Anda di halaman 1dari 3

Allah Azza wa Jalla telah menciptakan manusia dan memberikan kenikmatan yang tidak

terhingga. Manusia tidak akan mampu menghitungnya. Ada sebuah surat di dalam Al
Qur’an yang disebut oleh para ulama sebagai surat An Ni’am (surat tentang
kenikmatan-kenikmatan Allah), yaitu surat An Nahl. Allah Azza wa Jalla memulai
dengan menyebutkan kenikmatan terbesar, yaitu kenikmatan agama. Allah Azza wa Jalla
menurunkan wahyu kepada para RasulNya, lewat para malaikat, untuk menyerukan Laa
ilaaha illa Allah. Bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah Azza wa
Jalla. Wajib meninggalkan seluruh peribadahan kepada selain Allah Azza wa Jalla,
dan beribadah dengan ikhlas hanya kepadaNya. Karena sesungguhnya Dia esa di dalam
rububiyahNya, esa di dalam menciptakan langit dan bumi, tidak ada sekutu bagiNya.
Kemudian Allah Azza wa Jalla menyebutkan kenikmatanNya yang lain kepada manusia,
yaitu Allah Azza wa Jalla menciptakan binatang ternak dengan segala manfaatnya
untuk manusia. Demikian juga berbagai binatang yang dapat dijadikan tunggangan dan
pengangkutan. Allah Azza wa Jalla menyebutkan kenikmatan-kenikmatanNya yang lain
secara berturut-turut, kemudian mengakhirinya dengan berfirman: َ ‫الله ال‬ ِ ‫َو ِإن َت ُع ُّدوا ِن ْع َم َة‬
‫يم‬
ٌ ّ ٌ ِ
‫ح‬ ‫ر‬
َ ‫ور‬ ‫ف‬
ُ ‫غ‬
َ َ ‫ل‬ ‫الله‬
َ ‫ن‬َ ّ ‫إ‬
ِ ‫ا‬ ‫وه‬ ‫ص‬
َ ُ ْ ‫ح‬ ُ ‫ت‬ Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak
dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [An Nahl/16:18]. NIKMAT SEHAT Sungguh, kesehatan merupakan kenikmatan
yang diakui setiap orang. Nikmat ini sangat agung nilainya. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menyebutkan dengan sabdanya : ‫آمنًا ِفي‬ ِ ‫َم ْن أ َ ْصبَ َح ِمنْك ُْم ُم َعافًى ِفي َج َس ِد ِه‬
‫الدنْيَا‬
ُّ ‫ت ل َُه‬ ْ َ ‫ز‬ ‫ي‬ ِ
‫ح‬ ‫ا‬ ‫َم‬ ‫ن‬َ ‫َأ‬ ‫ك‬ ‫ف‬
َ ِ
‫ه‬ ِ
‫م‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫ُوت‬‫ق‬ ‫ه‬‫د‬
َُْ ‫ن‬ ِ
‫ع‬ ِ
‫ِه‬ ‫ب‬ ‫ر‬ ِ
‫س‬ Barangsiapa di antara kamu masuk pada waktu pagi
َّ َْ ُ ْ
dalam keadaan sehat badannya, aman pada keluarganya, dia memiliki makanan pokoknya
pada hari itu, maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuknya.[1] Ibnu Samak
masuk menemui Khalifah Harun Ar Rasyid memberikan nasihat, sampai Sang Khalifah
menangis. Kemudian Ibnu Samak meminta segelas air dan mengatakan: “Wahai, Amirul
Mukminin. Seandainya engkau dihalangi dari (meminum) minuman ini (padahal engkau
kehausan), kecuali dengan (membayar) dunia dan seisinya, apakah engkau akan menebus
segelas air itu dengannya?” Khalifah menjawab: “Ya”. Ibnu Samak pun mengatakan:
“Minumlah dengan puas, semoga Allah memberkahi Anda”. Ketika Khalifah telah minum,
Ibnu Samak berkata kepadanya: “Wahai, Amirul Mukminin. Beritahukan kepadaku,
seandainya engkau dihalangi mengeluarkan minuman ini dari (diri)mu, kecuali dengan
(membayar) dunia dan seisinya, apakah engkau akan menebusnya?” Khalifah menjawab:
“Ya”. Ibnu Samak mengatakan: “Lalu apakah yang akan engkau lakukan dengan sesuatu
(yakni dunia seisinya) yang seteguk air lebih baik darinya?” Ini menunjukkan bahwa
kenikmatan Allah Azza wa Jalla yang berupa minum air pada saat kehausan lebih besar
daripada memiliki dunia seisinya. Kemudian kemudahan di dalam mengeluarkan dengan
buang air termasuk kenikmatan yang terbesar! Ini juga menunjukkan besarnya nikmat
kesehatan.[2] Kita melihat kenyataan manusia yang rela mengeluarkan biaya yang
besar untuk berobat, ini bukti nyata mahalnya kesehatan yang merupakan kenikmatan
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi kebanyakan manusia lalai dari
kenikmatan kesehatan ini, dia akan ingat jika kesehatan hilang darinya.
Diriwayatkan bahwa seseorang mengadukan kemiskinannya dan menampakkan kesusahannya
kepada seorang ‘Alim. Maka orang ‘Alim itu berkata: “Apakah engkau senang menjadi
buta dengan mendapatkan 10 ribu dirham?” Dia menjawab: “Tidak”. Orang ‘Alim itu
berkata lagi: “Apakah engkau senang menjadi bisu dengan mendapatkan 10 ribu
dirham?” Dia menjawab: “Tidak”. Orang ‘Alim itu berkata lagi: “Apakah engkau senang
menjadi orang yang tidak punya kedua tangan dan kedua kaki dengan mendapatkan 20
ribu dirham?” Dia menjawab: “Tidak”. Orang ‘Alim itu berkata lagi: “Apakah engkau
senang menjadi orang gila dengan mendapatkan 10 ribu dirham?” Dia menjawab:
“Tidak”. Orang ‘Alim itu berkata: “Apakah engkau tidak malu mengadukan Tuanmu
(Allah Azza wa Jalla) sedangkan Dia memiliki harta 50 ribu dinar padamu?”[3] DUA
KENIKMATAN, BANYAK MANUSIA TERTIPU Oleh karena itulah seorang hamba hendaklah
selalu mengingat-ingat kenikmatan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berupa kesehatan,
kemudian bersyukur kepadaNya, dengan memanfaatkannya untuk ketaatan kepadaNya.
Jangan sampai menjadi orang yang rugi, sebagaimana hadits di bawah ini: ‫اس‬ ٍ َّ‫عب‬
َ ‫ع ْن ابْ ِن‬ َ
‫غ‬
ُ ‫ح ُة َوالْفَ َرا‬َّ ‫الص‬ ِّ ‫ير ِم ْن الن ّ َِاس‬ ٌ ‫يه َما ك َ ِث‬
ِ ‫ون ِف‬ ٌ ُ‫ان َم ْغب‬ ِ َ‫عل َيْ ِه َو َسل ّ َ َم ِن ْع َمت‬
َ ‫ِي َصلَّى الل َّ ُه‬
ُّ ‫َال النَّب‬
َ ‫َال ق‬ َ ‫ َر ِض َي الل ّ َ ُه‬Baca Juga 
َ ‫عن ْ ُه َما ق‬
Relakah Kamu, Kehidupan Di Dunia Sebagai Ganti Kehidupan Di Akhirat? Dari Ibnu
Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu)
kesehatan dan waktu luang”.[HR Bukhari, no. 5933]. Al Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah berkata: “Kenikmatan adalah keadaan yang baik. Ada yang mengatakan,
kenikmatan adalah manfaat yang dilakukan dengan bentuk melakukan kebaikan untuk
orang lain”.[4] Kata “maghbuun (‫ون‬ ٌ ُ‫”) َم ْغب‬, secara bahasa artinya tertipu di dalam
jual-beli, atau lemah fikiran. Al Jauhari rahimahullah berkata: “Berdasarkan ini,
kedua (makna itu) bisa dipakai di dalam hadits ini. Karena sesungguhnya orang yang
tidak menggunakan kesehatan dan waktu luang di dalam apa yang seharusnya, dia telah
tertipu, karena dia telah menjual keduanya dengan murah, dan fikirannya tentang hal
itu tidaklah terpuji”[5]. Ibnu Baththaal rahimahullah berkata: “Makna hadits ini,
bahwa seseorang tidaklah menjadi orang yang longgar (punya waktu luang) sehingga
dia tercukupi (kebutuhannya) dan sehat badannya. Barangsiapa dua perkara itu ada
padanya, maka hendaklah dia berusaha agar tidak tertipu, yaitu meninggalkan syukur
kepada Allah terhadap nikmat yang telah Dia berikan kepadanya. Dan termasuk syukur
kepada Allah adalah melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-
laranganNya. Barangsiapa melalaikan hal itu, maka dia adalah orang yang tertipu”[6]
Kemudian sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas “kebanyakan manusia
tertipu pada keduanya” ini mengisyaratkan, bahwa orang yang mendapatkan taufiq
(bimbingan) untuk itu, orangnya sedikit. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Kadang-
kadang manusia itu sehat, tetapi dia tidak longgar, karena kesibukannya dengan
penghidupan. Dan kadang-kadang manusia itu cukup (kebutuhannya), tetapi dia tidak
sehat. Maka jika keduanya terkumpul, lalu dia dikalahkan oleh kemalasan melakukan
kataatan, maka dia adalah orang yang tertipu. Kesempurnaan itu adalah bahwa dunia
merupakan ladang akhirat, di dunia ini terdapat perdagangan yang keuntungannya akan
nampak di akhirat. Barangsiapa menggunakan waktu luangnya dan kesehatannya untuk
ketaatan kepada Allah, maka dia adalah orang yang pantas dicemburui. Dan
barangsiapa menggunakan keduanya di dalam maksiat kepada Allah, maka dia adalah
orang yang tertipu. Karena waktu luang akan diikuti oleh kesibukan, dan kesehatan
akan diikuti oleh sakit, jika tidak terjadi, maka itu (berarti) masa tua (pikun).
Sebagaimana dikatakan orang : “Panjangnya keselamatan (kesehatan) dan tetap tinggal
(di dunia) menyenangkan pemuda. Namun bagaimanakah engkau lihat panjangnya
keselamatan (kesehatan) akan berbuat? Akan mengembalikan seorang pemuda menjadi
kesusahan jika menginginkan berdiri dan mengangkat (barang), setelah (sebelumnya di
waktu muda) tegak dan sehat”[7] Ath Thayyibi rahimahullah berkata: “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat gambaran bagi mukallaf (orang yang berakal
dan dewasa) dengan seorang pedagang yang memiliki modal. Pedagang tersebut mencari
keuntungan dengan keselamatan modalnya. Caranya dalam hal itu ialah, dia memilih
orang yang akan dia ajak berdagang, dia selalu menetapi kejujuran dan kecerdikan
agar tidak merugi. Kesehatan dan waktu luang adalah modal, seharusnya dia
(mukallaf) berdagang dengan Allah Azza wa Jalla dengan keimanan, berjuang
menundukkan hawa-nafsu dan musuh agama, agar dia mendapatkan keberuntungan kebaikan
dunia dan akhirat. Hal ini seperti firman Allah Azza wa Jalla. ‫امنُوا َه ْل أ َ ُدلُّك ُْم‬ َ ‫ين َء‬ َ ‫يَاأَيُّ َها ال َّ ِذ‬
‫يم‬ َ
ٍ ِ‫َاب أل‬ ٍ ‫عذ‬ َ ‫عل َى ِت‬
َ ‫ج َار ٍة تُنجِ يك ُم ِ ّم ْن‬ َ Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan
suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? [Ash-
Shaff/61:10], dan ayat-ayat berikutnya.   ۚ ‫ِيل الل ّ َ ِه بِأ َ ْم َوالِك ُْم َوأَن ْ ُف ِسك ُْم‬
ِ ‫ون ِفي َسب‬ ِ ‫ج‬
َ ‫اه ُد‬ َ ُ‫ون بِالل َّ ِه َو َر ُسولِ ِه َوت‬ َ ُ ‫تُ ْؤ ِمن‬
‫ون‬ ‫َم‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ت‬ ‫م‬ ‫ت‬
َ ُ ْ َ ْ ُْ ْ ِ ْ ‫ن‬ُ ‫ك‬ ‫ن‬‫إ‬ ‫ُم‬ ‫ك‬َ ‫ل‬ ‫ر‬ ‫ي‬ ‫خ‬
ٌْ َ ْ ‫ُم‬ ‫ك‬ ِ ‫ل‬ ‫ذ‬
ٰ َ (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad
di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.[Ash-Shaff/61:11] Berdasarkan itu ia wajib menjauhi ketatan kepada hawa-
nafsu dan berdagang/kerja-sama dengan setan agar modalnya tidak sia-sia bersama
keuntungannya. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm di dalam hadits tersebut
“kebanyakan manusia tertipu pada keduanya” seperti firman Allah: ‫ُور‬ ُ ‫الشك‬َّ ‫يل ِ ّم ْن ِعبَا ِد َي‬ ٌ ِ‫َو َقل‬
Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih. [Saba’/34:13].
“Kebanyakan” di dalam hadits itu sejajar dengan “sedikit” di dalam ayat
tersebut”[8]. Al Qadhi Abu Bakar bin Al ‘Arabi rahimahullah berkata:
“Diperselisihkan tentang kenikmatan Allah Azza wa Jalla yang pertama (yakni yang
terbesar) atas hamba. Ada yang mengatakan ‘keimanan’, ada yang mengatakan
‘kehidupan’, ada yang mengatakan ‘kesehatan’. Yang pertama (yaitu keimanan) lebih
utama, karena hal itu kenikmatan yang mutlak (menyeluruh). Adapun kehidupan dan
kesehatan, maka keduanya adalah kenikmatan duniawi, dan tidak menjadi kenikmatan
yang sebenarnya, kecuali jika disertai oleh keimanan. Dan pada waktu itulah banyak
manusia yang merugi, yakni keuntungan mereka hilang atau
berkurang. Barangsiapa mengikuti hawa-nafsunya yang banyak memerintahkan
keburukan, selalu mengajak bersenang-senang (rileks), sehingga dia meninggalkan
batas-batas (Allah) dan meninggalkan menekuni ketaatan, maka dia telah merugi.
Demikian juga jika dia longgar, karena orang yang sibuk kemungkinan memiliki
alasan, berbeda dengan orang yang longgar, maka alasan hilang darinya dan hujjah
(argumen) tegak atasnya”[9]. Baca Juga  Zuhud Sunni, Zuhud Shufi Maka sepantasnya
hamba yang berakal bersegera beramal shalih sebelum kedatangan perkara-perkara yang
menghalanginya. Imam Al Hakim meriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menasihati seorang laki-laki : ‫غتَ ِن ْم َخ ْم ًسا قَبْ َل‬ ْ ِ‫ا‬
‫ َو َحيَاتَ َك قَبْ َل َم ْو ِت َك‬, ‫ َوف ََراغ ََك قَبْ َل ُش ْغلِ َك‬, ‫ َو ِغنَا َك قَبْ َل َفقْ ِر َك‬, ‫ح ِت َك قَبْ َل َسقْ ِم َك‬
َ ّ ‫ َو ِص‬, ‫ َشبَابَ َك قَبْ َل َه َر ِم َك‬,‫َخ ْم ٍس‬ Ambillah
kesempatan lima (keadaan) sebelum lima (keadaan). (Yaiutu) mudamu sebelum pikunmu,
kesehatanmu sebelum sakitmu, cukupmu sebelum fakirmu, longgarmu sebelum sibukmu,
kehidupanmu sebelum matimu.[10] JEJAK SALAF DALAM MENGISI WAKTU Al Hasan Al Bashri
rahimahullah berkata: “Wahai, anak Adam. Engkau hanyalah hari-hari yang
dikumpulkan. Setiap satu hari pergi, sebagian dirimu juga pergi”[11]. Kami akan
sebutkan beberapa riwayat dari Salafush Shalih yang menunjukkan betapa fahamnya
mereka terhadap kesempatan dan nilai waktu yang ada. Imam Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir Ath Thabari rahimahullah, pemilik tafsir yang sangat mashur, tafsir Ath
Thabari. Beliau seorang yang sangat mengagumkan. Seandainya kertas-kertas yang
telah beliau tulis dibagi pada umur beliau semenjak lahir, didapati bahwa beliau
menulis setiap harinya 60 lembar atau lebih! Ini perkara yang sangat menakjubkan!
[12] Imam Nawawi rahimahullah juga mengagumkan. Umur beliau hanyalah sekitar 45
tahun, namun kitab-kitab karya beliau memenuhi perpustakaan-perpustakaan umat Islam
sekitar 20 jilid. Padahal setiap harinya, beliau mengajar 12 mata pelajaran[13]. Di
antara karya beliau adalah Syarah Shahih Muslim, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab,
Tahdzibul Asma’ Wal Lughaat, Riyadhush Shalihin, Al Adzkar, dan lain-lain. Imam Az
Zuhri rahimahullah, seorang imam yang dikatakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah : “Disepakati kebesaran dan keahliannya”, dahulu beliau biasa
mendatangi nenek-nenek, kakek-kakek, anak-anak, gadis-gadis pingitan, anak kecil,
orang tua, beliau bertanya kepada mereka, mencari (ilmu) dari mereka, sehingga
memiliki ilmu yang besar[14]. Imam Al Anmathi rahimahullah, seorang ahli hadits
Baghdad. Beliau menulis (menyalin) kitab Ath Thabaqat karya Ibnus Sa’ad dan kitab
Tarikh Baghdad, dengan tangannya. Seandainya kita kumpulkan juz-juz kedua kitab
itu, banyak di antara kita yang berat atau susah membawanya[15]. Imam Isma’il Al
Jurjani rahimahullah. Beliau menulis 90 lembar setiap malam, dengan tulisan yang
rapi. Beliau menulisnya pelan-pelan. Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkomentar:
“Ini, beliau memungkinkan untuk menulis Shahih Muslim selama sepekan”[16]. Inilah
sebagian amal para salafush shalih dalam mengisi waktunya. Mungkinkah kita
mengikuti jejak kebaikan mereka? Semoga. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
03/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-
858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi
08122589079] _______ Footnote [1] HR Ibnu Majah, no. 4141; dan lain-lain;
dihasankan oleh Syaikh Al Albani di dalam Shahih Al Jami’ush Shaghir, no. 5918 [2]
Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 366, Imam Ibnu Qudamah, ta’liq dan takhrij
Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi [3] Lihat Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 366 [4]
Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, penjelasan hadits no. 5933 [5] Fathul Bari [6]
Fathul Bari [7] Fathul Bari [8] Fathul Bari [9] Fathul Bari [10] HR Al Hakim di
dalam Al Mustadrak; dishahihkan oleh Syaikh Al Albani di dalam Shahih At Targhib
wat Targhib 3/311, no. 3355, Penerbit Maktabul Ma’arif, Cet. I, Th. 1421 H / 2000 M
[11] Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/382 [12] Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hlm.88,
karya Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdullah As Sud-han [13] Ma’alim Fi Thariq
Thalabil ‘Ilmi, hlm.88 [14] Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hlm.90 [15] Ma’alim
Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hlm.91 [16] Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi, hlm. 96

Referensi: https://almanhaj.or.id/14163-nikmat-sehat-dan-waktu-luang-2.html

Anda mungkin juga menyukai