang penduduk yang ketakutan.
Bukan hanya ketakutan, penduduk yang sebenarnya bertubuh kekar itu melarikan diri, yang
menjadi sumber gagasan beberapa orang lain untuk melarikan diri pula.
Halayuda seorang diri bergeming, bukan oleh keberaniannya, melainkan oleh rasa ingin
tahunya.
Ditunggu beberapa jenak, orang-orang dalam perahu itu kemudian merapat.
Berdebar Halayuda melihat cara berpakaian orang-orang itu dan dandanannya yang aneh.
Mereka berkulit kuning dengan mata tak satu pun yang tidak sipit. Bila menyeringai, mata mereka
bahkan menghilang menyisakan sebuah garis sebesar lidi. Rambut mereka semua panjang, tetapi
tidak digelung keling. Rambut panjang yang rata-rata melewati paha itu dikepang. Yang aneh
adalah kening mereka yang dicukur agak lebar. Agaknya di tempat mereka berasal, lebarnya
kening merupakan ukuran kebanggaan. Semakin lebar keningnya, semakin tinggi derajat
ketampanannya. Pakaian mereka amat indah, terbuat dari kain yang bisa memantulkan cahaya.
Orang-orang itu mengenakan penutup kepala yang aneh. Rupanya bentuk penutup kepala yang
berbeda itu juga menunjukkan tinggi rendahnya derajat mereka.
Beberapa dari mereka saling berbicara, tetapi Halayuda sama sekali tidak mengerti apa
maksudnya. Logat ucapan mereka terasa aneh dan lucu, lekuk-lekuk suaranya sangat
membingungkan.
Akan tetapi, salah seorang di antaranya rupanya memiliki kemampuan lebih daripada yang
lain.
"Selamat malam, Ki Sanak." orang bertubuh tinggi kurus itu menyapa, "Apakah Ki Sanak
penduduk sini?"
Halayuda berdebar-debar, tetapi dengan cepat is menguasai diri.
"Ya," jawab Halayuda. Meski berlogat aneh, is bisa memahami ucapan orang itu.
"Senang saya berkenalan dengan Ki Sanak, nama saya Meng Khi," lanjut orang itu sambil
menggenggam kedatangan dan melekatkan di dada ditambah sedikit menekuk tubuh.
Halayuda memperhatikan cara menghormat yang aneh itu sambil menyipitkan mata dan
bergerak agak menjauh. Halayuda bisa memahami bahasa tubuh orang itu dan dengan segera
membalas dengan cara serupa. Halayuda mengepalkan tangan kiri dan digenggam oleh telapak
tangan kanannya serta menirukan bagaimana orang itu sedikit menekuk tubuhnya.
"Meng Khi?" tanya Halayuda.
"Meng Khi," ulang pemilik nama sambil kembali mengangguk dalam, dan mereka ini
teman saya, Yikomushu dan Kaushing."
Dua orang lelaki yang tersebut namanya sebagai Yikomushu (Ike Mese) dan Kaushing
segera mengepalkan kedua tangannya dan menunduk sangat dalam. Semakin yakin, sikap itu
adalah bentuk penghormatan yang tak lebih dari menyembah. Halayuda membalasnya dengan
meniru.
"Halayuda!" ucap Halayuda.
Meng Khi mengerutkan kening mencoba memahami.
"Nama Anda Halayuda?" tanya orang itu.
"Benar!" jawab Halayuda, "Anda semua dari negara mana dan ada keperluan apa singgah
di tempat ini?"
Melihat percakapan yang terjadi yang jauh dari ketegangan menyebabkan penduduk yang
semula bersembunyi satu demi satu keluar dari semak pandan laut dan mendekat. Di balik semak
yang lain, penduduk yang semula ketakutan bermunculan. Mereka akhirnya melihat tamu-tamu itu
ternyata bersikap ramah dan bersahabat, dan bukan merupakan sumber bahaya.
Meski tertatih, bahkan dibantu menggunakan bahasa isyarat, Halayuda berhasil
mengetahui siapa dan apa keperluan mereka menempuh perjalanan demikian jauh ke tempat itu.
Kepada para nelayan yang akhirnya satu demi satu muncul dan ikut bergabung, Halayuda
menjelaskan bahwa orang-orang menggunakan kapal besar itu datang dari jauh, sebuah negara di
arah utara yang untuk menempuhnya perlu waktu, memerlukan berhari-hari bahkan Iebih dari
sebulan dan harus melintasi pulau-pulau besar dan kecil, bahkan ganasnya prahara di tengah
samudra.
"Mereka datang untuk bertemu Raja Singasari," Halayuda menerangkan.
Para tetangganya mengangguk-angguk.
Orang-orang dari seberang itu pintar sekali mengambil hati para penduduk di tepian laut
bernama Gresik itu. Mata mereka kian berbinar-binar sangat senang ketika mendapat hadiah kain
yang indah, juga berbagai jenis makanan yang dikemas dalam sebuah wadah yang berbentuk
lembaran sangat tips, sama tipisnya dengan kain, tetapi tidak dirobek dengan mudah.
"Di manakah letak Singasari, Ki Sanak?" tanya Meng Khi dengan nada yang agak sulit
dicerna.
Akan tetapi, Halayuda memahami dengan jelas pertanyaan itu.
"Singasari berada jauh di pedalaman, saya bisa mengantarkan Anda bila ingin pergi ke sana
asal ada upahnya."
Hubungan segera terbentuk. Halayuda sama sekali tidak menyimpan prasangka apa pun
terhadap para tamu dari negeri seberang itu. Halayuda dan para penduduk menerima dengan
senang hati tawaran untuk naik ke kapal. Dengan takjub mereka melihat isi kapal dengan segenap
penumpangnya yang berdandan Iengkap dengan masing¬masing menggantungkan pedang
panjang di pinggangnya.
"Yang tadi memelesat dan menyala itu apa?" Halayuda bertanya dengan segena rasa ingin
tahu.
Meng Khi mengambil kembang api dan menyulutnya, kembang api itu memelesat ke langit
dan meninggalkan jejak yang mendebarkan jantung.
Sementara itu, tanpa disadari oleh orang-orang kapal itu karena tertutup malam yang turun
dan mega yang tebal, dari arah timur. puluhan ekor kuda bergerak menyisir sepanjang pantai
bersamaan dengan bergeraknya puluhan perahu yang dengan cepat bergerak ke barat. Atas
perintah Lembu Anabrang, mereka harus mencari tahu ada apa di barat, benda apakah yang terlihat
memanjat langit, yang tampak jelas dari Ujung Galuh itu.

Dikutip dari: langit Kresna Hariadi, Majapahit Sandyakala Rajasawangsa Yogyakarta,


Bentang. 2018

Anda mungkin juga menyukai